Anda di halaman 1dari 55

Referat

ANESTESI PADA BEDAH SARAF

Oleh:
Hasyyati Imanina 1740312260

Preseptor
dr. Boy Suzuki,Sp.An

BAGIAN ANESTESI DAN REANIMASI


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anastesi pada bedah saraf adalah subspesialisasi anestesiologi yang berhubungan
dengan pasien yang menjalani prosedur bedah pada otak dan sumsum tulang belakang.1
Tindakan bedah saraf memerlukan teknik anestesi khusus bedah saraf yang dikenal dengan
neuroanestesi.
Neuroanastesi dapat menjadi tantangan, karena terkadang para ahli anestesi harus
melakukan tindakan yang tampaknya bertentangan, misalnya mencapai kondisi optimal
untuk pemantauan neurofisiologis dengan tetap menjaga kedalaman anestesi yang cukup,
atau mempertahankan pengiriman oksigen ke jaringan saraf dan sekaligus mencegah
tekanan darah tinggi yang dapat menginduksi perdarahan lokal. Penempatan posisi pasien
yang tidak biasa, penatalaksanaan tekanan intrakranial yang meningkat, dan kebutuhan
evaluasi neurologis pascaoperasi adalah tantangan lain yang harus dihadapi.1
Tujuan utama neuroanestesi adalah agar pasien memiliki 'hasil yang baik' atau,
lebih khusus lagi, ‘‘ hasil neurologis yang baik” setelah prosedur pembedahan. Hasil
anestesi yang baik tidak hanya bergantung pada hasil perioperatif jangka pendek seperti
tekanan intrakranial, relaksasi otak, perfusi serebral, dan pemantauan neurofisiologis,
namun juga hasil jangka panjang, seperti fungsi neurologis, kecacatan, kualitas hidup, dan
angka survival rate .2 Makalah ini membahas prinsip-prinsip umum neuroanaestesi dan
aspek-aspek khusus dari prosedur yang paling relevan.

1.2 Batasan Masalah


Pembahasan makalah ini dibatasi pada anatomi sistem saraf, sirkulasi darah pada sistem
saraf pusat, persiapan anestesi sebelum operasi bedah saraf, beberapa teknik anastesi pada
bedah saraf, dan komplikasi serta tatalaksana komplikasi pascaanastesi pada bedah saraf.
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan menambah pengetahuan dan pemahaman tentang anatomi sistem
saraf, sirkulasi darah pada sistem saraf pusat, persiapan anestesi sebelum operasi bedah
saraf, beberapa teknik anastesi pada bedah saraf, dan komplikasi serta tatalaksana
komplikasi pascaanastesi pada bedah saraf.

2
1.4 Metode Penulisan
Penulisan makalah ini berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk pada
literatur-literatur yang berkaitan dengan anatomi sistem saraf, sirkulasi darah pada sistem
saraf pusat, persiapan anestesi sebelum operasi bedah saraf, beberapa teknik anastesi pada
bedah saraf, dan komplikasi serta tatalaksana komplikasi pascaanastesi pada bedah saraf.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem Saraf


Sistem saraf pada manusia dapat dibagi menjadi dua bagian utama, sistem saraf
pusat dan sistem saraf perifer. Otak dan sumsum tulang belakang membentuk divisi utama
dari sistem saraf pusat (SSP). Saraf tengkorak dan tulang belakang bersama dengan
ganglia merupakan sistem saraf perifer.3

Gambar 2. 1 Organisasi Sistem Saraf

Sistem Saraf Pusat terdiri dari otak dan medula spinalis. Otak tertutup dalam
rongga tengkorak tengkorak dan dikelilingi oleh tiga lapisan meningen: duramater,
arachnoid, dan piamater. Otak terbagi menjadi otak depan, otak tengah, dan otak belakang
Otak depan dibagi menjadi diencephalon (bagian tengah) dan telencephalon atau
cerebrum. 3

4
Gambar 2. 2 Bagian –Bagian Otak

Tersembunyi dari permukaan otak, diencephalon terdiri dari thalamus dorsal dan
hipotalamus ventral, dan subthalamus dan epithalamus sebagai divisi lainnya. Thalamus
adalah stasiun penting untuk semua sistem sensorik kecuali jalur penciuman. Subthalamus
terdiri dari bagian tengkorak nukleus rubra dan substansia nigra. Epithalamus terdiri dari
nuklei habenular dan kelenjar pineal. Inti habenular adalah pusat untuk integrasi
penciuman, visceral, dan jalur aferen somatik. Kelenjar pineal tidak mengandung sel-sel
saraf tetapi serat simpatis adrenergik berasal dari ganglia simpatis superior serviks.
Hipotalamus mengontrol dan mengintegrasikan fungsi sistem saraf otonom dan sistem
endokrin dan memainkan peran penting dalam mempertahankan homeostasis tubuh. 3
Serebrum membentuk bagian terbesar dari otak dan secara kasar dibagi menjadi
empat lobus: frontal, parietal, temporal, dan oksipital oleh fisura interhemisfer midline,
sulkus sentral, dan fisura Sylvian lateral. 3

Gambar 2. 3 Bagian Lobus Otak

Serebrum terdiri dari dua belahan dihubungkan oleh corpus callosum yang
merupakan massa materi putih. Hemisfer mengandung banyak sulci (fisura) dan gyri
5
(lipatan). Rongga hadir di belahan otak adalah ventrikel lateral, yang berkomunikasi
dengan ventrikel ketiga melalui foramen interventricular (foramen Monro). Kedua belahan
dipisahkan oleh fisura longitudinal di mana memproyeksikan falx cerebri. Dalam hemisfer
adalah massa materi abu-abu besar, ganglia basal. Korona radiata adalah kumpulan serabut
saraf yang lolos ke dan dari korteks serebral ke batang otak. Kapsul internal adalah bagian
dari korona radiata yang menyatu untuk melewati antara ganglia basal. 3
Otak tengah menghubungkan otak depan ke otak belakang yang berisi rongga yang dikenal
sebagai aquaductus Sylvius). Rongga ini menghubungkan ventrikel ketiga dan keempat. 3

Gambar 2. 4 Bagian-Bagian dan Rongga pada Sistem Saraf Pusat

Otak belakang terdiri dari medula oblongata, pons, dan serebelum. Baik medula
oblongata dan pons mengandung berbagai nuklei dan saluran saraf ascending dan
descending. Di dalam fossa posterior, dua belahan otak serebelum disatukan oleh vermis
dan terhubung ke otak tengah, pons, dan medula oblongata melalui serebelum superior,
tengah, dan inferior. Otak serebelum secara tidak sadar mengontrol kontraksi halus otot-
otot lurik dan mengoordinasikan tindakan mereka, bersama dengan relaksasi antagonis.
Batang otak terdiri dari medula oblongata, pons, dan otak tengah dan menghubungkan
sumsum tulang belakang dengan otak depan. Batang otak menempati fossa cranial
posterior dan memiliki pusat vital penting seperti pernapasan, kardiovaskular, dan pusat
kesadaran. Batang otak juga mengandung inti untuk saraf kranial III melalui XII. Ini

6
berfungsi sebagai saluran untuk saluran ascending dan descending yang menghubungkan
sumsum tulang belakang ke pusat yang lebih tinggi di otak depan. 3

Sumsum tulang belakang berada dalam kolom vertebral yang terdiri dari 33
vertebra: 7 serviks, 12 toraks, 5 lumbal, 5 sakral, dan 5 tulang ekor vertebrata. Serangkaian
pasang foramen intervertebral lateral mentransmisikan saraf tulang belakang dan
pembuluh yang terkait antara vertebra yang berdekatan. Kolom vertebralis memiliki
lengkungan toraks dan panggul primer yang cembung bagian dorsal. Lengkungan sekunder
adalah serviks dan lordosis lumbar (konveks ke depan).Vertebra yang khas memiliki tubuh
ventral, lengkung vertebra punggung, dan foramen vertebral. Di setiap sisi lengkungan
adalah pedikel dan lamina. Proses transversal timbul dari persimpangan pedikel dan
lamina. Proses spinosus atau proyek tulang belakang vertebra bagian dorsal dan kaudal
dari sambungan laminae. Vertebra serviks atau atlas pertama biasanya berbentuk cincin
dan berisi foramen transversal yang mentransmisikan arteri vertebralis. Vertebra serviks
atau vertebra kedua biasanya diidentifikasi oleh adanya proses atau densus odontoid, yang
memproyeksikan ke atas dari tubuh. Ketujuh vertebra servikal atau vertebra prominen
memiliki proses spinosus yang menonjol dan mudah dirasakan pada ujung bawah nuchal
furrow. Semua vertebra torakalis menampilkan faset sisi lateral untuk artikulasi dengan
kepala dan tuberkulum tulang rusuk. Vertebra lumbal besar dan tidak mengandung costal
facets dan cavernous foramina intervertebralis. Lima tulang belakang sacral membentuk
sacrum yang berbentuk segitiga dan berartikulasi dengan coccyx. Tulang ekor adalah
tulang rudimenter kecil yang sering menyatu dengan sakrum dalam beberapa dekade
kehidupan selanjutnya. 3
Anatomi sumsum tulang belakang dimulai sebagai kelanjutan medula oblongata
pada foramen magnum dan berakhir pada tingkat batas bawah vertebra lumbal pertama
pada orang dewasa.. Ujung bawah dari serabut daraf mengecil untuk membentuk konus
medullaris. Duramater dan arachnoid bersama dengan ruang subarachnoid yang
mengandung cairan serebrospinal melampaui ujung bawah cornu medularis hingga
vertebra sacral kedua. Piamater meluas di bawah konus medullaris untuk membentuk
filum terminale yang berakhir dengan menempel pada vertebra coccyx pertama. 3
Tiga puluh satu pasang saraf tulang belakang melekat pada sumsum tulang
belakang oleh akar anterior atau ventral (motor) dan akar posterior atau dorsal (Sensory) .
Setiap akar posterior memiliki ganglion (ganglion akar dorsal) yang berisi sel yang
menimbulkan serabut saraf perifer dan pusat. Secara internal, sumsum tulang belakang

7
memiliki inti materi abu-abu yang dikelilingi oleh materi putih. Bahan abu-abu berbentuk
kupu-kupu memiliki proyeksi dan tanduk dorsal dan ventral. Di pusat materi abu-abu
tulang belakang terletak sistem ventrikel vestigial, kanal sentral. 3
Secara umum, serat sensorik ascending berhubungan dengan indra umum
(sentuhan, nyeri, tekanan, getaran, panas, dan propiosepsi). Serat-serat ini terdiri dari
neuron yang memanjang dari reseptor perifer ke korteks serebral kontralateral. Serabut
primer untuk nyeri, suhu, sentuhan kasar, dan tekanan dibawa melalui traktus
spinotalamikus di medula spinal. Traktus spinotalamikus lateral bertanggung jawab untuk
membawa rasa sakit dan sensasi suhu sementara tekanan dan sensasi sentuhan kasar
dibawa oleh traktus spinotalamikus anterior. Serat untuk getaran, proprioception, dan
sentuhan halus merupakan kolom putih dorsal atau posterior (fasciculus gracilis dan
fasciculus cuneatus) dari sumsum tulang belakang. Otot rasa sendi dibawa oleh traktus
spinocerebellar anterior dan posterior. Saluran sensoris ascending mencapai talamus,
melewati kapsul internal, mencapai korteks serebral, di mana mereka berhenti di gyrus
postcentral dari lobus parietal (korteks somatosensori primer). Saraf motorik descending
berasal dari area luas dari korteks serebral. Saraf yang berakhir di batang otak disebut saraf
corticobulbar berfungsi mengontrol aktivitas neuron batang otak. Serabut kortikospinalis
turun ke sumsum tulang belakang. Di sepanjang otak tengah, pons, dan medulla oblongata,
kelompok sel-sel saraf dan serat yang tersebar ada dan secara kolektif dikenal sebagai
pembentukan reticular. Formasi retikuler mengontrol gerakan sukarela, aktivitas refleks,
dan juga aktivitas otonom 3
2.2 Sirkulasi Darah pada Sistem Saraf Pusat
2.2.2 Kebutuhan Aliran Darah Serebral Regional

SSP memiliki cadangan substrat yang sedikit serta tidak dapat mempertahankan
metabolisme anaerob. Kurangnya cadangan substrat dalam SSP dan ketidakmampuannya
untuk mempertahankan metabolisme anaerob selama lebih dari beberapa menit
mengakibatkan SSP memerlukan aliran darah konstan yang disesuaikan dengan kebutuhan
metabolik jaringan. SSP adalah organ yang kompleks dan beragam secara struktural yang
terdiri dari beberapa subdivisi fungsional. Neuron menyumbang sekitar setengah volume
otak; sisanya terdiri dari elemen glial dan vaskular. Selain dukungan mekanis neuron, glia
memiliki fungsi pengaturan penting (misalnya, penanganan neurotransmitter dan
pemeliharaan lingkungan metabolik dari neuropile) yang, saat ini, tidak sempurna
dipahami. Tingkat metabolisme sangat berbeda dalam jaringan otak; misalnya, ada

8
perbedaan sekitar empat kali lipat dalam tingkat metabolisme otak untuk oksigen dan
aliran darah ke otak antara materi abu-abu kortikal dan materi putih. Agen anestesi
intravena seperti propofol tampaknya mempertahankan aliran-metabolisme kopling lebih
baik daripada agen volatile. Pada manusia, kopling ini terbukti selama anestesi- diinduksi
electroencephalogram (EEG) burst suppression.4

2.2.2 Pengaturan Aliran Darah Cerebral


Sistem regulasi yang tepat telah berevolusi pada SSP dimana ketika peningkatan
permintaan metabolik dapat dipenuhi oleh peningkatan lokal dalam aliran darah ke otak
dan pengiriman substrat. Seperti yang telah diketahui untuk waktu yang lama dan
didemonstrasikan dengan modalitas pencitraan ganda, waktu proses regulasi ini cepat.
Area kortikal kontralateral menunjukkan peningkatan aliran dan berbagai tugas motorik
dan kognitif. Stimulasi visual menghasilkan peningkatan kecepatan aliran yang hampir
langsung melalui arteri serebral posterior. Emisi Positron Tomografi (PET), magnetic
resonance imaging (MRI) dan time-resolved near-infrared spectroscopy (NIRS) mulai
mengungkap fungsi-fungsi yang saling berkaitan dan hubungan temporal di berbagai area
kortikal yang diaktifkan oleh fenomena kompleks seperti bahasa dan pemrosesan visual.
Seperti dalam vaskular bed yang paling khusus, aliran-metabolisme kopling ini sangat
penting selama masa stres atau kondisi fisiologis ekstrim, seperti hipoksia hipotensi dan
hipotermia. Proses patologis ini melibatkan mekanisme pengaturan untuk menjaga aliran
pada tingkat fisiologis.4
Istilah autoregulasi digunakan untuk mendeskripsikan respon hemodinamik dari
aliran terhadap perubahan tekanan perfusi yang tidak bergantung pada kopling aliran-
metabolisme. Dapat dikatakan bahwa autoregulasi pada dasarnya mengandung kecocokan
aliran dengan metabolisme, terlepas dari mekanisme dasarnya. Sebagai contoh,
kemampuan pembuluh darah otak untuk melebar sebagai respons terhadap hipoksia
jaringan pasti memenuhi syarat sebagai fenomena autoregulasi, dan itu mungkin
merupakan mekanisme sensitif oksigen yang mengatur resistensi vaskular. Respons
autoregulasi menjaga lingkungan internal SSP. Peningkatan aliran darah ke otak tersebut
dipasangkan dengan peningkatan laju metabolisme serebral untuk glukosa. Peningkatan
yang tidak proporsional dalam aliran darah ke otak dan tingkat metabolisme otak untuk
glukosa dibandingkan dengan CMRO2 meningkatkan kemungkinan metabolisme
anaerobik di otak.4

9
2.3 Agen Anastesi pada Bedah Saraf
2.3.1 Agen Intravena
Anestesi untuk bedah saraf tidak hanya membutuhkan pemahaman tentang
anatomi dan fisiologi sistem saraf pusat (SSP) tetapi juga kemungkinan perubahan yang
terjadi sebagai respons terhadap infeksi, lesi, dan trauma untuk menyeimbangkan anestesi
dengan induksi dan pemeliharaan tekanan perfusi serebral yang memadai dan aliran darah
otak, menghindari hipertensi intrakranial, dan penyediaan kondisi bedah yang optimal
perlu diperhatikan. Pengetahuan komprehensif obat anestesi dan efeknya pada
metabolisme otak, sirkulasi, dan TIK sangat penting. Pemilihan obat spesifik dan rute
pemberiannya untuk menghasilkan anestesi umum didasarkan pada sifat farmakokinetik
dan efek sekundernya. Agen intravena memasuki jaringan perfusi dan lipofilik yang sangat
tinggi di otak dan sumsum tulang belakang di mana mereka menghasilkan anestesi dalam
satu waktu sirkulasi. Obat ini didistribusikan keluar dari otak ke dalam darah dan
kemudian memasuki jaringan yang kurang diserap seperti otot dan lemak. Agen anestesi
intravena menurunkan baik aliran darah ke otak dan tingkat metabolisme oksigen
konsumsi otak. Namun, tingkat konsumsi oksigen menurun tetapi alliran darah ke
meningkat oleh agen anestesi inhalasi. Penurunan aliran darah ke otak oleh agen intravena
dapat terjadi sebagai akibat dari penurunan metabolisme otak sekunder untuk fungsi otak
yang tertekan. Di antara semua agen anestesi intravena, ketamine adalah satu-satunya agen
yang menghasilkan peningkatan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen, dan tekanan
intrakranial 5
1) Barbiturat
Barbiturat adalah turunan dari barbituric acid (2,4,6-trioxohexahydropyrimidine).
Barbiturat merupakan obat depresan sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan sedasi
ringan untuk total anestesi. Barbitutat juga dapat menghasilkan hipnosis dan anxiolysis,
dan juga efektif sebagai antikonvulsan dan analgesik. Barbiturat yang paling umum
digunakan dalam anestesi klinis adalah sodium thiopental. Formulasi barbiturat melibatkan
persiapan sebagai garam natrium yang dicampur dengan 6% natrium karbonat anhidrat
menurut beratnya dan kemudian disusun kembali dengan air atau normal saline untuk
menghasilkan larutan 2,5% tiopental. Thiobarbiturates tetap stabil selama 1 minggu setelah
rekonstitusi. 5
Agen-agen ini bertindak terutama sebagai agonis gamma-aminobutyric acid A
(GABAA) reseptor. Efek obat penenang dan hipnosis mereka adalah karena interaksi
dengan neuron penghambat GABA. Seperti benzodiazepin, barbiturat mempotensiasi efek
10
GABA pada reseptor ini. Selain reseptor GABA, barbiturat juga bekerja pada reseptor
glutamat, reseptor adenosin, dan reseptor asetilkolin nikotinat. 5
Dosis induksi thiopental menghasilkan ketidaksadaran pada 10-30 detik dan
durasi anestesi adalah 5-8 menit. Namun populasi lansia membutuhkan dosis induksi yang
rendah (1-3 mg / kg) dibandingkan dengan neonatus dan bayi (5-8 mg / kg). 2, 3 injeksi
intravena barbiturat dapat menghasilkan sedikit rasa sakit, yang dapat dihilangkan dengan
sebelum suntikan lidocaine intravena (0,5-1,0 mg / kg). Suntikan intra-arterial harus
dihindari karena dapat menyebabkan reaksi peradangan yang parah. Thiopental
dihilangkan dengan metabolisme hati dan ekskresi ginjal. Pada pasien anak tanpa akses
intravena, anestesi dapat diinduksi dengan memberikan obat ini secara rektal dengan dosis
intravena sepuluh kali lipat. 5
Efek sistemik sodium thiopentone menghasilkan penurunan tergantung dosis
dalam aliran darah ke otak, konsumsi oksigen, dan tekanan intrakranial. Penurunan
tekanan intrakranial dan konsumsi oksigen terjadi sampai electroencephalogram menjadi
datar. Thiopental menghasilkan pengurangan yang signifikan dalam ukuran infark pada
dosis moderat. Karena efek neuroprotektifnya, hiopental dianggap obat yang
menguntungkan bagi pasien yang menjalani prosedur bedah saraf. 5
2) Propofol
Persiapan propofol saat ini adalah 1% (10 mg / mL), yang mengandung 2,25%
gliserol sebagai tonisitas / menstabilkan agen, 10% minyak kedelai, dan 1,2% fosfolipid
telur yang dimurnikan sebagai pengemulsi, dengan natrium hidroksida untuk mengatur pH.
Anestesi lokal seperti lignocaine serta opioid seperti fentanyl dapat dikombinasikan
dengan propofol untuk mengurangi rasa sakit. 5
Mekanisme kerja propofol baik meskipun aktivasi reseptor GABA atau
meskipun terjadi pemblokiran pada saluran natrium. Namun, propofol diasumsikan
mengerahkan efek sedatif dan hipnosisnya melalui interaksi reseptor GABA. 5
Dosis induksi propofol pada individu yang sehat adalah 1,5-2,5 mg / kg. Karena
waktu paruh yang singkat, propofol juga dapat digunakan sebagai anestesi intravena total
dalam pemeliharaan anestesi. Dosis pemeliharaan propofol pada pasien <55 tahun adalah
0,1-0,2 mg / kg / menit dan pada pasien> 55 tahun, itu 0,05-0,1 mg / kg. Pemulihan setelah
infus propofol atau dosis ganda jauh lebih cepat daripada setelah barbiturate. Pada pasien
yang menerima propofol untuk durasi yang lama, ada peningkatan risiko mengembangkan
"sindrom infus propofol," yang merupakan kondisi medis yang langka. Biasanya
berkembang jika infus dilanjutkan selama lebih dari 48 jam dengan dosis 4 mg / kg / jam.
11
Gangguan metabolisme yang berpotensi mematikan ini lebih sering ditemukan pada anak-
anak dan pasien sakit kritis pada infus berkepanjangan dari substansi dosis tinggi dalam
kombinasi dengan katekolamin atau kortikosteroid. Tanda dan gejala sindrom infus
propofol termasuk rhabdomyolysis, asidosis metabolik, gagal jantung, dan gagal ginjal. 5
Efek sistemik propofol juga menyebabkan pengurangan terkait dosis dalam aliran
darah ke otak dan tekanan intrakranial bersama dengan penurunan konsumsi oksigen. Efek
serebral dan metabolik ditemukan mirip dengan natrium thiopental. Mekanisme yang
berkontribusi untuk membuat propofol agen neuroprotektif termasuk aktivitas antioksidan,
peningkatan tindakan reseptor GABA, penurunan tingkat metabolisme otak, dan
pencegahan pembengkakan mitokondria. 5
3)Etomidate
Etomidate (ethyl 3 - [(1R) -1- phenylethyl] imidazo- 5 -carboxylate) adalah agen
anestesi short-acting yang digunakan untuk induksi anestesi umum serta untuk sedasi.
Etomide merupakan larutan tidak berwarna yang jelas untuk injeksi yang mengandung 2
mg / mL etomidate dalam larutan berair propilen glikol 35%. Etomidat juga digunakan
karena penekanan terbatasnya ventilasi, kurangnya pelepasan histamin, dan perlindungan
dari iskemia miokard dan serebral. Dengan demikian, dianggap sebagai agen induksi yang
baik pada pasien yang hemodinamik tidak stabil. 5
Mekanisme kerja obat ini terutama bertindak pada reseptor GABAA dan sangat
terikat dengan protein. Etomide dimetabolisme oleh esterase hepatik dan plasma menjadi
produk yang tidak aktif. Clearance dilakukan melalui rute biliaris (22%) dan ginjal (78%).
5

Injeksi etomidate memiliki onset dan pemulihan yang cepat. Onset kerjanya
adalah 30–60 detik dan efek puncak dicapai pada 1 menit. Pemberian etomidate intravena
menyebabkan nyeri hebat dan gerakan mioklonik. Aktivitas mioklonik ini dapat dikurangi
dengan pemberian opioid sebelumnya. Etomidat juga menekan sintesis kortikosteroid di
korteks adrenal dengan menghambat secara reversibel 11-beta-hidroksilase, yang
menyebabkan penekanan adrenal primer. Kelemahan lain dari etomidate adalah bahwa ia
juga dikaitkan dengan muntah. 5
Efek sistemik etomidat seperti natrium thiopental mengurangi konsumsi oksigen
otak sampai ada pola EEG isoelektrik. Dengan penurunan aliran darah ke otak , ada
penurunan paralel dalam tekanan intrakranial tetapi tanpa mempengaruhi tekanan perfusi
otak. Secara keseluruhan, ia memiliki efek depresan otak. Efek neuroprotektif dari

12
etomidate tidak dapat ditentukan karena berbagai laporan dalam literatur.Penelitian besar
lebih lanjut diperlukan untuk menarik kesimpulan apapun pada efek neuroprotektifnya. 5
4) Ketamin
Ketamin adalah turunan phencyclidine dan formulasi kimianya adalah
arylcyclohexylamine. Ini menghasilkan keadaan yang disebut "anestesi disosiatif," yang
ditandai dengan adanya disosiasi antara sistem talamokortikal dan limbik. Ini adalah
keadaan anestesi di mana mata tetap terbuka dengan nistagmus lambat. Gerakan otot rangka
independen sering terjadi setelah pemberian obat ini. Ini juga memberikan analgesia intens
serta amnesia. Karena kemungkinan peningkatan sekresi saluran napas dan munculnya
delirium, disarankan untuk memberikan antisialagog (glycopyrrolate) dan midazolam
sebagai premedikasi pada pasien yang menerima ketamin.5
Ketamin terutama berikatan dengan reseptor N-methyl-d-aspartate
(NMDA).Ketamin juga bekerja pada reseptor lain seperti reseptor opioid, reseptor GABA,
reseptor muskarinik, dan saluran natrium tegangan-sensitif dan saluran kalsium.5
Ketamine dapat diberikan melalui banyak rute: intravena, intramuskular, oral, dan
perrektal. Dosis induksi ketamin adalah 0,5-1,5 mg / kg intravena, 4-6 mg / kg
intramuskular (IM), dan 8-10 mg / kg melalui perrectal. Ketamin sangat larut dalam lemak
dan memiliki onset aksi yang cepat dan durasi aksi yang relatif seperti barbiturat. Untuk
pemeliharaan anestesi, ketamine kadang-kadang digunakan dalam infus dengan dosis 25-
100 μg / kg / mnt. Ketamine tidak terlalu terikat dengan protein plasma, sehingga cepat
didistribusikan ke jaringan. Karena kelarutan lemak yang tinggi, dengan cepat melintasi
penghalang darah-otak. Ketamin lebih meningkatkan aliran darah ke otak, yang
menyebabkan peningkatan konsentrasi obat di otak5
Ketamin meningkatkan aliran darah ke otak, TIK, dan konsumsi oksigen ke otak.
Peningkatan maksimum dalam aliran darah ke otak regional berada di area frontal dan
parietooccipital. Peningkatan TIK ditandai dengan ketamin. Namun, dapat dikurangi atau
diblokir oleh benzodiazepine atau hipokapnia yang diinduksi. Efek neuroprotektifnya telah
ditunjukkan dalam berbagai patologi intrakranial seperti trauma kepala dan iskemia; namun,
temuan ini telah dilaporkan hanya dalam penelitian dengan periode observasi singkat. 5
2.3.2 Agen Anastesi Inhalasi
Pada pasien yang menjalani prosedur bedah saraf, tujuan utama dari agen
anestesi inhalasi adalah untuk menyediakan kondisi operasi yang baik, pemulihan yang
cepat, gangguan minimal dengan pemantauan elektrofisiologi, dan pelestarian fungsi
neurokognitif. Pemeliharaan intraoperatif tekanan perfusi serebral, aliran darah serebral
13
dan tekanan intrakranial menjadikan mereka agen anestesi yang ideal. Jika obat anestesi
tidak digunakan dengan benar, itu dapat memperburuk situasi patologis intrakranial dan
dapat menyebabkan cedera baru. Meskipun manfaat teoritis agen anestesi intravena, agen
inhalasi tetap lebih populer. Sejumlah penelitian telah menunjukkan efek diferensial dari
agen anestesi inhalasi pada hemodinamik serebral. 6
1) Nitrous oxide
Nitrous oxide (N2O) adalah gas tidak berwarna dengan bau manis. NO adalah gas yang
tidak mudah terbakar tetapi mendukung pembakaran. N2O tersedia sebagai gas cair dalam
mesin anestesi. Karena kelarutan darahnya yang buruk, konsentrasi alveolar dan otak yang
dicapai sangat cepat. N2O digunakan dalam banyak prosedur dan operasi karena efek
analgesik dan anestesi. N2O juga dianggap sebagai pencemar udara utama dengan
probabilitas pemanasan global yang tinggi. 6
Mekanisme yang tepat dari aksi N2O tidak diketahui dengan baik. Ini sebagian
memblokir reseptor N-methyl-d-aspartat (NMDA), reseptor nicotinic acetylcholine
(nACh), reseptor asam gamma-aminobutyric (GABA), dan reseptor histamin (5-
hydroxytryptamine [5-HT3]), dan sebagian memperkuat GABA. dan reseptor glisin.6,7
Pada reaksi dengan oksigen, N2O menghasilkan nitrit oksida (NO) dan aksinya pada
sistem saraf pusat menyebabkan efek analgesik dan ansiolitik. 6
N2O tidak terlalu larut dalam darah, menghasilkan keseimbangan yang cepat
antara pengiriman dan konsentrasi alveolar N2O, dan karenanya menghasilkan induksi
cepat dan pemulihan cepat dari anestesi. Konsentrasi alveolar yang cepat ini menghasilkan
efek gas kedua dengan memusatkan agen anestesi lain yang diberikan secara bersamaan.
Pasien harus diventilasi dengan 100% oksigen ketika N2O dihentikan. Pada penghentian,
N2O berdifusi cepat dari darah ke alveoli, yang menyebabkan hipoksia difusi karena
pengenceran oksigen alveolar. Waktu paruh eliminasi N2O kira-kira 5 menit. Ini
diekskresikan pada dasarnya tidak berubah melalui paru-paru dan terdegradasi di usus. 6
Penggunaan N2O yang lama dapat menghasilkan neuropati vitamin B12. Efek
sistemik N2O adalah subjek perdebatan dalam anestesi bedah saraf. Telah diterima bahwa
N2O menambah aliran darah ke otak, tingkat metabolisme oksigen dalam otak, dan ICP
juga. Peningkatan aliran darah ke otak dan tekanan intrakranial maksimal terjadi ketika
N2O diberikan sendiri atau dalam kombinasi dengan agen anestesi lainnya dalam
konsentrasi minimal. Namun, peningkatan ini tampaknya tidak hanya karena overaktivitas
simpatik. N2O tidak memiliki efek vasodilatasi langsung pada vasculature otak. Efek
6
sistemik
14
2) Isoflurane
Isoflurane adalah zat volatil terhalogenasi dengan rumus kimia 2-chloro-2-
(difluoromethoxy) - 1,1,1-trifluoroethane. Ini adalah agen anestesi volatile dengan sifat
non-inflamasi dan nonxplosive. Isoflurane cair pada suhu kamar tetapi menguap sangat
cepat. Bau tajamnya dapat mengiritasi saluran udara yang menyebabkan laringospasme.
Oleh karena itu, isoflurene tidak dipertimbangkan untuk induksi anestesi pada pasien
anak.6
Mekanisme pasti aksi isoflurane belum dijelaskan dengan jelas. Mirip dengan
halotan, ia mengikat reseptor GABA dan glisin. Ini meningkatkan aktivitas reseptor glisin
yang mengakibatkan penurunan fungsi motorik. Ini memiliki tindakan penghambatan pada
reseptor NMDA dan saluran kalium. Ini meningkatkan fluiditas membran dengan
mengaktifkan kalsium ATPase. 6
Koefisien partisi gas darah isoflurane rendah. Akibatnya, induksi serta pemulihan
dari anestesi isoflurane relatif cepat dibandingkan dengan dua lainnya. Sekitar 99%
isoflurane diekskresikan melalui paru-paru dan sebagian kecil dimetabolisme secara
oksidatif oleh sitokrom P2E1 (CYP2E1). Namun, itu tidak menyebbkan aktivitas
karsinogenik, mutagenik, atau teratogenik. Ini tidak menghasilkan toksisitas hati, ginjal,
atau endokrin di organ lain. 6
Efek sistemik isoflurane meningkatkan aliran darah ke otak dan metabolisme
oksigen otak disertai dengan penurunan konsumsi oksigen. Isoflurane menyebabkan
vasodilasi serebral dibandingkan dengan halotan. Telah dilaporkan bahwa isoflurane
menurunkan seluruh metabolisme otak dengan. Karena efek metabolik otak depresif,
isoflurane dianggap memiliki efek neuroprotektif. Berbagai mekanisme berkontribusi
terhadap efek neuroprotektif termasuk penghambatan neurotransmitter rangsang,
peningkatan tindakan reseptor GABA, dan regulasi respon kalsium intraseluler. 6
3) Sevoflurane
Sevoflurane memiliki rumus kimia fluorometil 2,2,2-trifluoro-1-
(trifluoromethyl) etil eter. Ini adalah salah satu agen anestesi volatil yang paling banyak
digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi umum. Ini adalah agen yang tidak
mudah terbakar dengan bau yang manis. Karena bau yang tidak menyengat, sevoflurane
umumnya digunakan untuk induksi anestesi pada anak-anak dan untuk anestesi rawat jalan
karena pemulihannya yang cepat. 6

15
Bau yang tidak menyengat tidak menyebabkan batuk atau iritasi saluran napas
seperti desflurane atau isoflurane. Sevoflurane dimetabolisme di hati. Interaksi dengan
soda kapur menghasilkan produk degradasi besar yang disebut senyawa A yang dapat
nefrotoksik. Efek sistemik Sevoflurane menunjukkan penurunan atau tidak ada perubahan
dalam aliran darah ke otak. Namun, peningkatan aliran darah ke otak juga telah
dilaporkan. dalam literatur Sevoflurane dengan atau tanpa N2O menghasilkan sedikit atau
tidak ada peningkatan TIK. Efek neuroprotektif dari sevoflurane saat ini tampak mirip
dengan isoflurane. 6
4) Desflurane
Desflurane (1,2,2,2-tetrafluoroetil difluorometil eter) adalah agen anestesi
inhalasi yang sangat terfluorinasi. Ini adalah agen inhalasi yang sangat tajam dengan
potensi rendah. Karena baunya, desflurane dapat menyebabkan iritasi saluran napas, yang
menyebabkan penggunaannya jarang untuk menginduksi anestesi. Kelemahan lain dari
anestesi desflurane adalah biayanya yang tinggi. Desflurane adalah gas rumah kaca yang
menghasilkan karbon dioksida jauh lebih tinggi daripada sevoflurane dan isoflurane.22
Jika desflurane digunakan selama 1 jam pada 1 MAC, itu menyebabkan 26,8 kali
pemanasan global sevoflurane. 6
Mekanisme yang tepat dari desflurane yang menghasilkan ketidaksadaran belum
didefinisikan dengan jelas.Desflurane mengikat protein membran dan mengubah fungsi
mereka dan mempotensiasi aktivitas neurotransmitter GABA penghambatan. Teori lain
adalah teori Meyer-Overton, yang menunjukkan pada efek dari agen ini adalah karena aksi
desflurane pada matriks lipid dari membran neuronal. 6
Karena koefisien partisi gas darahnya yang sangat rendah (0,42) dan kelarutan
lemak yang rendah, desflurane memberikan induksi yang sangat cepat dan kemunculan
cepat dari anestesi umum. Waktu kemunculannya setengah dari sevoflurane dan halotan
dan tidak melebihi 5–10 menit.26 Sebagian besar desflurane (99%) dihilangkan melalui
paru-paru. 6
Efek sistemik Desflurane menghasilkan peningkatan tergantung dosis dalam
aliran darah ke otak dan penurunnan metabolisme oksugen. Desflurane juga menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial yang lebih besar dibandingkan dengan isofluran pada
normocapnia, namun pada hipokapnia, efeknya serupa. Tingkat neuroproteksi oleh
desflurane saat ini sebanding dengan bahwa isoflurane. 6
2.3 Persiapan Pra-Operasi pada Bedah Saraf
2.3.1 Sedasi
16
Sedasi mengandung risiko hiperkapnia, hipoksemia, dan sebagian obstruksi
saluran napas bagian atas, yang menyebabkan peningkatan TIK. Namun, menghindari stres
(peningkatan CMR, aliran darah ke otak) dan hipertensi (peningkatan aliran darah ke otak,
edema vasogenik dengan autoregulasi terganggu) juga diperlukan. Dengan demikian
analgesia dan sedasi (misalnya, midazolam 0,5 hingga 2 mg atau benzodiazepin lain dan /
atau fentanil 25 sampai 100 μg atau sufentanil 5 hingga 20 μg) dapat diberikan selama
penempatan akses vascular preoperatif dan perangkat pemantauan dengan peningkatan
kecil, titrasi, dan intravena di bawah kontrol langsung dan terus dan pengamatan dari ahli
anestesi. Pasien tidak boleh ditinggalkan tanpa pengawasan.7
Bantuan pernapasan harus diberikan seperlunya. Namun, pada pasien dengan
tumor tanpa tanda klinis atau tanda lain peningkatan TIK (tidak ada pergeseran, dll.), dosis
kecil benzodiazepin dapat membantu menurunkan tingkat kecemasan sambil tetap
mengingat untuk menggunakan obat yang memungkinkan penilaian pasca operasi yang
tepat. Dosis kecil benzodiazepin atau narkotika dapat memperburuk defisit neurologis
kompensasi yang sudah ada sebelumnya. Keadaan ini mungkin sulit dibedakan dari
perburukan cepat efek massa dan hipertensi intrakranial. Steroid harus dilanjutkan pada
pagi hari operasi (methylprednisolone atau deksametason). Histamin (H2) blocker dan
agen prokinetik lambung harus dipertimbangkan untuk melawan pengosongan lambung
yang berkurang dan sekresi asam yang lebih besar terkait dengan peningkatan TIK dan
terapi steroid, terutama pada pasien dengan saraf kranial IX dan X . Obat reguler lainnya,
terutama antikonvulsan,serta antihipertensi dan obat jantung lainnya, harus dilanjutkan,
meskipun interaksi obat dapat terjadi dengan fenitoin. Fluktuasi perioperatif dalam obat
antiepilepsi dapat terjadi, berkontribusi terhadap perkembangan kejang perioperatif
Pemantauan kadar plasma atau pembesaran sementara dosis obat-obatan tersebut mungkin
diperlukan. 7
2.3.2 Akses Vaskular
Dua saluran intravena perifer besar biasanya ditempatkan untuk kraniotomi.
Akses vena sentral, yang saat ini kurang disisipkan secara sistematis, diindikasikan jika
risiko emboli udara vena yang signifikan secara klinis ada, jika perdarahan substansial
diantisipasi (misalnya, tumor vaskular besar, kedekatan dengan arteri utama atau sinus
vena, atau reseksi tulang ekstensif), jika risiko kardiovaskular utama jelas atau dicurigai,
dan jika obat vasoaktif harus diinfus terus menerus.Saluran internal jugularis dengan
teknik kanulasi yang teliti dan meminimalkan posisi kepala dan rotasi leher. Posisi dan
rotasi leher seperti itu, bersama dengan unsur ketidaknyamanan pasien yang tak
17
terelakkan, dapat meningkatkan TIK. Dengan demikian pada pasien yang stabil,
pertimbangan dapat diberikan untuk menempatkan garis-garis ini dalam sekali pasien
tertidur. Jika garis pusat ditempatkan untuk pengelolaan emboli udara vena, posisinya
harus dikontrol secara teliti secara radiografis (tip pada transisi antara vena cava dan
atrium kanan) atau dengan penggunaan timah elektrokardiografi. 7
Neuroanesthesia untuk kraniotomi penuh dengan kanulasi arteri
direkomendasikan, karena kebutuhan untuk pemantauan dan kontrol CPP yang sangat
ketat (dapat diperoleh dengan menransduksi tekanan arteri pada tingkat telinga tengah
lingkaran Willis dan menggunakan rumus CPP = MAP - TIK). Setelah dura dibuka, TIK
sama dengan tekanan atmosfer, jadi CPP sama dengan MAP. Selain itu, pengambilan
sampel darah yang sering diperlukan untuk pengukuran PaCO2, terutama jika pasien
mengalami hiperventilasi, lanjut usia, atau memiliki penyakit paru obstruktif kronik, dan
untuk glukosa plasma, kalium, osmolalitas, dan pengukuran lainnya. Pemantauan etco2
tidak menggantikan pengukuran PaCO2 karena keduanya sering berkorelasi buruk,
terutama dengan gangguan ventilasi - pencocokan perfusi seperti yang terjadi pada
penyakit paru obstruktif kronik, pada pasien usia lanjut, atau dengan prosedur lama. 7
Pemantauan jenuh oksigen vena jugularis melalui kateter yang ditempatkan
dengan kanulasi retrograd vena jugularis internal, memungkinkan pemantauan terus
menerus ekstraksi oksigen otak dan saturasi oksigen hemoglobin dalam darah vena
jugularis (SjvO2). Dengan asumsi bahwa CMR konstan, atau melalui observasi
perubahannya dengan pemantauan EEG, kesimpulan dapat ditarik tentang kecukupan
global perfusi serebral. 7
Seperti yang sudah disebutkan, pemantauan hemodinamik merupakan hal
mendasar selama bedah saraf. Ini termasuk pemantauan denyut jantung arteri dan
elektrokardiogram untuk diagnosis myocardial ischemia dan aritmia. Pulse oximetry
(untuk deteksi hipoksia sistemik), etco2 (sebagai monitor tren untuk PaCO2 dan untuk
membantu dalam mendeteksi metabolisme udara vena), dan pemantauan suhu (mis.,
Esofagus atau kandung kemih) merupakan pemantauan standar. Kateter urin ditempatkan
untuk memantau output urin. 7
Terjadinya emboli udara paling baik dideteksi oleh ekokardiografi transesofageal
atau ultrasonografi Doppler prekordial, monitor paling sensitif (bersama dengan
ekokardiografi transesofage) untuk gelembung udara dalam sirkulasi vena. Jika
myorelaxants diperlukan selama operasi, blok neuromuskular harus dipantau. Namun,
transmisi neuromuskular tidak harus dipantau pada ekstremitas hemiplegia karena densitas
18
reseptor asetilkolin yang lebih besar dari unit neuron motorik rendah dipersarafi oleh
neuron motorik disfungsional atau nonfungsional menyebabkan resistensi terhadap
nondepolarizing myorelaxants. Jika dosis myorelaxant didasarkan pada stimulasi saraf
perifer dari hemiplegia ekstremitas, overdosis unit neuromuskular normal akan
menghasilkan. Dalam konteks ini hemiparesis mungkin tidak terkait dengan hiperkalemia
seperti yang muncul pada pasien lumpuh atau luka bakar, dan penggunaan suksinilkolin
oleh karena itu tidak dikontraindikasikan. dari sudut pandang ini. 7
Anestesi umum dan terapi steroid menaikkan kadar glukosa darah dan karena
retraksi otak sering dikaitkan dengan setidaknya beberapa iskemia serebral fokal. Oleh
karena itu kadar glukosa darah harus dipantau secara teratur; hiperglikemia memperburuk
kerusakan saraf selama iskemia. Dalam konteks ini, pemantauan elektrolit plasma
(terutama kalium) dan osmolalitas (terutama jika manitol atau salin hipertonik digunakan)
juga akan nampak lebih bijaksana, seperti halnya penentuan hemoglobin dan hematokrit
dalam konteks berdarah. Perhatian khusus harus diberikan pada pemantauan gangguan
koagulasi dan hemostasis. Tumor otak primer atau metastatik dapat menyebabkan
gangguan vaskular yang diduga berkontribusi terhadap perkembangan penyakit yang
mendasarinya, seperti trombosis dan perdarahan.Cedera endotel, iskemia dan reaksi
inflamasi sekunder memicu pelepasan thromboplastin otak, trombin, dan besi saat
degradasi produk dari sel darah merah yang lisis akan menyebabkan gangguan hemostatik.
Peningkatan ekspresi faktor jaringan, misalnya, mungkin terkait dengan tumor astrocytic,
sementara tumor otak tertentu memiliki efek langsung pada fibrinolysis atau meningkatkan
koagulasi plasmatic. Selain itu, penggunaan obat antiepilepsi telah dikaitkan dengan
gangguan hemostatik, seperti disfungsi trombosit, hipofibrinogenemia atau menurunkan
faktor XIII. 7
Perawatan (POC) viscoelastic assays (ROTEM® atau TEG®) atau wholeblood
impedance aggregometry (Multiplate®) dapat memberikan pemahaman menyeluruh
tentang status koagulasi dan fungsi trombosit. Pemeriksaan dilakukan dalam darah utuh
dan menyediakan data yang relevan secara klinis, seperti sebagai kecepatan dan kualitas
pembentukan bekuan, kekakuan bekuan, adanya hiperfibrinolisis atau efek bloker aspirin,
clopidrogel dan GP IIb / IIIA.112 Ketersediaan tes POC cepat dapat memandu manajemen
terapeutik intraoperatif dan memungkinkan terapi hemostatik yang diarahkan pada tujuan
pada pasien bedah saraf. Pemantauan lingkungan intrakranial atau fungsi serebral semakin
dipraktekkan selama bedah saraf. Untuk beberapa operasi, pemantauan potensi yang
ditimbulkan sangat membantu dalam mengamati keutuhan jalur saraf pusat spesifik.
19
Perawatan bedah tumor yang terletak di dekat area otak yang eloquent membawa risiko
tinggi memperburuk defisit neurologis. 7
Elektrostimulasi intraoperatif (IES) telah dikembangkan untuk mengoptimalkan
rasio manfaat-risiko operasi. Pemetaan motorik dengan pasien di bawah anestesi umum
atau sedasi sadar sedang semakin digunakan untuk melokalisasi korteks motorik secara
adekuat dan meningkatkan kualitas tumor bedah atau pengangkatan zona epilepsi
Dibandingkan dengan anestesi umum, sedasi sadar meningkatkan peluang untuk mencapai
stimulasi yang berhasil. Pemantauan TIK preoperatif untuk operasi tumor supratentorial
elektif jarang digunakan hari ini karena dampak kortikosteroid pada pengurangan TIK pra
operasi dan kemampuan teknik anestesi modern untuk mengontrol TIK selama induksi .
Ini tidak berlaku untuk neurotraumatologi, di mana pemantauan TIK sangat penting untuk
terapi dari pasien masuk di departemen darurat dan seterusnya. Dengan munculnya
pemantauan kateter-tip TIK yang relatif aman dan mudah digunakan, ada kecenderungan
untuk lebih banyak menggunakan monitor TIK pasca operasi., terutama untuk pasien yang
berisiko (terutama untuk menghilangkan tumor besar dengan edema luas atau untuk
operasi darurat pada pasien dengan hipertensi intrakranial dan penurunan kesadaran. 7
Hipertensi intrakranial berkembang pada hingga 20% pasien dalam periode pasca
operasi segera dari pembengkakan otak atau pembentukan hematoma, dan pasien seperti
itu mendapat manfaat dari intervensi terapeutik yang cepat. Pemantauan TIK pasca operasi
juga dapat membantu diagnosis banding pada pasien yang tidak muncul dari anestesi.
setelah operasi. Untuk semua penggunaan ini, melihat bentuk kurva TIK adalah penting
untuk memastikan bahwa tekanan yang ditampilkan dapat diandalkan. Dalam beberapa
kasus tertentu, jika drainase CSF lumbal digunakan, dapat memberikan refleksi TIK
selama jalur CSF tidak terhalang. Pendekatan ini dapat diuji dengan menentukan apakah
kompresi vena jugularis meningkatkan tekanan CSF lumbar (Queckenstedt manuver).
Tekanan CSF lumbar kemudian dapat digunakan untuk memberikan informasi kepada ahli
bedah dan ahli anestesi tentang pengaruh posisi, anestesi, dan pembedahan pada tekanan
perfusi otak potensial. 7
Ultrasonografi Doppler transkranial (TCD) sedang semakin digunakan dalam
anestesi dan perawatan intensif untuk memantau kecepatan aliran darah (FV) (lihat Bab 7).
TCD memungkinkan estimasi autoregulasi tekanan dan reaktivitas CO2.117 Selain itu,
TCD adalah satu-satunya metode non-invasif yang mudah digunakan untuk mendeteksi
komplikasi intrakranial yang mengarah pada peningkatan TIK dan untuk menilai perfusi
serebral dalam pembiusan pasien. Selama timbulnya dari anestesi, pemantauan FV dapat
20
mendeteksi hiperemia serebral. Meskipun implikasi dari perubahan fisiologis ini tidak
jelas, pendarahan otak setelah hiperemia serebral berat telah dilaporkan.Pemantauan
Doppler intraoperatif di bidang bedah , dengan menggunakan probe aliran ultrasonik
mikrovaskular, telah digunakan sebagian besar dalam operasi aneurisma. Pemantauan ini
dapat digunakan dalam operasi tumor untuk menilai patensi pembuluh darah selama
pembedahan yang sulit dari tumor. 7
2.3.3 Induksi Anestesi dan obat-obatan
Otak tidak memiliki nosiseptor. Hanya kraniotomi per se dan manipulasi
duramater dan pembuluh darah serebral yang menimbulkan rasa sakit. Fase kritis bedah
saraf sering dilakukan di bawah mikroskop, di mana gerakan pasien yang tidak disengaja
bisa berbahaya. Anestesi harus cukup dalam untuk menghindari gerakan atau batuk,
terutama ketika kepala pasien terpaku di klem Mayfield. Pada pasien yang memasuki
ruang operasi dengan tingkat kesadaran normal dan menjalani prosedur tidak lancar,
pemulihan pascaoperasi cepat harus dilakukan (jalur cepat neuroanaesthesia). Evaluasi
neurologis yang sering adalah alat diagnostik terbaik untuk mendeteksi komplikasi pasca
operasi. Oleh karena itu, regimen neuroanaestesi yang khas terdiri dari agen short-acting
untuk pemeliharaan setelah induksi intravena. Jika tidak kontraindikasi [karena, mis.
pemantauan saraf wajah atau Motor Evoked Potential (MEP) yang harus dilakukan],
penggunaan terus menerus dari obat penghambat neuromuskular umum dalam
neuroanaesthesia untuk mencegah pergerakan pasien. Namun, kedalaman anestesi harus
cukup untuk menghindari kesadaran. Penggunaan anestesi volatile untuk prosedur bedah
saraf aman hingga konsentrasi 1,0 konsentrasi alveolar minimum (MAC). Namun, TIVA
mungkin lebih disukai ketika TIK sangat meningkat. 7
Faktor utama yang harus dipertimbangkan untuk induksi anestesi untuk bedah
saraf adalah menghindari cedera otak sekunder. Oleh karena itu, kontrol ventilasi
(menghindari hiperkapnia dan hipoksemia), simpatik dan dengan demikian kontrol tekanan
darah (yaitu, kedalaman anestesi dan antinociception yang memadai untuk mencegah SSP
rousal), dan pencegahan obstruksi aliran keluar vena cranial (posisi kepala) sangat penting.
Perhatian pada rincian ini meningkatkan status kurva tekanan-intrakranial pasien,
memastikan kecukupan perfusi serebral, membantu mencegah peningkatan TIK yang tidak
diinginkan, dan menurunkan tekanan perfusi otak. Skema khas untuk mencapai tujuan ini
dirinci dalam dengan propofol atau thiopental yang diberikan sebagai "starter," dan opioid,
bersama dengan hiperventilasi yang hati-hati, diberikan sebelum intubasi. Untuk induksi
pada pasien yang lebih lemah atau lanjut usia, etomidate (0,2 hingga 0,4 mg / kg) dapat
21
digunakan sebagai pengganti propofol. Fentanyl dapat digantikan oleh alfentanil (5 hingga
10 μg / kg diikuti oleh infus pada 5 sampai 10 μg / kg / jam), dengan sufentanil (0,5 hingga
1,5 μg / kg diikuti oleh infus pada 0,1 hingga 0,3 μg / kg / jam) untuk kontrol
hemodinamik yang lebih halus, atau dengan remifentanil (0,25 hingga 0,5 μg / kg diikuti
oleh infus pada 0,1 hingga 0,2 μg / kg / jam) untuk kebangkitan cepat dan penilaian
neurologis awal independen dari durasi anestesi. 7
2.3.4.Muscle Relaxants
Modern nondepolarizing myorelaxants memiliki efek minimal pada
hemodinamik intraserebral. Diperkirakan bahwa penggunaan suksinilkolin harus
disediakan untuk pasien dengan kemungkinan kesulitan intubasi atau ketika induksi cepat
benar-benar tidak dapat dihindari. Succinylcholine dapat menyebabkan peningkatan
sementara pada CMR, aliran darah ke otak, dan TIK, meskipun peningkatan tersebut
biasanya dapat dikendalikan oleh hiperventilasi atau anestesi yang diperdalam dan
merupakan konsekuensi terutama pada pasien yang mengalami peningkatan TIK. 7
Myorelaxants yang bekerja lebih lama, seperti pancuronium sebaiknya dihindari,
dan lebih baik memilih myorelaxants kerja menengah, seperti vecuronium, cisatracurium,
mivacurium, dan rocuronium. Rekomendasi kami didasarkan pada fakta bahwa pasien
bedah saraf sangat rentan terhadap efek hangover myorelaxant (sulit untuk dideteksi
dengan penilaian manual stimulasi saraf perifer). Dalam konteks ini, interaksi (perlu
hingga 50% hingga 60% dosis lebih tinggi) antara fenitoin jangka panjang atau pengobatan
carbamazepine125 (> 7 hari) dan pancuronium, vecuronium, atracurium, atau
cisatracurium harus dicatat, seperti perlunya memonitor transmisi neuromuskular pada
ekstremitas nonhemiplegic (seperti yang dibahas sebelumnya). Dokter anestesi harus
mengingat, bagaimanapun, bahwa imobilitas pasien harus dijamin selama prosedur. 7
2.3.5 Posisi pasien
Akses optimal ke wilayah otak yang menjadi area pembedahan sangat penting
untuk prosedur yang aman dan sukses. Oleh karena itu, ahli bedah saraf sering
menggunakan alternatif untuk posisi terlentang. Durasi panjang prosedur bedah saraf dan
kebutuhan akan imobilitas mutlak akan meningkatkan risiko luka tekan. Oleh karena itu
wajib untuk menentukan posisi pasien dengan hati-hati serta menggunakan material
bantalan berkualitas tinggi. Fleksi kepala merupakan posisi umum dan ahli anestesi perlu
menghindari intubasi endobronkial yang tidak disengaja selama penentuan posisi. Lebih
lanjut, fleksi atau rotasi berlebihan membatasi drainase vena pada otak. Setidaknya tiga
jari harus pas antara mandibula dan klavikula pasien. Selama prosedur, perubahan posisi
22
meja biasanya diminta: pasien harus aman di atas meja untuk menghindari kecelakaan
yang timbul dari gerakan tersebut. Karena kepala pasien akan sering tidak dapat dijangkau,
semua koneksi harus diamankan dengan kuat dan diperiksa ulang sebelum kepala
dipersiapkan dan dibungkus. 7
Aplikasi pin holder adalah stimulus nociceptive maksimal. Harus diblokir secara
memadai dengan memperdalam analgesia (bolus remifentanil 0,25 hingga 1 μg / kg) atau
anestesi (misalnya bolus intravena propofol 0,5 mg / kg), sebaiknya bersamaan dengan
infiltrasi anastesi lokal dari tempat pin untuk mencegah aktivasi arousal dan hemodinamik.
SSP yang tidak diinginkan. Sebagai alternatif, kontrol hemodinamik dapat dicapai dengan
agen antihipertensi seperti esmolol (1 mg / kg) dan labetalol (0,5 hingga 1 mg / kg). Scalp
blokade, idealnya sebelum menjepit, meningkatkan stabilitas hemodinamik intraoperatif
dan memberikan beberapa derajat analgesia pasca operasi. Penyisipan pin dapat dikaitkan
dalam kasus yang sangat jarang dengan emboli udara vena pada pasien yang diposisikan di
kepala. Pemosisian pasien harus dipantau dengan cermat oleh ahli anestesi dan ahli bedah,
dengan posisi ekstrim dihindari. Perhatian yang cermat harus diberikan kepada bantalan
atau pemasangan daerah yang rentan terhadap cedera karena tekanan, abrasi, atau gerakan,
seperti jatuh ekstremitas. 7
Head-up yang ringan posisi membantu drainase vena. Perpanjangan lateral yang
parah atau fleksi kepala pada leher harus dicegah (harus ada setidaknya dua jari ruang
antara dagu dan tulang terdekat) untuk menghindari kembungan tabung endotrakeal,
pembengkakan dan kompromi saluran napas pasca operasi, dan penurunan drainase vena
serebral (otak pembengkakan). Lutut harus sedikit ditekuk untuk menghindari cedera
lumbosakral. Jika kepala diputar ke lateral (misalnya, untuk kraniotomi paterional atau
frontotemporal), bahu kontralateral harus diangkat (dengan irisan atau gulungan) untuk
mencegah cedera stretch pleksus brakialis. Posisi lateral dan posisi duduk memiliki
kewaspadaan penentuan posisi khusus mereka sendiri. Pipa endotrakeal harus tetap dan
dikemas dengan aman untuk mencegah ekstubasi atau lecutan yang tidak disengaja yang
dihasilkan dari gerakan dan harus dapat diakses intraoperatif (perhatikan: ada peningkatan
ruang mati jika pipa ekstensi digunakan distal ke potongan Y). Akhirnya, mata harus
ditempelkan tertutup untuk mencegah kerusakan kornea dari paparan atau irigasi dengan
cairan antiseptik atau lainnya. 7

2.3.6 Maintanance

23
Tujuan anestesi utama selama operasi bedah saraf adalah (1) kontrol ketegangan
otak melalui kontrol aliran darah ke otak dan CMR (konsep retraktor kimia otak yang
disebut dan (2) pelindung saraf melalui pemeliharaan intrakranial yang optimal. Tujuan
pertama tergantung pada pencegahan rangsangan SSP; ini dicapai melalui kedalaman
anestesi dan antinociception yang baik profilaksis antiepilepsi, serta kontrol terhadap
konsekuensi dari SSP, jika terjadi (dengan antihipertensi, simpatolitik). 7
Tujuan kedua tergantung pada mempertahankan kecocokan yang baik antara
permintaan dan suplai substrat serebral, serta upaya pada pelindung saraf tertentu jika
terjadi ketidaksesuaian (catatan: iskemia terjadi di bawah retraktor pada 5% hingga 10%
pasien). Beberapa ahli anestesi menggunakan pasif sederhana hipotermia (35 ° C) untuk
memberikan pelindung saraf, atas dasar literatur eksperimental yang berlimpah
menunjukkan kemanjurannya setelah cedera otak. Namun, penelitian klinis belum
menunjukkan efek yang menguntungkan dari hipotermia pada pasien bedah saraf. Selain
itu, hipotermia merusak fungsi trombosit dan kaskade koagulasi. Akibatnya, bahkan
hipotermia ringan (<1 ° C) dapat meningkatkan kehilangan darah dan risiko transfusi. 5
Meskipun risiko yang lebih tinggi dari pendarahan otak karena hipotermia belum
terbukti selama bedah saraf, efek teoritis ini harus dipertimbangkan dalam risiko-manfaat
analisis merangsang hipotermia. Komplikasi lain hipotermia adalah infeksi luka bedah,
hasil miokard yang merugikan, pemulihan yang berkepanjangan, dan menggigil.134 Jadi,
normothermia harus menjadi tujuan utama manajemen neuroanesthetic. Hipotermia harus
dipertimbangkan hanya dalam kasus-kasus dengan risiko besar cedera iskemik serebral. 7
2.3.7 Pilihan Teknik Anestesi
Terdapat kontroversi yang sudah lama ada seputar penggunaan anestetik
intravena versus volatil untuk prosedur intrakranial. Sejauh ini, tidak ada studi yang
membandingkan intravena dengan volatile neuroanesthesia telah mampu menunjukkan
perbedaan hasil yang besar. Saat ini, argumen utama untuk penggunaan teknik berbasis
agen volatil yang masih luas dan sukses tetap dapat dikontrol, diprediksi, dan dapat
dicapai. dari awal kebangkitan. Namun, anestesi volatil sebaliknya jauh dari agen ideal
untuk neuroanesthesia karena kemampuan mereka untuk meningkatkan aliran darah ke
otak, TIK, dan curah otak. Dalam penelitian prospektif acak membandingkan propofol-
fentanyl, isoflurane- fentanyl, dan sevoflurane - anestesi pada pasien normocapnic, tingkat
TIK dan pembengkakan serebral lebih rendah pada kelompok propofol-fentanil. Namun,
dalam studi pasien tanpa bukti pergeseran garis tengah pada CT scan pra operasi, baik
isoflurane maupun desflurane terbukti telah menyebabkan variasi signifikan pada TIK.
24
Demikian pula, tidak ada perbedaan dalam penilaian ahli bedah tentang pembengkakan
otak antara pasien yang dibius dengan isoflurane dan mereka yang dibius dengan propofol.
Dengan demikian, meskipun ada bukti bahwa TIK lebih rendah dengan teknik intravena
total, dampak klinis dari teknik ini pada pasien dengan peningkatan TIK belum dievaluasi.
Meskipun agen intravena menawarkan kontrol yang baik dari aliran darah ke otak,
peningkatan TIK, dan curah otak. Kemungkinan bangkitnya kesadaran pasien yang tidak
dapat diprediksi tetap menjadi perhatian utama dengan teknik intravena, dengan
kemungkinan mengakibatkan kesulitan dalam diagnosis diferensial dari pemulihan
kesadaran tertunda dan kebutuhan CT darurat untuk menyingkirkan komplikasi bedah. 7
Masalah ini dapat diatasi dengan penggunaan skema infus yang dikendalikan
komputer (pompa infus yang dikendalikan oleh target) dan ketersediaan obat-obatan yang
tidak peka terhadap durasi kerja atau infus, seperti propofol dan remifentanil. Pada saat ini,
kami akan mempertimbangkan teknik intravena yang paling jelas diindikasikan untuk
masalah pasien bedah saraf (risiko tinggi masalah TIK dan pembengkakan otak),
sedangkan teknik volatil paling baik digunakan untuk kasus bedah saraf tidak rumit.
Penggunaan bersamaan dari nitrous oxide dan anestesi volatile paling baik dihindari pada
pasien yang bermasalah karena efek sinergistiknya dalam meningkatkan metabolisme otak
dan aliran darah, seperti yang telah dibicarakan sebelumnya. Jelas, jika tindakan untuk
mengontrol curah otak (hiperventilasi , diuretik osmotik, kontrol tekanan darah, posisi,
drainase lumbal) tidak berhasil selama anestesi dengan agen volatil, pertimbangan harus
diberikan untuk mengkonversi ke teknik anestesi intravena total. Jika aktivitas SSP dan
aktivasi hemodinamik yang tidak diinginkan terjadi meskipun kedalaman anestesi dan
analgesia yang adekuat, masalah ini dapat dikendalikan oleh obat antisympathetic seperti
esmolol (dosis awal 1 mg / kg), labetalol (dosis awal 0,5 hingga 1 mg / kg ), atau clonidine
(dosis awal 0,5 hingga 1 μg / kg). 7
2.3.7 Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial dan Brain Bulk
Terjadinya brain bulking memerlukan intervensi segera, yang harus mencakup
anestesi yang mendalam dengan agen intravena, meningkatkan hiperventilasi, melakukan
drainase CSF, dan mengubah ke posisi head-up tanpa menunda. Ventilasi intraoperatif
Ventilasi paru-paru termasuk volume tidal rendah dan tekanan ekspirasi akhir positif
(PEEP) telah dikaitkan dengan peningkatan hasil pada pasien dengan risiko tinggi atau
menengah komplikasi paru setelah operasi besar. Pasien dengan penyakit intrakranial
berisiko tinggi paru-paru. komplikasi141 dan mungkin mendapat manfaat dari ventilasi
pelindung paru. Sayangnya, pasien bedah saraf tidak termasuk dalam uji coba pada
25
ventilasi intraoperatif, membuat rasio risiko-manfaat sulit untuk dinilai. Namun, beberapa
penelitian telah menunjukkan efek minimal aliran darah ke otak atau TIK untuk tingkat
PEEP kurang dari 10 cm H2O pada pasien bedah saraf.142 Sebuah studi observasional
Jerman menunjukkan bahwa volume tidal intraoperatif hampir setengahnya dari tahun
1995 hingga 2010, menunjukkan bahwa ahli anestesi bedah saraf memperhitungkan
strategi pelindung paru-paru. Selama pembedahan intrakranial, efek peningkatan PEEP
pada otak dapat diamati secara langsung. Dalam semua kasus, efek perubahan ventilasi
pada PaCO2 harus dipantau.7
2.3.6 Terapi cairan
Praktek mempertahankan normovolemia dan normotensi selama operasi
intrakranial saat ini telah diterapkan dengan baik. Hiperglikemia (glikemia> 10 mmol / L),
yang memperburuk konsekuensi dari iskemia serebral, 99.100 dan hipo-osmolalitas (target
osmolalitas, 290 hingga 320 mOsm / kg), yang dapat meningkatkan edema otak, harus
dihindari. Tekanan onkotik koloid memainkan peran yang tidak jelas dalam edema otak.
Larutan yang mengandung glukosa atau hipo-osmolar (misalnya, larutan Ringer laktat, 254
mOsm / kg) harus dihindari. Pilihan yang tepat untuk cairan infus selama operasi
intrakranial termasuk kristaloid isotonik dan koloid untuk menggantikan kehilangan darah.
Dalam satu penelitian retrospektif, flurbiprofen dan hipertensi perioperatif, tetapi bukan
infus intraoperatif pati hidroksietil, dikaitkan dengan perdarahan pasca-kraniotomi.
Hematokrit harus dijaga di atas 28%. Cairan harus dipanaskan pada akhir prosedur untuk
memastikan normothermia.7
2.4 Anestesi pada Kasus-Kasus Bedah Saraf
2.4.1 Anastesi pada Hidrosefalus
Hidrosefalus dapat kongenital, tetapi juga diperoleh sebagai akibat dari
perdarahan intrakranial atau tumor pada pasien dari segala usia. Hidrosefalus terjadi
karena ketidakseimbangan antara produksi dan penyerapan CSF atau obstruksi sirkulasi
CSF, atau keduanya. 8
Hidrosefalus kongenital sering dikaitkan dengan masalah lain seperti dysraphia,
kista arachnoid, atau tumor kongenital. Pasien dengan peningkatan TIK akibat hidrosefalus
dapat memiliki tingkat kesadaran yang menurun. Inkontinensia, mual, dan muntah biasa
terjadi. Apabila terdapat hipertensi intrakranial yang tinggi, bradikardia dan hipertensi
arteri akan terjadi. Refleks ini mempertahankan perfusi serebral dan tidak boleh diobati
dengan obat antihipertensi, tetapi menunjukkan perlu untuk intervensi bedah yang
mendesak. Pilihan bedah untuk pasien dengan gangguan sirkulasi CSF tergantung pada
26
penyebab hidrosefalus dan masalah urgensi. Drainase eksternal cepat tetapi hanya pilihan
sementara, sedangkan shunt ventriculoperitoneal adalah yang paling umum untuk solusi
permanen. Dengan adanya infeksi perut atau ventriculopertittonial shunt adalah pilihan.
Dalam beberapa kasus, ventrikulostomi endoskopi dapat mengembalikan sirkulasi CSF
dan tidak diperlukan shunt. Sayangnya, semua shunt rentan terhadap infeksi dan perlu
diperbaiki ulang dan sangat sedikit pasien akan sembuh dengan satu prosedur tunggal. 8
Disfungsi shunt dan dislokasi sering terjadi, terutama pada anak yang sedang
tumbuh, yang mungkin memerlukan revisi yang mendesak. Prosedur shunt membutuhkan
pasien dengan kedalaman anestesi yang cukup, terutama selama manuver terowongan
shunt (subkutan dari leher ke tengah perut), yang merupakan bagian paling menyakitkan
dari prosedur. Secara umum, shunt ventriculoperitoneal pertama dapat ditempatkan dalam
45 menit. Dalam operasi revisi, prosedur menjadi kurang dapat diprediksi dan dapat
berlangsung dari 15 menit hingga jam. 8
Dalam mengurangi hipertensi intrakranial akut, pergeseran otak yang parah
adalah mungkin dan ini dapat menyebabkan perdarahan sebagai hasil dari vena yang
terkikis atau herniasi dari otak tengah. Oleh karena itu, dianjurkan untuk melakukan
pengurangan hidrosefalus secara hati-hati. Jika ahli bedah saraf merencanakan shunt
ventrikulektomi, area jugularis kanan harus dijaga bebas dari kateter intravena untuk
menghindari kontaminasi atau pembengkokan. Segera setelah TIK kembali normal, refleks
hipertensi akan hilang, dan agen vasoaktif mungkin diperlukan untuk menstabilkan
kembali tekanan darah. Jika tingkat kesadaran berkurang, risiko aspirasi meningkat. Jika
pasien telah muntah, keseimbangan cairan dan elektrolit harus diperbaiki. Karena
kebanyakan pasien harus menjalani beberapa prosedur, dokumentasi prosedur sebelumnya
yang tepat memungkinkan perawatan optimal selama yang berikut. Sebagian besar pasien
dengan disfungsi shunt akut hadir dalam keadaan yang jauh lebih buruk dan membutuhkan
terapi yang lebih mendesak daripada mereka yang menjalani insersi pintasan pertama
(elektif, terencana).8
Thiopental sering dipilih sebagai agen induksi untuk operasi hidrosefalus, karena
kebanyakan pasien akan memerlukan induksi urutan cepat untuk mencegah aspiasi. Pada
kasus hipertensi intrakranial yang berat, TIVA mungkin lebih disukai untuk maintanance,
tetapi agen volatil juga dapat digunakan untuk prosedur ini. Respon terhadap rangsangan
berbahaya dari tunneling pirau ventrikuloperitoneal dapat diperoleh dengan bolus
remifentanil (1 µg kg − 1) diberikan 1–2 menit sebelum manuver. Ini membutuhkan
interaksi yang baik antara tim anestesi dan pembedahan. Dalam semua kasus, kemunculan
27
cepat lebih disukai untuk memungkinkan penilaian awal fungsi neurologis. Intensitas nyeri
pasca operasi relatif kecil dan dapat dikurangi lebih lanjut oleh infiltrasi luka perut dengan
anestesi lokal oleh ahli bedah. Secara umum, perawatan pasca operasi dapat disediakan di
bangsal, tetapi dalam beberapa kasus observasi ICU diperlukan. Perawatan ICU harus
dipertimbangkan untuk pasien yang sangat muda dan mereka yang memiliki tingkat
kesadaran rendah atau TIK tinggi. 8
2.4.1 Anastesi pada Aneurysms Cerebral
Sebagian besar pasien datang dengan setelah aneurisma pecah dengan tanda dan
gejala subarachnoid haemorrhage. Aneurisma yang belum ruptur semakin dideteksi secara
kebetulan pada pemeriksaan radiologi tengkorak tetapi juga bisa hadir dengan gejala yang
berhubungan dengan efek massa. 9
2.4.1.1 Penilaian Preoperatif
 Pasien dengan SAH kelas IV ke atas kemungkinan sudah diintubasi dan diventilasi
pada ICU.
 Jika sadar, pemeriksaan GCS, keterlibatan saraf kranial dan defisit sensorik atau
motorik apa pun perlu dilakukan
 Pasien harus dikontrol dengan analgesia yang tepat.
 Lanjutkan nimodipine dan antikonvulsan jika perlu.
 Optimalkan fungsi jantung; ECG sebelum operasi merupakan hal yang wajib.

Penurunan tekanan darah ekstrim tekanan darah harus dihindari; pastikan MAP
<110 mmHg dan SBP <160 mmHg sambil memastikan CPP 60 mmHg.9
2.4.1.2 Manajemen intraoperatif
Manajemen anestesi mirip dengan manajamen anastesi prosedur bedah saraf
yang melibatkan peningkatan TIK tetapi perhatian khusus harus diberikan kepada:
 Induksi hati-hati untuk menghindari lonjakan tekanan darah di mana peningkatan
transmural tekanan pada arteri yang terkena bisa menyebabkan ruptur lebih lanjut.
Sebaliknya, hipotensi mungkin memperburuk iskemia dan menyebabkan infark.
 Selain pemantauan standar, pemantauan tekanan darah invasif sangat penting.
Akses vena sentral sering dimasukkan jika pasien cenderung membutuhkan terapi
hipertensi pasca operasi.
 Pemantauan suhu dianjurkan seperti kateter urin karena banyak kontras dan flushes
akan digunakan untuk prosedur

28
 Propofol TIVA, sevoflurane atau desflurane disertai dengan remifentanil untuk
menjaga MAC <1.0 adalah pilihan yang tepat untuk maintanance
 Pertahankan normocarbia, normoglikemia dan normothermia.
 Disfungsi jantung dan aritmia umum harus dikelola dengan koreksi
ketidakseimbangan elektrolit
 Posisi terlentang untuk semua prosedur penggulungan dan aneurisma klip sirkulasi
anterior tetapi untuk aneurisma posterior pasien perlu barada pada posisi semiprone
atau posisi prone.

Selama kliping ahli bedah mungkin menggunakan klip sementara saat membedah
sekitar aneurisma untuk mengurangi risiko lebih lanjut pecah. Sementara klip ini
berada di tempat, ahli bedah dapat meminta beberapa proteksi serebral dalam
bentuk manitol 20% sebagai radikal bebas scavenger, penindasan metabolik
dengan bolus thiopental atau hipotermia. 9
2.4.1.3 Manajemen Post Operatif
 Grade I, II dan III SAHs dengan prosedur intraoperatif harus diekstubasi
menggunakan teknik untuk menghindari batuk dan lonjakan tekanan darah
(misalnya remifentanil dengan 5–10 mg bolus, labetalol jika perlu).

Pasien SAH Grade IV dan V harus dipindahkan kembali ke ICU dengan
pemantauan TIK lanjutan dan sedasi penahanan atau percobaan ekstubasi
dilakukan pada waktu yang tepat. 9
2.4.2 Anestesi Pada Massa Di Fossa Posterior
2.4.2.1 Manajemen Preoperatif
 Disfungsi saraf kranial bisa menyebabkan hilangnya refleks muntah dan pasien
mungkin menderita dari pneumonitis aspirasi. Jika ada keterlibatan bulbar ventilasi
pasca operasi mungkin diperlukan dan / atau trakeostomi.
 Evaluasi status kardiovaskular dan kemampuan untuk mentoleransi posisi rawan
atau duduk harus dilakukan karena pasien hipertensi akan rentan terhadap hipotensi
dan serebral iskemia. Ekokardiogram seharusnya diatur untuk mereka yang
menjalani operasi di posisi duduk. Foramen ovale yang paten adalah kontraindikasi
relatif untuk duduk posisi.
 Status cairan dan elektrolit harus ditentukan karena pasien dapat mengalami
dehidrasi dan memiliki elektrolit plasma yang abnormal karena terapi steroid,
muntah atau bersamaan.

29
2.4.2.2 Posisi pasien pada bedah massa di fossa posterior
Operasi posterior fossa dapat dilakukan di terlentang,tengkurap, lateral,
semiprone, atau posisi duduk. Posisi tengkurap memungkinkan akses bedah yang baik
pada struktur garis tengah, meskipun perdarahan mungkin mengaburkan bidang bedah.
Penekanan titik-titik tekanan yang hati-hati dan menghindari peningkatan tekanan vena
penting.9
Posisi semiprone adalah posisi pasien dengan kepala tertekuk menghadap ke
lantai. Ini digunakan untuk lateral lesi, terutama pada cerebellopontine (CP) sudut.
Padding yang hati-hati diperlukan untuk mengurangi risiko kerusakan tekanan pada saraf
perifer dan fleksi berlebihan / rotasi leher juga harus dihindari. 9
Posisi duduk membawa risiko tertinggi dan hanya boleh digunakan oleh dokter
berpengalaman. Kelebihannya termasuk baik akses bedah ke tumor garis tengah dan
menurunkan kehilangan darah. Namun, ada risiko besar, termasuk ketidakstabilan
kardiovaskular, penurunan perfusi otak, emboli udara, obstruksi saluran napas dan
pneumoencephalus. Posisi duduk tercapai dengan menaikkan ujung kepala dari operasi
meja operasi standar, menempatkan bagian tengah di vertikal memposisikan dan mengatur
kaki pasien dalam posisi tertekuk untuk memastikan bokong tetap kokoh terjepit di bagian
vertikal meja. Kepala diletakkan di fixator tiga titik pin yang terpasang bingkai di atas
meja. Fleksi kepala yang berlebihan harus dihindari untuk mencegah kompresi jugularis,
pembengkakan lidah, dan iskemia tali pusat dan cervical. Suatu celah harus dijaga antara
dagu dan kedudukan suprasternal dan perawatan diambil untuk menghindari tekanan
kerusakan saraf perifer. 9

2.4.3 Anastesi pada Operasi Tulang Belakang


Mayoritas prosedur tulang belakang dilakukan di posisi tengkurap dengan
beberapa pengecualian penting (bedah serviks anterior, discectomies toraks). Ada banyak
komplikasi pada posisis tengkurap. Namun, jika dilakukan tindakan pencegahan dan
peralatan yang tepat akan meminimalkan komplikasi. Bantal, bantalan gel, dan busa guling
dapat diletakkan untuk mendukung pasien memastikan abdomen bebas,kepala berada pada
atau di atas tingkat jantung dalam posisi netral menggunakan sandaran kepala atau
Mayfield head fixator, Mata ditutup rapat, tanpa bantalan dan bebas dari tekanan eksternal,
Lengan tidak lagi berada dalam posisi alami dari abduksi 90 ° dengan sedikit rotasi
internal memberikan perhatian khusus pada saraf ulnar di siku. Tersedia perangkat khusus
tersedia untuk memfasilitasi tengkurap, seperti kasur Montreal, meja operasi Jackson,
30
Wilson Frame dan meja operasi Andrews. Umumnya digunakan alternatif untuk posisi
tengkurap klasik adalah posisi lutut-siku dimana pasien memiliki sebuah busa guling di
bawah dada mereka, siku mereka dan lengan berada di bawah mereka di atas meja operasi
dan bagian bawah mereka bertumpu pada sebuah pegangan. Posisi ini memiliki
keuntungan menjaga perut bebas dan dapat mengurangi lordosis lumbalis dan
meningkatkan akses bedah untuk operasi lumbal tetapi secara teknis sulit dilakukan jika
posisi personil tidak berpengalaman dengan posisinya. 9
2.4.3.1 Pertimbangan Intraoperative
1. Monitoring
Untuk prosedur rutin spinal tingkat tunggal yang sederhana pemantauan
termasuk ECG, tekanan darah non-invasif, pulse oximetry, capnography dan suhu
memadai. Pemantauan tekanan darah arteri diperlukan untuk prosedur yang kompleks atau
berkepanjangan ketika kehilangan banyak darah diantisipasi, pemantauan gas darah
serial diperlukan, ada kekhawatiran tentang perfusi saraf tulang belakang atau di
hadapannya komorbiditas yang signifikan. Vena sentral kateter (CVC) dapat membantu
dengan manajemen keseimbangan cairan atau pengiriman inotropik / vasopressor. Rute
jugularis internal atau subklavia dapat digunakan untuk prosedur toraks atau lumbar,
sedangkan femoralis CVC lebih sering digunakan untuk pendekatan serviks. Kateter urin
wajib digunakan untuk prosedur yang lama dan ketika terdapat kehilangan darah yang
signifikan.9
2. Evoked Potential Monitoring
Evoked Potential Monitoring digunakan selama operasi tulang belakang untuk
mengidentifikasi perubahan yang berpotensi reversibel pada fungsi saraf tulang belakang
fungsi dan memungkinkan intervensi sebelum kerusakan neurologis permanan terjadi.
Somatosensori tertukar potensi (SSEP) memonitor integritas jalur sensorik, khususnya
kolom dorsal. SSEP dicatat dari korteks serebral menggunakan elektroda kulit kepala
berikut rangsangan listrik dari saraf perifer. Motor Evoked Potential (MEPs)
memungkinkan integritas jalur motor dinilai. Pemantauan MEP melibatkan transkranial
stimulasi (listrik atau magnet) dari korteks motorik dengan respon yang paling banyak
direkam umumnya sebagai potensial aksi motor majemuk di otot perifer, tetapi kadang-
kadang melalui epidural / elektroda intratekal atau elektroda yang ditempatkan secara
langsung pada sumsum tulang belakang yang terbuka saat operasi. 9

31
3. Manajemen Jalan Napas
Laringoskopi yang sulit merupakan hal yang paling umum pada pasien dengan
penyakit pada tiga vertebra servikal dan saluran napas atas akses dengan alternatif untuk
laringoskopi langsung mungkin diperlukan. Pasien dengan ekstensi terbatas di
persimpangan craniocervical cenderung juga sulit membuka mulut karena efek langsung
dan juga hubungan dengan penyakit sendi temporomandibular. Tidak ada bukti bahwa
metode manajemen jalan napas apa pun memiliki hasil yang lebih baik daripada yang lain
pada pasien dengan tulang belakang leher 'tidak stabil'.Perangkat fiksasi tulang belakang
leher membuat laringoskopi langsung lebih sulit dan harus menggunakan teknik alternatif.9
4. Kehilangan Darah
Kehilangan darah masif dapat terjadi selama operasi tulang belakang khususnya
dalam operasi skoliosis dan stabilisasi ekstensif. Dalam posisi tengkurap, vena kembali
melalui IVC dapat terhambat dan darah kemudian bergerak kembali ke jantung melalui
vena epidural yang menyebabkan risiko kehilangan darah besar dari vena-vena ini.
Meskipun pendarahan vena biasanya tersembunyi, itu bisa bertanggung jawab untuk
kehilangan darah utama. Perdarahan hebat dapat terjadi sebagai akibat dari cedera pada
pembuluh utama, termasuk vertebra atau cedera karotis selama operasi serviks, iliaka
cedera arteri selama pendekatan perut dan penetrasi dari aorta oleh sekrup gagang bunga
yang salah atau rongeurs selama microdiscectomy lumbar. Akses vena besar yang
memadai, transfusi cepat, ketersediaana darah dan produk darah harus tersedia untuk
semua kasus tulang belakang utama. 9
5. Suhu
Paparan pasien selama induksi anestesi (misalnya saat intubasi serat-optik, posisi
pasien dan X-raying bisa menyebabkan hipotermia sebelum dimulainya operasi. Pasien
harus tetap hangat dengan selimut udara hangat dan cairan panas karena hipotermia dapat
berkontribusi untuk morbiditas dalam hal koagulopati dan meningkatkan tingkat infeksi. 9
6. Analgesia
Prosedur tulang belakang sering menyakitkan. Sebagai tambahan untuk nyeri
neuropatik yang sudah ada, luas retraksi otot dan gangguan dapat menyebabkan otot
cedera dan iskemia, mengakibatkan pasca operasi yang parah rasa sakit. Dengan
discectomies lugas parasetamol, opiat jangka panjang dan anestesi lokal untuk luka
mungkin sudah cukup. Jika pasien menggunakan obat nyeri kronis yang ekstensif, semua
obat-obatan tersebut harus dilanjutkan secara perioperatif, gabapentin atau pregabalin
harus dipertimbangkan sebelum operasi jika belum diambil dan analgesik tambahan seperti
32
ketamin atau clonidine mungkin diperlukan intraoperatif. Nyeri operasi tulang belakang
utama bisa parah. Teknik nyeri akut tambahan termasuk ketamine, clonidine dan infus
anestesi lokal digunakan secara intraoperatif dan pasca operasi pada unit perawatan kritis
di beberapa pusat. 9
7. Penurunan Neurologis Intraoperatif
Cedera saraf tulang belakang (SCI) dapat terjadi selama anestesi pada pasien
dengan kesadaran yang normal dan biasanya terkait dengan posisi yang buruk atau
hipotensi berat. Abnormalitas tulang belakang, termasuk stenosis tulang belakang,
ketidakstabilan atau myelopathy yang sudah ada, meningkatkan risiko SCI intraoperatif.
Cedera kemungkinan disebabkan oleh hipoperfusi dan kemungkinan sebagian besar cedera
ini disebabkan kombinasi hipoperfusi dan malposisi untuk waktu yang lama. 9
2.4.3.3 Pertimbangan Post Operatif
• Tujuan pascaoperasi yang tepat harus dipilih untuk memfasilitasi kontrol rasa sakit,
pemantauan hemodinamik atau pasca operasi ventilasi.
• Obstruksi jalan napas
Kemungkinan dapat terjadi insiden kecil obstruksi saluran napas setelah operasi serviks
anterior . Ini bisa disebabkan oleh hematoma pasca operasi, lebih mungkin, jaringan yang
ditandai pembengkakan pharynx atau saluran napas bagian atas. Pasien mungkin mengeluh
karena tidak bisa untuk bernafas dan ingin duduk. Pasien jarang memiliki stridor dan tidak
desaturasi hingga terjadi obstruksi total. Membuka luka operasi adalah prioritas bahkan
jika hematoma tidak dicurigai, karena ini mengurangi limfatik dan obstruksi vena dan
membaik patensi saluran napas. Setelah evakuasi hematoma atau menghilangkan tekanan
jaringan, trakeal tube harus dibiarkan in situ setidaknya 24 jam sampai pembengkakan
mereda. 9
Hal yang harus menjadi perhatian dalam anaestesi pada bedah tulang belakang
• Pemburukan neurologis pasca operasi
Observasi neurologis yang teliti diperlukan untuk mendapatkan tanda-tanda hematoma
tulang belakang
• Tromboemboli vena (VTE)
Operasi tulang belakang pasien berisiko tinggi mengalami VTE pasca operasi karena
operasi yang berkepanjangan, paresis, tumor
reseksi dan imobilitas pasca operasi. Stoking kompresi dan kompresi betis intermiten harus
digunakan dan heparin berat molekul rendah digunakan setelah 12-24 jam.
• Aperien
33
Persyaratan opioid besar dan imobilitas sering membuat konstipasi masalah pasca operasi.
• Mobilisasi dini
Bersamaan dengan fisioterapi, mobilisasi dini mengurangi infeksi saluran pernapasan dan
DVT pasca operasi. 9
2.4.4 Anestesi pada Massa Supratentorial
2.4.4.1 Manajemen Preoperatif
• Selain CT kepala diagnostik, CT lanjutan atau pencitraan MRI mungkin diperlukan untuk
membantu suatu teknik gambar yang dipandu atau pengurangan digital angiografi untuk
menentukan bagaimana lesi vaskular yang terjadi.
• Status neurologis pasien seharusnya didokumentasikan dengan hati-hati sehingga setiap
pasca operasi deteriorasi dapat diidentifikasi.
• Semua obat-obatan rutin kecuali antikoagulan harus dilanjutkan perioperatif, terutama
kortikosteroid dan antikonvulsan.
• Pemeriksaan pembekuan darah dan crosstmatch seharusnya diatur khusus untuk
meningioma dan tumor vaskular.
• Glukosa darah dan urea dan elektrolit dapat menyebabkan hiperglikemia akibat
penggunaan steroid dan kelainan natrium terkait dengan tumor. Premedikasi sedatif harus
diberikan dengan hati-hati dan jika diberi pasien seharusnya dipantau. 9
2.4.4.2 Induksi pada Pembedahan Massa di Supratentorial
• Sesuai prinsip dasar neuroanaestesi, induksi harus menghindari batuk, mengejan, tekanan
darah dan TIK yang berubah-ubah, biasanya dilakukan dengan propofol dan opiat
bertindak pendek seperti fentanyl atau remifentanil.
• Intubasi orotrakeal harus difasilitasi dengan relaksan otot nondepolarising dan kemudian
diperbaiki dengan aman dengan pita perekat, hindari hubungan untuk mencegah obstruksi
vena serebral drainase.
• Pemantauan standar dan suhu harus dimasukkan dengan semua pasien dan banyak kasus
membutuhkan pemantauan tekanan darah langsung. Akses vena sentral harus
dipertimbangkan terutama kasus-kasus panjang di mana banyak infus digunakan.
• Kateter urin harus dimasukkan untuk semua lama operasi dan yang kemungkinan
melibatkan penggunaan terapi osmotik. 9
2.4.4.3. Posisi pada Pembedahan Massa di Supratentorial
Posisi ditentukan dengan pendekatan bedah, meskipun posisi terlentang cukup
memuaskan bagi banyak kasus. Disarankan untuk kemiringan head-up (10 ° –15 °), hindari
rotasi kepala yang berlebihan atau fleksi karena merusak drainase vena serebral,amankan
34
kepala dengan sandaran kepala tapal kuda atau fixator pin tiga titik (bolus dosis opioid
untuk mencegah hipertensi selama menyematkan fixator), sebelum melakukan fiksasi cek
bahwa tidak ada yang koneksi yang longgar di sirkuit pernafasan dan bahwa ada akses
leluasa ke kanula intravena. 9
2.4.4.4. Maintanance pada Pembedahan Massa di Supratentorial
Ada beberapa keuntungan teoritis tetapi tidak terbukti menunjukkan manfaat
untuk penggunaan TIVA dalam bedah saraf. Namun, banyak ahli anestesi menggunakan
teknik seimbang dengan kontrol ventilasi, opioid kerja pendek dan agen mudah menguap
seperti sevoflurane atau desflurane.
Hal-hal yang harus diperhatikan pada maintanance pada massa di supratentorial
• Sesuaikan ventilasi untuk mempertahankan PaCO2 antara 4.5 dan 5.0 kPa.
• Campurkan udara-oksigen dengan FiO2 0,3-0,5.
• Hindari nitrous oxide.
• Agen volatil harus digunakan dengan dosis di bawah 1.0 MAC untuk menghindari
peningkatan aliran darah serebral.
• Infus remifentanil memungkinkan kontrol variabel kardiovaskular yang mudah selama
periode stimulasi bedah dan munculnya cepat.
• Normothermia harus dipelihara menggunaka kasur yang hangat, selimut udara hangat
dan cairan hangat.
• Larutan garam yang seimbang harus digunakan sebagai cairan perawatan, tetapi ingat
bahwa volume besar saline normal dapat menghasilkan asidosis metabolik hiperkloremik.
Kehilangan darah harus diganti dengan sel darah merah. Larutan yang mengandung
glukosa sebaiknya dihindari.
• Steroid seperti deksametason dapat diberikan perioperatif untuk mengurangi edema
serebral dan mencegah mual dan muntah pasca operasi.
• Semua pasien harus menerima profilaksis antibiotik sesuai dengan pedoman setempat.
• Profilaksis vena dalam (DVT) harus termasuk penggunaan stoking kompresi dan betis
pneumatik kompresi. 9
2.4.4.5 Manajemen Intraoperatif
Duramater yang menggembung pada pengangkatan flap kraniotomi
menunjukkan dapat digunakan untuk mencegah iskemia serebral dan meningkatkan
kondisi operasi:

35
• Periksa posisi kepala dan gunakan reverse Tradenbelrg. Pastikan CO2 adalah 4,5–5,0
KPa. Jika diperlukan hipokapnia sementara 4,0-4,5 KPa bisa dipertimbangkan jika semua
perawatan lain gagal.
• Kontrol tekanan darah, terutama dalam nonautoregulasi otak.
• Deksametason 4-10 mg jika belum diberikan.
• Beralih ke TIVA jika menggunakan volatile.
• Terapi osmotik: manitol 0,25-1 g / kg, salin hipertonik 3% –7,2% 30–150 mL / jam atau
bolus furosemid 10-20 mg
• Sebelum penutupan, kembalikan tekanan darah ke normal sementara ahli bedah
memastikan hemostasis.
• Seperti induksi, kemunculan dan ekstubasi harus hati-hati dan hindari mengejan, batuk,
Dan perubahan yang cepat pada TIK dan tekanan darah. Ada berbagai teknik yang
digunakan untuk mencapai ini termasuk ekstasi dalam dan memasukkan masker laring
tetapi ahli anestesi lebih sering akan melakukan ekstubasi sementara pasien menggunakan
infus remifentanil sebagai agen antitusif.
• Berikan analgesia (morfin) dan antiemetik (ondansetron, cyclizine).
• Obati hipertensi emergensi dengan suatu antihipertensi (labetolol).
• Pertimbangkan ventilasi pasca operasi hanya jika pasien menderita obtunded sebelum
operasi atau ada masalah intraoperatif.
• TIK harus dipantau jika pasien akan dibius dan diventilasi di pasca operasi periode. 9
2.4.4.6 Manajemen Post Operatif
• Sebagian besar komplikasi pasca operasi terjadi di 6 jam pertama;.
• Setelah pasien operasi supratentorial mengalami nyeri sedang dan berat dan analgesia
harus termasuk parasetamol reguler dan opioid secara oral atau melalui PCA.
• Untuk pasien dengan masalah nyeri yang diketahui, blok kulit kepala harus
dipertimbangkan.
• Mual dan muntah pasca operasi umum dan antiemetik harus diresepkan secara
profilaksis.
• Metode mekanik profilaksis DVT harus dilanjutkan sampai pasien mobilisasi. Heparin
berat molekul rendah adalah digunakan dalam konsultasi dengan ahli bedah saraf tetapi
mungkin aman setelah 24 jam. 9

36
2.4.5 Anastesi pada Cedera Kepala
2.4.5.1 Pencegahan Cedera Sekunder
Cedera otak primer hanya dapat dimitigasi melalui pencegahan dan pengurangan
cedera pada peralatan keamanan. Oleh karena itu manajemen medis cedera kepala
berfokus pada pencegahan cedera sekunder ke jaringan otak yang sehat dengan mengontrol
TIK dan memastikan perfusi yang memadai dan pengiriman oksigen serta mencegah
komplikasi lain yang biasanya terkait. Baik hipotensi dan hipoksemia telah dikaitkan
dengan peningkatan morbiditas dan kematian pada cedera kepala.10
2.4.5.2 Manajemen Tekanan Intrakranial dan Tekanan Perfusi Cerebral
The Brain Trauma Foundation menerbitkan Pedoman berbasis-bukti untuk
Mengelola-Cedera Otak Berat Traumatic di tahun 2007. Manajemen, baik di unit
perawatan intensif atau di ruang operasi, termasuk mempertahankan aliran darah serebral
yang tepat dan oksigenasi untuk menghindari cedera otak sekunder. Di masa lalu, terapi ini
diarahkan pada manajemen TIK tetapi baru-baru ini terjadi pergeseran menuju strategi
mempertahankan CPP yang cukup. Pemantauan TIK digunakan untuk memandu kedua
strategi; namun, uji coba multicenter acak terbaru dan meta-analisis yang dipublikasikan
telah menyuarakan keprihatinan bahwa monitoring TIK intensif tidak memberikan manfaat
tambahan. 10
Target umum manajemen cedera kepala mempertahankan TIK kurang dari 20 mm
Hg dan tekanan perfusi serebral antara 50 dan 70 mm Hg. Terapi agresif untuk di- CPP
lebih dari 70 mm Hg telah dikaitkan dengan peningkatan insidensi akut sindrom gangguan
pernapasan dan efek samping lainnya. Pemantauan tekanan oksigen jaringan otak juga
dapat digunakan sebagai penanda untuk resusitasi dengan ambang batas pengobatan
tingkat tekanan oksigen kurang dari 15 mm Hg. 10
Manajemen awal untuk mengurangi TIK termasuk teknik sederhana untuk menjaga
perfusi ke otak drainase vena dengan elevasi kepala hingga 30 derajat serta menjaga leher
dalam posisi netral dan memastikan bahwa kerah serviks tidak terlalu ketat. Posisi terbalik
Tredelenburg dapat digunakan intraoperatif jika elevasi kepala-dari-tempat tidur tidak
layak. 10
Sedasi sering digunakan untuk mengurangi TIK dan permintaan metabolisme otak
juga menumpulkan efek takikardia dan hipertensi. Propofol biasa digunakan di pengaturan
perawatan intensif karena onsetnya yang cepat dan durasi aksi yang singkat memfasilitasi
penilaian neurologis yang sering. Namun, tidak ada bukti konklusif bahwa satu agen lebih

37
berkhasiat daripada yang lain dalam meningkatkan Glasgow Outcome Scale skor, angka
kematian, TIK, atau CPP. 10
Propofol juga telah dikaitkan dengan stance dengan sindrom infus propofol; faktor
risiko untuk sindrom ini termasuk muda usia, cedera kepala, dosis tinggi, dan penggunaan
berkepanjangan (> 48 jam). Obat penenang juga dapat menyebabkan hiperpotensi dan
vasodilasi serebral dan dengan demikian memperburuk hipoperfusi serebral. Barbiturat
telah secara konvensonal digunakan sebagai agen lini ketiga untuk hipertensi intrakranial
refrakter untuk menginduksi barbiturate coma tetapi tidak ada bukti klinis yang jelas untuk
mendukung paraktik ini. Barbiturat dosis tinggi juga menyebabkan hipotensi di lebih dari
25% pasien. 10
Obat hiperosmolar dapat menurunkan TIK dengan menciptakan gradien osmolar
menarik air melintasi penghalang darah-otak ke dalam ruang intravaskular dan dengan
demikian menghilangkan volume interstisial. Agen yang umum digunakan termasuk
manitol dan garam hipertonik. Meskipun data definitif kurang, saline hipertonik telah
diamati dalam uji coba kecil untuk memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan
manitol dalam mengurangi TIK dan meningkatkan hasil. Selain efek osmolar, manitol
juga bias meningkatkan aliran darah serebral dengan mengurangi kekentalan darah secara
sementara. Dosis yang dipakai 0,25 hingga 1 g / kg setiap 4 hingga 6 jam tetapi menjadi
kurang efektif dengan dosis berulang. Osmolalitas serum harus diukur secara serial selama
terapi mannitol untuk mempertahankannya kurang dari 320 mOsm / L dan hati-hati harus
digunakan pada pasien hipovolemik karena dari efek diuretiknya. Saline hipertonik
tersedia dalam berbagai konsentrasi (1,5% -23,4%) dengan konsentrasi 3% atau lebih
tinggi yang membutuhkan administrasi melalui pusat akses vena. Administrasi bolus
tampaknya lebih unggul daripada infus kontinyu. Meskipun konsentrasi natrium serum
yang ideal belum ditentukan dengan baik, dokter biasanya menargetkan level 150 hingga
160 mEq / L. 10
Ventilasi mekanik harus disesuaikan untuk mencegah hipoksemia dan
mempertahankan mocarbia (tujuan Pa CO 2 35–40 mm Hg). Baik hipocarbia maupun
hipercarbia memiliki efek merusak. Hiperventilasi menginduksi vasokonstriksi serebral,
tidak hanya menurunkan TIK tetapi juga menurunkan aliran darah serebral yang mengarah
ke iskemia sekunder dan hasil yang buruk. Metode ini dapat digunakan secara singkat
sebagai ukuran sementara di pasien dengan bukti herniasi sementara terapi lain sedang
dilaksanakan. Meskipun penurunan TIK adalah terapi lini pertama, dukungan
hemodinamik dengan pressors adalah kadang-kadang digunakan untuk mempertahankan
38
CPP dengan meningkatkan MAP. Norepinefrin adalah agen pilihan karena profil
hemodinamiknya, meskipun dapat menyebabkan reflex bradikardia. Namun, peningkatan
buatan CPP menjadi lebih dari 70 mm Hg dikaitkan dengan peningkatan komplikasi dan
tidak disarankan. 10
Hipovolemia harus dikoreksi sebelum pembedahan. Isotonik normal saline harus
digunakan karena garam hipotonik dapat memperburuk edema serebral dan penggunaan
albumin pada pasien dengan cedera kepala juga bisa berbahaya. Pada pasien dengan
politrauma, hipovolemia dapat disebabkan oleh kehilangan darah akut. Pasien dengan
anemia karena kehilangan darah akut harus ditransfusikan dengan produk darah untuk
memperbaiki hipovolemia hemoragik dan mungkin memerlukan prosedur untuk
menghentikan sumber perdarahan yang sedang berlangsung. Pemicu transfusi untuk pasien
sakit kritis biasanya tingkat hemoglobin kurang dari 7 g / dL dan pasien dengan cedera
kepala tampaknya tidak meningkatkan hasil neurologis jika ditransfusikan ke target
hemoglobin yang lebih tinggi. 10
2.4.5.3 Perangkat Monitoring
Berbagai teknologi tersedia untuk membantu manajemen TIK / CPP. TIK dapat
menjadi pusat diurai melalui 2 kategori perangkat. Tipe pertama, yang biasa disebut
sebagai baut, hanya mampu mengukur tekanan, sedangkan tipe kedua (ventrikulostomi,
atau saluran ventrikel eksternal) dapat mengukur TIK sekaligus mengalirkan CSF sebagai
terapi manuver tic untuk menurunkan TIK. The Brain Trauma Foundation
merekomendasikan itu semua pasien dengan cedera otak berat yang dapat diselamatkan
(GCS 3–8) dengan kelainan CT scan harus memiliki monitor TIK. Namun, rekomendasi
ini kontroversial karena penelitian telah mempertanyakan apakah pemantauan TIK
meningkatkan hasil yang baik. 10
Oximetry vena jugular berkelanjutan atau intermiten dapat digunakan sebagai
pengganti untuk penggunaan oksigen serebral. Kateter ditempatkan mundur ke vena
jugularis dengan tip di bola jugularis (tingkat mastoid pada film polos). Darah yang
diperoleh di tingkat ini adalah sampel dari darah campuran otak. Saturasi oksigen vena
jugularis adalah ukuran tidak langsung dari keseimbangan antara suplai darah serebral dan
metabolic mand. Saturasi oksigen vena jugularis normal adalah 60% hingga
70%. Penurunan dalam saturasi menunjukkan ketidakseimbangan antara pengiriman
oksigen dan permintaan oksigen (otak harus mengekstrak lebih banyak oksigen untuk
mengkompensasi kekurangan dalam pengiriman). Kondisi ini dapat timbul dari berbagai

39
penyebab, termasuk hipotensi, vasospasme, peningkatan TIK, penurunan CPP, dan / atau
insufisiensi cardiopulmonary. 10
Near-infrared spectroscopy (NIRS) adalah teknik pemantauan oksigen otak
noninvasif. Near-infrared wavelengths of light mampu menembus tengkorak dan berada
diserap secara berbeda oleh hemoglobin teroksigenasi dan terdeoksigenasi serta sitokin
kroma 3 dalam otak parenkim. Oleh karena itu, konsentrasi relatif mereka bias diukur
dengan menggunakan spektroskopi diterapkan ke dahi. NIRS telah dilaporkan menjadi
lebih sensitif dalam mendeteksi episode desaturasi vena jugularis dibandingkan dengan
oksimetri jugularis. Namun, akurasi NIRS dapat dibatasi oleh jaringan otak edema dan
ketidakakuratan dalam membedakan perubahan oksigenasi dalam intrakranial versus
jaringan ekstrakranial. Studi hasil dari penggunaan oksigenasi jaringan versus monitor TIK
telah memberikan hasil yang beragam. Pemantauan oksigenasi jaringan otak adalah
pendekatan invasif untuk memantau tekanan parsial oksigen jaringan otak dengan
memasukkan kateter ke dalam parenkim otak melalui situs bedah atau baut. Penelitian
untuk memvalidasi teknik ini sedang berlangsung. Cara lebih detail untuk memantau
keadaan metabolik otak adalah mengukur metabolit otak melalui microdialysis. Kateter
dimasukkan ke dalam parenkim dan diperfusi dengan solusi fisiologis. Banyak metabolit
seperti glukosa, laktat, piruvat, di-penanda yang mudah terbakar, dan neurotransmiter
dapat diukur dengan menggunakan teknik ini. Rasio metabolit, khususnya rasio laktat /
piruvat, telah terbukti berkorelasi dengan tingkat keparahan cedera. 10
2.4.5.4 Manajemen Intraoperatif
Manajemen intraoperatif yang terencana dan dilaksanakan dengan baik sangat
penting untuk menghindari cedera otak sekunder. Jalan napas yang aman sangat penting
untuk menjaga oksigenasi yang memadai.. Semua pasien trauma harus diasumsikan
memiliki cedera servikal yang tidak stabil dan perut penuh sampai terbukti
sebaliknya. Pasien harus diintubasi dengan mempertahankan inline manual. stabilisasi
leher tulang belakang. Kebutuhan akan algoritma saluran napas yang sulit seharusnya
diantisipasi, terutama pada pasien dengan trauma wajah atau leher. Tabung hidung
(endotra- cheal or gastric) harus dihindari pada pasien dengan fraktur dasar tengkorak atau
koagulopati. 10
Induksi biasanya dilakukan dengan etomidat untuk menghindari hipotensi,
meskipun ada kekhawatiran untuk kemungkinan menginduksi insufisiensi
adrenal. Propofol dapat bertindak sebagai pelindung otak karena kemampuannya untuk
menekan aktivitas listrik otak dan mempertahankan autoregulasi tekanan serebral. Selain
40
itu, mungkin juga bertindak sebagai agen antioksidan yang melindungi terhadap kerusakan
tambahan neurologis. Namun, propofol harus digunakan dengan hati-hati, terutama pada
hipovolemik atau hipo-pasien yang berat, karena efek supresifnya pada sistem
kardiovaskular. Ketamine secara konvensional dihindari pada pasien dengan cedera kepala
karena kemampuannya meningkatkan aliran darah serebral dan dengan demikian
meningkatkan TIK. 10
Cairan hipotonik harus dihindari, seperti yang dibahas sebelumnya,cairan hipotonik
dapat memperburuk edema serebral. Semua agen volatil menurunkan tingkat metabolisme
oksigen otak tetapi dapat menyebabkan serebral vasodilatasi dan peningkatan TIK,
meskipun efeknya cenderung rendah pada konsentrasi kurang dari 1 konsentrasi alveolar
minimum. Nitrous oxide harus dihindari karena merupakan vasodilator serebral dan dapat
10
meningkatkan TIK.

2.4.6 Anastesi pada Kraniotomi Sadar


2.4.6.1 Manajemen Airway
Prasyarat untuk menyediakan anestesi bagi pasien yang menjalani kraniotomi
sadar adalah memiliki keahlian dalam manajemen saluran napas lanjutan. Dalam
mengelola jalan napas pasien yang sadar dan sadar secara spontan, penting bahwa oksigen
yang cukup disediakan dan karbon dioksida dilepaskan. Kraniotomi sadar sering dipersulit
oleh ventilasi yang tidak adekuat, dan untuk tujuan ini, penelitian menunjukkan bahwa
9,5% pasien mengalami hypercarbia (end-tidal CO2> 50 mmHg), 7,1% mengalami depresi
pernafasan (laju pernapasan <8 napas / menit), dan 4,8% mengalami desaturasi oksigen
(SpO2 <95%) di beberapa titik selama prosedur. 11
Instrumentasi saluran napas mungkin diperlukan pada setiap waktu selama
prosedur dan sering dibutuhkan secara tiba-tiba. Oleh karena itu, penilaian jalan nafas
preoperatif menyeluruh dan aksesibilitas intraoperatif perangkat endotrakeal dan
supraglottic airway adalah sangat penting.Meskipun berbagai teknik dapat digunakan
untuk menempatkan laryngeal mask airway (LMA) selama kraniotomi sadar, posisi yang
tepat (bahkan ketika pendekatan bedah mengharuskan pasien dalam posisi lateral atau
semi-duduk) sangat penting untuk memungkinkan ahli anestesi dengan mudah manuver
jalan napas dan menjaga kenyamanan pasien yang optimal. Meskipun kanula nasofaring
telah dianjurkan oleh beberapa ahli untuk meningkatkan ventilasi intraoperatif
penggunaannya bukan tanpa risiko. Penempatan kanula nasofaring membawa risiko

41
perdarahan intranasal, sering sulit untuk posisi, dan perangkat dapat mengganggu bidang
bedah. 11
Pada sebagian besar pasien dengan pernapasan spontan, pemberian 50% FiO2
melalui masker wajah mempertahankan oksigenasi yang cukup tanpa menekan penggerak
ventilasi. Konsentrasi EtCO2 real-time, diambil di saluran udara bagian atas, memberikan
informasi yang berguna tentang mekanika ventilasi, dan dapat memberikan dukungan
ventilasi masker wajah yang lembut jika terjadi hiperkarbia. Ventilasi yang tidak memadai,
komplikasi yang mungkin timbul selama kejang atau batuk yang membandel, harus
ditangani dengan pemberian sedasi yang tepat dan penempatan LMA atau endotrakeal
tube. 11
2.4.6.2 Anastesi Lokal
Persarafan sensorik diinervasi oleh saraf trigeminal, saraf kranial terbesar dan
sumber utama persarafan sensorik ke kepala dan wajah. Saraf trigeminal memiliki tiga
cabang, opthalmik, maksilaris, saraf mandibula, yang menginervasi bagian dari dahi dan
kulit kepala. Cabang mata selanjutnya dibagi menjadi saraf frontal, supraorbital, dan
supratrochlear. Cabang maksila dibagi lagi menjadi infraorbital, zygomatic temporal, dan
saraf cofacial zygomaticum.Cabang mandibula dibagi lagi menjadi saraf auriculotemporal,
mental, dan buccal. Persarafan pada kulit kepala posterior diberikan oleh saraf oksipital
yang lebih besar, yang timbul dari saraf serviks kedua, akar C2, dan saraf oksipital yang
lebih rendah, yang berasal dari ventral rami dari saraf tulang belakang C2 dan C3. 11
Kulit kepala posterior pada dasarnya dipersarafi oleh saraf oksipital yang lebih
besar, sedangkan saraf oksipital yang lebih rendah memasok kulit kepala di belakang
telinga. Anestesi lokal yang bertujuan untuk memblokir cabang-cabang sensoris dari saraf
trigeminal, sangat penting dalam mengelola pasien yang menjalani kraniotomi terjaga.
Blok kulit kepala dengan anestesi lokal memberikan hilangnya sensasi regional yang
reversibel dan mengurangi persepsi nyeri dan pengeluaran energi. Dalam beberapa kasus,
terutama pada pasien dengan penyakit Parkinson yang menjalani implantasi
mikroelektroda stimulator otak dalam, anestesi lokal mungkin satu-satunya pendekatan
anestesi logis karena agen sedasi dapat menghapuskan impuls otak selama rekaman
mikroelektroda di daerah subkortikal. Area otak ini sangat sensitif terhadap anestesi
GABA-ergic, bahkan dalam dosis kecil, dan secara kritis dapat mengurangi kemampuan
untuk mengidentifikasi tempat yang dieksisi Saat memberikan anestesi lokal, enam saraf
harus diinfiltrasi secara memadai 11
1. Saraf Aurikulotemporal:
42
Saraf ini dapat diblokir dengan infiltrasi anestesi lokal selama proses zygomatic, dengan
suntikan 1–1,5 cm anterior telinga pada tingkat tragus. Arteri temporalis superfisial berada
di anterior saraf aurikulotemporal pada tingkat tragus, dan harus selalu dipalpasi dan
jalurnya diidentifikasi sebelum injeksi anestesi lokal.
2. Saraf zygomaticotemporal
Saraf ini dapat diblokir dengan menginfiltrasi supraorbital margin ke bagian posterior dari
lengkungan zygomatic. Timbul antara saraf auriculotemporal dan supraorbital di mana ia
muncul di atas zygoma, saraf zygomaicotemporal meregung karena menembus fasia
temporalis. Kedua suntikan yang dalam dan dangkal karenanya direkomendasikan.
3. Saraf supraorbital: Saraf ini dapat terhalangi oleh infiltrasi di mana ia muncul dari
orbita. Takik supraorbital dipalpasi oleh jari dan jarum dimasukkan sepanjang batas orbital
atas, tegak lurus dengan kulit, sekitar 1 cm medial ke foramen supraorbital.
4. Saraf supratrochlear
Saraf ini dapat diblokir oleh infiltrasi di mana ia muncul di atas alis atau dapat
dimasukkan dengan perpanjangan medial blok supraorbital.
5. Saraf oksipital yang lebih besar
Saraf ini dapat diblokir dengan menginfiltrasi kira-kira setengah antara tonjolan oksipital
dan prosesus mastoid, 2,5 cm di sebelah garis median nukal. Penanda terbaik adalah
meraba arteri oksipital, dan menyuntikkan medial setelah aspirasi hati-hati. Ini harus
dilakukan untuk menghindari injeksi intra-arteri potensial.
6. Saraf oksipital minor: Saraf ini dapat terhalangi oleh infiltrasi sepanjang garis nuchal
superior, 2,5 cm lateral ke blok saraf oksipital yang lebih besar. Juga dianjurkan bahwa
seseorang harus menyusup ke tempat-tempat di mana pin kepala ditempatkan dan di
sepanjang garis sayatan bedah. 11
Sebuah penelitian prospektif, acak, plasebo-terkontrol baru-baru ini menunjukkan
bahwa blok saraf trigeminal selektif lebih efektif daripada infiltrasi lokal untuk blok kulit
kepala dalam mengendalikan respon hemodinamik untuk insisi dan dalam mencegah
peningkatan respon hormon stres untuk fiksasi pin tengkorak. Studi terbaru telah
mengkonfirmasi bahwa infiltrasi anestesi lokal pada kulit kepala sebelum kraniotomi
efektif dalam mengurangi takikardia dan hipertensi, yang dapat menyebabkan peningkatan
aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Hal ini sangat penting untuk pasien dengan
autoregulasi serebral yang terganggu, di mana peningkatan kecil dalam tekanan darah
dapat menyebabkan perubahan besar dalam aliran darah dan volume otak, lebih lanjut

43
memicu hipertensi intrakranial. Infiltrasi anestesi lokal juga dapat mencegah kebutuhan
agen analgesik intravena pada awal prosedur pembedahan. 11
2.4.6.3 Sedasi dan Analgesia
Selama kraniotomi sadar, penting untuk merencanakan protokol sedasi-analgesia
khusus. Pemberian sedasi terlalu banyak dapat menyebabkan pasien tidak kooperatif
dengan atau tanpa depresi pernafasan, sedangkan sedasi yang terlalu sedikit menyebabkan
pasien tidak nyaman dan gelisah, yang dapat menyebabkan hipertensi arteri dan takikardia.
Agen anestesi intravena yang telah dijelaskan untuk protokol sedasi termasuk propofol-
fentanyl, propofol-remifentanil, dan dexmedetomidine. Dexmedetomidine dengan atau
tanpa penggunaan bersamaan propofol memberikan sedasi yang menyerupai tidur alami,
dan sangat berguna karena tidak menyebabkan depresi pernafasan. Monitor indeks
bispectral dapat berguna ketika melakukan titrasi infus propofol ke kondisi sadar target.
Pada pasien yang menjalani kraniotomi sadar, protokol anestesi juga harus mencapai
kontrol nyeri postoperatif yang adekuat. Remifentanil adalah opioid yang ditoleransi
dengan baik yang memberikan kontrol nyeri intraoperatif yang baik. Namun, perlu dicatat
bahwa penghentian remifentanil telah dikaitkan dengan beberapa komplikasi pasca
operasi, termasuk hiperalgesia, hipertensi, dan takikardia. 11
2.4.6.4 Manajemen Hemodinamik
Salah satu tujuan yang paling jelas dalam memberikan anestesi untuk bedah yang
dilakukan adalah optimalisasi kondisi dengan memanipulasi hemodinamik sistemik dan
serebral. Pemeliharaan normotensi atau sedikit hipotensi diperlukan untuk mengurangi
pendarahan dan pembengkakan otak yang dapat terjadi selama eksposur otak, dan untuk
mencapai hemostasis bedah. Hipertensi arteri berat dan takikardia terkait dengan
pemeriksaan pasca operasi dan iskemia miokardial yang signifikan, dan harus dihindari
atau segera diobati. Beberapa bahan dapat digunakan untuk menurunkan tekanan darah,
termasuk beta blocker (esmolol, metoprolol, atenolol), calcium-channel blockers
(diltiazem dan verapamil), alfa blocker (urapidil) campuran alfa dan beta blocker
(labetalol), dan reseptor alfa-adrenergik agonis (klonidin). Nitrat harus dihindari karena
mereka dapat menyebabkan vasodilasi serebral dan peningkatan aliran darah otak. 11
2.4.5.6 Anastesi pada Epilepsi
Riwayat pasien harus mencakup karakterisasi rinci dari penyakit termasuk pola,
jenis, dan frekuensi kejang. Terapi perioperatif terapi obat antiepilepsi sangat penting
dalam mempertahankan kontrol kejang. Ini umumnya dilanjutkan ke periode perioperatif
dan dosis harus disesuaikan untuk menjaga konsentrasi plasma yang adekuat. Efek
44
samping, interaksi obat, dan dosis pemeliharaan obat antiepilepsi selama periode starving
adalah pertimbangan penting. Masalah medis bersama dapat hadir dan harus dievaluasi.
Kontribusi penting dari ahli anestesi dalam evaluasi presurgis pasien yang dirujuk untuk
perawatan bedah epilepsi adalah manajemen anestesi selama pelaksanaan tes Wada.
Anestesi sementara dari satu belahan otak dengan pasien terjaga, memungkinkan
lateralisasi bahasa dan memori, diperlukan terutama ketika lobektomi temporal dan
amygdalohippocampectomy direncanakan. Meskipun pencitraan fungsional telah
menggantikan metode ini untuk pemetaan bahasa, tetap penting untuk studi memori. Untuk
tujuan ini, obat anestesi intravena diberikan ke arteri karotid internal melalui kateter
endovaskular. Kemungkinan terjadinya efek samping umum dari propofol atau obat lain
yang digunakan untuk tes Wada seperti gerakan mioklonik dan kebingungan harus dikenali
dan dikelola dengan cepat.8
Pemantauan rutin sudah cukup meskipun pengukuran tekanan darah invasif
disarankan untuk menghindari ketidaknyamanan seringnya pengukuran manset inflasi.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, EEG dapat membantu untuk mentitrasi dan
membimbing dosis anestetik yang memungkinkan bangkitnya kesadaran intraoperatif
cepat jika teknik 'tertidur-bangun-tidur' digunakan. 8
Manajemen anestesi umum mirip dengan prosedur intrakranial lainnya, tetapi agen
anestesi yang memiliki efek minimal pada aktivitas elektrocerebral dan rekaman
elektrofisiologi harus digunakan. Keuntungan anestesi umum termasuk memperbaiki
kondisi operasi, dengan mengendalikan PaCO2 dan MAP, dan jaminan imobilitas dan
ketidaksadaran pasien. Kekurangan termasuk ketidakmampuan untuk menilai pidato dan
bahasa. Benzodiazepin harus dihindari dan sebelum elektrokortikografi, kedalaman
anestesi harus dikurangi. Penekanan berlebih dalam rekaman menunjukkan kedalaman
anestesi yang berlebihan yang perlu ditangani. Selama electrocorticography, agen
penghambat neuromuskular dapat diperlukan untuk menghindari gerakan dan beberapa
obat dapat digunakan untuk menimbulkan aktivitas epileptiform. Ketika aktivitas kejang
dipicu oleh obat atau dengan stimulasi kortikal, permukaan kortikal harus diairi setelahnya
dengan es garam untuk menghentikan aktivitas epilepsi. Dalam kasus yang melibatkan
area otak yang fasih, electrocorticography dikombinasikan dengan pemetaan fungsional
intraoperatif yang membutuhkan pasien yang sadar dan kooperatif. Ini dapat dilakukan
dengan menggabungkan anestesi lokal (blok lapangan atau blok kulit kepala) dan sedasi,
atau dengan teknik tidur-bangun-tidur dengan masker laring untuk manajemen saluran
napas, seperti yang dijelaskan untuk reseksi tumor otak yang terletak di dekat daerah
45
fasih.8 Hampir semua pertimbangan menangani manajemen anestesi kraniotomi terjaga
untuk reseksi tumor otak dapat diterapkan untuk operasi epilepsi terjaga. Sekali lagi,
pemilihan opsi yang berbeda harus didahului oleh diskusi terperinci antara semua anggota
tim dan disesuaikan dengan pengalaman dan keterampilan mereka. Dalam setiap kasus,
kondisi yang menguntungkan untuk prosedur dan evaluasi harus disediakan tanpa
mengorbankan keselamatan dan kenyamanan pasien.8
Obat yang diberikan harus memberikan anxiolysis, analgesia, dan kenyamanan
tanpa mengganggu pemantauan. Agen-agen short acting yang dititrasi dengan hati-hati
lebih disukai, meminimalkan gangguan anestesi dengan evaluasi fungsional. Jika teknik
tidur-bangun-tidur dipilih, kombinasi remifentanil dan propofol biasanya digunakan, tetapi
dexmedetomidine adalah alternatif yang berharga. Ini memberikan analgesia yang efektif,
sedasi, dan tidak adanya gangguan dengan rekaman pada dosis 0,2 μg kg − 1 jam. 8
EEG mentah atau olahan dapat digunakan di seluruh prosedur, membantu untuk
mentitrasi tingkat kesadaran dan mengurangi waktu munculnya selama operasi. Ada
interaksi penting antara obat antiepilepsi dan obat-obatan yang biasa digunakan dalam
anestesi, dan ini mempengaruhi keefektifan obat dan risiko aktivitas kejang intraoperatif.
Induksi dan penghambatan isoenzim sitokrom P450 hati merupakan mekanisme yang
paling signifikan, terutama dengan obat antiepilepsi generasi yang lebih tua. Sebagai
contoh, terapi fenitoin kronis meningkatkan pembersihan rocuronium dari 0,26 hingga
0,75 liter min − 1 tetapi tidak berpengaruh pada parameter farmakokinetik lainnya. 8
Banyak agen anestesi sendiri mempengaruhi kecenderungan untuk kejang, baik
pada pasien dengan epilepsi dan pada mereka yang tidak memiliki riwayat kejang
sebelumnya. Beberapa agen memiliki efek yang berbeda tergantung pada dosis: umumnya
dosis rendah adalah prokulvulsan sementara dosis yang lebih tinggi memiliki aktivitas
antikonvulsan. Ini jelas merupakan kasus dengan propofol: sementara itu menyebabkan
aktivasi dalam dosis kecil, ini menghasilkan supresi semburan EEG pada dosis klinis.
Propofol saat ini digunakan untuk mengobati status epileptikus refrakter. Benzodiazepin
memiliki aktivitas antikonvulsan yang terkenal. Thiopental adalah antikonvulsan pada
dosis klinis. Etomidate dan methohexital mengaktifkan EEG dan harus dihindari, kecuali
efek yang diinginkan adalah untuk mengaktifkan fokus kejang intraoperatif. Sekecil 25 mg
methohexital cukup untuk menimbulkan potensi epileptiform di daerah epileptogenic dan
ini merupakan obat pilihan untuk situasi ini. Agen volatil seperti isoflurane, desflurane,
dan sevoflurane juga memiliki efek tergantung dosis pada aktivitas kejang: aktivitas
epileptiform ditekan oleh dosis rendah dan EEG isoelektrik diproduksi pada 2 MAC;
46
Namun, ada beberapa laporan kejang sevoflurane yang diinduksi dan EEG epileptiform.
Tak satu pun dari agen penghambat neuromuskular tampaknya memiliki efek
proconvulsant, meskipun mereka dapat mengganggu pemantauan intraoperatif dari
myogenic motor-membangkitkan potensi (MEPs). 8
2.5 Manajemen Pascaoperasi
2.5.1 Manajemen Pascaoperasi Setelah Pembedahan tanpa Penyulit
Komplikasi sering terjadi setelah bedah saraf. Sebuah database bedah besar untuk
tahun 2006-2011 menemukan komplikasi pada 23,6% prosedur tengkorak. Angka
kematian 30 hari setelah operasi untuk tumor intrakranial adalah sekitar 2,2%. Hal ini
menjadi alasan untuk pasien setelah bedah saraf secara rutin masuk ke unit perawatan
intensif pascaoperasi. Namun, sumber daya ICU terbatas sehingga pasien berisiko rendah
kemungkinan dirawat langsung di bangsal. Faktor risiko untuk komplikasi pasca operasi
adalah skor skala kinerja Karnofsky <80 (berarti tidak dapat melakukan aktivitas normal
atau bekerja), posisi lateral pasien selama operasi, durasi operasi lebih dari 4 jam,
kegagalan untuk ekstubasi trakea di ruang operasi, dan kehilangan darah intraoperatif >
350 mL.Rawat inap rutin ke bangsal pada pasien berisiko rendah tergantung pada perawat
yang memadai dan staf dokter, tersedia pemantauan, dan kehadiran tim respon cepat dalam
kasus-kasus neurologis yang memburuk. 7
1. Analgetik
Nyeri postcraniotomy sering sedang atau berat dan sering tidak terobati.
Peningkatan penggunaan remifentanil selama anestesi juga membutuhkan strategi
analgesik pasca operasi yang efektif. Blok saraf kulit kepala atau infiltrasi luka
dengan anestesi lokal memberikan beberapa analgesia pasca operasi tetapi
efeknya mungkin terlalu pendek ketika injeksi terjadi sebelum sayatan bedah.
Parasetamol saja tidak memberikan penghilang rasa sakit. Hubungan dengan
tramadol efektif, tanpa efek pada TIK atau CPP, tetapi dapat menimbulkan mual
dan muntah. Nefopam memiliki efek antispering dan analgesik, tetapi telah
dikaitkan dengan beberapa kasus kejang. 7
Opioid analgesia yang dikendalikan pasien aman, tetapi risiko
somnolen, retensi CO2 dan peningkatan tekanan intrakranial membutuhkan
pemantauan pasca operasi yang memadai. Obat anti-inflamasi nonsteroid
(NSAID) jarang digunakan karena mereka menghambat agregasi trombosit dan
pasien sering menerima kortikosteroid. Namun, risiko perdarahan karena NSAID
mungkin sangat rendah dan belum dibuktikan setelah bedah saraf. Frekuensi mual
47
adalah 50% setelah kraniotomi dan muntah terjadi pada sekitar 40% pasien.
Profilaksis untuk mual dan muntah pasca operasi adalah ondansetron.
Ondansetron aman dan memiliki beberapa efek samping tetapi hanya sebagian
efektif. Droperidol lebih efektif daripada ondansetron untuk mencegah muntah
dan tidak menyebabkan sedasi jika dosisnya kurang dari 1 mg. Kortikosteroid
juga efektif untuk mencegah nyeri pasca operasi.7
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid sangat efektif dalam mengurangi edema otak vasogenik
di sekitar tumor ganas. Komplikasi yang paling sering berkaitan dengan
penggunaannya pada periode pasca operasi adalah hiperglikemia, tetapi gangguan
psikiatri yang berkaitan dengan pengobatan kortikosteroid sering diabaikan. Dosis
kortikosteroid postoperatif yang tinggi harus dikurangi secara cepat selama
beberapa hari. Dexamethasone adalah kortikosteroid yang paling sering
diresepkan untuk penatalaksanaan edema serebral. Namun, kortikosteroid lain,
misalnya metilprednisolon, dapat digunakan. Dexamethasone kira-kira enam kali
lebih kuat daripada methylprednisolone yang menyarankan perkalian dosis oleh
enam dari dexamethasone ke methylprednisolone. Regimen dexamethasone awal
adalah dosis bolus 10 mg diikuti oleh 4 mg setiap 6 jam. dosis yang jauh lebih
besar dapat digunakan segera setelah operasi untuk periode waktu yang singkat. 7
3. Antiepilepsi
Karena otak bereaksi terhadap trauma bedah, periode pasca operasi
ditandai oleh peningkatan risiko kejang epilepsi. Pasien yang diobati dengan obat
antiepilepsi sebelum prosedur harus melanjutkan obat ini dalam periode
perioperatif. Karena beberapa obat hanya tersedia dalam bentuk oral, obat atau
aplikasi alternatif melalui tabung nasogastrik harus digunakan pada pasien yang
belum cukup kooperatif pada periode awal pasca operasi. Namun demikian, tidak
ada bukti bahwa penggunaan profilaksis antiepilepsi rutin bermanfaat dan ini
tidak lagi dilakukan di sebagian besar pusat. Pada periode pasca operasi, status
epileptikus non-konvulsif juga mungkin. Jika ada keraguan, diagnosis EEG pasien
dengan penurunan tingkat kesadaran harus dilakukan sejak dini 7
Pada tahun 2000, pernyataan konsensus dari Subkomite Standar
Kualitas Amerika Academy of Neurology merekomendasikan untuk tidak
menggunakan obat antiepilepsi secara rutin sebagai profilaksis pada pasien
dengan tumor otak, dan untuk tidak menggunakan obat ini pada minggu pertama
48
setelah operasi jika pasien tidak pernah menunjukkan kejang.Meskipun bukti
terbaik saat ini adalah melawan profilaksis antikonvulsan setelah kraniotomi.
Sebuah survei praktek mengungkapkan bahwa lebih dari 70% ahli bedah saraf
secara rutin menggunakan obat antiepilepsi profilaksis pada pasien yang
menjalani reseksi tumor otak. Fenitoin sering digunakan untuk profilaksis kejang
tetapi levetiracetam efektif dengan efek samping yang lebih sedikit. Perawatan
antiepilepsi pra operasi tidak boleh terputus pada periode perioperatif karena
dapat menimbulkan kejang. 7

4. Thromboprophylaxis
Risiko deep vein thrombosis (DVT) tinggi setelah pembedahan
intrakranial. Tanpa profilaksis, frekuensi DVT, didiagnosis menggunakan
ultrasonografi atau venografi, adalah 20-35% dan 2,3-6% untuk kejadian
simtomatik. Kompresi pneumatik intermiten pada kaki dianjurkan pada semua
pasien kraniotomi, selama, atau sesegera mungkin setelah operasi. Pada pasien
yang sangat berisiko tinggi (tumor ganas, operasi berkepanjangan, hemiparesis
dan usia lanjut) heparin tidak terfraksionasi atau heparin berat molekul rendah
harus ditambahkan ke thromboprofilaksis mekanik setelah hemostasis yang
adekuat terbentuk (24-48 jam setelah operasi). 7
5. Perawatan lain
Antibiotik profilaksis dianjurkan untuk operasi intrakranial. Ini
mengurangi setengah tingkat infeksi pascaoperasi. Durasi optimalnya tidak
diketahui tetapi harus lebih pendek dari 24 jam untuk menghindari pemilihan
mikroorganisme resisten antibiotik. Sefalosporin generasi pertama (cefazoline)
biasanya direkomendasikan. 7
Perawatan hormonal mungkin diperlukan setelah operasi pituitari atau
kraniofaringgioma. Penggantian kortisol mungkin diperlukan setelah pengobatan
penyakit Cushing dan wajib pada pasien dengan insufisiensi adrenal pra operasi.
Hidrokortison 50 mg 6 jam cukup untuk mencegah insufisiensi adrenal relatif
dalam 24 jam pertama. Diabetes insipidus ditandai dengan poliuria dan polidipsia
yang tiba-tiba, tetapi polidipsia sering tidak terlihat pada pasien pasca bedah yang
dibius. Pemantauan output urin dan kepadatan diperlukan untuk menghindari
dehidrasi dan hipernatremia. Peningkatan diuresis dari cairan intraoperatif atau
efek residu manitol dapat terjadi tetapi biasanya terbatas pada periode pasca
49
operasi awal. Output urin di atas 250 mL / jam selama lebih dari 2 jam dengan
kepadatan kurang dari 1,005 (urine osmolalitas <300 mOsm / kg) merupakan
indikasi untuk memberikan desmopressin (DDAVP). DDAVP dapat diberikan
melalui rute oral, hidung, intravena atau subkutan. Pada pasien pasca operasi,
pemberian parenteral lebih disukai (1-4 μg q 8-24 jam). Penggantian cairan
hipotonik intravena mungkin diperlukan untuk membatasi hipernatremia. 7
Hipertensi pasca operasi merupakan faktor risiko untuk perdarahan
intrakranial. Tekanan darah harus dipantau secara ketat, lebih disukai secara
invasif, dan hipertensi sistolik melebihi 140 mm Hg harus segera diobati oleh agen
intravena yang tidak vasodilator serebral seperti labetalol, nicardipine, atau
urapidil. Pada semua pasien bedah saraf, perhatian khusus harus diberikan kepada
penggunaan profilaksis agen antitrombotik selama periode pasca operasi awal.
Risiko trombosis vena dalam meningkat pada pasien tumor otak, tetapi dampak
perdarahan intrakranial pasca operasi dengan pemantauan kembali pada pemulihan
neurologis dapat menjadi berat. Tindakan mekanis seperti stoking pneumatik
tampaknya aman dan efektif, tetapi harus dikombinasikan dengan heparinoid bila
memungkinkan.7
2.5.2 Manajemen Pascaoperasi Setelah Operasi dengan Penyulit
1. Pembedahan dengan Airway Sulit
Menghindari hipoksia lebih penting daripada pencegahan peningkatan
TIK. Kemajuan teknologi dan peralatan, videolaryngoscopy dan teknik intubasi
fiberoptik mungkin memungkinkan intubasi pada pasien yang dianestesi dengan
saluran udara yang sulit dimana intubasi terjaga sebelumnya adalah pilihan yang
lebih disukai sebelum operasi tumor otak. Dengan memungkinkan visualisasi
yang lebih baik dari anatomi saluran napas dan intubasi endotrakeal,
videolaryngoscopes telah membuat jalan mereka di banyak algoritma jalan napas
yang sulit dan mencerminkan pemahaman yang lebih baik dari ilmu manajemen
jalan napas. Namun, penilaian yang tepat dari setiap situasi harus dilakukan,
termasuk pengaturan, peralatan dan kompetensi tim anestesi. Pemilihan alat dan
teknik (perangkat yang disalurkan vs videolaryngoscopy yang dibantu oleh
stylet), pasien yang bernapas secara spontan dengan pernapasan (sevoflurane atau
remifentanil assisted), preferensi dokter atau situasi pasien harus hati-hati
ditimbang, dengan mempertimbangkan keuntungan dan kontraindikasi.
Videolaringoskopi dapat memungkinkan intubasi di bawah anestesi umum untuk
50
manajemen jalan napas sulit yang dicurigai, menghindari hiperkapnia dengan
intubasi trakea yang lebih cepat dan lebih mudah, mengurangi stimulasi simpatik
dan ketidakstabilan hemodinamik dengan membutuhkan lebih sedikit kekuatan
untuk mengekspos saluran laring. Intubasi fiberoptik sadar harus dipersiapkan
secara hati-hati. Ini dimulai dengan penjelasan yang baik tentang prosedur untuk
pasien, berlanjut dengan anestesi lokal teliti nasofaring dan saluran udara, dan
dilengkapi dengan penggunaan dosis obat penenang dosis rendah (midazolam,
fentanyl atau remifentanil atau penggunaan infus dosis rendah) propofol).
Konsekuensi otak sedasi yang mendalam dan hypercapnia harus diingat selama
prosedur ini. Aktivasi hemodinamik harus segera diobati oleh agen antihipertensi
(misalnya, labetalol atau esmolol). 7
2. Abses Otak
Abses otak merupakan bagian dari diagnosis banding lesi massa
supratentorial, dan efeknya pada otak dan tekanan TIK adalah serupa. Faktor
risiko termasuk infeksi dari organ yang bersebelahan (sinus, telinga), shunt
jantung kanan ke kiri, imunosupresi (asing atau intrinsik), dan penyalahgunaan
obat intravena. Abses otak sering disertai demam ringan. Jika kehadirannya
dicurigai, pengobatan awal termasuk antibiotik untuk mengendalikan infeksi dan
kortikosteroid untuk mencoba mengendalikan edema otak — kadang-kadang
bersamaan dengan diuretik. Diagnosis dan pengobatan definitif dicapai dengan
kraniotomi atau stereotaxy dan aspirasi abses. Manajemen bedah dan anestesi
mirip dengan neoplasma supratentorial. Jika pasien immunocompromised
(misalnya, acquired immunodeficiency syndrome [AIDS]), teknik steril dan
tindakan pencegahan aseptik harus dipatuhi dengan kekuatan tertentu. Perlu
dicatat bahwa infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dikaitkan dengan
limfoma non-Hodgkin di otak. 7
3. Bedah Kraniofasial dan Dasar Tengkorak
Bedah dasar kraniofasial dan tengkorak adalah pendekatan yang
semakin digunakan untuk tumor di dekat dinding posterior sinus hidung, orbit,
dan sebagainya. Ini adalah operasi kompleks yang membutuhkan pendekatan
bedah multidisiplin dan sering melibatkan pemantauan neurofisiologis sensorik
dan motorik saraf kranial. Karena pendekatan bedah transfacial, intubasi oral atau
trakeostomi sering diperlukan. Keterlibatan tulang yang ekstensif dari prosedur
membawa potensi kehilangan darah yang signifikan, diatesis hemoragik, dan
51
emboli udara vena, terutama jika kepala diangkat. Jika pemantauan saraf kranial
(terutama saraf motorik) dilakukan, blokade neuromuskular harus dihindari.
Untuk prosedur kedua dari jenis ini, eksposur dasar tengkorak melibatkan
mobilisasi otot temporalis luas dan sering mengakibatkan mandibula
pseudoankylosis dengan keterbatasan terbukanya mulut dan intubasi yang sulit. 7

52
BAB 3

KESIMPULAN

Anastesi pada bedah saraf adalah subspesialisasi anestesiologi yang berhubungan


dengan pasien yang menjalani prosedur bedah pada otak dan sumsum tulang belakang.1
Tindakan bedah saraf memerlukan teknik anestesi khusus bedah saraf yang dikenal dengan
neuroanestesi. Anestesi pada bedah saraf membutuhkan pemahaman tentang anatomi dan
fisiologi sistem saraf pusat (SSP) dan kemungkinan perubahan yang terjadi sebagai
respons terhadap infeksi, lesi, dan trauma untuk menyeimbangkan anestesi dengan induksi
dan pemeliharaan tekanan perfusi serebral yang memadai dan aliran darah otak,
menghindari hipertensi intrakranial, dan penyediaan kondisi bedah yang optimal perlu
diperhatikan.
Anastesi pada bedah saraf perlu memperhatikan sedasi, akses vaskular, monitoring
obat-obatan induksi, muscle relaxant posisi pasien,maintanance, dan cairan. Beberapa
kasus pada bedah saraf seperti bedah saraf pada kelainan kongenital, massa, epilepsi,
cedera kepala, dan tindakan kraniotomi dalam keadaan pasien sadar.Setelah tindakan
pembedahan, monitoring berbagai komplikasi pascabedah harus diperhatikan.

53
DAFTAR PUSTAKA

1. Klimek M, Lobo FA, Steiner LA, Kalkman CJ. Anaesthesia for neurosurgery
and electroconvulsive therapy. In: Hardman J, Hopkins P, Struys M, editors.
Oxford textbook of anesthesia. Oxford: Oxford University Press; 2017. p.
1009–29.
2. Flexman AM, Meng L, Gelb AW. Critères d’évaluation en neuroanesthésie:
qu’est-ce qui est le plus important? Can J Anesth. 2016;63(2):205–11.
3. Sing GP. Anatomical Consideration. In: Prabhakar H, Mahajan C, Kapoor I,
editors. Manual of Neuroanesthesia The Essentials. Boca Raton: CRC Press;
2017. p. 3–20.
4. Ellis JA, Yocum GT, Ornstein E, Joshi S. Cerebral and spinal cord blood flow.
In: Cotrell J, Patell P, editors. Neuroanesthesia. Sixth Edition. New York:
Elsevier; 2017. p. 19–58.
5. Kapoor I.Anasthetic Agents: Intravenous. In: In: Prabhakar H, Mahajan C,
Kapoor I, editors. Manual of Neuroanesthesia The Essentials. Boca Raton:
CRC Press; 2017. p. 165-72.
6. Kapoor I.Anasthetic Agents: Inhalation. In: In: Prabhakar H, Mahajan C,
Kapoor I, editors. Manual of Neuroanesthesia The Essentials. Boca Raton:
CRC Press; 2017. p. 172-180.
7. Bruder NJ, Ravussin P, Schoettker P. Supratentorial Masses: Anesthetic
Considerations. In: Cotrell J, Patell P editors, editor. Neuroanesthesia. Sixth
Edit. New York: Springer; 2017. p. 189–208.
8. Klimek M, Lobo FA, Steiner LA, Kalkman CJ. Anaesthesia for neurosurgery
and electroconvulsive therapy. In: Hardman J, Hopkins P, Struys M, editors.
Oxford textbook of anesthesia. Oxford: Oxford University Press; 2017. p.
1009–29.
9. Chapman E. Neurosurgery. In: Pollard B, Kitchen G, editors. Handbook of
Clinical Anesthesia. Fourth Edi. Boca Raton: CRC Press; 2018. p. 353–74.
10. Bhattacharya B, Maung AA. Anesthesia for Patients with Traumatic Brain
Injuries. Anesthesiol Clin [Internet]. 2016;34(4):747–59. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.anclin.2016.06.009

54
11. Titi L, Gruenbaum S, Bilotta F. Anesthesia for Awake Craniotomy. In: Khan Z,
editor. Challenging Topics in Neuroanesthesia and Neurocritical Care.
Switzerland: Springer; 2017. p. 149–54.

55

Anda mungkin juga menyukai