Anda di halaman 1dari 47

REFERAT

PENGARUH TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN TERHADAP


MYASTHENIA GRAVIS

Penyusun :
Nessia Nurina Putri 2007.04.0.0116
Louis Richard Jonathan 2010.04.0.0004
Firly Viany 2010.04.0.0105
Marissa Leviani 2010.04.0.0112

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
RSAL DR. RAMELAN SURABAYA
2015

0
LEMBAR PENGESAHAN

Judul referat “Pengaruh Terapi Hiperbarik Oksigen Terhadap Myasthenia


Gravis” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas baca dalam
rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian
LAKESLA.

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ni Komang S.D.U,Sp.S

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkah dan rahmatNya, kami bisa menyelesaikan referat dengan
topik “Pengaruh Terapi Hiperbarik Oksigen Terhadap Myasthenia Gravis”
dengan lancar. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian LAKESLA RSAL dr.
RAMELAN Surabaya, dengan harapan dapat dijadikan sebagai tambahan
ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan
terima kasih kepada:
a. dr. Ni Komang S.D.U,Sp.S, selaku Pembimbing Referat.
b. Para dokter di bagian LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya.
c. Para perawat dan pegawai di LAKESLA RSAL dr. RAMELAN
Surabaya.
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.

Surabaya, Juli 2015

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................i
KATA PENGANTAR.....................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................3
2.1 Definisi Myasthenia Gravis................................................................3
2.2 Epidemiologi....................................................................................3
2.3 Anatomi, Fisiologi, dan Biokimia NMJ.............................................3
2.4 Patofisiologi.....................................................................................7
2.5 Gejala Klinis....................................................................................9
2.6 Klasifikasi......................................................................................10
2.7 Diagnosis.......................................................................................12
2.8 Penatalaksanaan..........................................................................18
2.9 Terapi Oksigen Hiperbarik............................................................24
2.9.1 Pengertian.................................................................................24
2.9.2 Hyperbarik chamber..................................................................25
2.9.3. Fisiologi terapi hiperbarik oksigen............................................25
2.9.4 Manfaat.....................................................................................28
2.9.5 Indikasi......................................................................................28
2.9.6 Kontraindikasi...........................................................................31
2.9.7 Komplikasi.................................................................................34
2.10 Pengaruh Terapi HBO Terhadap Myasthenia Gravis.....................35
BAB III KESIMPULAN................................................................................38
3.1 Kesimpulan......................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................41

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Myasthenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang disebabkan
oleh adanya autoantibodi spesifik untuk reseptor asetilkolin manusia (AChR),
yang terkonsentrasi di wilayah post sinaps dari neuromuscular junction.
Penyakit ini menyebabkan kelemahan otot dan kelelahan otot yang perlahan
tapi progresif. Gejala kelemahan otot, kelelahan otot yang tidak wajar, dan
peningkatan kekuatan otot setelah beristirahat merupakan karakter
myasthenia gravis. Gejalanya cenderung lebih buruk pada penghujung hari
atau selepas aktivitas, dan setelah penggunaan otot yang berulang-ulang
untuk melakukan suatu gerakan tertentu, misalnya mengunyah dan menelan.
Myasthenia gravis mempengaruhi semua ras dan dapat berkembang
pada usia apapun dari masa kanak-kanak sampai usia lanjut. Myasthenia
Gravis sebenarnya termasuk penyakit yang jarang terjadi, kejadian tahunan
diperkirakan 2 per 1.000.000. Pada pasien muda yang lebih sering
mengalaminya adalah perempuan, sedangkan pasien yang lebih tua, lebih
dari 50 tahun, lebih sering laki-laki. Perbandingan kejadian antara perempuan
dengan laki-laki adalah 6:4, tetapi seiring pertambahan penduduk, rasio
perbandingannya sekarang hampir sama. Orang-orang yang mewarisi
kecenderungan untuk mengembangkan penyakit autoimun akan
meningkatan risiko myasthenia gravis, sehingga pasien dengan myasthenia
gravis mungkin memiliki penyakit autoimun lainnya, seperti diabetes atau
penyakit tiroid, atau memiliki kerabat dengan penyakit autoimun. Myasthenia
gravis adalah tipe yang paling umum terjadi dari gangguan neuromuscular
junction nonherediter (62%), sebagian besar jenis gangguannya adalah
gangguan mata (89%).

1
Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada myasthenia gravis dan
peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui
beberapa penelitian. Hal ini meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibodi
AchR pada hampir 90% penderita myasthenia gravis, transfer pasif IgG pada
beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi imun kompleks
(IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek menguntungkan
dari plasmaparesis.
Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi myasthenia gravis
yang berbeda-beda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi
imunomodulasi dan imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik
pada penyakit ini.
Hiperbarik oksigen saat ini menjadi terapi yang sangat membantu
dalam penyakit klinis seperti stroke, diabetes, luka bakar maupun tuli
mendadak, dan lain-lain. Prinsip dari terapi oksigen hiperbarik ini adalah
memberikan asupan oksigen tingkat tinggi agar kerja dari setiap sel yang ada
di tubuh semakin baik dan optimal, diharapkan dapat membantu penyakit-
penyakit yang tergolong berbahaya dan mengancam jiwa dengan fungsi dari
oksigen tingkat tinggi tersebut dan dengan efek samping yang minimal.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI MYASTHENIA GRAVIS


Myasthenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang
dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat
beraktivitas3,4.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot
akan pulih kembali. Hal ini disebabkan karena adanya antibodi yang
bersirkulasi dan melawan komponen membran motor post-sinaps atau
pada neuromuscular junction3.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Myasthenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat
terjadi pada berbagai usia. Seringkali penyakit ini tampak pada usia 20-
50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria
dengan rasio perbandingan wanita dan pria adalah 6 : 4. Pada wanita,
penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun,
sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun 3,4.

2.3 ANATOMI, FISIOLOGIS, DAN BIOKIMIA NEUROMUSCULAR


JUNCTION
2.3.1 Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang myasthenia gravis, penting untuk
mengetahui tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular
junction. Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali
dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-
ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular
junction atau sambungan neuromuskular7.

3
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya
yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang
terdapat di sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran
saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps
merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction7.

Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular Junction

2.3.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction


Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan
membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi
oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat
retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara
difusi7.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi
asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal
namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil,
yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir
motorik (motor end plate).
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125
kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps.

4
Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi
difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini
kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin.
Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan
asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi
sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada
membran post sinaptik7.
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction
dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan
menggunakan enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi
berikut ini:
Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran
yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta
tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan
isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga
menghasilkan potensial endplate yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf
mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini
akan membuka saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik
sehingga memungkinkan aliran masuk Ca 2+ dari ruang sinaps ke terminal
saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis
yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga
sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah
sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan
bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor

5
asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan
terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor,
maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka
saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi
membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran
otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan
menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial
aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul
kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis
oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina
basalis rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport
aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis
asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan
saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin.
Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-
masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin
memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran
tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post
sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial
setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic
potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium
telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran
otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot 7.

6
Beberapa sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscular junction adalah
sebagai berikut:7
 Merupakan reseptor nikotinik (nikotin adalah agonis terhadap reseptor)
 Merupakan glikoprotein bermembran dengan berat molekul sekitar 275
kDa.
 Mengandung lima subunit, terdiri dari 2 protein alfa, dan masing-masing
satu protein beta, delta, dan gamma
 Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran
ion, yang memungkinkan aliran baik Na+ maupun K+.
 Autoantibody terhadap reseptor termasuk penyebab myasthenia gravis.

Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction5

2.4 PATOFISIOLOGI
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting
pada patofisiologi myasthenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal

7
ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang
menderita myasthenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain 4.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi
pada serum penderita myasthenia gravis secara langsung melawan
konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada
melemahnya otot penderita dengan myasthenia gravis. Tidak diragukan lagi,
bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab
utama kelemahan otot pasien dengan myasthenia gravis. Autoantibodi
terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90%
pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap
reseptor asetilkolin pada penderita myasthenia gravis belum sepenuhnya
dapat dimengerti. Myasthenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit
terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru
melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis myasthenia
gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap
imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien
dengan gejala miastenik4.
Pada pasien myasthenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam
berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung
melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga
merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin
pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi
neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor
asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga

8
mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-
reseptor asetilkolin yang baru disintesis4.

2.5 GEJALA KLINIS


Myasthenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila
sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada
siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat 4.
Gejala klinis myasthenia gravis antara lain :
 Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis
Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus
okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita myasthenia
gravis. Walupun pada myasthenia gravis otot levator palpebra jelas
lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal.
Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan
melengkapi ptosis myasthenia gravis. Kelemahan otot bulbar juga
sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi
kepala4.

Gambar 3. Penderita Myasthenia Gravis yang mengalami kelemahan

9
otot esktraokular (ptosis).
 Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.
Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah,
otot leher, hingga ke otot ekstremitas4.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter
sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula
timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring
sehingga timbulah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari
palatum mole akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila
penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.

2.6 KLASIFIKASI MYASTHENIA GRAVIS


Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA),
myasthenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut 7:
a. Klas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata,
dan kekuatan otot-otot lain normal.
b. Klas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya
kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
c. Klas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
d. Klas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan
dibandingkan klas IIa.
e. Klas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot
lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.

10
f. Klas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g. Klas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,
atau keduanya dalam derajat ringan.
h. Klas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat
yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam
berbagai derajat.
i. Klas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j. Klas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota
tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita
menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
k. Klas V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala myasthenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak
akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca
panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus
otot tampaknya agak menurun3.
Myasthenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti
dibawah ini3 :
a. Myasthenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.

11
b. Myasthenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk
untuk mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun
dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Myasthenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan
otot-otot okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat
meninggal dunia.

2.7 DIAGNOSIS MYASTHENIA GRAVIS


2.7.1 Penegakan Diagnosis Myasthenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis suatu myasthenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam
berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal
dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks
tendon biasanya masih ada dalam batas normal 4.
Myasthenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan
pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan
timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang
horizontal4.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan
myasthenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot
palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal
twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke
hidung penderita. Selain itu, penderita myasthenia gravis akan mengalami
kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi
aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat
minum. Kelemahan otot-otot rahang pada myasthenia gravis menyebakan
penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus
ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan,
sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher 4.

12
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota
tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot
anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan
tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep
lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah,
sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan
dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari
kaki4.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal
napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan
tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal
serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan
berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat
menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat
terhadap fungsi respirasi pada pasien myasthenia gravis fase akut sangat
diperlukan4.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan
tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal
ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu
myasthenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis
akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia,
yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang
disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi 4.
Untuk penegakan diagnosis myasthenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan
sebagai berikut3 :
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi
kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.

13
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus.
Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau
atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian
tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
Untuk memastikan diagnosis myasthenia gravis, dapat dilakukan
beberapa tes antara lain3 :
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara
intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-
otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis.
Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh myasthenia gravis, maka ptosis itu
akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan
dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh myasthenia gravis maka gejala-gejala
seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian
akan lenyap.
3. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3
tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh myasthenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus,
dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga
injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.

2.7.2 Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti


2.7.2.1 Pemeriksaan Laboratorium
 Anti-asetilkolin reseptor antibodi

14
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
myasthenia gravis, dimana terdapat hasil yang positif pada 74% pasien. 80%
dari penderita myasthenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan
myasthenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor
antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa myasthenia gravis sering
kali terjadi false positive anti-AChR antibody4.
Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor
antibody, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut 4:
Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Myasthenia Gravis
Osserman Class Mean antibody Titer Percent Positive
R 0.79 24
I 2.17 55
IIA 49.8 80
IIB 57.9 100
III 78.5 100
IV 205.3 89
Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB =
moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe4
Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada
penderita myasthenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer
tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit
myasthenia gravis.
 Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita myasthenia gravis.
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita
thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma
dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
 Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita myasthenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR
Ab negatif (myasthenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif
untuk anti-MuSK Ab.

15
 Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan myasthenia gravis menunjukkan
adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka
dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor
protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien
thymoma dengan myasthenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR
antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma
pada pasien muda dengan myasthenia gravis.

2.7.2.2 Imaging4
 Chest x-ray (foto roentgen thorax)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen
thorax, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian
anterior mediastinum.
 Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya
thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest CT-
scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus myasthenia
gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.
 MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai
pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis myasthenia
gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya
dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

16
Gambar 4. CT scan thorax menunjukkan adanya massa mediastinum
anterior (thymoma) pada pasien dengan myasthenia gravis
2.7.2.3 Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik4 :
 Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita myasthenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor
asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
 Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter
(variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot
tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial
aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG
mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan jitter dan fiber density yang normal.

2.7.3 Diagnosis Banding


Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis myasthenia
gravis, antara lain3,4:
 Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus
III pada beberapa penyakit elain myasthenia gravis, antara lain :
o Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
o Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
o Paralisis pasca difteri
o Pseudoptosis pada trachoma
 Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan
adanya suatu sklerosis multiple.
 Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

17
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan
kelelahan pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan
kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi
peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi
hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu
karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.

2.8 PENATALAKSANAAN
Pengobatan dari myasthenia gravis menggunakan dua kelompok obat
yaitu anticholinesterase dan obat immunosupresif termasuk kortikosteroid,
dan pada saat fase akut dapat dilakukan plasmapheresis dan pemberian
IVIg.
2.8.1 Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut
2.8.1.1 Plasma Exchange (PE)5
Untuk myasthenia yang parah dan tidak mempunyai efek atau efek
minimal terhadap pengobatan anticholinesterase dan prednison, atau pada
saat fase akut yang memburuk dapat terjadi remisi dalam 2 hingga 8 minggu
setelah dilakukan plasmapheresis. Terapi ini sangat berguna dalam keadaan
myasthenic crisis dan dapat digunakan sebelum atau setelah thymectomy
dan pada saat awal permulaan terapi obat immunosupresif.
Volume yang digunakan adalah 2 hingga 3,5 L (kurang lebih
125mL/kg). Plasma yang dibuang digantikan dengan albumin (5%) dengan
larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium. Dapat
diperkirakan bahwa dalam 2 liter yang ditukar dapat membuang 80% antibodi
yang bersirkulasi dan dapat dilihat dari menurunnya antibodi terhadap ACh
dalam 3 hingga 5 hari.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran
cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium,
dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia
dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada

18
terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang
dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-
frozen plasma tidak diperlukan.

2.8.1.2 Intravenous Immunoglobulin (IVIG)5


Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-
activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena.
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG
diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody
tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak
terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat
muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.
IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE,
karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya
beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak
terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak
pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk
pasien dalam kondisi krisis.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,
dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki
keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang
dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri
kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga
tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam,
menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam
pertama.

2.8.1.3 Intravenous Methylprednisolone (IVMp)2

19
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak
ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon
masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian.
Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi
kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga.
Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.
Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terapi
lain gagal atau tidak dapat digunakan.

2.8.2 Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang


2.8.2.1 Obat anticholinesterase
Dua obat yang memberikan efek paling baik dalam memperbaiki
kelemahan pada myasthenia gravis adalah neostigmine (prostigmin) dan
pyridostigmine (mestinon). Dosis yang biasa digunakan untuk pyridostigmine
adalah 30-90 mg diberikan tiap 6 jam. Sedangkan untuk dosis neostigmine
7,5-45 mg yang diberikan tiap 2-6 jam secara oral. Biasanya diberikan pada
saat malam dikarenakan banyaknya pasien yang mengeluh adanya
kelemahan pada saat malam atau pagi hari.
Untuk kasus yang ringan, pada pasien dengan remisi parsial setelah
thymektomi, dan untuk kasus yang murni myasthenia occular , penggunaan
obat anticholinesterase merupakan terapi yang diperlukan. Meskipun obat ini
jarang menyembuhkan gejala secara komplit (misal gejala pada mata),
namun kebanyakan pasien merasakan perbaikan.

20
Gambar 5. Obat Anticholinesterase

2.8.2.2 Kortikosteroid2
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling
murah untuk pengobatan myasthenia gravis. Kortikosteroid juga digunakan
untuk pasien dengan kelemahan sedang hingg berat yang tidak merespon
adekuat terhadap anticholinesterase. Respon terhadap pengobatan
kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi.
Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-
rata selama 3 bulan.
Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan
efek terapi yang pasti terhadap myasthenia gravis masih belum diketahui.
Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan
pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang
teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam
memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada myasthenia
gravis. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami
penurunan dari titer antibodinya.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang
sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.
Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian

21
dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis
diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis,
diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.

2.8.2.3 Azathioprine2
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien myasthenia gravis yang
secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis
tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog
dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida
pada DNA dan RNA.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga
dosis optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif
dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya.
Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan
dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus,
kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi
yang lain.

2.8.2.4 Cyclosporine2
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2
dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek
pada produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5
mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap
Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat
menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.

22
2.8.2.5 Cyclophosphamide (CPM)
CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan
secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori
CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat
lainnya.

2.8.3 Thymectomy (Surgical Care)9


Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan
myasthenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma denga
atau tanpa myasthenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan
penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian
myasthenia gravis. Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai
penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian myasthenia
gravis. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga
timus kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi
imunologi pada myasthenia gravis.
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya
perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang
harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen
dari pasien9.
Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa
thymektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi myasthenia gravis,
walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak
dapat dibuktikan oleh standar yang seksama. Secara umum, kebanyakan
pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah
thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak
ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya besarnya
angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari
jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang

23
tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60%
lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan 9.

Gambar 4. Kelenjar Thymus9

2.9 TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN


2.9.1 Pengertian
Kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang masalah
kesehatan yang timbul akibat pemberian tekanan lebih dari 1 Atmosfer (Atm)
terhadap tubuh dan aplikasinya untuk pengobatan.10
Kesehatan hiperbarik, khususnya terapi oksigen hiperbarik merupakan
terapi yang sudah banyak digunakan untuk penyakit penyelaman maupun
penyakit bukan penyelaman baik sebagai terapi utama maupun terapi
tambahan.10
Yang dimaksud dengan terapi oksigen hiperbarik adalah tindakan
pengobatan dimana pasien menghirup oksigen murni (100%) secara berkala
ketika menyelam atau di dalam ruang udara yang bertekanan tinggi (RUBT)
dengan tekanan lebih besar daripada 1 ATA ( Atmosfir Absolut). 10,11
Tekanan 1 atmosfer (760 mmHg) adalah tekanan udara yang dialami
oleh semua benda, termasuk manusia, diatas permukaan laut, bersifat tetap
dari semua jurusan dan berada dalam keseimbangan 10.
Meskipun banyak keuntungan dari terapi oksigen hiperbarik yang
dapat diperoleh, cara ini pun juga mengandung resiko. Sebab itu terapi

24
oksigen harus dilaksanakan secara hati-hati sesuai prosedur yang berlaku,
sehingga mencapai hasil yang maksimal dengan resiko minimal 10.

2.9.2 Hyperbarik chamber


Terapi oksigen hiperbarik pada suatu ruang hiperbarik (hyperbaric
chamber) yang dibedakan menjadi 2, yaitu:
- Monoplace : pengobatan satu penderita
- Multiplace : pengobatan untuk beberapa penderita pada waktu
bersamaan dengan bantuan masker tiap pasiennya
Pasien dalam suatu ruangan menghisap oksigen 100% bertekanan
tinggi > 1 ATA. Tiap terapi diberikan selama 2-3 ATA, menghasilkan 6 ml
oksigen terlarut dalam 100 ml plasma, dan durasi rata-rata terapi 60-90
menit. Jumlah terapi bergantung dari jenis penyakit. Untuk akut sekitar 3-5
kali dan untuk kasus kronik bisa mencapai 50-60 kali. Dosis yang digunakan
pada perawatan tidak boleh lebih dari 3 ATA karena tidak aman untuk pasien
dan mempunyai efek imunosupresif. 12

2.9.3. Fisiologi terapi hiperbarik oksigen


Terdapat 3 hukum yang berperan dalam terapi oksigen hiperbarik,
yaitu 10,11 :
 Hukum Boyle
Pada suhu tetap, tekanan berbanding terbalik dengan volume.
P1V1 = P2V2 = P3V3.....= K
Ini adalah dasar untuk banyak aspek terapi hiperbarik. Dasar ini terjadi
ketika tuba eustachius tertutup mencegah pemerataan tekanan gas sehingga
kompresi gas memberikan rasa nyeri di telinga bagian tengah . Pada pasien
yang tidak bisa secara independen melakukan ekualisasi tekanan,
tympanostomy harus dipertimbangkan untuk menyediakan saluran antara
bagian dalam dan ruang telinga bagian luar. Demikian pula, gas yang

25
terperangkap dapat membesar dan membahayakan selama dekompresi,
seperti pada pneumotoraks yang terjadi selama pemberian tekanan.
 Hukum Dalton
Tekanan total suatu campuran gas adalah sama dengan jumlah
tekanan parsial dari masing – masing bagian gas.
P = P1 + P2 + P3 +.....
 Hukum Henry
Jumlah gas terlarut dalam cairan atau jaringan berbanding lurus
dengan tekanan parsial gas tersebut dalam cairan atau jaringan pada suhu
yang tetap.
Ini adalah dasar teori untuk meningkatkan tekanan oksigen jaringan
dengan pengobatan HBO. implikasi pada kasus dimana seseorang bernafas
menggunakan oksigen 100% bertekanan tinggi, sehingga konsentrasi gas
inert pada jaringan (terutama nitrogen) juga akan meningkat. Nitrogen dapat
larut dalam darah dan juga dapat keluar dari plasma membentuk emboli gas
arterial selama fase dekompresi.
Fisiologi dari HBO bermacam-macam yakni :
1. Peningkatan jumlah oksigen terlarut dalam jaringan.Sebagian besar
oksigen yang dibawa dalam darah terikat pada hemoglobin, dimana 97%
tersaturasi pada tekanan atmosfer, Namun beberapa oksigen dibawa oleh
plasma. Pada bagian ini akan meningkat pada terapi hiperbarik sesuai
dengan hukum Henry yang akan memaksimalkan oksigenasi jaringan. Ketika
menghirup udara normobaric, tekanan oksigen arteri adalah sekitar 100
mmHg, dan tekanan oksigen jaringan sekitar 55 mmHg. Namun, oksigen
100% pada tekanan 3 ATA dapat meningkatkan tekanan oksigen arteri 2000
mmHg, dan tekanan oksigen jaringan menjadi sekitar 500 mmHg, dan hal ini
memungkinkan pengiriman 60 ml oksigen per liter darah ( dibandingkan
dengan 3 ml/l pada tekanan atmosfer ), yang cukup untuk mendukung
jaringan beristirahat tanpa kontribusi dari hemoglobin. Karena oksigen terlarut
banyak di dalam plasma maka dapat menjangkau daerah-daerah yang

26
terhambat di mana sel-sel darah merah tidak bisa lewat, dan juga dapat
mengaktifkan oksigenasi jaringan bahkan meskipun terdapat gangguan
hemoglobin yang berperan dalam pengangkutan oksigen, seperti pada
keracunan gas karbon monoksida dan anemia berat .11,13
2. Peningkatan gradien difusi oksigen ke dalam jaringan. Tekanan partial
oksigen yang tinggi dalam kapiler darah memberikan gradien yang besar
untuk poses difusi oksigen dari darah ke jaringan. keadaan tersebut sangat
berguna untuk jaringan yang hipoksia akibat angiopati mikrovaskular seperti
pada diabetes dan radiation necrosis. Selain itu, HBO juga membantu
menstimulasi angiogenesis dan mengatasi defek patologis primer karena
penurunan infiltrasi leukosit dan vasokonstriksi dalam jaringan iskemik.11,13
3. Vasokonstriksi arteriolar. Hyperoxic menyebabkan vasokonstriksi yang
cepat dan signifikan pada sebagian besar jaringan. HBO juga biasanya
meningkatkan resistensi vaskular sistemik, bradikardi serta menurunkan CO
sebesar 10-20%, dengan Stroke Volume masih terpelihara. Meskipun
demikian, hal ini masih dikompensasi oleh peningkatan pengangkutan
oksigen plasma yang 2 kali lebih besar daripada biasanya.10,11
4. Efek terhadap pertumbuhan bakteri. HBO meningkatkan pembentukan
radikal bebas oksigen, yang mengoksidasi protein dan lipid membran , yang
kemudian akan menyebabkan kerusakan DNA sehingga mencegah
multiplikasi, menghambat fungsi metabolisme bakteri serta memfasilitasi
sistem peroksidase yang digunakan leukosit untuk membunuh bakteri. HBO
sangat efektif terhadap bakteri anaerob dan bakteri microaerophilic 11
5. Efek pada reperfusion injury. HBO menstimulasi pertahanan melawan
radikal bebas oksigen dan peroksidase lipid yang terjadi. Pada reperfusion
injury, leukosit menempel pada endotel venule, kemudian terjadi pengeluaran
unidentified humoral mediators yang menyebabkan konstriksi arteriol lokal.
HBO mencegah proses tersebut dengan memperbaiki hidup dari kulit atau
bahkan tungkai yang diimplatasi.13

27
2.9.4 Manfaat
a. Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan tubuh,
bahkan pada aliran darah yang berkurang
b. Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan
aliran darah pada sirkulasi yang berkurang
c. Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob seperti
Closteridium perfingens (penyebab penyakit gas gangren)
d. Mampu menghentikan aktivitas bakteri (bakteriostatik) antara lain
bakteri E. coli dan Pseudomonas sp. yang umumnya ditemukan pada
luka-luka mengganas.
e. Mampu menghambat produksi racun alfa toksin.
f. Meningkatkan viabilitas sel atau kemampuan sel untuk bertahan hidup.
g. Menurunkan waktu paruh karboksihemoglobin dari 5 jam menjadi 20
menit pada penyakit keracunan gas CO
h. Dapat mempercepat proses penyembuhan luka dengan pembentukan
fibroblast
i. Meningkatkan produksi antioksidan tubuh tertentu
j. Mereduksi ukuran bubble nitrogen
k. Mereduksi edema
l. menahan proses penuaan dengan cara pembentukan kolagen yang
menjaga elastisitas kulit
m. badan menjadi lebih segar, badan tidak mudah lelah, gairah hidup
meningkat, tidur lebih enak dan pulas14,15.

2.9.5 Indikasi
Indikasi kondisi akut (di mana terapi HBO harus diberikan awal dan
dikombinasikan dengan pengobatan konvensional) yaitu 15 :
1. Ulkus yang tidak mengalami penyembuhan, luka bermasalah, cangkok
kulit yang mengalami reaksi penolakan.

28
Luka mempunyai masalah mendasar yaitu hipoksia jaringan
dengan tekanan oksigen biasanya dibawah 20 mmHg, dan cenderung
untuk terjadi infeksi. Dengan HBO 2-3 ATA selama 2 jam, oksigen
meningkatkan vascular endothelial growth factor (VEGF) pada sel
endotel. Melalui siklus krebs akan terjadi peningkatan NADH yang
memicu fibroblast yang diperlukan untuk mensintesis kolagen pada
proses remodelling. Selain itu, oksigen penting dalam hidroksilasi lisin
dan prolin selama proses sintesis dan penyatuan kolagen. Pada
bagian luka juga terdapat edema dan infeksi. Di bagian edema
terdapat radikal bebas dalam jumlah besar, mengalami kondisi
hipooksigenasi karena hipoperfusi. Pembentukan fibroblast akan
mendorong terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipervaskular,
hiperseluler dan hiperoksia. Sedangkan infeksi diatasi oleh daya
fagositosis leukosit, peningkatan pembentukan radikal bebas,
kemudian mengaktifkan peroksidase.
2. Acute Traumatic Ischaemias (Crush injury, sindrom kompartemen, dll)
Pada kasus ini kemungkinan besar ekstrimitas terjadi nekrosis
atau amputasi dan komplikasi sekunder untuk terjadi infeksi, luka yang
tidak sembuh dan ununited fraktur. Penatalaksanaannya dengan cara
pembedahan, antibiotik, serta terapi HBO sebagai terapi adjuvant.
Mekanisme HBO terhadap kasus ini adalah dengan cara
meningkatkan jumlah oksigen ke jaringan, mereduksi edema, serta
memediasi efek reperfusion injury.
3. Clostridial myonecrosis (Gangrene Gas)
Clostridium welchii tidak dapat memproduksi toksin alfa ketika
pasien menjalani HBO. Organisme tersebut tidak mati, toksin tidak
dapat didetoksifikasi oleh HBO dan toksin dapat bertahan selama 30
menit. Selain HBO, pembedahan dan antibiotik (aminoglikosida,
quinolones, sulfa, dan amfotericin B) juga penting dalam
penatalaksanaannya.

29
4. Necrotizing Soft Tissue Infections (jaringan subkutan, otot, fascia)
Penatalaksanaan primer berupa debridement dan pemberian
antibiotik. Sedangkan HBO sebagai terapi tambahan dengan
mekanisme kerja meningkatkan daya fagositas leukosit terhadap
bakteri, menghambat pertumbuhan organisme anaerob, serta
meningkatkan potensi reduksi oksidasi.
5. Kehilangan darah yang luar biasa (anemia)
HBO berperan dalam menyuplai oksigen yang cukup untuk
menyokong kebutuhan dasar metabolik pada masing-masing jaringan
tubuh sampai sel darah merah kembali normal.
6. Abses intrakranial
Terapi HBO direkomendasikan sebagai terapi adjuvant karena
sangat menguntungkan membunuh bakteri anaerob, mereduksi
edema, meningkatkan sistem pertahanan tubuh dan mencegah
terjadinya osteomyelitis.
7. Encephalopathy Post-anoxic
HBO meningkatkan suplai oksigen ke neuron yang iskemik,
mereduksi edema, dan mengembalikan fleksibilitas eritrosit.
8. Luka bakar (Thermal Burns)
HBO berperan dalam mempertahankan jaringan yang masih
viable, memperbaiki mikrosirkulasi, mengurangi edema, mempercepat
epitelialisasi, dan menurunkan produksi laktat.
9. Tuli mendadak (sudden deafness)
10. Iskemik patologis pada mata (visual vascular pathology)
HBO berperan dalam mereduksi vasogenic edema pada retinal
venous thrombosis.
11. Emboli udara atau gas *
12. Decompression sickness *
13. Keracunan gas karbon monoksida dan menghirup asap *

30
HBO pada tekanan 2,5 ATA mereduksi waktu paruh
carboxyhemoglobin dari 4-5 jam menjadi 20 menit atau kurang
sehingga mencegah delayed neuropsychological sequel dan terminasi
biochemical deterioration.
Nb: * Kuratif / lini utama dari pengobatan
Indikasi kondisi kronis yaitu :
1. Ulkus yang tidak mengalami penyembuhan / luka bermasalah
(diabetes / vena dll)
2. Radiasi yang menyebabkan kerusakan jaringan
HBO dapat menginduksi neovaskularisasi dan meningkatkan
tekanan oksigen jaringan.
3. Cangkok kulit dan penutup (yang mengalami reaksi
penolakan/rejection)
4. Osteomielitis kronis
Peran HBO dengan cara meningkatkan level oksigen pada
tulang dan jaringan, menstimulasi angiogenesis, meningkatkan daya
fagositosis, membantu efek aminoglikosid menembus dinding sel
bakteri dan aktivitas osteoklast dalam menghilangkan tulang yang
nekrosis.

2.9.6 Kontraindikasi
a. Kontraindikasi absolut:
 Pneumothorax
Kontraindikasi absolut adalah pneumothorax yang belum
dirawat, kecuali bila sebelum pemberian oksigen hiperbarik dapat
dikerjakan tindakan bedah untuk mengatasi pneumothorax tersebut
 Keganasan
Selama beberapa tahun orang beranggapan bahwa keganasan
yang belum diobati atau keganasan metastasik dapat menjadi lebih
buruk pada pemakaian oksigen hiperbarik untuk pengobatan dan

31
termasuk kontraindikasi absolut kecuali pada keadaan-keadaan luar
biasa. Namun penelitian-penelitian yang dikerjakan akhir-akhir ini
menunjukan bahwa sel-sel ganas tidak tumbuh lebih cepat dalam
suasana oksigen hiperbarik, biasanya secara bersama –sama juga
menerima terapi radiasi atau kemoterapi.

 Kehamilan
Kehamilan juga dianggap kontraindikasi karena tekanan parsial
oksigen yang tinggi berhubungan dengan penutupan patent ductus
arteriosus sehingga pada bayi prematur secara teori dapat terjadi
fibroplasia retrolental. Namun penelitian yang kemudian dikerjakan
menunjukan bahwa komplikasi ini tidak terjadi.

b. Kontraindikasi relatif
 ISPA
Menyulitkan penderita untuk melaksanakan ekualisasi. Dapat
ditolong dengan penggunaan dekongestan atau melakukan
miringotomi bilateral
 Sinusitis kronis
Sama dengan ISPA
 Penyakit kejang
Menyebabkan penderita lebih mudah terserang konvulsi
oksigen. Bilamana perlu penderita dapat diberikan anti-konvulsan
sebelumnya.
 Emfisema dengan retensi CO2
Ada kemungkinan bahwa penambahan oksigen lebih dari
normal akan menyebabkan penderita secara spontan berhenti
bernafas akibat rangsangan hipoksik. Pada penderita dengan
penyakit paru yang disertai retensi CO2, terapi oksigen hiperbarik
dapat dikerjakan bila penderita diintubasi atau memakai ventilator.

32
 Panas tinggi yang tidak terkontrol
Merupakan predisposisi terjadinya konvulsi oksigen.
Kemungkinan ini dapat diperkecil dengan pemberian obat antipiretik
dan anti konvulsan.
 Riwayat penumothorax spontan
Penderita yang mengalami pneumothorax spontan dalam RUBT
tunggal akan menimbulkan masalah tetapi di dalam RUBT kamar
ganda dapat dilakukan pertolongan-pertolongan yang memadai.
Sebab itu bagi penderita yang mempunyai riwayat pneumothorax
spontan harus dilakukan persiapan-persiapan untuk mengatasi hal
tersebut.
 Riwayat operasi dada
Menyebabkan terjadinya luka dengan air trapping yang timbul
saat dekompresi. Setiap operasi dada harus diteliti kasus demi kasus
untuk menentukan langkah-langkah yang harus diambil. Tetapi jelas
dekompresi harus dilakukan secara lambat.
 Riwayat operasi telinga
Operasi pada telinga dengan penempatan kawat atau topangan
plastik di dalam telinga setelah stapedoktomi, mungkin suatu
kontraindikasi pemakaian oksigen hiperbarik sebab perubahan
tekanan dapat mengganggu implan terseut konsultasi dengan
spesialis THT perlu dilakukan.
 Kerusakan paru asimptomatis yang nampak secara radiologis
Memerlukan proses dekompresi yang sangat lambat. Menurut
pengalaman, waktu dekompresi antara 5-10 menit tidak menimbulkan
masalah.
 Infeksi virus
Pada percobaan binatang ditemukan bahwa infeksi virus akan
lebih hebat bila binatang tersebut diberi oksigen hiperbarik. Dengan

33
alasan ini dianjurkan agar penderita yang terkena salesma (common
cold) menunda pengobatan dengan oksigen hiperbarik sampai gejala
akut menghilang.
 Spherosis kongenital
Pada keadaan ini butir-butir eritrosit sangat fragil dan
pemberian oksigen hiperbarik dapat diikuti dengan hemolisis yang
berat. Bila memang pengobatan hiperbarik mutlak diperlukan, keadaan
ini tidak boleh jadi penghalang sehingga harus dipersiapkan langkah-
langkah yang perlu untuk mengatasi komplikasi yang mungkin timbul.
 Riwayat neuritis optik
Pada beberapa penderita dengan riwayat neuritis optik
terjadinya kebutaan dihubungkan dengan terapi oksigen hiperbarik.
Namun kasus yang terjadi sangat sedikit. Tetapi jika ada penderita
dengan riwayat neuritis optik diperkirakan mengalami gangguan
penglihatan yang berhubungan dengan retina, bagaimanapun
kecilnya pemberian oksigen hiperbarik harus segera dihentikan dan
perlu konsultasi dengan ahli mata10.

2.9.7 Komplikasi
Ketika digunakan dalam protokol standar tekanan yang tidak melebihi
3 ATA ( 300 kPa ) dan durasi pengobatan kurang dari 120 menit, terapi
oksigen hiperbarik aman. Efek samping yang paling umum adalah:
a. Barotrauma telinga
Sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk menyamakan tekanan
di kedua sisi membran timpani akibat tuba eustachius tertutup.
Barotrauma telinga tengah dan sinus dapat dicegah dengan teknik
ekualisasi, dan otitis media dapat dicegah dengan pseudoephidrine.
Barotrauma telinga dalam sangat jarang, tapi jika membran timpani ruptur
dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen, tinnitus dan
vertigo.

34
b. Barotrauma paru
Pneumotoraks dan emboli udara lebih berbahaya pada terapi ini.
komplikasi akibat robek di pembuluh darah paru karena perubahan
tekanan, tapi jarang terjadi.
c. Barotrauma dental
Menyebabkan nyeri pada gigi yang berlubang akibat penekanan
saraf.
d. Toksisitas oksigen
Toksisitas oksigen dapat dicegah dengan bernafas selama lima
menit udara biasa di ruang udara bertekanan tinggi untuk setiap 30 menit
oksigen . Hal ini memungkinkan antioksidan untuk menetralisir radikal
oksigen bebas yang terbentuk selama terapi.
e. Gangguan neurologis
Meningkatkan potensi terjadinya kejang akibat tingginya kadar O2.
f. Fibroplasia retrolental
Tekanan parsial oksigen yang tinggi berhubungan dengan
penutupan patent ductus arteriosus sehingga pada bayi prematur secara
teori dapat terjadi fibroplasia retrolental.
g. Katarak
Komplikasi ini jarang terjadi. Menyebabkan pandangan berkabut.
h. Transientmiopia reversibel
Meskipun jarang namun dapat terjadi setelah terapi HBO
berkepanjangan yang menyebabkan perubahan bentuk/deformitas dari
lensa.11

35
2.10 Pengaruh Terapi HBO Terhadap Myasthenia Gravis
Myasthenia Gravis merupakan penyakit autoimun yang ditandai
oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang
dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat
beraktivitas. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian
kekuatan otot akan pulih kembali. Hal ini disebabkan karena adanya
autoantibodi yang bersirkulasi dan melawan komponen membran motor
post-sinaps atau pada neuromuscular junction. Autoantibodi terhadap
asetilkolin reseptor (anti-AChRs) yang dihasilkan oleh sel B, telah dideteksi
pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis
generalisata2.
Pada pasien myasthenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam
berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung
melawan area imunogenik utama pada subunit alfa yang merupakan
binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada
reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi
neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor
asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi
jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga
mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-
reseptor asetilkolin yang baru disintesis4.
Pada myasthenia gravis ditemukan kenaikan IgG dalam serum dan
cairan serebrospinal. Dilaporkan adanya spesifik antibodi terhadap
reseptor acetylcholin pada 85% pasien dengan Myasthenia Gravis, dan
komponen utamanya adalah antibodi IgG. Terapi HBO menunjukkan
adanya efek pada serum immunoglobulin terutama IgG. Temuan ini
menunjukkan bahwa HBO dapat berefek immunosupresif.
Saito et al (1991) telah melakukan penelitian pada tikus yang diberikan
sel eritrosit kambing (antigen induced antibody) dan pada tikus yang

36
mempunyai penyakit autoimmune (Autoantibodi). Pada tikus yang diberi
sel eritrosit kambing, akan menghasilkan antibodi terhadap sel eritrosit
tersebut yang dapat dideteksi dengan peningkatan haemolytic Plaque
Forming Cell (PFC). Tikus-tikus tersebut dibagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama dilakukan terapi HBO dengan 252,5 kPa atau 2,49 ATA
satu jam sehari selama sepuluh hari, sedangkan kelompok yang lain
sebagai kelompok kontrol tanpa terapi HBO. Didapatkan hasil PFC dari
kelompok pertama (dengan HBO) sebesar 150/1x10 6 ,sedangkan PFC
kelompok kontrol sebesar 400/1x106 pada hari ke-7. Dapat disimpulkan
bahwa kelompok yang mendapat perlakuan HBO memiliki efek supresif
pada respon imun yang diinduksi antigen. 18

Gambar 5. Kadar IgG PFC pada tikus yang diberi sel eritrosit kambing

Pada tikus yang memiliki penyakit autoimmune dibagi dalam dua


kelompok. Kelompok pertama dilakukan penelitian untuk mengetahui

37
kadar IgG PFC pada sepuluh hari pertama. Sedangkan kelompok kedua
dilakukan penelitian untuk mengetahui efek HBO terhadap kualitas hidup
tikus dalam waktu dua bulan. 18
Pada kelompok pertama menggunakan tikus berusia 4 bulan yang
diberikan terapi HBO 2,49 ATA selama 1 jam per hari selama 10 hari.
Kemudian dilakukan pengecekan kadar IgG PFC pada hari ke-5 dan
didapatkan hasil adanya penurunan kada IgG PFC yang signifikan setelah
5 kali paparan HBO. 18

Gambar 6. Kadar IgG PFC pada tikus yang memiliki penyakit autoimun

Pada kelompok kedua menggunakan tikus berusia 2 bulan yang dibagi


menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang menerima perlakuan HBO
selama 1 jam per hari selama 2 bulan dan kelompok kontrol. Kemudian

38
dievaluasi pada saat tikus berusia 4 bulan. Hasilnya didapatkan penurunan
produksi immunoglobulin oleh sel lien dari tikus yang diterapi HBO. 18

Tabel 2. Efek paparan jangka panjang HBO pada tikus dengan peyakit
autoimun

Li et al (1987) melakukan penelitian pada 80 pasien yang menderita


myasthenia gravis. Kelompok pertama dilakukan terapi HBO saja dan
kelompok yang lain diberikan HBO dengan pengobatan steroid. Perbaikan
pada kelompok yang menerima HBO saja adalah 88,9 %, HBO dengan
steroid adalah 86,5%, dan kelompok kontrol yang menerima steroid saja
adalah 45%. Terdapat penurunan IgA dan IgM pada kelompok yang
menerima pengobatan HBO. Hal ini mengindikasikan adanya efek
immunosupresive17.
Pada percobaan awal ditemukan bahwa terapi HBO memberikan
perbaikan pada penderita MG dan keefektifannya mencapai 100% dalam
jangka pendek dan 87.5% dalam jangka panjang. (melakukan terapi
sampai dengan tiga tahun).
Pasien biasanya sembuh dengan sempurna dan dapat melakukan
aktivas aktif hanya dengan terapi HBO saja, tanpa perlu menggunakan
obat. Terapi HBO menurunkan efek samping dexamethasone dan
eksaserbasi dari penyakit yang pada saat permulaan terapi hanya
menggunakan dexamethasone saja. Kombinasi HBO dengan
dexamethasone dapat memberikan respon yang sinergis.
Prosedur 16:
- HBO: 2.5 ATA/ 60 menit/ q.d. /Total terapi 30x

39
- HBO dan dexamethasone: 2.5 ATA/ 60 menit/ q.d. dexamethasone
10-20 mg/ q.d. untuk 15-20 hari di tappering sampai dosis
maintenance
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Myasthenia Gravis merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang
dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat
beraktivitas. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan
otot akan pulih kembali. Hal ini disebabkan karena adanya autoantibodi yang
bersirkulasi dan melawan komponen membran motor post-sinaps atau pada
neuromuscular junction. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-
AChRs) yang dihasilkan oleh sel B, telah dideteksi pada serum 90% pasien
yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata2.
Pada pasien myasthenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam
berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung
melawan area imunogenik utama pada subunit alfa yang merupakan binding
site dari asetilkolin.
Terapi oksigen hiperbarik adalah tindakan pengobatan dimana pasien
menghirup oksigen murni (100%) secara berkala ketika menyelam atau di
dalam ruang udara yang bertekanan tinggi (RUBT) dengan tekanan lebih
besar daripada 1 ATA ( Atmosfer Absolut)10,11. Terdapat 3 hukum yang
berperan dalam terapi oksigen hiperbarik, yaitu : Hukum Boyle, Dalton, dan
10,11
Henry . Meskipun banyak keuntungan dari terapi oksigen hiperbarik yang
dapat diperoleh, cara ini pun juga mengandung resiko. Sebab itu terapi
oksigen harus dilaksanakan secara hati-hati sesuai prosedur yang berlaku,
sehingga mencapai hasil yang maksimal dengan resiko minimal 10.

40
Terapi HBO pada kasus myasthenia gravis merupakan terapi adjuvant
yang biasanya diberikan bersamaan dengan terapi rutin seperti kortikosteroid
dan anticholinesterase. Pengaruh HBO berupa imunosupresan dengan cara
menurunkan kadar IgG.
DAFTAR PUSTAKA

1. Engel, A. G. MD. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann


Neurol 16: Page: 519-534. 1984.
2. Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis: Immunological
Mechanisms and Immunotherapy. Ann Neurol. 37(S1):S51-S62. 1995.
3. Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga
University Press. Page: 301-305. 1991.
4. Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthen
ia_gravis.htm. Accessed : July 4th, 2015.
5. Ropper,A.H ,Samuels,M.A, Klein,J.P. 2014. Adams and Victor's
Principles of Neurology tenth edition
6. Newton, E. Myasthenia Gravis. Available at :
http://en.wikipedia.org/wiki/Myasthenia_gravis. accessed : M July 4th,
2015.
7. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A. Biokimia Harper: Dasar
Biokimia Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 24. EGC. Jakarta.
Page: 816-835. 1999
8. Anonim, Myasthenia Gravis. Available at:
http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd .
Accessed: July 4th, 2015.
9. Anonim, Thymectomy, Available at :
http://www.myasthenia.org/amg_treatments.cfm . Accessed : July 4th,
2015.

41
10. Hariyanto et al, 2009, Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik,
LAKESLA, Surabaya.
11. Gill AL and Bell CNA, 2004, Hyperbaric Oxygen : Its uses,
Mechanisms of Action and Outcomes, volume 97 number 7, QJM,
Bristol, UK, <http://qjmed.oxfordjournals.org/content/97/7/385.2.full>
12. Adityo Wibowo, 2015, Oksigen Hiperbarik : Terapi Percepatan
Penyembuhan Luka, volume 5 number 9, Universitas Lampung,
<http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/juke/article/viewFile/645/6
49>
13. Andrew David and Nicholas John Hawksley, 2001, Hyperbaric Oxygen
Therapy, volume 1 Number 5, British Journal of Anaesthesia, British,
<http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/1/5/150.full.pdf>
14. Amira et al, 2014, Resume Hyperbaric Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Denpasar Bali tanggal 26 s/d 30 September 2014, Mataram,
Program Studi Diploma III Keperawatan
15. Sahni T, 2004, Hyperbaric Oxygen Therapy : Current Trends and
Applications, Vol. 51, Journal of The Association of Physicians of India,
Review article, <http://eprints.undip.ac.id/29134/3/Bab_2.pdf >
16. Li, W.R., Chen, L.J., Jin, Z.F. Myasthenia Gravis treated by Hyperbaric
Oxygenation. Proceeding of the Ninth International Congress on
Hyperbaric Medicine
17. Jain, KK. Textbook of Hyperbaric Medicine 3rd Revised Edition
18. Saito,K. ,Tanaka,Y. ,Ota,T. Suppressive effect of hyperbaric
oxygenation on immune responses of normal and autoimmune mice.
Clin. exp. Immunol. (1991). 86, 322-327

42
43

Anda mungkin juga menyukai