Anda di halaman 1dari 23

KEHAMILAN POST-TERM

Jurgen J. Panambunan

18014101084

A. Definisi Kehamilan Postterm


Kehamilan postterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat waktu,
kehamilan lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy, postdate/ post
datisme atau pascamaturitas.

Menurut WHO 1977 kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung


lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid
terakhir (HPHT) menurut rumus Naegele dengan siklus haid rata-rata 28 hari.

Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and


Gynecologists (2004), kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung
lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid
terakhir (HPHT). 1

Masalah yang sering terjadi dalam menegakkan diagnosisi kehamilan postterm


adalah penentuan usia kehamilan berdasarkan HPHT seringkali tidaklah mudah,
karena ibu tidak ingat kapan tanggal HPHT yang pasti, selain itu penentuan saat
ovulasi yang pasti juga tidak mudah, terdapat pula faktor-faktor yang
mempengaruhi perhitungan: variasi siklus haid, kesalahn perhitungan oleh ibu dan
sebagainya. Dengan adanya pemeriksaan USG terutama pada trisemester I, usia
kehamilan dapat ditentukan lebih tepat , dengan penyimpanagn hanya lebih atau
kurang satu minggu.3

B. Insiden Kehamilan Postterm

Angka kejadian kehamilan lewat waktu bervariasi antara 4%-14% dengan rata-
rata sebesar 10%. Hal ini sangat tergantung kepada kriteria yang digunakan untuk
mendiagnosis (Bakketeig and Bergasjo, 1991).2
Gambar di bawah ini menyatakan bahwa 8% dari 4 juta bayi yang dilahirkan di
Amerika Serikat sepanjang tahun 1997, diperkirakan dilahirkan pada usia gestasi ≥
42 minggu sedangkan yang dilahirkan preterm (usia gestasi ≤ 36 minggu) hanya
sebesar 11%.2

Usia Gestasi
2000000 1.793.421
(46%)
1800000
1600000
1400000
1200000 851.729
1000000 (22%)
800000 458.145
436.600 302.541
600000 (12%)
(11%) (8%)
400000
200000
0
≤ 36 37-39 40 41 ≥ 42

Adapted from Ventura and Colleagues, 1999

Gambar: Tabel Distribusi Usia Gestasi

Sedangkan kepustakaan lainnya menyatakan bahwa perbedaan yang lebar juga


disebabkan oleh karena adanya perbedaan dalam menentukan usia kehamilan.
Sebanyak 10% ibu lupa tanggal haid terakhirnya sehingga terjadi kesukaran dalam
menentukan secara tepat saat ovulasi.1,4,6

Menurut Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi (POGI), insidens


kehamilan lewat waktu sangat bervariasi antara lain 8:

Insidens kehamilan 42 minggu lengkap : 4 – 14 %, 43 minggu lengkap 2 – 7


%.
Insidens kehamilan post-term tergantung pada beberapa faktor : tingkat
pendidikan masyarakat, frekuensi kelahiran pre-term, frekuensi induksi persalinan,
frekuensi seksio sesaria elektif, pemakaian USG untuk menentuka usia kehamilan.
Secara spesifik, insidens kehamilan post-term akan rendah jika frekuensi
kelahiran pre-term tinggi, bila angka induksi persalinan dan seksio sesaria elektif
tinggi, dan bila USG dipakai lebih sering untuk menentukan usia kehamilan.
Peningkatan mortalitas dan morbiditas secara signifikan berhubungan dengan
distosia akibat makrosomia. Sekitar 10-25% janin yang lahir lewat waktu memiliki
berat badan lebih dari 4000 gram dan 1,5% janin dengan berat badan sekitar 4500
gram. Insidens distosia bahu pada kehamilan lewat waktu adalah sebesar 2%.
Resiko mengalami distosia akibat makrosomia adalah 3 kali lipat dan peningkatan
insiden distosia bahu sebesar 2 kali lipat pada kehamilan lewat waktu dibandingkan
dengan wanita yang melahirkan bayi pada kehamilan 40 minggu.2,9

C.Etiologi Kehamilan Postterm


Penyebab pasti dan poses terjadinya kehamilan postterm sampai saat ini masih
belum diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk menerangkan
penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain:2

1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya


kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesteron
melewati waktu yang semestinya.

2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita


hamil pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab
terjadinya kehamilan postterm.

3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta


sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen. Proses
ini selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada
kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan janin seperti anensefalus atau
hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar hipofisis janin akan menyebabkan kortisol
janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan berlangsung lewat bulan.
4. Teori saraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm terjadi
pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus
Frankenhauser yang membangkitkan kontraksi uterus, seperti pada keadaan
kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian terbawah janin.

5. Teori heriditer. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm


telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007)
menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah mengami
kehamilan postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan
postterm pada kehamilan berikutnya. Hasil penelitian ini memunculkan
5
kemungkinan bahwa kehamilan postterm juga dipengaruhi oleh faktor genetik.
Mogren (1999) menyatakan bahwa bilamana seorang ibu mengalami kehamilan
postterm saat melahirkan anak perempuan, maka besar kemungkinan anak
perempuannya akan mengalami kehamilan postterm.

D. Patofisiologi Kehamilan Postterm


Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan amnion,
plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan tersebut dapat
dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan postterm.

1. Perubahan pada Plasenta.

Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada


kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta mencapai
puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun terutama
setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini berkaitan dengan peningkatan
kejadian gawat janin dengan risiko 2-4 kali lebih tinggi. Penurunan fungsi plasenta
dapat dibuktikan dengan penurunan kadar estriol dan plasenta laktogen. Perubahan
yang terjadi pada plasenta sebagai berikut.

Penimbunan kalsium. Peningkatan penimbunan kalsium pada plasenta sesuai


dengan progresivitas degenerasi plasenta. Proses degenerasi jaringan plasenta yang
terjadi seperti edema, timbunan fibrinoid, fibrosis, trombosis intervilli, spasme
arteri spiralis dan infark villi. Selapot vaskulosinsial menjadi tambah tebal dan
jumlahnya berkurang. Keadaan ini dapat menurunkan metabolisme transport
plasenta. Transport kalsium tudak terganggu tetapi aliran natrium, kalium, glukosa,
asam amino, lemak dan gamma globulin mengalami gangguan sehingga janin akan
mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat janin.1

Oligohidramnion
Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan
amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu,
yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar 800 ml pada usia kehamilan 40
minggu. Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar 480
ml, 250 ml, hingga 160 ml pada usia kehamilan 42, 43, dan 44 minggu.1

Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm berhubungan dengan


penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa berdasarkan pemeriksaan
Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm terjadi peningkatan hambatan aliran
darah (resistance index/RI) arteri renalis janin sehingga dapat menyebabkan
penurunan jumlah urin janin dan pada akhirnya menimbulkan oligohidramnion.(Oz, et
al., 2002)
Oleh sebab itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan
postterm menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian perinatal
meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi tali pusat.
Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan keadaan gawat janin saat
intra partum. 2

Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion


sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik
kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan sejumlah badan lamellar dari paru-
paru janin akan mengakibatkan perbandingan Lesitin terhadap Sfingomielin
menjadi 4:1 atau lebih besar. Selain itu, adanya pengeluaran mekonium akan
mengakibatkan cairan amnion menjadi hijau atau kuning dan meningkatkan risiko
terjadinya aspirasi mekonium.1
Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG. Salah
satu metode yang cukup populer adalah pengukuran diameter vertikal dari kantung
amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran uterus. Hasil penjumlahan
keempat kuadran tersebut dikenal dengan sebutan indeks cairan anmion (Amnionic
Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka
merupakan indikasi adanya oligohidramnion.1

Perubahan pada janin


Berat janin. Bila terjadi perubahan anatomik yang besar pada plasenta, maka
terjadi penurunan berat janin. Namun, seringkali pula plasenta masih dapat
berfungsi dengan baik sehingga berat janin bertmbah terus sesuai bertambahnya
umur kehamilan. Risiko persalinan bayi dengan berat lebih dari 4000 gram pada
kehamilan postterm meningkat 2-4 kali lebih besar.

Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin pada kehamilan
postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik khas disertai dengan gangguan
pertumbuhan dan dehidrasi yang disebut dengan sindrom postmaturitas.
Perubahan-perubahan tersebut antara lain; penurunan jumlah lemak subkutaneus,
kulit menjadi keriput, dan hilangnya vernik kaseosa dan lanugo. Keadaan ini
menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan
lainnya yaitu; rambut panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan atau
kekuningan karena terpapar mekonium. Namun demikian, Tidak seluruh neonatus
kehamilan postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi plasenta.
Umumnya didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda postmaturitas pada
kehamilan postterm. Tanda postterm dibagi dalam 3 stadium:2

a. Stadium 1 : Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa


kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas.
b. Stadium 2 : Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium pada kulit.
c. Stadium 3 : Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali pusat.

E. Diagnosis Kehamilan Postterm


Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19% dari
seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh karena
kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan. Oleh sebab itu, pada penegakkan
diagnosis kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan
menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan karena semakin lama janin berada di
dalam uterus maka semakin besar pula risiko bagi janin dan neonatus untuk
mengalami morbiditas maupun mortalitas. Namun sebaliknya, pemberian
intervensi/terminasi secara terburu-buru juga bisa memberikan dampak yang
merugikan bagi ibu maupun janin.

Riwayat haid
Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk ditegakkan
apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis kehamilan postterm
berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan definisi yang dirumuskan oleh
American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang
berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama
siklus haid terakhir (HPHT). 1

Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat atau tidak
bisa dipercaya. Menurut Mochtar et al (2004), jika berdasarkan riwayat haid,
diagnosis kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan hanya ±30 persen.
Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (a) ibu
harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b) siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak minum
pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir.2

Hasil penelitian Savitz, et al (2002) menunjukkan bahwa usia kehamilan yang


ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih sering salah didiagnosa sebagai
kehamilan postterm dibanding dengan pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi
yang terlambat. Penentuan usia kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada asumsi
bahwa kehamilan akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari pertama
(Cunningham, et al., 2010)
siklus haid yang terakhir. Pendekatan ini berpotensi menyebabkan
kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan tanggal HPHT dan asumsi
bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus menstruasi. Padahal, ovulasi tidak
selalu terjadi pada hari ke-14 siklus karena adanya variasi durasi fase folikular,
yang bisa berlangsung selama 7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki
siklus 28 hari, masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus.
Akibatnya, terjadi kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya
dihitung mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi.(Bennett, et al., 2004) Tingkat
kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan HPHT adalah ±
1,37 minggu.6

Riwayat pemeriksaan antenatal


Tes kehamilan. Bila pasien melakukan pemeriksaan tes imunologik sesudah
terlambat haid 2 minggu, maka dapat diperkirakan keamilan telah berlangsung 6
minggu.

Gerak janin. Gerak janin pada umumnya dirasakan ibu pada umur kehamilan
18-20 minggu. Pada primigravida dirasakan sekitar umur kehamilan 18 minggu,
sedangkan pada multigravida pada 16 minggu. Keadaan klinis yang ditemukan ialah
gerakan janin yang jarang, yaitu secara subyektif kurang dari 7 kali/20 menit, atau
secara obyektif dengan CTG kurang dari 10 kali/20 menit.

Denyut Jantung Janin (DJJ). Dengan stetoskop Laennec DJJ dapat didengar
mulai umur kehamilan 18-20 minggu, sedangakn dengan Doppler dapat terdengar
pada usia kehamilan 10-12 minggu.

Pernoll, et al (2007) menyatakan bahwa kehamilan dapat dinyatakan sebagai


kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan
sebagai berikut:

a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif


b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler

d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan

stetoskop Laennec.
Tinggi Fundus Uteri
Dalam trisemester pertama pemeriksaan tinggi fundus uteri serial dalam
sentimeter (cm) dapat bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan secara berulang
setiap bulan. Lebih dari 20 minggu, tinggi fundus uteri dapat menentukan umur
kehamilan secara kasar.7

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)


Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan telah banyak
menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa kehamilan postterm.
Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa penentuan usia kehamilan
melalui pemeriksaan USG memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding
dengan metode HPHT.

Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan yang


didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam mendiagnosa kehamilan
postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan
persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-rump length)
adalah ± 4 hari dari taksiran persalinan.(Cohn, et al., 2010) Pada usia kehamilan antara 16-
26 minggu, ukuran diameter biparietal (biparietal diameter/BPD) dan panjang
2
femur (femur length/FL) memberikan ketepatan ± 7 hari dari taksiran persalinan.

Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut hasil
penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan yang lebih rendah
dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II. Pemeriksaan sesaat
setelah trisemester III dapat dipakai untuk menentukan berat janin, keadaan air
ketuban ataupun keadaan plasenta yang berkaitan dengan kehamilan postterm,
tetapi sukar untuk menentukan usia kehamilan. Ukuran-ukuran biometri janin pada
trimester III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi sehingga tingkat kesalahan
estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat kesalahan
estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester
III bahkan bisa mencapai ± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia kehamilan
pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan melakukan
pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban. 7

Pemeriksaan laboratorium
a. Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel
lemak dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung lemak melebihi
10%, maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36 minggu dan apabila
jumlahnya mencapai 50% atau lebih, maka usia kehamilan 39 minggu atau lebih.
b. Tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian terdahulu berhasil
membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat waktu pembekuan darah.
Aktivitas ini meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada usia kehamilan
41-42 minggu, ACTA berkisar antara 45-65 detik sedangkan pada usia kehamilan
>42 minggu, didapatkan ACTA <45 detik. Bila didapatkan ACTA antara 42-46
detik, ini menunjukkan bahwa kehaminan sudah postterm.
c. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar L/S
pada usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1). Pada usia kehamilan
±32 minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan pada kehamilan genap bulan
menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk menentukan kehamilan
postterm tetapi hanya digunakan untuk menentukan apakan janin cukup
usia/matang untuk dilahirkan.
d. Sitologi vagina. Pemeriksaan sitologi vagina (indeks kariopiknotik > 20%)
mempunyai sensitivitas 755. Perlu diingat bahwa kematangan serviks tidak dapat
dipakai untuk menentukan usia gestasi.2

F. Komplikasi Kehamilan Postterm


Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu seperti korioamnionitis, laserasi
perineum, perdarahan post partum, endomiometritis dan penyakit tromboemboli.
Komplikasi terjadi pada bayi seperti hipoksia, hipovolemia, asidosis, sindrom
gawat nafas, hipoglikemia, hipofungsi adrenal.3
Penatalaksanaan Kehamilan Postterm
Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak
perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan
postterm antara lain karena pada beberapa penderita, usia kehamilan tidak selalu
dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana
yang diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42 minggu, pada ±70%
penderita didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan skor Bishop
rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Oleh karena itu,
setelah diagnosis kehamilan postterm ditegakkan, permasalahan yang harus
dipecahkan selanjutnya adalah apakah dilakukan pengelolaan secara aktif dengan
induksi ataukah sebaliknya dilakukan pengelolaan secara ekspektatif dengan
pemantauan terhadap kesejahteraan janin, baik secara biofisik maupun biokimia
sampai persalinan berlangsung dengan spontan atau timbul indikasi untuk
mengakhiri kehamilan.2 Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan
keputusan tindakan adalah kepastian usia kehamilan, pemeriksaan serviks,
perkiraan berat janin, keinginan pasien dan riwayat obstetrik dahulu.

Pemantanauan kesejahteraan janin


Manning dkk (1980) telah mengajukan pemakaian kombinasi dari 5 variabel
biofisik untuk menilai kesejahteraan janin dan menyatakan bahwa kombinasi ini
memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan pemakaian salah satu variabel
saja. Secara umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar 30-60 menit. Variabel yang
digunakan dalam penilaian profil biofisik adalah; (a) tes tanpa beban (non-stress
test/NST), (b) gerak nafas janin, (c) gerakan janin, (d) tonus janin, dan (e) volume
cairan amnion. Setiap variabel diberikan skor 2 bila normal dan skor 0 bila
abnormal. Oleh sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada
pemeriksaan profil biofisiknya.(Cunningham, et al., 2010)

a. Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST)

Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun sebagai akibat
pengaruh dari sistem saraf simpatis-parasimpatis yang impulsnya berasal dari
batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung janin yang tidak berada dalam
keadaan asidosis akibat hipoksia ataupun depresi saraf akan mengalami akselerasi
sementara sebagai respon terhadap gerakan janin. Adanya akselerasi ini dipegaruhi
oleh usia kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat akselerasi denyut
jantung akibat gerakan janin akan meningkat seiring dengan peningkatan usia
kehamilan.(Cunningham, et al., 2010)

Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban kontraksi
(contraction stress test/oxytocin stress test/OST). Secara sederhana, NST adalah tes
untuk mengetahui kondisi janin sedangkan OST digunakan untuk menilai fungsi
uteroplasenta. Sampai saat ini, NST adalah tes utama yang paling sering digunakan
untuk menilai kesejahteraan janin.(Cunningham, et al., 2010)

b. Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing)

Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin adalah gerakan
dinding dada yang paradoks (paradoxical chest wall movement). Pada janin, ketika
proses inspirasi, dinding dada secara paradoks mengempis sedangkan dinding perut
mengembung. Hal ini berkebalikan dengan proses inspirasi yang terjadi pada
neonatus dan orang dewasa. Gerakan ini dihubungkan dengan kemungkinan adanya
gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan amnion yang menyerupai gerakan
pada saat batuk.(Cunningham, et al., 2010)

Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai adanya


keterkaitan antara gerakan nafas janin melalui pemeriksaan USG dengan proses
evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas janin terjadi secara
episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat tidak ditemukan gerakan nafas
menjadi tidak dapat dipercaya. Patrick dkk (1980) melakukan penelitian observasi
selama 24 jam menggunakan ultrasonografi real time untuk mendapatkan gambaran
karakteristik gerakan nafas janin selama 10 minggu terakhir kehamilan. Hasilnya
menunjukkan bahwa pada janin normal pun bisa saja tidak ditemukan gerakan nafas
bahkan sampai 122 menit lamanya. Penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk
dapat mendiagnosis tidak ditemukannya gerakan nafas membutuhkan waktu
observasi yang panjang. Oleh sebab itu, untuk menilai kesejahteraan janin,
pemeriksaan gerakan nafas sering digabungkan dengan pemeriksaan lain, misalnya
pemeriksaan denyut jantung janin.(Cunningham, et al., 2010)

c. Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)

Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai ada sejak
minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks serta terkoordinasi pada akhir
kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia kehamilan, gerakan janin tidak pernah
berhenti dengan waktu lebih dari 13 menit. Namun demikian, ibu hamil baru bisa
merasakan pergerakan janin pertama kali sekitar usia kehamilan 18-20 minggu.
Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat dibedakan dengan
sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus.(Cunningham, et al., 2010)

Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum menjadi lebih teratur
dan janin mulai memperlihatkan siklus istirahat-aktivitas. Pada trimester ketiga,
pematangan gerakan janin terus berlanjut sampai sekitar 36 minggu, saat sikap
tubuh normal telah terbentuk pada 80% janin. (Cunningham, et al., 2010)

Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi. Pada umur


kehamilan 20 minggu, pergerakan janin rata-rata adalah sekitar 200 gerakan per 12
jam. Pergerakan janin mencapai nilai maksimal sekitar minggu ke-32 kehamilan,
yaitu ± 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu, pergerakan menjadi kurang dirasakan
setelah minggu ke-36 karena janin tumbuh dan volume cairan amnion berkurang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya aktivitas pada kehamilan aterm
mungkin juga disebabkan oleh pertambahan waktu tidur janin seiring dengan makin
maturnya janin. Keadaan ini merupakan hal yang terjadi secara fisiologis pada
trimester ke- tiga. (Cunningham, et al., 2010)

d. Pemeriksaan tonus janin

Tonus janin dengan pemeriksaan USG diketahui sebagai gerakan ekstensi


ekstremitas atau tubuh janin, yang dilanjutkan dengan gerakan kembali ke posisi
fleksi. Tonus janin dapat juga dinilai dengan melihat gerakan jari-jari tangan yang
membuka (ekstensi) dan kembali ke posisi mengepal. Dalam keadaan normal,
gerakan tersebut terlihat sedikitnya sekali dalam 30 menit pemeriksaan. Tonus janin
juga dianggap normal apabila jari-jari tangan terlihat mengepal terus selama 30
menit pemeriksaan.

e. Pemeriksaan volume cairan amnion

Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari pemeriksaan


antepartum pada kehamilan yang memiliki risiko kematian janin. Pelaksanaan tes
ini didasari pada pemikiran bahwa penurunan perfusi uteroplasenta akan
menurunkan aliran darah ginjal janin, menurunkan produksi urin janin, dan pada
akhirnya akan menimbulkan oligohidramnion.(Oz, et al., 2002; Cunningham, et al., 2010)

Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG


dengan cara menilai indeks cairan amnion (amniotic fluid index/AFI). Penilaian
dengan indeks ini dilakukan dengan cara menambahkan ukuran kedalaman dari
setiap kantung vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila nilai AFI telah turun
hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion.
(Cunningham, et al., 2010)

Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung cairan amnion
vertikal yang terbesar (single deepest pocket). Menurut pemeriksaan ini, volume
cairan amnion dikatakan berkurang bila didapatkan ukuran kantong ≤ 2 cm.
(Cunningham, et al., 2010)
Gambar: Amniotic Fluid Index (Cunningham, et al., 2010)

Berdasarkan penilaian kelima variabel yang telah dijelaskan di atas, maka


didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai kesejahteraanya. Skor
profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai minimal 0 dan maksimal 10.

Tabel: Penilaian Skor Profil Biofisik (Cunningham, et al., 2010)

Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat berupa


penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi apapun sambil melakukan
pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran keadaan asfiksia, maka
penanganan diberikan secara aktif dengan terminasi kehamilan.
Tabel: Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik
(Cunningham, et al., 2010)

Pengeloloaan secara ekpetatif dipertahankan selama 1 minggu dengan


pemantauan secara berkala. Apabila timbul suatu masalah seperti kegawatan janin
dapat dilakukan pengelolaan aktif.

Induksi persalinan
Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi indikasi
untuk pelaksanaan induksi persalinan dengan pertimbangan kondisi bayi yang
cukup baik atau optimal. Induksi persalinan menjadi salah satu prosedur medis yang
paling sering dilakukan di Amerika Serikat dengan proporsi yang meningkat dari
9% pada tahun 1989 menjadi 19% di tahun 1998.(Heimstad, 2007)

Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum inpartu,
baik secara tindakan atau medisinal, untuk merangsang timbulnya kontraksi uterus.
Pematangan serviks adalah tindakan farmakologik atau cara lain untuk
memperlunak atau meningkatkan dilatasi serviks dengan tujuan untuk
meningkatkan keberhasilan induksi persalinan. Tindakan induksi persalinan ini
adalah untuk keselamatan ibu dan anak, tetapi walaupun dilakukan dengan
terencana dan hati-hati, kemungkinan untuk menimbulkan risiko terhadap ibu dan
janin tetap ada.(Heimstad, 2007)

Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh beberapa


keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari kematangan serviks
(favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat dilakukan dengan
menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan lima faktor yang didapatkan
dari pemeriksaan dalam dan akan digunakan untuk memperkirakan keberhasilan
induksi persalainan. Lima faktor yang diperiksa adalah (1) dilatasi serviks, (2)
penipisan serviks/effacement, (3) konsistensi serviks, (4) posisi serviks, dan (5)
station dari bagian terbawah janin.

Tabel :Pelviks skor menurut Bishop. (Cunningham, et al., 2010)

Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi persalinan


yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop ≤4 biasanya menunjukkan keadaan serviks
yang belum matang (unfavorable) sehingga membutuhkan pematangan serviks
yang bisa dilakukan secara farmakologis (prostaglandin, nitrit oksida) ataupun
teknik (kateter transervikal, dilator higroskopis, stripping).(Cunningham, et al., 2010)

Pada kehamilan postterm, harus diperhatikan nilai oematangan serviks (Skor


Bishop) karena akan mempengaruhi tindakan induksi. Apabila skor bishop > 5
maka di induksi dengan infus oksitosin,tetapi bila skor bishop ≤ 5 maka diberikan
misoprostol 25 µg per vaginam. Dievaluasi 6 jam kemudian, apabila skor bishop
sudah >5 maka dilanjutkan infus oksitosin, namun apabila setelah 6 jam masih
sama atau ≤ 5 maka dilanjutkan misoprostol dengan cara pemberian yang sama.
Bila dalam 6 jam kemudian belum inpartu maka dilanjutkan infus oksitosin.

Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi persalinan
dalam bidang obstetri. (Heimstad, 2007) Oksitosin mempunyai efek yang poten terhadap
otot polos uterus dan kelenjar mammae. Kepekaan terhadap oksitosin meningkat
pada saat persalinan. Induksi persalinan dengan oksitosin yang diberikan melalui
infus secara titrasi ternyata efektif dan banyak dipakai. Titrasi ini biasanya
dilakukan dengan cara memberikan 10-20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang
dilarutkan dalam 1000 cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan menghasilkan
kadar oksitosin 10-20 mU/mL. (Cunningham, et al., 2010) Terdapat berbagai macam metode
induksi dengan menggunakan drip oksitosin, baik yang menggunakan dosis rendah
maupun dosis tinggi.

Tabel :Rejimen drip induksi dengan oksitosin. (Cunningham, et al., 2010)

Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin 20


mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit masih tidak
didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi dilanjutkan. Pemberian
dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan ikatan oksitosin dengan reseptor
vasopresin sehingga akan menimbulkan kontraksi yang tetanik atau hipertonik.
Selain itu, dapat juga muncul efek antidiuretik sehingga zmeningkatkan risiko
terhadap keracunan air. Induksi dianggap berhasil kalau didapatkan kontraksi uterus
yang adekuat, yaitu his sekitar 3 kali dalam 10 menit dengan kekuatan sekitar 40
mmHg atau lebih (200 Montevidio).(Cunningham, et al., 2010)

Penatalaksanaan Kehamilan Postterm dengan Oligohidramnion


Penatalaksanaan kasus oligohidramnion pada kehamilan postterm tergantung
pada situasi klinik pasien yang bersangkutan. Pada tahap awal, harus dilakukan
evaluasi terhadap anomali janin dan gangguan pertumbuhan. Pada kehamilan
postterm yang diperberat dengan komplikasi oligohidramnion harus dilakukan
pengawasan ketat karena tingginya risiko morbiditas janin. (Heimstad, 2007)

Hasil dari kehamilan dengan oligohidramnion intrapartum menurut beberapa


penelitian memiliki hasil yang berbeda-beda. Chauhan dkk (1999) yang dikutip dari
(Cunningham, et al., 2010), melakukan penelitian terhadap lebih dari 10.500 ibu
hamil yang memiliki nilai AFI intrapartum <5 cm dibandingkan dengan kontrol
yang memiliki nilai AFI >5 cm. Menurut hasil penelitian didapatkan bahwa risiko
seksio sesarea atas indikasi gawat janin pada kelompok oligohidramnion lebih
tinggi 2 kali lipat. Selain itu, risiko janin dengan skor APGAR 5 menit dibawah 7
pada kelompok ini lebih tinggi 5 kali lipat. Hasil penelitian Divon dkk (1995) yang
dikutip dari Cunningham et al, (2010) juga menyatakan bahwa hanya ibu paturien
postterm yang memiliki nilai AFI ≤5 cm yang mengalami deselerasi denyut jantung
janin dan aspirasi mekonium.(Cunningham, et al., 2010)

Sebaliknya, Zhang dkk (2004) yang dikutip dari Cunningham et al., (2010)
melaporkan bahwa kondisi oligohidramnion dengan nilai AFI ≤ 5 cm tidak
berhubungan dengan kondisi perinatal yang buruk. Begitu juga dengan Magann dkk
(1999) yang tidak menemukan peningkatan risiko komplikasi intrapartum pada
kondisi oligohidramnion.(Cunningham, et al., 2010)

Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi janin
postterm sehingga setiap persalinan postterm harus dilakukan pengawasan ketat dan
sebaiknya dilaksanakan di Rumah Sakit dengan pelayanan operatif dan neonatal
yang memadai.

Menurut Mochtar, et al (2004) pengelolaan persalinan pada kehamilan postterm


mencakup:

a. Pemantauan yang baik terhadap kontraksi uterus dan kesejahteraan janin.


Pemakaian alat monitor janin secara kontinu sangat bermanfaat.
b. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan.
c. Persiapan oksigen dan tindakan seksio sesarea bila sewaktu-waktu terjadi
kegawatan janin
d. Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap wajah
neonatus dan penghisapan pada tenggorokan saat kepala lahir dilanjutkan resusitasi
sesuai prosedur pada janin dengan cairan ketuban bercampur mekonium.
e. Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas
Gambar: Skema penatalaksanaan kehamilan postterm. (Cunningham, et
al., 2010
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F.G., et al. 2001. Postterm Pregnancy, Antepartum


Assessment, In : Williams Obstetrics. Edisi 21. Mc Graw Hill. New York:
729 – 742. 1095-1108.
2. Wiknjosastro. H., Ilmu Kebidanan, edisi III, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Kehamilan Lewat Waktu, Jakarta, 2002 hal: 317-320.
3. Rustam, Mochtar. 1998 Sinopsis Obstetri (Obstetri Fisiologi Obstertri
Patologi). Edisi 2. EGC. Jakarta.
4. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas kedokteran Universitas Padjajaran
Bandung. 1982. Obstetri Patologi,. Penerbit : Elstar Offset. Bandung
5. Hacker NF and Moore George, Essensial of Obstetrics and Gynecology, 2nd
edition, W.B. Sauders company,1992, page 316-318
6. Shaver D.C. et al, Clinical Manual Of Obstetrics, 2 nd Edition, Mc Graw
International Editions, 1993 page 313-321.
7. Decherney A, Nathan L, Goodwin T,Leufer N, Current Diagnosis and
Treatment Obstetrics & Gynacology 10 thedition; McGraw-Hill, 2007 page
187-189
8. Pengurus besar POGI, Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi,
bagian 1, Balai penerbit FKUI, 2003, hal 70-71.
9. Rosa C. 2001. Postdate Pregnancy in: Obstetrics and Gyecology Principles
for Practice, McGraw-Hill. New York, America: 388-395
10. Asrat T.,Quilligan E.J., 2000. Postterm Pregnancy in: Current
Therapy in Obstetrics and Gynecology, edisi 5. WB. Saunders Company.
Philadelphia America:321-322
11. Spellacy W.N., 1999.Postdate Pregnancy in:Danforth’s Obstetrics and
Gynecology. Edisi 8. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia:287-
291.

1
12. Puder K.S., Sokol R.J., 1995. Clinical use of Antepartum Fetal
monitoring techniques in:John J.Sciarra Gynecology and Obstetrics vol
2.edisi revisi. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia
13. Briscoe D., et al. 2005. Management of Pregnancy Beyond 40
Weeks’ Gestation in:www.aafp.org/afp
14. Singal P., et al. 2001. Fetomaternal Outcome Following Postdate
Pregnancy-A Prospective Study in: www.journal-obgyn-
india.com/articles/issue_sep_oct2001/o_papers_89.asp

Anda mungkin juga menyukai