Anda di halaman 1dari 7

A.

Pengertian
Abortus didefinisikan sebagai berakhirnya kehamilan sebelum janin mampu
hidup di luar rahim (viable), yaitu sebelum usia kehamilan 20 minggu atau berat janin
belum mencapai 500 g (Kurniati et al., 2020). Abortus Imminens adalah terjadinya
perdarahan bercak yang menunjukan ancaman terhadap kelangsungan suatu kehamilan.
Dalam kondisi seperti ini kehamilan masih mungkin berlanjut atau dipertahankan,
ditandai dengan perdarahan bercak hingga sedang, serviks tertutup (karena pada saat
pemeriksaan dalam belum ada pembukaan), uterus sesuai usia gestasi, kram perut bawah,
nyeri memilin karena kontraksi tidak ada atau sedikit sekali, tidak ditemukan kelainan
pada serviks (Rukiyah, 2010) dalam (Rangkuti et al., 2019).
Abortus imminens ditandai dengan perdarahan pervaginam yang terjadi pada
kehamilan sebelum usia dua puluh minggu, tanpa adanya hasil konsepsi yang keluar dari
uterus, dapat disertai kontraksi dan dilatasi uterus. Abortus imminens perlu mendapatkan
penanganan yang baik, karena beresiko untuk berlanjut menjadi abortus inkomplet
sehingga membutuhkan perawatan untuk mengatasi perdarahan (Wibowo B. &
Wiknjosastro G.H., 2002) dalam (Nurbaiti et all., 2019).
B. Etiology
Menurut Cunningham (2014) hal-hal yang dapat menyebabkan abortus,
dikelompokkan menjadi 3 faktor yaitu :
1. Faktor Fetal
Temuan morfologis yang paling sering terjadi dalam abortus dini spontan adalah
kelainan perkembangan zigot, embrio fase awal janin, atau kadang-kadang plasenta.
Perkembangan janin yang abnormal, khususnya dalam trimester pertama kehamilan,
dapat diklasifikasikan menjadi perkembangan janin dengan kromosom yang
jumlahnya abnormal (aneuploidi) atau perkembangan janin dengan komponen
kromosom yang normal (euploidi). Disebabkan oleh; kelainan genetik, berbagai
faktor ibu, mungkin beberapa faktor ayah.
2. Faktor Maternal
a. Infeksi
Beberapa infeksi kronis pernah terlibat atau sangat dicurigai sebagai penyebab
abortus, diantaranya Listeria monocytogenes dan Toxoplasma.
b. Penyakit kronik
Pada awal kehamilan, penyakit kronik yang menyebabkan penyusutan tubuh,
misalnya tuberculosis atau karsinomatosis jarang menyebabkan abortus.
Hipertensi jarang menyebabkan abortus di bawah 20 minggu, tetapi dapat
menyebabkan kematian janin dan kelahiran preterm. Penyakit ibu dapat secara
langsung memengaruhi pertumbuhan janin dalam kandungan melalui plasenta.
Penyakit infeksi seperti pneumonia, tifus abdominalis, malaria, dan sifilis.
Anemia ibu melalui gangguan nutrisi dan peredaran O2 menuju sirkulasi
retroplasenta. Dan penyakit menahun seperti hipertensi, penyakit ginjal, penyakit
hati, dan penyakit diabetes mellitus.Universitas
c. Nutrisi
Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa defisiensi salah satu zat gizi merupakan
penyebab abortus.Mual dan muntah yang timbul agak sering pada awal
kehamilan, dan semua penyakit yang dipicunya, jarang diikuti oleh abortus
spontan.
d. Pemakaian obat dan faktor lingkungan Berbagai zat dilaporkan berperan, tetapi
belum dapat dipastikan sebagai penyebab meningkatnya insidensi abortus
seperti : tembakau, alkohol, kafein, sinar radiasi, dll.Universitas
e. Faktor imunologis
Ada dua mekanisme utama pada abnormalitas imunologis yang berhubungan
dengan abortus, yaitu :mekanisme autoimun (imunitas terhadap tubuh sendiri)
dan mekanisme aloimun (imunitas terhadap orang lain).
f. Trauma fisik
Trauma yang tidak menyebabkan terhentinya kehamilan sering dilupakan.Yang di
ingat hanya kejadian tertentu yang tampaknya mengakibatkan abortus.
g. Umur Ibu
Menurut Wiknjosastro (2010) umur adalah usia, masa dalam perjalanan hidup
manusia. Salah satu faktor risiko terjadinya komplikasi kebidanan adalah usia <
20 tahun atau >35 tahun. Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman
untuk kehamilan dan persalinan adalah usia 20 - 35 tahun. reproduksinya belum
sepenuhnya optimal dikarenakan rahim belum mampu memberikan perlindungan
atau kondisi yang maksimal untuk kehamilan sehingga dampaknya pertumbuhan
janin terhambat dan tidak sempurna, dari segi psikis belum matang dalam
menghadapi tuntutan beban moril, dan emosional yang berdampak pada perilaku
kurang merawat dan menjaga kehamilannya secara hati-hati, dan darisegi medis
sering mendapat gangguan akibat keadaan rahim yangbelum siap dan matang
untuk pertumbuhan dan perkembangan janin ditambah dengan tekanan stress,
psikologi dan sosial sehingga memudahkan terjadinya abortus. Sedangkan di usia
lebih dari 35 tahun, sebagian wanita digolongkan pada kehamilan berisiko tinggi
dikarenakan pada usia ini kondisi tubuh dan kesehatan wanita mengalami
penurunan dan elastisitas dari otot-otot panggul dan sekitarnya serta alat-alat
reproduksi juga mengalami kemunduran (Cunningham, 2014).
h. Usia Kehamilan
Menurut Wiknjosastro pada (2010) pada kehamilan kurang dari 8 minggu villi
koriales belum menembus desidua secara mendalam sehingga pada umumnya
perdarahan tidak terlalu banyak. Pada kehamilan antara 8-14 minggu villi koriales
menembus desidua lebih dalam, sehingga umumnya dapat menyebabkan banyak
perdarahan. abortus imminens juga terjadi dapat pada usia kehamilan risiko
rendah karena pada dasarnya setiap ibu hamil mempunyai risiko untuk terjadi
abortus imminens, bila tidak ditangani dan dicegah dengan asuhan kebidanan
yang lebih baik. Sedangkan perdarahan yang banyak dapat terjadi pada usia
kehamilan risiko tinggi dengan kejadian abortus imminens. Perdarahan tersebut
dapat diatasi dengan istirahat total ditempat tidur sampai perdarahan berhenti dan
kehamilan masih dalam kondisi yang baik dan jika perdarahan telah berhenti ibu
tidak boleh melakukan pekerjaan yang berat selama hamil, menghindari
hubungan seksual yang berlebihan sewaktu hamil, dan lain-lain.
i. Paritas
Pada kehamilan, rahim ibu teregang oleh adanya janin. Bila terlalu sering
melahirkan, rahim ibu akan semakin lemah. Bila ibu telah melahirkan 4 anak atau
lebih, maka perlu diwaspadai adanya gangguan pada waktu kehamilan, persalina,
dan nifas. Risiko abortus spontan meningkat seiring dengan paritas ibu
(Cunningham, 2014). Risiko abortus akan semakin meningkat dengan
bertambahnya paritas dan di samping semakin lanjutnya usia ibu.
j. Riwayat Abortus
Riwayat abortus pada penderita abortus merupakan predisposisi terjadinya
abortus berulang. Kejadiannya sekitar 3-5%. Data dari beberapa studi
menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus pasangan punya risiko 15% untuk
mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali, risikonya akan
meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko abortus setelah 3 kali
abortus berurutan adalah 30-45% (Prawirohardjo, 2014).
3. Faktor Paternal
Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan faktor paternal dalam
proses timbulnya abortus spontan. Translokasi kromosom dalam sperma dapat
menimbulkan zigot yang mendapat bahan kromosom terlalu sedikit atau terlalu banyak,
sehingga terjadi abortus. Jika penyebab gangguan ini tergolong parah dan tidak bisa
diatasi serta dapat mengancam keselamatan jiwa sang ibu serta si jabang bayi, maka
kehamilan tidak akan dilanjutkan. Sementara itu jika dipertahankan, selain adanya
berbagai treatment yang harus dilakukan, ada pula beberapa risiko yang mungkin terjadi,
di antaranya adalah kelahiran prematur, bayi dengan berat badan lahir yang rendah,
pendarahan antepartum, ketuban pecah dini hingga keguguran atau kematian janin.
Karena itu, jika setelah abortus imminens ini kehamilan masih dilanjutkan, pemeriksaan
rutin, istirahat yang cukup serta makanan bernutrisi tinggi menjadi kebutuhan yang harus
dipenuh
C. Manifestasi Klinis
Adanya perdarahan pada awal kehamilan melalui ostium uteri eksternum, disertai
nyeri perut ringan atau tidak sama sekali. Adanya gejala nyeri perut dan punggung
belakang yang semakin hari bertambah buruk dengan atau tanpa kelemahan dan uterus
membesar sesuai usia kehamilan (Ilhaini, 2013) dalam (Rangkuti et al., 2019).
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaaan Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi dengan teknik transvaginal pada pasien ini sudah
dilakukan dengan tepat. Persiapan pasien dengan mengosongkan vesica urinaria
sesuai dengan panduan teknik ultrasonografi. Penatalaksanaan elektif pasien dengan
kehamilan trimester pertama melalui pemeriksaan ultrasonografi transvaginal perlu
dilakukan dalam kondisi vesica urinaria yang tidak terisi penuh. Untuk itu pada
tahap persiapan pasien dalam terlebih dahulu berkemih (Abuhamad A., et al., 2014).
Kondisi abortus imminens pada gambaran ultrasonografi antara lain ditandai dengan
adanya gambaran crown-rump cavum uteri length (CRL) terlihat lebih kecil daripada
kantung gestational sac yang merupakan tanda awal dari pertumbuhan janin
terhambat, bentuk yolk sac, ukuran dan jarak dari embrio, struktur kantung
gestational sac terletak dalam, dan berat janin kurang dari 500 gram (Endjun J.J.,
2017) dalam (Nurbaiti et all., 2019)
E. Penatalaksanaan
Adapun langkah-langkah praktis yang bisa dilakukan untuk memperkecil risiko
terjadinya abortus imminens adalah sebagai berikut :
1. Rutin memeriksakan diri ke dokter, berkonsultasi dan menjalani test USG. cara ini
setidaknya dapat membuat ibu, mengetahui gejala kelainan dalam kandungan sedini
mungkin sehingga. Jika terjadi kelainan, bisa cepat dilakukan tindakan
penyelamatan untuk menghindari risiko yang lebih tinggi.
2. Mempersiapkan kehamilan sebaik-baiknya, semisal mencukupi asupan nutrisi ibu
hamil, mempertebal daya tahan tubuh atau jika diperlukan, melakukan terapi untuk
mengobati penyakit akut (seperti typhus, malaria, pielonefritis, pneumonia dan lain-
lain) atau kronis (TBC, anemia berat, laparatomi dan lain lain) baik yang diderita
calon bapak maupun calon ibu. Selain dapat menular pada bayi, penyakit-penyakit
tertentu yang diderita calon bapak/ibu juga dapat menghambat proses kehamilan.
3. Selektif dalam mengkonsumsi obat dan berkonsultasi terlebih dahulu apakah sebuah
obat aman dikonsumsi ibu hamil atau tidak. Istirahat yang cukup dan menenangkan
pikiran. Salah satu sebab yang dapat memicu terjadinya abortus imminens adalah
tekanan psikologis seperti trauma, keterkejutan yang sangat atau rasa ketakutan yang
luar biasa. Karena itu, ibu hamil harus mengkondisikan pikirannya agar sebisa
mungkin rileks dan santai. Peran dan dukungan dari orang-orang terdekat juga amat
diperlukan dalam upaya menciptakan keadaan kondusif
4. Mengatur jarak kehamilan
5. Mengonsumsi vitamin dan nutrisi-nutrisi lain yang diperlukan tubuh
6. Antenatal care (ANC), disebut juga prenatal care, merupakan intervensi
7. lengkap pada wanita hamil yang bertujuan untuk mencegah atau mengidentifikasi
dan mengobati kondisi yang mengancam kesehatan fetus/bayi baru lahir dan/atau
ibu, dan membantu wanita dalam menghadapi kehamilan dan kelahiran sebagai
pengalaman yang menyenangkan. Penelitian observasional menunjukkan bahwa
ANC mencegah masalah kesehatan pada ibu dan bayi.
F. Penanganan
Pada ibu dengan kasus abortus imminens, biasanya tidak perlu pengobatan
khusus/medik, hanya dapat diberi sedativa, misalnya dengan luminal, codein dan
morfin (sesuai protap dan instruksi dokter). Keluarnya fetus masih dapat dicegah dengan
memberi obat-obatan hormonal dan antispamodika dan untuk mengurangi kerentanan
otot-otot uterus, misal:gestanon (Rukiyah, 2010).
Penderita diminta untuk melakukan tirah baring sampai perdarahan berhenti.Bisa
diberi spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi tambahan hormon
progesteron atau derivatnya untuk mencegah terjadinya abortus. Obat-obatan ini
walaupun secara statistik kegunaannya tidak bermakna, tetapi efek psikologisnya
kepada penderita sangat menguntungkan. Penderita boleh dipulangkan setelah tidak
terjadi perdarahan dengan pesan khusus tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai
lebih kurang 2 minggu (Prawirohardjo, 2014). Jika perdarahan berhenti lakukan asuhan
antenatal seperti biasa, lakukan penilaian jika perdarahan terjadi lagi. Sementara jika
perdarahn terus berlangsung nilai kondisi janin (uji kehamilan atau USG), lakukan
konfirmasi kemungkinan adanya penyebab lain (hamil ektopik/mola) kemudian jika
perdarahan setelah beberapa minggu masih ada, maka perlu ditentukan apakah
kehamilan masih baik atau tidak. Apabila reaksi kehamilan 2 kali berturut-turut negatif
maka sebaiknya uterus dikosongkan.
Pada fasilitas kesehatan dengan sarana terbatas, pemantauan hanya dilakukan
melalui ganjalan klinik dan hasil pemeriksaan; jika perdarahan yang disebabkan erosi,
maka erosi diberi nitras argentil 5-10 %. Apabila sebabnya polyp, maka polyp diputar
dengan cunam sampai tangkainya putus (Rukiyah, 2010)
DAFTAR PUSTAKA
Kurniati, I. D., Setiawan, R., Rohmani, A., Lahdji, A., Tajally, A., Ratnaningrum, K., Basuki,
R., Reviewer, S., Wahab, Z., & RI, K. K. (2020). Pedoman nasional asuhan pasca
keguguran yang komprehensif. In Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Nurbaiti et all. (2019). Identifikasi Abortus Imminens Pada Trimester Pertama Kehamilan
Dengan Modalitas Ultrasonografi. Jurnal Vokasi Kesehatan, 5(2), 72–76.
Rangkuti, L. F., Sanusi, S. R., & Lutan, D. (2019). Penyakit Ibu Terhadap Kejadian Abortus
Imminens Di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padangsidimpuan. Jurnal Muara Sains,
Teknologi, Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan, 3(1), 29.
https://doi.org/10.24912/jmstkik.v3i1.1793

Anda mungkin juga menyukai