PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Hepar
2
Gambar 2.1. Anatomi hepar (Netter, 2011)
3
Bagian superior dari duodenum
Omentum minus
Gallbladder
Fleksura coli dextra dan colon transversus dextra
Ginjal kanan dan kelenjar suprarenal
(Moore, 2006).
Ligamentum Falciformis
Ligamen ini melekatkan hepar ke dinding anterior cavum
abdomen. Ligamen ini mempunyai dua lapisan yang berasal dari
permukaan posterior cavum abdomen anterior dan diafragma
4
yang berbelok ke arah permukaan anterior dan superior hepar.
Pada permukaan superior hepar yang berbentuk kubah, ligamen
ini melanjutkan diri ke kanan dan menjadi lapisan superior dari
ligamen coronarius. Lapisan sinistra dari ligamen ini belok ke arah
medial dan berlanjut menjadi lapisan anterior dari ligamen
triangular sinistra.
Ligamentum Coronarium
Ligamen ini dibentuk oleh refleksi peritoneum dari diafragma
yang menuju ke permukaan posterior lobus dextra hepar.
Diantara dua lapisan ligamen ini terdapat area besar yang
berbentuk segitiga yang tidak ditutupi oleh peritoneum yang
disebut sebagai bare area. Di area ini hepar melekat dengan
diafragma menggunakan jaringan areolar. Ligamentum
coronarium kemudian berlanjut sebagai ligamentum triangular
dextra dan sinistra.
Ligamentum Triangular
Ligamentum triangular sinistra memiliki dua lapisan dari
peritoneum yang melebar ke batas superior dari lobus sinistra.
Ligamentum triangular sinistra merupakan sebuah struktur
pendek yang berada pada apex bare area.
(Gray’s, 2008)
Hepar menerima darah dari dua sumber darah yaitu, arteri hepatis
dan vena porta. Vena porta membawa 80% darah ke hepar. Vena porta
membawa darah sedikit oksigen dari bagian abdominopelvic. Arteri
hepatis yang merupakan cabang dari trunkus celiac membawa darah yang
mengandung banyak oksigen dari aorta. Di dekat porta hepatis arteri
hepatis dan vena porta terbagi menjadi cabang kanan dan kiri. Di dalam
tiap lobus arteri dan vena tersebut membentuk vascular segment. Hepar
merupakan organ penghasil cairan limfe yang besar. Pembuluh limfe
hepar menjadi limfatikus superficial di kapsul fibrous hepar (kapsul
5
Glisson). Kelenjar limfe superficial dan profundus akan bemuara pada
kelenjar limfe hepar. Kemudian pembuluh limfatikus ini akan bermuara ke
celiac lymph node yang nanti akan turun ke cistern chyli. Limfatikus
superficial dari aspek posterior dari fascia diafragma dan visceral
bermuara ke bare area. Yang kemudian akan bermuara pada limfe nodi
phrenicus. Beberapa pembuluh limfe juga bermuara ke limfe nodi gaster.
Nervus pada hepar berasal dari pleksus nervus hepatis yang merupakan
cabang yang paling besar dari trunkus celiacus. Nervus hepatis berjalan
bersama dengan arteri hepatis dan vena porta. Nervus tersebut
mempunyai serat simpatis dari pleksus celiacus dan serat parasimpatis
dari trunkus vagus anterior dan posterior (Moore, 2006).
2. Histologi Hepar
Hepatosit merupakan sel polyhedral yang besar dengan inti bulat dan
anak inti yang prominen. Sel hepatosit memiliki variasi ukuran inti yang
luas. Sel binucleat juga umum terdapat pada hepar. Sel hepatosit memiliki
gambaran sitoplasma yang juga bervariasi dan bergantung pada kondisi
status gizi seseorang. Sitoplasma berwarna eosinofilik yang kuat karena
mengandung banyak mitokondria dan sedikit granular basofilik karena ada
ribosom yang bebas dan retikulum endoplasma yang kasar (Wheather’s,
2006).
Hepar memiliki unit struktural yang disebut lobus hepar. Lobus hepar
berbentuk polygonal dengan ukuran 0,7 x 2 mm, dengan portal space di
bagian perifernya dan sebuah vena yang disebut vena centrilobular
6
( Junqueira, 2005). Hepar terdiri dari lobulus yang merupakan unit
mikroskopis dan fungsional organ. Setiap lobulus merupakan badan
heksagonal yang terdiri atas lempeng – lempeng sel hepar yang
berbentuk kubus dan yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis.
Pembagian unit fungsional lobulus hepar terbagi atas 3 zona, yaitu, zona
aktif, zona intermediet dan zona pasif. Zona aktif merupakan zona yang
selnya berada paling dekat dengan vena porta dan arteri hepatis. Zona ini
merupakan zona yang paling pertama terpengaruh oleh darh yang masuk
ke hepar. Zona intermediet merupakan zona yang memberi respon kedua
setelah zona aktif. Zona pasif merupakan zona dengan tingkat aktivitas sel
yang rendah, tetapi akan menjadi aktif ketika kebutuhan hepar meningkat
(Junqueira, 2005).
7
Gambar 2.2 Histologi hepar (Wheater’s, 2006)
3. Fisiologi Hepar
Fungsi hati:
Menghasilkan empedu
8
Membantu tubuh dalam pembekuan darah (faktor koagulasi)
Memetabolisme protein
Memetabolisme karbohidrat
Menyaring darah
Zat yang berasal dari luar tubuh termasuk alkohol dan obat lain,
seperti amfetamin, barbiturat dan steroid.
9
4. Definisi
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai
dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya
dimulai dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas,
pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur
hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi
tidak teratur akiat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut.
5. Epidemiologi
Angka kejadian sirosis hati dari hasil autopsi sekitar 2,4% (0,9%-
5,9%) di Amerika. Angka kejadian di Indonesia menunjukan pria lebih
banyak menderita sirosis dari wanita (2-4,5:1), kasus paling banyak
ditemukan pada dekade ke lima.
6. Etiologi
Etiologi yang diketahui penyebabnya
10
Sirosis yang tidak diketahui penyebabnya disebut sirosis kriptogenik/
heterogenous. Ada yang mendapatkan kekerapan 50%, di Inggris 30%.
Di Perancis dimana alkoholisme sebagai etiologi banyak dijumpai, angka
kriptogenik menurun setelah faktor etiologi diketahui seperti infeksi
hepatitis viral dengan serologik marker.
2.1 Klasifikasi
Klasifikasi sirosis hepatis terdiri dari
1. Etiologi
2. Morfologi
3. Fungsional
1. Etiologi
Etiologi yang diketahui adalah hepatitis virus akut tipe B dan C, alcohol,
metabolic, kolestasis kronik, obstruksi aliran vena hepatik, hepatitis
autoimun (lupoid hepatitis), toksik dan obat (methotrexate, metildopa),
malnutrisi, dan malaria
2. Morfologi
Secara morfologi, sirosis dibagi menjadi 3, yaitu mikronodular,
makronodular dan campuran.
3. Fungsional
Secara fungsional sirosis terbagi atas kompensasi baik (laten, sirosis dini)
dan dekompensasi (Aktif, disertai kegagalan hati dan hipertensi portal)
Kegagalan hati sering ditandai dengan adanya keluhan lemah, bert badan
menurun, kembung, mual. Selain itu juga terdapat tanda-tanda seperti
spider nevi, eritema palmaris, ascites, dan ikterus.
11
Hipertensi portal dapat terjadi karena adanya peningkatan resistensi portal
dan splanknik yang disebabkan penurunan sirkulasi akibat fibrosis dan
atau karena adanya peningkatan aliran portal akibat dari distorsi
percabangan pembuluh darah. Resitensi portal dapat terjadi di prehepatik,
intrahepatik dan posthepatik.
2.2 Patofisiologi
Pada awalnya terjadi proses peradangan di hepar yang kemudian dapat
menyebabkan nekrosis yang luas pada jaringan hepar. Keadaan ini
memicu terbentuknya jaringan parut, septa fibrosa dan nodul regenerasi
oleh sel hati yang masih baik. Sirosis hepatis pada umumnya memilik
gambaran yang sama walaupun berasal dari etiologi yang berbeda.
Septa fibrosa yang muncul terbentuk dari sel retikulum penyangga rusak
yang berubah menjadi jaringan parut. Beberapa sel dapat tumbuh kembali
dan membentuk nodul dengan berbagai ukuran (makronodul dan
mikronodul). Hal ini dapat menyebabkan distorsi percabangan pembuluh
hepatik dan aliran portal yang dapat menimbulkan hipertensi portal.
1. Lemah
2. Nafsu makan menurun
3. Gatal
4. Mual
5. Penurunan berat badan
6. Nyeri perut
7. Mudah berdarah
12
8. BAB berwarna hitam dan atau muntah darah.
2.4 Diagnosa
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan:
Pemeriksaan Laboratoris:
2. Albumin
Penurunan kadar albumin merupakan tanda kemampuan sel hepar
yang menurun
3. Auto-antibodi
Umumnya dapat ditemukan pada pasien dengan hepatitis autoimun
Pemeriksaan Endoskopi:
Pemeriksaan Radiologis:
Dapat dilakukan USG, CT scan atau MRI. Dari pemeriksaan ini yang
dapat dinilai berupa gambaran adanya hepatomegali, nodul pada hepar,
splenomegali, pelebaran vena hepatis, vena porta dan cairan dalam
abdomen.
13
1. Ascites dan atau oedema tungkai bawah
2. Hematemesis dan atau melena
3. Eritema palmaris
4. Gambaran vena kolateral yang mebesar pada dinding perut
5. Spider naevi
6. Albumin menurun
7. Splenomegali
2.5 Komplikasi
1. Edema dan asites
2. SBP
3. Perdarahan saluran cerna
4. Ensefalopati hepatic
5. Sindroma hepatorenal
6. Sindroma hepatopulmoner
7. Koagulopati
8. Kanker hati
2.6 Manajemen
Pengobatan yang spesifik dapat diberikan pada berbagai kelainan hepar
untuk mengurangi keluhan dan mencegah perkembangan selanjutnya
menjadi sirosis hepar. Sekali sirosis terjadi, pengobatan terutama
ditujukan kepada komplikasi yang mungkin telah timbul.
Terapi sirosis antara lain :
A. Mencegah kerusakan lebih lanjut pada hepar,
1. Istirahat, membatasi aktivitas fisik
2. Konsumsi diet yang seimbang dan multivitamin setiap hari,
seyogyanya yang mengandung tinggi kalori dan kaya protein, bila
tidak ada ensefalopati hepatik.
3. Hindari obat-obat (termasuk alkohol) yang dapat merusak hepar.
Semua pasien dengan sirosis harus menghindari alkohol. Juga
psien dengan hepatitis kronik B dan C dapat mengalami perbaikan
kerusakan heparnya dan memperlambat profresifitasnya ke arah
sirosis dengan cara menghentikan pemakaian alkohol.
14
4. Hindari obat-obat anti-inflamasi non-steroid (NSAIDs). Pasien
dengan sirosis dapat mengalami kemunduran fungsi hati dan
ginjalnya akibat NSAIDs.
5. Eradikasi virus hepatitis B dan C dengan menggunakan obat-obat
anti-viral. Namun harus diingat bahwa tidak semua pasien sirosis
akibat hepatitis virus kronik, merupakan kandidat untuk pengobatan
dengan anti-viral. Beberapa pasien dapat mengalami kemunduran
faal hati yang serius atau mengalami efek samping yang berat
selama pengobatan.
6. Pengambilan darah (flebotomi) pada pasien dengan
hemokromatosis, untuk menurunkan kadar zat besi dalam darah,
dan mencegah kerusakan hepar lebih lanjut.
7. Sistem imun dapat ditekan dengan obat-obat seperti prednisone
dan azathioprine (Imuran), untuk mengurangi inflamasi dalam hati
pada hepatitis autoimun.
8. Pasien dengan PBC dapat diobati dengan preparat asam empedu
seperti urodeoxycholic acid (UDCA).
9. Imunisasi pasien sirosis terhadap infeksi hepatitis A dan B, berguna
untuk mencegah terjadinya kemunduran faal hepar yang serius.
Pada saat ini masih belum ditemukan vaksin untuk hepatitis C.
15
sebaliknya bila nilainya < 1,1 gram%, disebabkan oleh penyakit
peritoneum atau eksudat (keganasan, peritonitis – seperti tbc,
jamur, amuba- atau benda asing dalam peritoneum). Asites juga
dapat dibagi dalam 4 tingkatan asites : tingkat 1 – hanya dapat
dideteksi dengan pemeriksaan seksama, tingkat 2 – deteksi lebih
mudah tapi biasanya jumlahnya hanya sedikit, tingkat 3 – tampak
jelas tetapi tidak terasa keras (“tense”), dan tingkat 4 – bila asites
mulai terasa keras.
Untuk mengurangi edema dan asites, pasien dianjurkan
untuk membatasi asupan garam dan air. Jumlah diet garam yang
dianjurkan biasanya sekitas 2 gram per hari, dan cairan sekitar 1
liter sehari. Kombinasi diuretika spironolaktin dan furosemide dapat
menurunkan dan menghilangkan edema dan asites pada sebagian
besar pasien. Spironolakton dapat siberikan dalam dosis 100-400
mg sehari. Bila perlu dapat dikombinasikan dengan furosemide 40-
160 mg sehari, dengan pengawasan ketat terhadap tekanan darah,
produksi urin, status mental pasien, dan kadar elektrolit serum
(terutama K).
Bila pemakaian diuretika tidak berhasil (pada asites yang
refrakter), dapat dilakukan parasentesis anomen, untuk mengambil
cairan asites secara langsung dari rongga perut. Bila asites
sedemikian besar sehingga menimbukan keluhan nyeri akibat
distensi abdomen, dan atau kesulitan bernafas karena
keterbatasan gerkan diafragma, parasentesis dapat dilakukan
dalam jumlah yang banyak lebih dari 5 liter (large volume
paracentesis “LVP”). Pemberian albumin intravena sebanyak 6-8
gram/liter secara bersama-sama dengan LVP, dapat bermanfaat
untuk mempertahankan volum intravaskuler dan mencegah
terjadinya disfungsi sirkulasi pascaparacentesis. LVP dapat
dikerjakan setiap hari dampai asites menghilang atau berkurang.
Pengobatan lain untuk asites yang refrakter adalah TIPS
16
(transjugular intravenous portosystemic shunting) atau transplantasi
hati.
2. Perdarahan varises
Peningkatan tekanan dalam vena pirta dapat menimbulkan
varises esofagus maupun lambung, perdarahan dari varises-
varises ini biasanya adalah berat dan, tanpa perawatan segera,
dapat menjadi fatal. Gejala-gejala dari perdarahan varises dapat
berupa hematemesis atau muntah darah (muntahan dapat berupa
darah merah bercampur dengan gumpalan-gumpalan atau “coffee
grounds”), dan atau melena yakni buang air besar berwarna merah
atau hitam seperti petis. Sekali varises telah berdarah, mereka
cenderung untuk berdarah kembali dan kemungkinan
bahwaseorang pasien akan meninggal dari setiap episode
perdarahan adalah tinggi (30% - 35%). Oleh karenanya, perawatan
adalah perlu untuk mencegah episode perdarahan yang pertama
dan begitu juga perdarahan kembali. Perawatan-perawatan
termasuk obat-obat dan prosedur-prosedur untuk mengurangi
tekanan dalam vena portal dan prosedur-prosedur untuk
memperkecil varises (eradikasi) :
a. Propanolol atau nadolol, merupakan obat penyekat reseptor
beta non-selektif, efektif untuk menurunkan tekanan vena porta,
dan dapat dipakai baik untuk mencegah perdarahan ulang
varises pada pasien sirosis, terutama pada pasien dengan
varises sedang sampai besar.
b. Octreotide (Sandostatin) dan Somatostatin, juga terbukti dapat
menurunkan tekanan vena porta, dan telah dipakai sejak lama
untuk pengobatan varises yang sedang berdarah aktif. Obat ini
diberikan dalam bentuk infus iv kontinyu.
c. Terapetik endoskopi, baik skleroterapi maupun ligasi
endoskopik, keduanya efektif untuk menimulkan obliterasi
17
varises, baik untuk menghentikan perdarahan varises aktif
maupun untuk mencegah perdarahan ulang.
d. Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) adalah
prosedur nonbedah untuk menurunkan tekanan dalam vena
porta. Biasanya dikerjakan oleh dokter spesialis radiologi. TIPS
terutama berguna untuk pasien yang gagal dalam pengobatan
dengan beta bloker, skelroterapi, maupun ligasi varises. TIPS
juga bermanfaat untuk pengobatan asites yang refrakter. Selain
itu TIPS juga dapat dipakai pada psien sirosis untuk mencegah
perdarahan varises, sementara menunggu transpalantasi hati.
Efek samping yang paling sering ditemukan pada TIPS adalah
ensefalopati hepatic.
18
prognosis biasanya baik. Antibiotika lain yang dapat dipakai bila
terjadi resistensi : cetriaxone, amoxicillin-clavulanic, dan
fluoroquiolones. Pada beberapa pasien pemberian antibiotika oral
(seperti ciprofloxacin, norfloxacin, dan trimethoprim-
sulfamethoxazole) selama beberapa hari, dapat digunakan untuk
mencegah SBP. Tidak semua pasien sirosis dan asites
memerlukan pengobatan dengan antibiotika utnuk mencegah SBP,
sehingga membutuhkan pencegahan ;
a. Pasien sirosis yang masuk rumah sakit dengan perdarahan
varises mempunyai risiko ringgi mendapat SBP, karena itu
antibiotika harus diberikan seawal mungkin utnuk mencegah
SBP ini.
b. Pasien dengan episode SBP yang berulang kali.
c. Pasien dengan kadar protein yang renah dalam cairan
asitesnya (cairan asites degan kadar protein rendah lebih
mudah terkena infeksi).
4. Ensefalopati Hepatik
Pasien-pasien dengan keluhan sulit tidur, sulit
berkonsentrasi, pikiran yang terganggu, kelakuan yang aneh, atau
tanda-tanda lain dari ensefalopati hepatik (EH) biasanya harus
dirawat dengan diet rendah protein dan lactulose oral. Protein dari
makanan dibatasi karena merupakan sumber dari senyawa-
senyawa toksik yang menyebabkan EH. Lactulose, yang adalah
suatu cairan, yang dapat menyerap bahan toksik dalam usus besar
(kolon). Sebagai konsekuensi, senyawa toksik ini tidak dapat
diserap ke dalam aliran darah dan menimbulkan ensefalopati.
Pada pasien dengan ensefalopati hepatik yang semakin
jelas (overt HE), ada 3 tindakan yang harus segera diberikan :
1) singkirkan penyebab ensefalopati yang lain,
2) perbaiki atau singkirkan faktor pencetus (prepicipitating factors),
dan
19
3) segera mulai pengobatan empiris, yang dapat berlangung dalam
jangka lama, seperti : klisma, diet rendahatau tanpa protein,
pemberian laktulosa, antibiotika (neomycin, metronidazole, atau
vancomycin), asam amino rantai cabang, bromocriptine, preparat
zenk, dan atau ornithine aspartate. Antibiotik-antbiotik ini bekerja
dengan cara menghambat produksi dari senyawa-senyawa toksik
oleh bakteri dalam ussu besar. Bila ensefalopati membangkang,
atau timbul berulang kali dengan pengobatan empiris, dapat
dipertimbangkan utnuk transplantasi hati.
Ada 3 tipe ensefalopati hepatik berdasar penyakit yang
mendasari :
tipe A – akibat gagal hati akut,
tipe B – akibat pintasan porto-sistemik tanpa sirosis, dan
tipe C – akibat penyakit hati kronik atau sirosis dengan atau tanpa
pintasan porto-sistemik.
5. Sindroma hepatorenal
Pasien dengan sirosis yang semakin memburuk dapat
berkembang menjadi sindroma hepatorenal (SHR). Sindroma ini
merupakan komplikasi yang serius, dimana fungsi ginjal menurun.
Kelainan ini sebenarnya merupakan kelainan fungsi dari ginjal,
dimana ginjal secara fisik sebenarnya tidak mengalami kerusakan
sama sekali. Penurunan fungsi ginjal ini disebabkan oleh
perubahan aliran darah ke dalam ginjal sendiri. Gambaran yang
khas dari HRS : oliguria, hiponatremi, dan kadar Na yang rendah
dalam urin. HRS biasanya terjadi pada 10% pasien sirosis hati
yang lanjut.
Ada 2 macam tipe sindroma hepatorenal :
tipe 1 – penurunan fungsi terjadi dalam beberapa bulan, dan
tipe 2 – penurunan fungsi ginjal terjadi sangat cepat dalam waktu 1-
2 minggu.
20
Pengobatan HRS biasanya sulit. Ada beberapa cara
pengobatan yang bisa dicoba dengan hasil sangat bervariasi : infus
albumin + vasopressor (octreotide iv/sc), MARS (Molecular
Adsorbent Recirculating System), TIPS, dan terakhir transplantasi
hati.
6. Sindroma hepatopulmoner
Meskipun jarang, pasien dengan sirosis yang lanjut dapat
berkembang menjadi sindroma hepatopulmoner (hepatopulmonary
syndrome = HPS). Pasien-pasien ini mengalami kesulitan bernafas,
akibat sejumlah hormon tertentu terlepas pada sirosis yang lanjut
karena fungsi paru yang abnormal. Masalah dasar dalam paru
adalah tidak tersedianya cukup aliran darah dari pembuluh darah
kecil dalam paru yang mengadakan kontak dengan alveoli dalam
paru. Aliran darah lewat paru mengalami pintasan sekitar alveoli,
dan tidak dapat mengambil cukup banyak oksigen dari udara dalam
alveli. Akibatnya adalah pasien mengalami perasaa sesak atau
nafas pendek, terutama pada saat melakukan latihan.
Pengobatan medik biasanya mengecewakan. Beberapa cara
pengobatan eksperimental yagn pernah dicoba : methylen biru
intravena, norfloxacin oral, dikatakan dapat memperbaiki
oksigenasi dengan cara menghambat efek vasodilatasi akibat
pengaruh NO. pemberian perntoxifylin dikatakan dapat
menghambat terjadinya HPS dengan cara mnghambat produksi
TNF (Tumor Necrosis Factor).
7. Koagulopati
Hipoprotrombinemia akibat malnutrisi dan defisiensi vitamin
K dapat diobati dengan pemberian vitamin K (intravena maupun
oral); namun pengobatan ini kurang efektif bila sintesis faktor-faktor
koagulasi tergnggu karena penyakit hati. Pada beberapa kasus,
perbaikan pemanjangan waktu protrombin dapat dilakukan dengan
21
pemberian FFP (fresh frozen plasma) dalam jumlah besar. Namun
karena efek pengobatan ini berdifat sementara atau transient,
pemberian infus plasma ini tidak dianjurkan kecuali pada :
perdarahan aktir, atau sebelum tindakan invasif, namun tindakan ini
masih diperdebatkan kegunaannya.
PROGNOSIS
Prognosis pasien sirosis tergantung ada tidaknya komplikasi akibat
sirosisnya. Pasien dengan sirosis kompensata mempunyai harapan hidup
lebih lama bila tidak berkembang menjadi sirosis dekompensata.
Diperkirakan harapn hidup pasien sirosis kompensata sekitar 47% dalam
waktu 10 tahun. Sebaliknya pasien sirosis dekompensata, mempunyai
harapan hidup hanya sekitar 16% dalam waktu 5 tahun.
Indeks hati, juga dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menilai
prognosis pasien sirosis hati dengan hematemesis melena yang
mendapat pengobatan secara medik. Dari hasil penelitian sebelumnya,
pasien yang mengalami kegagalan hati ringan (indeks hati 0-2), angka
kematian antara 0-16%, sementara yang mempunyai kegagalan hati
sedang sampai berat (indeks hati 3-8) angka kematian antar 18-40%.
Untuk pasien sirosis hati yang direncanakan untuk tindakan bedah,
penilaian prognosis pasien dilakukan dengan melakukan penilaian skor
menurut dengan Child-Turcotte-Pough (skor CTP). Sementara untuk
penilaian pasien sirosis yang direncanakan untuk transplantasi dikerjakan
dengan menggunakan skor MELD (Model for End-stage Liver Disease)
atau PELD (Pediatric for End-stage Liver Disease).
22
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Rumah Sakit Pendidikan dr. Soetomo Surabaya, Edisi 2, Sirosis
Hati, Hernomo O Kusumobroto, Hal. 292-298
23
BAB 3
KESIMPULAN
1.
24
DAFTAR PUSTAKA
1.
25