Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai


dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya
dimulai dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas,
pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul.
Angka kejadian di Indonesia menunjukan pria lebih banyak menderita
sirosis dari wanita (2-4,5:1), kasus paling banyak ditemukan pada dekade
ke lima.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Hepar

Hepar merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh. Hepar memiliki


berat sekitar 2.500 gram dan dipisahkan dari pleura, paru, perikardium
dan jantung oleh diafragma. Hepar sebagian besar berada di kuadran
kanan atas abdomen. Hepar dilindungi dan tersembunyi di dalam cavum
thorax dan diafragma. Letak hepar berada diantara os. Costae VII-XI di
sisi kanan dan melewati midline ke sebelah kiri areola (Moore, 2006).
Hepar memiliki warna merah kecoklatan dan dibungkus oleh kapsul yang
berfungsi untuk melindungi dan mempertahankan bentuk dari hepar.
(Gray’s, 2008).

Hepar berada di dalam rongga abdomen. Hepar sebagian besar


berada pada hypochondrium kanan, yang kemudian berlanjut ke daerah
epigastrium, dan bisa sampai ke hypochondrium kiri (Gray’s, 2008).

Hepar memiliki fascia diafragmatika yang konveks (anterior, superior,


sebagian posterior) dan fascia visceralis yang umumnya datar atau konkaf
(posteroinferior), dimana keduanya dipisahkan secara anterior oleh batas
inferior. Terdapat resesus subphrenic diantara diafragma dan bagian
anterior dan superior dari hepar. Resesus subphrenic ini dipisahkan oleh
ligamen falciformis. Resesus hepatorenal (Morison pouch) berada
diantara bagian kanan dari fascia visceralis , ginjal kanan dan kelenjar
suprarenal. Resesus hepatorenal ini merupakan perpanjangan
posterosuperior dari subhepatic space (Moore, 2006).

2
Gambar 2.1. Anatomi hepar (Netter, 2011)

Fascia diafragmatika dari hepar dilapisi oleh peritoneum kecuali pada


bagian bare area. Fascia viceralis juga dilapisi oleh peritoneum kecuali
pada daerah yang terdapat kantung empedu dan porta hepatis. Fascia
visceralis memiliki hubungan dengan beberapa area, yaitu:

 Bagian kanan dari aspek anterior gaster

3
 Bagian superior dari duodenum
 Omentum minus
 Gallbladder
 Fleksura coli dextra dan colon transversus dextra
 Ginjal kanan dan kelenjar suprarenal
(Moore, 2006).

Porta hepatis merupakan area yang berada di permukaan inferior


hepar, dan berada diantara lobus quadratus dan prosesus caudatus. Porta
hepatis merupakan jalan masuk dari vena porta, arteri hepatis dan nervus
hepatis menuju jaringan parenkim hepar (Gray’s, 2008).

Pembagian bagian hepar dapat berdasarkan anatomi (empat lobus)


atau berdasarkan segmen (delapan segmen). Lobus dextra dan lobus
sinistra dipisahkan oleh ligamen falciformis. Lobus dextra merupakan
lobus yang paling besar dan dibatasi secara superior oleh ligamentum
falciformis dan secara inferior oleh ligamentum venosum. Lobus sinistra
berukuran lebih kecil dari lobus dextra, berada di sebelah kiri dari
ligamentum falciformis dan lebih fleksibel daripada lobus dextra karena
bentuknya yang lebih tipis. Lobus quadratus hanya dapat terlihat dari
permukaan inferior. Secara anatomi, lobus quadratus berhubungan
dengan lobus dextra, tetapi, secara fungsional lobus ini berhubungan
dengan lobus sinistra. Lobus caudatus hanya dapat terlihat dari posterior.
Secara anatomi, lobus ini berhubungan dengan lobus dextra tetapi
berbeda secara fungsional (Gray’s 2008).

Hepar memiliki beberapa ligamen. Ligamen-ligamen ini melekatkan


(menghubungkan) hepar dengan dinding cavum abdomen anterior,
diafragma dan organ visceral lainnya. Ligamen-ligamen hepar yaitu:

 Ligamentum Falciformis
Ligamen ini melekatkan hepar ke dinding anterior cavum
abdomen. Ligamen ini mempunyai dua lapisan yang berasal dari
permukaan posterior cavum abdomen anterior dan diafragma

4
yang berbelok ke arah permukaan anterior dan superior hepar.
Pada permukaan superior hepar yang berbentuk kubah, ligamen
ini melanjutkan diri ke kanan dan menjadi lapisan superior dari
ligamen coronarius. Lapisan sinistra dari ligamen ini belok ke arah
medial dan berlanjut menjadi lapisan anterior dari ligamen
triangular sinistra.

 Ligamentum Coronarium
Ligamen ini dibentuk oleh refleksi peritoneum dari diafragma
yang menuju ke permukaan posterior lobus dextra hepar.
Diantara dua lapisan ligamen ini terdapat area besar yang
berbentuk segitiga yang tidak ditutupi oleh peritoneum yang
disebut sebagai bare area. Di area ini hepar melekat dengan
diafragma menggunakan jaringan areolar. Ligamentum
coronarium kemudian berlanjut sebagai ligamentum triangular
dextra dan sinistra.

 Ligamentum Triangular
Ligamentum triangular sinistra memiliki dua lapisan dari
peritoneum yang melebar ke batas superior dari lobus sinistra.
Ligamentum triangular sinistra merupakan sebuah struktur
pendek yang berada pada apex bare area.

(Gray’s, 2008)

Hepar menerima darah dari dua sumber darah yaitu, arteri hepatis
dan vena porta. Vena porta membawa 80% darah ke hepar. Vena porta
membawa darah sedikit oksigen dari bagian abdominopelvic. Arteri
hepatis yang merupakan cabang dari trunkus celiac membawa darah yang
mengandung banyak oksigen dari aorta. Di dekat porta hepatis arteri
hepatis dan vena porta terbagi menjadi cabang kanan dan kiri. Di dalam
tiap lobus arteri dan vena tersebut membentuk vascular segment. Hepar
merupakan organ penghasil cairan limfe yang besar. Pembuluh limfe
hepar menjadi limfatikus superficial di kapsul fibrous hepar (kapsul

5
Glisson). Kelenjar limfe superficial dan profundus akan bemuara pada
kelenjar limfe hepar. Kemudian pembuluh limfatikus ini akan bermuara ke
celiac lymph node yang nanti akan turun ke cistern chyli. Limfatikus
superficial dari aspek posterior dari fascia diafragma dan visceral
bermuara ke bare area. Yang kemudian akan bermuara pada limfe nodi
phrenicus. Beberapa pembuluh limfe juga bermuara ke limfe nodi gaster.
Nervus pada hepar berasal dari pleksus nervus hepatis yang merupakan
cabang yang paling besar dari trunkus celiacus. Nervus hepatis berjalan
bersama dengan arteri hepatis dan vena porta. Nervus tersebut
mempunyai serat simpatis dari pleksus celiacus dan serat parasimpatis
dari trunkus vagus anterior dan posterior (Moore, 2006).

2. Histologi Hepar

Hepar merupakan organ yang memiliki komposisi yang solid, dan


memiliki piringan sel epitel berwarna merah muda yang disebut sel
hepatosit. Permukaan luar dari hepar dilapisi oleh sebuah kapsul yang
terdiri dari jaringan kolagen yang disebut kapsul Glisson. Di atas kapsul
tersebut terdapat sel mesotelial yang berasal dari peritoneum (Wheather,
2006).

Hepatosit merupakan sel polyhedral yang besar dengan inti bulat dan
anak inti yang prominen. Sel hepatosit memiliki variasi ukuran inti yang
luas. Sel binucleat juga umum terdapat pada hepar. Sel hepatosit memiliki
gambaran sitoplasma yang juga bervariasi dan bergantung pada kondisi
status gizi seseorang. Sitoplasma berwarna eosinofilik yang kuat karena
mengandung banyak mitokondria dan sedikit granular basofilik karena ada
ribosom yang bebas dan retikulum endoplasma yang kasar (Wheather’s,
2006).

Hepar memiliki unit struktural yang disebut lobus hepar. Lobus hepar
berbentuk polygonal dengan ukuran 0,7 x 2 mm, dengan portal space di
bagian perifernya dan sebuah vena yang disebut vena centrilobular

6
( Junqueira, 2005). Hepar terdiri dari lobulus yang merupakan unit
mikroskopis dan fungsional organ. Setiap lobulus merupakan badan
heksagonal yang terdiri atas lempeng – lempeng sel hepar yang
berbentuk kubus dan yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis.
Pembagian unit fungsional lobulus hepar terbagi atas 3 zona, yaitu, zona
aktif, zona intermediet dan zona pasif. Zona aktif merupakan zona yang
selnya berada paling dekat dengan vena porta dan arteri hepatis. Zona ini
merupakan zona yang paling pertama terpengaruh oleh darh yang masuk
ke hepar. Zona intermediet merupakan zona yang memberi respon kedua
setelah zona aktif. Zona pasif merupakan zona dengan tingkat aktivitas sel
yang rendah, tetapi akan menjadi aktif ketika kebutuhan hepar meningkat
(Junqueira, 2005).

Sinusoid berwarna pucat dan berada di antara sel hepatosit. Sinusoid


dibatasi oleh tiga sel. Sel yang utama adalah sel endotel dengan nukleus
yang pipih dan gelap dan sitoplasma yang tipis. Di sekitar sel endotel
terdapat sel fagosit yang besar dengan inti yang ovoid yang disebut sel
Kupffer, sel ini terbentuk dari sel monosit – makrofag. Sel ketiga adalah
sel stellate, Ito cells atau liposit hepatic. Sel ini mempunyai lipid droplet
yang berisi vitamin A pada sitoplasmanya. Sel ini berfungsi menyimpan
vitamin A dan memproduksi matrix extraseluler dan kolagen (Wheater’s,
2006).

7
Gambar 2.2 Histologi hepar (Wheater’s, 2006)

Gambar 2.3 Histologi hepar (Wheater’s, 2006)

3. Fisiologi Hepar

Fungsi hati:

 Menghasilkan empedu

Empedu terdiri dari garam empedu, kolesterol, bilirubin, elektrolit


dan air.

Empedu membantu usus kecil mencerna lemak dan menyerap


lemak, kolesterol dan beberapa vitamin.

 Menyerap dan menggunakan (memetabolisme) bilirubin

Bilirubin adalah zat kuning-merah terbentuk dari hemoglobin ketika


sel-sel darah merah (sel darah merah) memecah. (Hemoglobin
adalah protein yang ditemukan dalam sel darah merah yang
membawa oksigen dan memberikan darah warna merah.)

Besi dari hemoglobin disimpan dalam hati atau digunakan oleh


sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah baru.

8
 Membantu tubuh dalam pembekuan darah (faktor koagulasi)

Tubuh membutuhkan empedu, yang diproduksi oleh hati, untuk


menyerap vitamin K, vitamin K berperan dalam faktor pembekuan
darah.

Jika hati tidak memproduksi cukup empedu, tubuh akan menyerap


kurang vitamin K dan menghasilkan faktor pembekuan darah yang
kurang.

 Membantu memetabolisme lemak tubuh

Empedu memecah lemak dari makanan untuk membuatnya lebih


mudah untuk dicerna.

 Memetabolisme protein

enzim hati memecah protein dari makanan sehingga mereka dapat


dicerna dan digunakan oleh tubuh.

 Memetabolisme karbohidrat

Tubuh memecah karbohidrat dari makanan menjadi glikogen, yang


disimpan dalam hati, kemudian glikogen dipecah menjadi glukosa
dan rilis ke dalam darah untuk mempertahankan kadar gula darah
normal.

 Menyimpan vitamin dan mineral

Vitamin A, D, E, K dan B12 disimpan dalam hati.

Hati menyimpan besi dalam bentuk feritin, yang melepaskan


sehingga tubuh dapat membuat sel darah merah baru.

menyimpan dan merilis tembaga yang diperlukan.

 Menyaring darah

Hati menyaring zat-zat tertentu dari darah sehingga yang


menyebabkan kerusakan (detoksifikasi). Zat ini dapat berasal dari
dalam atau luar tubuh.

Zat yang berasal dari dalam tubuh termasuk hormon, seperti


estrogen, aldosteron dan hormon diuretik.

Zat yang berasal dari luar tubuh termasuk alkohol dan obat lain,
seperti amfetamin, barbiturat dan steroid.

9
4. Definisi
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai
dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya
dimulai dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas,
pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur
hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi
tidak teratur akiat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut.

5. Epidemiologi
Angka kejadian sirosis hati dari hasil autopsi sekitar 2,4% (0,9%-
5,9%) di Amerika. Angka kejadian di Indonesia menunjukan pria lebih
banyak menderita sirosis dari wanita (2-4,5:1), kasus paling banyak
ditemukan pada dekade ke lima.

6. Etiologi
Etiologi yang diketahui penyebabnya

 Hepatitis virus tipe B dan C


 Alkohol
 Metabolik
 Hemokromatosis idiopatik, penyakit wilson, defisiensi alfa 1 anti
tripsin, galaktosemia, tirosinemia konginetal, DM, penyakit
penimbunan glikogen.
 Kolestasis kronik/ sirosis billiar sekunder intrahepatik dan ekstra
hepatik.
 Obstruksi aliran vena hepatik.
Payah jantung kanan.
Perikarditis konstriktiva.
Penyakit veno oklusif.
 Gangguan Imunologis
Hepatitis lupoid, Hepatitis kronik aktif
 Toksik dan Obat ( MTX, INH, Metildopa)
 Operasi pintas usus halus pada obesitas
 Malnutrisi, infeksi malaria, sistosomiasis.

Etiologi yang tidak diketahui penyebabnya

10
Sirosis yang tidak diketahui penyebabnya disebut sirosis kriptogenik/
heterogenous. Ada yang mendapatkan kekerapan 50%, di Inggris 30%.
Di Perancis dimana alkoholisme sebagai etiologi banyak dijumpai, angka
kriptogenik menurun setelah faktor etiologi diketahui seperti infeksi
hepatitis viral dengan serologik marker.

2.1 Klasifikasi
Klasifikasi sirosis hepatis terdiri dari

1. Etiologi
2. Morfologi
3. Fungsional

1. Etiologi
Etiologi yang diketahui adalah hepatitis virus akut tipe B dan C, alcohol,
metabolic, kolestasis kronik, obstruksi aliran vena hepatik, hepatitis
autoimun (lupoid hepatitis), toksik dan obat (methotrexate, metildopa),
malnutrisi, dan malaria

2. Morfologi
Secara morfologi, sirosis dibagi menjadi 3, yaitu mikronodular,
makronodular dan campuran.

Sirosis mikronodular ditandai dengan adanya septa tebal teratur dan


didalamnya terdapat nodul kecil (<3mm) yang merata di seluruh lobul.
Mikronodul ini dapat membesar dan menjadi makronodul.

Sirosis makronoduler ditandai dengan adanya septa dengan ketebalan


bervariasi, dan terdapat nodul besar (>3mm).

Sirosis campuran merupakan gabungan antara sirosis makronodular dan


mikroboduler.

3. Fungsional
Secara fungsional sirosis terbagi atas kompensasi baik (laten, sirosis dini)
dan dekompensasi (Aktif, disertai kegagalan hati dan hipertensi portal)

Kegagalan hati sering ditandai dengan adanya keluhan lemah, bert badan
menurun, kembung, mual. Selain itu juga terdapat tanda-tanda seperti
spider nevi, eritema palmaris, ascites, dan ikterus.

11
Hipertensi portal dapat terjadi karena adanya peningkatan resistensi portal
dan splanknik yang disebabkan penurunan sirkulasi akibat fibrosis dan
atau karena adanya peningkatan aliran portal akibat dari distorsi
percabangan pembuluh darah. Resitensi portal dapat terjadi di prehepatik,
intrahepatik dan posthepatik.

2.2 Patofisiologi
Pada awalnya terjadi proses peradangan di hepar yang kemudian dapat
menyebabkan nekrosis yang luas pada jaringan hepar. Keadaan ini
memicu terbentuknya jaringan parut, septa fibrosa dan nodul regenerasi
oleh sel hati yang masih baik. Sirosis hepatis pada umumnya memilik
gambaran yang sama walaupun berasal dari etiologi yang berbeda.

Septa fibrosa yang muncul terbentuk dari sel retikulum penyangga rusak
yang berubah menjadi jaringan parut. Beberapa sel dapat tumbuh kembali
dan membentuk nodul dengan berbagai ukuran (makronodul dan
mikronodul). Hal ini dapat menyebabkan distorsi percabangan pembuluh
hepatik dan aliran portal yang dapat menimbulkan hipertensi portal.

Berikutnya, akan terjadi peradangan dan nekrosis pada sel duktul,


sinusoid, retikulo endotel, dan terjadi fibrogenesis. Jadi fibrosis pasca
nekrotik adalah dasar timbulnya sirosis hepatik.

2.3 Gejala Klinik


Dari pemeriksaan fisik, dapat ditemukan:

1. Hepatomegali dan atau splenomegali


2. Spider naevi (terutama pada pasien alkoholik)
3. Ikterus / jaundice
4. Eritema palmaris
5. Ascites dan atau oedema tungkai bawah
6. Gambaran vena kolateral

Manifestasi klinis lain yang muncul dapat berupa:

1. Lemah
2. Nafsu makan menurun
3. Gatal
4. Mual
5. Penurunan berat badan
6. Nyeri perut
7. Mudah berdarah

12
8. BAB berwarna hitam dan atau muntah darah.
2.4 Diagnosa
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan:

Pemeriksaan Laboratoris:

1. Pemeriksaan SGOT dan SGPT


Peningkatan kadar SGOT dan SGPT merupakan salah tanda
adanya peradangan atau kerusakan hepar akibat berbagai macam
penyebab

2. Albumin
Penurunan kadar albumin merupakan tanda kemampuan sel hepar
yang menurun

3. Auto-antibodi
Umumnya dapat ditemukan pada pasien dengan hepatitis autoimun

4. Faktor pembekuan darah

Pemeriksaan Endoskopi:

Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan varises esofagus. Jika ditemuka


varises yang besar, maka harus segera dilakukan prevensi agar tidak
terjadi perdarahan.

Pemeriksaan Radiologis:

Dapat dilakukan USG, CT scan atau MRI. Dari pemeriksaan ini yang
dapat dinilai berupa gambaran adanya hepatomegali, nodul pada hepar,
splenomegali, pelebaran vena hepatis, vena porta dan cairan dalam
abdomen.

Pungsi cairan ascites:

Bila terdapat penumpukan cairan di dalam abdomen makan dapat


dilakukan pungsi. Jika cairan berjenis eksudat maka dapat diperkirakan
akibat sirosis hepatis.

Kriteria diagnosa Sirosis Hepatis (5 dari 7):

13
1. Ascites dan atau oedema tungkai bawah
2. Hematemesis dan atau melena
3. Eritema palmaris
4. Gambaran vena kolateral yang mebesar pada dinding perut
5. Spider naevi
6. Albumin menurun
7. Splenomegali

2.5 Komplikasi
1. Edema dan asites
2. SBP
3. Perdarahan saluran cerna
4. Ensefalopati hepatic
5. Sindroma hepatorenal
6. Sindroma hepatopulmoner
7. Koagulopati
8. Kanker hati

2.6 Manajemen
Pengobatan yang spesifik dapat diberikan pada berbagai kelainan hepar
untuk mengurangi keluhan dan mencegah perkembangan selanjutnya
menjadi sirosis hepar. Sekali sirosis terjadi, pengobatan terutama
ditujukan kepada komplikasi yang mungkin telah timbul.
Terapi sirosis antara lain :
A. Mencegah kerusakan lebih lanjut pada hepar,
1. Istirahat, membatasi aktivitas fisik
2. Konsumsi diet yang seimbang dan multivitamin setiap hari,
seyogyanya yang mengandung tinggi kalori dan kaya protein, bila
tidak ada ensefalopati hepatik.
3. Hindari obat-obat (termasuk alkohol) yang dapat merusak hepar.
Semua pasien dengan sirosis harus menghindari alkohol. Juga
psien dengan hepatitis kronik B dan C dapat mengalami perbaikan
kerusakan heparnya dan memperlambat profresifitasnya ke arah
sirosis dengan cara menghentikan pemakaian alkohol.

14
4. Hindari obat-obat anti-inflamasi non-steroid (NSAIDs). Pasien
dengan sirosis dapat mengalami kemunduran fungsi hati dan
ginjalnya akibat NSAIDs.
5. Eradikasi virus hepatitis B dan C dengan menggunakan obat-obat
anti-viral. Namun harus diingat bahwa tidak semua pasien sirosis
akibat hepatitis virus kronik, merupakan kandidat untuk pengobatan
dengan anti-viral. Beberapa pasien dapat mengalami kemunduran
faal hati yang serius atau mengalami efek samping yang berat
selama pengobatan.
6. Pengambilan darah (flebotomi) pada pasien dengan
hemokromatosis, untuk menurunkan kadar zat besi dalam darah,
dan mencegah kerusakan hepar lebih lanjut.
7. Sistem imun dapat ditekan dengan obat-obat seperti prednisone
dan azathioprine (Imuran), untuk mengurangi inflamasi dalam hati
pada hepatitis autoimun.
8. Pasien dengan PBC dapat diobati dengan preparat asam empedu
seperti urodeoxycholic acid (UDCA).
9. Imunisasi pasien sirosis terhadap infeksi hepatitis A dan B, berguna
untuk mencegah terjadinya kemunduran faal hepar yang serius.
Pada saat ini masih belum ditemukan vaksin untuk hepatitis C.

B. Mengobati komplikasi sirosis,


1. Asites dan edema
Pada sirosis hepar yang lanjut, terjadi retensi cairan akibat
akumulasi garam. Retensi cairan paling sering terjadi di daerah kaki
akibat proses gravitasi, dan dalam rongga perut akibat hipertensi
portal. Asites dan edema juga bisa disebabkan akibat
hipoalbuminemia karena produksi albumin yang terganggu dalam
hepar. Untuk membedakan penyebab asites, dapat dilakukan
pemeriksaan SAAG (serum-ascites albumin gradient) : bila nilainya
> 1,1 gram%, penyebabnya adalah penyakit non-peritoneal
(hipertensi portal, hipoalbumin, asites chyllous, tumor ovarium dll.).

15
sebaliknya bila nilainya < 1,1 gram%, disebabkan oleh penyakit
peritoneum atau eksudat (keganasan, peritonitis – seperti tbc,
jamur, amuba- atau benda asing dalam peritoneum). Asites juga
dapat dibagi dalam 4 tingkatan asites : tingkat 1 – hanya dapat
dideteksi dengan pemeriksaan seksama, tingkat 2 – deteksi lebih
mudah tapi biasanya jumlahnya hanya sedikit, tingkat 3 – tampak
jelas tetapi tidak terasa keras (“tense”), dan tingkat 4 – bila asites
mulai terasa keras.
Untuk mengurangi edema dan asites, pasien dianjurkan
untuk membatasi asupan garam dan air. Jumlah diet garam yang
dianjurkan biasanya sekitas 2 gram per hari, dan cairan sekitar 1
liter sehari. Kombinasi diuretika spironolaktin dan furosemide dapat
menurunkan dan menghilangkan edema dan asites pada sebagian
besar pasien. Spironolakton dapat siberikan dalam dosis 100-400
mg sehari. Bila perlu dapat dikombinasikan dengan furosemide 40-
160 mg sehari, dengan pengawasan ketat terhadap tekanan darah,
produksi urin, status mental pasien, dan kadar elektrolit serum
(terutama K).
Bila pemakaian diuretika tidak berhasil (pada asites yang
refrakter), dapat dilakukan parasentesis anomen, untuk mengambil
cairan asites secara langsung dari rongga perut. Bila asites
sedemikian besar sehingga menimbukan keluhan nyeri akibat
distensi abdomen, dan atau kesulitan bernafas karena
keterbatasan gerkan diafragma, parasentesis dapat dilakukan
dalam jumlah yang banyak lebih dari 5 liter (large volume
paracentesis “LVP”). Pemberian albumin intravena sebanyak 6-8
gram/liter secara bersama-sama dengan LVP, dapat bermanfaat
untuk mempertahankan volum intravaskuler dan mencegah
terjadinya disfungsi sirkulasi pascaparacentesis. LVP dapat
dikerjakan setiap hari dampai asites menghilang atau berkurang.
Pengobatan lain untuk asites yang refrakter adalah TIPS

16
(transjugular intravenous portosystemic shunting) atau transplantasi
hati.

2. Perdarahan varises
Peningkatan tekanan dalam vena pirta dapat menimbulkan
varises esofagus maupun lambung, perdarahan dari varises-
varises ini biasanya adalah berat dan, tanpa perawatan segera,
dapat menjadi fatal. Gejala-gejala dari perdarahan varises dapat
berupa hematemesis atau muntah darah (muntahan dapat berupa
darah merah bercampur dengan gumpalan-gumpalan atau “coffee
grounds”), dan atau melena yakni buang air besar berwarna merah
atau hitam seperti petis. Sekali varises telah berdarah, mereka
cenderung untuk berdarah kembali dan kemungkinan
bahwaseorang pasien akan meninggal dari setiap episode
perdarahan adalah tinggi (30% - 35%). Oleh karenanya, perawatan
adalah perlu untuk mencegah episode perdarahan yang pertama
dan begitu juga perdarahan kembali. Perawatan-perawatan
termasuk obat-obat dan prosedur-prosedur untuk mengurangi
tekanan dalam vena portal dan prosedur-prosedur untuk
memperkecil varises (eradikasi) :
a. Propanolol atau nadolol, merupakan obat penyekat reseptor
beta non-selektif, efektif untuk menurunkan tekanan vena porta,
dan dapat dipakai baik untuk mencegah perdarahan ulang
varises pada pasien sirosis, terutama pada pasien dengan
varises sedang sampai besar.
b. Octreotide (Sandostatin) dan Somatostatin, juga terbukti dapat
menurunkan tekanan vena porta, dan telah dipakai sejak lama
untuk pengobatan varises yang sedang berdarah aktif. Obat ini
diberikan dalam bentuk infus iv kontinyu.
c. Terapetik endoskopi, baik skleroterapi maupun ligasi
endoskopik, keduanya efektif untuk menimulkan obliterasi

17
varises, baik untuk menghentikan perdarahan varises aktif
maupun untuk mencegah perdarahan ulang.
d. Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) adalah
prosedur nonbedah untuk menurunkan tekanan dalam vena
porta. Biasanya dikerjakan oleh dokter spesialis radiologi. TIPS
terutama berguna untuk pasien yang gagal dalam pengobatan
dengan beta bloker, skelroterapi, maupun ligasi varises. TIPS
juga bermanfaat untuk pengobatan asites yang refrakter. Selain
itu TIPS juga dapat dipakai pada psien sirosis untuk mencegah
perdarahan varises, sementara menunggu transpalantasi hati.
Efek samping yang paling sering ditemukan pada TIPS adalah
ensefalopati hepatic.

3. Spontaneus bacterial peritonitis (SBP)


Cairan dalam rongga perut (asites) adalah tempat yang
sempurna untuk bakteri-bakteri berkembang. Secara normal,
rongga perut mengandung suatu jumlah yang sangat kecil cairan
yang mampu melawan infeksi dengan baik, dan bakteri-bakteri
yang masuk ke perut (biasanya dari usus) dibunuh atau
menemukan jalan mereka ke dalam vena portal dan ke hati dimana
mereka ibunuh, pada sirosis, cairan yang mengumouk di dalam
perut tidak mampu untuk melawan infeksi secara normal. Sebagai
tambahan, ebih banyak bakteri-bakteri menemukan jalan mereka
dari usus ke dalam asites. Oleh karenanya, infeksi di dalam perut
dan asites, disebut sebagai spontaneus bacterial peritonitis atau
SBP. SBP adalah suatu komplikasi yang dapat mengancam nyawa
pasien. Beberapa pasien dengan SBP ada yang tidak mempunyai
keluhan sama sekali, namun sebagian lain ada yang menunjukkan
keluhan demam, menggigil, nyeri abdomen, rasa tak enak di perut,
diare, dan asites yang tambah memburuk.
Dengan pemberian antibiotika yang baik (cefotaxime 2-3 x 2
gram iv selama 5 hari), dan deteksi serta pengobatan yang dini,

18
prognosis biasanya baik. Antibiotika lain yang dapat dipakai bila
terjadi resistensi : cetriaxone, amoxicillin-clavulanic, dan
fluoroquiolones. Pada beberapa pasien pemberian antibiotika oral
(seperti ciprofloxacin, norfloxacin, dan trimethoprim-
sulfamethoxazole) selama beberapa hari, dapat digunakan untuk
mencegah SBP. Tidak semua pasien sirosis dan asites
memerlukan pengobatan dengan antibiotika utnuk mencegah SBP,
sehingga membutuhkan pencegahan ;
a. Pasien sirosis yang masuk rumah sakit dengan perdarahan
varises mempunyai risiko ringgi mendapat SBP, karena itu
antibiotika harus diberikan seawal mungkin utnuk mencegah
SBP ini.
b. Pasien dengan episode SBP yang berulang kali.
c. Pasien dengan kadar protein yang renah dalam cairan
asitesnya (cairan asites degan kadar protein rendah lebih
mudah terkena infeksi).

4. Ensefalopati Hepatik
Pasien-pasien dengan keluhan sulit tidur, sulit
berkonsentrasi, pikiran yang terganggu, kelakuan yang aneh, atau
tanda-tanda lain dari ensefalopati hepatik (EH) biasanya harus
dirawat dengan diet rendah protein dan lactulose oral. Protein dari
makanan dibatasi karena merupakan sumber dari senyawa-
senyawa toksik yang menyebabkan EH. Lactulose, yang adalah
suatu cairan, yang dapat menyerap bahan toksik dalam usus besar
(kolon). Sebagai konsekuensi, senyawa toksik ini tidak dapat
diserap ke dalam aliran darah dan menimbulkan ensefalopati.
Pada pasien dengan ensefalopati hepatik yang semakin
jelas (overt HE), ada 3 tindakan yang harus segera diberikan :
1) singkirkan penyebab ensefalopati yang lain,
2) perbaiki atau singkirkan faktor pencetus (prepicipitating factors),
dan

19
3) segera mulai pengobatan empiris, yang dapat berlangung dalam
jangka lama, seperti : klisma, diet rendahatau tanpa protein,
pemberian laktulosa, antibiotika (neomycin, metronidazole, atau
vancomycin), asam amino rantai cabang, bromocriptine, preparat
zenk, dan atau ornithine aspartate. Antibiotik-antbiotik ini bekerja
dengan cara menghambat produksi dari senyawa-senyawa toksik
oleh bakteri dalam ussu besar. Bila ensefalopati membangkang,
atau timbul berulang kali dengan pengobatan empiris, dapat
dipertimbangkan utnuk transplantasi hati.
Ada 3 tipe ensefalopati hepatik berdasar penyakit yang
mendasari :
tipe A – akibat gagal hati akut,
tipe B – akibat pintasan porto-sistemik tanpa sirosis, dan
tipe C – akibat penyakit hati kronik atau sirosis dengan atau tanpa
pintasan porto-sistemik.

5. Sindroma hepatorenal
Pasien dengan sirosis yang semakin memburuk dapat
berkembang menjadi sindroma hepatorenal (SHR). Sindroma ini
merupakan komplikasi yang serius, dimana fungsi ginjal menurun.
Kelainan ini sebenarnya merupakan kelainan fungsi dari ginjal,
dimana ginjal secara fisik sebenarnya tidak mengalami kerusakan
sama sekali. Penurunan fungsi ginjal ini disebabkan oleh
perubahan aliran darah ke dalam ginjal sendiri. Gambaran yang
khas dari HRS : oliguria, hiponatremi, dan kadar Na yang rendah
dalam urin. HRS biasanya terjadi pada 10% pasien sirosis hati
yang lanjut.
Ada 2 macam tipe sindroma hepatorenal :
tipe 1 – penurunan fungsi terjadi dalam beberapa bulan, dan
tipe 2 – penurunan fungsi ginjal terjadi sangat cepat dalam waktu 1-
2 minggu.

20
Pengobatan HRS biasanya sulit. Ada beberapa cara
pengobatan yang bisa dicoba dengan hasil sangat bervariasi : infus
albumin + vasopressor (octreotide iv/sc), MARS (Molecular
Adsorbent Recirculating System), TIPS, dan terakhir transplantasi
hati.

6. Sindroma hepatopulmoner
Meskipun jarang, pasien dengan sirosis yang lanjut dapat
berkembang menjadi sindroma hepatopulmoner (hepatopulmonary
syndrome = HPS). Pasien-pasien ini mengalami kesulitan bernafas,
akibat sejumlah hormon tertentu terlepas pada sirosis yang lanjut
karena fungsi paru yang abnormal. Masalah dasar dalam paru
adalah tidak tersedianya cukup aliran darah dari pembuluh darah
kecil dalam paru yang mengadakan kontak dengan alveoli dalam
paru. Aliran darah lewat paru mengalami pintasan sekitar alveoli,
dan tidak dapat mengambil cukup banyak oksigen dari udara dalam
alveli. Akibatnya adalah pasien mengalami perasaa sesak atau
nafas pendek, terutama pada saat melakukan latihan.
Pengobatan medik biasanya mengecewakan. Beberapa cara
pengobatan eksperimental yagn pernah dicoba : methylen biru
intravena, norfloxacin oral, dikatakan dapat memperbaiki
oksigenasi dengan cara menghambat efek vasodilatasi akibat
pengaruh NO. pemberian perntoxifylin dikatakan dapat
menghambat terjadinya HPS dengan cara mnghambat produksi
TNF (Tumor Necrosis Factor).

7. Koagulopati
Hipoprotrombinemia akibat malnutrisi dan defisiensi vitamin
K dapat diobati dengan pemberian vitamin K (intravena maupun
oral); namun pengobatan ini kurang efektif bila sintesis faktor-faktor
koagulasi tergnggu karena penyakit hati. Pada beberapa kasus,
perbaikan pemanjangan waktu protrombin dapat dilakukan dengan

21
pemberian FFP (fresh frozen plasma) dalam jumlah besar. Namun
karena efek pengobatan ini berdifat sementara atau transient,
pemberian infus plasma ini tidak dianjurkan kecuali pada :
perdarahan aktir, atau sebelum tindakan invasif, namun tindakan ini
masih diperdebatkan kegunaannya.

C. Mencegah terjadinya kanker hepar atau deteksi sedini mungkin,


D. Transplantasi hepar.

PROGNOSIS
Prognosis pasien sirosis tergantung ada tidaknya komplikasi akibat
sirosisnya. Pasien dengan sirosis kompensata mempunyai harapan hidup
lebih lama bila tidak berkembang menjadi sirosis dekompensata.
Diperkirakan harapn hidup pasien sirosis kompensata sekitar 47% dalam
waktu 10 tahun. Sebaliknya pasien sirosis dekompensata, mempunyai
harapan hidup hanya sekitar 16% dalam waktu 5 tahun.
Indeks hati, juga dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menilai
prognosis pasien sirosis hati dengan hematemesis melena yang
mendapat pengobatan secara medik. Dari hasil penelitian sebelumnya,
pasien yang mengalami kegagalan hati ringan (indeks hati 0-2), angka
kematian antara 0-16%, sementara yang mempunyai kegagalan hati
sedang sampai berat (indeks hati 3-8) angka kematian antar 18-40%.
Untuk pasien sirosis hati yang direncanakan untuk tindakan bedah,
penilaian prognosis pasien dilakukan dengan melakukan penilaian skor
menurut dengan Child-Turcotte-Pough (skor CTP). Sementara untuk
penilaian pasien sirosis yang direncanakan untuk transplantasi dikerjakan
dengan menggunakan skor MELD (Model for End-stage Liver Disease)
atau PELD (Pediatric for End-stage Liver Disease).

22
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Rumah Sakit Pendidikan dr. Soetomo Surabaya, Edisi 2, Sirosis
Hati, Hernomo O Kusumobroto, Hal. 292-298

23
BAB 3
KESIMPULAN

1.

24
DAFTAR PUSTAKA

1.

25

Anda mungkin juga menyukai