Anda di halaman 1dari 61

REFERAT

ILMU OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI


ABORTUS DAN KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

Pembimbing :
dr. Prasti Sulandjari, SpOG
Penyusun :
Ririn Rohmah

2015.04.2.0127

Rizky Septiana Tita

2015.04.2.0128

Rudolph M Putera

2015.04.2.0129

Rusda Syawie

2015.04.2.0130

Sheilla Shantika S S

2015.04.2.0131

Shinta Julia Restivananda

2015.04.2.0132

Steven Hartanto

2015.04.2.0136

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH


RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. RAMELAN SURABAYA
2016

TINJAUAN PUSTAKA
ABORTUS

1.1 Nomenclature
National Center for Health Statistics, The Centers for Disease
Control and Prevention, and the World Health Organization mendefinisikan
aborsi sebagai terminasi kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu
atau fetus yang lahir beratnya kurang dari 500 g. Pada kriteria ini terdapat
beberapa kontradiksi karena berat badan fetus pada usia kehamilan 20
minggu adalah 320 g, sedangkan berat badan 500 g adalah untuk usia
kehamilan 22-23 minggu (Moore, 1977). 3
Karena indikasi tersebut, perkembangan teknologi telah berevolusi
terhadap terminologi aborsi. Transvaginalsonografi (TVS) dan pengukuran
konsentrasi serum hCG digunakan untuk mengidentifikasi kehamilan
awal secara ekstrim dengan lokasi intrauterin atau ektopik. Grup ad hoc
konsensus internasional telah merencanakan suatu istilah mengenai PUL
(Pregnancy Unknown Location) dengan goal identifikasi awal dan
manajemen kehamilan ektopik (Barnhart, 2011; Doubilet, 2013). 3
Istilah yang telah digunakan secara klinis dalam banyak dekade
secara umum digunakan untuk menjelaskan kegagalan kehamilan
(pregnancy losses), meliputi: 3
1. Spontaneous abortion, dalam kategori ini termasuk threatened,
inevitable, incomplete, complete, and missed abortion. Septic
abortion digunakan untuk menklasifikasikan aborsi karena infeksi.
Recurrent abortion, mengidentifikasikan wanita yang mengalami
aborsi spontan berulang sehingga faktor yang mempengaruhi dapat
diterapi untuk memperoleh bayi yang viabel
2. Induced abortion, merupakan terminasi dengan jalan operatif atau

medis yang disengaja pada fetus hidup yang belum mencapai


viabilitas. 3
1.2

Abortus Spontan pada Trimester Pertama


Lebih dari 80% aborsi spontan terjadi pada usia kehamilan 12

minggu. Pada trimester pertama, kematian embrio atau fetus hampir


selalu mendahului ekspulsi spontan. Kematian fetus biasanya disertai
perdarahan desidua basalis. Kemudian diikuti oleh nekrosis jaringan yang
berdekatan yang menstimulasi kontraksi dan ekspulsi uterus. Kantong
amnion biasanya terisi flid dan bisa juga berisi janin atau tidak. Pada
pregnancy losses, biasanya kematian fetus tidak terjadi sebelum ekspulsi
dan penjelasan hal tersebut masih dicari. 3
Insiden
Wilcox and colleagues (1988) meneliti 221 wanita sehat yang
mengalami 707 siklus menstruasi dan menemukan bahwa 31% kehamilan
hilang setelah implantasi. Mereka menggunakan pengukuran konsentrasi
serum maternal hCG dan melaporkan bahwa dari 2/3 tersebut hilang
secara klinis. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi abortus spontan
meskipun tidak diketahui apakah faktor tersebut secara klinis sama
berpegaruh pada silent miscarriages. Seperti contoh, keguguran klinis
rata-rata terjadi dua kali lipat pada orang tua yang berumur lebih dari 40
tahun (Gracia, 2005; Kleinhaus, 2006). Tetapi belum diketahui secara
klinis jika silent miscarriages dipengaruhi oleh usia paternal. 3
A. Faktor Fetus 3
Embrionik : Euploid dan aneuploid
Anembrionik

B. Faktor Maternal
Infeksi
Infeksi virus, bakteri dan agen infeksius lain menginvansi
manusia dan dapat menyebabkan gagalnya kehamilan. Banyak
infeksi sistemik menginfeksi unit fetoplasenta melalui darah. Infeksi
lain secara lokal melalui infeksi genitourinari atau kolonisasi.
Penyebab abortus yang tidak umum misalnya, Brucella abortus,
Campylobacter fetus, dan Toxoplasma gondii. Infeksi agen ini
menyebabkan abortus pada hewan peternakan tetapi perannya
pada wanita hamil belum jelas (Feldman, 2010; Hide, 2009;
Mohammad, 2011; Vilchez, 2014). 3
Infeksi

virus

yang

belum

memperlihatkan

efek

abortus

disebabkan Listeria monocytogenes, parvovirus, cytomegalovirus,


atau Herpes simplex virus (Brown,

1997; Feldman,

2010).

Pengecualian yang memungkinkan infeksi Chlamydia trachomatis,


yang ditemukan ada pada 4 % abortus dibandingkan dengan < 1 %
kontrol (Baud, 2011). Infeksi lain oleh infeksi polymicrobial dari
penyakit periodontal yang telah dihubungkan 2-4 kali peningkatan
resiko (Holbrook, 2004; Moore, 2004; Xiong, 2007). 3
Data menyebutkan terdapat hubungan antara beberapa infeksi
dengan peningkatan aborsi masih konflik. Contohnya, Mycoplasma
dan Ureaplasma (Quinn, 1983a,b; Temmerman, 1992). Infeksi yang
lain dihubungkan dengan human immunodefiency virus (HIV)
(Quinn, 1983a,b; van Benthem, 2000). Oakeshott dan coworkers
(2002) melaporkan hubungan antara keguguran dengan bakterial
vaginosis pada trimester kedua bukan trimester pertama. 3
Penyakit Medis
Secara umum, abortus awal jarang disebabkan oleh penyakit
kronis seperti tuberkulosis atau karsinoma. Ada dua penyakit spesifik

yang mungkin berhubungan dengan peningkatan pregnancy loss


dini yaitu penyakit diabetes mellitus dan penyakit tiroid. Contoh yang
lain yaitu celiac disease, yang telah dilaporkan menyebabkan
abortus berulang pada wanita dan laki-laki infertil (Sharshiner, 2013;
Sher, 1994). Penyakit jantung sianotik yang tidak membaik
merupakan resiko untuk abortus dan dapat menetap walaupun
sudah sembuh (Canobbio, 1996). 3
Penyakit anorexia nervosa dan bulimia nervosa telah
dihubungkan dengan subfertil, persalinan preterm dan restriksi
pertumbuhan fetus. Hubungan dengan keguguran, masih dipelajari
(Andersen,2009;

Sollid,2004).

Hipertensi

kronis

tidak

memperlihatkan resiko yang signifikan (Ankumah, 2013). Hubungan


lain yang memungkinkan dengan penyakit vaskular adalah wanita
dengan keguguran multipel yang menderita miokardial infark
(Kharazmi, 2011). 3
Obat-obatan
Hanya beberapa obat yang telah dievaluasi berpengaruh pada
loss pregnancy dini. Kontrasepsi oral atau agen spermisidal yang
digunakan pada krim atau jeli kontrasepsi tidak dihubungkan dengan
peningkatan terjadinya keguguran. Sama halnya dengan obat
NSAID atau ondansetron juga tidak berhubungan (Edwards, 2012;
Pasternak, 2013). Kehamilan dengan intrauterine device (IUD) in situ
meningkatkan resiko aborsi dan khususnya abortus septik (Chap.
38, p. 700). Dengan IUDs terbaru, Moschos and Twickler (2011)
melaporkan hanya 6 dari 26 kehamilan mengalami aborsi sebelum
20

minggu.

Akhirnya

studi

menunjukkan

bahwa

tidak

ada

peningkatan pregnancy loss dengan konjugat meningococcal atau


vaksin inaktif influenza trivalen (Irving, 2013; Zheteyeva, 2013). 3

Kanker
Dosis terapi radiasi untuk menyebabkan aborsi belum diketahui
secara pasti (Chap. 46, p. 930). Menurut Brent (2009), paparan < 5
rads tidak meningkatkan resiko. Para penderita kanker yang
sebelumnya telah diterapi dengan abdominopelvic radioterapi
mungkin selanjutnya dapat meningkatkan resiko keguguran. Wo and
Viswanathan (2009) melaporkan terdapat 2-8 kali peningkatan resiko
keguguran, BBLR dan pertumbuhan terganggu infan, persalinan
preterm, dan kematian perinatal pada wanita yang sebelumnya
diterapi dengan radioterapi. 3
Diabetes Mellitus
Efek abortif pada diabetes yang tidak terkontrol belum diketahui.
Abortus spontan optimal dan malformasi kongenital mayor keduanya
meningkat pada wanita dengan diabetes dependen insulin. Secara
langsung,

hal

ini

berhubungan

dengan

derajat

glikemik

perikonsepsional dan kontrol metabolik. 3


Penyakit Tiroid
Penyakit ini telah lama diduga menyebabkan kegagalan
kehamilan dini dan efek kehamilan yang lain. Defisiensi iodin berat
pada negara berkembang telah diihubungkan dengan peningkatan
kegugurann (Castaneda, 2002). Derajat insufisiensi hormon tiroid
sering terjadi pada wanita. De Vivo (2010) melaporkan bahwa
kekurangan hormon tiroid mungkin dihubungkan dengan kegagalan
kehamilan dini. Prevalensi level antibodi serum yang tinggi secara
abnormal untuk tiroid peroxidase atau tiroglobulin mendekati 15 %
pada wanita hamil (Abbassi-Ghanavati, 2010; Haddow, 2011). 3
Bahkan pada wanita eutiroid, antibodi merupakan marker untuk
peningkatan keguguran (Benhadi, 2009; Chen, 2011; Thngaratinam,
2011). Hal ini telah dikonfirmasi dengan dua studi prospektif, dan

data

preeliminer

yang

menyatakan

suplemen

tiroxin

dapat

menurunkan resiko (Mnnist, 2009; Negro, 2006). 3


Prosedur Operasi
Resiko keguguran yang disebabkan oleh tindakan operasi belum
sepenuhnya dipelajari. Prosedur operasi yang tidak terkomplikasi
selama awal kehamilan tidak meningkatkan resiko aborsi (Mazze,
1989). 3
Nutrisi
Nutrisi ekstrim pada diet yang parah dan obesitas dihubungkan
dengan peningkatan resiko keguguran. Kualitas diet juga penting,
resiko akan berkurang pada wanita yang mengonsumsi buah dan
sayuran segar tiap harinya (Maconochie, 2007). Defisiensi pada
salah satu nutrisi atau defisiensi sedang tidak memperlihatkan
peningkatan resiko aborsi. Meskipun pada kasus yang ekstrim
seperti hiperemesis gravidarum, abortus jarang terjadi (Maconochie,
2007). Studi pada 6500 wanita yang dengan fertilisasi in vitro (IVF),
bayi yang lahir berkurang secara progresif pada BMI yang
meningkat (Bellver, 2010). 3
Faktor Sosial and Kebiasaan
Lifestyle dihubungkan dengan peningkatan resiko keguguran
dan paling sering berhubungan dengan pemakaian substansi kronik
dan khususnya substansi legal yang berat. Yang paling sering
digunakan adalah alkohol, yang memberikan efek teratogenik poten.
Peningkatan resiko keguguran hanya terlihat pada pemakaian yang
teratur dan berat (Floyd, 1999; Maconochie, 2007). Faktanya,
konsumsi alkohol level rendah tidak meningkatkan resiko aborsi
secara spontan (Cavallo, 1995; Kesmodel, 2002). Hal ini terlihat
intuitif, tetapi tidak meyakinkan jika rokok dapat menyebabkan

kegagalan

kehamilan

dini

oleh

sejumlah

mekanisme

yang

menyebabkan efek pada akhir kehamilan (Catov, 2008). 3


Konsumsi kafein berlebihan belum jelas dapat dihubungkan
dengan peningkatan resiko abortus. Dilaporkan bahwa konsumsi
berat 5 cangkir kopi perhari (500 mg kafein) sedikit meningkatkan
resiko aborsi (Armstrong, 1992; Cnattingus, 2000; Klebanoff 1999).
Pada studi, konsumsi kafein kurang dari 200 mg perhari tidak
meningkatkan resiko (Savitz, 2008; Weng, 2008). The American
College

of

Obstetricians

and

Gynecologists

(2013b)

telah

menyimpulkan konsumsi sedang bukan resiko besar terjadinya


abortus dan konsumsi yang lebih tinggi masih belum pasti. 3
Faktor Okupasi dan Lingkungan
Secara intuisi untuk membatasi wanita yang hamil terhadap
paparan toksin. Meskipun beberapa toksin lingkungan seperti
benzena diimplikasikan dalam malformasi fetus, data tentang resiko
keguguran belum jelas (Lupo, 2011). Beberapa agen kimia sebagai
resiko terjadinya peningkatan keguguran termasuk arsen, lead,
formaldehida, benzena, dan ethylen oxide (Barlow, 1982). Terdapat
bukti bahwa DDT dapat menyebabkan keguguran yang parah
(Eskenazi, 2009). Pada follow up Nurses Health Study II, Lawson
and associates (2012) melaporkan sedikit peningkatan resiko
keguguran pada perawat yang terpapar obat antineoplastic, agen
sterilizing, dan x-rays. 3
Ditemukan juga bahwa paparan video display terminal atau
ultrasound tidak meningkatkan rerata keguguran (Schnorr, 1991;
Taskinen, 1990). 3
Faktor Imunologi
Peningkatan resiko gagalnya kehamilan dini dengan penyakit
yang dimediasi sistem imun. Antibodi antiphospholipid paling poten

langsung melawan protein binding di plasma (Erkan, 2011). Dengan


penemuan

klinis

(antiphospholipid
Obstetricians

and

dan

laboratoris

antibody

menyediakan

syndrome)

Gynecologists,

kriteria

(American

2012).

Karena

APS

College

of

kegagalan

kehamilan dapat berulang, keguguran disebabkan APS akan


didiskusikan pada bab selanjutnya. 3
Inherited Thrombophilias3
Defek Uterine3

C. Faktor Paternal
Abnormalitas

kromosom

pada

sperma

dilaporkan

dapat

meningkatkan resiko aborsi (Carrell, 2003). Peningkatan usia paternal


secara signifikan berhubungan dengan peningkatan resiko aborsi pada
Increasing paternal age Jerusalem Perinatal Study (Kleinhaus, 2006). 3
1.3 Klasifikasi Klinis Aborsi Spontan
1.3.1

Threatened Abortion
Diagnosis klinis threatened abortion ( abortus yang mengancam)

diartikan ketika keluarnya darah dari vagina atau perdarahan yang tampak
pada serviks yang menutup pada usia kehamilan 20 minggu pertama
(Hasan, 2009). Perdarahan di awal kehamilan harus dibedakan dari
perdarahan, dimana wanita mengira hal tersebut adalah menstruasi
(Chap. 5, p. 90). Kebanyakan secara klinis wanita mengalami perdarahan
selama kehamilan beberapa hari atau minggu. Ketika terjadi keguguran,
perdarahan muncul awalnya dan diikuti nyeri/kram perut beberapa jam hari kemudian. Mungkin juga terdapat kram yang ritmis, nyeri punggung
yang sedikit menetap dengan tekanan pada pelvis, atau rasa tidak
nyaman pada suprapupis. Perdarahan sejauh ini banyak diprediksikan
sebagai faktor resiko gagalnya kehamilan (Eddleman, 2006). 3

1.3.2

Inevitable Abortion
Pada trimester awal, ruptur membran selama dilatasi serviks

hampir selalu diikuti oleh konraksi uterus atau infeksi. Pada beberapa
kasus tidak diikuti dengan nyeri, demam, atau perdarahan, flid mungkin
telah terkumpul diantara amnion dan korion. Setelah 48 jam, jika tidak ada
amnion flid dan jika tidak ada perdarahan, kram, atau demam, seorang
wanita dilakukan ambulansi dan pelvic rest. Jika terjadi perdarahan, kram,
atau demam, aborsi dipertimbangkan dan uterus dievakuasi. 3
1.3.3

Incomplete Abortion
Perdarahan yang mengikuti pemisahan plasenta sebagian atau

komplit dan dilatasi servik disebut aborsi inkomplit. Sebelum 10 minggu,


fetus dan placenta keluar bersamaan, namun kemudian lahir terpisah.
Manajemen aborsi inkomplit termasuk kuretase dan aborsi medis.
Jaringan plasenta dalam kanalis servikalis secara mudah dapat
diekstraksi dengan ring forcep. 3
1.3.4

Complete Abortion
Saat ekspulsi kehamilan mungkin akan terjadi secara lengkap

sebelum wanita sampai di rumah sakit. Riwayat perdarahan berat, kram,

dan keluarnya jaringan atau fetus sering terjadi. Selama pemeriksaan,


serviks masih menutup. Pasien dengan pengeluaran jaringan mungkin
terjadi gestasi komplit, gumpalan darah, atau decidual cast. Lapisan
endometrium pada kavum uterus dapat terlihat sebagai kantong kolaps.
Jika gestasi komplit tidk bisa diidentifikasi, dilakukan sonografi untuk
membedakan aborsi komplit dengan threatened abortion (abortus yang
mengancam) atau kehamilan ektopik. Karakteristik aborsi komplit
termasuk penebalan minimal endometrium tanpa kantong gestasi
(gestational sac). Namun, ini tidak menjamin kehamilan uterus. Condous
and associates (2005) menjelaskan 152 wanita dengan perdarahan berat,
uterus kosong dengan penebalan endometrium <15 mm dan diagnosis
sebagai keguguran komplit, membuktikan bahwa 6% dari mereka
mengalami kehamilan ektopik. Pada pengukuran serum hCG serial,
menglarifikasikan pada aborsi komplit hormon tersebut turun secara cepat
(Connolly, 2013). 3
1.3.5

Missed Abortion
Kematian produk konsepsi yang terjadi beberapa hari, minggu, atau

bahkan bulan pada uterus dengan serviks yang masih tertutup. Pada awal
kehamilan, terjadi amenorrhea, mual dan muntah, perubahan payudara,
dan pertumbuhan uterus. Deskripsi missed abortion memiliki kontras
dengan hasil pengukuran serum -hCG dan transvaginal sonography.
Konfirmasi cepat akan kematian embrio atau fetus menyebabkan banyak
wanita yang memilih evakuasi uterus (Silver, 2011). 3
1.3.6

Septic Abortion
Bakteri masuk ke dalam uterus dan terjadi kolonisasi produk

konsepsi

yang

mati.

Organisme

mungkin

menginvansi

jaringan

myometrium dan menyebabkan parametritis, peritonitis, septicemia, dan


endocarditis (Vartian, 1991). Kematian telah dilaporkan akibat toxic shock
syndrome karena Clostridium perfringens (Centers for Disease Control
and Prevention, 2005). Infeksi serupa yang disebabkan Clostridium

sordellii memiliki manifestasi klinis yang terjadi bebrap hari setelah aborsi.
Wanita mungkin afebris dengan injuri endothelial berat, capillary leakage,
hemokonsentratsi, hipotensi dan leukositosis (Cohen, 2007; Fischer, 2005;
Ho, 2009). Jika terdapat sisa produk atau fragmen dilakukan kuretase.
Pada beberapa wanita, sepsis syndrome berat terjadi karena acute
respiratory distress syndrome, acute kidney injury, atau disseminated
intravascular coagulopathy. Pada kasus seperti ini, dilakukan penanganan
intensif. Untuk mencegah sepsis pasca abortus, antibiotik profilaksis
diberikan pada induced abortion atau spontaneous abortion yang
memerlukan intervensi medis atau operatif. The American College of
Obstetricians and Gynecologists (2011b) merekomendasikan doxycycline,
100 mg oral 1 jam sebelum dan 200 mg oral setelah evakuasi tindakan
operasi. Pada klinik Parenthood yang terencana, untuk aborsi medis,
doxycycline 100 mg diberikan secara oral setiap hari selama 7 hari dan
dimulai administrasi / pemberian abortifacient (Fjerstad, 2009b). 3
1.4 Manajemen Spontaneous Abortion
Kematian embriofetal sekarang lebih mudah dibuktikan dengan
teknologi sonografi, menejemen dapat lebih individual. Kecuali jika
terdapat perdarahan serius atau infeksi dengan aborsi inkomplit, ada tiga
pilihan yang dapat dipertimbangkan yaitu ekspektan, medikal dan
menejemen operatif. Tiap pilihan memiliki resiko dan manfaat tersendiri. 3
1. Ekspektan menejemen pada abortus spontan inkomplit memiliki angka
kegagalan sebanyak 50%.
2. Terapi Medis dengan prostaglandin E1 (PGE1) memiliki angka
kegagalan yang bervariasi 5-40%. Pada 1100 wanita yang dicurigai
abortus pada trimester pertama, 81% beresolusi spontan (Luise, 2002).
3. Kuretase biasanya menghasilkan resolusi cepat. 95-100% sukses.
Terapi ini invasif dan tidak diharuskan pada semua wanita.

1.5 Keguguran berulang


Istilah lain yang digunakan untuk mendeskripsikan keguguran
kehamilan berulang spontan (repetitive early spontaneous pregnancy
losses) adalah recurrent spontaneous abortion, recurrent pregnancy loss,
dan habitual abortion. Keguguran berulang secara umum didefinisikan
sebagai keguguran 3 atau lebih kehamilan berurutan pada umur
kehamilan 20 minggu atau dimana berat fetus <500 gram. 3
The American Society for Reproductive Medicine mengusungkan
bahwa keguguran berulang didefinisikan sebagai dua atau lebih
kegagalan kehamilan yang dikonfirmasikan oleh pemeriksaan sonografi
maupun histopatologis. Pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan setelah 3
kali keguguran dan treatmen dimulai lebih cepat pada pasangan yang
subfertil.3
1.5.1

Etiologi

Terdapat banyak hal yang diduga menyebabkan keguguran berulang,


namun hanya tiga hal yang diterima secara luas : keabnormalitasan
kromosom parental, sindroma antibodi antifosfolipid dan keabnormalan
uterus.

Dugaan

lain

yang

belum

terbukti

adalah

alloimmunity,

endokrinopati, toksin lingkungan dan berbagai macam infeksi. 3

Selama bertahun-tahun berbagai macam mutasi trombofilia yang


diturunkan diduga menjadi penyebab seperti defisiensi faktor V Leiden,
protrombin G20210A, protein C, S dan defisiensi antitrombin. 3
Terdapat beberapa bukti yang mendukung peran ekspresi gen
polymorphism pada keguguran. Sebagai contoh diantaranya adalah
polymorphism yang mengubah ekspresi VEGF-A, yang menyebabkan
agregasi platelet berlebihan dan mengubah respon imun Th1 dan Th2
maternal. Timing keguguran kadang menjadi petunjuk penyebab. Faktor
genetik biasanya menghasilkan keguguran pada saat awal kehamilan
(embryonik) dimana autoimun dan keabnormalitasan anatomi uterus
biasanya menyebabkan keguguran pada trimester kedua. 3
Keabnormalan kromosom parental
Meskipun hanya menyumbang 2-4 persen penyebab keguguran
berulang, evaluasi karyotipik kedua orang tua dianggap sebagai bagian
yang kritikal. Separuhnya disebabkan oleh keabnormalan translokasi
resiprokal

kromosom,

seperempat

persen

dikarenakan

translokasi

robertsonian dan sisanya karena sindroma Klinefelter atau sindroma XXY


dan kelainan kromosom X. Setelah konseling mendalam, pasangan
dengan karyotip abnormal biasanya ditangani dengan IVF yang diikuti
dengan diagnosis preimplantasi genetik. 3
Faktor anatomikal
Keabnormalan traktus genitalia berat terlibat dalam keguguran
berulang dan outcome kehamilan lain kecuali infertilitas dimana pada 15
% wanita dengan keguguran 3 kali atau lebih berurutan ditemukan
memiliki anomali uterus kongenital maupun didapat. Keabnormalan uterus
yang didapat misalnya adalah sinekia uterus atau sindroma Asherman
yang biasanya didapat dari destruksi area endometrium yang luas.
Kerusakan ini didapat dari kuretase uterus atau prosedur ablatif. Filling

defect

yang

menjadi

hysterosalpingography

atau

karakteristik
saline-infusion

dapat

dilihat

dengan

sonography.

Treatmen

dilakukan dengan lisis adhesi menggunakan hysteroscopic direct. Pada


beberapa wanita, hal ini dapat menurunkan angka keguguran. 3
Leiomyoma uteri dapat menyebabkan keguguran, terutama jika
berlokasi didekat tempat implantasi plasenta. Namun data yang
mengatakan ia menjadi penyebab keguguran berulang yang signifikan
kurang meyakinkan. Namun pada wanita yang menjalani IVF, kegagalan
dapat terjadi pada leiomyoma submukosa. Beberapa ahli setuju untuk
megeksisi leiomyoma submukosa dan intrakavitas pada wanita dengan
keguguran berulang. Ironisnya, pada wanita yang menjalani embolisasi
arteri uterina untuk myoma terdapat peningkatan resiko untuk keguguran
pada kehamilan selanjutnya. 3
Anomali

traktus

genitalia

kongenital

biasanya

berasal

dari

keabnormalan pembentukan duktus mllerian maupun keabnormalan


fusinya.

Distribusi

anomali

yang

dihubungkan

dengan

keguguran

ditampilkan pada table : 3

Bergantung pada anatominya, beberapa dapat meningkatkan resiko


keguguran awal dan lainnya dapat menyebabkan aborsi midtrimester atau

persalinan

preterm.

Uterus

unicornuate,

bicornuate

dan

septate

dihubungan dengan ketiga jenis keguguran tersebut. 3


faktor imunologis
Penelitian menunjukkan bahwa 15% dari 1000 wanita dengan
keguguran berulang memiliki peranan dari faktor imunologis. Teori
patofisiologi yang dicetuskan adalah teori autoimun dimana sistem imun
melawan tubuh sendiri dan teori alloimmune dimana imunitas melawan
orang lain. Keguguran lebih sering terjadi pada wanita dengan sistemik
lupus eritematosus. Kebanyakan dari wanita-wanita ini memiliki antibodi
antifosfolipid, sebuah famili autoantibodi yang berikatan dengan protein
plasma yang berikatan dengan phospholipid (phospholipid-binding plasma
proteins). Wanita dengan keguguran spontan berulang memiliki frekuensi
autoantibodi

lebih

tinggi

dibandingkan

dengan

kontrol

normal.

Antiphospholipid antibody syndrome (APS) ini juga meningkatkan resiko


tromboemboli vena. 3
Pada

teori

alloimunitas,

saat

kehamilan

normal

diperlukan

pembentukan faktor yang menghalangi rejeksi maternal kepada antigen


asing fetus yang diturunkan oleh parental. Faktor penghalang ini termasuk
human leukocyte antigen (HLA), yang mengubah aktivitas natural killer
cell, stimulasi sel T dan mutasi gen HLA-G. Beberapa test telah dilakukan
untuk keadaan ini namun terapi menggunakan imunisasi dari leukosit
paternal maupun imunoglobulin intravena (IVIG) tidak terbukti bermakna
pada wanita dengan keguguran idiopatik. 3
Faktor endokrin
Menurut sebuah studi, 8-12% keguguran berulang dikarenakan oleh faktor
endokrin. Telah diketahui bahwa diabetes tak terkontrol berpengaruh pada
aborsi dan kontrol glukosa pada perikonsepsi akan mengurangi kejadian
aborsi. Begitu pula halnya dengan efek early pregnancy loss pada

hipotiroid dan defisiensi iodin berat yang dikoreksi dengan suplementasi


akan mengurangi kejadian keguguran. 3

1.6 Aborsi Midtrimester


Keguguran midtrimester adalah keguguran pada akhir trimester
pertama hingga berat fetus 500 g atau umur kehamilan mencapai 20
minggu. 3
1.6.1

Insidensi dan etiologi

Aborsi

jarang

terjadi pada akhir trimester pertama sehingga

insidensinya lebih rendah. Faktor resiko untuk aborsi pada trimester kedua
termasuk ras, etnik, dan umur maternal yang ekstrim. Perdarahan pada
trimester pertama juga menjadi faktor resiko potensial. Penelitian
menunjukkan

bahwa 27% wanita diantaranya mengalami keguguran

trimester kedua berulang pada kehamilan selanjutnya. Terlebih, sepertiga


dari wanita-wanita ini mengalami persalinan preterm. 3
Tabel : Beberapa penyebab keguguran midtrimester
Anomali fetal
Kromosomal
Struktural
Defek uterus
Kongenital
Leiomyoma
Serviks inkompeten
Penyebab plasenta
Abrupsi, previa
Transformasi defektif arteri spinalis
Korioamnionitis
Kelainan maternal
Autoimun
Infeksi
Metabolik
1.6.2

Evaluasi fetal dan plasenta

Pada wanita usia 35 tahun keatas ditemukan bahwa 80 % keguguran


berulang disebabkan adanya abnormalitas kromosom. Pada studi dengan

486 wanita segala usia dengan keguguran trimester kedua, 13% nya
diidentifikasi sebagai malformasi fetus. Menurut sebuah studi, 95%
plasenta pada aborsi midtrimester mengalami keabnormalan dimana
terjadi trombosis dan infark vaskular. 3
1.6.3

Managemen

Aborsi midtrimester diklasifikasikan seperti aborsi pada trimester


pertama. Managemennya juga sama dalam setiap aspek. Bedanya pada
aborsi midtrimester, dosis oksitosin terkonsentrasi lebih efektif untuk
induksi persalinan maupun augmentasi. 3
1.6.4

Insufisiensi serviks

Insufisiensi serviks, dikenal juga sebagai inkompeten serviks,


dikarakteristikkan dengan ditalasi servikal tanpa nyeri pada trimester
kedua. Hal ini dapat diikuti dengan prolaps dan ballooning membran ke
vagina dan ekspulsi fetus immatur. Jika tidak ditangani, kejadian ini dapat
berulang pada kehamilan selanjutnya. 3
Karena sulitnya identifikasi insufisiensi serviks, maka beberapa
penelitian difokuskan untuk meprediksi kejadiannya melalui sonografi
transvaginal. Dari beberapa gambaran diteliti panjang serviks dan
ditemukan adanya funneling yaitu ballooning membran menuju ke os
internal yang berdilatasi tapi disertai dengan os ekternal yang tertutup.
Pada wanita resiko tinggi dengan panjang serviks < 25 mm dilaporkan
bahwa cerclage mencegah kelahiran preterm . 3
1.6.5

Faktor resiko

Trauma servikal sebelumnya seperti dilatasi dan kuretase, konisasi,


kauterisasi atau amputasi telah diimplikasikan menjadi faktor resiko
inkompetensi serviks. Sebuah studi kohort pada lebih dari 15000 wanita
yang sebelumnya konisasi serviks ditemukan resiko keguguran sebelum
24 minggu sebanyak 4 kali lipat. 3

1.6.6

Evaluasi dan treatmen

Sonografi dilakukan untuk mengonfirmasi fetus hidup tanpa anomali.


Sekresi servikal diperiksa untul infeksi chlamydia dan gonorrhea dan
ditangani. Selain itu dilarang melakukan hubungan seksual selama
sekurang-kurangnya seminggu sebelum dan sesudah pembedahan. 3
Inkompetensi servikal ditangani dengan pembedahan menggunakan
cerclage, dimana menggabungkan serviks yang lemah dengan pursestring suture. Kontraindikasi cerclage biasanya berupa perdarahan,
kontraksi uterus, atau ruptur membran. Dengan adanya komplikasikomplikasi berikut, kegagalan cerclage meningkat sehingga lebih dipilih
profilaksis cerclage sebelum dilatasi terjadi. Namun hal ini biasanya tidak
mungkin dilakukan dan cerclage biasanya dilakukan langsung saat serviks
ditemukan berdilatasi. 3
Timing pembedahan bergantung pada keadaan klinis. Pada wanita
yang

didiagnosa

mengalami

insufisiensi

servikal

dari

kehamilan

sebelumnya, cerclage elektif dilakukan pada minggu gestasi ke- 12 dan


14. Jika diagnosis disimpulkan pada gambaran sonografi transvaginal
pada wanita resiko tinggi dengan serviks <25 mm, maka cerclage
dilakukan pada saat itu juga. Namun, semakin matang usia kehamilan,
maka semakin besar resiko pembedahan akan mestimulasi persalinan
preterm atau ruptur membran. Biasanya tidak dilakukan cerclage setelah
23 minggu usia kehamilan. 3
Jika indikasi cerclage diragukan, maka disarankan untuk menurunkan
aktivitas fisik dan absen hubungan seksual. 3
1.6.7

Prosedur cerclage

Terdapat dua prosedur cerclage, yang sering digunakan adalah


metode McDonald dan yang lebih rumit adalah prosedur modifikasi yang
dideskribsikan oleh Shirodkar. Prosedur cerclage yang dilakukan saat
emergensi tentunya lebih sulit untuk dilakukan. Pengembalian posisi
kantung amniotik yang prolaps kembali ke uterus biasanya memrlukan
suturing. Hal ini dipermudah dengan memiringkan mea operasi dengan

posisi kepala lebih rendah dan diikuti pengisian kandung kemih dengan
600 mL saline melalui Foley kateter. 3
Transabdominal cerclage dengan suturing pada istmus uterus dapat
dilakukan jika terdapat defek anatomikal serviks parah. Resiko kematian
perinatal atau persalinan sebelum usia 24 minggu sedikit lebih rendah
pada transabdominal cerclage dibanding transvaginal cerclage 6 vs
13%. Secara keseluruhan, fetal survival rate nya kira-kira 80%. 3
1.6.8

Komplikasi

Komplikasi cerclageadalah ruptur membran, persalinan preterm,


perdarahan, infeksi maupun kombinasi semuanya. Komplikasi-komplikasi
ini jarang ditemukan pada cerclage untuk profilaksis. Ruptur membran
selama suturing hingga 48 jam pertama diindikasikan untuk pelepasan
cerclage karena kemungkinan terjadi infeksi fetal maupun maternal yang
serius. 3
1.7

Induksi Aborsi
Istilah

induksi

aborsi

didefinisikan

sebagai

terminasi

medikal

kehamilan sebelum waktu fetus viabel. Frekuensi yang berkaitan dengan


aborsi antara lain: rasio aborsi (jumlah aborsi per 1000 kelahiran hidup),
dan rate aborsi (jumlah aborsi per 1000 wanita umur 15-44 tahun).
Statistik global WHO melaporkan aborsi terjadi pada 1 dari 5 kehamilan
pada tahun 2008 dan hampir separuh dari aborsi ini dilakukan melalui
prosedur yang tidak aman. 3

1.7.1
-

Klasifikasi
Aborsi terapeutik
Terdapat beberapa kelainan medis yang menjadi indikasi terminasi
kehamilan. Diantaranya adalah decompensasi jantung persisten,
terutama dengan hipertensi pulmoner, advanced hypertensive
vascular disease maupun diabetes dan keganasan. Pada kasus
perkosaan maupun incest dianggap terminasi merupakan hal yang
lumrah. Indikasi utama aborsi adalah untuk mencegah kelahiran
fetus dengan deformitas anatomis, metabolik maupun mental yang
signifikan. 3

Aborsi elektif atau volunter


Interupsi kehamilan sebelum waktu viabel sesuai permohonan
maternal tanpa alasan medis diistilahkan untuk aborsi elektif atau
volunter. Kebanyakan aborsi yang dilakukan sekarang bersifat
elektif dan merupakan salah satu prosedur medis yang paling
sering dilakukan. 3

1.7.2

Konseling sebelum aborsi elektif

Terdapat 3 pilihan dasar untuk wanita yang memikirkan untuk aborsi :


1. Melanjutkan kehamilan dengan resikonya dan tanggung jawab paternal;
2. Melanjutkan kehamilan dengan pengaturan adopsi sebagai pilihan
berikutnya; 3. Terminasi kehamilan dengan segala resikonya. Konselor
harus secara objektif menjelaskan dan memberikan informasi lebih lanjut
kepada wanita maupun pasangan sehingga dapat dicapai keputusan
tepat.
1.8 Diagnosa Aborsi
Menurut WHO (1994), setiap wanita pada usia reproduktif yang
mengalami dua dari tiga gejala seperti di bawah harus dipikirkan
kemungkinan terjadinya abortus:14

i. Perdarahan pada vagina.


ii. Nyeri pada abdomen bawah.
iii. Riwayat amenorea.
Ultrasonografi penting dalam mengidentifikasi status kehamilan dan
memastikan bahwa suatu kehamilan adalah kehamilan intrauterin. Apabila
ultrasonografi transvaginal menunjukkan sebuah rahim kosong dan tingkat
serum hCG kuantitatif lebih besar dari 1.800 mIU per mL (1.800 IU per L),
kehamilan ektopik harus dipikirkan. Ketika ultrasonografi transabdominal
dilakukan, sebuah rahim yang kosong harus menimbulkan kecurigaan
kehamilan ektopik jika kadar hCG kuantitatif lebih besar dari 3.500 mIU
per mL (3.500 IU per L). Rahim yang ditemukan kosong pada
pemeriksaan USG dapat mengindikasikan suatu abortus kompletus, tetapi
diagnosis tidak definitif sehingga kehamilan ektopik disingkirkan (Griebel
et al., 2005; Puscheck, 2010).11,12
Menurut Sastrawinata dan kawan-kawan (2005), diagnosa abortus
menurut gambaran klinis adalah seperti berikut :13
i. Abortus Iminens (Threatened abortion)
a. Anamnesis perdarahan sedikit dari jalan lahir dan nyeri perut
tidak ada atau ringan.
b. Pemeriksaan dalam fluksus ada (sedikit), ostium uteri tertutup,
dan besar uterus sesuai dengan umur kehamilan.
c. Pemeriksaan penunjang hasil USG.
ii. Abortus Insipiens (Inevitable abortion)
a. Anamnesis perdarahan dari jalan lahir disertai nyeri / kontraksi
rahim.
b. Pemeriksaan dalam ostium terbuka, buah kehamilan masih
dalam rahim, dan ketuban utuh (mungkin menonjol).

iii. Abortus Inkompletus atau abortus kompletus


a. Anamnesis perdarahan dari jalan lahir (biasanya banyak), nyeri
/ kontraksi rahim ada, dan bila perdarahan banyak dapat terjadi
syok.
b. Pemeriksaan dalam ostium uteri terbuka, teraba sisa jaringan
buah kehamilan.
iv. Abortus Tertunda (Missed abortion)
a. Anamnesis - perdarahan bisa ada atau tidak.
b. Pemeriksaan obstetri fundus uteri lebih kecil dari umur
kehamilan dan bunyi jantung janin tidak ada.
c. Pemeriksaan penunjang USG, laboratorium (Hb, trombosit,
fibrinogen, waktu perdarahan, waktu pembekuan dan waktu
protrombin).
Diagnosa abortus habitualis (recurrent abortion) dan abortus septik
(septic abortion) menurut Mochtar (1998) adalah seperti berikut:
i. Abortus Habitualis (Recurrent abortion)
a. Histerosalfingografi untuk mengetahui ada tidaknya mioma
uterus submukosa dan anomali kongenital.
b. Kadar yodium darah diukur untuk mengetahui apakah ada atau
tidak gangguan glandula thyroidea.
ii. Abortus Septik (Septic abortion)
a. Adanya abortus : amenore, perdarahan, keluar jaringan yang
telah ditolong di luar rumah sakit.
b. Pemeriksaan : kanalis servikalis terbuka, teraba jaringan,
perdarahan dan sebagainya.
c. Tanda-tanda infeksi alat genital : demam, nadi cepat,
perdarahan, nyeri tekan dan leukositosis.

d. Pada abortus septik : kelihatan sakit berat, panas tinggi,


menggigil, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun sampai
syok.
1.9 Teknik Aborsi
Aborsi tidak memerlukan rawat inap jika tidak didapatkan kelainan
maternal yang serius. Aborsi pada pasien rawat jalan harus tersedia
fasilitas untuk resusitasi jantung paru dan rujukan ke rumah sakit. Aborsi
pada trimester pertama dapat dilakukan baik secara medikasi atau
pembedahan seperti yang tercantum dalam tabel 2.1. 3
Tabel 2.1
Beberapa teknik dalam aborsi trimester pertama 3

Perbandingan hasil dari aborsi dengan medikasi dan pembedahan


dapat dilihat pada tabel 2.2. Aborsi dengan medikasi memiliki kekurangan
karena memakan waktu lebih banyak (beberapa hari sampai beberapa
minggu), outcome yang tidak terprediksi, dan perdarahan biasanya lebih
berat dan tak terduga. Mungkin untuk alasan ini, hanya 10 persen aborsi
di Amerika Serikat dikelola menggunakan metode medikasi. 3

Tabel 2.2
Perbandingan kelebihan dan kekurangan antara aborsi medis dan
pembedahan3

1.9.1

Persiapan Cervix

Ada beberapa metode yang bisa melunakkan dan melebarkan cervix


secara perlahan untuk meminimalisir trauma dari dilatasi mekanik. Sebuah
tinjauan dari Cochrane menjelaskan bahwa dilator higroskopik dan obat
pematangan cervix memiliki khasiat yang sama dalam mengurangi waktu
prosedur trimester pertama. 3
Dilator higroskopis adalah perangkat yang menarik air dari jaringan
cervix dan berkembang secara bertahap untuk melebarkan cervix. Salah
satu tipenya adalah berasal dari spesies algae Laminaria yang diambil
dari dasar laut (gambar. 2.1). Tipe yang lain adalah Dilapan-S, yang terdiri
dari gel berbasis akrilik. 3

Gambar 2.1
Insersi laminaria sebelum dilatasi dan kuretase 3
Selain perangkat seperti yang dijelaskan di atas, ada metode
medikasi yang digunakan untuk persiapan cervix. Yang paling umum
adalah misoprostol. Dosisnya adalah 400 sampai 600 g diberikan secara
oral, sublingual, atau ditempatkan pada forniks vagina posterior. Dalam
multicenter randomized trial, dari sekitar 4900 wanita yang menjalani
aborsi elektif trimester pertama, setengah diberi dua tablet 200 g per oral
3 jam sebelum aborsi, dan kelompok lainnya diberi plasebo, didapatkan
keuntungan besar dari misoprostol, yaitu dilatasi cervix yang lebih mudah
dan tingkat komplikasi yang lebih rendah. 3
Obat

cervical-ripening

efektif

yang

lain

adalah

antagonis

progesteron mifepristone dengan dosis 200-600 g diberikan secara oral.


Pilihan lainnya adalah prostaglandin E2 dan F2 yang memiliki efek
samping yang tidak menyenangkan dan biasanya digunakan sebagai obat
lini kedua. 3
1.9.2

Aborsi Dengan Pembedahan


Terminasi kehamilan dengan pembedahan dilakukan dengan cara

transvaginal melalui cervix yang telah dilatasi atau laparotomi (lebih


jarang) dengan histerotomi atau histerektomi. Metode aborsi pembedahan
transvaginal sebaiknya dilakukan cervix ripening pra bedah terlebih
dahulu. Metode ini bersifat lebih tidak nyeri, memiliki prosedur teknis lebih

mudah, dan waktu operasi yang lebih pendek. Kuretase biasanya


membutuhkan sedatif atau analgesik secara intravena atau oral, dan
beberapa juga menggunakan blokade paraservikal dengan lidokain.
Antibiotik profilaksis yang diberikan adalah doxycycline, 100 mg per oral, 1
jam sebelum tindakan dan 200 mg per oral setelah tindakan. 3
1.9.3

Dilatasi dan Kuretase


Pendekatan

transervikal

untuk

aborsi

dengan

pembedahan

mengharuskan untuk melebarkan cervix terlebih dahulu dan kemudian


mengevakuasi kehamilan dengan menggores secara mekanis isi uterus
keluar (sharp curettage) atau dengan menyedot isi uterus keluar (suction
curettage), atau dengan kombinasi keduanya. Aspirasi vakum (bentuk
paling umum dari suction curettage), membutuhkan kanula rigid yang
melekat pada electric-powered vacuum source atau syringe sebagai
sumber vakumnya. 3
Sharp atau suction curettage direkomendasikan untuk kehamilan
15 minggu. Tingkat komplikasi meningkat setelah trimester pertama, yaitu
perforasi, laserasi cervix, perdarahan, penghapusan yang tidak lengkap
dari janin atau plasenta, infeksi pasca operasi, dan jangka panjangnya
seperti insufisiensi cervix dan uterine synechiae. 3
1.9.4

Teknik
Setelah pemeriksaan bimanual dilakukan untuk menentukan

ukuran uterus, spekulum dimasukkan, dan cervix diusap dengan povidone


iodine atau solusi lain yang setara. Bibir cervix anterior digenggam dengan
toothed tencaculum. Cervix, vagina, dan uterus dipersarafi oleh plexus
Frankenhuser, yang terletak di dalam jaringan ikat lateral dari ligamen
uterosakrum dan ligamen kardinal. Dengan demikian, blok paraservikal
efektif untuk menghilangkan rasa sakit. Anestesi lokal, 5 ml lidokain 1 atau
2%, paling efektif jika ditempatkan langsung pada lateral dari insersi
ligamen uterosakral ke dalam uterus pada jam 4 dan 8. Blok intracervical
dengan lidokain 1% dalam 5 mL aliquot disuntikkan pada jam 12, 3, 6, dan

jam 9 sama efektifnya. Dilute vasopressin dapat ditambahkan pada


anestesi lokal untuk mengurangi kehilangan darah. 3
Uterine sounding digunakan untuk mengukur kedalaman dan
kemiringan rongga uterus

sebelum insersi instrumen lainnya. Jika

diperlukan, cervix dilebarkan lagi dengan dilator Hegar, Hank, atau Pratt
sampai kanula hisap dengan diameter yang sesuai dapat dimasukkan.
Kanula kecil memiliki risiko meninggalkan sisa jaringan intrauterine pasca
operasi, sedangkan kanula besar berisiko menyederai cervix dan kurang
nyaman. Jari tangan keempat dan kelima diletakkan pada perineum dan
bokong saat dilator didorong masuk melalui internal os (gambar 2.2).
Teknik ini meminimalkan dilatasi yang terlalu kuat dan memberikan
perlindungan terhadap perforasi uterus. Kanula hisap dipindahkan ke arah
fundus dan kemudian kembali ke os dan diarahkan secara sirkumferensial
untuk mengcover seluruh permukaan rongga rahim (gambar 2.3). Ketika
sudah tidak ada jaringan yang bisa disedot,

gentle sharp curettage

kemudian dimasukkan untuk menghilangkan sisa plasenta atau fragmen


janin (gambar 2.4). 3

Gambar 2.2 Dilatasi cervix dengan Hegar dilator. 3

Gambar 2.3 Kuretase hisap telah diletakkan melalui cervix ke dalam


uterus3

Gambar 2.4 Kuretase tajam diletakkan di dalam rongga uterus 3


Karena perforasi uterus biasanya terjadi akibat insersi dari
instrumen instrumen tersebut, manipulasi harus dilakukan dengan ibu
jari dan telunjuk saja. Untuk kehamilan lebih dari 16 minggu, janin
diekstrak, biasanya per bagian, menggunakan forceps Sopher dan
instrumen destructive lainnya. Risikonya adalah perforasi uterus, laserasi
cervix, dan perdarahan uterus karena janin yang lebih besar dan plasenta
dan dinding uterus yang masih tipis. 3

Dilatasi dan Evakuasi


Pengguanaan teknik ini dilakukan mulai dari 16 minggu. Dilatasi

cervix dilakukan menggunakan dilator higroskopik atau metal untuk


destruksi mekanis dan evakuasi bagian janin. Dengan penghapusan
lengkap dari janin, vakum kuret berdiameter besar digunakan untuk
menghilangkan plasenta dan jaringan yang tersisa. Hal ini lebih baik
dilakukan dengan menggunakan intraoperative sonographic imaging. 3

Dilatasi dan Ekstraksi


Dilatasi dan ekstraksi mirip dengan dilatasi dan evakuasi, tetapi

pada metode ini kanula hisap digunakan untuk mengevakuasi isi


intrakranial setelah mengeluarkan tubuh janin melalui dilatasi cervix. Hal
ini membantu ekstraksi dan meminimalkan cedera cervix dari instrumen
atau tulang janin. 3

Aspirasi Menstruasi
Aspirasi menstruasi dilakukan saat 1 sampai 3 minggu setelah

missed menstrual period dengan hasil tes kehamilan serum atau urin
positif. Hal ini dilakukan dengan Karman kanula fleksibel 5 atau 6 mm
yang melekat pada syringe. Istilah lain dari prosedur ini adalah menstrual
extraction, menstrual induction, instant period, traumatic abortion, dan
mini-abortion. Kekurangan dari prosedur ini adalah bahwa karena
kehamilan tersebut sangat kecil, zigot yang terimplantasi dapat luput oleh
kuret,

atau

kehamilan

ektopik

tidak

dapat

terdeteksi.

Untuk

mengidentifikasi plasenta di aspirasi itu, isi syringe dibilas dengan


saringan untuk menghilangkan darah, kemudian ditempatkan dalam
wadah plastik bening dengan saline dan diperiksa dengan back lighting.
Jaringan plasenta secara makroskopis tampak lembut, gendut, dan
berbulu. Lensa pembesar, colposcope, atau mikroskop juga dapat
digunakan. 3

Aspirasi Vacuum Manual


Prosedur ini mirip dengan aspirasi menstruasi tapi digunakan untuk

kegagalan kehamilan awal atau terminasi elektif sampai 12 minggu.


Beberapa menyarankan terminasi kehamilan yang dilakukan dengan

metode ini dibatasi 10 minggu karena kehilangan darah meningkat tajam


antara 10 dan 12 minggu. Untuk kehamilan 8 minggu, preprocedure
cervix ripening biasanya tidak perlu. Setelah waktu ini, beberapa
merekomendasikan dilator osmotik diinsersikan sehari sebelumnya atau
misoprostol 2 sampai 4 jam sebelum prosedur. Blokade paraservikal
dengan atau tanpa sedasi dilakukan. Teknik ini menggunakan tangan
dengan 60 ml dan kanula. Vakum berasal dari syringe yang melekat
dengan cannula, yang dimasukkan transcervical ke dalam uterus. Vakum
memproduksi hingga 60 mm Hg. Komplikasi mirip dengan metode bedah
lainnya. 3

Hysterotomy atau Hysterectomy


Pada beberapa wanita dengan kehamilan trimester kedua yang

ingin sterilisasi, histerotomi dengan ligasi tuba dapat dilakukan. Jika ada
penyakit uterus yang signifikan, maka histerektomi dapat memberikan
pengobatan yang ideal. Dalam beberapa kasus trimester kedua induksi
medis yang gagal, salah satu dari ini dapat dipertimbangkan. 3
1.9.5

Aborsi Dengan Medikasi


Aborsi medikasi pada pasien rawat jalan adalah pilihan alternatif

dari terminasi kehamilan pembedahan yang baik untuk wanita hamil


kurang dari 49 hari. Setelah waktu ini, data yang ada menyarankan aborsi
dengan pembedahan. Saat ini, hanya ada tiga obat untuk aborsi awal
dengan medikasi yang telah dipelajari secara luas yang digunakan baik
tunggal atau kombinasi, meliputi: (1) antiprogestin mifepristone, (2)
antimetabolit

methotrexate,

dan

(3)

prostaglandin

misoprostol.

Mifepristone dan methotrexate meningkatkan kontraktilitas uterus dengan


melawan

progesterone-induced

inhibition,

sedangkan

misoprostol

langsung merangsang miometrium. Methotrexate dan misoprostol bersifat


teratogen. Jadi harus ada komitmen untuk menyelesaikan aborsi sekali
obat-obatan ini telah diberikan. Dari ketiga regimen ini,
misoprostol diberikan terlebih dahulu. 3

regimen

Tabel 2.3
Regimen terminasi medikasi pada awal kehamilan3

1.9.6

Kontraindikasi
Beberapa kontraindikasi relatif adalah in situ intrauterine device,

anemia berat, koagulopati atau penggunaan antikoagulan, dan kondisi


medis yang signifikan seperti penyakit hati yang aktif, penyakit
kardiovaskular, atau seizure disorders yang tak terkendali. Karena
misoprostol mengurangi aktivitas glukokortikoid, wanita dengan kelainan
yang membutuhkan terapi glukokortikoid biasanya dikontraindikasikan.
Pada wanita dengan insufisiensi ginjal, dosis methotrexate harus diubah
dan diberikan dengan hati-hati, atau sebaiknya, regimen lain harus dipilih.
3

1.9.7

Administrasi
Dengan regimen mifepristone/misoprostol, treatment mifepristone

diikuti dengan misoprostol yang diberikan pada waktu yang sama atau
sampai dengan 72 jam kemudian seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.3.
Gejala yang dapat terjadi dalam waktu 3 jam adalah nyeri perut bagian
bawah, muntah, diare, demam, atau menggigil. Dalam beberapa jam
pertama setelah misoprostol diberikan, jika kehamilan telah dikeluarkan,
pemeriksaan pelvis dilakukan untuk konfirmasi. Jika kehamilan masih
utuh, pasien bisa diminta untuk datang kembali dalam 1 sampai 2 minggu.
3

Dengan regimen methotrexate, misoprostol diberikan 3 sampai 7


hari kemudian, dan pasien diperiksa lagi setidaknya 24 jam setelah
administrasi misoprostol. Pasien selanjutnya diperiksa sekitar 7 hari
setelah administrasi methotrexate, dan pemeriksaan sonografi dilakukan.
Jika kehamilan masih utuh, maka dosis misoprostol yang sama diberikan
lagi. Setelah itu, diperiksa lagi 1 minggu berikutnya jika aktivitas jantung
janin masih ada atau 4 minggu berikutnya jika sudah tidak ada aktivitas
jantung janin. Jika aborsi tidak terjadi saat kunjungan kedua, biasanya
diselesaikan dengan suction curettage. 3
1.9.8

Komplikasi

Komplikasi dari aborsi dengan medikasi yang dapat terjadi adalah


perdarahan dan cramping yang bisa lebih parah daripada menstrual
cramps sehingga analgesik, termasuk narcotic bisa diberikan. 3
1.10

Aborsi Midtrimester
Metode non-invasif pada aborsi midtrimester adalah dosis tinggi

oksitosin intravena. Metode lainnya adalah analog prostaglandin yang


dapat diberikan secara oral, vaginal, atau parenteral. Terlepas dari
metode-metode tersebut, dilator higroskopik dapat mempersingkat durasi.
3

1.10.1 Oxytocin
Jika

diberikan

tunggal

dalam

dosis

tinggi,

oksitosin

bisa

menyebabkan aborsi trimester kedua dalam 80 sampai 90 persen dari


kasus. Oksitosin diberikan dalam larutan isotonik. 3
Tabel 2.4 Protokol concentrated oxytocin pada aborsi midtrimester 3

1.10.2 Prostaglandin E2 (PGE2) dan E1 (PGE1)


Prostaglandin E2 supositoria 20 mg yang diletakkan di fornix vagina
posterior adalah cara yang efektif untuk menginduksi aborsi trimester
kedua. Akan tetapi cara ini tidak lebih efektif daripada dosis tinggi
oxytocin, dan lebih sering menyebabkan efek samping seperti mual,
muntah, demam, dan diare. Jika PGE 2 digunakan bersamaan dengan
antiemetik seperti metoclopramide, antipiretik seperti acetaminophen, dan
antidiare seperti difenoksilat / atropin dapat membantu mencegah atau
mengobati gejala-gejala tersebut. 3
Misoprostol digunakan tunggal juga metode efektif untuk terminasi
trimester kedua kehamilan. Di satu uji coba secara acak, dosis
misoprostol 600 g diberikan per vaginam diikuti oleh 400 g setiap 4 jam.
Regimen aborsi ini secara signifikan lebih cepat daripada oksitosin
dengan PGE2 (12 jam dibandingkan 17 jam).3
1.10.3 Kontrasepsi Setelah Keguguran Atau Aborsi
Ovulasi bisa terjadi kembali 2 minggu setelah terminasi kehamilan.
Dengan demikian, penting untuk diperhatikan bahwa kecuali kehamilan
segera diinginkan, kontrasepsi yang efektif harus dimulai segera setelah
aborsi. 3

TINJAUAN PUSTAKA
KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU
1. Definisi
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang berbahaya bagi
wanita yang bersangkutan berhubung dengan besarnya kemungkinan
terjadi keadaan yang gawat. Keadaan gawat dapat terjadi apabila
kehamilan ektopik terganggu.1 Kehamilan ektopik merupakan keadaan
emergensi yang menjadi penyebab kematian maternal selama kehamilan
trimester pertama, karena janin pada kehamilan ektopik secara nyata
bertanggung

jawab

terhadap

kematian

ibu,

maka

para

dokter

menyarankan untuk mengakhiri kehamilan.2 Hal yang perlu diingat ialah


bahwa pada setiap wanita dalam masa reproduksi dengan gangguan atau
keterlambatan haid yang disertai dengan nyeri perut bagian bawah, perlu
difikirkan dugaan adanya kehamilan ektopik terganggu. 1
Saat fertilisasi, normalnya blastocyst menempel pada lapisan
endometrium pada kavum uteri. Implantasi pada tempat yang lain
dianggap ektopik dan terdiri 1-2% dari semua trimester awal di Amerika
Serikat. Pemeriksaan urine dan serum -hCG serta transvaginal
sonography dapat mendiagnosis kejadian ini lebih awal. Hasilnya, tingkat
kelangsungan hidup ibu dapat ditingkatkan.3
Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai setiap kehamilan yang
terjadi di luar kavum uteri,2 yaitu bila sel telur yang dibuahi berimplantasi
dan tumbuh di luar endometrium kavum uteri. Kehamilan ekstrauterin tidak
sinonim dengan kehamilan ektopik karena kehamilan pada pars
interstitialis tuba dan kanalis servikalis masih termasuk dalam uterus tetapi
jelas bersifat ektopik.1

2. Epidemiologi
Frekuensi dari kehamilan ektopik dan kehamilan intrauteri dalam satu
konsepsi yang spontan terjadi dalam 1 dalam 30.000 atau kurang. Angka
kehamilan ektopik per 1000 diagnosis konsepsi, kehamilan atau kelahiran
hidup telah dilaporkan berkisar antara 2,7 hingga 12,9. Angka kejadian
kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Diantara
faktor-faktor

yang

terlibat

adalah

meningkatnya

pemakaian

alat

kontrasepsi dalam rahim, penyakit radang panggul, usia ibu yang lanjut,
pembedahan pada tuba, dan pengobatan infertilitas dengan terapi induksi
superovulasi.2
Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur
antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Frekuensi kehamilan
ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0-14,6%. 1
3. Klasifikasi

Kehamilan Tuba

Sebesar 95% dari kehamilan ektopik terimplantasi pada berbagai


segmen dari tuba falopii3 dan tumbuh di fimbriae (17%), ampulla (55%),
isthmus (25%), atau kehamilan tuba interstitial. 4 Ampulla adalah bagian
yang memiliki frekuensi yang tinggi terhadap kejadian ini, diikuti kemudian
oleh isthmus. Sedangkan 5% dari kehamilan ektopik non-tuba menempel
di ovarium, kavum peritoneal, serviks, atau skar bekas sectio cecarian.3

Kehamilan Ovarial

Kehamilan ovarial merupakan bentuk yang jarang (0,5%) dari


seluruh kehamilan ektopik dimana sel telur yang dibuahi bernidasi di
ovarium. Meskipun daya akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih
besar daripada daya akomodasi tuba, kehamilan ovarium umumnya
mengalami ruptur pada tahap awal. 6,7

Kehamilan Servikal

Kehamilan servikal adalah bentuk dari kehamilan ektopik yang


jarang sekali terjadi. Nidasi terjadi dalam selaput lendir serviks. Dengan
tumbuhnya telur, serviks mengembang. Kehamilan serviks jarang
melewati usia gestasi 20 minggu sehingga umumnya hasil konsepsi masih
kecil dan dievakuasi dengan kuretase.6,7

Kehamilan Intraligamenter

Kehamilan intraligamenter berasal dari kehamilan ektopik dalam


tuba yang pecah. Konseptus yang terjatuh ke dalam ruangan ekstra
peritoneal ini apabila lapisan korionnya melekat dengan baik dan
memperoleh vaskularisasi dimana fetusnya dapat hidup dan berkembang
dan tumbuh membesar. Dengan demikian proses kehamilan ini serupa
dengan kehamilan abdominal sekunder karena keduanya berasal dari
kehamilan ektopik dalam tuba yang pecah.

Kehamilan Abdominal

Kehamilan

abdominal

adalah

implantasi

didalam

rongga

peritoneum diluar dari tuba,ovarium, atau implantasi intraligamentum. Ini


adalah kehamilan ektopik langka dengan perkiraan Insiden 1 dari 10.000
untuk 25.000 kelahiran hidup.3
Kebanyakan kasus kehamilan Abdomen akan diikuti rupturnya
tuba. Dalam kasus lanjut kehamilan extrauterine, sebagian plasenta masih
dapat melekat pada rahim atau adneksa.
Diagnosis mungkin sulit. Pertama, gejala mungkin tidak ada atau
tidak jelas. Tes laboratorium biasanya tidak informatif, meskipun tingkat
alpha-fetoprotein serum ibu meningkat.Secara klinis, posisi janin yang
abnormal ini masih dapat teraba.

Kehamilan Scar Cesaria

Kehamilan ektopik ini terjadi proses implantasi pada myometrium


post operasi cesarian. Insiden kehamilan ini terjadi dalam 1 diantara 2000
kehamilan dan kejadiannya semakin meningkat.
Gejala yang timbul adalah nyeri dan perdarahan. Namun Sekitar 40
persen kasus tidak menimbulkan gejala atau asimtomatik, dan diagnosis
ditegakkan dengan pemeriksaan sonography.
Terapi dari kasus ini dapat dilakukan hysterektomi bila didapatkan
perdarahan yang masif. Selain itu penggunaan methotrexate dapat
dipertimbangkan.3

Kehamilan Ektopik di Tempat Lain

Dalam beberapa penelitian didapatkan bahwa Implantasi masih


bisa terjadi pada Omentum, spleen, hepar, dan retroperitoneum. Namum
kasus nya sangat jarang sekali.3

4. Faktor Resiko
Ditemukan banyak kasus keabnormalitasan dari anatomi tuba
falopii yang menyebabkan kehamilan ektopik tuba. Pembedahan dengan
riwayat kehamilan ektopik tuba sebelumnya,
sterilisasi

pembedahan untuk

juga meningkatkan resiko kehamilan ektopik tuba. Adanya

riwayat penyakit menular seksual ataupun infeksi tuba yang lain yang
mengganggu kenormalan tuba secara anatomi juga menjadi faktor resiko.
Salpingitis, appendicitis, dan endometriosis juga menyumbang sebagai
faktor resiko dari kehamilan ektopik tuba. Merokok juga dianggap sebagai
salah satu faktor walaupun mekanismenya masih belum jelas sampai
sekarang. Penggunaan beberap jenis alat kontrasepsi dapat dianggap
mencegah terjadinya kehamilan ektopik tuba ini, namun ada pula
penggunaan kontrasepsi yang juga dapat meningkatkan terjadinya
kehamilan ektopik tuba seperti sterilisasi tuba, IUD, dan kontrasepsi
progestin saja.3
5. Patologi dan Patofisiologi
Proses implantasi ovum yang dibuahi yang terjadi di tuba pada
dasarnya sama dengan halnya di kavum uteri. Perkembangan telur
selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati
secara dini dan kemudian diresorpsi. Pada pembuahan dan setelah
tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan
jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis.
Karena pembentukan desidua di tuba tidak sempurna, dengan mudah vili
korialis menembus endosalping dan masuk ke dalam lapisan otot-otot
tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin
selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti tempat implantasi,
tebalnya dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi
trofoblas.

Tuba bukanlah tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi,


sehingga tidak mungkin janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus.
Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6
sampai 10 minggu. Terdapat beberapa kemungkinan mengenai nasib
kehamilan dalam tuba yaitu : 1
a. Hasil konsepsi mati dini dan diresorpsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati
karena vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorpsi total.
Dalam keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa dan haidnya
terlambat untuk beberapa hari.
b. Abortus ke dalam lumen tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh
darah oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat
melepaskan mudigah dari dinding tersebut bersama-sama dengan
robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau
seluruhnya. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dan selaputnya
dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah
ostium

tuba

abdominale.

Perdarahan

yang

berlangsung

terus

menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan (Hematosalping) dan


selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba,
berkumpul

di

kavum

douglas

dan

akan

membentuk

hematokel

retrouterina.
c. Ruptur dinding tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstitialis
terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan
ruptur ialah penembusan villi koriales ke dalam lapisan muskularis tuba
terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena
trauma ringan. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui
ostium tuba abdominale. Bila ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder
dapat terjadi. Dalam hal ini, dinding tuba yang telah menipis oleh invasi

trofoblas, pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur


terjadi di arah ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter
antara 2 lapisan ligamentum tersebut. Jika janin hidup terus, dapat terjadi
kehamilan intraligamenter.
Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba,
tetapi bila robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi
dikeluarkan dari tuba. Nasib janin bergantung pada tuanya kehamilan dan
kerusakan yang diderita. Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorpsi
seluruhnya, dan bila besar dapat diubah menjadi litopedion.
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh
kantong amnion dan dengan plasenta masih utuh kemungkinan tumbuh
terus dalam rongga perut, sehingga terjadi kehamilan ektpik lanjut atau
kehamilan

abdominal

sekunder.

Untuk

mencukupi

kebutuhan

makananbagi janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke


jaringan sekitarnya misalnya ke sebagian uterus, ligamentum latum, dasar
panggul dan usus.
6. Manifestasi Klinis
Presentasi pasien di paling awal dan lebih tepat diagnosa dengan
menggunakan teknologi dapat mengidentifikasi kehamilan ektopik tuba
sebelum ruptur. Pada kasus ini, tanda dan gejala dari kehamilan ektopik
tidak terlihat. Para wanita tidak menduga bahwa dia mengalami kehamilan
tuba dan mengasumsikan bahwa dia memiliki awal kehamilan yang
normal atau mengalami keguguran. 3
Diagnosa selanjutnya, dilihat dari trias klasik presentasinya yaitu
terlambat haid, nyeri, dan perdarahan vagina. Dengan ruptur tuba, terjadi
nyeri perut bawah dan pelvis yang hebat dideskripsikan tajam, menusuk,
dan cepat sekali. Terdapat nyeri tekan selama palpasi abdomen.
Pemeriksaan pelvis bimanual, terutama gerakkan serviks, menyebabkan
nyeri yang hebat. Fornix posterior vagina mengalami penonjolan dari
darah di rektouterine cul-de-sac, atau tender, massa dapat dirasakan pada
salah satu sisi dari uterus. Walapun deteksi awal ini minimal, selanjutnya

uterus terdorong ke bagian tuba yang mengalami kehamilan ektopik.


Uterus juga mengalami sedikit pembesaran karena stimulasi hormonal.
Gejala dari iritasi diafragma, dikarakteristikkan dengan nyeri di leher atau
bahu, terutama saat inspirasi, meningkat pada sebagian wanita dengan
hemoperitonium yang cukup besar.3
Tabel Tanda dan Gejala Kehamilan Ektopik5
Nyeri abdomen
97%
Perdarahan pervaginam
79%
Nyeri tekan abdomen
91%
Nyeri di daerah adneksa
54%
Riwayat infertile
15%
Akseptor ADR
14%
Riwayat kehamilan ektopik
11%

7. Diagnosa Multimodalitas (Penegakan Diagnosa)

Tanda-tanda dan gejala baru timbul setelah ada gangguan. Gejala dan
tanda yang karakteristik pada kehamilan ektopik terganggu, antara lain :

ANANMESIS:
1. Mendadak rasa nyeri perut bagian bawah
2. Amenorrhea (75 % - 90 %)
3. Perdarahan pervaginam (50 % - 80 %)

4. Tanda-tanda kesakitan dan pucat


5. Tanda-tanda syok, seperti hipotensi
6. Suhu kadang naik sehingga sukar dibedakan dengan infeksi
pelvis
PEMERIKSAAN FISIK :
7. Perut lebih cembung dan nyeri tekan
8. Nyeri goyang serviks
9. Cavum Douglas menonjol dan nyeri raba
10. Massa pada pelvis atau hematokel pada pelvis
11. Anemia akut
Diluar dari kemajuan teknologi sekarang ini, kehamilan ektopik
sering salah terdiagnosis pada saat kunjungan pertama pasien tentang
keluhannya. Diagnosis awal diperlukan untuk perawatan yang maksimal
terhadap ketahanan tuba dan mencegah potensi terjadinya perdarahan
intraperitoneal. Atrash dkk. Menemukan bahwa perdarahan menjadi
penyebab terbesar (88%) kematian pada kasus kehamilan ektopik. Pada
saat ini, yang merupakan batu acuan untuk mendiagnosis kehamilan
ektopik adalah Transvaginal Ultrasonography dan pemeriksaan kadar
hCG

serial.

Transvaginal

Ultrasonography

sekarang

ini

telah

menggantikan posisi Laparaskopi karena lebih menguntungkan. 8


Beberapa prosedur yang dapat digunakan untuk membantu
mendiagnosis kehamilan ektopik adalah berikut ini :

Ultrasonography

Dengan menggunakan ultrasonografi abdominal, Kadar dkk.


melaporkan pada tahun 1981 bahwa jika level hCG lebih besar dari 6500
mIU/ml dan tidak ada kantong gestasi pada uterus, hampir pasti
kehamilan ektopik. Tapi, teknik ini tidak berguna secara klinik, karena
banyak wanita (90%) dengan kehamilan ektopik mempunyai level hCG
yang jauh dibawah nilai diatas.
Perkembangan alat dengan transduser transvaginal dengan
frekuensi 5.0 sampai 7.0 MHz, lebih mampu melihat lebih tepat organ
pelvis pada awal kehamilan dibandingkan transabdominal. Dengan alat ini
biasanya mungkin bisa untuk mengidentifikasi kantong gestasi intrauterine
saat kadar hCG mencapai 1500 mIU/ml dan selalu bila kadar hCG sudah
mencapai 2000 mIU/ml pada sekitar 5 atau 6 minggu setelah haid terakhir.
Karena kombinasi kehamilan intrauterine dan ekstrauterin hampir
merupakan kejadian yang jarang, maka penemuan kantong gestasi
intrauterine hampir selalu dapat menyingkirkan adanya kehamilan ektopik.
Bila kantong gestasi tidak ditemukan dan kadar hCG lebih dari 1500
mIU/ml, lebih mungkin terjadi kehamilan patologis, apakah itu kehamilan
ektopik, atau suatu gestasi intrauterine tidak viable, dan harus dipikirkan
kemungkinannya. Biasanya massa adneksa dan/atau struktur yang
menyerupai kantong gestasi dapat dikenali pada saluran telur saat
kehamilan ektopik muncul yang menghasilkan kadar hCG diatas 2500
mIU/ml.8
Jadi kriteria diagnosis USG dengan menggunakan transduser
transvagina untuk kehamilan ektopik termasuk adanya komplek atau
massa kistik adneksa atau terlihatnya embrio di adneksa dapat dideteksi,
dan/atau tidak adanya kantong gestasi dimana diketahui bahwa usia
gestasi sudah lebih dari 38 hari, dan/atau kadar hCG diatas ambang
tertentu, biasanya antara 1500 dan 2500 mIU/ml. 9

USG kehamilan ektopik

Human Chorionic Gonadotrophin

Wanita dengan kehamilan ektopik menunjukan adanya kadar hCG


dalam serum, walaupun 85% diantaranya lebih rendah dibandingkan
dengan kadar hCG pada kehamilan normal. Uji hCG tunggal kuantitatif
tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis kehamilan ektopik karena
tanggal pasti dari ovulasi dan konsepsi terjadi tidak diketahui pada banyak
wanita. Pada kehamilan yang abnormal seperti kehamilan ektopik ini,
kadar hCG biasanya tidak meningkat seperti seharusnya. Jika persentase
kenaikan kadar hCG tidak lebih dari 66%, maka kemungkinan seseorang
untuk mempunyai kehamilan abnormal tinggi.

Progesteron

Karena pemeriksaan kadar hCG secara tunggal tidak dapat


memberikan informasi untuk mendiagnosis kehamilan ektopik, sehingga

membutuhkan

beberapa

hari

untuk

melakukan

serial

tes,

maka

pengukuran kadar progesterone serum tunggal oleh beberapa kelompok


dapat dipakai untuk membedakan kehamilan ektopik dengan kehamilan
normal intrauterin. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa

jumlah

progesterone yang dihasilkan korpus luteum pada kehamilan ektopik lebih


sedikit dibandingkan dengan korpus luteum pada kehamilan normal.
Mengukur sampel kadar progesterone pada beberapa wanita hamil di
minggu gestasi ke 4, 5, dan 6. Mereka melaporkan bahwa pada minggu
ke-4 dengan kadar kurang dari 5 ng/ml, sensitifitas yang didapat 100%
dan spesifitasnya 97% dan menurun seiring meningkatnya umur gestasi.
Bila kadar progesterone lebih dari 25 ng/ml menyingkirkan kehamilan
ektopik

dengan

kepastian

97,4%.

Kadar

progesteron

5ng/ml

menyingkirkan kehamilan intrauterin normal dengan sensitivitas 100%.

Dilatase & Kuretase

Saat serum kadar hCG lebih dari 1500 mIU/ml, usia gestasi lebih
dari 38 hari, atau serum kadar progesterone kurang dari 5 ng/ml dan tidak
ada kantong gestasi interauterin yang terlihat denga transvaginal USG,
kuretase kavum endometrial dengan pemeriksaan histologi pada jaringan
yang dikerok, dengan potong beku bila mau, dapat dikerjakan untuk
menentukan apakah ada jaringan gestasi. Spandorfer dkk. melaporkan
bahwa potong beku 93 % akurat dalam mengenali villi koriales. Jika tidak
ada jaringan villi koriales yang terlihat pada jaringan yang diangkat, maka
diagnosis kehamilan ektopik dapat dibuat dan dilakukan tindakan.

Kuldosentesis

Sebelum adanya perkembangan dari sonografi pelvis, terutama


transvaginal, kuldosentesis merupakan salah satu alat bantu diagnosis
yang penting untuk mengenali kehamilan ektopik. Penemuan hasil darah
yang tidak membeku pada kuldosentesis dan terutama bila hematokrit
lebih dari 15 % adalah bantuan yang amat berguna. 9

Tujuan: untuk mengetahui apakah dalam Cavum Douglas terdapat


darah atau cairan lain. Cara ini tidak digunakan pada kehamilan ektopik
belum terganggu.
Teknik:
a.
b.

Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.


Vulva dan vagina dibersihkan dengan
antiseptik.

c.

Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio


dijepit dengan tenakulum, kemudian dilakukan traksi ke depan hingga

d.

forniks posterior ditampakkan.


Jarum spinal no.18 ditusukkan ke dalam
Cavum Douglas dan dilakukan pengisapan.

Gambar 2. Kuldosentesis
Hasil:
a. Kuldosentesis yang positif, bila dikeluarkan berupa darah tua berwarna
coklat sampai hitam yang tidak membeku atau berupa bekuan-bekuan
kecil.
b. Kuldosentesis yang negatif, bila yang ditemukan adalah cairan jernih
yang mungkin berasal dari cairan peritoneum normal atau kista ovarium
yang pecah.
c. Kuldosentesis yang non diagnostik, bila pada pengisapan tidak berhasil
dikeluarkan darah atau cairan lain.

Laparoskopi

Diagnosis definitif dari kehamilan ektopik dapat hampir selalu


ditegakkan dengan melihat organ pelvis secara langsung melalui
laparaskopi. Namun, dengan adanya hemoperitoneum, adhesi, atau
kegemukan dapat menjadi penyulit dari laparaskopi. Dalam penelitian ini
didapatkan ada 4 dari 166 kehamilan ektopik yang tidak dapat dilihat oleh
laparaskopis karena hal diatas, sehingga ada kemungkinan 2-5 % terjadi
false-positif atau false-negatif.1
8. PENATALAKSANAAN
Pilihan untuk terapi kehamilan ektopik tuba meliputi pendekatan
secara medis dan pembedahan. Terapi medis secara tradisional
melibatkan antimetabolite methotrexate. Pilihan pembedahan terutama
salpingostomy atau salpingectomy.3

Penatalaksanaan secara Medis


Pilihan Regimen
Methotrexate adalah antagonis

asam

folat

yang

akan

mempengaruhi sintesis DNA dan multiplikasi sel dengan cara menginhibisi


kerja enzim dihydrofolat reductae yang akan menghambat reduksi
dihydrofolat menjadi tetrahydrofolat, yang merupakan bentuk aktif asam
folat. Methotrexate sangat efektif melawan proliferasi jaringan, seperti
trofoblas.

Dan

tingkat

resolusi

kehamilan

ektopik

tuba

dengan

penggunaan ini sekitar 90%.3


Terapi dengan methotrexate adalah pilihan yang baik untuk
kehamilan yang berlokasi di cervix, atau ovarium, atau dalam interstitial,
atau bagian kornu tuba. Terapi pembedahan dalam kasus ini sering
dikaitkan dengan penigkatan risiko perdarahan, hasil dari histerektomi
atau oophorektomi.9
Namun, methotrexate secara langsung bersifat toksik terhadap
hepatosit dan diekskresikan melalui ginjal. Methotrexate ini merupakan
teratogen poten. Selain itu, methotrexate diekskresikan ke dalam ASI dan
dapat

terakumulasi

dalam

metabolisme sel neonatal.3

jaringan

neonatal

dan

mengganggu

Protokol Terapi Medis untuk Kehamilan Ektopik3


Single Dose
Dosis

Multidose

1 dosis, diulang bila Sampai 4 dosis untuk


perlu

kedua obat sampai


penurunan serum hCG 15%

Dosis Obat
Methotrexate

Leucovorine

50 mg/m2 BSA

(hari ke-1)
Tidak

1 mg/kg, hari ke-

1, 3, 5, dan 7
0,1 mg/kg, hari

diaplikasikan
Kadar serum -hCG

ke-2, 4, 6, dan 8

Hari ke-1 (baseline), Hari ke-1, 3, 5, dan 7


4, dan 7

Indikasi
Tambahan

Dosis

Jika kadar serum Jika


-hCG

serum

tidak menurun

-hCG
<15%,

menurun 15% dari berikan

dosis

hari ke-4 sampai tambahan;

ulang

serum -hCG dalam


hari ke-7
Menurun kurang 48
jam
dan
dari 15% selama bandingkan dengan
pengawasan

nilai

mingguan

maksimum 4 dosis

Pengawasan

Tiap minggu sampai

posttherapy

serum -hCG tidak


terdeteksi

Kontraindikasi Methotrexate:3
Sensitif terhadap Methotrexate
Tanda ruptur tuba
Sedang menyusui
Kehamilan intrauterin

sebelumnya;

Gangguan hepar, renal, atau hematologi


Ulkus peptikum
Penyakit paru aktif
Tanda imunodefisiensi

Untuk kemudahan dan lebih efektif, pemberian methotrexate


intramuskular lebih sering digunakan untuk kehamilan ektopik. 3
Indikasi Terapi
Terapi

medis

untuk

kehamilan

ektopik

yang

melibatkan

methotrexate dapat diindikasikan untuk pasien-pasien tertentu. Untuk


menentukan

kandidat

terbaik untuk

terapi

methotrexate,

pertama

menetapkan diagnose berdasarkan salah satu kriteria berikut: 9


Kadar -hCG abnormal 2 kali lipat dan identifikasi USG adanya
kantung gestasi di luar uterus
Kadar -hCG abnormal 2 kali lipat, uterus yang kosong,
aspirasi menstruasi tanpa villi chorionic.
Sejumlah faktor lain juga harus diperhatikan setelah diangosa
ditegakkan:9
Hemodinamik pasien harus stabil tanpa tanda-tanda ataupun
gejala perdarahan aktif atau hemoperitoneum (harus dipenuhi
oleh setiap pasien)
Pasien harus bisa dipercaya, sesuai, dan mau kembali untuk
follow-up (harus dipenuhi oleh setiap pasien)
Ukuran kehamilan tidak lebih dari 4 cm (atau lebih dari 3,5 cm
dengan aktivitas jantung) pada pengukuran ultrasonografi
Melebihi ukuran ini merupakan kontraindikasi relatif untuk terapi
medis
Tidak adanya aktivitas jantung janin dengan pemeriksaan
ultrasonografi Adanya aktivitas jantung janin merupakan
kontraindikasi relatif
Tidak ada tanda ruptur tuba Tanda ruptur tuba merupakan
kontraindikasi absolut
Kadar -hCG kurang dari 5000 mIU/mL kadar yang lebih
tinggi merupakan kontraindikasi relatif

Efek Samping Terapi


Efek samping terkait methotrexate ini harus dibedakan menjadi
efek samping obat dan efek terapi. Untuk efek samping obat seperti mual,
muntah, stomatitis, diare, pusing. Peningkatan enzim liver diketahui juga
terjadi. Reaksi yang serius seperti supresi sumsum tulang, dermatitis,
pleuritis, pneumonitis bisa terjadi pada penggunaan dosis tinggi, namun
jarang terjadi dengan dosis yang digunakan untuk kehamilan ektopik. 9
Efek terapi methotrexate meliputi peningkatan nyeri abdomen
(pada 2/3 pasien), peningkatan kadar -hCG selama 1-3 hari awal terapi,
dan perdarahan vagina atau bercak-bercak.9
Sebelum injeksi metotreksat, pasien harus diberi konseling
mengenai risiko, manfaat, dan efek samping dari pengobatan dan pada
kemungkinan kegagalan terapi medis, yang akan mengakibatkan ruptur
tuba dan membutuhkan pembedahan. Pasien harus menyadari tandatanda dan gejala yang berhubungan dengan ruptur tuba, dan disarankan
untuk menghubungi dokter dengan nyeri abdomen yang memburuk
secara signifikan, perdarahan vagina yang berat, pusing, takikardia,
palpitasi, atau sinkop.9
Kebanyakan pasien akan mengalami nyeri abdomen yang terjadi
pada 2-3 hari sesudah injeksi. Nyeri abdomen diyakini terjadi karena
pemisahan kehamilan dari tempat implantasinya. Nyeri ini berbeda
dengan nyeri karena ruptur tuba. Nyer ini biasanya lebih ringan, dengan
durasi antara 24-48 jam, dan tidak ada tanda-tanda akut abdomen dan
ketidakstabilan hemodinamik.9
Monitoring Keberhasilan Terapi
Level serum -hCG digunakan untuk memantau respon terhadap
terapi medis maupun pembedahan. Setelah salpingostomy linear, level
serum -hCG menurun secara cepat selama beberapa hari dan kemudian
secara bertahap, dengan waktu resolusi rata-rata 20 hari. Sebaliknya,

sesudah pemberian methotrexate dosis tunggal, level serum -hCG


meningkat selama 4 hari pertama dan kemudian menurun secara
bertahapm dengan waktu resolusi rata-rata 27 hari. Lipscomb dan rekanrekannya (1998) menggunakan methotrexate dosis tunggal berhasil
menerapi 287 wanita dan melaporkan rata-rata waktu resolusi, di mana
level serum -hCG <15 mIU/mL, adalah 34 hari. Waktu terlama adalah
109 hari.3
Monitoring terapi dosis tunggal untuk penentuan serum -hCG
dilakukan antara hari keempat dan ketujuh sesudah injeksi awal pada hari
pertama. Jika gagal menurunkan lebih dari 15%, maka dibutuhkan dosis
kedua methotrexate. Hal ini diperlukan pada 15%-20% wanita yang
diterapi dengan methotrexate dosis tunggal. Dengan methotrexate
multidose, pengukuran level serum -hCG dilakukan pada interval 48 jam
sampai menurun lebih dari 15%. Setelah menurun sampai tingkat yang
tepat, pengukuran serum -hCG dilakukan setiap minggu sampai sudah
tidak terdeteksi. Dianggap terjadi kegagalan apabila level -hCG tinggi,
atau meningkat, atau terjadi ruptur tuba. Ruptur tuba bisa terjadi dalam
penurunan level -hCG.3

Penatalaksanaan Pembedahan
Laparoskopi adalah terapi pembedahan yang dianjurkan untuk

kehamilan ektopik tuba, kecuali seorang wanita yang tidak stabil secara
hemodinamik.3
Laparatomi merupakan teknik yang lebih dipilih bila pasien secara
hemodinamik tidak stabil, operator yang tidak terlatih dengan laparaskopi,
fasilitas dan persediaan untuk melakukan laparaskopi kurang, atau ada
hambatan untuk melakukan laparaskopi (seperti pada hemoperitoneum
masif).9
Bedah tuba dianggap konservatif ketika ada penyelamatan tuba,
seperti

dengan

salpingostomi.

Bedah

radikal

dijelaskan

sebagai

salpingektomi.3
Salpingektomi dapat dilakukan dalam beberapa kondisi, yaitu : 10

Kondisi penderita buruk, misalnya dalam keadaan shock


Kondisi tuba buruk, terdapat jaringan parut yang tinggi

risikonya akan kehamilan ektopik berulang


Penderita menyadari kondisi fertilitasnya dan mengingini
fertilisasi

invitro,

maka

dalam

hal

ini

salpingektomi

mengurangi risiko kehamilan ektopik pada prosedur fertilisasi

invitro
Penderita tidak ingin mempunyai anak lagi

Apabila

tindakan

konservatif

dipikirkan,

maka

harus

dipertimbangkan : 10

Kondisi tuba yang mengalami kehamilan ektopik, yaitu


berapa panjang bagian yang rusak dan berapa panjang
bagian yang masih sehat, berapa luas mesosalping yang

rusak, dan berapa luas pembuluh darah tuba yang rusak.


Kemampuan operator akan teknik bedah mikro dan
kelengkapan alatnya, oleh karena pelaksanaan teknik
pembedahan harus sama seperti pelaksanaan bedah mikro.

Salpingostomi
Prosedur ini biasanya digunakan untuk mengatasi kehamilan kecil

tanpa ruptur yang biasanya panjang <2 cm dan terletak di sepertiga distal
tuba fallopi.3
Pada salpingostomi dilakukan insisi longitudinal di permukaan
kantung kehamilan ektopik di sisi tuba yang berlawanan dengan
mesosalping. Insisi bisa dilakukan dengan pisau, atau lebih baik
menggunakan kauter atau laser yang mempunyai efek hemostasis. 10
Kemudian

hasil

konsepsi

dikeluarkan

melalui

luka

insisi

menggunakan klem penjepit (grasping forceps). Jaringan nekrotik dan sisa


jaringan trofoblas tidak perlu dikeluarkan semuanya karena akan
menyebabkan perdarahan yang bila tidak teratasi maka harus dilakukan
salpingekomi. Ada yang menganjurkan penyuntikan larutan piretsin encer
sepanjang sisi operasi untuk mengurangi perdarahan, namun hal ini
dikhawatirkan

hanya

bersifat sementara dan justru dapat timbul

perdarahan susulan setelah operasi selesai.10


Luka insisi dapat dijahit atau dibiarkan tetap terbuka. Yang
menganjurkan penjahitan memberi alasan bahwa hal ini untuk hemostasis
dan mencegah adhesi pasca bedah. Yang membiarkan tetap terbuka
memberi alasan bahwa hal ini mengurangi iskemia jaringan dan dengan
demikian mengurangi kemungkinan adhesi. 10

Salpingektomi
Teknik salpingektomi :10
1.

Setelah peritoneum dibuka dan tuba yang sakit telah


diidentifikasi, maka tuba dipegang dengan ibu jari dan jari
telunjuk, kemudian diangkat ke atas agar pembuluh-

2.

pembuluh darah tuba di daerah mesosalping menjadi jelas.


Mesosalping dijepit dengan dua buah klem Kelly mulai dari
bagian fimbria tuba, sedekat mungkin dengan tuba, untuk
menghindari perusakan pembuluh darah yang ke ovarium.

3.

Mesosalping di antara kedua klem Kelly digunting atau


disayat dengan pisau. Klem pertama di sisi tuba dibiarkan
tetap menjepit untuk mencegah perdarahan balik dan
mempermudah mengangkat tuba. Jaringan di sisi klem

4.

kedua diikat dengan jahitan cat-gut kromik.


Prosedur tersebut diulangi menyusuri tuba sampai di daerah

5.

tuba memasuki kornu uterus.


Operator mengangkat tuba sedemikian rupa sehingga insersi
tuba di daerah kornu uterus tampak jelas. Dilakukan jahitan
matras ke dalam otot uterus di bawah insersi tuba. Jahitan ini

6.

dibiarkan lepas, tidak diikat dulu.


Tuba dipotong di daerah insersinya dalam sayatan baji.

7.

Jahitan matras diikat dan perdarahan akan berhenti.


Tunggul-tunggul ikatan pada mesosalping dbenamkan dalam
lipatan peritoneum dengan menggunakan jahitan satu

8.

persatu atau delujur.


Ligamentum rotundum didekatkan ke kornu dan dijahitkan ke
dinding belakang uterus, sehingga menutupi daerah luka

9.

operasi tuba.
Keuntungan reseksi tuba di daerah kornu ialah mengurangi
sisa tuba, sehingga mencegah kemungkinan kehamilan di
daerah itu. Kerugiannya ialah menimbulkan titik lemah di
uterus yang dapat menjadi faktor predisposisi ruptur uteri
pada kehamilan berikutnya.

9. KOMPLIKASI
1. Pecahnya tuba falopi
2. bila kehamilan ektopik terganggu telah lama berlangsung (46 minggu), terjadi perdarahan ulang
3. Infeksi
4. Sterilitas
10. PROGNOSIS
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung
menurun dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup
tetapi bila pertolongan terlambat angka kematian dapat meningkat. 2
Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan
ektopik bersifat bilateral. Sebagian wanita setelah mengalami
kehamilan ektopik pada satu tuba, dapat mengalami kehamilan
ektopik lagi pada tuba yang lain. Ruptur dengan perdarahan
intraabdominal dapat mempengaruhi fertilitas wanita. Dalam kasuskasus kehamilan ektopik terganggu terdapat 50-60% kemungkinan
wanita steril.2
Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan antara 014,6%. Ibu yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu
mempunyai

risiko

10%

untuk

terjadinya

kehamilan

ektopik

terganggu berulang. Ibu yang sudah mengalami kehamilan ektopik


terganggu

sebanyak

dua

kali

terdapat

kemungkinan

50%

mengalami kehamilan ektopik terganggu berulang. Untuk wanita


dengan anak yang sudah cukup sebaiknya pada operasi dilakukan
salfingektomi bilateral.2

DAFTAR PUSTAKA
1. Prawirohardjo, Sarwono. 2005. Kehamilan Ektopik dalam Ilmu Kebidanan.
Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2. http://digilib.unsri.ac.id/download/Kehamilan%20Ektopik.pdf.
3. Cunningham, F.G et al. 2014. William Obstetrics 24th edition. New York:
Mc Graw Hill Medical Publising Division.
4. Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Kehamilan Ektopik dalam Ilmu Kandungan.
Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
5. Drife, J. 2001. Turnbulls Obstetrics 3rd edition. London : Churchill
Livingstone.
6. Pawitra HW. 2012. Kehamilan Ektopik Terganggu. Malang : Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Malang.
7. Deanette M. R. Aling, Juneke J. Kaeng, John Wantania. 2014. Hubungan
Penggunaan Kontrasepsi dengan Kejadian Kehamilan Ektopik Terganggu
di Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode 2009 2013. Jurnal
e-Clinic (eCl), Volume 2, Nomor 3, November 2014.
8. Standar Tatalaksana Medis Rumah Sakit Fatmawati. 2002. Kehamilan
ektopik Terganggu. Jakarta.
9. Sepilian,

Vicken;

Ellen

W.

Ectopic

Pregnancy.

www.emedicine.com/health/topic3212.html
10. Prawirohardjo, Sarwono.2007. Kehamilan Ektopik dalam Ilmu Bedah
Kebidanan. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
11. Griebel, C.P., Halvorsen, J., Golemon, T.B., and Day, A. A. 2005.
Management of Spontaneous Abortion. American Family Physician 72 (7) :
1243-1250.
12. Puscheck, E.E., 2010. Early Pregnancy Loss Workup, Medscape
Reference. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/266317workup#a0720.
13. Sastrawinata, S., Martaadisoebrata, D., and Wirakusumah, F.F., 2005.
Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi. 2nd ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

14. World Health Organization, GENEVA, 1994. Clinical Management of


Abortion Complications: A Practical Guide. Maternal Health and Safe
Motherhood Programme, Division of Family Health.

Anda mungkin juga menyukai