PENDAHULUAN
1
Sampai saat ini, masih belum ada ketentuan dan kesepakatan yang pasti
mengenai penatalaksanaan kehamilan postterm. Masalah yang sering dihadapi
pada pengelolaan kehamilan postterm adalah perkiraan usia kehamilan yang tidak
selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur
sebagaimana yang diperkirakan. Ketidakakuratan penentuan usia kehamilan akan
menyulitkan kita untuk menentukan apakah janin akan terus hidup atau sebaliknya
mengalami morbiditas bahkan mortilitas bila tetap berada dalam rahim. 2
Masalah lain dalam penatalaksanaan kasus kehamilan postterm adalah
karena pada sebagian besar pasien (±70%), saat kehamilan mencapai 42 minggu,
didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan nilai Bishop yang rendah
sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Sementara itu, persalinan
yang berlarut-larut akan sangat merugikan bayi postmatur. Oleh sebab itu, masih
menjadi kontroversi sampai saat ini apakah pada kehamilan postterm langsung
dilakukan terminasi/induksi atau dilakukan penanganan ekspektatif sambil
dilakukan pemantauan kesejahteraan janin. 2
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Pada akhir tahun 2012, sebuah kelompok kerja yang terdiri dari American
college of obstetricians and gynecologists (ACOG), the society for maternal-
fetal medicine (SMFM) dan para pakar profesional lain merekomendasikan
istilah “term” digantikan dengan early term, full term, late term and post-term
agar lebih akurat dalam menentukan apakah persalinan terjadi pada minggu ke-
37 minggu atau diatas 37 minggu kehamilan. 3
3
kemudian. Ini dikatakan, beberapa kehamilan mungkin sebenarnya tidak
postterm, tetapi cenderung merupakan kesalahan estimasi usia kehamilan karena
kesalahan mengingat tanggal menstruasi atau ovulasi yang tertunda. Jadi,
terdapat dua kategori kehamilan yang mencapai 42 minggu lengkap:1
1. Kehamilan yang benar-benar 40 minggu pasca konsepsi.
2. Kehamilan yang gestasinya kurang lanjut karena ketidaktepatan perkiraan
usia kehamilan.
Blondel menganalisis angka kehamilan posterm menurut enam
algoritma untuk memperkirakan usia gestasional berdasarkan baik periode
menstruasi terakhir, ultrasound pada 16-18 minggu, atau keduanya. Penelitian
Kanada ini melibatkan 44.623 wanita yang melahirkan antara 1978 dan 1996 di
RS Royal Victoria di Montreal. Proporsi kelahiran pada 42 minggu atau lebih
adalah 6,4 persen bila berdasarkan hanya periode menstruasi terakhir dan 1,9
persen bila hanya berdasarkan ultrasound. Ini menaikkan kemungkinan bahwa
tanggal menstruasi seringkali tidak akurat dalam mempekirakan kehamilan
postterm. Penelitian belakangan oleh Bennett mengkonfirmasi hal ini. Karena
sebagian kecil wanita berovulasi lebih awal dari yang diperkirakan, adalah
mungkin bahwa genap 40 minggu pascakonsepsi dicapai setelah 41 minggu
amenore. 1
Oleh karena itu, kebanyakan kehamilan yang dipercaya genap 42 minggu
setelah menstruasi terakhir mungkin tidak secara biologis diperpanjang.
Sebaliknya, beberapa yang belum 42 minggu mungkin saja postterm. Variasi
pada siklus menstruasi ini telah menjelaskan, paling tidak sebagian, mengapa
sejumlah kecil proporsi janin yang dilahirkan postterm memiliki bukti
postmaturitas. Karena tidak ada metode untuk mengidentifikasi kehamilan yang
benar-benar diperpanjang, semua kehamilan yang dinilai telah genap 42 minggu
harus ditangani sebagai perpanjangan abnormal.1
Pengertian dari Post dated pregnancy didefinisikan berbeda oleh
Fernandos Arias yang mendefinisikan post dated pregnancy sebagai kehamilan
yang berlangsung melampaui perkiraan tanggal kelahiran (EDD).4
4
2.1.2 Epidemiologi Kehamilan Post Date
Kejadian kehamilan postterm adalah sekitar 7% dari semua kehamilan.
Prevalensi ini bervariasi tergantung pada karakteristik populasi dan praktik
pengelolaan lokal. Karakteristik populasi yang mempengaruhi prevalensi
meliputi: persentase primigravida pada populasi yang diteliti, prevalensi
obesitas, kehamilan postterm sebelumnya dan juga predisposisi genetik. Proporsi
wanita dengan komplikasi kehamilan dan frekuensi persalinan spontan juga
mempengaruhi tingkat kehamilan postterm. Hubungan antara etnisitas dan durasi
kehamilan secara keseluruhan belum mapan.5
Gambar di bawah ini menyatakan bahwa 8% dari 4 juta bayi yang
dilahirkan di Amerika Serikat sepanjang tahun 1997, diperkirakan dilahirkan
pada usia gestasi ≥ 42 minggu sedangkan yang dilahirkan preterm (usia gestasi ≤
36 minggu) hanya sebesar 11%.5
Tabel 1. Distribusi Usia Gestasi
Usia Gestasi
2000000 1.793.421
1800000 (46%)
1600000
1400000
1200000
851.729
1000000 (22%)
800000 458.145
600000 436.600 302.541
(12%)
(11%) (8%)
400000
200000
0
≤ 36 37-39 40 41 ≥ 42
5
elektif (CS) akan mempengaruhi keseluruhan prevalensi kehamilan postterm. Di
Amerika Serikat misalnya, peningkatan kejadian IOL dalam dekade terakhir
dikaitkan dengan penurunan jumlah kehamilan yang berlangsung lewat dari 41
dan 42 minggu dimana masing-masing 18% dan 10% pada tahun 1998 menjadi
14% dan 4% masing-masing pada tahun 2005. Demikian pula, penggunaan AS
awal untuk penanggalan kehamilan dikaitkan dengan penurunan kejadian
kejadian postterm yang signifikan dari 12% menjadi 3%.
Pada salah satu artikel, McClure Browne melaporkan meningkatnya
kematian perinatal 2 kali lebih tinggi pada kehamilan lebih dari 42 minggu.
Peningkatan angka kematian tidak termasuk preeklampsi, malformasi
kongenital, dan perdarahan antepartum. Banyak juga yang menghubungkan
antara angka kesakitan perinatal dengan angka kematian pada neonatus yang
lahir lewat waktu.5
Menurut beberapa penelitian, peningkatan angka mortalitas perinatal
(lahir mati ataupun kematian neonatus) berhubungan dengan memanjangnya
waktu kehamilan (serotinus). Pada usia kehamilan 42 minggu, angka mortalitas
meningkat 2 kali lipat, sedangkan bila lebih dari 44 minggu, maka angka
kematian meningkat 4 sampai 6 kali lipat. Karena itu, sebaiknya usia kehamilan
dapat diketahui dengan tepat untuk menurunkan insidensi kematian perinatal ini.
5,9
6
Grafik 1. Hubungan antara angka mortalitas perinatal dengan kehamilan
post matur
2.1.3 Etiologi
Etiologi terjadinya postterm sampai saat ini belum diketahui secara pasti
dan hal ini berkaitan dengan belum jelasnya etiologi proses persalinan. Ada
beberapa hipotesis mengenai proses terjadinya persalinan. Beberapa ahli
berpendapat bahwa timbulnya persalinan akibat dari pertumbuhan janin sehingga
terjadi peregangan dinding uterus bersamaan dengan penurunan fungsi plasenta
sehingga merangsang timbulnya kontraksi uterus. Persalinan juga dapat terjadi
akibat peningkatan kepekaan uterus terhadap oksitosin dan adanya peningkatan
prostaglandin.1,2
Teori” Sistem Komunikasi Organ” mengatakan bahwa janin memberikan
isyarat kepada ibu bila pematangan dari organ-organ janin sudah sempurna.
Teori ini mengemukakan bahwa kortisol fetus menyebabkan plasenta
mengurangi produksi progesteron dan meningkatkan pelepasan estrogen. Hal ini
selanjutnya akan menimbulkan kenaikan prostaglandin dalam amnion yang
7
berguna untuk stimulasi penipisan serviks dan kontraksi ritmik uterus yang
merupakan ciri khas proses persalinan.1
Beberapa teori diajukan, yang pada umumnya menyatakan
bahwa terjadinya KLB sebagai akibat gangguan terhadap timbulnya persalinan.
Beberapa yang teori diajukan antara lain :2
1. Pengaruh progesterone : Penurunan hormon progesterone dalam kehamilan
dipercaya merupakan kejadian perubahan endokrin yang penting dalam
memacu proses biomolekuler pada persalinan dan meningkatkan sensitivitas
uterus terhadap oksitosin, sehingga beberapa penulis menduga bahwa
terjadinya KLB adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesterone.
2. Teori oksitosin : Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan pada KLB
memberi kesan atau dipercaya bahwa oksitosin secara fisiologis memegang
peranan penting dalam menimbulkan persalian dan pelepasan oksitosin dari
neurohipofisis wanita hamil yang kurang pada usia kehamilan lanjut diduga
sebagai salah satu faktor penyebab KLB.
3. Teori Kortisol/ACTH janin : Dalam teori ini diajukan bahwa sebagai
“pemberi tanda” untuk dimulainya persalinan adalah janin, diduga akibat
peningkatan tiba-tiba kadar kortisol plasma janin. Kortisol janin akan
mempengaruhi plasenta, sehingga produksi progesterone berkurang dan
memperbesar sekresi estrogen, selanjutnya berpengaruh terhadap
meningkatnya produksi prostaglandin. Pada cacat bawaan janin seperti
anensefalus, hipoplasia adrenal janin dan tak adanya kelenjar hipofisis pada
janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga
kehamilan dapat berlangsung lewat bulan.
4. Syaraf uterus : Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser
akan membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan dimana tidak ada tekanan
pada pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian
bawah masih tinggi kesemuanya diduga sebagai penyebab terjadinya KLB.
5. Heriditer. Beberapa penulis menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami
KLB, mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat bulan pada
kehamilan berikutnya. Menurut Mogren seperti dikutip Cunningham,
8
menyatakan bahwa bilamana seorang ibu mengalami KLB saat melahirkan
anak perempuan maka besar kemungkinan anak perempuannya akan
mengalami KLB. Pada kasus postterm, penurunan konsentrasi estrogen tidak
cukup untuk menstimulasi pelepasan prostaglandin dan proses persalinan
sehingga kehamilan berlangsung lewat waktu.1
Ada beberapa faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan
kehamilan postterm antara lain: 1,2
1. Ketidaktahuan haid terakhir
Paling sering terjadi dan berhubungan dengan pemeriksaan antenatal yang
terlambat atau tidak sama sekali.
2. Ovulasi yang ireguler / fase folikuler yang berlebihan
Jika ovulasi dan fertilisasi dianggap terjadi 2 minggu sebelum HPHT maka
fase folikuler yang bervariasi dapat menyebabkan perkiraan usia
kehamilan yang berlebihan.
3. Perbandingan progesteron dan estrogen
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penundaan produksi estrogen
yang akan menyebabkan penundaan persalinan seperti :
o Menurunnya produksi 16-α-hidroksidehidroisoandrosteron sulfat
yang merupakan prekursor untuk produksi estriol, misalnya pada
kasus anensefalus.
o Hipoplasia adrenal mempunyai efek penurunan produksi prekursor
untuk sintesa estriol.
o Defisiensi sulfatase plasenta, suatu penyakit X-linked herediter
yang dapat mencegah konversi prekursor estrogen sulfat menjadi
estrogen oleh plasenta yang ditandai dengan kadar estriol,yang
rendah.
4. Umur ibu
Angka kejadian postterm meningkat pada umur ibu dibawah 19 tahun dan
diatas 30 tahun. Mead dan Marcus (1988) mendapatkan angka kejadian
postterm yang paling tinggi pada umur 21 – 25 tahun baik pada primi /
multigravida.
9
5. Paritas
Angka kejadian postterm lebih tinggi pada primigravida dibandingkan
dengan multigravida.
6. Jenis kelamin janin
Janin laki -laki 5% lebih banyak menjadi postterm dibandingkan jika
janinnya perempuan. Kemungkinan terjadinya gawat janin juga lebih
besar.
7. Hubungan dengan siklus haid
Angka kejadian postterm pada ibu dengan siklus haid yang panjang 13,2
% lebih tinggi dibandingkan ibu dengan siklus haid normal.
8. Sosioekonomi
Beberapa peneliti melaporkan bahwa kejadian postterm lebih sering terjadi
pada ibi-ibu dengan sosioekonomi rendah.
9. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital seperti anensefalus, hidrosefalus, dan kelainan
congenital lainnya berhubungan dengan bertambahnya angka kejadian
postterm. Pada janin anencephaly, tidak terdapat pembentukan kelenjar
hipofise, kehamilannya selalu lewat waktu, berlawanan dengan janin
anencephali dengan kelenjar hipofise yang berkembang normal. 10 dari 19
5
fetus lewat waktu meninggal karena hipoplasia kelenjar adrenal.
Kelainan defisiensi sulfatase terjadi 1:2000 sampai 1:6000 kelahiran. Janin
terkena ichtiosis, kelainan kulit seperti hiperkeratosis, juga dihubungkan
dengan kornea yang opak, stenosis pilorus dan criptorchism. Plasenta tidak
mampu untuk menghidrolisis prekursor estrogen dihydroepiandrosterone
sulfate (DHEA-S) atau 16 α-hydroxy-DHEA-S; konsentrasi estrogen ibu
biasanya rendah dan abnormal. Kebanyakan kehamilan dengan defisiensi
sulfatse plasenta biasanya terdeteksi dengan kadar estriol yang terlalu
rendah baik pada urine ibu maupun dalam darah ketika kita evaluasi fungsi
plasenta yang berubungan dengan kehamilan leat waktu. Kebanyakan
pasien ini gagal untuk persalinan normal dan banyak dilakukan persalinan
dengan Sectio Caesarea. Lebih sering diberikan serum estriol
10
unconjugated untuk identifikasi Down syndrome dan defisiensi sulfatase
plasenta pada awal kehamilan.
2.1.4 Patogenesis
Patogenesis kehamilan postterm tidak dipahami secara jelas. Seperti yang
ditunjukkan di atas beberapa faktor risiko yang terkait dengan kehamilan
postterm diidentifikasi dengan beberapa penjelasan yang mungkin,
bagaimanapun, patogenesis kondisi ini belum jelas. Meskipun mengalami
peningkatan pemahaman tentang parturisi dalam beberapa tahun terakhir, kita
masih kekurangan kejelasan tentang mekanisme yang tepat yang memulai
persalinan dan memungkinkan perkembangannya. Untuk memiliki pemahaman
yang lebih baik tentang patogenesis kehamilan postterm, penting untuk
menjelaskan patofisiologi parturisi dan mencoba memahami mengapa
mekanisme ini gagal dipicu pada kehamilan postterm atau sebaliknya dipicu
pada persalinan prematur. Tampaknya logis bahwa landasan bersama atau kaitan
memang ada di antara ketiga kondisi ini. Mekanisme parturisi mencakup
interaksi antara proses hormonal, mekanik dan inflamasi, di mana plasenta, ibu
dan janin masing-masing memainkan peran penting.1,2,5
Produksi plasenta hormon pelepas kortikotropin peptida (CRH) telah
dikaitkan dengan lamanya kehamilan. Sintesis CRH oleh plasenta meningkat
secara eksponensial seiring kemajuan dan puncak kehamilan pada saat
persalinan. Pada wanita yang melahirkan secara prematur, kenaikan
eksponensial lebih cepat daripada yang diberikan pada saat menstruasi,
sedangkan pada wanita yang melahirkan postterm tingkat kenaikannya lebih
lambat. Data ini menunjukkan bahwa persalinan postterm disebabkan oleh
perubahan mekanisme biologis yang mengatur lamanya kehamilan. Ini mungkin
karena predisposisi yang diwariskan karena polimorfisme pada gen pada jalur
fisiologis yang menghubungkan CRH dengan kelahiran. Mungkin juga fenotip
ibu dapat mengubah respons jaringan ibu terhadap sinyal hormonal biasa sampai
kelahiran seperti yang mungkin terjadi pada wanita obesitas. 1,2,5
11
CRH dapat secara langsung merangsang produksi adrenal janin DHEAs,
prekursor sintesis plasenta oestriol. Konsentrasi CRH plasma ibu berkorelasi
dengan konsentrasi oestriol. Kenaikan oestriol yang digerakkan oleh CRH
meningkat pada akhir kehamilan lebih cepat daripada tingkat estradiol yang
menyebabkan peningkatan rasio oestriol terhadap estradiol yang telah
dipostulasikan untuk menghasilkan lingkungan estrogenik pada minggu-minggu
terakhir kehamilan. Pada saat bersamaan, peningkatan konsentrasi progesteron
plasma ibu yang terjadi di masa gestasi melambat pada akhir kehamilan atau
bahkan turun. Ini mungkin karena penghambatan CRH sintesis progesteron
plasenta. Dengan demikian efek pro kehamilan progesteron (memicu relaksasi)
menurun karena peningkatan aksi pro-labor oestriol (memicu kontraksi).
Perubahan rasio ini telah diamati pada kelahiran prematur, nulipara dengan
kehamilan tunggal dan kehamilan kembar. Situasi kehamilan postterm tidak
diketahui. Hal ini mungkin serupa pada wanita postterm yang masuk ke
persalinan spontan atau mereka yang merespons IOL, berdasarkan satu studi
tentang wanita postterm. 1,2,5
2.1.5 PATOFISIOLOGI
12
Teori endokrin berperan dalam meregulasi aktifitas kontraktibilitas dari
sel-sel miometrium dengan jalan bertindak selaku molekul signaling dan first
messenger. Sistem endokrin dalam lingkungan mikro uterus, plasenta
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem parakrin (mediator dan sitokin) serta
sistem autokrin (sitokin autoregulasi). Dengan demikian sistem endokrin,
parakrin, dan autokrin memiliki hubungan korelasi yang kuat. 1,6,7
Hormon yang berperan dalam proses persalinan adalah Corticotropin
Releasing Hormon (CRH) dan Oxytocin. Kedua hormon tersebut memiliki
mekanisme yang terkait dengan aktifitas derivat asam arakidonat, yaitu
Prostaglandin (PGE2 dan PGH2). Pada keadaan-keadaan kelahiran preterm
derivat asam arakidonat tersebut diper=ngaruhi oleh sitokin inflamasi IL1, IL6,
IL 10 dan TNF-α yang secara akumulatif akan mempengaruhi aktifasi activin
dan menghambat sintesa inhibin. Pada kelainan preterm yang diduga diakibatkan
stres (tekanan psikologis) didapatkan pengaruh poros hipofise hipothalamus
janin melalui aktifasi neurotransmitter derivat opioid oleh serotonin dan PEA
withdrawl. Pada proses kelahiran yang terhambat tanpa adanya gangguan berupa
hambatan jalan lahir, dapat diidentifikasikan berbagai kemungkinan
penyebabnya antara lain: adanya hambatan enervasi, transduksi enervasi,
transmisi impuls, regulasi CRH, pada aktifasi oksitosin, pada inaktifasi
endometrium B-endorphin, pada inaktifasi derivaat opioid jaringan gestasional
(pre-opiomelanokortin). 1,6,7
Aspek yang sering terlewatkan dalam pengamatan pada proses kelahiran
adalah peran maturitas jaringan janin yang diperankan oleh pengaturan derivat
opioid oleh poros hipofise-hipothalamusnya. Hipotesis yang berkembang dari
suatu penelitian metaanalisis menunjukkan bahwa janin berperan dalam
mempengaruhi regulasi CRH gestasional melalui aktifitas pre-opiomelanovortin
(POMC). 1,6,7
Pada saat kehamilan terbentuk suatu sirkulasi uteroplasenter yang terdiri
dari unit maternal dan fetal (janin dan plasenta). Plasenta terbentuk saat umur
kehamilan 16 minggu, selanjutnya plasenta akan mengalami proses penuaan
sampai janin lahir. Proses penuaan tersebut dikompensasi dengan pertumbuhan
13
villi trofoblas dan perluasan membran vaskulosinsitial sehingga penyaluran
nutrisi dan oksigen ke janin tetap memadai. Mekanisme kompensasi itu
berlangsung sampai usia kehamilan 38 minggu dimana fungsi plasenta mencapai
puncaknya dan selama itu proses penuaan plasenta tidak berpengaruh. Kemudian
fungsi plasenta akan mulai menurun secara bertahap terutama setelah umur
kehamilan 42 minggu.1,2,4
Pada kehamilan postterm, sirkulasi uteroplasenter akan berkurang 50%
dari 500-700 ml/menit menjadi 250ml/menit akibat menurunnya fungsi plasenta
sehingga terjadi hipoksia lokal yang menyebabkan proses degenerasi plasenta
berupa edema, deposit fibrinoid, trombosis intervillus, infark villi dan jaringan
fungsional plasenta akan berkurang.1
Pada kehamilan postterm dijumpai penurunan volume cairan amnion.
Volume cairan amnion pada kehamilan aterm ± 800 ml dan akan menurun
menjadi ± 480 ml, 250 ml dan 160 ml pada kehamilan 42, 43, 44 minggu1.
Penyebab penurunan volumenya belum diketahui dengan pasti, diduga karena
produksi urin fetal yang menurun. Volume cairan amnion < 200 ml dihubungkan
dengan komplikasi pada janin seperti retardasi pertumbuhan janin, distress pada
janin termasuk keluarnya serta aspirasi mekonium.1,3
2.1.6 Diagnosis
A. Diagnosis Kehamilan Postterm
Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-
19% dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti
oleh karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan. Oleh sebab itu, pada
penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai
lamanya kehamilan menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan karena semakin
lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula risiko bagi janin
dan neonatus untuk mengalami morbiditas maupun mortalitas. Namun
sebaliknya, pemberian intervensi/terminasi secara terburu-buru juga bisa
memberikan dampak yang merugikan bagi ibu maupun janin.2
14
1. Riwayat haid
Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk
ditegakkan apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis
kehamilan postterm berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan
definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and
Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang berlangsung lebih dari 42
minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir
(HPHT). 1
Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat
atau tidak bisa dipercaya. Menurut Mochtar et al (2004), jika berdasarkan
riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan
hanya ±30 persen. Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi
beberapa kriteria, yaitu: (a) ibu harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b)
siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan
terakhir. 2
Hasil penelitian Savitz, et al (2002) menunjukkan bahwa usia
kehamilan yang ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih sering salah
didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding dengan pemeriksaan USG,
terutama akibat ovulasi yang terlambat. Penentuan usia kehamilan dengan
HPHT didasarkan kepada asumsi bahwa kehamilan akan berlangsung selama
280 hari (40 minggu) dari hari pertama siklus haid yang terakhir. Pendekatan
ini berpotensi menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung kepada
keakuratan tanggal HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14
siklus menstruasi. Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus
karena adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama 7-
21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki siklus 28 hari, masih ada
kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus. Akibatnya, terjadi
kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya dihitung mulai
dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi. Tingkat kesalahan estimasi
tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan HPHT adalah ± 1,37 minggu. 6
15
2. Riwayat pemeriksaan antenatal
Tes kehamilan. Bila pasien melakukan pemeriksaan tes imunologik
sesudah terlambat haid 2 minggu, maka dapat diperkirakan keamilan telah
berlangsung 6 minggu.2,6
Gerak janin. Gerak janin pada umumnya dirasakan ibu pada umur
kehamilan 18-20 minggu. Pada primigravida dirasakan sekitar umur
kehamilan 18 minggu, sedangkan pada multigravida pada 16 minggu.
Keadaan klinis yang ditemukan ialah gerakan janin yang jarang, yaitu secara
subyektif kurang dari 7 kali/20 menit, atau secara obyektif dengan CTG
kurang dari 10 kali/20 menit. 2,6
Denyut Jantung Janin (DJJ). Dengan stetoskop Laennec DJJ dapat
didengar mulai umur kehamilan 18-20 minggu, sedangakn dengan Doppler
dapat terdengar pada usia kehamilan 10-12 minggu. 2,6
Pernoll, et al (2007) menyatakan bahwa kehamilan dapat dinyatakan
sebagai kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil
pemeriksaan sebagai berikut: 2,6
a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif
b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler
d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan
stetoskop Laennec.
3. Tinggi Fundus Uteri
Dalam trimester pertama pemeriksaan tinggi fundus uteri serial dalam
sentimeter (cm) dapat bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan secara berulang
setiap bulan. Lebih dari 20 minggu, tinggi fundus uteri dapat menentukan
umur kehamilan secara kasar. 2.6
16
penentuan usia kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki tingkat
keakuratan yang lebih tinggi dibanding dengan metode HPHT. 2,6
Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan
yang didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam mendiagnosa
kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal
perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-
rump length) adalah ± 4 hari dari taksiran persalinan. Pada usia kehamilan
antara 16-26 minggu, ukuran diameter biparietal (biparietal diameter/BPD)
dan panjang femur (femur length/FL) memberikan ketepatan ± 7 hari dari
taksiran persalinan.2
Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III
menurut hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan yang
lebih rendah dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II.
Pemeriksaan sesaat setelah trisemester III dapat dipakai untuk menentukan
berat janin, keadaan air ketuban ataupun keadaan plasenta yang berkaitan
dengan kehamilan postterm, tetapi sukar untuk menentukan usia kehamilan.
Ukuran-ukuran biometri janin pada trimester III memiliki tingkat variabilitas
yang tinggi sehingga tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester
ini juga menjadi tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan
persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester III bahkan bisa
mencapai ± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia kehamilan pada
trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan melakukan
pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban. 6
5. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium juga dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosa kehamilan lewat bulan.1.2,5
Kadar lesitin/spingomielin
Bila lesitin/spongiomielin dalam cairan amnion kadarnya sama,
maka umur kehamilan sekitar 22-28 minggu, lesitin 1,2 kali kadar
spongiomielin 28-32 minggu, pada kehamilan genap bulan rasio menjadi
2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk menentukan kehamilan
17
postterm, tetapi hanya digunakan untuk menentukan apakah janin cukup
umur/matang untuk dialhirkan yang berkaitan mencegah kesalahan dalam
tindakan pengakhiran kehamilan.
Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA)
Hastwell berhasil membuktikan bahwa cairan amnion
mempercepat waktu pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat dengan
bertambahnya umur kehamilan. Pada umur kehamilan 41-42 minggu
ATCA berkisar antara 45-65 detik, pada umur kehamilan lebih dari 42
minggu didapatkan ATCA kurang dari 45 detik. Bila didapatkan ATCA
antara 42-46 detik menunjukkan bahwa kehamilan berlangsung lewat
waktu.
Sitologi cairan amnion
Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel lemah dalam cairan
amnion. Bila jumlah sel yang mengandung lemak melebihi 10% maka
kehamilan diperkirakan 36 minggu dan apabila 50% atau lebih, maka
umur kehamilan 39 minggu atau lebih.
Sitologi vagina
Pemeriksaan sitologi vagina (indeks kariopiknotik >20%)
mempunyai sensitivitas 75%. Perlu diingat bahwa kematangan serviks tidak
dapat dipakai untuk menentukan usia gestasi.
18
Tabel 2. Umur kehamilan menurut terlihatnya inti penulangan
Inti penulangan Umur kehamilan (minggu)
Kalkaneus 24-26
Talus 26-28
Femur distal 36
Tibia proksimal 38
Kuboid 38-40
Humerus proksimal 38-40
Korpus kapitatum ≥ 40
Korpus hamitatum ≥ 40
Kuneiformis ke-3 ≥ 40
Femur proksimal ≥ 40
19
2.1.7 Efek Kehamilan Postterm Pada Janin Dan Ibu
1) Sindrom Postmatur
Deskripsi Clifford 1954 tentang bayi postmatur didasarkan pada 37
kelahiran secara tipikal terjadi 300 hari atau lebih setelah menstruasi
terakhir. Ia membagi postmatur menjadi tiga tahapan:1,2
Stadium 1: cairan amnion jernih, kulit menunjukkan kehilangan
verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit kering, rapuh, dan mudah
mengelupas.
Stadium 2: kulit berwarna hijau, disertai mekonium.
Stadium 3: kulit menjadi berwarna kuning-hijau pada kuku, kulit dan
tali pusat.
Bayi postmatur menunjukkan gambaran yang unik dan khas.
Gambaran ini berupa kulit keriput, mengelupas lebar-lebar, badan kurus
yang menunjukkan pengurasan energy, dan maturitas lanjut karena bayi
tersebut bermata terbuka, tampak luar biasa siaga, tua dan cemas. Kulit
keriput dapat amat mencolok di telapak tangan dan telapak kaki. Kuku
biasanya cukup panjang. Kebanyakan bayi postmatur seperti itu tidak
mengalami hambatan pertumbuhan karena berat lahirnya jarang turun di
bawah persentil ke-10 untuk usia gestasinya. Namun, dapat terjadi hambatan
pertumbuhan berat, yang logisnya harus sudah lebih dahulu terjadi sebelum
minggu 42 minggu lengkap.banyak bayi postmatur Clifford mati dan banyak
yang sakit berat akibat asfiksia lahir dan aspirasi mekonium. Beberapa bayi
yang bertahan hidup mengalami kerusakan otak. 1,2
Insiden sindrom postmaturitas pada bayi berusia 41, 42, 43 minggu
masing-masing belum dapat ditentukan dengan pasti. Shime dkk (1984),
dalam satu diantara segelintir laporan kontemporer tentang kronik
postmatur, menemukan bahwa sindrom ini terjadi pada sekitar 10%
kehamilan antara 41 dan 43 minggu serta meningkat menjadi 33% pada 44
minggu. Oligohidramnion yang menyertainya secara nyata meningkatkan
20
kemungkinan postmaturitas. Trimmer dkk (1990) mendiagnosis
oligohidramnion bila kantung cairan amnion vertical maksimum pada USG
berukuran 1 cm atau kurang pada gestasi 42 minggu dan 88% bayi adalah
postmatur. 1,2
2) Disfungsi Plasenta
Clifford mengajukan bahwa perubahan kulit pada postmatur
disebabkan oleh hilangnya efek protektif verniks kaseosa. Hipotesis
keduanya yang terus mempengaruhi konsep-konsep kontemporer
menghubungkan sindrom postmaturitas dengan penuaan plasenta. Namun
Clifford tidak dapat mendemonstrasikan degenerasi plasenta secara
histologis. Memang, dalam 40 tahun berikutnya tidak ditemukan perubahan
morfologis dan kuantitatif yang signifikan. Smith and Barker (1999) baru-
baru ini melaporkan bahwa apoptosis plasenta meningkat secara signifikan
pada gestasi 41 sampai 42 minggu lengkap dibanding dengan 36 sampai 39
minggu. Makna klinis apoptosis tersebut tidak jelas sampai sekarang.1,6,7
Menurut penelitian yang meneliti kadar eritropoetin plasma tali pusat
pada 124 neonatus tumbuh normal yang dialhirkan dari usia gestasi 37
sampai 43 minggu. Mereka ingin menilai apakah oksigenasi janin
terganggu, yang mungkin disebabkan oleh penuaan plasenta, pada
kehamilan yang berlanjut melampaui waktu seharusnya. Penurunan tekanan
parsial oksigen adalah satu-satunya stimulator eritropoetin yang diketahui.
Setiap wanita yang diteliti mempunyai perjalanan persalinan dan perlahiran
nonkomplikata tanpa tanda-tanda gawat janin atau pengeluaran mekonium.
Kadar eritropoetin plasma tali pusat menindkat secara signifikan pada
kehamilan yang mencapai 41 minggu atau lebih dan meskipun tidak ada
skor apgar dan gas tali darah pusat yang abnormal pada bayi-bayi ini,
penulis menyimpulkan bahwa ada penurunan oksigenasi janin pada
sejumlah kehamilan postterm. 1,6,7
Janin postterm mungkin terus bertambah berat badannya sehingga
bayi tersebut luar biasa besar pada saat lahir. Janin yang terus tumbuh
menunjukkan bahwa fungsi plasenta tidak terganggu. Memang,
21
pertumbuhan janin yang berlanjut, meskipun kecepatannya lebih lambat
adalah ciri khas gestasi antara 38 dan 42 minggu. Peneliti baru-baru ini
memastikan bahwa pertumbuhan janin terus berlangsung sekurang-
kurangnya sampai 42 minggu. 1,2
3) Gawat Janin dan Oligohidramnion
Alasan-alasan utama meningkatnya resiko pada janin postterm
dijelaskan oleh Leveno dkk. Mereka melaporkan bahwa bahaya pada janin
intrapartum merupakan konsekuensi kompresi tali pusat yang menyertai
oligohidramnion. 1,2
Penurunan volume cairan amnion biasanya terjadi ketika kehamilan
telah melewati 42 minggu. Mungkin juga pengeluaran mekonium oleh janin
ke dalam volume cairan amnion yang sudah berkurang merupakan penyebab
terbentuknya mekonium kental yang terjadi pada sindrom aspirasi
mekonium. 1,2
Trimmer dkk (1990) mengukur produksi urin janin tiap jam dengan
menggunakan pengukuran volume kandung kemih ultrasonic serial pada 38
kehamilan dengan usia gestasi 42 minggu atau lebih. Produksi urin yang
berkurang ditemukan menyertai oligohidramnion. Namun, ada hipotesis
bahwa aliran urin janin yang berkurang mungkin merupakan akibat
oligohiramnion yang sudah ada dan membatasi penelanan cairan amnion
oleh janin. Velle dkk (1993) dengan menggunakan bentuk-bentuk
gelombang Doppler berdenyut, melaporkan bahwa aliran darah ginjal janin
berkurang pada kehamilan postterm dengan oligohidramnion. 1,2
4) Pertumbuhan Janin Terhambat
Hingga kini makna klinis pertumbuhan janin terhambat pada
kehamilan yang seharusnya tanpa komplikasi tidak begitu diperhatikan.
Morbiditas dan mortalitas meningkat secara signifikan pada bayi yang
mengalami hambatan pertumbuhan. Seperempat kasus lahir mati yang
terjadi pada kehamilan memanjang merupakan bayi-bayi dengan hambatan
pertumbuhan yang jumlahnya relative kecil. 1,2
22
b. Efek pada ibu
Efek kehamilan postterm pada ibu berhubungan dengan
meningkatnya persalinan secara operatif, baik seksio sesaria maupun tindakan
operatif pervaginam. Hal ini terjadi karena makrosomia, oligohidramnion berat
sehingga induksi persalinan tidak dapat dilakukan, gagal drip dan gawat
janin.1,3
Tindakan operatif pervaginam meningkatkan risiko laserasi jalan
lahir.Seksio sesaria sangat meningkatkan risiko infeksi post partum,
perdarahan, komplikasi luka operasi, emboli pulmonal, dan mortalitas ibu.1
Morbiditas ibu tidak saja pada kehamilan sekarang tetapi juga pada kehamilan
yang berikutnya.1,3
2.1.8 Penatalaksanaan
23
tonus janin, dan (e) volume cairan amnion. Setiap variabel diberikan skor 2 bila
normal dan skor 0 bila abnormal. Oleh sebab itu, seorang janin sehat akan
memiliki skor 10 pada pemeriksaan profil biofisiknya. 1
a. Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST)
Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun
sebagai akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-parasimpatis yang
impulsnya berasal dari batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung janin
yang tidak berada dalam keadaan asidosis akibat hipoksia ataupun depresi
saraf akan mengalami akselerasi sementara sebagai respon terhadap gerakan
janin. Adanya akselerasi ini dipegaruhi oleh usia kehamilan. Menurut hasil
penelitian, besarnya tingkat akselerasi denyut jantung akibat gerakan janin
akan meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan. 1
Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban
kontraksi (contraction stress test/oxytocin stress test/OST). Secara sederhana,
NST adalah tes untuk mengetahui kondisi janin sedangkan OST digunakan
untuk menilai fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST adalah tes utama
yang paling sering digunakan untuk menilai kesejahteraan janin. 1
b. Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing)
Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin adalah
gerakan dinding dada yang paradoks (paradoxical chest wall movement). Pada
janin, ketika proses inspirasi, dinding dada secara paradoks mengempis
sedangkan dinding perut mengembung. Hal ini berkebalikan dengan proses
inspirasi yang terjadi pada neonatus dan orang dewasa. Gerakan ini
dihubungkan dengan kemungkinan adanya gerakan janin untuk mengeluarkan
debris cairan amnion yang menyerupai gerakan pada saat batuk. 1
Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai
adanya keterkaitan antara gerakan nafas janin melalui pemeriksaan USG
dengan proses evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas janin
terjadi secara episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat tidak ditemukan
gerakan nafas menjadi tidak dapat dipercaya. Patrick dkk (1980) melakukan
penelitian observasi selama 24 jam menggunakan ultrasonografi real time
24
untuk mendapatkan gambaran karakteristik gerakan nafas janin selama 10
minggu terakhir kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin normal
pun bisa saja tidak ditemukan gerakan nafas bahkan sampai 122 menit
lamanya. Penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk dapat mendiagnosis
tidak ditemukannya gerakan nafas membutuhkan waktu observasi yang
panjang. Oleh sebab itu, untuk menilai kesejahteraan janin, pemeriksaan
gerakan nafas sering digabungkan dengan pemeriksaan lain, misalnya
pemeriksaan denyut jantung janin. 1
c. Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)
Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai ada
sejak minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks serta terkoordinasi pada
akhir kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia kehamilan, gerakan janin
tidak pernah berhenti dengan waktu lebih dari 13 menit. Namun demikian, ibu
hamil baru bisa merasakan pergerakan janin pertama kali sekitar usia
kehamilan 18-20 minggu. Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan
terkadang tidak dapat dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya seperti
gerakan usus. 1
Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum menjadi
lebih teratur dan janin mulai memperlihatkan siklus istirahat-aktivitas. Pada
trimester ketiga, pematangan gerakan janin terus berlanjut sampai sekitar 36
minggu, saat sikap tubuh normal telah terbentuk pada 80% janin. 1
Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi. Pada
umur kehamilan 20 minggu, pergerakan janin rata-rata adalah sekitar 200
gerakan per 12 jam. Pergerakan janin mencapai nilai maksimal sekitar minggu
ke-32 kehamilan, yaitu ± 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu, pergerakan
menjadi kurang dirasakan setelah minggu ke-36 karena janin tumbuh dan
volume cairan amnion berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
berkurangnya aktivitas pada kehamilan aterm mungkin juga disebabkan oleh
pertambahan waktu tidur janin seiring dengan makin maturnya janin. Keadaan
ini merupakan hal yang terjadi secara fisiologis pada trimester ke- tiga. 1
25
d. Pemeriksaan tonus janin
Tonus janin dengan pemeriksaan USG diketahui sebagai gerakan
ekstensi ekstremitas atau tubuh janin, yang dilanjutkan dengan gerakan
kembali ke posisi fleksi. Tonus janin dapat juga dinilai dengan melihat
gerakan jari-jari tangan yang membuka (ekstensi) dan kembali ke posisi
mengepal. Dalam keadaan normal, gerakan tersebut terlihat sedikitnya sekali
dalam 30 menit pemeriksaan. Tonus janin juga dianggap normal apabila jari-
jari tangan terlihat mengepal terus selama 30 menit pemeriksaan.1
e. Pemeriksaan volume cairan amnion
Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari
pemeriksaan antepartum pada kehamilan yang memiliki risiko kematian janin.
Pelaksanaan tes ini didasari pada pemikiran bahwa penurunan perfusi
uteroplasenta akan menurunkan aliran darah ginjal janin, menurunkan
produksi urin janin, dan pada akhirnya akan menimbulkan oligohidramnion. 1
Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan pemeriksaan
USG dengan cara menilai indeks cairan amnion (amniotic fluid index/AFI).
Penilaian dengan indeks ini dilakukan dengan cara menambahkan ukuran
kedalaman dari setiap kantung vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila
nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi
adanya oligohidramnion. 1
Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung cairan
amnion vertikal yang terbesar (single deepest pocket). Menurut pemeriksaan
ini, volume cairan amnion dikatakan berkurang bila didapatkan ukuran
kantong ≤ 2 cm. 1
26
Gambar 1: Amniotic Fluid Index
27
Tabel 5: Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik
1. Pengelolaan ekspektatif
Pertimbangan dalam pengelolaan pasif adalah dengan mengingat beberapa
hal:1,2
a) Usia gestasi tidak selalu diketahui dengan benar, sehingga janin mungkin
kurang matur.
b) Sulit untuk mengidentifikasi dengan jelas apakah janin akan meninggal
atau akan mengalami morbiditas serius jika tetap dipertahankan.
c) Mayoritas janin lahir dalam keadaan baik.
d) Induksi persalinan tidak selalu berhasil.
e) Bedah Caesar meningkatkan resiko morbiditas ibu, bukan hanya pada
kehamilan ini, tapi juga kehamilan berikutnya.
Kehamilan dibiarkan berlangsung sampai 42 minggu dan seterusnya
sampai terjadi persalinan spontan sepanjang hasil uji kesejahteraan janin masih
baik. Induksi dilakukan bila terjadi: skor Bishop >5 (matang) atau terdapat
indikasi obstetri untuk mengakhiri kehamilan antara lain bila tes tanpa tekanan
hasilnya abnormal. 1,2
28
Sejak UK 42 minggu dilakukan uji kesejahteraan janin. Uji kesejahteraan
janin dapat menggunakan metode tes tekanan darah oksitosin CST (contraction
stress test) atau tes tanpa tekanan NST (non stress test), profil biofisik, rasio
estrogen-kretinin ibu. 1,2
Untuk negara berkembang, Thongsong (1999) mengusulkan pemeriksaan
profil biofisik secara cepat (rapid biophysic profile) yang terdiri atas
pemeriksaan gerakan janin yang terprovokasi suara (sound-provoked foetal
movement) dan pengukuran indeks air ketuban (amnion fluid index=AFI),
keduanya dilakukan dengan menggunakan ultrasonografi. 1,2
Rapid biophysic profile memiliki kelebihan: sederhana, murah, interpretasi
hasil lebih mudah, waktu yang diperlukan lebih pendek, dan apabila
dibandingkan dengan profile biofisik yang lengkap (NST dan AFI) serta 3
komponen gerakan spontan janin yaitu gerak nafas, gerak janin dan tonus
janin) maupun profil biofisik yang telah dimodifikasi (hanya NST dan AFI)
memiliki ketepatan yang hampir sama. 1,2
2. Pengelolaan aktif
Pengelolaan aktif adalah upaya untuk menimbulkan persalinan pada
setiap kehamilan sebelum terjadi kehamilan lewat bulan atau pada UK 42
minggu. Sehingga didapatkan perbedaan mengenai kapan dilakukan induksi
persalinan: pada UK 41 minggu atau 42 minggu. Beberapa penulis
menganjurkan suatu tindakan aktif dengan melakukan induksi persalinan pada
UK 41 minggu untuk menghindari kemungkinan akibat buruk dari KLB. Pada
umur kehamilan 41 minggu bila serviks belum matang, maka dilakukan uji
kesejahteraan janin dan dilakukan pematangan serviks terlebih dahulu. 1,2
Vorherr mengusulkan pengelolaan yang individualistik, tidak terpaku
pada ketentuan baku pengelolaan aktif dengan melakukan induksi secara rutin
atau pengelolaan ekspektatif. Pemilihan cara pengelolaan tergantung keadaan
klinis, riwayat obstetri, kematangan serviks dan kesejahteraan janin.
Pengelolaan secara aktif dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: 1,2
29
a) Terjadinya oligohidramnion tidak dapat diramalkan, bahkan dapat terjadi
dalam 24 jam setelah dilakukan pemeriksaan, dimana ditemukan indeks
cairan amnion cukup.
b) Induksi persalinan tidak meningkatkan angka bedah Caesar.
c) Resiko morbiditas dan mortalitas yang dihadapi janin cukup besar, dengan
makin lamanya kehamilan berlangsung.
Untuk menentukan pengelolaan perlu dengan jelas diketahui umur kehamilan,
berdasarkan itu pengelolaan KLB dapat ditentukan dengan:5,6
30
Induksi Persalinan
Induksi persalinan merupakan berbagai macam tindakan untuk
menimbulkan dimulainya persalinan atau merangsang timbulnya his pada ibu
hamil yang belum inpartu.1,2,3
Induksi persalinan merupakan salah satu teknik yang sering digunakan
pada pengelolaan persalinan. Di amerika 16% persalinan pada tahun 1997
dilakukan dengan induksi persalinan dengan berbagai indikasi. Bahkan pada
akhir-akhir ini terjadi penurunan agka bedah caesar dan angka induksi
persalinan meningkat. 1,2
Coonrod et al dalam studi retrospektifnya menemukan angka induksi
persalinan sebesar 20,3%. Bahkan angka induksi persalinan pada bekas bedah
Caesar mencapai 38,4% dan induksi persalinan dapat dilakukan pada umur
kehamilan 37-42 minggu. Untuk keberhasilan induksi persalinan, umumnya
dilakukan pemeriksaan kematangan serviks dengan sistem skor menurut
Bishop. 1,2
Induksi persalinan dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik
operatif/tindakan maupun dengan menggunakan obat-obatan/medisinal.
Untuk menentukan cara induksi persalinan yang dipilih beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi, perlu dipertimbangkan yaitu: paritas, kondisi serviks,
keadaan kulit ketuban dan adanya parut uterus. 1,2
Kriteria 0 1 2 3
Dilatasi serviks (cm) 0 1-2 3-4 5-6
Pendataran serviks (%) 0-30 40-50 60-70 80
Penurunan kepala dari H III -3 -2 -1 – (0) +1 – (+2)
(cm) Keras Sedang Lunak
Konsistensi serviks Posterior Medial Anterior
Posisi serviks
31
Induksi persalinan secara operatif/tindakan, yaitu:2,5
Melepas kulit ketuban dari bagian bawah rahim
Amniotomi
Rangsangan pada puting susu
Stimulasi listrik
Pemberian bahan-bahan ke dalam rahim/rektum dan hubungan seksual
Induksi persalinan secara medisinal, yaitu: 2,5
Tetes oksitosin
Pemakaian prostaglandin
Cairan hipertonik intrauterin/extra-amniotic normal saline.
Induksi persalinan umumnya dilakukan dengan bermacam-macam indikasi,
dapat karena indikasi dari ibu maupun dari janin.
Indikasi ibu: 2,5
Kehamilan dengan hipertensi
Kehamilan dengan diabetes melitus
Perdarahan antepartum tanpa kontaindikasi persalinan pervaginam
Indikasi janin: 2,5
Kehamilan lewat bulan
Ketuban pecah dini
Kematian janin dalam rahim
Pertumbuhan janin terhambat
Isoimunisasi-Rhesus
Kelainan kongenital mayor
Kontraindikasi2,5
Pada keadaan ini induksi persalinan tidak dapat dilakukan, atau jika terpaksa
dilakukan diperlukan pengamatan yang sangat berhati-hati:
Malposisi dan malpresentasi janin
Insufisiensi plasenta
Disproporsi sefalopelvik
Cacat rahim
32
Grandemultipara
Gemeli
Distensi perut berlebihan
Plasenta previa
33
Kehamilan >41 minggu (rujuk)
Rumah Sakit Penilaian ulang umur kehamilan
Penilaian skor Bishop
Pemeriksaan fetal assessment
USG
NST (kalau perlu CST)
Skor bishop <5: Skor bishop >5:
a) - NST normal Anak tidak besar
- USG oligohidramnion NST reaktif
- Bayi tidak makrosia Penempatan normal
induksi persalinan Lakukan induksi
b) Deselari variabel (sambil observasi)
induksi persalinan
dengan observasi
c) - volume amnion
normal
- NST non reaktif
- CST baik induksi
persalinan
d) Kehamilan lebih dari
42 minggu sebaiknya
diterminasi.
Seksio sesarea dilakukan
bila ada kontra indikasi
induksi persalinan.
34
Bila hasilnya tetap mencurigakan → dilakukan OCT
- hasil OCT (+) dilakukan SC
- hasil OCT (-) dilakukan pemeriksaan serial sampai 44
minggu / PS ≥ 5
- hasil OCT meragukan dilakukan pemeriksaan OCT
ulangan keesokan harinya.
Bila hasilnya baik → dilakukan pemeriksaan serial sampai 44
minggu / PS ≥ 5.
2.1.9 Komplikasi
a) Hipoksia intrapartum
Janin postterm berisiko untuk mengalami distress selama persalinan
karena penekanan tali pusat akibat oligohidramnion maupun insufisiensi
plasenta. Yang menarik, menurut Leveno dkk (1984) patofisiologi distress
lebih disebabkan karena penekanan tali pusat daripada insufisiensi
plasenta. Pola denyut jantung janin yang abnormal selama persalinan atau
hipoksia neonatal dijumpai pada 12 - 30% kasus kehamilan postterm
dimana pemeriksaan antenatalnya normal. Untuk itu janin perlu diawasi
secara ketat selama persalinan sehingga intervensi yang diperlukan dapat
dilakukan saat itu. Amnioinfusi berguna untuk mengurangi deselerasi
variabel dan deselerasi memanjang yang umumnya diakibatkan oleh
kompresi tali pusat. Hal ini mungkin karena pulihnya bantalan cairan
35
amnion. Mengubah posisi ibu menjadi tidur miring dan pemberian oksigen
pada ibu dapat memperbaiki oksigenasi pada janin.
b) Distosia bahu
Jika janin tumbuh terus selama masa kehamilan postterm dapat tejadi
makrosomia. Perbedaan antara sirkumferensia dada dan diameter
biparietal lebih besar 14 mm berhubungan risiko 3 - 13% distosia bahu.
Diketahui bahwa kesalahan dalam memprediksi berat badan janin dengan
USG sekitar 10 – 15% maka perlu dipertimbangkan unuk melakukan
seksio sesaria elektif jika berat badan janin ≥ 4000 gram karena persalinan
disfungsional dan distosia bahu akan terjadi pada keadaan ini. Seksio
sesaria dilakukan untuk meminimalkan morbiditas perinatal sehubungan
dengan distosia bahu pada kasus yang dicurigai.
c) Aspirasi mekonium
Frekuensi pewarnaan mekonium pada cairan amnion berkisar antara
22 –44% pada kehamilan postterm. Mekonium cenderung menjadi pekat
pada kehamilan postterm karena sering bersamaan dengan
oligohidramnion. Deteksi intrapartum terhadap mekonium yang pekat
berguna untuk mengurangi morbiditas akibat sindrom aspirasi mekonium.
Penyedotan mekonium dari nasofaring dan orofaring sebelum dada lahir
dan penyedotan mekonium pada endotrakea dibawah pita suara janin
segera setelah lahir efektif dapat menurunkan morbiditas sehubungan
dengan sindrom aspirasi mekonium. Dewasa ini tindakan amnioinfusi
untuk mengencerkan mekonium dalam cairan amnion juga disarankan
untuk mengurangi morbiditas tersebut.
36
2.2 Perdarahan Post Partum
2.2.1 Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan atau hilangnya darah 500 cc
atau lebih pada persalinan pervaginam dan lebih dari 1000 cc pada sectio
cesarea. Perdarahan dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah lahirnya
plasenta.2,8
Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan
jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan
sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan
perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat
dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi >
100 x/menit, kadar Hb < 8 g/dL. 2,8
Definisi lain menyebutkan perdarahan post partum adalah perdarahan 500
cc atau lebih yang terjadi setelah plasenta lahir.2
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian : 2,8
a. Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer
(early postpartum hemorrhage) adalah perdarahan yang terjadi
dalam 24 jam pertama setelah kala III.
b. Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder
(late postpartum hemorrhage). Perdarahan pada masa nifas adalah
perdarahan yang terjadi pada masa nifas (puerperium) tidak
termasuk 24 jam pertama setelah kala III.
2.2.2 Epidemiologi
a) Insiden
Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam
yaitu 5-8 %.Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum
perdarahan yang berlebihan pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi
pada wanita hamil dilakukan untuk menggantikan darah yang hilang
setelah persalinan.1,2
37
b) Peningkatan angka kematian di Negara berkembang
Di negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari kematian
maternal hal ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang memadai,
kurangnya layanan transfusi, kurangnya layanan operasi. 2,8
38
terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah
pada tempat perlengketan plasenta.Atonia uteri terjadi ketika myometrium
tidak dapat berkontraksi.Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus
membesar dan lembek pada palpasi.Atonia uteri juga dapat timbul karena
salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan
mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang
sebenarnya bukan terlepas dari uterus. Atonia uteri merupakan penyebab
utama perdarahan postpartum.
Beberapa hal yang dapat mencetuskan terjadinya atonia meliputi :
Manipulasi uterus yang berlebihan,
General anestesi (pada persalinan dengan operasi),
Uterus yang teregang berlebihan :
o Kehamilan ganda
o Fetal macrosomia (berat janin antara 4500 – 5000 gram)
o Polyhydramnion
Kehamilan lewat waktu
Partus lama
Grande multipara (fibrosis otot-otot uterus)
Anestesi yang dalam
Infeksi uterus (chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia)
Plasenta previa
Solutio plasenta
39
Gambar 2. Atonia Uteri
b) Tissue
a. Retensio plasenta
b. Sisa plasenta
c. Plasenta acreta dan variasinya.
Apabila plasenta belum lahir tiga puluh menit setelah janin lahir, hal
itu dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena : plasenta
belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi
belum dilahirkan.
Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perdarahan, tapi
apabila terlepas sebagian maka akan terjadi perdarahan yang merupakan
indikasi untuk mengeluarkannya.
40
Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena :
- kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasenta
adhesiva )
- Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis komalis
menembus desidva sampai miometrium – sampai dibawah peritoneum
( plasenta akreta – perkreta )
41
c) Trauma
Sekitar 20% kasus perdarahan postpartum disebabkan oleh trauma jalan
lahir :
1. Ruptur uterus
Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa
menyebabkan antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat
operasi uterus sebelumnya, dan persalinan dengan induksi oxytosin.
Ruptur uterus sering terjadi akibat jaringan parut section secarea
sebelumnya.
42
Klasifikasi prolapsus uteri
- Tingkat I : Uterus turun dengan serviks paling rendah dalam
introitus vagina
- Tingkat II: uterus sebagian besar keluar dari vagina
- Tingkat III : Uterus keluar seluruhnya dari vagina yang disertai
dengan inversio vagina (prosidensia uteri)
43
secepat mungkin memberi harapan yang terbaik untuk keselamatan
penderita. 8,9,10
44
berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa
menyebabkan terjadinya syok.
a. Robekan perineum
Pada setiap persalinan terutama persalinan yang berisiko terjadi
robekan perineum yang berat seperti persalinan dengan bantuan alat
(ekstraksi vacuum dan forceps), oksiput posterior, distosia bahu, bayi
besar, dan episiotomi mediana, kita harus waspada akan terjadinya
robekan perineum derajat III-IV. Oleh karena itu pasca persalinan harus
dinilai benar robekan perineum yang terjadi. Tindakan colok dubur dan
pemaparan yang baik sangat membantu untuk mendiagnosis derajat
robekan perineum yang terjadi. Sultan dan kawan-kawan melaporkan
terjadinya defek pada sfingter ani eksterna maupun interna berkisar 15-
44% pada evaluasi USG endoanal pasien-pasien pasca perbaikan rupture
perineum derajat III dan IV. Salah satu kemungkinan penyebabnya
adalah diagnosis substandar dalam penentuan derajat robekan sebelum
perbaikan. 8,9,10
45
Gambar 9. Derajat Laserasi
b. Perlukaan vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum
jarang dijumpai. Kadang ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih
sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila
kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan
baru terlihat pada pemeriksaan spekulum. Robekan atas vagina terjadi
sebagai akibat menjalarnya robekan serviks. Apabila ligamentum latum
terbuka dan cabang-cabang arteri uterina terputus, dapat timbul
perdarahan yang banyak. Apabila perdarahan tidak bisa diatasi,
dilakukan laparotomi dan pembukaan ligamentum latum. Jika tidak
berhasil maka dilakukan pengikatan arteri hipogastika. 8,9,10
Kolpaporeksis
Adalah robekan melintang atau miring pada bagian atas vagina.
Hal ini terjadi apabila pada persalinan yang disproporsi sefalopelvik
terdapat regangan segmen bawah uterus dengan serviks uteri tidak
terjepit antara kepala janin dengan tulang panggul, sehingga tarikan ke
atas langsung ditampung oleh vagina. Jika tarikan ini melampaui
kekuatan jaringan, terjadi robekan vagina pada batas antara bagian
teratas dengan bagian yang lebih bawah dan yang terfiksasi pada
jaringan sekitarnya. Kolpaporeksis juga bisa timbul apabila pada
46
tindakan per vaginam dengan memasukkan tangan penolong ke dalam
uterus terjadi kesalahan, dimana fundus uteri tidak ditahan oleh tangan
luar untuk mencegah uterus naik ke atas.9
Fistula
Fistula akibat pembedahan vaginal makin lama makin jarang
karena tindakan vaginal yang sulit untuk melahirkan anak banyak diganti
dengan seksio secarea. Fistula dapat terjadi mendadak karena perlukaan
pada vagina yang menembus kandung kemih atau rektum, misalnya oleh
perforator atau alat untuk dekapitasi, atau karena robekan serviks
menjalar ke tempat menjalar ke tempat-tempat tersebut. Jika kandung
kemih luka, urin segera keluar melalui vagina. Fistula dapat berupa
fistula vesikovaginalis atau rektovaginalis.9
c.Robekan serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga
serviks seorang multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan
pervaginam. Robekan serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan
dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang
tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah
berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya
robekan serviks uteri.9
47
Apabila ada robekan, serviks perlu ditarik keluar dengan beberapa
cunam ovum, supaya batas antara robekan dapat dilihat dengan baik.
Apabila serviks kaku dan his kuat, serviks uteri dapat mengalami tekanan
kuat oleh kepala janin, sedangkan pembukaan tidak maju. Akibat tekanan
kuat dan lama ialah pelepasan sebagian serviks atau pelepasan serviks
secara sirkuler. Pelepasan ini dapat dihindarkan dengan seksio secarea
jika diketahui bahwa ada distosia servikalis.9
48
a. Usia
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih
dari 35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan
yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia
dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang
dengan sempurna, sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi
seorang wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi
normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pascapersalinan
terutama perdarahan akan lebih besar. Perdarahan pascapersalinan yang
mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil yang melahirkan pada
usia dibawah 20 tahun 2-5 kali lebih tinggi daripada perdarahan
pascapersalinan yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan
pascapersalinan meningkat kembali setelah usia 30-35 tahun.8,9,10
b. Multigravida
Multigravida Ibu-ibu yang dengan kehamilan lebih dari 1 kali atau yang
termasuk multigravida mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya
perdarahan pascapersalinan dibandingkan dengan ibu-ibu yang termasuk
golongan primigravida (hamil pertama kali). Hal ini dikarenakan pada
multigravida, fungsi reproduksi mengalami penurunan sehingga kemungkinan
terjadinya perdarahan pascapersalinan menjadi lebih besar. 8,9,10
c. Paritas
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut
perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal.
Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian
perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Pada paritas yang rendah (paritas
satu), ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan yang pertama
merupakan faktor penyebab ketidakmampuan ibu hamil dalam menangani
komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas. 8,9,10
d. Perpanjangan persalinan
e. Chorioamnionitis
f. Kehamilan multiple
49
g. Injeksi Magnesium sulfat
h. Perpanjangan pemberian oxytocin
2.2.5. Diagnosis
Dapat disebut perdarahan post partum bila perdarahan terjadi sebelum,
selama, setelah plasenta lahir. Beberapa gejala yang bisa menunjukkan
perdarahan postpartum : 8,9,10
a. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol
b. Penurunan tekanan darah
c. Peningkatan detak jantung
d. Penurunan hitung sel darah merah ( hematokrit)
e. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar
perineum
Perdarahan hanyalah gejala, penyebabnya haruslah diketahui dan
ditatalaksana sesuai penyebabnya. 8,9,10
Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan
menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan
syok. Atau dapat berupa perdarahan yang merembes perlahan-lahan tapi terjadi
terus menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas
ataupun jatuh kedalam syok. 8,9,10
Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan
tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi
syok. Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio
plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka perdarahan
akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah
plasenta lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau
trauma jalan lahir. Pada pemeriksaan obstretik kontraksi uterus akan lembek dan
membesar jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik dilakukan eksplorasi
untuk mengetahui adanya sisa plasenta atau laserasi jalan lahir. 8,9,10
Beberapa teori telah menyatakan bahwa pengukuran kehilangan darah
saat persalinan bertujuan untuk memastikan diagnosis PPS pada saat yang tepat
50
dan memperbaiki luaran. Meskipun demikian, belum ada studi yang secara
langsung dapat menjawab pertanyaan penelitian tersebut.10
51
Tabel 9. Derajat syok
52
Tabel 10. Perdarahan Pasca Persalinan
53
diperlukan transfusi.Untuk pasien dengan anemia berat sebaiknya
langsung dilakukan transfusi. 10
3. Persalinan
Setelah bayi lahir, lakukan massase uterus dengan arah gerakan
circular atau maju mundur sampai uterus menjadi keras dan
berkontraksi dengan baik. Massase yang berlebihan atau terlalu keras
terhadap uterus sebelum, selama ataupun sesudah lahirnya plasenta
bisa mengganggu kontraksi normal myometrium dan bahkan
mempercepat kontraksi akan menyebabkan kehilangan darah yang
berlebihan dan memicu terjadinya perdarahan postpartum. 10
4. Penanganan Aktif Kala Tiga
o Pemberian suntikan oksitosin
- Segera berikan bayi yang telah terbungkus kain kepada ibu
untuk diberi ASI
- Letakkan kain bersih diatas perut ibu
- Periksa uterus untuk memastikan tidak ada bayi yang lain
- Memberitahukan pada ibu ia akan disuntik
- Selambat-lambatnya dalam waktu dua menit setelah bayi lahir,
segera suntikan oksitosin 10 unit IM pada 1/3 bawah paha
kanan bagian luar10
o Melakukan penegangan tali pusat terkendali
- Berdiri disamping ibu
- Pindahkan klem kedua yang telah dijepit sewaktu kala dua
persalinan pada tali pusat sekitar 5-10 cm dr vulva
- Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu (alas dengan
kain) tepat dibawah tulang pubis, gunakan tangan lain untuk
meraba kontraksi uterus dan menahan uterus pada saat
melakukan peregangan pada tali pusat, tangan pada dinding
abdomen menekan korpus uteri ke bawah dan atas (dorso-
kranial) korpus.
54
- Tegangkan kembali tali pusat ke arah bawah bersamaan dengan
itu, lakukan penekanan korpus uteri kea rah bawah dan cranial
hingga plasenta terlepas dari tempat implantasinya
- Jika plasenta tidak turun setelah 30-40 detik dimulainya
penegangan tali pusat dan tidak ada tanda-tanda yang
menunjukkan lepasnya plasenta, jangan teruskan penegangan
tali pusat. Setelah plasenta terlepas, anjurkan ibu untuk
meneran agar plasenta terdorong ke introitus vagina. Tetap
tegang ke arah bawah mengikuti arah jalan lahir.
- Pada saat plasenta terlihat pada introitus vagina, teruskan
kelahiran plasenta dengan menggunakan kedua tangan. Pegang
plasenta dengan kedua tangan rata dengan lembut putar
plasenta hingga selaput terpilin
- Lakukan penarikan secara lembut dan perlahan-lahan untuk
melahirkan selaput ketuban
- Jika terjadi selaput robekan pada selaput ketuban saat
melahirkan plasenta, dengan hati-hati periksa vagina dan
serviks dengan seksama10
o Melakukan masase fundus uteri
- Letakkan telapak tangan pada fundus uteri
- Jelaskan tindakan ini kepada ibu dan mungkin merasa tidak
nyaman
- Dengan lembut gerakkan tangan secara memutar pada fundus
uteri, agar uterus berkontraksi. Jika tidak berkontraksi dalam
waktu 15 detik, lakukan penatalaksaan atonia uteri
- Periksa plasenta dan selaputnya untuk memastikan keduanya
lengkap dan utuh
- Periksa uterus setelah satu hingga dua menit memastikan uterus
berkontraksi dengan baik, jika belum diulangi rangsangan taktil
fundus uteri
55
- Periksa kontraksi uterus setiap 15 menit selama satu jam
pertama pasca persalinan dan setiap 30 menit selama satu jam
kedua pasca persalinan. 10
56
o Pada umumnya plasenta akan lepas dengan sendirinya dalam 5
menit setelah bayi lahir. Usaha untuk mempercepat pelepasan tidak
ada untungnya justru dapat menyebabkan kerugian. Pelepasan
plasenta akan terjadi ketika uterus mulai mengecil dan mengeras,
tampak aliran darah yang keluar mendadak dari vagina, uterus
terlihat menonjol ke abdomen, dan tali plasenta terlihat bergerak
keluar dari vagina. Selanjutnya plasenta dapat dikeluarkan dengan
cara menarik tali pusat secara hati-hati. Apabila dalam pemeriksaan
plasenta kesan tidak lengkap, uterus terus di eksplorasi untuk
mencari bagian-bagian kecil dari sisa plasenta. 10
o Segera sesudah lahir plasenta diperiksa apakah lengkap atau tidak.
Untuk “ manual plasenta “ ada perbedaan pendapat waktu
dilakukannya manual plasenta. Apabila 30 menit setelah bayi lahir
plasenta belum dilahirkan manual plasenta harus dilakukan tanpa
ditunda lagi, tidak menunggu plasenta lahir secara spontan. 10
o Lakukan pemeriksaan secara teliti untuk mencari adanya perlukaan
jalan lahir yang dapat menyebabkan perdarahan dengan
penerangan yang cukup. Luka trauma ataupun episiotomi segera
dijahit sesudah didapatkan uterus yang mengeras dan berkontraksi
dengan baik. 10
57
Tabel 11. Rekomendasi Observasi Pasca persalinan
58
resusitasi, Infus 2 jalur, Monitoring keadaan umum, nadi dan tekanan
darah, Oksigen, dan Team approach). Diberikan cairan kristaloid dan
koloid secara cepat sambil menunggu hasil crossmatch.
§ Establish Aetiology, Ensure Availability of Blood, Ecbolics (Oxytocin,
Ergometrin or Syntometrine bolus IV/ IM)
Sementara resusitasi sedang berlangsung, dilakukan upaya menentukan
etiologi PPS. Nilai kontraksi uterus, cari adanya cairan bebas di abdomen,
bila ada risiko trauma (bekas seksio sesarea, partus buatan yang sulit) atau
bila kondisi pasien lebih buruk daripada jumlah darah yang keluar. Harus
dicek ulang kelengkapan plasenta dan selaput plasenta yang telah berhasil
dikeluarkan. Bila perdarahan terjadi akibat morbidly adherent placentae
saat seksio sesarea dapat diupayakan haemostatic sutures, ligasi arteri
hipogastrika dan embolisasi arteri uterina. Morbidly adherent placentae
sering terjadi pada kasus plasenta previa pada bekas
seksio sesarea. Bila hal ini sudah diketahui sebelumnya, dr. Sarah P.
Brown dan Queen Charlotte Hospital (Labour ward course) menyarankan
untuk tidak berupaya melahirkan plasenta, tetapi ditinggalkan intrauterin
dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian metotreksat seperti pada
kasus kehamilan abdominal. Bila retensio plasenta/sisa plasenta terjadi
setelah persalinan pervaginam, dapat digunakan tamponade uterus
sementara menunggu kesiapan operasi/laparotomi.
§ Massage the uterus
Perdarahan banyak yang terjadi setelah plasenta lahir harus segera ditangani
dengan masase uterus dan pemberian obat-obatan uterotonika. Bila uterus
tetap lembek harus dilakukan kompresi bimanual interna dengan
menggunakan kepalan tangan di dalam untuk menekan forniks anterior
sehingga terdorong ke atas dan telapak tangan di luar melakukan
penekanan pada fundus belakang sehingga uterus terkompresi.
§ Oxytocin infusion/ prostaglandins – IV/ per rectal/ IM/ intramyometrial
Dapat dilakukan pemberian oksitosin 40 unit dalam 500 cc normal salin
dengan kecepatan 125 cc/jam. Hindari kelebihan
59
cairan karena dapat menyebabkan edema pulmoner hingga edema otak
yang pada akhimya dapat menyebabkan kejang karena hiponatremia. Hal
ini timbul karena efek antidiuretic hormone (ADH) - like effect dan
oksitosin; sehingga monitoring ketat masukan dan keluaran cairan sangat
esensial dalam pemberian oksitosin dalam jumlah besar.
Pemberian ergometrin sebagai lini kedua dari oksitosin dapat diberikan
secara intramuskuler atau intravena. Dosis awal 0,2 mg (secara perlahan),
dosis lanjutan 0,2 mg setelah 15 menit bila masih diperlukan. Pemberian
dapat diulang setiap 2-4 jam bila masih diperlukan. Dosis maksimal adalah
1 mg atau 5 dosis per hari. Kontraindikasi pada pemberian ergometrin
yaitu preeklampsia, vitiumcordis, dan hipertensi. Bila PPS masih tidak
berhasil diatasi, dapat diberikan misoprostol per rektal 800-1000ug.
Pada perdarahan masif perlu diberikan transfusi darah, bahkan juga
diperlukan pemberian fresh frozen plasma (FFP) untuk menggantikan
faktor pembekuan yang turut hilang. Direkomendasikan pemberian 1 liter
FFP (15 mL/kg) setiap 6 unit darah. Pertahankan trombosit di atas 50.000,
bila perlu diberikan transfusi trombosit. Kriopresipitat direkomendasikan
bila terjadi DIC yang ditandai dengan kadar fibrinogen <1 gr/dl (10 gr/L).
§ Shift to theatre – exclude retained products and trauma/ bimanual
compression (konservatif; non-pembedahan) Bila perdarahan masif masih
tetap terjadi, segera evakuasi pasien ke ruang operasi. Pastikan
pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya sisa plasenta atau selaput
ketuban. Bila diduga ada sisa jaringan, segera lakukan tindakan kuretase.
Kompresi bimanual dapat dilakukan selama ibu dibawa ke ruang operasi
§ Tamponade balloon/ uterine packing (konservatif; non-pembedahan)
(peringkat bukti II, rekomendasi B) Bila perdarahan masih berlangsung,
pikirkan kemungkinan adanya koagulopati yang menyertai atonia yang
refrakter. Tamponade uterus dapat membantu mengurangi perdarahan.
Tindakan ini juga dapat memberi kesempatan koreksi faktor pembekuan.
Dapat dilakukan tamponade test dengan menggunakan Tube
Sengstaken yang mempunyai nilai prediksi positif 87% untuk menilai
60
keberhasilan penanganan PPS. Bila pemasangan tube tersebut mampu
menghentikan perdarahan berarti pasien tidak memerlukan tindakan bedah
lebih lanjut. Akan tetapi, bila setelah pemasangan tube, perdarahan masih
tetap masif, maka pasien harus menjalani tindakan bedah.
Pemasangan tamponade uterus dengan menggunakan baloon relatif mudah
dilaksanakan dan hanya memerlukan waktu beberapa menit. Tindakan ini
dapat menghentikan perdarahan dan mencegah koagulopati karena
perdarahan masif serta kebutuhan tindakan bedah. Hal ini perlu dilakukan
pada pasien yang tidak membaik dengan terapi medis.
Pemasangan tamponade uterus dapat menggunakan Bakri SOS baloon dan
tampon balon kondom kateter. Biasanya dimasukkan 300-400 cc cairan
untuk mencapai tekanan yang cukup adekuat sehingga perdarahan
berhenti. Balon tamponade Bakri dilengkapi alat untuk membaca tekanan
intrauterin sehingga dapat diupayakan mencapai tekanan mendekati
tekanan sistolik untuk menghentikan perdarahan. Segera libatkan
tambahan tenaga dokter spesialis kebidanan dan hematologis
sambil menyiapkan ruang ICU.
§ Apply compression sutures – B-Lynch/ modified (pembedahan konservatif)
Dalam menentukan keputusan, harus selalu dipertimbangkan antara
mempertahankan hidup dan keinginan mempertahankan fertilitas. Sebelum
mencoba setiap prosedur bedah konservatif, harus dinilai ulang keadaan
pasien berdasarkan perkiraan jumlah darah yang keluar, perdarahan yang
masih berlangsung, keadaan hemodinamik, dan paritasnya. Keputusan
untuk melakukan laparotomi harus cepat setelah melakukan informed
consent terhadap segala kemungkinan tindakan yang akan dilakukan di
ruang operasi. Penting sekali kerja sama yang baik dengan ahli anestesi
untuk menilai kemampuan pasien bertahan lebih lanjut pada keadaan
perdarahan setelah upaya konservatif gagal. Apabila tindakan B-Lynch
tidak berhasil, dipertimbangkan untuk dilakukan histerektomi. Ikatan
kompresi yang dinamakan Ikatan B-Lynch (B-Lynch suture) pertama kali
diperkenalkan oleh Christopher B-Lynch. Benang yang dapat dipakai
61
adalah kromik catgut no.2, Vicryl 0 (Ethicon), chromic catgut 1 dan PDS 0
tanpa adanya komplikasi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa tindakan B-
Lynch ini harus didahului tes tamponade yaitu upaya menilai efektifitas
tindakan B- Lynch dengan cara kompresi bimanual uterus secara langsung
di meja operasi.
§ Systematic pelvic devascularization – uterine/ ovarian/ quadruple/
internal iliac (pembedahan konservatif) Ligasi a. uterina dan ligasi a.
Hipogastrika. Teknik ligasi
§ Interventional radiologis, if appropriate, uterine artery embolization
(pembedahan konservatif)
§ Subtotal/ total abdominal hysterectomy (non-konservatif)
(pering)
62
Pilihan Terapi Cairan Pengganti atau Resusitasi Penggunaan
Kristaloid sebagai Terapi Pengganti Cairan pada Perempuan yang
Mengalami PPS
Pengganti cairan merupakan komponen yang penting dalam
resusitasi terhadap perempuan yang mengalami PPS, namun pilihan cairan
masih kontroversial.10
Koloid vs Kristaloid
Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik mengenai insidens
mortalitas yang ditemukan ketika albumin atau fraksi protein plasma (23
percobaan, 7754 pasien, RR 1.01, 95% CI 0.92–1.10), hydroxyethyl starch
(16 percobaan, 637 pasien, RR 1.05, 95% CI 0.63–1.75), modifikasi
gelatin (11 percobaan, 506 pasien RR 0.91, 95% CI 0.49–1.72), atau
dextran (9 percobaan, 830 pasien, RR 1.24, 95%
CI 0.94–1.65) bila dibandingkan dengan kristaloid.
Koloid vs Kristaloid Hipertonik
Pada satu percobaan yang membandingkan albumin atau fraksi protein
plasma dengan kristaloid hipertonik, dilaporkan satu kematian pada
kelompok koloid (RR 7.00, 95% CI 0.39–126.92). Dari dua percobaan
yang membandingkan hydroxyethyl starch dan modifikasi gelatin dengan
kristaloid diobservasi bahwa tidak terdapat kematiaan di antara 16 dan 20
partisipan
Koloid pada Kristalid Hipertonik vs Kristaloid Isotonik
Keluaran kematian dilaporkan pada 8 percobaan, yang meliputi 1283
pasien, dimana dibandingkan dextran pada kristaloid hipertonik dengan
kristaloid isotonik (RR 0.88,95% CI 0.74–1.05) dan pada satu percobaan
dengan 14 pasien.
63
Keputusan klinis bersifat penting karena perkiraan darah yang hilang
sering tidak akurat, penentuan menggunakan konsentrasi hemoglobin atau
hematokrit mungkin tidak akurat dalam merefleksikan status hematologis
pasien, sedangkan tanda dan gejala mungkin belum muncul sampai
kehilangan darah melebihi batas toleransi fisiologis tubuh. Tujuan dari
transfusi produk darah adalah untuk mengganti faktor koagulasi dan sel
darah merah yang berkapasitas membawa oksigen, bukan sebagai
pengganti volume.
Intervensi Medis Untuk Manajemen PPS
Dalam manajemen PPS akibat atonia uteri, beberapa obat yang
biasanya diberikan diantaranya uterotonika injeksi (oksitosin, ergometrin,
kombinasi oksitosin dan ergometrin dosis tetap), misoprostol (bentuk
tablet yang digunakan via oral, sublingual dan rektal), asam traneksamat
injeksi, serta injeksi rekombinan faktor VIIa. Khususnya oksitosin dan
ergometrin, telah disetujui dosis yang direkomendasikan oleh WHO.
Rekomendasi di bawah ini dapat pula digunakan untuk kasus PPS
karena atonia uterus setelah seksio sesarea. Rekomendasi tersebut dibuat
terutama berdasarkan data terhadap persalinan pervaginam, sedangkan
data spesifik mengenai PPS setelah seksio sesarea jarang ditemukan dan
tidak dievaluasi secara terpisah dari data persalinan pervaginam. 10
64
dipertahankan terus sampai kontraksi uterus baik.
Masase uterus untuk memastikan uterus berkontraksi dan tidak ada
perdarahan merupakan manajemen aktif kala III untuk pencegahan
PPS. Tidak perlunya biaya banyak dan keamanan dari masase
uterus membuat rekomendasi ini bersifat kuat.
b. Kompresi Bimanual dalam Terapi PPS
Kompresi bimanual interna dapat dilakukan pada kasus PPS
dengan atonia uteri sementara menunggu terapi lebih lanjut.
Seorang tenaga medis harus terlatih secara benar dalam aplikasi
komplikasi bimanual dan dinyatakan bahwa prosedur tersebut
dapat menyebabkan nyeri.
c. Balon Intrauterus atau Tamponade Kondom dalam Terapi PPS
Pada perempuan yang tidak berespon dengan terapi uterotonika
atau jika uterotonika tidak tersedia, balon intrauterus atau
tamponade kondom dapat digunakan sebagai terapi sementara
(dalam proses rujukan atau menunggu persiapan kamar operasi)
pada PPS akibat atonia uteri. Penilaian selanjutnya dilakukan di RS
rujukan.Perlu diperhatikan bahwa penggunaan dari intervensi ini
memerlukan pelatihan. Selain itu, terdapat risiko yang
berhubungan dengan prosedur ini, seperti infeksi. Penggunaan
balon intrauterus atau tamponade kondom sebagai terapi PPS
dipertimbangkan sebagai prioritas riset.
d. Kompresi Eksternal Aorta Abdominalis sebagai Terapi PPS
Prosedur ini aman pada subjek yang sehat
dan mungkin bermanfaat sebagai metode sementara untuk terapi
PPS saat resusitasi sambil menunggu rencana terapi dibuat.
Selanjutnya, sebuah laporan kasus dari Australia menjelaskan
penggunaan kompresi aorta internal sebagai metode sementara
untuk mengontrol PPS karena plasenta perkreta pada saat seksio
sesarea. Kompresi eksterna sebagai terapi PPS karena atonia uteri
setelah persalinan pervaginam dapat dilakukan sebagai metode
65
sementara sampai terapi yang sesuai tersedia. Kompresi aorta
eksterna telah direkomendasikan sejak lama sebagai teknik
yang berpotensi dapat menyelamatkan nyawa dan kompresi aorta
secara mekanik, jika sukses dapat memperlambat kehilangan darah.
66
Gambar 13. Kompresi Bimanual Eksterna
b. Retensio plasenta
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam
setelah anak lahir disebut sebagai retensio plasenta. Plasenta yang
sukar dilepaskan dengan penanganan aktif kala tiga bisa disebabkan
oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Pada retensio
plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan
menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat
menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala tiga)
dan harus diantisipasi dengan melakukan plasenta manual, meskipun
kala plasenta belum lewat setengah jam.
67
Gambar 15. Ujung jari menelusuri tali pusat, tangan kiri diletakkan di atas
fundus
c. Sisa plasenta
Sebagian kecil dari plasenta yang tertinggal dalam uterus disebut
sisa plasenta. Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek
setelah kompresi bimanual ataupun massase dihentikan, bersamaan
pemberian uterotonica lakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara
manual/digital atau kuret. Beberapa ahli menganjurkan eksplorasi
secepatnya, akan tetapi hal ini sulit dilakukan tanpa general anestesi
kecuali pasien jatuh dalam syok. Jangan hentikan pemberian
68
uterotonica selama dilakukan eksplorasi.Setelah eksplorasi lakukan
massase dan kompresi bimanual ulang tanpa menghentikan pemberian
uterotonica.
Pemberian antibiotik spectrum luas setelah tindakan eksplorasi dan
manual removal.Apabila perdarahan masih berlanjut dan kontraksi
uterus tidak baik bisa dipertimbangkan untuk dilakukan laparatomi.
Pemasangan tamponade uterovaginal juga cukup berguna untuk
menghentikan perdarahan selama persiapan operasi .
69
dilakukan insisi dan drainase.Apabila hematom sangat besar curiga
sumber hematoma karena pecahnya arteri, cari dan lakukan ligasi
untuk menghentikan perdarahan.
Terapi pembedahan
o Laparatomi
Pemilihan jenis irisan vertical ataupun horizontal (Pfannenstiel) adalah
tergantung operator.Begitu masuk bersihkan darah bebas untuk
memudahkan mengeksplorasi uterus dan jaringan sekitarnya untuk
mencari tempat ruptur uteri ataupun hematoma.Reparasi tergantung
tebal tipisnya ruptur. Pastikan reparasi benar-benar menghentikan
perdarahan dan tidak ada perdarahan dalam karena hanya akan
menyebabkan perdarahan keluar lewat vagina. Pemasangan drainase
apabila perlu. Apabila setelah pembedahan ditemukan uterus intak dan
tidak ada perlukaan ataupun rupture lakukan kompresi bimanual
disertai pemberian uterotonica.10,11
o Ligasi arteri10,11
Ligasi uteri uterine
Prosedur sederhana dan efektif menghentikan perdarahan yang
berasal dari uterus karena uteri ini mensuplai 90% darah yang
mengalir ke uterus.Tidak ada gangguan aliran menstruasi dan
kesuburan.
70
Ligasi arteri ovarii
Mudah dilakukan tapi kurang sebanding dengan hasil yang
diberikan
Ligasi arteri iliaca interna
Efektif mengurangi perdarahan yany bersumber dari semua traktus
genetalia dengan mengurangi tekanan darah dan circulasi darah
sekitar pelvis.Apabila tidak berhasil menghentikan perdarahan,
pilihan berikutnya adalah histerektomi.
o Histerektomi
Merupakan tindakan curative dalam menghentikan perdarahan yang
berasal dari uterus. Total histerektomi dianggap lebih baik dalam kasus
ini walaupun subtotal histerektomi lebih mudah dilakukan, hal ini
disebabkan subtotal histerektomi tidak begitu efektif menghentikan
perdarahan apabila berasal dari segmen bawah rahim, servix,fornix
vagina. 10,11
71
dinilai baik. Telah diterima secara umum bahwa PPS sekunder sering
berhubungan dengan infeksi dan terapi konvensional yang melibatkan
antibiotik dan uterotonika. Pada perdarahan yang berlanjut, insersi balon
kateter dapat bersifat efektif. Sebuah ulasan Cochrane tahun 2004 secara
spesifik ditujukan untuk menilai regimen antibiotik yang digunakan untuk
endometritis setelah persalinan. Kesimpulannya adalah bahwa kombinasi
dari klindamisin dan gentamisin tepat digunakan; dimana regimen
gentamisin harian adalah paling tidak sama efektifnya dengan regimen tiga
kali harian. Ketika endometritis secara klinis perbaikan dengan terapi
intravena, tidak ada keuntungan tambahan untuk memperpanjang terapi
oral. Antibiotik ini tidak dikontraindikasikan pada ibu menyusui.10
72
Kombinasi dari oksitosin 5IU dan ergometrin 0,5 mg. pemberian IM
5. Carbetocin
100 mikrogram IM atau IV
6. Carboprost
0,25 mg IM setiap 15 menit (maksimum 2 mg per hari)
73
Tabel 13. Pemakaian Oksitosin pada Penanganan Aktif Kala III
Dosis dan Rute IM = 10 unit
Wanita yang terpasang jalur IV = 10 IU IM
atau 5 IU bolus perlahan
Yang Harus Diperhatikan dan Sebelum pemberian oksitosin, pastikan tidak
Kontraindikasi ada bayi kedua. Bila sudah diberi oksitosin,
namun ternyata ada bayi kedua,
kemungkinan bayi kedua terperangkap di
uterus sangat kecil resikonya
74
Gambar 18. Algoritma Tatalaksana Perdarahan Post Partum
75
BAB 3
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : Ny. Wahyuni
MR : 38.37.78
Umur : 35 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Alamat : Mampu Jaya
Masuk tanggal : 24 Oktober 2017
Pukul : 14:00 WIB
I. Anamnesis (AutoAnamnesa)
76
Anamnesis Khusus
77
Riwayat Hipertensi
Riwayat Diabetes Mellitus disangkal
Riwayat Alergi disangkal
Riwayat pengobatan :
Pada tanggal 24 oktober pukul 08.30 WIB pasien memeriksakan diri ke
Puskesmas dan kemudian dirujuk ke RSUD Dumai.
Riwayat Haid :
Menarche : 13Tahun
78
Pasien sering mengkonsumsi sayuran, buah,
dan daging.
79
III. Status obstetri (Berdasarkan Pemeriksaan Bidan)
Pemeriksaan luar
Inspeksi : abdomen cembung, linea nigra positif,
striae gravidarum positif.
Palpasi : Tinggi Fundus Uteri 30cm melebar
Leopold I : teraba bagian bulat lunak (bokong)
Leopold II : teraba bagian keras memanjang di sebelah
kiri (puki), teraba bagian kecil (ekstremitas)
di sebelah kanan
Leopold III : teraba bagian bulat, keras (kepala)
Leopold IV : Konvergen (belum masuk PAP)
Denyut Jantung Janin : 144 kali per menit
His : (-)
Pemeriksaan dalam : VT : portio tertutup, Hodge I, porsio tebal
lembut, letak kepala
Pemeriksaan Laboratorium
80
USG (+)
Hasil : Gravida tunggal letak kepala, sesuai usia kehamilan 40-41 minggu
+ cairan amnion keruh, pulsasi jantung (+) 133x/min, BPD 94,1 mm, FL
72,8mm,cairan ketuban cukup, lokasi plasenta anterior.
V. RESUME
81
Inspeksi : abdomen cembung, linea nigra positif,
striae gravidarum positif
Palpasi : Tinggi Fundus Uteri 30cm
Leopold I : teraba bagian bulat lunak (bokong)
Leopold II : teraba bagian keras memanjang di sebelah
kiri (puki), teraba bagian kecil (ekstremitas)
di sebelah kanan
Leopold III : teraba bagian bulat, keras (kepala)
Leopold IV : konvergen (belum masuk PAP)
Denyut Jantung Janin : 144 kali per menit
His : (-)
Pemeriksaan dalam didapatkan hasil : portio tertutup, Hodge I, porsio
tebal lembut, letak kepala
Dari hasil pemeriksaan Labor pasien ditemukan hasil normal. Dari hasil
USG dr. SpRad pada tanggal 24 Oktober 2017 didapatkan hasil Gravida
tunggal letak kepala, sesuai usia kehamilan 40-41 minggu + cairan amnion
keruh, pulsasi jantung (+) 133x/min, BPD 94,1 mm, FL 72,8mm,cairan
ketuban cukup, lokasi plasenta anterior.
VII. Penatalaksanaan
IVFD RL 20 gtt/menit
82
Follow Up
Tanggal S O A P
24/1017 Pasien tidak KU = tampak sehat G3P2A0 (40-41 Observasi TTV, DJJ,
ada keluhan TD = 120/80mmHg minggu) + Post HIS.
14:00
HR = 80 x/menit Date + Cairan Advice Dr. SPOG :
RR = 20 x/menit ketuban keruh Induksi gastrul 1/8
T = 36,50C tablet/6 jam
DJJ = 144 x/menit
Pasien diberikan
15.00
gastrul 1/8 tablet
83
dan darah dari VT : portio terbuka
vaginanya 2 cm
Pasien TD = 80/50mmHg
09.00 WIB
mengalami HR = 94 x/menit
perdarahan RR = 22 x/menit Pasang IVFD RL
hebat (3 kain) T = 36,50C Drip Oksitosin 1 amp
dan pasien Eksplorasi liang
tidak sadarkan vagina
diri Cek darah rutin
84
09.30 WIB TD = 90/50mmHg
Pasien telah HR = 88x/menit Observasi TTV
sadar dan RR = 22 x/menit Observasi perdarahan
perdarahan T = 36,50C
12.36 WIB
berkurang Hasil Laboratorium
Hb :9,9 gr/dL Konsultasi dr. SP.OG
Leukosit :17.600 Inj. Cefotaxim/12 jam
mm3
Trombosit :
203.000 mm3
Eritrosit :
3.140.000 mm3
MCV : 89 Fl
MCH : 31 PG
MCHC : 30 %
HT : 28 %
26/10/17 Pasien sudah KU: tampak sakit P3A0H3 Observasi TTV, His
IVFD RL 20 gtt/min
bisa dipapah ke ringan
Inj. Cefotaxim/12 jam
kamar mandi TD = 130/80 Cefadroxil 2x1 tab
Metilergometrin 3x1
perdarahan per mmHg
tab
vaginam (+) HR = 74 x/menit Lactafit 3x1 tab
Asam mefenamat 3x1
sedikit RR = 18x/menit.
tab
T = 36,00C
Perdarahan
pervaginam
minimal
27/10/17 Pasien tidak KU = Tampak P3A0H3 Pasien berobat jalan
ada keluhan, sehat
pasien sudah TD = 130/70
bisa berjalan mmHg
dan kekamar HR = 80x/menit
mandi sendiri RR = 18x/menit
T = 36,60C
Perdarahan
pervaginam
minimal
85
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Anamnesis
Teori Kasus
Umur ibu <19 tahun >30 tahun janin berjenis kelamin laki-laki
Paritas (primigravida)
Janin laki-laki
Siklus haid panjang
86
Sosioekonomi rendah
Kelainan kongenital
87
Teori Kasus
4.4 Tatalaksana
Penlaian kesejahteraan janin pada kasus hanya dilakukan dengan USG
dengan menilai profil biofisik janin dan pemeriksaan jumlah cairan ketuban janin,
dan dari hasil pemeriksaan tersebut didapatkan hasil normal. Akan tetapi pada
pasien didapatkan cairan ketuban keruh sehingga janin sangat beresiko untuk
asfiksia ataupun mengalami aspirasi mekonium sehingga tatalaksana aktif lebih
tepat dipilih untuk pasien.
88
Tatalaksana aktif pada pasien yaitu dengan induksi. Pada pasien digunakan
induksi dengan obat yaitu misoprostol. Dimana pada pasien diberikan gastrul 1/8
tablet/jam dan dosis ini telah sesuai dengan rekomendasi FIGO 2017.
89
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1.Simpulan
Kehamilan postterm adalah kehamilan yang berakhir lebih dari 42 minggu
atau 294 hari dari hari pertama haid terakhir (HPHT). Frekuensi terjadinya
kehamilan postterm berkisar antara 4-14% dengan 2-7% mencapai usia kehamilan
43 minggu penuh.
Menegakkan diagnosis kehamilan postterm bukan merupakan hal yang
mudah. Banyak metode pemeriksaan umur kehamilan dan kesejahteraan janin
yang diajukan tapi belum ada hasil yang memuaskan. Hal ini disebabkan karena
pemeriksaan yang berkali-kali tidak praktis, mahal, terkadang subjektif,
mempunyai nilai positif dan negatif palsu, serta memerlukan kehandalan
pemeriksa. Namun nilai diagnosisnya akan lebih baik jika pemeriksaan itu
dilakukan bersama-sama (misalnya penetapan tanggal persalinan menggunakan
HPHT atau USG secara bersama-sama)
Kehamilan postterm membawa pengaruh tidak baik pada janin maupun
ibu. Jika pemeriksaan kesejahteraan janin didapatkan hasil buruk, maka kehamilan
harus segera diterminasi. Induksi persalinan dapat dilakukan pada indikasi-
indikasi tertentu, salah satunya pada kehamilan postterm. Sebelum induksi,
obstetrisian harus mengkaji secara hati-hati indikasi terminasi tersebut dan
melakukan informed consent pasien dan keluarga. Ibu dan janin juga harus
diperiksa secara cermat dan jika diindikasikan maturitas paru janin harus
diperiksa. Penggunaaan agen pematangan serviks penting untuk mempersiapkan
pematangan serviks, terutama pada serviks dengan PS jelek (<5).Adapun metode
yang dapat dipakai dalam induksi persalinan adalah:
90
5.2.Saran
Adapun saran yang dapat diberikan sebagai berikut:
Ibu disarankan untuk melakukan pemeriksaan antenatal/antenatal care
(ANC) Menurut Sarwono ibu hamil memerlukan sedikitnya empat kali kunjungan
secara periode Antenatal :
91
DAFTAR PUSTAKA
92