NYERI KANKER
OLEH:
Muhamad Azrul Bin Awalludin C014172216
Said Jamalullail Bin Ali C014172192
Shahzrin Haizad Bin Said C014172211
PEMBIMBING RESIDEN
dr. Yoga Syafruddin nur
dr. Ahmad Ulil Albab
dr. Aznurhazmi
SUPERVISOR
dr. Alamsyah Irwan M.Kes Sp. An
i
PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Kedokteran Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.
Supervisor Pembimbing
ii
DAFTAR ISI
PENGESAHAN................................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................iii
BAB I...................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................... 1
BAB II .................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 2
ANATOMI DAN FISIOLOGI NYERI ............................................. 2
PATOFISIOLOGI NYERI SECARA UMUM .................................. 6
PATOFISIOLOGI NYERI PADA KANKER ................................... 8
TATALAKSANA NYERI PADA PENYAKIT KANKER ............. 15
BAB III ................................................................................................. 26
KESIMPULAN .................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 27
iii
NYERI KANKER
BAB I
PENDAHULUAN
Prevalensi nyeri pada kanker diperkirakan sebesar 25% pada pasien yang baru
terdiagnosis, 33% pada pasien yang sedang menjalani terapi dan 64% pada stadium
akhir. Nyeri kronik juga dialami pada pasien kanker yang sudah menjalani terapi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya nyeri kronik pada pasien kanker adalah
kemoterapi, radioterapi dan pembedahan.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya
berhubungan dengan banyak neuron spinal.2,3
Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related
neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan
mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu, kappa,
dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur
desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak
tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil
dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan penghambatan
(blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.2,3
Jalur Asenden
Serabut saraf C dan A delta halus, yang masing-masing membawa nyeri akut
tajam dan kronik lambat, bersinap disubstansia gelatinosa kornu dorsalis, memotong
medula spinalis dan naik ke otak di cabang neospinotalamikus atau cabang
paleospinotalamikus traktus spino talamikus anterolateralis. Traktus
neospinotalamikus yang terutama diaktifkan oleh aferen perifer A delta, bersinap di
3
nucleus ventropostero lateralis (VPN) talamus dan melanjutkan diri secara langsung
ke kortek somato sensorik girus pasca sentralis, tempat nyeri dipersepsikan sebagai
sensasi yang tajam dan berbatas tegas. Cabang paleospinotalamikus, yang terutama
diaktifkan oleh aferen perifer serabt saraf C adalah suatu jalur difus yang mengirim
kolateral-kolateral ke formatio retikularis batang otak dan struktur lain. Serat-serat ini
mempengaruhi hipotalamus dan sistem limbik serta kortek serebri 2,3,4
Jalur Desenden
Salah satu jalur desenden yang telah di identifikasi adalah mencakup 3 komponen
yaitu :
4
Transmisi Nyeri
Terdapat beberapa teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosiseptor dapat
menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba
menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri
dianggap paling relevan.
5
menghantarkan dengan lambat. Dua serabut syaraf tersebut bersinaps pada medula
spinalis dan meneruskan informasi ke otak mengenai sejumlah intensitas dan tipe
input sensori nyeri yang menafsirkan karakter dan kualitas input sensasi nyeri.
Tahun 1959 Milzack dan Wall menjelaskan teori gerbang kendali nyeri, yang
menyatakanterdapat semacam pintu gerbang yang dapatmemfasilitasi transmisi sinyal
nyeri Gate Control Theory merupakan model modulasi nyeri yang populer. Teori ini
menyatakan eksistensi dari kemampuan endogen untuk mengurangi dan
meningkatkan derajat perasaan nyeri melalui modulasi impuls yang masuk pada
kornu dorsalis melalui “gate” (gerbang). Berdasarkan sinyal dari sistem asendens dan
desendens maka input akan ditimbang. Integrasi semua input dari neuron sensorik,
yaitu pada level medulla spinalis yang sesuai, dan ketentuan apakah gate akan
menutup atau membuka, akan meningkatkan atau mengurangi intensitas nyeri
asendens. Gate Control Theor y ini mengakomodir variabel psikologis dalam persepsi
nyeri, termasuk motivasi untuk bebas dari nyeri, dan peranan pikiran, emosi, dan
reaksi stress dalam meningkatkan atau menurunkan sensasi nyeri. Melalui model ini,
dapat dimengerti bahwa nyeri dapat dikontrol oleh manipulasi farmakologis maupun
intervensi psikologis 5
Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bisa intesitas tinggi
maupun rendah seperti perennggangan dan suhu serta oleh lesi jaringan. Sel yang
mengalami nekrotik akan merilis K + dan protein intraseluler . Peningkatan kadar K
+ ekstraseluler akan menyebabkan depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada
6
beberapa keadaan akan menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan
peradangan / inflamasi. Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien,
prostaglandin E2, dan histamine yang akan merangasng nosiseptor sehingga
rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia
atau allodynia). Selain itu lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga
bradikinin dan serotonin akan terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi
oklusi pembuluh darah maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi
K + ekstraseluler dan H + yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin,
bradikinin, dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan jaringan
meningkat dan juga terjadi Perangsangan nosiseptor. Bila nosiseptor terangsang maka
mereka melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitonin gen terkait peptida
(CGRP), yang akan merangsang proses inflamasi dan juga menghasilkan vasodilatasi
dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Vasokonstriksi (oleh serotonin),
diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga bertanggung jawab untuk serangan migrain .
Peransangan nosiseptor inilah yang menyebabkan nyeri.2,3,4
7
PATOFISIOLOGI NYERI PADA KANKER
Pada keganasan, nyeri yang disebabkan oleh aktivasi nosiseptor disebut nyeri
nosiseptif; sedangkan nyeri yang ditimbulkan oleh gangguan pada system saraf
disebut nyeri neuropatik.
Nyeri nosiseptif terjadi akibat kerusakan jaringan yang potensial yang dapat
disebabkan oleh penekanan langsung tumor, trauma, inflamasi, atau infiltrasi ke
jaringan yang sehat dan dapat berupa nyeri somatik maupun viseral. Nyeri
somatik terjadi akibat terkenanya struktur tulang dan otot, bersifat tajam,
berdenyut, serta terlokalisasi dengan jelas. Nyeri viseral adalah nyeri nosiseptif
yang disebabkan oleh penarikan, distensi, atau inflamasi pada organ dalam toraks
dan abdomen. Nyeri viseral bersifat difus, tidak teralokalisasi, dan dideskripsikan
sebagai tegang atau kejang disertai rasa mual dan muntah. Pasien
mendeskripsikan nyeri neuropatik sebagai rasa kesemutan atau terbakar.
Karakteristik lain seperti allodinia dan hiperestesia berkaitan dengan nyeri
neuropatik.5
8
Adanya respon seseorang terhadap nyeri memungkinkan kita untuk menilai
adanya nyeri atau tidak. Sistem ini melibatkan system otonom dan volunteer
yaitu:
a. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
v. Diaphoresis
i. Muka pucat
9
c. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
menghilangkan nyeri5,6
1. PENILAIAN NYERI
1. Waktu : Akut dan kronik, Dikatakan akut bila nyeri adalah yang
pertarna kali, onset mudah ditentukan, hilang dengan
penyembuhan sebab nyeri tersebut. Sebagai contoh adalah mukositis,
fraktur patologis, ileus, dan retensi urin. Sedangkan nyeri kronik adalah
nyeri yang terjadi dengan tidak adanya jaringan rusak yang ditemukan
atau nyeri yang berlangsung setidaknya 1 bulan setelah terjadi
penyembuhan jaringan. Nyeri ini biasanya berhubungan dengan
gangguan susunan saraf pusat maupun tepi.
10
susah untuk dilokalisir, mempengaruhi daerah yang lebih luas
dari struktur yang terkena. Bahkan bisa terjadi di daerah badan
yang jauh dari lokasi patologisnya..
11
sendiri, riwayat penanggulangan nyeri sebelumnya, serta riwayat
nyeri yang lain (seperti osteoartritik, dan neuropati diabetik).5,6,7
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
12
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak
dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri.
Skala penialaian nyeri yang paling sering digunakan ialah sebagai berikut
13
Gambar . Skala Penilaian Numerik
14
Gambar. Skala Analog Visual
Sebenarnya cara yang paling efektif untuk menanggulangi nyeri kanker adalah
pengobatan kanker itu sendiri. Kebanyakan kasus kanker itu sendiri akan mengurangi
bahkan menghilangkan keluhan nyerinya. 7
Dikatakan bahwa 85-95% nyeri kanker dapat ditanggulagi dengan program yang
terintegrasi menggunakan sistemik, farmakologi, dan terapi anti-kanker. Sisanya
dapat ditanggulangi dengan prosedur yang invasif. Opioid merupakan ujung tombak
utama dalam penaggulangan nyeri kanker.7
15
c. Analgesik diberikan secara teratur
d. Efek samping harus diantisipasi dan diterapi secara agresif
e. Pengobatan dengan placebo bukanlah terapi yang pantas
Jika nyeri masih ada atau bahkan meningkat (NRS 4-6), opioid seperti kodein
atau hydrocodone harus ditambahkan (bukan sebagai pengganti) ke OAINS. Pada
langkah ini, opioid banyak diberikan dalam preparat kombinasi dengan asetaminofen
atau aspirin. Jika dibutuhkan dosis opioid yang lebih tinggi, maka langkah ketiga
diperlukan. Pada langkah ketiga, analgesic opioid dan nonopioid harus dalam
preparat yang berbeda untuk menghindari dosis asetaminofen atau OAINS yang
berlebihan.
Jika nyeri persisten, ataupun muncul dalam taraf berat (NRS 7-10), maka
harus ditangani dengan opioid yang lebih poten atau dengan dosis yang lebih tinggi.
Obat seperti kodein atau hydrocodone diganti dengan opioid yang lebih poten (
biasanya morfin, metadon, fentanyl atau levorphanol). Obat untuk nyeri yang
persisten pada kanker seharusnya diberikan secara terus menerus, karena dosis obat
16
yang teratur diberikan akan menjaga kadar obat tetap konstan di tubuh sehingga
mencegah kembalinya nyeri. Analgetik tetap sebaiknya diberikan dengan jalur oral.
Jika diberikan intravena, sebaiknya diberikan dengan dosis 1/3 dosis oral.
Hydromorfon atau oxycodon oral merupakan alternative yang efektif dari morfin
oral. Fentanyl transdermal baik untuk pasien yang kebutuhan opioidnya sudah stabil.
OAINS digunakan sebagai terapi awal untuk nyeri ringan karena OAINS
efektif dan dapat dikombinasikan dengan opioid dan adjuvant jika nyeri bertambah
berat. Asetaminofen termasuk dalam grup ini karena memiliki potensi analgesic yang
serupa walau efek anti inflamasinya paling lemah. Keuntungan dari asetaminofen jika
17
disbanding OAINS lainnya adalah kurang mengganggu fungsi trombosit, sehingga
lebih aman digunakan pada pasien trombositopeni.
18
Opioid menghasilkan efek analgesic dengan berikatan ke reseptor spesifik di
dalam dan di luar system saraf pusat. Opioid dikelompokkan menjadi agonis, agonis
parsial atau agonis-antagonis bergantung pada reseptor spesifiknya. Opioid agonis
berupa morfin, codein, hidrocodon, metadon dan fentanyl. Opioid agonis tidak
memiliki “ceiling effect” untuk efektifitas analgesic dan tidak akan bekerja melawan
efek opioid yang lain yang ada di kelas yang sama ini jika diberikan bersamaan.
Opioid agonis parsial adalah buprenorphine, di mana memiliki “ceiling effect” dalam
analgesic. Opioid agonis-antagonis adalah pentazocine, dezocine dan nalbupine. Obat
ini memiliki “ceiling effect” dalam analgesia. Opioid jenis ini menghambat reseptor
opioid mu dan mengaktivasi reseptor opioid kappa. Pasien yang mendapat opioid
agonis tidak boleh diberikan opioid agonis-antagonis karena akan dapat
mempresipitasi withdrawal syndrome dan meningkatkan nyeri. Tramadol juga
memiliki “ceiling effect”.
19
penyebab nyeri sudah dihilangkan dengan terapi antineoplasma . Pada keadaan
demikian, gejala ketergantungan opioid dapat dihindari dengan penurunan dosis
opioid bertahap, yaitu 2 hari pertama dosis diturunkan menjadi separuhnya dan
kemudian diturunkan lagi 25% setiap 2 hari sampai total dosis 30 mg/hari (ekuivalen
morfin). Opioid dapat dihentikan sesudah 2 hari dengan dosis 30mg/hari.
Opioid oral lebih dianjurkan karena paling mudah digunakan dan harganya
tidak mahal. Tapi jika pasien tidak dapat menggunakan obat oral, rute yang kurang
invasive harus dicoba seperti rectal atau transdermal. Opioid rectal dapat digunakan
jika pasien mual, muntah atau saat sedang berpuasa untuk operasi. Rute rectal
dikontraindikasikan jika ada lesi di anus/rectum karena penggunaan supositoria akan
menyebabkan nyeri. Rute ini jua kurang berguna jika pasien diare. Sedangkan untuk
jalur transdermal, satu-satunya opioid adalah fentanyl.
20
Tabel 2. Golongan Opioid untuk Tatalaksana Nyeri Kanker
Analgesik adjuvant memiliki indikasi utama selain pada terapi nyeri, namun
memiliki sifat analgesic pada keadaan tertentu. Obat ini dapat dikombinasikan
dengan analgesik primer jika pasien tidak dapat menerima pencapaian efek analgesik
dan efek sampingnya. 7
21
Tabel 3. Obat-obatan Adjuvan
Sekitar 10% pasien kanker memiliki nyeri yang sulit untuk ditanggulangi dengan obat
oral atau parenteral. Teknik intervensional dapat mencapai keadaan nyeri yang
terkendali pada pasien yang refrakter ataupun mengalami efek samping. Beberapa
prosedur yang dianjurkan sebagai terapi yang tersendiri ataupun kombinasi ialah 2:
a. Pemberian obat intratekal (epidural dan spinal). Rute pemberian ini
dipertimbangkan bila daerah anatomis yang terkena pada kapala/leher,
ekstermitas bawah.
b. Blok saraf perifer. Cara ini jarang digunakan karena dapat menimbulkan
neruritis dan memperburuk nyeri yang telah ada sebelumnya.
c. Blok neurolitik. Teknik ini digunakan pada pleksus hipogastrik superior,
ganglion impar, dan kebanyakan nyeri visceral.
d. Neurolisis pleksus coeliacus. Cara ini berguna apabila nyeri hanya bersumber
pada organ visceral pada abdomen bagian atas atau pancreas. 7,9
22
5. TATALAKSANA PALIATIF PADA NYERI KANKER
Penanganan paliatif secara umum pada kanker stadium lanjut adalah untuk
mengidentifikasi penyebab dari gejala, mengobati keadaan yang reversible seperti
fraktur, pemberian terapi farmakologi, menyingkirkan penyebab iatrogenic dan
sindroma nyeri kronik, dan menggunakan terapi supportif secara bebas. [6]
Penatalaksanaan dari nyeri memerlukan penanganan multidisiplin antara kemoterapi,
radioterapi, bedah dan anastesi dan terapi supportif, tetapi juga psikologi dan
psikoterapi. Sebagai contoh, pengobatan untuk nyeri tulang metastasis memerlukan
terapi multidisiplin seperti obat-obatan analgetik (level 1 sampai level 3, non opioid
dan opioid dan juga trycyclic antidepressant, anti konvulsan, bisphosphonate),
radioterapi, kemoterapi atau terapi hormon yang tergantung dari tumor primer. [7,8]
Juga perlu diingat, radioterapi efektif untuk mengontrol nyeri, namun radioterapi juga
menyebabkan nyeri seperti osteoradionecrosis mandibula, nekrosis jaringan lunak
dari rongga mulut atau anus dan radiation plexopathy8,9
23
Penatalaksaan Radioterapi
Patogenesis nyeri karena metastasis tulang dan nyeri yang berkurang karena
terapi radiasi belum sepenuhnya dimengerti. Pengecilan tumor memberikan efek
berupa rasa nyeri yang berkurang yang sebelumnya dihubungkan dengan penekanan
periosteal dan serabut saraf. Mekanisme lain yang terlibat berupa efek inhibisi dari
sel yang mensekresi mediator kimia untuk rasa nyeri seperti prostalglandin.
Pengobatan paliatif kurang dapat memberikan respon secara komplit pada kasus
metastasis ke tulang weight-bearing dan tulang yang banyak terlibat dalam aktivitas
sehari-hari. Radioterapi dapat menghilangkan nyeri pada 73% penderita dengan
metastasis tulang belakang, 88% dengan lesi pada ekstremitas, 67% dengan lesi pada
pelvis dan 75% metastasis pada bagian lain dari skeleton.10
Metastasis tulang dari kanker prostat dan payudara yang melibatkan tulang
belakang dijumpai pada lebih dari 80% kasus karena predileksi tumor ini untuk
melibatkan red marrow. Invasi metastasis ke korteks tulang jarang sekali terjadi tanpa
keterlibatan red marrow. Untuk alasan ini , tulang belakang, pelvis dan tulang iga
biasanya menunjukkan keterlibatan lebih dahulu dibandingkan tulang cranium,
femur, humerus, scapula dan sternum. Mekanisme penyebaran kanker ke tulang
merupakan proses yang kompleks. Bone Scan merupakan metode yang paling sensitif
untuk mendeteksi metastasis tulang, tetapi MRI merupakan metode yang paling baik
24
untuk menilai invasi sel tumor ke bone marrow, vertebrae, CNS, dan saraf perifer.
Metastasis ke tulang jarang tidak terdeteksi ketika dilakukan pemeriksaan radiologi
konvensional. Ketika konfirmasi radiologi dari keganasan meragukan, biopsi tulang
harus dipertimbangkan. 10
25
BAB III
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Treede R, The International Association for the Study of Pain definition of pain.
Pain Report Online. 2018
2. Patel NB. Physiology of Pain. Guide to Pain Management in Low Resource
Setting. Seattle: IASP. 2010
3. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology, 11th edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2006
4. Rathmell JP, Fields HL. Pain: Pathophysiology and Management. Dalam: Longo
DL, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine.Vol.2, ed.18. New York:
McGraw Hill. 2012
5. Hartwig & Wilson,. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. II(6):1063-1103. 2006
6. Paice JA, Ferrell B. The Management Of Cancer Pain. Ca Cancer J Clin, vol. 61.
2011
7. Sawhney. M, Fletcher. G, Guidelines on Management of Pain in Cancer and/or
Palliative Care. Cancer Care Ontario. 2017
8. Cancer Pain Management. The British Pain Society. 2010
9. Eddy Hardjanto. Tatalaksana Farakologis Nyeri Kanker. Indonesian Journal Of
Cancer. 2007
10. Nana Supriana. Radiasi Paliatif Pada Nyeri Kanker. Radioterapi dan Onkologi
Indonesia. 2010
27