Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM NEUROLOGI : GBS DAN

MYASTENIA GRAVIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis

Pengampu : Ns. Agnes Silvina Marbun M.kep

oleh :

Tiur Theresia Sitorus (190204010)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS FARMASI & ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat taufik dan
hidayah-Nya sehingga makalah ini selesai tepat pada waktunya. Penulisan makalah yang berjudul
“ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA GANGGUAN MIASTENIA GRAVIS DAN GBS”,
bertujuan untuk memenuhi tugas Kritis
Kami menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu dikarenakan
kemampuan yang terbatas.Namun berkat dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya
pembuatan makalah ini tepat pada waktunya. Kami
berharap dalam penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi kami sebagai penyusun sendiri dan bagi
para pembaca pada umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengembangkan
atau meningkatkan prestasi di masa yang akan datang.

Penyusun

Jombang, 13 April 2021

1
DAFTAR ISI

Cove r

Kata pengantar.......................................................................................................1

Daftar isi..................................................................................................................2

BAB I Pendahuluan...............................................................................................3

1.1 Latar belakang.............................................................................................3

1.2 Rumusan masalah........................................................................................4

1.3 Tujuan..........................................................................................................4

1.4 Manfaat........................................................................................................4

BAB II Tinjauan Teori..........................................................................................5

2.1 Definisi Miastenia Gravis............................................................................5

2.2 Definisi GBS.............................................................................................17

BAB III Asuhan keperawatan.............................................................................25

3.1 Pengkajian.................................................................................................25

3.2 Analisa Data..............................................................................................28

3.3 Diagnosa keperawatan...............................................................................28

3.4 Intervensi keperawatan..............................................................................28

3.5 Implementasi.............................................................................................30

3.6 Evaluasi.....................................................................................................30

BAB IV Penutup...................................................................................................31

4.1 Kesimpulan................................................................................................31

Daftar pustaka......................................................................................................32
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Myastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia. Selama
beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala myastenia pada kelinci yang
diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR). Sedangkan pada manusia yang menderita
myastenia gravis, ditemukan adanya defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR) pada
neuromuscular junction. Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada myastenia gravis dan peran
patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini
meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita myastenia
gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi imun
kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek menguntungkan dari
plasmaparesis.

Guillain Barre syndrome (GBS) adalah penyakit neurologi yang sangat

jarang, kejadiannya bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang

pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian
mendapatkan rata-rata insidensi 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35
tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun.

Insidensi sindroma Guillain-Barre Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan
paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama
jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit
hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia
mengenai gambaran epidemiologi
belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di

Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah

penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa
perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia ratarata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan
April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

1.2 Rumusan masalah

Bagaimaa konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan gagguan Miastenia dan GBS?

1.3 Tujuan

1. Menjelaskan tentang penyakit Miastenia Gravis dan GBS

2. Mennjelaskan mengenai konsep asuhan keperawatan pada Miastenia

Gravis dan GBS

1.4 Manfaat

Mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasin dengan gangguan Miastenia Gravis dan GBS.
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Miastenia Gravis

2.1.1 Definisi

Myastenia gravis adalah salah satu penyakit autoimun yang disebabkan oleh adanya
gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular
junction. Hal ini ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang
dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Dimana bila
penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.

Penyakit autoimun itu sendiri adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi

menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi
yang paling umum terserang adalah otot yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata,
mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan
badan serta otot yang membantu pernafasan juga dapat terserang.

Penyakit Myastenia Gravis ini dapat mengganggu sistem sambungan saraf (synaps). Pada
penderita myastenia gravis, sel antibodi tubuh atau kekebalan akan menyerang sambungan saraf
yang mengandung acetylcholine (ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan dari
saraf satu ke saraf lainnya. Jika reseptor mengalami gangguan maka akan menyebabkan defisiensi,
sehingga komunikasi antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan otot.

2.1.2 Etiologi

Myasthenia Gravis dimasukkan dalam golongan penyakit autoimun.

Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum

penderita Myastenia Gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Tidak diragukan lagi,
bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot
pasien dengan Myastenia Gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah
dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.

Antibodi adalah protein yang memainkan peranan penting dalam sistem imun. Biasanya
antibodi secara langsung menolak protein-protein asing yang disebut antigen yang menyerang
tubuh. Protein-protein ini termasuk juga
bakteri dan virus. Antibodi menolong tubuh untuk melindungi dirinya dari protein-protein asing
ini. Untuk alasan yang tidak dimengerti, sistem imun
pada orang dengan Myasthenia Gravis membuat antibodi melawan reseptor

pada neuromuscular junction. Antibodi yang tidak normal ini dapat ditemukan dalam darah pada
orang-orang dengan Myasthenia Gravis. Antibodi tersebut menghancurkan reseptor dengan lebih
cepat dibanding tubuh mereka sendiri dapat melakukannya (Myasthenia Gravis Foundation of
America).

Selain penjelasan mengenai penyebab Myasthenia Gravis, terdapat juga penjelasan


mengenai kemungkinan adanya peranan kelenjar thymus dalam penyakit ini. Kelenjar thymus
yang terletak di daerah dada atas di bawah tulang dada, mempunyai peranan penting dalam
mengembangkan system imun pada awal kehidupan. Kelenjar ini pada saat bayi ada dalam jmlah
yang cukup banyak, tumbuh secara berangsur-angsur sampai masa pubertas, dan kemudian
menjadi mengecil dan digantikan dengan pertumbuhan bersama

usia.

Beberapa orang dengan Myasthenia Gravis menghasilkan thymoma atau tumor pada kelenjar
thymus. Umumnya tumor ini jinak, tapi bisa menjadi
berbahaya. Hubungan antara kelenjar thymus dan Myasthenia Gravis masih belum sepenuhnya
dimengerti. Para ilmuwan percaya bahwa kelenjar thymus mungkin memberikan instruksi yang
salah mengenai produksi antibodi reseptor asetilkolin sehingga malah menyerang transmisi
neuromuskular.

2.1.3 Patofisiologi

Otot-otot dari seluruh tubuh dikontrol oleh impul syaraf yang timbul dalam otak. Impul-
impul syaraf ini berjalan turun melewati syaraf-syaraf menuju tempat dimana syaraf-syaraf
bertemu dengan serabut otot. Serabut syaraf tidak benar-benar berhubungan dengan serabut otot.
Ada tempat atau jarak antara keduanya, tempat ini disebut neuromuskular junction.

Ketika impul syaraf yang berasal dari otak sampai pada syaraf bagian akhir, syaraf bagian
akhir ini mengeluarkan bahan kimia yang disebut asetilkolin. Asetilkolin berjalan menyeberangi
jarak yang ada diantara serabut syaraf dan serabut otot (neuromuscular junction) menuju serabut
otot dimana banyak diikat oleh reseptor asetilkolin. Otot menutup atau mengkerut ketika

reseptor telah digiatkan oleh asetilkolin. Pada Myasthenia Gravis, ada sebanyak 80 % penurunan
pada angka reseptor asetilkolin. Penurunan ini disebabkan oleh antibodi yang menghancurkan dan
merintangi reseptor asetilkolin.

Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline Receptor(AChR).
Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak
dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan
kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut
saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada
pasien.

Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi kehilangan toleransi
terhadap AChR sampai saat ini masih belum diketahui. Sampai saat ini, Myasthenia Gravis
dianggap sebagai penyakit yang disebabkan oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi anti-
AChR bodies.
Namun, penemuan baru menunjukkan bahwa sel T yang diproduksi oleh

Thymus, memiliki peranan penting pada patofisiologis penyakit Myasthenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penderita
Myasthenic mengalami hiperplasia thymic dan thymoma.
Sub-unit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Sehingga

pada pasien myastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda,
dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Ikatan
antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi
neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap
antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular
junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga
mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin
yang baru disintesis.

2.1.4 Klasifikasi

1) Klasifikasi Klinis Myasthenia Gravis

(1) Kelompok I Myasthenia Okular : Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan
diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus kematian.
(2) Kelompok II Myasthenia Umum

(a) Myasthenia umum ringan : Progress lambat, biasanya pada mata, lambat laun
menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak terkena. Respon
terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah.
(b) Myasthenia umum sedang : Progress bertahap dan sering disertai gejala-gejala
ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan
bulbar. Disartria (gangguan bicara), disfagia (kesulitan menelan) dan sukar
mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan Myasthenia umum ringan. Otot-otot
pernafasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan
aktivitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.

(c) Myasthenia umum berat o Fulminan akut : progress yang cepat dengan kelemahan
otototot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot
pernafasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam
kelompok ini, persentase thymoma paling tinngi. Respon terhadap obat buruk.
Insiden krisis Myasthenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi.
Tingkat kematian tinggi.
o Lanjut : Myasthenia Gravis berat timbul paling sedikit 2 tahun sesudah progress
gejala-gejala kelompok I atau II. Myasthenia Gravis dapat berkembang secara
perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Persentase thymoma menduduki urutan
kedua. Respon terhadap obat dan prognosis buruk.

2) Klasifikasi berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the Myasthenia
Gravis Foundation of America (MGFA) :

(1) Class I Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata, Otot lain masih normal
(2) Class II Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular meningkat
kelemahannya
(3) Class IIa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit mempengaruhi otototot oropharyngeal
(4) Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi
ekstrimitas
(5) Class III Kelemahan sedang pada otot selain okuler, Meningkatnya kelemahan pada
otot okuler
(6) Class IIIa Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit mempengaruhi otototot oropharyngeal
(7) Class IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi
ekstrimitas
(8) Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan berat

pada otot okuler

(9) Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit pengaruh pada otototot oropharyngeal
(10)Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan oropharyngeal, Juga
mempengruhi otot-otot ekstrimitas
(11)Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus postoperative)

2.1.5 Gejala klinis

Myasthenia Gravis adalah penyakit kelemahan pada otot, maka gejalagejala yang timbul juga
dapat dilihat dari terjadinya kelemahan pada beberapa otot. Otot-otot yang paling sering diserang
adalah otot yang mengontrol gerak mata, kelopak mata, bicara, menelan mengunyah, dan bahkan
pada taraf yang lebih gawat sampai menyerang pada otot pernafasan. Dengan ikut terserangnya
otot-otot yang mengontrol pernafasan, maka hal ini menyebabkan penderita mengalami beberapa
gangguan dalam pernafasan, mulai dari nafas yang pendek, kesulitan untuk menarik nafas yang
dalam sampai dengan gagal nafas sehingga memerlukan bantuan ventilator.

2.1.6 Pemeriksaan penunjang

1) Test Wartenberg

Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba test

Wartenberg. Penderita diminta untuk menatap tanpa kedip kepada suatu

benda yang terletak diatas dan diantara bidang kedua mata untuk beberapa waktu lamanya.
Pada Myasthenia Gravis, kelopak mata yang terkena akan menunjukkan ptosis.

2) Uji Tensilon (edrophonium chloride)

Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi
maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon
disuntikkankita harus memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata
yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.

3) Uji Prostigmin (neostigmin)

Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila
perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain
tidak lama kemudian akan lenyap.
4) Uji Kinin

Dib erikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi
(masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh

miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat.

5) Laboratorium (Tes darah)

Antistriat
ed muscle (anti-SM) antibody : Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar
84% pasien yang menderita timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan
salah satu tes yang pentingpada penderita miastenia gravis. Pada pasien tanpa timomaantiSM
Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun,.

6) Computed Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Digunakan untuk mengidentifikasi kelenjar thymus yang tidak normal atau keberadaan dari
thymoma.
7) Pulmory Function Test (Test Fungsi Paru-Paru)

Test mengukur kekuatan pernafasan untuk memprediksikan apakah pernafasan akan gagal
dan membawa kepada krisis Myasthenia.

2.1.7 Penatalaksanaan

Myasthenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.


Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan
penatalaksanaan utama pada myasthenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada
myasthenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan myasthenia gravis generalisata,
perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin. Penatalaksanaan myastenia gravis dapat
dilakukan dengan obat-obatan, timomektomi ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif
terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis.

Terapi pemberian antibiotik yang dikombainasikan dengan imunosupresif dan


imunomodulasi yang ditunjang dengan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang
dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang memiliki onset lebih lambat tetapi
memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.

1) Plasma Exchange (PE)

Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari
terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Dimana
pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama
serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek
dramatis dari PE. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang
mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani
timektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode pasca operasi.
Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang
mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari.
Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium
dapat digunakan untuk replacement . Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat

bertahan hingga lebih dari 10 minggu.

Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadi retensi kalsium, magnesium, dan
natrium yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi.
Ini diakibatkan terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran

berlangsung. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor

pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan
suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-
frozen plasma tidak diperlukan.
2) Intravena Immunoglobulin (IVIG)

Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan
mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara
klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Produk
tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif
aman untuk diberikan secara intravena.
Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.
Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara
terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG
sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Sehingga IVIG diindikasikan pada
pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat
dengan durasi yang hanya beberapa minggu.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari

pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan


klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari
sejak dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah

flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat
terjadi pada 2 4 jam pertama. Nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan
infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat.

3) Intravena Metilprednisolone(IVMp)

IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka
pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka
pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunj ukkan respon
terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada
terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.
Penggunaan IVMp pada keadaan krisis akan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau
tidak dapat digunakan.
4) Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk
pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem
imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Durasi
kerja kortikosteroid dapat
berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Dimana respon terhadap
pengobatan kortikosteroid akan mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi
terapi.
Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami

penurunan dari titer antibodinya. Karena kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada
aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell
yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan
kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat
menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal
penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada
pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, akan timbul efek
samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.
5) Azathioprine

Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang
memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine
merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara
umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif
lainnya. Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif
terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien
diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai.
Respon Azathioprine sangat lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36
bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga
dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.
6) Cyclosporine

Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Dosis awal


pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis.
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel Thelper.
Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi.
Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
7) Cyclophosphamide (CPM)

Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat
lainnya. CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara
tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin.
8) Timektomi (Surgical Care)

Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan
kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab
yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Banyak ahli saraf
memiliki
pengalaman meyakinkan bahwa timektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi
miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak
dapat dibuktikan oleh standar yang seksama.
Timektomi telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak tahun
1940 dan untuk pengobatan timoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900.
Tujuan utama dari timektomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan
pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, dimana beberapa ahli percaya
besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis
timektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin
banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% pada lima hingga sepuluh tahun setelah
pembedahan adalah kesembuhan yang permanen dari pasien.
Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun
setelah timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi
kelemahan serta obat-obatan).

2.1.8 Komplikasi

Ada dua komplikasi utama yang biasa menyertai penyakit Myasthenia Gravis adalah
Myasthenic Crisis dan Cholinergic Crisis.

1) Myasthenic Crisis

Pasien dengan Myasthenia Gravis sedang ataupun berat, keduanya memiliki


kelainan/kesulitan untuk menelan dan bernapas, seringkali mengalami penurunan kondisi. Ini
biasanya dipicu oleh infeksi penyerta atau penarikan tiba-tiba obat antikolinesterasi, tetapi
mungkin terjadi secara spontan. Jika peningkatan dosis dari obat antikolinesterase tidak dapat
meningkatkan kelemahan, intubasi endotrachial dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan.
Dalam banyak kasus, respon obat kembali dalam 24 hingga 48 jam, dan penyapihan dari
respirator dapat dilanjutkan di kemudian waktu.
2) Cholinergic Crisis

Krisis kolinergik terjadi sebagai hasil dari pemberian obat yang lebih. Efek muskarinik
dari tingkat racun olehkarena obat antikolinesterase menyebabkan kram perut, diare, dan
sekresi paru berlebihan. Efek nikotinik paradoksikal memperburuk kelemahan dan dapat
menyebabkan kejang bronkial. Jika status pernapasan terganggu, klien mungkin perlu
intubasi dan ventilasi mekanik.

2.2 GBS (Guillaine Barre Syndrome)

2.2.1 Definisi

GBS adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan kepekaan
yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau tahun. GBS
mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis,
Guillain (baca Gilan) dan Barré (baca Barre), yang menemukan dua orang
prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima
perawatan medis.
Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid
yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf
perifer, radiks, dan nervus kranialil.
GBS merupakan suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstermitas tubuh yang
disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit yang sistematis.

Jadi disimpulkan bahwa GBS adalah penyakit akibat sistem kekebalan tubuh menyerang
sistem selaput sarafyang menyebabkan kelemahan akut ekstermitas tubuh.Pada umumnya penyakit
ini didahului oleh infeksi.Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degerasi selaput mielin
dari saraf perifer dan kranial.

2.2.2 Etiologi

Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti

penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya
dengan terjadinya

SGB, antara lain:

1) Infeksi : Misal radang tenggorokan atau radang lainnya.

2) Iinfeksi Virus : Misal Measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster,
Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)
3) Infeksi Lain : Mycoplasma Pneumonia, Salmonella Thyposa,

Brucellosis, Campylobacter Jejuni pada enteritis .

4) Vaksinasi : Rabies, Swine flu

5) Pembedahan

6) Penyakit sistematik:

(1) Keganasan ; Hodgkin’s Disease, Carcinoma,Lymphoma.

(2) Systemic lupus erythematosus

(3) Tiroiditis

(4) Penyakit Addison

7) Kehamilan terutama pada trimester ketiga atau dalam masa nifas.

2.2.3 Patofisiologi

Sindrom Guillain Barre akibat serangan autoimun pada myelin yang membungkus saraf
perifer. Dengan rusaknya myelin, akson dapat rusak. Gejala GBS menghilang pada saat serangan
autoimun berhenti dan akson mengalami regenerasi. Apabila kerusakan badan sel terjadi selama
serangan, beberapa derajat distabilitas dapat tetap terjadi.
Otot ekstremitas bawah biasanya terkena pertama kali, dengan paralisis yang berkembang ke
atas tubuh. Otot pernafasan dapat terkena dan menyebabkan kolaps pernafasan. Fungsi
kardiovaskular dapat terganggu karena gangguan fungsi saraf autonom (Corwin, 2009).
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan sistem imun lewat mekanisme
limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih
diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responnya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf
perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan sistem
penghantaran implus terganggu. Karena

proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf
perifer, dan cabangnya merupakan target potensial, dan
biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi
atau karena axon telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi
biasannya dimulai beberapa minggu setelah proses peradangan/infeksi terjadi.
Dimielinasi merupakan keadaan dimana lapisan myelin hancur serta hilang pada beberapa
segmen. Hal tersebut menyebabkan hilangnya konduksi saltatori yang mengakibatkan penurunan
kecepatan konduksi serta terjadinya hambatan konduksi. Kelainan ini terjadi cepat namun
reversibel karena sel
Schwann dapat berdegenerasi dan membentuk myelin baru. Namun pada

banyak kasus, demielinasi menyebabkan hilangnya akson dan deficit permanen (Djamil, 2010).

2.2.4 Manifestasi Klinis

Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang berlangsung
selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih kembali. Perjalanan
penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:

1) Fase progresif.

Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal

sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri,
kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung
seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada
waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat
transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen.
Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.

2) Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan
tetap ada sampai dimulai fase
penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau
mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama
jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat
dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat,
perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf
yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung
mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di
fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3) Fase penyembuhan .

Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan

perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai
terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien
dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita
untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal
dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps.
Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun
pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah
penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi
pada fase infeksi.
2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik

1) Cairan serebrospinal (CSS)


Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah
protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada
kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari,
jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah
protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah
onset.Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis
umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm
2) Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)

Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara
lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau
absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf),blok hantar saraf
motorik, serta berkurangnya KHS.Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang
dari 60% normal. EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula
dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala,
sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini
telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka
panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar
10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan
periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan
denervasi EMG.
3) Pemeriksaan darah

Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke


bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada
fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat
meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala
4) Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang Tserta sinus takikardia.Gelombang T akan
mendatar atau inverted pada lead lateral.
Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.

(1) Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)

Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending ).


(2) Pemeriksaan patologi anatomi

Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik
mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel
radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan
degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat,
mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila
terjadi pada ventral root , saraf spinal proksimal, dan saraf kranial.Infiltrat sel-sel radang
(limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa,
jantung, dan organ lainnya.
2.2.6 Penatalaksanaan

1) Pengaturan jalan napas

Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang
menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan.Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka
penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus
dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan diperlukan untuk
waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih
bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi dengan mengukur kapasitas vital secara regular
sangat penting untuk mengetahui progresivitas penyakit.
2) Pemantauan EKG dan tekanan darah

Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat

penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan
irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-
acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan
pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode brakikardia selama
pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3.
3) Plasmaparesis

Pertukaran plasma ( plasma exchange) yang menyebabkan reduksi antibiotik ke dalam


sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan
berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien demielinasi.Bermanfaat bila
dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang
dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai
lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan
faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada
plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti dengan suatu
substitusi plasma.
4) Pengobatan imunosupresan:

Pengobatan imunosupresan berfungsi untuk menekan pembentukan antibody.


Imunoglobulin IV : Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian
immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang parah ternyata dapat
mempercepat penyembuhannya seperti halnya plasmapharesis.Gamaglobulin (Veinoglobulin)
diberikan perintravena dosis tinggi.Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih
menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan
tetapi harganya mahal. Dosis aintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan
dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena
(IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari GBS dan Dosis
dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang
setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan
defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak
diberikan pd kehamilan.
5) Perawatan umum :

Perawatan immobilisasi : Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan


posisi tidur.
6) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah
retensi sputum dan kolaps paru. Segera setelah penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka
fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
7) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh.
8) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki yang lumpuh
mencegah deep voin thrombosis.
9) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea.
10)Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.

11)Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.

2.2.7 Komplikasi

1) Kolaps pernafasan dan kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian. Kegagalan


pernapasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak di tangani
dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di sebabkan paralisis pernapasan dan kelumpuhan
otot-otot pernapasan, yang di jumpai pada 10-33% penderita.
2) Kelemahan beberapa otot dapat menetap (Corwin, 2009).

3) Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke dalam
paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam, paralisis
permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi (Israr, dkk, 2009).
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

Contoh Kasus :

Tn. Ali usia 45 tahun masuk UGD RSUD Dr.Soetomo Surabaya dengan keluhan susah napas, dada
terasa berat, gelisah. Hasil pengkajian didapatkan Tn. Ali menderita demam 3 hari yang lalu,
kemudian kaki tidak bisa digerakkan. TD:
130/80 mmHg, nadi 85x permenit, RR 26x permenit, Suhu 37’C.

3.1 Pengkajian

1. Identitas :

Nama : Tn. A

Umur : 4 5 th

Jenis kelamin : Laki-laki

2. Keluhan utama : susah napas

3. Riwayat penyakit sekarang : Tn.A mengeluh susah napas, dada terasa

berat, serta gelisah. Tn. A telah menderita demam sejak 3 hari yang lalu, serta kakinya tidak
bisa digerakkan.
4. Riwayat penyakit dahulu : Perlu dikaji apakah ada riwayat penyakit ISPA dan infeksi saluran
pernapasan, selain itu juga apakah Tn. A pernah mengkonsumsi obat jenis kortikosteroid,
antibiotik, atau sebagainya dalam jangka waktu yang lama. 5. Riwayat penyakit keluarga : -
6. Pemeriksaan fisik :

B1 [Breathing] : RR 26x/menit, susah napas, dada terasa berat [yang paling sering
didapatkan pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya
fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan GBS berhubungan
akumulasi secret dari infeksi saluran napas] .

B2 [Blood] : N 85x/menit, TD 130/80 mmHg, [ pada pasien GBS


juga sering ditemukan bradikardi yang berhubungan dengan penurunan
perfusi perifer. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat [hipertensi transien]
berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis] .

B3 [ Brain] :

 Tingkat kesadaran : pada pasien GBS biasanya kesadaran pasien compos mentis. Apabila
pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting untuk
menilai tingkat kesadaran pasien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan. 
Fungsi serebri : Status mental --- observasi penampilan pasien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara pasien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motoric yang pada pasien GBS tahap
lanjut disertai
penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental pasien mengalami

perubahan.

 Pemeriksaan saraf kranial:

 Saraf I. Biasanya pada pasien GBS tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada
kelainan.
 Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.

 Saraf III,IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata,
paralisis okular.
 Saraf V. Pada pasien GBS didapatkan paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu
proses mengunyah.
 Saraf VII. Per.se.psi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya
paralisis unilateral.
 Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.  Saraf IX dan X.
Paralisis otot orofaring, kesukaran bicara, mengunyah, dan menelan. Kemampuan menelan
kurang baik sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi oral.
 Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

Kemampuan mobilisasi leher baik.

 Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada devisiasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra
pengecapan normal.
 Pemeriksaan reflex

Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat
refleks pada respon normal.
 Gerakan involunter

Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, tic, dan dystonia.  Sistem


sensorik

Parestesia [kesemutan kebas] dan kelemahan otot kaki, yang dapat

berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Pasien mengalami penurunan
perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
B4 [ Bladder] : Pemeriksaan pada system kandung kemih biasanya didapatkan berkurangnya
volume haluaran urine. Hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal.

B5 [ Bowel] : Mual sampai muntah dihubungkan dengan

peningkatan produksi asam lambunng. Pemenuhan nutrisi pada klien GBS menurun karena
anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan
pemenuhan via oral menjadi berkurang.

B6 [ Bone] : Penurunan kekuatan otot dam penurunan tingkat

kesadaran menurunkan mobilitas pasien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-
hari pasien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
7. Analisa data

N o. D at a E tiolo g i M asalah
keperawatan
1. D s : P as i en Infeksi saluran pernafsan Pola napas tidak
mengeluh susah efektif
napas, dada Proses demielinisasi
berat, gelisah.
Konduksi saltory tidak terjadi dan

Do : RR 26x tidak ada transmisi impuls saraf

permenit, Td
130/80 mmHg, Gangguan fungsi saraf perifer dan

nadi 85x neuro muskular

permenit, S: 37
Insufisiensi pernapasan

kelemahan otot pernapasan

Ketidakefektifan pola napas


3.2 Diagnosa keperawatan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot pernapasan
dan ancaman gagal pernapasan

2. Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk.

3. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan


kekuatan otot.

3.3 Intervensi
3.4 Implementasi
T gl/j am I m p lem entasi

1 3 /4 /2 1 - M em o n i tor p o l a n ap as (f re k u en si , ke d al aman , u s aha n ap as )

- Memonnitor bunyi napas tambahan

- Memonitor sputum (jumlah, warna, aroma )

- Mempertahankan kepatenan pola napas

- Memberikan posisi semi fowler

- Memberikan oksigen jika perlu

- Mengajarkan teknik batuk efektif

- Men g k o lab ora s i pem b e rian b r onko d i lato r , eks p e k tor a n ,

mukolitik jika perlu

3.5 Evaluasi

T g l /j a m N o . D x k e p e r a w a ta n E v alu asi

D .0 0 0 5 S : p x m e n g a ta k a n s e s a k n a p a s

O : px tampak lemah

TD : 130/80 mmHg

N : 85 x/mnt

RR : 26x/mnt

S : 37

- Terdapat suara tambahan (ronkhi )

A : Pola napas tidak efektif

P : - monitor pola napas

- Posisikan s e m i fowler

ASUHAN KEPERAWATAN MIASTENIA

I. Pengkajian

1. Identitas klien yang meliputi nama,alamat,umur,jenis kelamin,dannstatus

2. Keluhan utama : kelemahan otot

3. Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi klinis.
Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat
sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah
melakukan pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada
pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
4. Pemeriksaan fisik :


B1(breathing): dispnea,resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut, kelemahan otot
diafragma
 B2(bleeding) : hipotensi / hipertensi .takikardi / bradikardi

 B3(brain) : kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi okular,jatuhnya mata


atau dipoblia
 B4(bladder) : menurunkan fungsi kandung kemih,retensi urine,hilangnya sensasi saat
berkemih
 B5(bowel) : kesulitan mengunyah-menelan,disfagia, dan

peristaltik usus turun, hipersalivasi,hipersekresi

 B6(bone) : gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot yang berlebih


II. Diagnosa keperawatan

1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot

pernafasan

2. Resiko cedera bd fungsi indra penglihatan tidak optimal

3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan

pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis,
III. Intervensi

1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan


Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi

polapernapasan klien kembali efektif Kriteria hasil :

 Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal

 Bunyi nafas terdengar jelas

 Respirator terpasang dengan optimal


2. Resiko cedera bd fungsi indra penglihatan yang tidak optimal Tujuan: Menyatakan
pemahaman terhadap faktor yang terlibat dalam kemungkinan cedera.
Kriteria hasil :

Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan
melindungi diri dari cedera.

 Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan keamanan


3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan pengucapan kata,
gangguan neuromuskular, kehilangankontrol tonus otot
fasial atau oral
Tujuan: Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah
komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya, mampu
menggunakan bahasa isyarat

Kriteria hasil :
 Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi
 Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.
d an tenang ,g unak an inf o r m asi. M e m aju k a nstim u l asi

pertanyaan den g anjaw aban komunikasi ingatan dan kata-kata.

” y a” a ta u ” ti dak ” dan

perhatikanrespon klien

6 . Ko lab o ra si: ko n su ltasi ke ahl i  Me ng ka ji k ema m p uan v e rba l

terapi bicara indi v i d u al,sens o ri k , dan m o torik,

serta f ung si k og ni ti f untuk

m en g i denti f i k asi def i si t

dankebutuhan terapi

4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal


Tujuan : Citra diri klien meningkat Kriteria hasil :
 Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan
perubahan yangsedang terjadi
 Mampu menyatakan penerimaan diriterhadap situasi

 Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara yang akurat
tanpa harga diri yang negatif.
BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai
dengan kelelahan saat beraktivitas . Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction. Sebelum memahami tentang myastenia gravis,
pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting.
Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps
merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.

Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit yang langka dan dapat disembuhkan akan
tetapi nyeri ringan masih timbul dan derajat penyembuhan tergantung dari derjat kerusakan saraf
yang terjadi pada fase infeksi. Guillain - Barre Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis
yang ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Manifestasi klinis berupa
kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan sensibilitas, dan risiko komplikasi pencernaan.
DAFTAR PUSTAKA

Arie, Gde Agung Anom, Made Oka Adnyana & I Putu Eka Wisyadharma.

Diagnosis dan Tata Laksana Myasthenia Gravis (Jurnal), diakses pada 13 Maret 2016 pk.
20.32 WIB.
Black, Joys & Jane Hokanson. 2009. Medical Surgical nursing : Clinical Management for Positive
Outcomes 8th Edition. USA: Elsevier

Doenges, Marlynn E. 2000. RencanaAsuhan Keperawatan, Pedoman Untuk

Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta

Morton, Patricia Gonce & Dorre K. Fontaine. 2009. Critical Care Nursing : a

Holistic Approach 9th Edition. China: Lippicont

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan

Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria

Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan

Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai