Anda di halaman 1dari 22

SEROTINUS Sitti Rahmadani, Lianawati

1. Definisi Kehamilan serotinus atau kehamilan lewat waktu adalah kehamilan yang telah berlangsung selama 42 minggu (294 hari) atau lebih, pada siklus haid teratur rata rata 28 hari dan hari pertama haid terakhir diketahui dengan pasti. Diagnosa usia kehamilan lebih dari 42 minggu didapatkan dari perhitungan rumus Neagle atau dengan tinggi fundus uteri serial. (1) Kehamilan postterm, disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat waktu, kehamilan lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy, post date, atau pascamaturitas. (2) Seringkali istilah pascamaturitas dipakai sebagai sinonim dismaturitas.

Sebenarnya hal ini tidak tepat. Pascamaturitas merupakan diagnosis waktu yang dihitung menurut rumus Neagle. Sebaliknya, dismaturitas hanya menyatakan kurang sempurnanya pertumbuhan janin dalam kandungan akibat plasenta yang tidak berfungsi dengan baik, sehingga janin tidak tumbuh seperti biasa. Hal ini dapat terjadi pada beberapa keadaan seperti hipertensi, preeklampsia, gangguan gizi, ataupun pada kehamilan postterm sendiri. Jadi janin dengan dismaturitas dapat dilahirkan kurang bulan, genap bulan, ataupun lewat bulan. (2) Kejadian kehamilan serotinus sulit ditentukan karena hanya sebagian kecil pasien yang mengingat tanggal menstruasi pertamanya dengan baik. Dengan mengetahui hari pertama menstruasi, maka kita akan menentukan : (3) a. Perhitungan kemungkinan waktu persalinan menurut Naegle.

b.

Hasil perneriksaan perawatan antenatal berupa: Janin besar untuk masa keharnilan (BMK). Janin kecil untuk masa keharnilan (KMK). Janin sama besarnya untuk masa kehamilan (SMK).

2. Epidemiologi Kejadian hamil serotinus, postdate, postterm atau postmature sekitar 512% dengan dugaan bahwa sekitar 35% disertai dengan janin besar. Sekitar 14 % kehamilan serotinus di Pulau Hawaii dapat dianggap sebagai data akurat karena rendahnya tingkat intervensi obstetri. Boyce ,dkk. menunjukkan bahwa perhitungan usia kehamilan berdasarkan HPHT menunjukkan kehamilan serotinus 10,7%. Di Inggris, penurunan angka insiden kehamilan serotinus dari 11,5% pada tahun 1958 menjadi 4,4% pada tahun 1970 menggambarkan pengaruh kenaikan tingkat induksi persalinan dari 13 sampai 26% lebih pada periode yang sama. (3,4)

3. Etiologi Seperti halnya teori bagaimana terjadinya persalinan, sampai saat ini sebab terjadinya kehamilan serotinus belum jelas. Beberapa teori yang diajukan pada umumnya menyatakan bahwa terjadinya kehamilan serotinus sebagai akibat gangguan terhadap timbulnya persalinan. Beberapa teori diajukan antara lain sebagai berikut : (2) Pengaruh progesteron Penurunan hormon progesteron dalam kehamilan dipercaya merupakan kejadian perubahan endokrin yang penting dalam memacu proses

biomolekuler pada persalinan dan meningkatkan sensitivitas uterus terhadap

oksitosin, sehingga beberapa penulis menduga bahwa terjadinya kehamilan serotinus adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progeteron. Teori oksitosin Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan pada kehamilan serotinus memberi kesan atau dipercaya bahwa oksitosin secara fisiologis memegang peranan penting dalam menimbulkan persalinan dan pelepasan oksitosin dari neurohipofisis ibu hamil yang kurang pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu faktor penyebab kehamilan postterm. Teori kortisol / ACTH janin Dalam teori ini diajukan bahwa sebagai pemberi tanda untuk dimulainya persalinan adalah janin, diduga akibat peningkatan tiba tiba kadar kortisol plasma janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen, selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada cacat bawaan janin seperti anensefalus, hipoplasia adrenal janin, dan tidak adanya kelenjar hipofisis pada janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan dapat berlangsung lewat bulan. Saraf uterus Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser akan membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan di mana tidak ada tekanan pada pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian bawah masih tinggi kesemuanya diduga sebagai penyebab terjadinya kehamilan serotinus. Herediter

Beberapa penulis menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami kehamilan postterm mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat bulan pada kehamilan berikutnya. Hal ini juga bisa diakibatkan karena : (1) Cacat bawaan : anensefalus Defisiensi sulfatase plasenta Pemakaian obat obatan yang berpengaruh pula sebagai tokolitik anti prostaglandin, salbutamol, progestin, asam mefenamat, dan sebagainya.

4. Patofisiologi Pada saat kehamilan terbentuk suatu sirkulasi uteroplasenter yang terdiri dari unit maternal dan fetal (janin dan plasenta). Plasenta terbentuk saat umur kehamilan 16 minggu, selanjutnya plasenta akan mengalami proses penuaan sampai janin lahir. Proses penuaan tersebut dikompensasi dengan pertumbuhan villi trofoblas dan perluasan membran vaskulosinsitial sehingga penyaluran nutrisi dan oksigen ke janin tetap memadai. Mekanisme kompensasi itu berlangsung sampai usia kehamilan 38 minggu dimana fungsi plasenta mencapai puncaknya dan selama itu proses penuaan plasenta tidak berpengaruh. Kemudian fungsi plasenta akan mulai menurun secara bertahap terutama setelah umur kehamilan 42 minggu.(2,5) Pada kehamilan postterm, sirkulasi uteroplasenter akan berkurang 50% dari 500700 ml/menit menjadi 250 ml/menit akibat menurunnya fungsi plasenta sehingga terjadi hipoksia lokal yang menyebabkan proses degenerasi plasenta berupa edema, deposit fibrinoid, trombosis intervillus, infark villi dan jaringan fungsional plasenta akan berkurang.(2)

Pada kehamilan postterm dijumpai penurunan volume cairan amnion. Volume cairan amnion pada kehamilan aterm 800 ml dan akan menurun menjadi 480 ml, 250 ml dan 160 ml pada kehamilan 42, 43, 44 minggu. Penyebab penurunan volumenya belum diketahui dengan pasti, diduga karena produksi urin fetal yang menurun. Volume cairan amnion < 200 ml dihubungkan dengan komplikasi pada janin seperti retardasi pertumbuhan janin, distress pada janin termasuk keluarnya serta aspirasi mekonium.(2,5)

5. Manifestasi klinik (1) a. Keadaan klinis yang dapat ditemukan ialah gerakan janin yang jarang, yaitu secara subjektif kurang dari 7 kali / 20 menit atau secara objektif dengan kardiotokografi kurang dari 10 kali / 20 menit. b. Pada bayi akan ditemukan tanda tanda lewat waktu yang terbagi menjadi : Stadium I : kulit kehilangan verniks kaseosa dan terjadi maserasi sehingga kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas. Stadium II : seperti stadium I disertai pewarnaan mekonium (kehijauan) di kulit. Stadium III : seperti stadium I disertai pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit , dan tali pusat.

6. Kriteria Diagnosis Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19% dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan. Oleh sebab itu, pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan

menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula risiko bagi janin dan neonatus untuk mengalami morbiditas maupun mortalitas. Namun sebaliknya, pemberian

intervensi/terminasi secara terburu-buru juga bisa memberikan dampak yang merugikan bagi ibu maupun janin.(2,4) a. Riwayat haid Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk ditegakkan apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis kehamilan postterm berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT). (2) Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat atau tidak bisa dipercaya. Menurut Mochtar ,dkk (2004), jika berdasarkan riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan hanya 30 persen. Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (a) ibu harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b) siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir. (2) Hasil penelitian Savitz, ,dkk (2002) menunjukkan bahwa usia kehamilan yang ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih sering salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding dengan pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi yang terlambat. Penentuan usia kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada asumsi bahwa kehamilan akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari pertama siklus haid yang terakhir. (6)

Pendekatan ini berpotensi menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan tanggal HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke14 siklus menstruasi. Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus karena adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama 7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki siklus 28 hari, masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus. Akibatnya, terjadi kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya dihitung mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan HPHT adalah 1,37 minggu.(6)

b. Riwayat pemeriksaan antenatal (2)

Tes kehamilan. Bila pasien melakukan pemeriksaan tes imunologik sesudah terlambat haid 2 minggu, maka dapat diperkirakan keamilan telah berlangsung 6 minggu.

Gerak janin. Gerak janin pada umumnya dirasakan ibu pada umur kehamilan 18-20 minggu. Pada primigravida dirasakan sekitar umur kehamilan 18 minggu, sedangkan pada multigravida pada 16 minggu. Keadaan klinis yang ditemukan ialah gerakan janin yang jarang, yaitu secara subyektif kurang dari 7 kali/20 menit, atau secara obyektif dengan CTG kurang dari 10 kali/20 menit.

Denyut Jantung Janin (DJJ). Dengan stetoskop Laennec DJJ dapat didengar mulai umur kehamilan 18-20 minggu, sedangakn dengan Doppler dapat terdengar pada usia kehamilan 10-12 minggu.

Kehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut: (2,3)
7

Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan stetoskop Laennec.

c. Tinggi Fundus Uteri Dalam trimester pertama pemeriksaan tinggi fundus uteri serial dalam sentimeter (cm) dapat bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan secara berulang setiap bulan. Lebih dari 20 minggu, tinggi fundus uteri dapat menentukan umur kehamilan secara kasar. (2) d. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan telah banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa kehamilan postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa penentuan usia kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding dengan metode HPHT.(2) Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan yang didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam mendiagnosa kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-rump length) adalah 4 hari dari taksiran persalinan. Pada usia kehamilan antara 16-26 minggu, ukuran diameter biparietal (biparietal diameter/BPD) dan panjang femur (femur length/FL) memberikan ketepatan 7 hari dari taksiran persalinan.2

Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut hasil penelitian Cohn, ,dkk (2010) memiliki tingkat keakuratan yang lebih rendah dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II. Pemeriksaan sesaat setelah trisemester III dapat dipakai untuk menentukan berat janin, keadaan air ketuban ataupun keadaan plasenta yang berkaitan dengan kehamilan postterm, tetapi sukar untuk menentukan usia kehamilan. Ukuran-ukuran biometri janin pada trimester III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi sehingga tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester III bahkan bisa mencapai 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban.(7) e. Pemeriksaan laboratorium (2) Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel lemak dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung lemak melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36 minggu dan apabila jumlahnya mencapai 50% atau lebih, maka usia kehamilan 39 minggu atau lebih. Tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian terdahulu berhasil membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat waktu pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada usia kehamilan 41-42 minggu, ACTA berkisar antara 45-65 detik sedangkan pada usia kehamilan >42 minggu, didapatkan

ACTA <45 detik. Bila didapatkan ACTA antara 42-46 detik, ini menunjukkan bahwa kehaminan sudah postterm. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar L/S pada usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1). Pada usia kehamilan 32 minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan pada kehamilan genap bulan menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk menentukan kehamilan postterm tetapi hanya digunakan untuk menentukan apakan janin cukup usia/matang untuk dilahirkan. Sitologi vagina. Pemeriksaan sitologi vagina (indeks kariopiknotik > 20%) mempunyai sensitivitas 755. Perlu diingat bahwa kematangan serviks tidak dapat dipakai untuk menentukan usia gestasi.

7. Penatalaksanaan Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan postterm antara lain karena pada beberapa penderita, usia kehamilan tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana yang diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42 minggu, pada 70% penderita didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan skor Bishop rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Oleh karena itu, setelah diagnosis kehamilan postterm ditegakkan, permasalahan yang harus dipecahkan selanjutnya adalah apakah dilakukan pengelolaan secara aktif dengan induksi ataukah sebaliknya dilakukan pengelolaan secara ekspektatif dengan pemantauan terhadap kesejahteraan janin, baik secara biofisik maupun biokimia sampai persalinan berlangsung dengan spontan atau timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan. Hal10

hal yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan tindakan adalah kepastian usia kehamilan, pemeriksaan serviks, perkiraan berat janin, keinginan pasien dan riwayat obstetrik dahulu.(2) a. Pemantauan kesejahteraan janin Manning dkk (1980) telah mengajukan pemakaian kombinasi dari 5 variabel biofisik untuk menilai kesejahteraan janin dan menyatakan bahwa kombinasi ini memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan pemakaian salah satu variabel saja. Secara umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar 30-60 menit. Variabel yang digunakan dalam penilaian profil biofisik adalah; (a) tes tanpa beban (nonstress test/NST), (b) gerak napas janin, (c) gerakan janin, (d) tonus janin, dan (e) volume cairan amnion. Setiap variabel diberikan skor 2 bila normal dan skor 0 bila abnormal. Oleh sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada pemeriksaan profil biofisiknya. (7) Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST) Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun sebagai akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-parasimpatis yang impulsnya berasal dari batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung janin yang tidak berada dalam keadaan asidosis akibat hipoksia ataupun depresi saraf akan mengalami akselerasi sementara sebagai respon terhadap gerakan janin. Adanya akselerasi ini dipegaruhi oleh usia kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat akselerasi denyut jantung akibat gerakan janin akan meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan. (2,3,6) Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban kontraksi (contraction stress test/oxytocin stress test/OST). Secara sederhana, NST adalah tes untuk mengetahui kondisi janin sedangkan OST digunakan untuk menilai

11

fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST adalah tes utama yang paling sering digunakan untuk menilai kesejahteraan janin. (2,3,7) Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing) Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin adalah gerakan dinding dada yang paradoks (paradoxical chest wall movement). Pada janin, ketika proses inspirasi, dinding dada secara paradoks mengempis sedangkan dinding perut mengembung. Hal ini berkebalikan dengan proses inspirasi yang terjadi pada neonatus dan orang dewasa. Gerakan ini dihubungkan dengan kemungkinan adanya gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan amnion yang menyerupai gerakan pada saat batuk. (2,3,7) Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai adanya keterkaitan antara gerakan nafas janin melalui pemeriksaan USG dengan proses evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas janin terjadi secara episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat tidak ditemukan gerakan nafas menjadi tidak dapat dipercaya. Patrick dkk (1980) melakukan penelitian observasi selama 24 jam menggunakan ultrasonografi real time untuk mendapatkan gambaran karakteristik gerakan nafas janin selama 10 minggu terakhir kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin normal pun bisa saja tidak ditemukan gerakan nafas bahkan sampai 122 menit lamanya. Penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk dapat mendiagnosis tidak ditemukannya gerakan nafas

membutuhkan waktu observasi yang panjang. Oleh sebab itu, untuk menilai kesejahteraan janin, pemeriksaan gerakan nafas sering digabungkan dengan pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan denyut jantung janin. (6,7) Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)

12

Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai ada sejak minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks serta terkoordinasi pada akhir kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia kehamilan, gerakan janin tidak pernah berhenti dengan waktu lebih dari 13 menit. Namun demikian, ibu hamil baru bisa merasakan pergerakan janin pertama kali sekitar usia kehamilan 18-20 minggu. Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus. (6) Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum menjadi lebih teratur dan janin mulai memperlihatkan siklus istirahat-aktivitas. Pada trimester ketiga, pematangan gerakan janin terus berlanjut sampai sekitar 36 minggu, saat sikap tubuh normal telah terbentuk pada 80% janin. (7) Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi. Pada umur kehamilan 20 minggu, pergerakan janin rata-rata adalah sekitar 200 gerakan per 12 jam. Pergerakan janin mencapai nilai maksimal sekitar minggu ke-32 kehamilan, yaitu 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu, pergerakan menjadi kurang dirasakan setelah minggu ke-36 karena janin tumbuh dan volume cairan amnion berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya aktivitas pada kehamilan aterm mungkin juga disebabkan oleh pertambahan waktu tidur janin seiring dengan makin maturnya janin. Keadaan ini merupakan hal yang terjadi secara fisiologis pada trimester ke- tiga. (7) Pemeriksaan tonus janin Tonus janin dengan pemeriksaan USG diketahui sebagai gerakan ekstensi ekstremitas atau tubuh janin, yang dilanjutkan dengan gerakan kembali ke posisi fleksi. Tonus janin dapat juga dinilai dengan melihat gerakan jari-jari tangan yang membuka (ekstensi) dan kembali ke posisi mengepal. Dalam keadaan normal,

13

gerakan tersebut terlihat sedikitnya sekali dalam 30 menit pemeriksaan. Tonus janin juga dianggap normal apabila jari-jari tangan terlihat mengepal terus selama 30 menit pemeriksaan. Pemeriksaan volume cairan amnion Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari pemeriksaan antepartum pada kehamilan yang memiliki risiko kematian janin. Pelaksanaan tes ini didasari pada pemikiran bahwa penurunan perfusi uteroplasenta akan menurunkan aliran darah ginjal janin, menurunkan produksi urin janin, dan pada akhirnya akan menimbulkan oligohidramnion. (6) Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG dengan cara menilai indeks cairan amnion (amniotic fluid index/AFI). Penilaian dengan indeks ini dilakukan dengan cara menambahkan ukuran kedalaman dari setiap kantung vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila nilai AFI telah turun hingga 5 oligohidramnion. (7) Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung cairan amnion vertikal yang terbesar (single deepest pocket). Menurut pemeriksaan ini, volume cairan amnion dikatakan berkurang bila didapatkan ukuran kantong 2 cm. (7) cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya

Gambar: Amniotic Fluid Index (Cunningham, ,dkk., 2010)

14

Berdasarkan penilaian kelima variabel yang telah dijelaskan di atas, maka didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai kesejahteraanya. Skor profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai minimal 0 dan maksimal 10. Tabel: Penilaian Skor Profil Biofisik (Cunningham, ,dkk., 2010)

Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat berupa penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi apapun sambil melakukan pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran keadaan asfiksia, maka penanganan diberikan secara aktif dengan terminasi kehamilan. Tabel 2 : Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik (Cunningham, ,dkk., 2010)

Pengeloloaan secara ekpetatif dipertahankan selama 1 minggu dengan pemantauan secara berkala. Apabila timbul suatu masalah seperti kegawatan janin dapat dilakukan pengelolaan aktif.

15

b. Induksi persalinan Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi indikasi untuk pelaksanaan induksi persalinan dengan pertimbangan kondisi bayi yang cukup baik atau optimal. Induksi persalinan menjadi salah satu prosedur medis yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat dengan proporsi yang meningkat dari 9% pada tahun 1989 menjadi 19% di tahun 1998. (7) Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk merangsang timbulnya kontraksi uterus. Pematangan serviks adalah tindakan farmakologik atau cara lain untuk memperlunak atau meningkatkan dilatasi serviks dengan tujuan untuk meningkatkan keberhasilan induksi persalinan. Tindakan induksi persalinan ini adalah untuk keselamatan ibu dan anak, tetapi walaupun dilakukan dengan terencana dan hati-hati, kemungkinan untuk menimbulkan risiko terhadap ibu dan janin tetap ada. (7) Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh beberapa keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari kematangan serviks (favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat dilakukan dengan menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan lima faktor yang didapatkan dari pemeriksaan dalam dan akan digunakan untuk memperkirakan keberhasilan induksi persalainan. Lima faktor yang diperiksa adalah (1) dilatasi serviks, (2) penipisan serviks/effacement, (3) konsistensi serviks, (4) posisi serviks, dan (5) station dari bagian terbawah janin.(6,7)

16

Tabel 3 :Pelviks skor menurut Bishop. (Cunningham,dkk., 2010)

Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi persalinan yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop 4 biasanya menunjukkan keadaan serviks yang belum matang (unfavorable) sehingga membutuhkan pematangan serviks yang bisa dilakukan secara farmakologis (prostaglandin, nitrit oksida) ataupun teknik (kateter transervikal, dilator higroskopis, stripping). (6) Pada kehamilan postterm, harus diperhatikan nilai pematangan serviks (Skor Bishop) karena akan mempengaruhi tindakan induksi. Apabila skor bishop > 5 maka diinduksi dengan infus oksitosin,tetapi bila skor bishop 5 maka diberikan misoprostol 25 g per vaginam. Dievaluasi 6 jam kemudian, apabila skor bishop sudah >5 maka dilanjutkan infus oksitosin, namun apabila setelah 6 jam masih sama atau 5 maka dilanjutkan misoprostol dengan cara pemberian yang sama. Bila dalam 6 jam kemudian belum inpartu maka dilanjutkan infus oksitosin. Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi persalinan dalam bidang obstetri. Oksitosin mempunyai efek yang poten terhadap otot polos uterus dan kelenjar mammae. Kepekaan terhadap oksitosin meningkat pada saat persalinan. Induksi persalinan dengan oksitosin yang diberikan melalui infus secara titrasi ternyata efektif dan banyak dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan dengan cara memberikan 10-20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang dilarutkan dalam 1000 cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan menghasilkan kadar oksitosin 10-20 mU/mL.
17

Terdapat berbagai macam metode induksi dengan menggunakan drip oksitosin, baik yang menggunakan dosis rendah maupun dosis tinggi.(7) Tabel 4 :Rejimen drip induksi dengan oksitosin. (Cunningham, ,dkk., 2010)

Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin 20 mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit masih tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi dilanjutkan. Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan ikatan oksitosin dengan reseptor vasopresin sehingga akan menimbulkan kontraksi yang tetanik atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek antidiuretik sehingga meningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi dianggap berhasil kalau didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu his sekitar 3 kali dalam 10 menit dengan kekuatan sekitar 40 mmHg atau lebih (200 Montevidio). (7) c. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm dengan Oligohidramnion Penatalaksanaan kasus oligohidramnion pada kehamilan postterm tergantung pada situasi klinik pasien yang bersangkutan. Pada tahap awal, harus dilakukan evaluasi terhadap anomali janin dan gangguan pertumbuhan. Pada kehamilan postterm yang diperberat dengan komplikasi oligohidramnion harus dilakukan pengawasan ketat karena tingginya risiko morbiditas janin. (8) Hasil dari kehamilan dengan oligohidramnion intrapartum menurut beberapa penelitian memiliki hasil yang berbeda-beda. Chauhan dkk (1999) yang dikutip dari (Cunningham, ,dkk., 2010), melakukan penelitian terhadap lebih dari 10.500 ibu hamil

18

yang memiliki nilai AFI intrapartum <5 cm dibandingkan dengan kontrol yang memiliki nilai AFI >5 cm. Menurut hasil penelitian didapatkan bahwa risiko seksio sesarea atas indikasi gawat janin pada kelompok oligohidramnion lebih tinggi 2 kali lipat. Selain itu, risiko janin dengan skor APGAR 5 menit dibawah 7 pada kelompok ini lebih tinggi 5 kali lipat. Hasil penelitian Divon dkk (1995) yang dikutip dari Cunningham ,dkk, (2010) juga menyatakan bahwa hanya ibu postterm yang memiliki nilai AFI 5 cm yang mengalami deselerasi denyut jantung janin dan aspirasi mekonium.(7) Sebaliknya, Zhang dkk (2004) yang dikutip dari Cunningham ,dkk., (2010) melaporkan bahwa kondisi oligohidramnion dengan nilai AFI 5 cm tidak berhubungan dengan kondisi perinatal yang buruk. Begitu juga dengan Magann dkk (1999) yang tidak menemukan peningkatan risiko komplikasi intrapartum pada kondisi oligohidramnion. (7). Pengelolaan persalinan pada kehamilan postterm mencakup: (1)

Pemantauan yang baik terhadap kontraksi uterus dan kesejahteraan janin. Pemakaian alat monitor janin secara kontinu sangat bermanfaat.

Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan. Persiapan oksigen dan tindakan seksio sesarea bila sewaktu-waktu terjadi kegawatan janin

Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap wajah neonatus dan penghisapan pada tenggorokan saat kepala lahir dilanjutkan resusitasi sesuai prosedur pada janin dengan cairan ketuban bercampur mekonium.

Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas

19

Gambar: Skema penatalaksanaan kehamilan postterm. (Cunningham, ,dkk., 2010)

20

8. Komplikasi Janin dengan kehamilan postterm berisiko terhadap hipoksia intrapartum, cedera berat akibat proses persalinan pada distosia bahu dan aspirasi mekonium. Karena itu pada penatalaksanaan persalinan postterm perlu diperhatikan hal- hal tersebut.(2,3) a. Hipoksia intrapartum Janin postterm berisiko untuk mengalami distress selama persalinan karena penekanan tali pusat akibat oligohidramnion maupun insufisiensi plasenta. Yang menarik, menurut Leveno dkk (1984) patofisiologi distress lebih disebabkan karena penekanan tali pusat daripada insufisiensi plasenta. Pola denyut jantung janin yang abnormal selama persalinan atau hipoksia neonatal dijumpai pada 12 - 30% kasus kehamilan postterm dimana pemeriksaan antenatalnya normal. Untuk itu janin perlu diawasi secara ketat selama persalinan sehingga intervensi yang diperlukan dapat dilakukan saat itu. Amnioinfusi berguna untuk mengurangi deselerasi variabel dan deselerasi memanjang yang umumnya diakibatkan oleh kompresi tali pusat. Hal ini mungkin karena pulihnya bantalan cairan amnion. Mengubah posisi ibu menjadi tidur miring dan pemberian oksigen pada ibu dapat memperbaiki oksigenasi pada janin. b. Distosia bahu Jika janin tumbuh terus selama masa kehamilan postterm dapat tejadi makrosomia. Perbedaan antara sirkumferensia dada dan diameter biparietal lebih besar 14 mm berhubungan risiko 3 - 13% distosia bahu. Diketahui bahwa kesalahan dalam memprediksi berat badan janin dengan USG sekitar 10 15% maka perlu dipertimbangkan unuk melakukan seksio sesaria elektif jika berat badan janin 4000 gram karena persalinan disfungsional dan distosia bahu akan terjadi pada keadaan ini.

21

Seksio sesaria dilakukan untuk meminimalkan morbiditas perinatal sehubungan dengan distosia bahu pada kasus yang dicurigai. c. Aspirasi mekonium Frekuensi pewarnaan mekonium pada cairan amnion berkisar antara 22 44% pada kehamilan postterm. Mekonium cenderung menjadi pekat pada kehamilan postterm karena sering bersamaan dengan oligohidramnion. Deteksi intrapartum terhadap mekonium yang pekat berguna untuk mengurangi morbiditas akibat sindrom aspirasi mekonium. Penyedotan mekonium dari nasofaring dan orofaring sebelum dada lahir dan penyedotan mekonium pada endotrakea dibawah pita suara janin segera setelah lahir efektif dapat menurunkan morbiditas sehubungan dengan sindrom aspirasi mekonium. Dewasa ini tindakan amnioinfusi untuk mengencerkan mekonium dalam cairan amnion juga disarankan untuk mengurangi morbiditas tersebut

22

Anda mungkin juga menyukai