Pembimbing :
dr. Benson Koesmarsono, Sp.OG
Penyusun :
Anggrainy Jeanette Loru Koba 2016.04.2.0013
Anissa Sarah Medina Teguh 2016.04.2.0014
Antonio Orson Ongkowidjojo 2016.04.2.0016
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2017
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
BAB 1. PENDAHULUAN 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi 4
2.2 Etiologi
2.3 Epidemiologi
2.4 Pengukuran Usia Kehamilan Menggunakan Penanggalan Menstruasi
2.5 Patofisiologi
2.6 Komplikasi
2.7 Mortalitas Perinatal
2.8 Manajemen
2.9 Manajemen Intrapartum
BAB 3. KESIMPULAN DAN SARAN 54
DAFTAR PUSTAKA56
BAB 1
PENDAHULUAN
2.1 Definisi
Istilah postterm,prolonged, postdate dan postmatur sering tertukar
untuk mendeskripsikan kehamilan yang telah melebihi batas normal.
Dalam buku William obstetric, penggunaan istilah postdate tidak
direkomendasikan. Sedangkan istilah postmatur digunakan untuk
sindroma klinis pada janin, dimana janin memiliki tampilan klinis yang
mengindikasikan kehamilan lewat bulan yang patologis. Sedangkan
postterm atau prolonged pregnancy adalah istilah yang digunakan untuk
kehamilan yang memanjang (Williams, 2014).
Postmatur, sindroma postmaturitas dan dismatur tidak sama
dengan postterm pregnancy. Istilah-istilah tersebut sering digunakan untuk
mendeskripsikan tampilan klinis neonatus yang terlihat telah dalam uterus
selama lebih dari 42 minggu kehamilan. Istilah tersebut mengambarkan
efek intrauterine growth restriction (IUGR) sekunder karena insufisiensi
plasenta pada postterm pregnancy (Delaney, 2008).
Definisi internasional dari prolonged pregnancy yang dikeluarkan
oleh American College of Obstetricians and Gynecologist (2013) adalah
lebih dari atau sama dengan 42 minggu atau 294 hari dari hari pertama
haid terakhir (Williams, 2014).
2.2 Epidemiologi
Menurut Martin et al, insiden postterm pregnancy sekitar 7% dari
seluruh kehamilan. Prevalensinya bervariasi tergantung karakteristik
populasi dan praktik tatalaksana lokal. Karakteristik populasi yang
mempengaruhi prevalensinya antara lain : presentase primigravida pada
populasi penelitian, prevalensi obesitas, jumlah postterm pregnancy
sebelumnya dan predisposisi genetic. Proporsi wanita dengan komplikasi
kehamilan dan frekuensi persalinan preterm spontan juga mempengaruhi
jumlah postterm pregnancy. Tidak ada hubungan antara etnis dengan
lama kehamilan (Collins et al., 2001; Caughey et al., 2009).
Praktik tatalaksana lokal seperti induksi persalinan yang terjadwal,
perbedaan penggunaan USG awal untuk mengetahui usia kehamilan, dan
jumlah section Caesarean elektif akan mempengaruhi prevalensi postterm
pregnancy. Contohnya di Amerika Serikat, peningkatan insiden induksi
persalinan pada dekade terakhir terkait penurunan jumlah kehamilan lebih
dari 41 dan 42 minggu pada tahun 1998 sampai 2005 (Martin et al., 2005).
Penggunaan USG awal untuk mengetahui usia kehamilan dapat
dihubungkan dengan penurunan insiden postterm pregnancy yang
signifikan dari 12% menjadi 3% (Savitz et al., 2002).
Di Eropa, prevalensi postterm pregnancy berkisar antara 0,8%
sampai 8,1%. Variasi yang luas ini mungkin menjadi konsekuensi dari
prosedur induksi persalinan yang berbeda-beda dan metode menilai usia
kehamilan (Mandruzatto, 2010).
2.3 Etiologi
Penyebab paling umum postterm pregnancy adalah kesalahan
penghitungan umur kehamilan (Neilson, 2000; Crowley, 2004).
Penggunaan kriteria klinis standar untuk mengetahui tanggal taksiran
persalinan cenderung meningkatkan usia kehamilan dan juga
meningkatkan insiden postterm pregnancy (Gardosi et al., 1997; Taipale
and Hiilermaa, 2001). Kriteria klinis yang umum dipakai untuk
mengkonfirmasi usia kehamilan antara lain hari pertama haid terakhir
(HPHT), ukuran uterus yang diperkirakan dengan pemeriksaan bimanual
pada trimester pertama, persepsi gerakan janin, auskultasi detak jantung
janin, dan tinggi fundus uteri pada kehamilan tunggal (Galal, 2012).
Insiden oligohydramnion lebih tinggi pada suatu studi yang
melibatkan 638 wanita dengan postterm pregnancy. Insufisiensi dan
hipoplasi kelenjar adrenal janin serta anencephaly janin, meskipun jarang,
semuanya terkait dengan post term pregnancy (Doherty and Norwitz ,
2008). Patogenesis post term pregnancy belum jelas diketahui
(Vadakaluru, 2014).
Ketika post term pregnancy benar- benar terjadi, penyebabnya
biasanya tidak diketahui. Faktor risiko yang umum termasuk primiparitas,
kehamilan lewat bulan sebelumnya (Alfirevic and Walkinshaw, 1994;
Mogren et al., 1999; Olesen et al., 1999), janin laki-laki (Divon et al.,
2002), obesitas (Usha Kiran et al., 2005; Stotland et al., 2007), faktor
hormonal dan predisposisi genetik (Laursen et al., 2004).
Tidak diketahui bagaimana indeks masa tubuh (IMT / BMI)
mempengaruhi lama kehamilan dan waktu persalinan, tapi menariknya
wanita obesitas memiliki insiden post term pregnancy lebih tinggi (Usha
Kiran et al., 2005), sedangkan wanita dengan BMI rendah memiliki
insiden persalinan preterm (persalinan kurang dari usia 37 minggu
kehamilan) lebih tinggi (Hickey et al., 1997). Karena jaringan adiposa aktif
secara hormone dank arena wanita obesitas dapat mengalami perubahan
status metabolik (Baranova et al., 2006), dapat diduga bahwa faktor
endokrin terlibat dalam perubahan inisiasi persalinan pada wanita
obesitas.
Di antara semua faktor yang dapat memicu kejadian post term
pregnancy, obesitas merupakan faktor risiko yang dapat diubah yang
secara teoritis dapat dicegah dengan modifikasi diet dan olahraga
sebelum atau selama kehamilan. Modifikasi tersebut dapat memiliki
pengaruh terhadap kesehatan organ lain juga, karena post term
pregnancy berhubungan dengan jumlah komplikasi perinatal,
pencegahannya pun dapat bermanfaat untuk ibu dan janin (Ingemarsson
and Kallen, 1997).
Perubahan jumlah hormon yang beredar dalam darah yang diduga
memiliki peran dalam persalinan spontan juga memiliki peran sebagai
penyebab postterm pregnancy. Contohnya defisiensi placental sulphatase,
merupakan kelainan terkait kromosom X yang langka yang dapat
mencegah persalinan spontan karena defek pada aktivitas placental
sulphatase dan berakibat menurunnya jumlah oestriol (E3) (Doherty and
Norwitz, 2008).
Faktor genetik dapat terlibat dalam bertambah lamanya kehamilan.
Wanita yang merupakan hasil dari kehamilan lewat bulan adalah dalam
risiko lebih besar mengalami kehamilan lewat bulan (risiko relatifnya 1,3)
(Mogren et al., 1999). Wanita dengan riwayat post term pregnancy
sebelumnya mengalami peningkatan risiko mengalami postterm
preganancy lagi (Kistka et al., 2007).
2.5 Patofisiologi
Patofisiologi dari kehamilan postterm belum sepenuhnya dapat
dijelaskan. Diduga mekanisme tersebut berkaitan antara hormonal,
mekanis dan proses inflamasi dimana plasenta, keadaan ibu dan fetus
memiliki peranan yang penting. Plasenta memproduksi
peptida Corticotrophin Releasing Hormone (CRH) yang berkaitan dengan
lama kehamilan. Sintesis CRH oleh plasenta akan mengalami
peningkatan dan mencapai puncak pada saat kelahiran. Wanita yang
melahirkan prematur mengalami peningkatan CRH sebelum waktunya,
sedangkan wanita dengan kehamilan postterm mengalami peningkatan
kadar CRH yang lebih lambat. Hal tersebut dapat disebabkan predisposisi
genetik maupun perubahan fenotip maternal terhadap respons jaringan
maternal dengan sinyal hormonal yang terutama terjadi pada wanita
dengan obesitas (Galal, 2012).
CRH dapat memberikan stimulasi secara langsung terhadap
produksi adrenal fetus berupa dHea, yang merupakan prekursor sintesis
oestriol plasenta. Konsentrasi CRH plasma maternal berkorelasi dengan
konsentrasi oestriol. Peningkatan oestriol dikarenakan peningkatan CRH
pada akhir kehamilan terjadi lebih cepat dibandingkan dengan
peningkatan oestradiol sehingga meningkatan rasio oestriol – oestradiol
sehingga menciptakan lingkungan estrogenik pada minggu akhir
kehamilan. Berkaitan dengan hal tersebut, pada minggu akhir kehamilan
terjadi penurunan kadar progesteron yang disebabkan inhibisi sintesis
progesteron oleh CRH. Oleh karena itu, efek progesteron yang dapat
memicu relaksasi yang semakin menurun digantikan oleh efek oestriol
yang memicu kontraksi (Galal, 2012).
2.6 Komplikasi
Menurut Manuaba ( 2009 :125-126), komplikasi dari kehamilan postterm
adalah sebagai berikut :
1) IBU
Timbulnya rasa takut akibat terlambat melahirkan atau rasa takut
menjalani operasi yang mengakibatkan perdarahan post partum
yaitu atonia uteri (karena janin besar atau penggunaan oksitoksin).
2) JANIN
Kematian janin (3 kali resiko pada kehamilan aterm) yaitu 30 %
sebelum partus, 55 % intrapartum, 15 % post natal.
Gawat janin karena aspirasi mekoneum, hipoksia, kompresi tali
pusat
Kelainan letak seperti defleksi, oksiput posterior, distosia bahu,
trauma kepala janin.
Gangguan pembekuan darah.
Oligohidramnion adalah air ketuban normal pada kehamilan 34-37
minggu adalah 1.000 cc, aterm 800 cc, dan lebih dari 42 minggu
400 cc. akibat oligohidramnion adalah amnion menjadi kental
karena mekonium (diaspirasi oleh janin), asfiksia intrauterine
(gawat janin), pada in partu (aspirasi air ketuban, nilai APGAR
rendah, sindrom gawat paru, bronkus paru tersumbat sehingga
menimbulkan atelektasis).
Makrosomia apabila plasenta yang masih baik, terjadi tumbuh
kembang janin dengan berat 4.500 gram yang disebut makrosomia.
Akibatnya terhadap persalinan adalah perlu dilakukan tindakan
operatif seksio caesaria, dapat terjadi trauma persalinan karena
operasi vagina, distosia bahu yang menimbulkan kematian bayi
atau trauma jalan lahir ibu.
2.8 Manajemen
Pada kehamilan post-term, pemilihan penatalaksanaannya dapat
berupa induksi persalinan atau pemantauan fetus. Pada tahun 2006, 73%
dari American College of Obstetricians and Gynaecologists secara rutin
menginduksi persalinan pada usia kehamilan 41 minggu. Manajemen
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: (Williams,2014; Galal M
et.al., 2012; Caughey A.B.,2016)
3. Rekomendasi Manajemen
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists,
kehamilan post-term adalah kehamilan yang sudah genap 42 minggu.
Karena kurangnya bukti, tidak ada manajemen untuk usia kehamilan 40-
42 minggu yang dapat direkomendasikan.jadi, walaupun bukan suatu
keharusan, pada saat usia kehamilan 41 minggu, disarankan untuk
dilakukannya pemantauan janin. Setelah genap 42 minggu, dapat
dilakukan antenatal testing ataupun induksi persalinan.
Kehamilan dapat dianggap normal walaupun usia kehamilan
mencapai 41 minggu dan tanpa komplikasi. Maka dari itu, tidak ada
intervensi yang dilakukan sampai usia kehamilan mencapai 42 minggu.
Bila terdapat komplikasi sepert hipertensi, pengurangan gerak bayi,
oligohidramnion, maka akan segera dilakukan induksi persalinan. Induksi
juga dilakukan ketika usia kehamilan genap 42 minggu. Pada wanita hamil
dengan dugaan kehamilan post-term, kehamilannya akan dievaluasi
menggunakan non-stress test dan volume cairan amnion. Ketika AFI <
5cm atau ada pengurangan gerak bayi, maka segera lakukan induksi
persalinan.
4. Penanggalan Kehamilan
Penanggalan kehamilan yang tepat merupakan hal yang sangat
penting untuk mendiagnosa dan manajemen kehamilan post-term. Cara
yang biasa digunakan adalah dengan menggunakan penanggalan hari
pertama haid terakhir (HPHT). Namun, karena adanya siklus ireguler,
penggunaan kontrasepsi hormonal ataupun perdarahan saat awal
kehamilan dapat mengakibatkan penanggalan yang tidak tepat.
Cara lain yang biasa digunakan adalah dengan ultrasonography
(USG). Menurut ACOG (2004), margin kesalahan pada saat mengukur
usia kehamilan menggunakan USG adalah +7 hari saat usia kehamilan
mencapai 20 minggu, +14 hari saat usia kehamilan 21-30 minggu, dan
+21 hari saat usia kehamilan lebih daro 30 minggu. Bila hasil pengukuran
usia kehamilan berdasarkan HPHT berbeda jauh dan melenceng dari
margin variasi dari hasil pengukuran USG, maka usia kehamilan yang
digunakan sebaiknya menggunakan hasil dari USG. USG disarankan
dilakukan pada trimester awal dibandingkan trimester tengah karena
margin kesalahan yang lebih kecil. Kehamilan post-term lebih jarang
ditemukan pada wanita yang usia kehamilannya diukur dengan USG
sebelum usia kehamilan 12 minggu.
2.9 Manajemen Intrapartum
Persalinan merupakan saat-saat yang berbahaya untuk bayi post-
term. Maka dari itu, wanita hamil yang merasakan adanya tanda-tanda
persalinan sebaiknya langsung ke Rumah sakit untuk melakukan
persalinan. Selain evaluasi tanda-tanda persalinan, detak jantung janin
dan kontraksi uterus juga tetap harus dievaluasi (Williams,2014).
Induksi yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan
Prostaglandin E2 maupun Prostaglandin E1 (misprostol). Penggunaan
misporsotol diketahui lebih efektif. Selain itu, dapat juga dilakukan dilatasi
mekanis yaitu dengan cara menipiskan membran. (Caughey A.B., 2016)
Prosedur amniotomi dapat dilakukan saat proses kelahiran. Namun
dapat terjadi masalah ketika dilakukan prosedur tersebut. Di satu sisi,
prosedur ini dapat merugikan karena dapat menekan tali pusat. Di sisi
lain, prosedur ini dapat menguntungkan karena dapat mendeteksi ada
tidaknya meconium pada cairan amnion. Selain itu, dengan rupturnya
membran, juga dapat dipasang elektroda pada kepala bayi dan
intrauterine pressure catether untuk menilai kontraksi uterus
(Williams,2014).
Ketika persalinan sudah berjalan, penolong persalinan harus benar-
benar memperhatikan tanda-tanda komplikasi seperti aspirasi mekonium,
macrosomia dan intoleransi fetus. (Caughey A.B., 2016)
BAB 3
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA