Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN ANESTESI REFERAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN MARET 2019


FAKULTAS KEDOKTERAN

NYERI KANKER

OLEH:
Muhamad Azrul Bin Awalludin C014172216
Said Jamalullail Bin Ali C014172192
Shahzrin Haizad Bin Said C014172211

PEMBIMBING RESIDEN
dr. Yoga Syafruddin nur
dr. Ahmad Ulil Albab
dr. Aznurhazmi

SUPERVISOR
dr. Alamsyah Irwan M.Kes Sp. An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

i
PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini, menyatakan bahwa:


Nama : Said Jamalullail Bin Ali C014172192
Muhamad Azrul Bin Awalludin, C014172216
Shahzrin Haizad Bin Said C014172211

Judul Referat : Nyeri Kanker

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Kedokteran Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

Makassar, Maret 2019

Supervisor Pembimbing

dr. Alamsyah Irwan M.Kes Sp. An

ii
DAFTAR ISI

PENGESAHAN................................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................iii
BAB I...................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................... 1
BAB II .................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 2
ANATOMI DAN FISIOLOGI NYERI ............................................. 2
PATOFISIOLOGI NYERI SECARA UMUM .................................. 6
PATOFISIOLOGI NYERI PADA KANKER ................................... 8
TATALAKSANA NYERI PADA PENYAKIT KANKER ............. 15
BAB III ................................................................................................. 26
KESIMPULAN .................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 27

iii
NYERI KANKER

BAB I
PENDAHULUAN

Kewajiban ilmu kedokteran ialah untuk menjaga dan mengembalikan kesehatan


dan meringankan penderitaan. Konsep ini membuat para dokter harus memiliki
pemahaman terhadap nyeri sebagai mekanisme yang dapat memproteksi tubuh
ataupun tanda adanya suatu penyakit, dan mengambil sikap yang tepat. Walaupun
kanker memiliki gejala gangguan fisik yang beranekaragam, keluhan nyeri pada
kanker sering dianggap yang paling penting. Nyeri yang tidak teratasi akan
mempengaruhi kualitas hidup dan menurunkan kemampuan dalam menjalani terapi
untuk kembali sehat ataupun untuk mendapatkan proses kematian yang tenang.

Prevalensi nyeri pada kanker diperkirakan sebesar 25% pada pasien yang baru
terdiagnosis, 33% pada pasien yang sedang menjalani terapi dan 64% pada stadium
akhir. Nyeri kronik juga dialami pada pasien kanker yang sudah menjalani terapi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya nyeri kronik pada pasien kanker adalah
kemoterapi, radioterapi dan pembedahan.

ESMO dan komunitas nyeri internasional telah mengidentifikasi nyeri pada


kanker sebagai masalah kesehatan global. Prevalensi nyeri yang tinggi pada negara
berkembang diakibatkan karena keterlambatan diagnosis dan terhalangnya akses ke
penggunaan opioid.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI DAN FISIOLOGI NYERI

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah


perasaan sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang dihubungkan
dengan kerusakan jaringan yang telah ada atau akan terjadi atau digambarkan seperti
mengalami kerusakan jaringan1

Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi,


sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan dan
pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri : tranduksi, transmisi,
modulasi, dan persepsi.1

Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan


stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif. Ada tiga tipe serabut
saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-beta, A-delta, dan C. Serabut
yang berespon secara maksimal terhadap stimulasi non noksius dikelompokkan
sebagai serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini adalah A-delta dan C.
Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses transduksi, merupakan serabut saraf
aferen yang tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal tanpa adanya mediator
inflamasi.2,3

Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu


dorsalis medulla spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak. Neuron
aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal elektrik dan

2
kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya
berhubungan dengan banyak neuron spinal.2,3

Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related
neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan
mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu, kappa,
dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur
desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak
tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil
dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan penghambatan
(blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.2,3

Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi merupakan


hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek psikologis, dan
karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi
untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri
adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat
yang secaara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara
anatomis, reseptor nyeri (nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak
bermiyelin dari syaraf aferen. 2,3

Jalur Nyeri di Sistem Syaraf Pusat

Jalur Asenden

Serabut saraf C dan A delta halus, yang masing-masing membawa nyeri akut
tajam dan kronik lambat, bersinap disubstansia gelatinosa kornu dorsalis, memotong
medula spinalis dan naik ke otak di cabang neospinotalamikus atau cabang
paleospinotalamikus traktus spino talamikus anterolateralis. Traktus
neospinotalamikus yang terutama diaktifkan oleh aferen perifer A delta, bersinap di

3
nucleus ventropostero lateralis (VPN) talamus dan melanjutkan diri secara langsung
ke kortek somato sensorik girus pasca sentralis, tempat nyeri dipersepsikan sebagai
sensasi yang tajam dan berbatas tegas. Cabang paleospinotalamikus, yang terutama
diaktifkan oleh aferen perifer serabt saraf C adalah suatu jalur difus yang mengirim
kolateral-kolateral ke formatio retikularis batang otak dan struktur lain. Serat-serat ini
mempengaruhi hipotalamus dan sistem limbik serta kortek serebri 2,3,4

Jalur Desenden

Salah satu jalur desenden yang telah di identifikasi adalah mencakup 3 komponen
yaitu :

a. Bagian pertama adalah substansia grisea periaquaductus (PAG ) dan substansia


grisea periventrikel mesenssefalon dan pons bagian atas yang mengelilingi
aquaductus Sylvius.

b. Neuron-neuron di daerah satu mengirim impuls ke nukleus ravemaknus (NRM)


yang terletak di pons bagian bawah dan medula oblongata bagian atas dan nukleus
retikularis paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis.

c. Impuls ditransmisikan ke bawah menuju kolumna dorsalis medula spinalis ke suatu


komplek inhibitorik nyeri yang terletak di kornu dorsalis medula spinalis.2,3,4

4
Transmisi Nyeri
Terdapat beberapa teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosiseptor dapat
menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba
menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri
dianggap paling relevan.

a. Teori Spesivisitas (Specivity Theory)


Teori ini digambarkan oleh Descartes pada abad ke 17. teori ini didasarkan
pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara khusus mentransmisi rasa
nyeri. Syaraf ini diyakini dapat menerima rangsangan nyeri dan mentransmisikannya
melalui ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke talamus, yang akhirnya akan
dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul respon nyeri. Teori ini
tidak menjelaskan bagaimana faktor-faktor multi dimensional dapat mempengaruhi
nyeri.

b. Teori Pola (Pattern Theory)


Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri yaitu serabut yang
mampu menghantarkan rangsang dengan cepat dan serabut yang mampu

5
menghantarkan dengan lambat. Dua serabut syaraf tersebut bersinaps pada medula
spinalis dan meneruskan informasi ke otak mengenai sejumlah intensitas dan tipe
input sensori nyeri yang menafsirkan karakter dan kualitas input sensasi nyeri.

c. Teori Gerbang Kendali Nyeri ( Gate Control Theory )

Tahun 1959 Milzack dan Wall menjelaskan teori gerbang kendali nyeri, yang
menyatakanterdapat semacam pintu gerbang yang dapatmemfasilitasi transmisi sinyal
nyeri Gate Control Theory merupakan model modulasi nyeri yang populer. Teori ini
menyatakan eksistensi dari kemampuan endogen untuk mengurangi dan
meningkatkan derajat perasaan nyeri melalui modulasi impuls yang masuk pada
kornu dorsalis melalui “gate” (gerbang). Berdasarkan sinyal dari sistem asendens dan
desendens maka input akan ditimbang. Integrasi semua input dari neuron sensorik,
yaitu pada level medulla spinalis yang sesuai, dan ketentuan apakah gate akan
menutup atau membuka, akan meningkatkan atau mengurangi intensitas nyeri
asendens. Gate Control Theor y ini mengakomodir variabel psikologis dalam persepsi
nyeri, termasuk motivasi untuk bebas dari nyeri, dan peranan pikiran, emosi, dan
reaksi stress dalam meningkatkan atau menurunkan sensasi nyeri. Melalui model ini,
dapat dimengerti bahwa nyeri dapat dikontrol oleh manipulasi farmakologis maupun
intervensi psikologis 5

PATOFISIOLOGI NYERI SECARA UMUM

Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bisa intesitas tinggi
maupun rendah seperti perennggangan dan suhu serta oleh lesi jaringan. Sel yang
mengalami nekrotik akan merilis K + dan protein intraseluler . Peningkatan kadar K
+ ekstraseluler akan menyebabkan depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada

6
beberapa keadaan akan menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan
peradangan / inflamasi. Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien,
prostaglandin E2, dan histamine yang akan merangasng nosiseptor sehingga
rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia
atau allodynia). Selain itu lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga
bradikinin dan serotonin akan terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi
oklusi pembuluh darah maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi
K + ekstraseluler dan H + yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin,
bradikinin, dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan jaringan
meningkat dan juga terjadi Perangsangan nosiseptor. Bila nosiseptor terangsang maka
mereka melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitonin gen terkait peptida
(CGRP), yang akan merangsang proses inflamasi dan juga menghasilkan vasodilatasi
dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Vasokonstriksi (oleh serotonin),
diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga bertanggung jawab untuk serangan migrain .
Peransangan nosiseptor inilah yang menyebabkan nyeri.2,3,4

7
PATOFISIOLOGI NYERI PADA KANKER

Patofisiologi nyeri diawali dengan pengeluaran mediator-mediator inflamasi,


seperti bradikinin, prostaglandin (PGE2 dan PGEa), histamin, serotonin, dan
substansi P yang akan merangsang ujung-ujung saraf bebas. Stimulus ini akan
diubah menjadi impuls listrik yang dihantarkan melalui saraf menuju ke sistem
saraf pusat. Adanya impuls nyeri akan menyebabkan keluarnya endorfin yang
akan berikatan dengan reseptor m, d, dan k di sistem saraf pusat. Terikatnya
endorfin pada reseptor tersebut akan menyebabkan hambatan pengeluaran
mediator di perifer, sehingga akan menghambat penghantaran impuls nyeri ke
otak.5

Pada keganasan, nyeri yang disebabkan oleh aktivasi nosiseptor disebut nyeri
nosiseptif; sedangkan nyeri yang ditimbulkan oleh gangguan pada system saraf
disebut nyeri neuropatik.

Nyeri nosiseptif terjadi akibat kerusakan jaringan yang potensial yang dapat
disebabkan oleh penekanan langsung tumor, trauma, inflamasi, atau infiltrasi ke
jaringan yang sehat dan dapat berupa nyeri somatik maupun viseral. Nyeri
somatik terjadi akibat terkenanya struktur tulang dan otot, bersifat tajam,
berdenyut, serta terlokalisasi dengan jelas. Nyeri viseral adalah nyeri nosiseptif
yang disebabkan oleh penarikan, distensi, atau inflamasi pada organ dalam toraks
dan abdomen. Nyeri viseral bersifat difus, tidak teralokalisasi, dan dideskripsikan
sebagai tegang atau kejang disertai rasa mual dan muntah. Pasien
mendeskripsikan nyeri neuropatik sebagai rasa kesemutan atau terbakar.
Karakteristik lain seperti allodinia dan hiperestesia berkaitan dengan nyeri
neuropatik.5

8
Adanya respon seseorang terhadap nyeri memungkinkan kita untuk menilai
adanya nyeri atau tidak. Sistem ini melibatkan system otonom dan volunteer
yaitu:
a. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

i. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

ii. Peningkatan heart rate

iii. Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

iv. Peningkatan nilai gula darah

v. Diaphoresis

vi. Peningkatan kekuatan otot

vii. Dilatasi pupil

viii. Penurunan motilitas GI

b. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

i. Muka pucat

ii. Otot mengeras

iii. Penurunan HR dan BP

iv. Nafas cepat dan irreguler

v. Nausea dan vomitus

vi. Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri

a. Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

b. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

9
c. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

d. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan

jari & tangan

e. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,

Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas

menghilangkan nyeri5,6

1. PENILAIAN NYERI

Penilaian nyeri pada pasien membutuhkan anamnesis yang lengkap serta


pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Anamnesis harus diarahkan kepada
lokasi nyeri, waktu terjadinya, kualitas nyeri, juga hal-hal yang mengurangi
maupun menambah nyeri tersebut. Faktor-faktor yang harus kita
ketahui dalam menentukan jenis nyeri kanker adalah

1. Waktu : Akut dan kronik, Dikatakan akut bila nyeri adalah yang
pertarna kali, onset mudah ditentukan, hilang dengan
penyembuhan sebab nyeri tersebut. Sebagai contoh adalah mukositis,
fraktur patologis, ileus, dan retensi urin. Sedangkan nyeri kronik adalah
nyeri yang terjadi dengan tidak adanya jaringan rusak yang ditemukan
atau nyeri yang berlangsung setidaknya 1 bulan setelah terjadi
penyembuhan jaringan. Nyeri ini biasanya berhubungan dengan
gangguan susunan saraf pusat maupun tepi.

2. Lokalitas Fokal, generalisata, dan alih. Dikatakan fokal bila langsung


berhubungan dengan letak penyebab nyeri, baik berasal dari kulit
maupun dermatom.. Nyeri ini mudah dilokalisir, Nyeri alih biasanya

10
susah untuk dilokalisir, mempengaruhi daerah yang lebih luas
dari struktur yang terkena. Bahkan bisa terjadi di daerah badan
yang jauh dari lokasi patologisnya..

3. Sindrom Nyeri : 75% kasus nyeri kanker disebabkan oleh infiltrasi


langsung tumor ke jaringan (contoh.sindrorn basis kranii, sindrom
korpus vertebra, dab neuropati perifer). 20% dari nyeri kanker disebabkan
oleh terapi kanker itu sendiri, seperti pembedahan, radiasi, dan
kemoterapi. 5% terdiri dari nyeri yang tidak ada hubungannya dengan
kanker tersebut seperti osteoartritis, neuropati diabetik, dan infeksi
herpes zoster.

4. Patofisiologi : Nyeri somatik terjadi akibat hasil dari rusaknya jaringan,


mudah dilokalisir, dan bermula dari aktivasi reseptor nosiseptif di
[aringan kulit maupun jaringan dalam. Nyeri viseral selalu berhubungan
dengan rusaknya jaringan, infiltrasi, kompresi, distensi, atau dilatasi
organ visera abdomen maupun thorax. Nyeri neuropatik berasal dari
rudapaksa pada sistem saraf perifer dan sentral.

5. Kemungkinan mekanisme terjadinya nyeri ini adalah berupa hyperaktifitas


spontan pada medulla spinalis, timbulnya impuls ektopik pada serat
aferen primer, dan plastisitas susunan saraf pusat yang mengakibatkan
timbulnya input aberan pada reseptor nosiseptif.

6. Faktor lain: Seperti psikososial, Sangat penting untuk mengetahui


kebermaknaan nyeri bagi pasien maupun keluarga, serta harapan
mereka terhadap penanggulangan nyeri.3 Selain itu diperlukan
pula berbagai informasi lain seperti riwayat pengobatan kanker itu

11
sendiri, riwayat penanggulangan nyeri sebelumnya, serta riwayat
nyeri yang lain (seperti osteoartritik, dan neuropati diabetik).5,6,7

Pemeriksaan fisik yang baik sangat diperlukan untuk melengkapi informasi


yang telah didapat dari anamnesis. Hubungan antara pemeriksaan fisik yang
didapat dengan riwayat nyeri akan memudahkan kita untuk mengetahui
keberadaan penyakit, perkembangannya, serta membantu kita untuk
mengantisipasinya.

Pemeriksaan neurologis juga diperlukan. Pemeriksaan ini kita akan dapat


mengetahui peran sistem saraf dalam patogenesis nyeri. Pemeriksaan inl
haruslah mencakup pemeriksaan sensorik, disfungsi motorik, adanya
hyperestesia dan allodinia, derajat spasme otot, fungsi koordinasi, dan
status mental.

Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik, ada pula pemeriksaan


penunjang yang dapat membantu kita dalam penilaian nyeri pada pasien
kanker. Pemeriksaan itu adalah pemeriksaan rontgen (plain films), bone scan, MRI,
CT-Scan, dan Elektromyography. Selain itu pemeriksaan biokirnia darah
seperti gula darah, fungsi ginjal, dan fungsi hepar juga diperlukan untuk
kasus-kasus tertentu.

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik

12
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak
dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri.

Skala penialaian nyeri yang paling sering digunakan ialah sebagai berikut

a. Skala verbal deskriptif/ Verbal Descriptive Scale (VDS)


Skala ini memiliki keuntungan dalam praktik klinis karena relatif sederhana
bagi pasien dan penilaiannya umumnya mudah. Namun, adanya pilihan yang
terbatas dalam satu kata tertentu membuat sensasi sesungguhnya yang
dirasakan oleh pasien secara subyektif menjadi kurang dapat direfleksikan.

Gambar. Skala Deskripsi Verbal VDS

b. Skala penilaian numerik


Skala biasanya disajikan dalam rentang 0-10 atau 0-5. Skala ini juga sangat
sederhana dan dapat dibahasakan sesuai bahasa setempat. Salah satu
kekurangan utama ialah dalam penggunaannya terhadap pasien dengan usia
yang ekstrim. Gangguan kognitif terkadang ditemukan pada pasien berusia
lanjut, dan ketidakmampuan pasien yang berumur sangat muda untuk
membedakan angka membatasi penggunaan skala ini 5,6,7.

13
Gambar . Skala Penilaian Numerik

c. Skala analog visual


Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS
adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus
dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien
kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat
merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu
kata atau satu angka9

14
Gambar. Skala Analog Visual

TATALAKSANA NYERI PADA PENYAKIT KANKER

Sebenarnya cara yang paling efektif untuk menanggulangi nyeri kanker adalah
pengobatan kanker itu sendiri. Kebanyakan kasus kanker itu sendiri akan mengurangi
bahkan menghilangkan keluhan nyerinya. 7

Dikatakan bahwa 85-95% nyeri kanker dapat ditanggulagi dengan program yang
terintegrasi menggunakan sistemik, farmakologi, dan terapi anti-kanker. Sisanya
dapat ditanggulangi dengan prosedur yang invasif. Opioid merupakan ujung tombak
utama dalam penaggulangan nyeri kanker.7

Dalam penanggulangan nyeri dari World Health Organization (WHO) telah


merumuskan beberapa prinsip:
a. Penggunaan three step analgetic ladder
b. Obat-obat oral diberikan sebisa mungkin

15
c. Analgesik diberikan secara teratur
d. Efek samping harus diantisipasi dan diterapi secara agresif
e. Pengobatan dengan placebo bukanlah terapi yang pantas

Untuk mengatasi nyeri pada kanker, Eropean Society of Medical Oncology


(ESMO) menerapkan Numerical Rating Score (NRS) yaitu 3 langkah bertahap sesuai
dengan nyeri yang dialami pasien dengan prinsip sama dengan WHO. ESMO juga
menerapkan konsep dalam terapi medikamentosa untuk nyeri yaitu lewat mulut (obat
per oral),dan obat diberikan teratur (untuk menjaga kadar obat tetap stabil). Langkah
pertama penanganan nyeri menurut ESMO adalah penggunaan asetaminofen atau
OAINS lainnya untuk nyeri ringan (NRS 1-3). Tidak ada data yang mendukung
bahwa efektifitas satu OAINS lebih deri pada yang lain. Adjuvan dapat diberikan
pada setiap langkah bila diperlukan. Obat adjuvant berguna terutama pada nyeri
neuropatik

Jika nyeri masih ada atau bahkan meningkat (NRS 4-6), opioid seperti kodein
atau hydrocodone harus ditambahkan (bukan sebagai pengganti) ke OAINS. Pada
langkah ini, opioid banyak diberikan dalam preparat kombinasi dengan asetaminofen
atau aspirin. Jika dibutuhkan dosis opioid yang lebih tinggi, maka langkah ketiga
diperlukan. Pada langkah ketiga, analgesic opioid dan nonopioid harus dalam
preparat yang berbeda untuk menghindari dosis asetaminofen atau OAINS yang
berlebihan.

Jika nyeri persisten, ataupun muncul dalam taraf berat (NRS 7-10), maka
harus ditangani dengan opioid yang lebih poten atau dengan dosis yang lebih tinggi.
Obat seperti kodein atau hydrocodone diganti dengan opioid yang lebih poten (
biasanya morfin, metadon, fentanyl atau levorphanol). Obat untuk nyeri yang
persisten pada kanker seharusnya diberikan secara terus menerus, karena dosis obat

16
yang teratur diberikan akan menjaga kadar obat tetap konstan di tubuh sehingga
mencegah kembalinya nyeri. Analgetik tetap sebaiknya diberikan dengan jalur oral.
Jika diberikan intravena, sebaiknya diberikan dengan dosis 1/3 dosis oral.
Hydromorfon atau oxycodon oral merupakan alternative yang efektif dari morfin
oral. Fentanyl transdermal baik untuk pasien yang kebutuhan opioidnya sudah stabil.

Gambar Algoritma Tatalaksana Nyeri ESMO

OAINS digunakan sebagai terapi awal untuk nyeri ringan karena OAINS
efektif dan dapat dikombinasikan dengan opioid dan adjuvant jika nyeri bertambah
berat. Asetaminofen termasuk dalam grup ini karena memiliki potensi analgesic yang
serupa walau efek anti inflamasinya paling lemah. Keuntungan dari asetaminofen jika

17
disbanding OAINS lainnya adalah kurang mengganggu fungsi trombosit, sehingga
lebih aman digunakan pada pasien trombositopeni.

Penggunaan OAINS menurunkan jumlah mediator inflamasi pada tempat


jaringan yang terganggu dengan menghambat enzim cyclooxygenase , yang
mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin dan leukotrien.
Mediator inflamasi ini membuat saraf sensitive terhadap stimulus nyeri. Penggunaan
bersama opioid, OAINS dan asetaminofen sering memberikan efek analgesi yang
lebih baik daripada jika digunakan sendiri saja.

Berlawanan dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan toleransi,


ketergantungan fisik/psikis dan memiliki spectrum toksiitas yang berbeda. Efek
samping OAINS yang dapat terjadi adalah gagal ginjal, gangguan hati, perdarahan
dan ulkus lambung. Jadi penggunaan OAINS pada lansia harus diawasi agar tidak
terjadi efek samping yang tidak diinginkan. 2,7,8,9

Tabel 1. Obat Antiinflamasi Non Steroid yang sering digunakan.

18
Opioid menghasilkan efek analgesic dengan berikatan ke reseptor spesifik di
dalam dan di luar system saraf pusat. Opioid dikelompokkan menjadi agonis, agonis
parsial atau agonis-antagonis bergantung pada reseptor spesifiknya. Opioid agonis
berupa morfin, codein, hidrocodon, metadon dan fentanyl. Opioid agonis tidak
memiliki “ceiling effect” untuk efektifitas analgesic dan tidak akan bekerja melawan
efek opioid yang lain yang ada di kelas yang sama ini jika diberikan bersamaan.
Opioid agonis parsial adalah buprenorphine, di mana memiliki “ceiling effect” dalam
analgesic. Opioid agonis-antagonis adalah pentazocine, dezocine dan nalbupine. Obat
ini memiliki “ceiling effect” dalam analgesia. Opioid jenis ini menghambat reseptor
opioid mu dan mengaktivasi reseptor opioid kappa. Pasien yang mendapat opioid
agonis tidak boleh diberikan opioid agonis-antagonis karena akan dapat
mempresipitasi withdrawal syndrome dan meningkatkan nyeri. Tramadol juga
memiliki “ceiling effect”.

Toleransi dan ketergantungan fisik terhadap opioid dapat terjadi pada


pemberian opioid jangka panjang dan tidak boleh dikacaukan dengan dianggap
sebagai ketergantungan psikis (adiksi) yang bermanifestasi sebagai prilaku
penyalahgunaan obat.

Ketergantungan fisik terhadap opioid muncul jika opioid dihentikan secara


tiba-tiba atau jika naloxon diberikan. Manifestasi klinisnya adalah kecemasan,
iritabel, menggigil, nyeri sendi, lakrimasi, rhinorea, mual, muntah, diare dan kram
perut. Untuk opioid dengan waktu paruh pendek (seperti kodein, morfin), gejalanya
dapat terjadi 6-12 jam dengan puncaknya 24-72 jam sesudah opioid dihentikan.
Untuk opioid waktu paruh jangka panjang (metadon, fentanyl), gejalanya dapat
tertunda 24 jam atau lebih pasca penghentian obat dan gejala yang ditimbulkan dapat
lebih ringan. Pasien dengan kanker biasanya membutuhkan penghentian opioid jika

19
penyebab nyeri sudah dihilangkan dengan terapi antineoplasma . Pada keadaan
demikian, gejala ketergantungan opioid dapat dihindari dengan penurunan dosis
opioid bertahap, yaitu 2 hari pertama dosis diturunkan menjadi separuhnya dan
kemudian diturunkan lagi 25% setiap 2 hari sampai total dosis 30 mg/hari (ekuivalen
morfin). Opioid dapat dihentikan sesudah 2 hari dengan dosis 30mg/hari.

Toleransi terhadap opioid adalah kebutuhan untuk meningkatkan dosis agar


nyeri tetap terhindarkan. Untuk kebanyakan pasien kanker, gejala pertama dari
toleransi adalah berkurangnya durasi analgesic. Meningkatnya dosis anlagesik
konsisten dengan progresivitas penyakit. Kecuali fentanyl transdermal, tidak ada
dosis maksimal yang direkomendasikan untuk opoid agonis dan bahkan sebenarnya,
dosis morfin yang sangat besar dapat diberikan untuk mengatai nyeri yang berat.

Opioid oral lebih dianjurkan karena paling mudah digunakan dan harganya
tidak mahal. Tapi jika pasien tidak dapat menggunakan obat oral, rute yang kurang
invasive harus dicoba seperti rectal atau transdermal. Opioid rectal dapat digunakan
jika pasien mual, muntah atau saat sedang berpuasa untuk operasi. Rute rectal
dikontraindikasikan jika ada lesi di anus/rectum karena penggunaan supositoria akan
menyebabkan nyeri. Rute ini jua kurang berguna jika pasien diare. Sedangkan untuk
jalur transdermal, satu-satunya opioid adalah fentanyl.

Penggunaan opioid intramuscular harus dihindari karena dapat menyakitkan


dan absorbsinya tidak jelas. Penggunaan intravena opioid dapat diberikan pada pasien
dengan mual muntah persisten, gangguan menelan, penurunan kesadaran, dan untuk
pasien yang membutuhkan titrasi cepat. 6,7,8

20
Tabel 2. Golongan Opioid untuk Tatalaksana Nyeri Kanker

Nyeri berat biasanya ditanggulangi dengan immediate release morphine.


Preparat ini memiliki waktu paruh 2-4 jam. Dosis obat ini ialah 10-20 mg tiap 3-4
jam, dengan dosis maksimal 400mg/hari. Setelah kebutuhan harian dapat ditentukan,
preparat diubah menjadi sustained release.6,7

Analgesik adjuvant memiliki indikasi utama selain pada terapi nyeri, namun
memiliki sifat analgesic pada keadaan tertentu. Obat ini dapat dikombinasikan
dengan analgesik primer jika pasien tidak dapat menerima pencapaian efek analgesik
dan efek sampingnya. 7

21
Tabel 3. Obat-obatan Adjuvan

2. TATALAKSANA INVASIF PADA NYERI REFRAKTER

Sekitar 10% pasien kanker memiliki nyeri yang sulit untuk ditanggulangi dengan obat
oral atau parenteral. Teknik intervensional dapat mencapai keadaan nyeri yang
terkendali pada pasien yang refrakter ataupun mengalami efek samping. Beberapa
prosedur yang dianjurkan sebagai terapi yang tersendiri ataupun kombinasi ialah 2:
a. Pemberian obat intratekal (epidural dan spinal). Rute pemberian ini
dipertimbangkan bila daerah anatomis yang terkena pada kapala/leher,
ekstermitas bawah.
b. Blok saraf perifer. Cara ini jarang digunakan karena dapat menimbulkan
neruritis dan memperburuk nyeri yang telah ada sebelumnya.
c. Blok neurolitik. Teknik ini digunakan pada pleksus hipogastrik superior,
ganglion impar, dan kebanyakan nyeri visceral.
d. Neurolisis pleksus coeliacus. Cara ini berguna apabila nyeri hanya bersumber
pada organ visceral pada abdomen bagian atas atau pancreas. 7,9

22
5. TATALAKSANA PALIATIF PADA NYERI KANKER

Penanganan paliatif secara umum pada kanker stadium lanjut adalah untuk
mengidentifikasi penyebab dari gejala, mengobati keadaan yang reversible seperti
fraktur, pemberian terapi farmakologi, menyingkirkan penyebab iatrogenic dan
sindroma nyeri kronik, dan menggunakan terapi supportif secara bebas. [6]
Penatalaksanaan dari nyeri memerlukan penanganan multidisiplin antara kemoterapi,
radioterapi, bedah dan anastesi dan terapi supportif, tetapi juga psikologi dan
psikoterapi. Sebagai contoh, pengobatan untuk nyeri tulang metastasis memerlukan
terapi multidisiplin seperti obat-obatan analgetik (level 1 sampai level 3, non opioid
dan opioid dan juga trycyclic antidepressant, anti konvulsan, bisphosphonate),
radioterapi, kemoterapi atau terapi hormon yang tergantung dari tumor primer. [7,8]
Juga perlu diingat, radioterapi efektif untuk mengontrol nyeri, namun radioterapi juga
menyebabkan nyeri seperti osteoradionecrosis mandibula, nekrosis jaringan lunak
dari rongga mulut atau anus dan radiation plexopathy8,9

Penatalaksanaan Secara Psikologi dan Psikiatri Nyeri karena kanker


memberikan pengaruh secara fisik, kognitif dan emosional. Persepsi dan respon
terhadap nyeri dipengaruhi oleh pikiran, afek (mood) dan perilaku, di samping faktor
fisiologis. Intervensi yang dini untuk mengubah persepsi nyeri dapat memberikan
hasil yang positif. Intervensi perilaku dan kognitif dapat menghasilkan kontrol
terhadap rasa nyeri. Beberapa tenik intervensi perilaku dan kognitif, bersama-sama
dengan intervensi farmakologi, memberikan pendekatan komprehensif terhadap
penatalaksanaan nyeri pada kanker. 8,9

23
Penatalaksaan Radioterapi

Tujuan radiasi lokal pada penatalaksanaan metastase tulang untuk


menghilangkan nyeri, mencegah fraktur patologis dan kompresi vertebra,
mempercepat penyembuhan pada fraktur patologis dan meringankan kompresi
medula spinalis. Di atas semuanya radioterapi lokal yang diberikan untuk tujuan
paliatif ditujukan untuk meningkatkan mobilitas, fungsi dan quality of life. Radiasi
juga dapat menginduksi remineraliasasi untuk menguatkan tulang yang tidak stabil.10

Patogenesis nyeri karena metastasis tulang dan nyeri yang berkurang karena
terapi radiasi belum sepenuhnya dimengerti. Pengecilan tumor memberikan efek
berupa rasa nyeri yang berkurang yang sebelumnya dihubungkan dengan penekanan
periosteal dan serabut saraf. Mekanisme lain yang terlibat berupa efek inhibisi dari
sel yang mensekresi mediator kimia untuk rasa nyeri seperti prostalglandin.
Pengobatan paliatif kurang dapat memberikan respon secara komplit pada kasus
metastasis ke tulang weight-bearing dan tulang yang banyak terlibat dalam aktivitas
sehari-hari. Radioterapi dapat menghilangkan nyeri pada 73% penderita dengan
metastasis tulang belakang, 88% dengan lesi pada ekstremitas, 67% dengan lesi pada
pelvis dan 75% metastasis pada bagian lain dari skeleton.10

Metastasis tulang dari kanker prostat dan payudara yang melibatkan tulang
belakang dijumpai pada lebih dari 80% kasus karena predileksi tumor ini untuk
melibatkan red marrow. Invasi metastasis ke korteks tulang jarang sekali terjadi tanpa
keterlibatan red marrow. Untuk alasan ini , tulang belakang, pelvis dan tulang iga
biasanya menunjukkan keterlibatan lebih dahulu dibandingkan tulang cranium,
femur, humerus, scapula dan sternum. Mekanisme penyebaran kanker ke tulang
merupakan proses yang kompleks. Bone Scan merupakan metode yang paling sensitif
untuk mendeteksi metastasis tulang, tetapi MRI merupakan metode yang paling baik

24
untuk menilai invasi sel tumor ke bone marrow, vertebrae, CNS, dan saraf perifer.
Metastasis ke tulang jarang tidak terdeteksi ketika dilakukan pemeriksaan radiologi
konvensional. Ketika konfirmasi radiologi dari keganasan meragukan, biopsi tulang
harus dipertimbangkan. 10

25
BAB III
KESIMPULAN

Dalam penanggulangan nyeri dari World Health Organization (WHO) telah


merumuskan beberapa prinsip:

a. Penggunaan three step analgetic ladder


b. Obat-obat oral diberikan sebisa mungkin
c. Analgesik diberikan secara teratur
d. Efek samping harus diantisipasi dan diterapi secara agresif
e. Pengobatan dengan placebo bukanlah terapi yang pantas

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Treede R, The International Association for the Study of Pain definition of pain.
Pain Report Online. 2018
2. Patel NB. Physiology of Pain. Guide to Pain Management in Low Resource
Setting. Seattle: IASP. 2010
3. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology, 11th edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2006
4. Rathmell JP, Fields HL. Pain: Pathophysiology and Management. Dalam: Longo
DL, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine.Vol.2, ed.18. New York:
McGraw Hill. 2012
5. Hartwig & Wilson,. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. II(6):1063-1103. 2006
6. Paice JA, Ferrell B. The Management Of Cancer Pain. Ca Cancer J Clin, vol. 61.
2011
7. Sawhney. M, Fletcher. G, Guidelines on Management of Pain in Cancer and/or
Palliative Care. Cancer Care Ontario. 2017
8. Cancer Pain Management. The British Pain Society. 2010
9. Eddy Hardjanto. Tatalaksana Farakologis Nyeri Kanker. Indonesian Journal Of
Cancer. 2007
10. Nana Supriana. Radiasi Paliatif Pada Nyeri Kanker. Radioterapi dan Onkologi
Indonesia. 2010

27

Anda mungkin juga menyukai