Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS DENGAN

PENYAKIT MYESTENIA GRAVIS

DOSEN PEMBIMBING : Nadia Alfira, S.Kep,Ns, M.Kep.

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
ANDI ARYANANDAR (A.19.11.050)
JUSRIANI (A.19.11.057)
NURTASBI RAMADHANI (A.19.11.058)
RISKI NOPRIANI (A.19.11.062)
SUTRIANI (A.19.11.064)
WANDA RUKMANA AMIN (A.19.067)

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBAA


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
KELAS DOMISILI SELAYAR
T.A. 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Mah Kuasa,berkat limpahan
rahmatnya penulis dapat menyelesaikan Askep ini dengan judul “ASUHAN
KEPERAWATAN KRITIS DENGAN PENYAKIT MYESTENIA GRAVIS”
Dalam penilisan makalah ini tentunya tidak terlepas dari berbagai hambatan dan
kesulitan baik dalam pembuatan asuhan keperawatan ini. Namun berkat bimbingan dan
arahan serta bantuan berbagai pihak Asuhan keperawatan ini dapat diselesaikan.
Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada :

1. Ibu Dr. Muriyati, S.Kep.,M.Kes Selaku Ketua Stikes Panrita Husada Bulukumba
2. Ibu Nadia Alfira, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing
3. Orang tua dan keluarga yang telah memberikan dorongan moral maupun material,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penusunan makalah ini
4. Rekan – rekan mahasiswa/i yang telah memberikan bantuan dalam rangka penyusunan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penulis Asuhan keperwatan ini masih jauh dari sempurna, untuk
itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan tenaga keperawatan
pada khususnya dalam meningkatkan perawatan pada pasien.

Selayar,28 April 2022

Kelompok 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................
A. Latar Belakang........................................................................................................................
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................
C. Tujuan.....................................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................................
A. DEFINISI...............................................................................................................................
B. ETIOLOGI.............................................................................................................................
C. PATOFISIOLOGI....................................................................................................................
D. KLASIFIKASI........................................................................................................................
E. MANIFESTASI KLINIK..........................................................................................................
F. PELAKSANAAN....................................................................................................................
G. PATHWAY............................................................................................................................

BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN .................................................................... ..........

A. PENGKAJIAN........................................................................................................................
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN.................................................................................................
C. INTERVENSI KEPERAWATAN...............................................................................................
BAB IV PENUTUP..............................................................................................................................
A. KESIMPULAN.......................................................................................................................
B. SARAN.................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Miastenia gravis (MG) adalah gangguan autoimun yang relatif jarang terhadap saraf
perifer di mana terbentuk antibodi terhadap asetilkolin (Ach) reseptor possinaptik
nikotinat pada sambungan neuromuskuler (NMJ). Patologi dasar adalah pengurangan
jumlah reseptor AcH (ACHR) pada membran otot posinaptik disebabkan oleh reaksi
autoimun yang memproduksi anti-ACHR antibodi.
Penurunan jumlah hasil AChRs dalam pola karakteristik kekuatan otot semakin
berkurang dengan penggunaan berulang dan pemulihan kekuatan otot setelah masa
istirahat. Otot-otot bulbar paling sering dipengaruhi dan paling parah, tetapi kebanyakan
pasien juga memperlihatkan beberapa derajat kelemahan umum secara berfluktuasi.
Aspek yang paling penting dari MG dalam situasi darurat adalah deteksi dan pengelolaan
krisis yaitu Miastenik krisi dan kolinergik krisis.
MG adalah salah satu gangguan neurologis yang dapat diobati. Terapi farmakologis
termasuk obat antikolinesterase dan agen imunosupresif, seperti kortikosteroid,
azatioprin, siklosporin, plasmaferesis, dan immune globulin intravena (IVIG).
Plasmapheresis dan timektomi juga digunakan untuk mengobati MG. Timektomi adalah
pilihan yang sangat penting jika terdapat timoma. Pasien dengan MG memerlukan
perawatan dekat tindak lanjut bekerja sama dengan dokter perawatan primer.
MG ini jarang terjadi. Insiden tahunan diperkirakan AS adalah 2 per 1.000.000.
Prevalensi MG di Amerika Serikat berkisar 0,5-14,2 kasus per 100.000 orang.
Kebanyakan bayi yang lahir dari ibu myasthenic memiliki antibodi anti-ACHR saat lahir,
namun hanya 10-20% berkembang menjadi MG neonatal. Ini mungkin karena efek
protektif dari alfa-fetoprotein, yang menghambat pengikatan antibodi anti-ACHR untuk
ACHR. Tingginya kadar antibodi serum ACHR ibu dapat meningkatkan kemungkinan
MG neonatal, dengan demikian, menurunkan titer serum ibu selama periode antenatal
dengan plasmaferesis mungkin berguna. Secara klasik, rasio perempuan:laki-laki secara
keseluruhan telah dianggap 3:2, dengan dominasi perempuan pada orang dewasa muda
(yaitu, pasien berusia 20-30 tahun) dan dominasi laki-laki sedikit pada orang dewasa
yang lebih tua (yaitu, pasien lebih tua dari 50 tahun). Studi menunjukkan, bagaimanapun,
bahwa dengan peningkatan harapan hidup, laki-laki dan perempuan berada pada rasio
yang sama. MG okular dominan pada laki-laki. Rasio laki-perempuan pada anak dengan
MG dan kondisi autoimun lain adalah 1:5. Permulaan MG di usia muda adalah
cenderung terjadi pada orang Asia dibandingkan ras lain. 2-3

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dengan Myestenia gravis ?
2. Jelaskan etiologi Myestenia gravis?
3. Bagaimana patofisiologi Myestenia gravis?
4. Apa saja klasifikasi Myestenia gravis ?
5. Apa saja manifestasi klinis Myestenia gravis?
6. Bagaiamana pelaksanaan Myestenia gravis ?
7. Bagaimana konsep asuhan keperawatan demensia?

C. Tujuan
1. untuk mengetahui definisi Myestenia gravis
2. untuk mengetahui etiologi Myestenia gravis
3. untuk mengetahui patofisiologi Myestenia gravis
4. untuk mengetahui klasifikasi Myestenia gravis
5. untuk mengetahui manifestasi klinis Myestenia gravis
6. untuk mengetahui pelaksanaan Myestenia gravis
7. untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan demensia
BAB II

TINJAUAN MATERI MYASTENIA GRAVIS

A. DEFINISI
Myastenia gravis adalah Suatu gangguan Neuro muskuler yang dicirikan oleh
kelemahan dan kelelahan otot kerangka, defek yang mendasarinya adalah pengurangan
dalam jumlah reseptor asetilkolin (AchRs) yang tersedia pada persambungan neuro
muskuler akibat suatu serangan autoimun yang diperantarai antibody (Daniel B Drachman,
2000)
Myastenia gravis adalah gangguan yang mempengaruhi transmisi neuromuskuler pada
otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang (Volunter). ( Brunner and
Suddart, 2002).

B. ETIOLOGI
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada
neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung
akson motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan
asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah
dan ACh dibebaskan yang dapat memindahkan gaya sarafi yang kemudian bereaksi
dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran
ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga
dengan demikian terjadilah kontraksi otot.
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis tidak
diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan
kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang berperanan.
Gangguan tersebut kemungkinan dipicu oleh infeksi, operasi, atau penggunaan obat-
obatan tertentu, seperti nifedipine atau verapamil (digunakan untuk mengobati tekanan
darah tinggi), quinine (digunakan untuk mengobati malaria), dan procainamide (digunakan
untuk mengobati kelainan ritme jantung).
Neonatal myasthenia terjadi pada 12% bayi yang dilahirkan oleh wanita yang
mengalami myasthenia gravis. Antibodi melawan acetylcholine, yang beredar di dalam
darah, bisa lewat dari wanita hamil terus ke plasenta menuju janin. Pada beberapa kasus,
bayi mengalami kelemahan otot yang hilang beberapa hari sampai beberapa minggu
setelah lahir. Sisa 88% bayi tidak terkena.

C. Patofisiologis
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada
berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita
lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria
yang menderita miastenia gravis adalah 3 : 1. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia
yang lebih muda, yaitu sekitar 20 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi
pada usia 40 tahun. Pada bayi, sekitar 20% bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita
Miastenia gravis akan memiliki miastenia tidak menetap / transient (kadang permanen).
(Dewabenny, 2008

D. KLASIFIKASI
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:

Kelas I Adanya kelemahan otot-otot ocullar, kelemahan pada saat


menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal

Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta


adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot
okular.

Kelas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau


keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal
yang ringan

Kelas IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau


keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan
otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.

Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.


Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami
kelemahan tingkat sedang

Kelas III a Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,


atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan

Kelas III b Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau


keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam
derajat ringan.

Kelas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan


dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular
mengalami kelemahan dalam berbagai derajat

Kelas IV a Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh


dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami
kelemahan dalam derajat ringan

Kelas IV b Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau


keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,
atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita
menggunakanfeeding tube tanpa dilakukan intubasi.

Kelas V Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.


Klasifikasi menurut osserman ada 4 tipe :
1. Ocular miastenia
terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada
kematian
2. Generalized myiasthenia
a) Mild generalized myiasthenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot
skelet dan bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik.
b) Moderate generalized myasthenia
Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak
memuaskan.
3. Severe generalized myasthenia
a) Acute fulmating myasthenia
Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernafasan, progresi penyakit
biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan,
aktivitas penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi thymoma
b) Late severe myasthenia
Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia
gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling
tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek
4. Myasthenia crisis
Menjadi cepat buruknya keadaan penderita myasthenia gravis dapat disebabkan :
 pekerjaan fisik yang berlebihan
 emosi
 infeksi
 melahirkan anak
 progresif dari penyakit
 obat-obatan yang dapat menyebabkan neuro muskuler, misalnya streptomisin,
neomisisn, kurare, kloroform, eter, morfin sedative dan muscle relaxan.
 Penggunaan urus-urus enema disebabkan oleh karena hilangnya kalium

E. MANIFESTASI KLINIS
Peristiwa pada gejala-gejala yang memperburuk (exacerbation) adalah sering terjadi.
Pada waktu yang lain, gejala-gejala kemungkinan kecil atau tidak ada.
Gejala-gejala yang paling sering terjadi adalah :
1. Kelopak mata lemah dan layu / jatuh (ptosis).
2. Otot mata lemah, yang menyebabkan penglihatan ganda (Diplopia).
3. Kelemahan berlebihan pada otot yang terkena setelah digunakan. Kelemahan tersebut
hilang ketika otot beristirahat tetapi berulang ketika digunakan kembali.
Pada 40% orang dengan myasthenia gravis, otot mata terlebih dahulu terkena, tetapi
85% segera mengalami masalah ini. Pada 15% orang, hanya otot-otot mata yang terkena,
tetapi pada kebanyakan orang, kemudian seluruh tubuh terkena, kesulitan berbicara dan
menelan dan kelemahan pada lengan dan kaki adalah sering terjadi. Pegangan tangan bisa
berubah-ubah antara lemah dan normal. Berubah-ubahnya pegangan ini disebut pegangan
milkmaid. Otot leher bisa menjadi lemah. Sensasi tidak terpengaruh.
Kelemahan muka menyebabkan air muka yang geram bila pasien mencoba tersenyum.
Kelemahan dalam mengunyah adalah yang paling kelihatan setelah upaya yang
berkepanjangan, seperti pada waktu mengunyah daging. Bicara seperti suara hidung yang
disebabkan oleh kelemahan palatum atau kualitas cengeng disartrik akibat kelemahan
lidah. Kesulitan menelan dapat terjadi karena kelemahan palatum, lidah atau faring yang
memberikan regurgitasi hidung attau aspirasi cairan atau makanan.
Ketika orang dengan myasthenia gravis menggunakan otot secara berulang-ulang, otot
tersebut biasanya menjadi lemah. Misalnya, orang yang dahulu bisa menggunakan palu
dengan baik menjadi lemah setelah memalu untuk beberapa menit. Meskipun begitu,
kelemahan otot bervariasi dalam intensitas dari jam ke jam dan dari hari ke hari, dan
rangkaian penyakit tersebut bervariasi secara luas. Sekitar 15% orang mengalami peristiwa
berat (disebut myasthenia crisis), kadangkala dipicu oleh infeksi. Lengan dan kaki menjadi
sangat lemah, tetapi bahkan kemudian, mereka tidak kehilangan rasa. Sekitar 85 % pasien
kelemahan menjadi umum mengenai atau mempengaruhi juga otot anggota gerak.
Kelemahan anggota gerak pada MG sering pada bagian proksimal dan dapat asimetris.
Meskipun terdapat kelemahan otot, namun reflek tendo dalam (profunda) tetap bertahan.
Jika kelemahan pernafasan atau penelanan menjadi berat sampai membutuhkan bantuan
pernafasan atau intubasi pasien disebut dalam keadaan krisis. Pada beberapa orang, otot
diperlukan untuk pernafasan yang melemah. Keadaan ini mengancam nyawa.

F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan diarahkan pada perbaikan fungsi melalui pemberian obat
antikolinestrase dan mengurangi serta membuang antibodi yang bersikulasi
1. Obat anti kolinestrase :
a. Piridostigmin bromide (mestinon-kaplet), ambenonium klorida (Mytelase-injeksi),
neostigmin bromide (Prostigmin-injeksi).
b. Diberikan untuk meningkatkan respon otot terhadap impuls saraf dan meningkatkan
kekuatan otot, hasil diperkirakan dalam 1 jam setelah pemberian.
2. Terapi imunosupresif
a. Ditujukan pada penurunan pembentukan antibody antireseptor atau pembuangan
antibody secara langsung dengan pertukaran plasma.
b. Kortikostreoid menekan respon imun, menurunkan jumlah antibody yang
menghambat.
c. Pertukaran plasma (plasmaferesis) menyebabkan reduksi sementara dalam titer
antibodi
3. Thimektomi (pengangkatan kalenjer thymus dengan operasi) menyebabkan remisi
subtansial, terutama pada pasien dengan tumor atau hiperlasia kalenjer tim

G. PATHWAY

Autoimun Faktor pemicu : Idiopatik


Post Operasi

Pengurangan jumlah Acetikolin


Reseptor ( AChRs) / penurunan
aceticolin (ACh)

Kerusakan pd transmisi
Kerusakan Neuro musculer
impuls saraf menuju sel otot
Juntion pada saraf kranial
(neuromusculer juntion)

Penglihatan kembar,
Kesulitan
kelopak mata jatuh, Kelemahan otot-
mengunyah
gangguan gerak bola otot volunter
& menelan
mata, kesulitan berbicara
Gangguan Hambatan Intoleransi
menelan komunikasi verbal aktivitas

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
 

A. Kasus
Tn. A dengan umur 40 dirawat di ICU Dr. Soetomo pada tanggal 22 April 2022
dengan diagnosis masuk : Krisis miastenia gavis . Pasien tetap sadar dan mengerti
pembicaraan dengan keluhan berkunang-kunang/tidak jelas, pasien sering nyeri dan
lemas saat melakukan aktivitas seperti kekurangan energy saat menggerakan organ
tubuhnya. Wajahnya tampak pucat. Tanda-tanda vital :TD : 120/80mmHg, S : 38’C,
R : 20x/menit, N : 100x/menit.
Kekuatan otot 3,3,3,3. Dan dilakukan pemeriksaan penunjang dengan tes darah.AchR-
ginding anti bodies meningkat , AC hR-modulating anti bodies meningkat.
Antistriational anti bodies meningkat

B. Pengkajian
1. Identitas
Nama : Tn. A
Umur : 40 tahun
jenis kelamin : laki-laki
alamat : Jl. Tangkuban Perahu no. 10 Surabaya
pekerjaan : Wiraswata
agama : islam
MRS : 22-04-2022
nomer register : 1010101
2. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan Utama : Kelemahan otot 
Riwayata penyakit sekarang :

P : kekurangan energy saat akan melakukan aktivitas, anoreksia
Q : kekuatan otot dengan skala 3,3,3,3
R : lemas dirasakan pada seluruh tubuh
S : sering nyeri dan lemas saat melakukan aktivitas di sawah
T : dirasakan pada saat di atas jam 9 pagi

3. Riwayat penyakit dahulu


tidak ada penyakit yang pernah diderita
4. OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN KLINIS
a. Keadaan umum : Wajah tampak pucat, Kesadaran somnolen
b. TTV :
TD : 120/80mmHg,
S : 38’C,
RR : 20x/menit, 
N : 100x/menit.
c. Pemeriksaan Fisik

 B1 (Breathing)
 pola nafas : teratur
pernafasan cuping hidung : (-)
suara nafas : Reguler
 B2 (Blood)
Keluhan nyeri dada : ya
CRT : > 3 dtik , Irama jantung : irregular
 B3 (Brain)
Kesadaran : menurun
Pusing, nyeri kepala
 B4 (Bladder)
Uremia
keluhan : Uremia Alat bantu : tidak terpasang alat bantu (kateter)
 B5 (Bowel)
Mukosa mulut: Kering, adanya stomatitis
BAB : 3X sehari (konsistensi cair)
Mual/muntah : ya , Nyeri lambung : ya
 B6 (Bone)
Pergerakan sendi : terbatas
Kekuatan otot : 3-3-3-3
Kulit : purpura

5. Fungsi Nervus Cranialis


a. Nervus I : Normal, tidak anosmia.
b. Nervus II : Diplopia
c. Nervus III : Tidak ada gangguan gerak bola mata ke atas luar, atas dalam, bawah
luar, medial.
d. Nervus IV: Tidak ada gangguan gerak bola mata ke bawah dalam
e. Nervus V : Tidak ada gangguan, pasien kesulitan mengunyah
f. Nervus VI: Tidak ada gangguan gerak bola mata ke lateral samping.
g. Nervus VII : Normal, tidak ada bells spalsi, pasien masih bisa merasakan
manis, asam, asin.
h. Nervus VIII: Normal, pasien masih bisa mendengar dengan baik, keseimbangan
pasien baik.
i. Nervus IX: Tidak ada gangguan, pasien merasa kesulitan untuk menelan.
j. Nervus X : Tidak ada gangguan, reflek muntah (-)
k. Nervus XI: Normal.
l. Nervus XII : Lidah tidak atrofi tapi ada kelemahan di lidah sehingga pasien
kesulitan untuk berbicara.
6. Antropometri:
a. Sebelum sakit :
BB : 56 kg
TB : 154 cm
b. Sesudah sakit :
BB : 55,8 kg
TB : 154 cm
7. Head to toe
a. Inspeksi
 Kepala : Mesocephal
 Mata : Mata kanan dan kiri tampak normal
 Hidung : tidak ada polip, fungsi penciuman baik.
 Mulut : pasien tidak kesulitan untuk mengunyah, menelan dan
berbicara.
 Leher : Tidak ada pembesaran thyroid
 Dada : Simetris, tidak ada benjolan, tidak ada kelainan bentuk dada,
tidak ada tarikan dinding dada, A:P = 1:2
 Punggung : Simetris, tidak ada benjolan, tidak ada kelainan bentuk
tulang belakang.
 Abdomen : ada bekas luka operasi SC, sudah kering, tidak
terdapat pus atau darah, tidak ada benjolan.
 Bokong : Simetris, tidak ada kelainan.
 Ekstermitas Atas : pasien terlihat lemah pada kedua tangan apalagi
setelah melakukan aktivitas.
• Ekstermitas bawah : pasien terlihat lemah pada kedua kaki apalagi setelah
melakukan aktivitas.
 Palpasi :
Dada : tidak ada kelainan, Vocal Premitus : getaran dinding dada sama
antara dada kanan dan dada kiri.
• Abdomen : tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan di empat kuadran.
 Percusi :
• Dada :
Dada kanan : resonan
Dada kiri : dullnes
Dada perbatasan Epigastrium : Thympani
• Abdomen : Thympani
 Auskultasi
• Dada : suara nafas bronchial : Tubular sound, Bronchovesikular, Vesikular
normal,
8. Program Therapy :

a. Infus RL 20 tts / mnt


b. Mestinon kaplet 3 x 25 mg
c. Licodexon 3 x 0,5 mg
C. ANALISA DATA

MASALAH
DATA ETIOLOGI
KEPERAWATAN
DS : Klien mengatakan bahwa Kelemahan otot Risiko cidera
pandangannya kunang-kunang/tidak jelas. pada mata

DO : TD : 120/80mmHg Akomodasi
S : 38’C menurun
RR : 20 x / menit
N : 100 x / menit Anoreksia (+)
Kekuatan otot 3-3,3,3 Dan dilakukan
pemeriksaan penunjang dengan tes
darah.AchR ginding anti bodies
meningkat, AChR-modulating anti
bodies meningkat. Antistriational anti
bodies meningka
DS : Klien mengatakan sulit untuk Kelemahan otot Gangguan aktivitas
melakukan aktifitas.

DO : TD : 120/80mmHg
S : 38’C
RR : 20 x / menit
N : 100 x / menit Anoreksia (+)
Kekuatan otot 3-3,3,3
Dan dilakukan pemeriksaan penunjang
dengan tes darah.AchR ginding anti
bodies meningkat, AChR-modulating
anti bodies meningkat. Antistriational
anti bodies meningka
D. Diagnosa keperwatan

1. Resiko tinggi cedera bd fungsi indra penglihatan tidak optimal


2. Gangguan aktivitas hidup sehari-hari yang berhubungan dengan kelemahan otot,
keletihan

E. Intervensi

No. Kriteri
D.x kep hasil/ekspektasi(luarana Intervensi
keperawatan)

1. Resiko tinggi Tujuan : Intervensi utama :


pencegahan cedera
cedera bd fungsi Setelah dilakukan
Observasi
indra perawatan 2X24 jam  Identifikasi area lingkungan
yang perpotensi
penglihatan kesadaran klien dapat
menyebabkan cedera
tidak optimal menghindari diri dari cidera  Identifikasi obat yang
KH: berpotensi menyebabkan
cedera
Pola hidup untuk  Identifikasi kesesuaian alas
menurukan faktor resiko kaki atau stoking elastis pada
ekstremitas bawah
dan melindungi diri dari Terapeutik
resiko cidera -Mengubah  Sediakan pencehayaan yang
memandai
lingkungan senyaman  Gunakan lampu tidur selama
mungkin jam tidur
 Sosialisasikan pasien dan
keluarga dengan lingkungan
ruang rawat (mis.
Penggunaan telpon, tempat
tidur, penerangan ruangan,
dan lokasi kamar mandi)
 Gunakaan alas lantai jika
berisiko mengalami cedera
serius
 Sediakan alas kaki antislip
 Sediakan pispos atau urinal
untuk eliminasi di tempat
tidur , jika perlu
 Pastikan bel panggilan atau
telfon mudah dijaungkau
 Pastikan barang-barang
pribadi mudah dijangkau
 Pertahankan posisi tempat
tidur di posisi terendah saat
digunakan
 Pastikan roda tempat tidur
atau kursi roda dalam kondisi
terkunci
 Gunakan pengaman tempat
tidur sesuai dengan kebijakan
fasilitas penyanan kesehatan
 Pertimbangkan penggunaan
alarm elektronik pribadi atau
alarm sensor pada tempat
tidur atau kursi
 Diskusikan mengenai latihan
dan terapi fisik yag
diperlukan
 Diskusikan mengenai alat
bantu mobilitas yang sesuai
(mis. Tongkat atau alat bantu
jalan)
 Diskusikan bersama anggota
keluarga yang dapat
mendampingi pasien
 Tingkatkan frekuensi
observasi dan pengawasan
pasien, sesuai kebutuhan
Edukasi
 Jelaskan alasan intervensi
pencegahan jatuh ke pasien
dan keluarga
 Anjurkan berganti posisi
secara perlahan dan duduk
selama beberapa menis
sebelum berdiri

2. Gangguan Tujuan : Intervensi utama : terapi


aktivitas
aktivitas hidup Setelah dilakukan
sehari-hari yang perawatan 2x24 jam klien Observasi
 Identifikasi defisit tingkat
berhubungan dapat bergerak dengan aktifitas
dengan rileks  Identifikasi kemampuan
berpartisifasi dalam aktifitas
kelemahan otot, KH:
tertentu
keletihan 1. dapat bergerak dengan  Identifikasi sumber daya
untuk aktifitas yang di
bebas
inginkan
2. kekuatan otot  Identifikas strategi
5-5-5-5 meningkatkan partisipasi
dalam aktifitas
 Identifikasi makna aktifitas
rutin (mis. Bekerja ) dan
waktu luang
 Monitor respon emosional,
fisik, soaial, dan spiritual
terhadap aktifitas
Terapeutik
 Fasilitas fokus pada
kemampuan, bukan defisit
yang dialami
 Sepekati komitmen untuk
meningkatkan frekuensi dan
renta aktifitas
 Fasilitasi memilih aktifitas
dan tetapkan tujuan aktifitas
yang konsisten sesuai
kemampuan fisik, fisikologis,
dan sosial
 Koordinasikan pemilihan
aktifitas sesuai usia
 Fasilitasi makna aktifitas
yang dipilih
 Fasilitasi trasnfortasi untuk
menghadiri aktifitas jika
sesuai
 Fasilitasi pasien dan keluarga
dalam menyesuaiakan
lingkungan untuk
mengkomodasi aktifitas yang
dipilih
 Fasilitasi aktifitas fisik rutin
(mis. Ambulasi,mobilisasi,
dan perawatan diri), sesuai
kebutuhan
 Fasilitasi aktifitas pengganti
saat mengalami keterbatasan
waktu, energi, atau gerak
 Aktifitas motorik untuk
merelaksasi otot
 Faslitasi aktifitas dengan
komponen memori implisit
dan emosional (mis. Kegiatan
keagamaan khusus) untuk
pasien demensia, jika perlu
 Libatkan dalam permainan
kelompok yang tidak
kompetiti, terstruktur, dan
aktif
 Tingkatkan terlibatan dalam
aktifitas rekreasi dan
diferfisikasi untuk
menurunkan kecemasan (mis.
Fokal grup, bola voli, tennis
meja, joging, berenang, tugas
sederhana, permainan
sederhana, tugas rutin, tugas
rumah tangga, perawatan
diri, dan teka-teki dan kartu)
 Libatkan keluarga dalam
aktifitas, jika perlu
 Fasilitasi mengembangkan
motivasi dan penguatan diri
 Fasilitasi pasien dan keluarga
memantau kemajuannya
sendiri untuk mencapai
tujuan
 Jadwalkan aktifitas dalam
rutinitas sehari-hari
 Berikan penguatan positif
atas partisifasi aktifitas
Edukasi
 Jelaskan metode aktifitas
fisik sehari-hari, jika perlu
 Ajarakan cara melakukan
aktifitas yang dipilih
 Anjurkan melakukan aktifitas
fisik sosial, spiritual, dan
koknitif dalam menjaga
fungsi kesehatan
 Anjurkan terlibat dalam
aktifitas kelompok atau
terapi, jika sesaui
 Anjurkan keluarga untuk
memberikan penguatan
positif atas partisifasi dalam
aktifitas

Kolaborasi
 Kolaborasi dengan terapis
okupasi dalam merencanakan
dan memonitor program
aktifitas, jika sesuai
 Rujuk pada pusat atau
program aktifitas komunitas,
jika perlu
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan
otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan. Myasthenia gravis dapat
mempengaruhiorang-orang dari segala umur. Namun lebih sering terjadi pada para
wanita sehingga kitasebagai perawat harus bisa menentukan diagnosa keperawatan
terhadap pasien denganmyastenia gravis serta perlu melakukan beberapa tindakan dan
asuhan kepada pasien denganmasalah tersebut.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologimiastenia gravis. Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik
terhadap reseptorasetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat
dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana
antibodi yang merupakan
produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Gejala klinis miastenia gravis antar
alain; Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis, Kelemahan otot penderita semakin
lamaakan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot
ocular, ototwajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahandari otot masseter sehingga mulut
penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbulkelemahan dari otot faring,
lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaranmenelan dan berbicara.
Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selainitu bila penderita
minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.
DAFTAR PUSTAKA

Padilla, Hari. 2017; STANDAR DIAGNOSIS KEPERAWATAN INDONESIA. Jakart


selatan :Dewan pengurus pusat. Kamis ,22 april 2022.
Padilla, Hari. 2018 ; STANDAR INTERENSI KEPERAWATAN INDONESIA. Jakarta selatan;
Dewan pengurus pusat. Kamis, 22 april 2022.
Ariselieng. 2015 https://www.scribd.com/doc/290823467/Askep-Miastenia-Gravis-docx.
Kamis, 22 april 2022.

Anda mungkin juga menyukai