Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker merupakan istilah untuk sekelompok penyakit yang bervariasi tipe dan
lokasinya. Penyakit ini disebabkan oleh hilangnya kontrol terhadap kapasitas
reproduksi sel. Sel-sel ini tidak membelah sesuai programnya, namun terus membelah
dan bermultiplikasi secara abnormal hingga menimbulkan massa tumor yang nampak
1,2
dan terdeteksi. Massa tumor ini dihasilkan oleh proliferasi sel autonom yang
berkelanjutan dan abnormal, akibat perubahan permanen beberapa sel yang
ditransmisikan dari kelompok selnya. 1,2
Sel-sel kanker mirip dengan sel-sel asalnya dan memiliki struktur DNA dan
RNA yang mirip (namun tidak identik). Inilah alasan mengapa sel-sel ini jarang
terdeteksi oleh sistem imun, khususnya jika sistem imun melemah.1,2
Metastase didefinisikan sebagai stadium dimana sel-sel kanker
ditransportasikan melalui aliran darah atau sistem limfatik. Kanker dapat mengenai
segala kelompok umur, namun resiko meningkat sesuai penambahan umur, terkait
kerusakan DNA lebih nampak pada DNA yang menua. 1 Pertumbuhan sel yang tidak
teregulasi pada penyakit ini disebabkan oleh mutasi pada gen yang mengkode protein
yang mengontrol pembelahan sel. Kebanyakan mutasi bahkan mentransformasi sel
normal menjadi sel maligna.1,2
Mayoritas kanker bersifat sporadik dan mungkin diteruskan dari satu generasi
ke generasi selanjutnya. Dua puluh persen kanker bersifat herediter. Ini berarti gen
abnormal bertanggung jawab terhadap penurunan penyakit ini dari orang tua terhadap
2
anaknya. Penyebab kanker dan tipe kanker masih belum diketahui dengan jelas.
Belum ada penyebab jelas mengapa seorang terkena kanker dan yang lainnya tidak.
Sel-sel kanker bermultiplikasi sangat cepat dan menjadi maligna. Mutasi gen ini
terjadi akibat beberapa faktor kompleks terkait gaya hidup, herediter, dan lingkungan.
Mutasi ini dapat disebabkan oleh agen khemis atau kimiawi yang disebut karsinogen,

1
oleh pemaparan terhadap zat radioaktif, atau oleh beberapa virus yang dapat
menyelipkan DNAnya ke dalam genom manusia.1,2,3
Tiga puluh persen pasien datang dengan keluhan nyeri saat mereka didiagnosa
kanker, dan 65-85 % pasien mengalami nyeri seiring dengan berkembangnya
penyakit kanker mereka.4 Diperkirakan sepertiga pasien dengan kanker mendapat
terapi dan tiga perempatnya mengalami nyeri. Nyeri ini sangat bervariasi dan bersifat
individual. Nyeri pada kanker tulang menempati prevalensi tertinggi untuk nyeri
sedang hingga berat dan leukemia dengan prevalensi nyeri sedang berat yang
terendah. Kejadian nyeri meningkat seiring perkembangan penyakit dan bervariasi
sesuai tempat primernya.4 Faktor lain yang turut berkontribusi yaitu stadium penyakit,
adanya metastasis, terlibatnya struktur tulang, terkenanya struktur saraf oleh tumor,
lepasnya mediator-mediator kimiawi oleh sel-sel tumor, dan faktor dari pasien sendiri
seperti cemas dan depresi. 2,4,5
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa penderita kanker mengalami lebih
dari satu tipe nyeri. Pada sebuah survey, 81% pasien dilaporkan mengeluhkan dua
6
atau lebih tipe nyeri dan 34% melaporkan lebih dari tiga tipe nyeri. Ketakutan
pasien akan kanker sehubungan dengan ketakutan mereka akibat nyeri berat oleh
kanker. Enam puluh Sembilan persen pasien kanker yang disurvei melaporkan bahwa
nyeri berat akibat kanker membuat mereka ingin bunuh diri dan 57% pasien
memprediksikan hidup mereka akan berakhir dengan sangat nyeri.6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyeri Kanker


Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri adalah
pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan
dengan suatu potensi kerusakan jaringan. Nyeri terbagi menjadi beberapa macam
tergantung penyebab, durasi nyeri, lokasi, kualitas, frekuensi, sifat serta gejala
penyerta.1,2

2
Kanker merupakan istilah untuk sekelompok penyakit yang bervariasi tipe
dan lokasinya.3 Penyakit ini disebabkan oleh hilangnya kontrol terhadap kapasitas
reproduksi sel. Sel-sel ini tidak membelah sesuai programnya, namun terus membelah
dan bermultiplikasi secara abnormal hingga menimbulkan massa tumor yang nampak
dan terdeteksi.3 Massa tumor ini dihasilkan oleh proliferasi sel autonom yang
berkelanjutan dan abnormal, akibat perubahan permanen beberapa sel yang
ditransmisikan dari kelompok selnya.3
Tiga puluh persen pasien datang dengan keluhan nyeri saat mereka
didiagnosa kanker, dan 65-85 % pasien mengalami nyeri seiring dengan
berkembangnya penyakit kanker mereka.3,4 Diperkirakan sepertiga pasien dengan
kanker mendapat terapi dan tiga perempatnya mengalami nyeri terutama nyeri kronik.
3,4
Nyeri ini sangat bervariasi dan bersifat individual.3,4 Nyeri pada kanker tulang
menempati prevalensi tertinggi untuk nyeri sedang hingga berat dan leukemia dengan
prevalensi nyeri sedang berat yang terendah.4 Kejadian nyeri meningkat seiring
perkembangan penyakit dan bervariasi sesuai tempat primernya. Gambaran nyeri
kanker bergantung pada jenis histologi kanker, lokasi primer, dan lokasi metastase.
Faktor lain yang turut berkontribusi yaitu stadium penyakit, terlibatnya struktur
tulang, terkenanya struktur saraf oleh tumor, lepasnya mediator-mediator kimiawi
oleh sel-sel tumor, neuropati diinduksi oleh kemoterapi, nyeri pasca operasi, dan
2,3,4,5
faktor dari pasien sendiri seperti cemas dan depresi. Tabel berikut menunjukkan
penyebab nyeri kanker
Tabel 1. Penyebab Nyeri Kanker3,4,5
Kanker
Erosi tulang atau metastasis
Ulkus membrane mukosa
Kerusakan nervus
Infiltrasi jaringan lunak
Distensi visceral
Terapi Kanker
Kemoterapi
Neuropati perifer

3
Avascular necrosis hip
Radiasi
Plexopathy atau myelopathy
Enteritis radiasi
Osteoradionekrosis
Operasi
Nyeri post operatif
Panthom pain
Nyeri Non Malignant
Nyeri otot

2.2 Mekanisme Nyeri Kanker


Nyeri kanker umumnya diakibatkan oleh infiltrasi sel tumor pada struktur
yang sensitif dengan nyeri seperti tulang, jaringan lunak, serabut saraf, organ dalam,
dan pembuluh darah.2,4 Nyeri juga dapat diakibatkan oleh terapi pembedahan,
kemoterapi, atau radioterapi.2,4 Meskipun penyebab nyeri kanker dan tipenya
bervariasi, mekanisme yang mendasarinya telah dipahami sebagai fenomena
neurofisiologik dan neurofarmakologik yang kompleks. 2,4
Dua golongan nyeri kanker dipaparkan sebagai nyeri nosiseptif, terdiri dari
nyeri somatik dan nyeri viseral, dan nyeri neuropatik, atau kombinasinya. 2
Pengetahuan akan tipe nyeri kanker penting dalam penatalaksanaan nyeri kanker
yang adekuat.
Terdapat beberapa reseptor yang sensitif terhadap stimuli noksius.6
Nosiseptor ini adalah saraf aferen primer dengan ujung perifernya berespon terhadap
berbagai stimuli noksius.6 Nosiseptor ini memiliki dua fungsi yaitu transduksi dan
transmisi.6 Beberapa faktor kimiawi, mekanik dan termal dapat mengaktivasi reseptor,
mengakibatkan impuls saraf elektrokimiawi pada aferen primer. Informasi ini
selanjutnya dikodekan dalam frekuensi impuls yang ditransmisi menuju sistem saraf
pusat, dimana persepsi nyeri terjadi.7 Baik nosiseptor bermielin ataupun tidak
bermielin menyampaikan sensasi nyeri ke sistem saraf pusat.7 Nosiseptor bermielin
berespon terhadap stimuli mekanik secara khusus dan dengan konduksi yang cepat

4
6,7
melalui serabut saraf A-delta, menyebabkan sensasi nyeri tajam. Nosiseptor tak
bermielin adalah serabut saraf polimodal, berespon terhadap stimuli mekanik, termal
dan kimiawi, dengan penghantaran konduksi yang lebih lambat melalui serabut C dan
sifat nyerinya tumpul dan rasa terbakar. 4,6,7
Infiltrasi dan kompresi tumor dapat menyebabkan aktivasi nosiseptor baik
secara mekanik maupun kimiawi.8 Telah diketahui berbagai molekul yang digunakan
nosiseptor untuk mendeteksi stimuli. Contoh, reseptor vanilloid (VR1), yang
diekspresikan oleh kebanyakan nosiseptor, mendeteksi panas dan asam, proton
ekstrasellular, dan metabolit lipid.7,8 Untuk mendeteksi stimuli mekanik, nosiseptor
mengekspresikan pintu saluran mekanik yang mengaktifkan cascade pengiriman
sinyal sebagai respon terhadap regangan yang berlebihan-dan beberapa reseptor
purinergik, yang diaktifkan oleh ATP. 7,8 ATP dilepaskan oleh sel-sel akibat stimulasi
mekanik yang berlebihan. Untuk merasakan stimuli noksius kimiawi, nosiseptor
mengekspresikan reseptor dengan susunan kompleks yang diaktivasi oleh faktor
inflamasi yang dilepaskan oleh jaringan rusak. 7,8 Faktor inflamasi tersebut antara lain
proton, endothelin, prostaglandin, bradikinin, dan nerve growth factor. 8 Dengan
teridentifikasinya reseptor yang diekspresikan pada permukaan nosiseptor maka
meningkatkan pemahaman kita mengenai mengapa tumor menyebabkan nyeri ketika
sel-selnya menginvasi dan menghancurkan jaringan perifer.7

5
Gambar 1. Deteksi oleh neuron-neuron sensorik terhadap stimuli noksius
yang diproduksi sel tumor.7
Gambar 1 menunjukkan nosiseptor (merah) menggunakan beberapa tipe
reseptor yang berbeda untuk mendeteksi dan mentransmisikan sinyal stimuli noksius
yang diproduksi oleh sel-sel kanker (kuning) atau sel lain di sekitarnya. 7 Reseptor
vanilloid-1 (VR1) mendeteksi proton ekstrasellular (H+) yang diproduksi oleh sel-sel
kanker, sedangkan reseptor endothelin-A (ETAR) mendeteksi endothelins (ET) yang
7
dilepaskan oleh sel-sel kanker. Dorsal-root acid-sensing ion channel (DRASIC)
mendeteksi stimuli mekanik akibat pertumbuhan tumor yang secara mekanik
meregangkan serabut saraf sensorik. Reseptor lain yang diekspresikan oleh neuron
sensorik antara lain reseptor prostaglandin (EP), yang mendeteksi prostaglandin E2
(PGE2) yang diproduksi oleh sel kanker dan sel-sel inflamatorik (makrofage). Nerve
growth factor (NGF) yang dilepaskan oleh makrofage terikat pada reseptor tyrosine
kinase (TrkA), sedang ATP ekstrasellular terikat pada reseptor purinergik P2X3. 7
Aktivasi reseptor-reseptor ini meningkatkan eksitabilitas nosiseptor, diantaranya
fosforilasi saluran natrium (Na+ Channel) 1.8 dan/atau 1.9 dan menurunkan ambang
yang dibutuhkan untuk eksitasi nosiseptor.7
Sebagai tambahan terhadap saluran-saluran dan reseptor yang mendeteksi
trauma jaringan, neuron sensorik bersifat sangat plastic, yaitu mereka dapat
mengubah fenotip mereka sebagai respon terhadap trauma perifer.7,9 Setelah trauma
jaringan, banyak nosiseptor yang mengubah pola pengiriman sinyal peptide dan
ekspresi growth-factor mereka. Perubahan fenotip neuron sensorik ini mendasari,
sebagian, sensitisasi perifer, dimana tingkat ambang aktivasi menurun, sehingga
stimulus noksius yang normalnya ringan dianggap sebagai stimulus noksius tinggi
(hyperalgesia), atau stimulus non-noksius dipersepsikan sebagai stimulus noksius
7,9
(allodynia). Kerusakan jaringan perifer juga mengaktifkan nosiseptor yang
sebelumnya silent atau sleeping, sehingga menjadi sangat responsif terhadap
stimulus non-noksius atau noksius ringan.7

6
Hiperalgesia primer terjadi akibat sensitisasi nosiseptor pada jaringan yang
trauma. Hiperalgesia sekunder teradi akibat perubahan sistem saraf sentral oleh
aktivasi nosiseptor dan mungkin oleh meluasnya daerah hiperalgeia kutaneus
7,9
disekitar daerah trauma. Sekali teraktivasi, nyeri ditransmisikan melalui serabut
saraf A delta lateral, bersinaps pada kornu dorsalis super superfisial untuk
mengaktivasi system nosiseptif ascending. 6,7
2.2.1 Nyeri Kanker Somatik
Nyeri kanker somatik dapat disebabkan oleh invasi neoplastik pada tulang,
sendi, otot dan jaringan penyambung. Massa tumor menghasilkan dan menstimulasi
mediator inflamatorik lokal, yang menyebabkan stimulasi nosiseptor perifer yang
6,7
terus berlangsung. Sumber nyeri kanker somatic yang lain yaitu fraktur tulang,
spasme otot sekitar area tumor, nyeri insisi setelah pembedahan, dan sindrom nyeri
akibat radio/kemoterapi.8 Sindroma nyeri somatik yang paling banyak adalah akibat
invasi sel tumor pada tulang. 8,9 Nyeri tulang bisa bersifat akut, kronik atau insidentil.
Sifatnya terlokalisasi dengan jelas, intermitten atau konstan dan dideskripsikan
sebagai nyeri berdenyut-denyut, tercabik, seperti digerogoti, menyebabkan reaksi
lokal, dan diperberat oleh gerakan atau beban. 6,7,8

2.2.2 Nyeri Tulang


Invasi tumor secara langsung pada tulang atau berkembangnya metastese
osseus menyebabkan nyeri persisten.7 Tidak semua metastase tulang bersifat nyeri,
dan nyerinya kadang tidak sebanding dengan gambaran radiologik. Aferen nosiseptif
paling banyak terkonsentrasi di periosteum, sedangkan sumsum tulang dan korteks
7,8
kurang sensitif terhadap nyeri. Beberapa mekanisme yang menyebabkan nyeri
tulang neoplastik antara lain teregangnya periosteum akibat ekspansi tumor,
mikrofraktur lokal yang menyebabkan kerusakan tulang, kompresi saraf akibat
kolapsnya vertebra atau kerusakan langsung oleh tumor, serta pelepasan substansi

7
7,9
algesik lokal dari sumsum tulang. Nyeri tulang berhubungan dengan aktivitas
osteoklast. Pada tulang yang normal, aktivitas keseluruhan sel-sel tulang yang
teresorbsi (osteoklast) sebanding dengan aktivitas keseluruhan sel-sel yang terbentuk
7,9
(osteoblast). Pada penyakit metastatik, terdapat bukti peningkatan aktivitas
osteoklast. Baik faktor tumor maupun humoral, termasuk prostaglandin, sitokin,
faktor pertumbuhan lokal, dan hormone paratiroid, meningkatkan aktivitas
6,7
osteoklastik dan secara lokal menstimulasi nosiseptor. Meski terjadi peningkatan
aktivitas osteoklastik, pembentukan tulang juga meningkat. Dengan peningkatan
turnover tulang, proporsi tulang imatur dan kurang termineralisasi meningkat
sehingga kejadian fraktur meningkat.9 Prostaglandins mensensitasi nosiseptor dan
menyebabkan hiperalgesia dan nyeri dengan terjadinya osteolisis dan formasi
9
osteoklast. Obat-obat yang menghambat sintesis prostaglandin dan formasi
osteoklast dapat menghambat nyeri dengan menghambat sensitisasi dan petumbuhan
9
tumor. Biphosphonat, analog pyrophosphat, diketahui menginduksi apoptosis
osteoklast, dengan mengganggu sintesis ATP atau kolesterol, yang penting untuk
9
kelangsungan hidup sel. Biphosphonat memiliki afinitas yang tinggi terhadap ion
kalsium, sebagai mineral target dari matriks tulang. 9 Osteoklast yang telah diterapi
dengan biphosphonat mengalami perubahan morfologik, yaitu selnya mengecil,
kromatinnya menyusut, fragmentasi nukleus, dan kerutan tepi selnya menghilang,
semuanya merupakan tanda apoptosis.9 Efek anti resorbsi biphosphonat
mengakibatkan meluasnya penggunaan bisphosphonat sehingga meningkatkan
analgesia dan penurunan signifikan komplikasi tulang pada pasien dengan nyeri
tulang maligna. 9

2.2.3 Stimulasi Nosiseptor oleh Massa Tumor


Tumor terdiri dari beberapa tipe sel selain sel kanker, termasuk sel sistem
imun seperti makrofag, netrofil dan sel T.8 Sel-sel ini mensekresi berbagai faktor yang
mensensitasi atau secara langsung merangsang neuron aferen primer, dan termasuk
prostaglandin, tumour necrosis factor- (TNF-), endothelin, interleukin 1 dan 6,

8
epidermal growth factor, transforming growth factor-, dan platelet-derived growth
factor.8 Reseptor untuk banyak faktor ini diekspresikan oleh neuron aferen primer.
Meskipun seluruh faktor ini penting dalam terjadinya nyeri kanker, obat-obat dengan
target pada prostaglandin dan endotelin adalah yang tersedia saat ini untuk
mengontrol nyeri kanker. 8,9
Selain sel-sel kanker, tumor terdiri dari sel-sel inflamasi dan pembuluh
darah, serta kadang berbatasan dengan nosiseptor aferen primer. 8,9 Sel-sel kanker dan
sel inflamatorik melepaskan berbagai produk seperti ATP, bradykinin, H+, nerve
growth factor, prostaglandin dan vascular endothelial growth factor (VEGF), yang
mengeksitasi atau mensensitasi nosiseptor. 8,9 Stimuli nyeri dideteksi oleh nosiseptor ,
dimana badan selnya terdapat pada dorsal root ganglion (DRG), dan ditransmisikan
ke neuron-neuron pada medulla spinalis. Sinyal selanjutnya ditransmisikan ke pusat
yang lebih tinggi di otak. Sinyal nyeri akibat kanker tampaknya naik sampai ke otak
setidaknya melalui dua jalur medulla spinalis traktus spinothalamikus dan kolumna
dorsalis.7,9 Aktivasi nosiseptor menghasilkan pelepasan neurotransmitter seperti
calcitonin gene-related peptide (CGRP), endothelin, histamin, glutamat dan substansi
P. Aktivasi nosiseptor juga menyebabkan pelepasan prostaglandin dari ujung perifer
serabut saraf sensorik, yang menginduksi ekstravasasi plasma, rekruitmen dan
aktivasi sel-sel imun, serta vasodilatasi. 7,8,9

9
Gambar 2. Hubungan antar sel tumor dan nosisepsi. 7
2.2.4 Nyeri Kanker Viseral
Beberapa karakteristik klinik khas untuk nyeri viseral. Beberapa organ dalam
kurang sensitif terhadap nyeri. Organ padat seperti paru, hati, dan parenkim ginjal
tidak sensitif, meski terjadi destruksi besar-besaran oleh proses keganasan dan nyeri
terasa hanya jika kapsular atau struktur dekat kapsul terlibat. 5,6 Organ berlubang
dengan mukosa serosa seperti kolon sangat sensitif dengan distensi lumen dan
5,6
inflamasi namun tidak terhadap pembakaran atau pemotongan. Nyeri akibat
distensi kolon lebih bergantung pada tekanan daripada volume. Diketahui bahawa
tekanan intralumen dalam kolon yang dibutuhkan untuk menimbulkan sensasi nyeri
adalah 40-50 mm Hg. Sehingga tumor dapat terus berkembang tanpa terdeteksi dan
menyebabkan nyeri hanya pada stadium terjadinya obstruksi komplit dan terjadi
peningkatan tekanan intrakolonik. 5,6
Nyeri viseral bersifat difus dan sulit dilokalisir, dan kadang dialihkan oleh
nyeri struktur nonviseral yang lain, sehingga sumber nyeri sebenarnya sulit
6,7
dijelaskan. Nyeri viseral dimediasi oleh nosiseptor tersendiri pada sistem
kardiovaskular, respirasi, gastrointestinal, dan urogenitalia, yang dideskripsikan

10
sebagai nyeri yang dalam, menekan, kolik, dan diteruskan ke daerah kutaneus yang
nyeri. 5,6 Nyeri alih ini dianggap sehubungan dengan fakta bahwa struktur somatik dan
viseral memiliki innervasi ganda dengan serabut saraf yang umum. Serabut saraf ini
bertemu pada kornu dorsalis medulla spinalis. 5,6,7
2.2.5 Sindroma Nyeri Neuropatik Pada Pasien Kanker
Dari sekian banyak etiologi neuropatik pada nyeri kanker, nyeri neuropatik
akibat kemoterapi khususnya sangat mengganggu kualitas hidup penderita, dan
penggunaan obat sitostatika semakin dikenal menyebabkan neuropati perifer.4,10
Mekanisme agen kemoterapi (seperti paclitaxel dan vinkristin) menyebabkan
neuropati perifer diantaranya karena kemampuan mereka merusak fungsi tubulin. 7,10
Polimerisasi tubulin penting untuk transport aksonal dari faktor tropik, dan obat-obat
yang terkait proses ini dapat menyebabkan degenerasi neuron sensorik serta
pelepasan sitokin-sitokin pro-inflamatorik yang secara langsung mensensitasi
nosiseptor aferen primer.7,10
Cisplatin (Platinol), ifosfamide (Ifex), paclitaxel, and vinkristin telah
diketahui menyebabkan neuropati perifer. Tambahan, oxaliplatin (Eloxatin) yang
diberikan secara parenteral menyebabkan allodinia dingin yang akut saat pertama kali
diinfus.7 Pasien merasakan nyeri dan kram ketika mengangkat minuman dingin. Ini
mungkin diikuti dengan neuropati persisten, mirip dengan yang diinduksi oleh agen
kemoterapi yang lain. Kebanyakan neuropati yang diinduksi kemoterapi bergantung
pada dosis.7 Pasien kanker dengan neuropati perifer sebelumnya akibat kondisi lain,
yaitu diabetes, penyakit pembuluh darah iskemik, atau defisiensi nutrisi, beresiko
besar menderita neuropati perifer setelah kemoterapi. Pengobatan dengan
ciprofloksasin, ethambutol, gentamisin, isoniazid, metronidazol, fenitoin, dan statin
juga meningkatkan resiko neuropati perifer.7,10

11
2.3 Terapi Farmakologi Pada Nyeri Kanker
Secara garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-Step
Analgesic Ladder. WHO Three-Step Analgesic Ladder salah satu panduan yang saat
ini masih digunakan oleh para tenaga kesehatan untuk memberikan terapi yang tepat
sesuai dengan intensitas nyeri yang dialami oleh pasien Pada pasien dengan nyeri
kronik, manejemen farmakologis dengan analgesia mengikuti langkah tangga ke atas
1-2-3.

Gambar 3. WHO Three-Step Analgesic Ladder


Pada langkah pertama penderita dengan nyeri kronis ringan harus diobati
dengan analgesia non opioid, dan harus dikombinasi dengan obatobat tambahan
sesuai indikasi. Asetaminofen dan non steroidal anti inflamatory drugs (NSAID)
meliputi asam asetil salisilat merupakan contoh obat obatan yang dapat digunakan
pada langkah pertama untuk WHO analgesic ladder untuk penatalaksanaan nyeri
ringan.
Selanjutnya, langkah kedua terindikasi untuk penderita yang relatif tidak
toleran dan menderita nyeri sedang, atau yang gagal mendapat perbaikan setelah
percobaan dengan analgesia non opioid harus diobati dengan opioid konvensional

12
yang digunakan untuk nyeri sedang (opiod lemah). Termasuk dalam golongan ini
adalah Codein, Hydrocodone dan Tramadol. Obat-obatan ini umumnya dikombinasi
dengan non opioid dan dapat diberikan bersama-sama dengan analgesia adjuvant.
Langkah terakhir adalah langkah ketiga,pada tingkat ini, penderita yang
menderita nyeri yang berat atau gagal mendapatkan perbaikan yang adekuat setelah
pemberian obat pada tangga kedua, harus menerima opioid konvensional untuk nyeri
berat (opioid kuat). Yang termasuk obat-obatan yaitu morfin, fentanil, hidromorfon,
levorfanol, metadon, oksikodon, dan oksimorfon.
2.3.1 Analgesik Non-Opioid
Analgesik non-opioid terdiri dari asetaminofen dan Non-Steroidal Anti-
Inflammatory Drugs (NSAIDs). Obat-obat NSAID bekerja dengan menghambat
siklo-oksigenase, enzim yang mengubah asam arakhidonik menjadi prostaglandin.
Prostaglandin adalah lipid pro-inflamatorik yang terbentuk dari asam arakhidonik
oleh kerja enzim cyclooxygenase (COX) dan produk sintetase akhir lain.
Prostaglandin terlibat pada sensitisasi dan/atau eksitasi langsung nosiseptor dengan
melekat pada beberapa reseptor prostanoid yang diekspresikan oleh nosiseptor. Dua
bentuk COX terlibat pada sintesis prostaglandin,yaitu COX 1 yang diekspresikan oleh
kebanyakan jaringan, dan COX 2 yang diekspresikan hanya pada kondisi inflamasi. 4

Gambar 4. Mekanisme Kerja Obat NSAID

13
Masalah pada penggunaan inhibitor COX 1 dan COX 2 pada terapi nyeri
kanker yaitu bahwa COX 1 menjaga mukosa normal gaster dan dengan
menginhibisinya menyebabkan perdarahan dan ulkus.4 Inhibitor selektif COX 2
sebaliknya, tidak menyebabkan komplikasi GI. Namun, penelitian terkini mengatakan
bahwa efek protrombotik yang dimiliki inhibitor COX2 bisa meningkatkan resiko
MI, stroke, dan klaudikasio pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler. 4
Asetaminofen merupakan analgesik dan antipiretik poten namun tidak
memiliki sifat anti inflamasi yang signifikan. Tempat dan mekanisme kerjanya masih
belum jelas namun dianggap memiliki efek sentral. 4 Dosis kronik > 4.0 g/24 jam atau
dosis akut 6.0 g/24 jam tidak direkomendasikan sebab bersifat hepatotoksik. Penyakit
hepar atau pengguna alkohol berat meningkatkan resiko lebih lanjut. Berikut ini
adalah tabel dosis obat yang dapat digunakan pada pasien nyeri4
Tabel 2. Dosis Obat Analgesik Non-Opioid

14
2.3.3 Opioid
Opioid tetap menjadi terapi andalan dalam memanajemen nyeri kanker. Efek
analgesik opioid terutama dicapai melalui aktivasi G-protein coupled reseptor pada
neuron, yang membuka saluran kalium untuk hyperpolarisasi membran. Opioid
berbeda dalam hal afinitas untuk terikat pada reseptor, pharmocokinetics, dan sifat
fisikokimia. 4

Gambar 5. Mekanisme Kerja Opioid


2.3.4 Terapi Adjuvan
Terapi adjuvant terdiri dari tricyclic antidepressants (TCA's), antikonvulsan
dan systemic local anesthetics. Terapi adjuvant merupakan obat yang tidak digunakan
untuk mengatasi nyeri namun memiliki efek analgesik. Golongan trisiklik, seperti
amitriptilin, imipramin, maprotilin, desipramin sering digunakan. Mekanisme kerja
anti depresan trisiklik (TCA) terutama mampu memodulasi transmisi dari serotonin
dan norepinefrin (NE).3,4 Anti depresan trisiklik menghambat pengambilan kembali
serotonin (5-HT) dan noradrenalin oleh reseptor presineptik. Disamping itu, anti
depresan trisiklik juga menurunkan jumlah reseptor 5-HT (autoreseptor), sehingga
3,4
secara keseluruhan mampu meningkatkan konsentrasi 5-HT dicelah sinaptik.
Hambatan reuptake norepinefrin juga meningkatkan konsentrasi norepinefrin dicelah

15
sinaptik. Peningkatan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik menyebabkan
penurunan jumlah reseptor adrenalin beta yang akan mengurangi aktivitas
adenilsiklasi.3,4 Penurunan aktivitas adenilsiklasi ini akan mengurangi siklik
adenosum monofosfat dan mengurangi pembukaan Si-Na. Penurunan Si-Na yang
membuka berarti depolarisasi menurun dan nyeri berkurang. 4
Antikonvulsan digunakan sebagai terapi adjuvant pada nyeri karena memiliki
efek untuk mengurangi nyeri neuropati serta mengatasi nyeri yang tidk membaik
dengan antidepresan.5 Seperti diketahui nyeri neuropati timbul karena adanya aktifitas
abnormal dari sistem saraf dan antikonvulsan mempunyai kemampuan untuk
menekan kepekaan abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf sentral. Nyeri
neuropati dipicu oleh hipereksitabilitas sistem saraf sentral yang dapat menyebabkan
nyeri spontan dan paroksismal.5,8 Reseptor NMDA dalam influks Ca2+ sangat
berperan dalam proses kejadian wind-up pada nyeri neuropati. Prinsip pengobatan
adalah penghentian proses hiperaktivitas terutama dengan blok Si-Na atau
pencegahan sensitisasi sentral dan peningkatan inhibisi. 5,7
a. Karbamasepin dan Okskarbasepin
Mekanisme kerja utama adalah memblok voltage-sensitive sodium channels
(VSSC). Efek ini mampu mengurangi cetusan dengan frekuensi tinggi dari
neuron.5
b. Lamotrigin
Merupakan anti konvulsan baru untuk stabilisasi membran melalui VSCC,
merubah atau mengurangi pelepasan glutamat maupun aspartat dari neuron
presinaptik, meningkatkan konsentrasi GABA di otak. Khusus untuk nyeri
neuropati penderita HIV, digunakan lamotrigin sampai dosis 300 mg perhari.
Efek samping utama adalah skin rash, terutama bila dosis ditingkatkan dengan
cepat.5
c. Gabapentin
Gabapentin mempunyai kemampuan untuk masuk kedalam sel untuk
berinteraksi dengan reseptor 2 yang merupakan subunit dari Ca2+-channel. 6

16
Ikatan ini timbul untuk memodulasi fungsi dan jalur dari saluran kalsium yang
muncul di celah sinaptik neuron presinaptik. Masuknya kalsium melalui
saluran ini setelah potensial aksi yang diakibatkan nyeri diyakini memicu fusi
vesikel sinaptik dengan membran neuronal dan pelepasan neurotransmitter di
tanduk dorsal sumsum tulang belakang.6 Gabapentin dapat mengerahkan efek
analgesik dengan cara menghambat atau memodulasi proses ini.

2.4 Terapi Intervensional Pada Nyeri Kanker


Pada umumnya, 80%-90% nyeri kanker dapat tertangani dengan analgesik
konvensional dan ajuvan berdasarkan prinsip penanganan nyeri WHO analgesik 3-
step ladder.11 Terapi non-farmakologik nyeri kanker antara lain TENS, fisioterapi,
akupuntur, teknik psikologik seperti relaksasi juga turut berperan. Namun, 10%-20%
pasien kanker tetap merasakan nyeri dengan terapi diatas, sehingga dibutuhkan terapi
11
intervensional untuk nyerinya. Terapi intervensional dipertimbangkan sebagai
langkah ke-4 pada anak tangga analgesik WHO.
Respon pasien terhadap opioid sangat bervariasi sehingga dokter harus selalu
11,12
melihat keseimbangan antara efek analgesia dan efek sampingnya. Pasien nyeri
kanker yang terkontrol dengan opioid namun dengan efek samping yang berat,
sebaiknya mendapatkan terapi intervensional lebih dini. Terapi intervensi bervariasi
mulai dari blok saraf yang sederhana hingga teknik invasif seperti blok regional atau
11
neurolitik, atau bahkan prosedur bedah saraf. Pilihan dalam melakukan prosedur
intervensional bersifat individual, berbeda-beda untuk tiap kasus, berdasarkan resiko
dan manfaat untuk tiap-tiap pasien.12

17
Gambar 6. Weeorld Health Organisations Analgesic Ladder11
Beberapa teknik memberikan efek analgesia beberapa hari hingga beberapa
minggu. Blok neurolitik bisa sampai berberapa bulan dan alat implantasi bisa sampai
11
beberapa tahun. Teknik regional seperti opioid neuroaksial dan anestetik lokal
biasanya dipraktikkan lebih dulu sebelum metode intervensi yang lain.Prosedur
ablatif atau destruksi neuron, dengan rasio resiko-manfaat yang sempit, sebaiknya
ditunda selama penyembuhan nyeri masih bisa dilakukan dengan modalitas non-
ablatif. 11 Meski demikian, beberapa prosedur, seperti blok pleksus celiac pada pasien
kanker pankreas memberikan manfaat lebih besar jika dilakukan lebih dini dengan
neurolisis. Blok diagnostik dengan anestetik lokal harus digunakan untuk menilai
efektivitasnya sebelum prosedur sebenarnya dengan agen neurolitik. 11 Blok ini juga
berguna untuk mengevaluasi efek defisit neurologis akibat prosedur ablatif.
Komplikasi neurologis akibat neurolisis yang mungkin muncul yaitu hilangnya fungsi
motorik permanen, paresthesia, dan dysthesia. Pemilihan prosedur yang sesuai dapat
menurunkan penggunaan opioid sistemik dan meningkatkan kualitas hidup. 11

18
2.3.1 Blok Neuroaksial
Dengan adanya reseptor opioid pada medulla spinalis, pemberian obat-obat
melalui epidural dan intratekal untuk analgesia mulai digunakan. Opioid intratekal
memperlihatkan efek analgesianya dengan menurunkan pelepasan neurotransmitter
presinaptik dan menghambat transmisi nyeri dengan hiperpolarisasi membran neuron
7,11
postsinaptik pada kornu dorsalis. Pemberian obat neuroaksial kontinyu bisa
melalui kateter epidural atau intratekal. Obat dapat diberikan menggunakan external
syringe pump atau sistemly implanted intrathecal drug delivery (ITDD). The
European Association of Palliative Care merekomendasikan indikasi penggunaan
ITDD pada pasien kanker jika analgesik konvensional gagal memberikan efek
analgesi yang memuaskan meski dosis opioid kuat telah ditingkatkan, dan/atau pasien
mengalami efek samping yang berat. 7,11 Obat-obat diinfuskan dalam beberapa menit
dengan jumlah tertentu ke intratekal sehingga mencegah toksisitas sistemik dan efek
samping. Pada sebuah RCT, ITDD dapat meningkatkan kualitas hidup, menurunkan
skala nyeri dan meningkatkan angka kelangsungan hidup 6 bulan. 7,11

Gambar 7. Blok Neuroaksial


Terdapat beberapa penelitian yang memperlihatkan perbaikan kontrol nyeri
dengan sedikit komplikasi pada pemberian obat intratekal. Obat intratekal bisa

19
diberikan melalui kateter yang diimplantasi secara eksternal atau internal dari alat
pompa obat.11,13 Infus intratekal menggunakan dosis dan volume yang rendah
disbanding infuse epidural. Kebanyakan dokter menggunakan perbandingan dosis
11,13
morfin 10:1 antara epidural dan intratekal. Memasukkan benda asing ke dalam
tubuh meningkatkan resiko infeksi, khususnya dengan sistem pompa eksternal,
dimana terdapat hubungan antara kulit dan sistem saraf pusat. Secara keseluruhan
sistem ITDD memberikan resiko infeksi yang lebih rendah dan terdapat bukti bahwa
kateter intratekal lebih aman jika digunakan lbih dari 3 minggu dibandingkan dengan
epidural. 11,13,14
Obat-obat yang diberikan melalui intratekal :
1. Opioid. Morfin masih merupakan gold standard untuk pemberian intratekal
yang disetujui oleh FDA US dalam menangani nyeri kronik.
2. Anestetik Lokal. Lokal anestetik intratekal bekerja melalui efek blokade
saluran natrium dan menghambat potensi aksi jaringan saraf pada kornu
dorsalis, sehingga menghasilkan efek analgesik. Anestetik lokal juga bekerja
pada bagian intratekal dari akar saraf. Bupivakain intratekal juga dikombinasi
dengan morfin untuk menghasilkan kontrol nyeri yang lebih baik akibat nyeri
neuropatik. Terdapat bukti bahwa bupivakain bekerja sinergis dengan morfin,
menurunkan kebutuhan morfin intratekal.
3. Agonist adrenoreseptor alpha-2. Klonidin adalah agonist adrenoreseptor
alpha-2 yang telah lama digunakan untuk pemberian spinal, namun baru
disetujui oleh FDA US pada tahun 1996 untuk pemberian intratekal. Klonidin
intratekal diketahui bersifat anti nosiseptif non opioid yang bekerja sentral.
Klonidin terikat pada reseptor alpha-2 di membran presinaptik neuron aferen
primer medulla spinalis, menghasilkan hiperpolarisasi dan berkurangnya
pelepasan neurotransmitter yang terlibat dalam penyampaian sinyal nyeri.
Klonidin juga mengaktivasi neuron-neuron kolinergik spinalis, yang
memperkuat efek analgesiknya. Klonidin juga efektif pada terapi kanker,

20
kombinasinya dengan morfin dan/atau bupivakain memperlihatkan efek
sinergis dan memberikan terapi yang lebih adekuat pada nyeri kanker.
Tabel 3. Obat yang Dapat Digunakan Dalam Terapi Intratekal11,13

2.3.2 Neurolisis Intratekal


Neurolisis intratekal dilakukan dengan pemberian agen neurolitik pada ruang
subarachnoid. Tujuannya yaitu blokade segmental yang murni sensorik, tanpa
menyebabkan kelemahan motorik.2,11 Agen kimiawi yang umum digunakan umtuk
neurolisis antara lain alcohol konsentrasi 50% hingga 100% dan fenol 7% hingga
12%. Alkohol bersifat hipobarik sehingga pasien perlu diposisikan semi-prone. Ini
akan memungkinkan alkohol tetap tinggal didekat dorsal root ganglia dan
menghasilkan blokade sensorik ketika diinjeksikan pada ruang intratekal. 2,11 Karena
fenol bersifat hiperbarik, sehingga pasien diposisikan sebaliknya (wajah ke atas dan
2,11
daerah yang akan diinjeksi lebih rendah dengan sudut 45 derajat). Catatan
Gerbershagen yang meninjau 1908 pasien kanker yang menjalani neurolisis intratekal
menunjukkan bahwa 78% hingga 84% pasien dengan nyeri somatik berespon baik
terhadap terapi. Sebaliknya, kontrol nyeri yang baik pada nyeri viseral hanya berkisar
19% hingga 24%.2,11,14

21
Gambar 8. Lokasi Jarum Pada Neurolisis Intratekal11
2.3.5 Blok Simpatis
Terdapat beberapa tempat untuk blok simpatis yang bisa dilakukan untuk terapi
nyeri kanker dari organ viseral. Rantai simpatis pada level yang sesuai bisa diblok
untuk nyeri spesifik11,12. Neurolisis digunakan pada hampir semua blok simpatis
karena pemasangan kateter sangat sulit dan tidak praktis. Pleksus coeliac menjadi
11,12
target untuk nyeri yang berasal dari kanker abdomen atas. Blok pleksus
hipogastrik posterior dilakukan untuk nyeri kanker dari organ pelvik seperti ovarium,
kandung kemih, dan prostat. Blok ganglion impar efektik untuk nyeri kanker organ
vagina dan anal. 12

a. Blok Pleksus Coeliac


Blok pleksus coeliac diletakkan pada retroperitoneal abdomen atas.
Levelnya pada T12 dan L1 badan vertebra, anterior dari krura diafragma.
Pleksus coeliac mengelilingi aorta abdominal dan celiac dan arteri
mesenterika superior.11 Saraf otonom mensuplai hepar, pancreas, kandung
empedu, lambung, lien, ginjal, usus halus, dan kelenjar adrenal berasal dari
pleksus celiac. Efektivitas blok pleksus celiac pada terapi nyeri kanker
abdomen telah banyak dievaluasi. 11 Sebuah meta-analisis oelh Eisenberg dkk
menyimpulkan bahwa blok pleksus coeliac memberikan kesembuhan jangka
panjang 70% hingga 90% pasien kanker pancreas dan abdomen atas.

22
Komplikasi antara lain hipotensi postural, pneumothoraks, diare, hematoma
retroperitoneal, dan paraplegi akibat mielopati iskemik akut (mungkin akibat
11
terkenanya arteri Adamkievicz). Penyebaran cairan neurolitik ke posterior
kadang mempengaruhi saraf somatik bagian bawah thoraks dan lumbal,
sehingga bisa menyebabkan sindrom nyeri neuropatik. 10,11

Gambar 9. Blok Pleksus Coeliac


b. Blok Pleksus Hipogastrik Superior
Pleksus hipogastrik superior adalah struktur retroperitoneal yang
meluas secara bilateral dari 1/3 bawah corpus vertebra L5 hingga 1/3 atas S1.
Blok efektif untuk nyeri yang berasal dari kolon distal dan rektum yang
tercermin pada nyeri struktur pelvik.11,12

23
Gambar 10. Blok Pleksus Hipogastrik Superior
Beberapa penelitian memperlihatkan efektivitas blok neurolitik pada
pleksus hipogastrik superior untuk terapi nyeri pelvik akibat kanker dengan
melihat penggunaan opioid yang berkurang. 11,12
c. Blok Ganglion Impar
Ganglion impar, juga dikenal sebagai ganglion Walther, adalah
struktur retroperitoneal terpisah yang terletak pada level sacrococcygeal
junction dengan posisi bervariasi pada ruang precoccygeal. 11,12 Ganglion tak
berpasangan ini menandai ujung kedua rantai simpatis. Nyeri viseral pada
daerah perineal oleh proses malignansi efektif ditangani dengan neurolisis
ganglion impar. 11,12

Gambar 11. Blok Ganglion Impar


2.3.6 Blok Saraf Perifer
Peran blok saraf perifer sebagai modalitas utama penyembuhan nyeri mungkin
terbatas pada pasien kanker, mengingat nyeri kanker biasanya melibatkan banyak
tempat, khususnya pada kanker stadium lanjut. 11 Meski demikian, jika dikombinasi
dengan terapi lain kemoterapi atau radiasi, sangat membantu menurunkan nyeri. Agen
11
neurolitik seperti alkohol atau fenol digunakan untuk blok saraf perifer. Alkohol
bisa menyebabkan disaestesia yang sangat nyeri jika diinjeksi disekitar saraf

24
bermielin. Fenol kurang nyeri dibanding alkohol dan lebih terpilih untuk neurolisis
saraf perifer. Bentuk lain destruksi daraf yaitu ablasi radiofrekuensi dan cryoablation.
11,12
Tahun-tahun terakhir ini, ada teknik baru yaitu penggunaan infus anestetik lokal
untuk blok saraf perifer, dengan teknologi pompa infus dan kateter. 11,12 Penggunaan
nerve stimulation atau ultrasonografi untuk mengidentifikasi penempatan kateter
memudahkan blok saraf untuk memberikan analgesia yang lebih baik. Ahli nyeri
mendapat banyak tantangan dalam melakukan blok saraf perifer pada pasien kanker.
Adanya edema jaringan mempersulit identifikasi tonjolan tulang atau denyut perifer.
11,12
. Neuroanatomi bisa menyimpang akibat invasi tumor atau kompresi dan
kontraktur atau tertariknya jaringan akibat terapi radiasi. USG bisa digunakan untuk
membantu blok dan penempatan kateter. 11 Blok saraf perifer yang telah dilaporkan
antara lain blok saraf femoral, blok supraskapula, blok kompartemen psoas, blok
pleksus lumbal distal, blok paravertebral dan blok interpleural. 11,14
DAFTAR PUSTAKA

1. Toth JA. Concepts in Cancer Pain Management.US Pharm. 2009;34(11):3-12


2. International Association for the Study of Pain. Classification of Chronic Pain
Descriptions Of Chronic Pain Syndromes And Definitions Of Pain Terms.
Second Edition. Seattle: IASP Press. 1994. 10-12 p
3. World Health Organization. Cancer Pain Relief. Second Edition. Geneva: WHO
Library Catalouging.1996. 3-5 p
4. Judith AP, Betty F. The Management of Cancer Pain. CA Cancer J Clin
2011;61:157182
5. Mantyh PW, Clohisy DR, Koltzenburg M,et al. Molecular Mechanisms of
Cancer Pain. Nature. 2002;403(2):201-9
6. The British Pain Society. Cancer Pain Management. London: The British Pain
Society. 2013
7. Brian LS, Darryl TH, Donald AS, George LW. Mechanism of Cancer Pain.
Molecular Intervension. 2010;10(3):164-178

25
8. Mantyh PW, Clohisy DR, Koltzenburg M,et al. Molecular Mechanisms of
Cancer Pain. Nature. 2002;403(2):201-9
9. Holdcroft A, Power I. Management of Cancer Pain : Recent Developments. Br
Med J. 2003;326:635-9
10. Regan MJ, Peng P. Neurophysiology of Cancer Pain. Can Cont. 2000;7(2):111-
9.
11. Loomba V, Kaveeshvar H,Upadhyay A, Sibai N. Neuropathic pain in cancer
patients: A brief review. Indian Journal of Cancer. 2015: 2 (3): 425-428
12. Tay W, Ho KY. The Role of Interventional Therapies in Cancer Pain
Management. Ann Acad Med Singapore. 2009;38(11):989-97.
13. Vasic L, Vojinovic R. Treatment and Taxonomy of Cancer Pain-Is There A Need
for A New Approach? Medicus. 2008;8(4):138-43.
14. Mandybur G, Ryan B, Basham S. Intrathecal Pain Pump. Mayfield Clinic &
Spine Institute Publication. Available from www.mayfield.com; Maret 2017.

26

Anda mungkin juga menyukai