Anda di halaman 1dari 21

Epilepsi Post Trauma Kepala

Marina Yovita Tumewu


PENDAHULUAN
Trauma kepala atau cedera kepala merupakan salah satu kasus penyebab
kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah
kesehatan oleh karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan
produktif.1
Kasus cedera kepala terbanyak sekitar 80% akibat kecelakaan lalu lintas.
Dari data epidemiologis di Amerika Serikat, terdapat sekitar 17 sampai 25 orang
per 100.000 penduduk mengalami trauma kepala atau sekitar 1,5 juta orang per
tahun. Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tapi data dari RSCM dari tahun
ke tahun untuk penderita rawat inap, ada 60-70% dengan cedera kepala ringan
(CKR), 15-20 cedera kepala sedang (CKS) dan 10% cedera kepala berat (CKB).
Kebanyakan penderita berusia kurang dari 35 tahun.1,2
Cedera kepala menyebabkan berbagai gangguan pada otak baik secara
struktur

maupun

fungsi

otak.

Komplikasi

dari

cedera

kepala

sekuele,infeksi karena kebocoran CSS, sindrom pascakonkusi dan

berupa
epilepsi

pascatrauma.. Di USA dan Eropa, kumulatif insiden epilepsi pada cedera kepala
dimana terdapat 2,1% pada CKR, 4,2% pada CKS dan 16,7% pada CKB. Data
epidemiologi epilepsi di Indonesia yang diperoleh dari beberapa rumah sakit
pendidikan

menunjukkan

44,2%

dari

penyandang

epilepsi

simptomatik

disebabkan oleh trauma.3,4


Kejang dapat terjadi dengan cepat (< 24 jam kejadian) atau lambat (dalam
minggu-minggu pertama). Kejang yang terjadi dalam jangka cepat setelah tcedera
kepala adalah faktor resiko terjadinya post traumatik epilepsi. Epilepsi akibat
trauma kepala merupakan epilepsi simptomatik, dimana serangan dapat berbentuk
parsial/fokal atau serangan umum atau bentuk campuran. Resiko terjadinya
epilepsi pada trauma kepala bergantung pada jenis cedera kepala yaitu cedera
kepala tertutup atau terbuka (robeknya selaput otak), lokalisasi dan derajat
keparahan cedera kepala. Anak-anak lebih rentan terjadinya kejang daripada
dewasa.5,6

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
Kejang pada trauma menimbulkan keluaran yang kurang baik karena
mempengaruhi kualitas hidup dari penderitanya dan saat ini telah menjadi
perhatian publik karena konsekuensi ekonomi yang di timbulkannya.3Dengan
demikian perlu mendapat perhatian mengenai deteksi dan penatalaksanaan
khususnya dibidang Neurologi.
Berikut ini akan dilaporkan suatu kasus mengenai Epilepsi post trauma
kepala yang dirawat di RS Prof. R.D Kandou Manado.

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki umur 38 tahun, pendidikan tamat SLTA, narapidana ,
agama Kristen Protestan, alamat Wanea lingkungan I. Pasien dirujuk dari
poliklinik Rutan Malendeng ke RS Prof R.D Kandou pada tanggal 2 Juli 2015 jam
19.20 dengan keluhan utama kejang sejak 3 jam sebelum MRS.
Kejang dialami sejak 3 jam sebelum MRS. Kejang dialami saat penderita
tidur sore. Frekuensi kejang sebanyak 2 kali. Sebelum kejang penderita tidak
mengeluhkan apa-apa. Menurut saksi mata saat kejang kepala penderita menoleh
ke kanan, mata mendelik ke kanan, mulut keluar busa, lidah tidak tergigit, serta
kedua lengan dan tungkai tersentak sentak Saat kejang penderita tidak sadar.
Lamanya kejang sekitar 1 menit. Setelah kejang penderita terlihat mengantuk
namun masih bisa berbicara tapi tidak nyambung. Sekitar 30 menit kemudian
kejang berulang dengan pola sama. Saat tiba di IGD penderita masih sempat
kejang sekali. Serangan kejang seperti ini baru pertama kali dialami oleh
penderita.
Seminggu sebelumnya penderita mengalami batuk disertai panas sumersumer dan kadang-kadang penderita mengeluh nyeri kepala, seperti ditusuk-tusuk
yang bersifat hilang timbul.Penderita sempat minum obat paracetamol yang
diberikan dokter poliklinik..
Selain kejang, menurut keluarga penderita mengalami gangguan perilaku
sejak 3 tahun terakhir setelah kejadian kecelakaan sepeda motor yang dialami
penderita. Saat itu, penderita sempat tidak sadar akibat benturan di kepala dan
harus menjalani operasi karena pendarahan otak dan tulang kepala bagian depan
yang retak.Setelah operasi, penderita sadar dan beraktifitas baik, tetapi menurut
keluarga mulai mengalami gangguan perilaku. Penderita cenderung bersikap
kasar, berbicara kotor, mudah tersinggung sering bertengkar dengan istri dan
anak-anaknya. Penderita juga mulai minum minuman beralkohol, merokok, dan
memakai obat-obat terlarang sejak 1 tahun yang lalu.
Sebelum kecelakaan terjadi, penderita adalah pribadi yang baik, cenderung
pendiam, hubungan sosial dan pekerjaan baik. Akan tetapi menurut penderita,
tingkah lakunya saat ini masih dalam batas kewajaran hanya orang lain saja yang
3

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
tidak mengerti dirinya. Saat ini penderita masih bisa mengerjakan aktivitas seharihari seperti makan, mandi, dan BAB/BAK sendiri tanpa masalah.
Riwayat operasi karena trauma kepala (+) 3 tahun yang lalu. Riwayat
kejang demam sebelumnya tidak ada. Riwayat kelahiran dan tumbuh kembang
normal. Riwayat alergi tidak ada. Riwayat penyakit hipertensi, DM , jantung,
ginjal dan paru-paru disangkal. Riwayat keluarga hanya penderita yang sakit
seperti ini.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran somnolen, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 108 x/menit, respirasi
24x/menit, suhu badan 37,7OC, saturasi oksigen baik. Konjungtiva tidak anemis,
sklera tidak ikterik. Pada pemeriksaan leher, trakea letak di tengah dan tidak
berdeviasi, tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening, tidak terdengar
bruit karotis, JVP 5-2 cmH2O. Pada pemeriksaan dada dengan inspeksi ditemukan
bentuk dada yang normal, simetris, diameter lateral lebih dari AP, tidak terdapat
jejas atau deformitas, permukaan terangkat bersamaan saat inspirasi, tidak ada
rektraksi. Ronki, wheezing tidak ditemukan pada auskultasi paru. Pada
pemeriksaan jantung ditemukan bunyi jantung I dan II murni, tidak ditemukan
murmur, tidak ditemukan irama gallop. Pada pemeriksaan abdomen dengan
inspeksi tampak permukaan abdomen yang cekung, lemas pada perabaan, tidak
ditemukan nyeri tekan, tidak ada pekak berpindah dan bunyi usus normal.Pada
pemeriksaan ekstremitas tidak ditemukan edema, akral hangat, tidak terdapat
sianosis, clubbing fingers, atau edema, capillary refilling time kurang dari 2 detik.
Genitalia tidak diperiksa. Pada pemeriksaan status lokalis di regio frontal dekstra
tampak jejas dan bekas jahitan ukuran 3cm . Tato (+) pada ke empat ekstremitas
dan dada penderita.
Pada pemeriksaan neurologis, GCS E3M5V4=12. Pada pemeriksaan mata
didapatkan pupil bulat isokor dengan diameter kanan dan kiri 3 mm, reaktif
terhadap cahaya langsung dan cahaya tidak langsung. Pada pemeriksaan tanda
rangsang meningeal kaku kuduk tidak ada. Tanda laseque dan tanda kernig tidak
ada. Pada pemeriksaan funduskopi didapatkan FODS papil bulat, batas tegas,
aa:vv = 2:3, kesan normal. Pada pemeriksaan N.II sampai N.XII kranialis tidak
ditemukan kesan paresis. Pada pemeriksaan status motorik tidak ditemukan

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
adanya paresis. Tonus otot normal pada keempat anggota gerak. Refleks fisiologis
normal pada keempat ekstremitas. Tidak terdapat refleks patologis. Tidak
ditemukan klonus kaki dan klonus patela. Pada pemeriksaan status sensorik belum
dievaluasi.

Pada

pemeriksaan

status

otonom

tidak

didapatkan

adanya

inkontinensia.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil laboratorium tanggal 2 Juli
2015 didapatkan kadar hemoglobin 15,5 g/dL, leukosit 15.280/mm 3, eritrosit 5,25
x 106/mm3, hematokrit 45,7%, trombosit 255.000/mm3, gula darah sewaktu 153
mg/dL, kreatinin 1,5 mg/dL, ureum 29 mg/dL, GOT 20 /L, GPT 11 /L ,natrium
138 mEq/L, kalium 3,4 mEq/L, chlorida 143 mEq/L.
Saat itu dibuat diagnosis kerja status epileptikus e.c suspect ensefalitis.
Penatalaksanaan awal berupa kontrol jalan nafas, pemberian O 2 2 L/menit
lewat kanul hidung, elevasi kepala 30O, IVFD NaCl 0,9%/ 20gtt/ menit,Ceftriaxon
2x2gram iv/ 12 jam, diazepam 10 mg iv pelan untuk mengatasi kejang. Bila
masih tetap kejang diberikan fenitoin 1000 mg dalam NaCl 0,9% 100cc iv drips/
30 menit. Untuk rumatan diberikan Fenitoin 3x100 mg per oral, Asam folat 2x1
per oral, paracetamol 3x500mg per oral.Pasien direncanakan untuk pemasangan
NGT dan kateter, Brain Ct scan+ kontras,EKG,foto thorax, EEG,LP dan
pemeriksaan VCT. Pada pemeriksaan EKG dan foto thorax dalam batas normal.
Penderita diobservasi di IGD 1 hari dan dipindahkan ke bangsal pada hari ke-2.
Pada perawatan hari kedua, keadaan umum tampak sakit sedang, pasien
sudah tidak kejang, nyeri kepala membaik, pasien tampak gaduh gelisah, bicara
kacau. GCS E3M6V4=13, TD 100/60 mmHg, nadi 110 kali/menit, respirasi 24
kali/menit, suhu badan 37,1oC, saturasi oksigen 97%.Terapi tetap dilanjutkan,
hasil VCT non reaktif.
Perawatan hari ke tiga, keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
membaik, pasien sudah tidak pernah kejang lagi, sakit kepala sudah tidak
dikeluhkan, pasien mengeluh penciuman berkurang. GCS E4M6V5=15, TD
110/60 mmHg, nadi 80 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu badan 36,7 oC,
saturasi oksigen 98%. Pada pemeriksaan N.I didapatkan anosmia.Terapi tetap

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
dilanjutkan. Hasil lab Anti HCV dan HbsAg Elise non reaktif. Perawatan hari ke
tiga dan seterusnya pasien tidak mengalami perburukan klinis dan GCS tidak
pernah turun.
Hasil CT scan kepala dengan kontras tanggal 7 Juli 2015 didapatkan adanya
ekspertisi kesan suspec fokal edema bifrontal dd infark.

Gambar 1. Brain CT scan+ kontras


Hasil perekaman EEG tanggal 9 Juli 2015 didapatkan spike yang hampir
kontinu di frontopolar kanan, tampak gelombang lambat delta 1,5-2 Hz pada
temporal bilateral independen kanan lebih dari kiri dan frontal kiri. Temuan ini
mendukung epilepsi lobus frontal dan disfungsi kortikal frontal dan temporal.

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu

Gambar 2. EEG
Hasil konsul neurobehaviour tanggal 10 Juli 2015 didapatkan pemeriksaan
MMSE 29 dan Ina-MOCA 27 kedua pemeriksaan ini memberi kesan normal,
perseverasi normal, luria normal, kelainan pada tes stroop 3, kesimpulan adanya
gangguan emosi dan gangguan disinhibisi. Terapi gangguan neurobehaviour dan
KIE pasien dan keluarga. Pasien disarankan untuk kontrol kembali dipoli
Neurobehavior untuk evaluasi.
Pada perawatan hari ke empat belas pasien dirawat jalan dengan diagnosa
kejang post trauma. Terapi saat pulang Fenitoin 3x100mg l, asam folat 2x1l,
paracetamol 3x500mg jika nyeri kepala. KIE keluarga mengenai penyakit, pasien
disrankan untuk minum obat dan kontrol teratur dan direncanakan kontrol di Poli
Saraf.
Diagnosis
Klinis

: Penurunan kesadaran, status epileptikus, epilepsi sekunder yang


7

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
menjadi umum , anosmia, gangguan neurobehavior (disinhibisi
dan emosi)
Etiologis

: Trauma kepala

Topis

: Regio prefrontalis bilateral

Patologis

: Edema serebri dan gliosis cerebri

Prognosis

Prognosis ad vitam
Prognosis ad functionam
Prognosis ad sanationam

: bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad malam

DISKUSI
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab terjadinya epilepsi, yang
meliputi sekitar 5,5% dari kasus. Klasifikasi dari cedera kepala berdasarkan bukti
klinis dan derajat trauma menunjukan korelasi dengan resiko epilepsi. Pasien
cedera kepala berat dengan cedera kortikal ,sekuele neurologi dan duramater utuh
mempunyai insiden epilepsi 7-39%. Akan tetapi jika terjadi penetrasi duramater
dengan defisit neurologi maka insiden epilepsi meningkat 20-57%.Besarnya
faktor resiko memungkinkan kecenderungan terjadinya epilepsi post trauma (post
traumatic epilepsy =PTE) 7,8
Kejang simptomatik akut setelah cedera kepala dikenal sebagai kejang
post trauma ( post traumatic seizure =PTS), yang merupakan kejang yang terjadi
sebagai akibat trauma di otak. Berdasarakan waktu terjadinya immediate post
traumatic seizure, early post traumatic seizure dan late post traumatic seizure.
8

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
Kejang pada immediate PTS terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam setelah
trauma. Early PTS adalah kejang yang terjadi dalam waktu 7 hari setelah terjadi
trauma di otak, sedangkan late PTS adalah kejang yang terjadi setelah 7 hari
terjadinya trauma otak. Kejang yang terjadi 1 kali setelah 7 hari trauma otak
dianggap sebagai late PTS, namun apabila terjadi 2 kali kejang yang berselang
lebih dari 24 jam diantara kedua kejang maka dianggap sebagai epilepsi post
trauma. Definisi ini sesuai dengan definisi operasional/ praktis tentang epilepsi.
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi minimal
terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak waktu
antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam atau satu bangkitan tanpa
provokasi dengan kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun
kedepan sama dengan bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi dan yang terakhir
sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.4,7,8
Pada kasus ini penggunaan istilah epilepsi post trauma mengacu pada late
post traumatic seizure, yaitu bangkitan yang terjadi lebih dari 1 minggu. Dimana
pada pasien ini kejang pertama kali terjadi setelah 3 tahun paska cedera kepala
dengan riwayat operasi.
Patofisiologi yang berupa perubahan struktur dan fisiologis yang
menimbulkan kejang paska trauma belum begitu banyak dipahami, tapi faktor
yang menginisiasikannya dan menimbulkan perubahan tersebut sudah diketahui
antara lain perubahan struktural, listrik dan biokimia, hipersensitif post sinap,
menurunya mekanisme inhibisi, timbunan besi karena perdarahan, faktor genetik
dan lain-lain.9
Pemeriksaan secara histopatologi dari jaringan otak setelah terjadi trauma
memperlihatkan terjadinya suatu gliosis yang reaktif, axon retraction ball ,
degenerasi Wallerian dan formasi mikroglial dalam lesi dimassa putih. Mekanisme
dari patofisiologinya diketahui melalui 2 cara yaitu karena adanya timbunan besi
dan terjadi aktifasi dari kaskade asam arakidonat.7
Laserasi kortek serebri atau kontusio menyebabkan keluarnya sel darah merah
kemudian terjadi hemolisis dan timbunan sel darah merah. Besi dilepaskan dari

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
hemoglobin dan transferin. (Hal ini telah didukung dalam model binatang dengan
menyuntikan besi ke kortek dari hewan coba, lalu timbul kejang). Besi dan
komponen lainnya telah diketahui mempengaruhi peningkatan kalsium didalam
sel. Aktifasi kaskade asam arakidonat menimbulkan pembentukan DAG
(diacylglycerol)

dan

IP3

(inositoltidyl

phosphytate).

Peningkatan

IP3

menyebabkan pelepasan kalsium intrasel dan memodifikaski kanal kalsium yang


akhirnya akan meningkatkan konsentrasi kalsium dalam sel dan hal ini
menimbulkan kerusakan eksitotoksis dari sel neuron. Sel yang mati dan reaktif
gliosis dapat menimbulkan formasi jaringan parut glia, hal ini akan membentuk
episenter dari fokus yang hipereksitasi. Focus epileptogenik ini terbentuk kira-kira
8 minggu setelah terjadinya trauma kepala.7,9
Mekanisme PTS berdasarkan waktu terjadinya dibagi menjadi tiga, yaitu
immediate PTS , early PTS dan late PTS. Kejang yang terjadi dalam 24 jam
setelah cedera kepala (immediate PTS) merupakan kejang terprovokasi dan bukan
merupakan bangkitan epilepsi, demikian pula early PTS. Hal ini disebabkan
karena kejang yang terjadi sebagai akibat langsung abnormalitas neurologik dan
sistemik dari trauma fase akut. Pada fase akut trauma akan terjadi cedera primer
dimana terjadi pelepasan neurotransmiter terutama glutamat yang akan diikuti
dengan aktivasi kanal ion dan masuknya kalsium. Kondisi ini berakibat jejas
eksitotoksik yang ditandai dengan kerusakan mitokondria dan pengurangan
energi, pembengkakan neuron dan glia serta kematian sel. Pada kerusakan primer
juga terjadi kerusakan sawar darah otak dan vaskuler. Struktur kortikal otak
terutama hipokampus merupakan bagian yang rentan terhadap kerusakan akibat
cedera kepala, terutama cedera kepala sedang dan berat. Adanya kejang yang
terjadi diawal cedera kepala akan memperberat kerusakan yang terjadi.10
Cedera sekunder meliputi berbagai faktor fisiologik dan seluler yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan. Cedera otak akan memicu terjadinya
kaskade inflamasi, respon dari growth factor, edema, disfungsi mitokondria, stress
oksidatif sebagai akibat terbentunya radikal bebas dan ROS, kematian sel yang
lambat, gangguan homeostasis kalsium, hipoksia dan iskemia. Namun otak juga
berusaha

untuk

membangun

meknisme

self

repair

seiring

dengan

10

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
perkembangan kerusakan jarinag sekunder. Mekanisme ini ditandai dengan
remodeling sirkuit sinap, sprouting akson, plastisitas sinap, gliosis, neurogenesis
dan angiogenesis. Berbagai mekanisme tersebut berkontribusi terhadap pemulihan
fungsi, tapi disisi lain juga berkontribusi terhadap terbentuknya kejang spontan.10
Mekanisme epilepsi post trauma, dimana kejang terjadi saat reorganisasi
sirkuit sinap dalam waktu lebih dari 7 hari setelah cedera kepala, dianggap
epilepsi post trauma karena menggambarkan perubahan pada struktur dan fungsi
neuron secara permanen. Lebih dari 90% dari epilepsi post trauma terjadi dalam
10 tahun pertama setelah cedera kepala dan lebih banyak terjadi pada cedera
kepala berat dibandingkan cedera kepala ringan dan juga terkait apakah jejas
trauma langsung mengenai hipokampus dan neokorteks bagian dari otak yang
rentan terhadap jejas.7,10
Inflamasi dan kebocoran dari sawar darah otak merupakan gambaran khas
dari cedera kepala. Berbagai proses imun bawaan memainkan peran penting pada
eksibilitas dan kemampuan bertahan sel selama proses inflamasi dan berpotensi
menjad

jaringan

hipereksibilitas.

Sitokin

inflamasi

memodulasi

kadar

neurotransmitter, komunikasi antara neuron dan glia, respon reseptor GABA dan
aliran kalsium. Kemokin juga mempengaruhi eksitabilitas neuron melalui
modulasi kanal ion (natrium.kalium dan kalsium), aktivasi arus masuk konduktan
kalium, peningkatan pelepasan berbagai neurotransmitter termasuk glutamat,
GABA dan dopamin. Inflamasi juga berkontribusi terhadap kematian sel setelah
trauma. Disamping kematian sel melalui proses eksitotoksisitas, iskemia serta
gangguan homeostasis cairan dan metabolisme, sitokin inflamatori juga
meningkatkan komponen sinyal dari apoptosis. Berbagai efek inflamasi terhadap
berkurangnya sel dan hipereksibilitas sel mungkin ikut berperan pada
perkembangan jaringan hipereksibilitas dan epileptogenesis akibat cedera
kepala.10
Peningkatan permeabilitas sawar darah otak juga menurunkan nilai
ambang kejang atau mempunyai efek proepileptogenik Berbagai komponen sawar
darah otak seperti sel endotelial dan astrosit bekerja bersama-sama untuk menjaga
homeostasis aliran molekul dan sel antara vaskuler dan perenkim otak. Dimana

11

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
secara drastis terganggu oleh kerusakan primer dan sekunder karena cedera
kepala. Peningkatan permeabilitas sawar darah otak membuat sel-sel dan molekul
inflamatori dapat memasuki otak, sementara itu proses inflamatori yang terjadi di
otak akan meningkatkan permeabilitas sawar darah otak.10

Gambar 3. Kejang yang terjadi pada cedera kepala.


Sumber: Neural circuit mechanism of post traumatic epilepsy. Frontiers in cellular
neuroscience, June 2013 volume 7 article 89.

Pada kasus ini epilepsi post trauma karena proses cedera sekunder dan
repair mechanism dimana terjadi perubahan struktur dan fungsi neuron secara
permanen. Pada pasien ini epilepsi terjadi 3 tahun paska cedera kepala berat.
Eearly seizure merupakan faktor resiko terjadinya epilepsi post trauma
yang sering terjadi pada anak-anak, insidennya 7-9 % ditemukan pada usia 5
tahun, dengan riwayat cedera kepala ringan disertai gangguan kesadaraan. Resiko
early seizure juga meningkat pada pasien dengan kesadaraan menurun yang
memanjang, fraktur skull,hematom, kontusio hemoragik dan defisit fokal
neurologi. Pada late seizure, 18 % mengalami kejang pada bulan pertama dan 57
% pada tahun pertama. Annegers,dkk memperlihatkan peningkatan resiko selama
4 tahun setelah trauma. Salazar dkk, melaporkan resiko kejang 25 kali bahkan
sampai 10-15 tahun setelah trauma. Resiko late seizure meningkat pada orang
12

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
dewasa , riwayat kejang pada keluarga, 40% pasien dengan kehilangan volume
otak, adanya defisit fokal neurologi, hematom dan lokasi dari lesi.10
Studi epidemiologi secara umum memperlihatkan resiko yang lebih tinggi
pada early and late seizure dalam hubungannya dengan keparahan cedera kepala.
Karakteristik dari pada trauma dan adanya lesi yang berhubungan mewakili faktor
resiko untuk perkembangan selanjutnya pada early dan late seizure. Studi
restropsektif yang terbaru membandingkan subjek populasi tanpa cedera kepala
dan subjek dengan cedera kepala sedang dan berat dengan fraktur tengkorak
memperlihatkan, terutama yang terakhir resiko relatif sejumlah 10,9% untuk
berkembang menjadi epilepsi. Dimasa lalu Jennet, menunjukan adanya fraktur
depress tengkorak dihubungkan dengan resiko umum yang lebih tinggi untuk
early dan Late seizure.11
Penelitian menemukan faktor resiko early epileptic seizure pada SDH
akut, ICH akut , yang perlu pembedahan, amnesia yang terjadi lebih dari 30 menit
dan riwayat alkoholik kronik. Faktor resiko untuk late seizure adalah SDH akut
kontusio cerebri multipel, usai lebih dari 35 tahun, amnesia transient lebih dari 24
jam dan jenis kelamin pria. Beberapa penelitian telah mempertimbangkan adanya
earyl seizure sebagai faktor resiko late seizure pada orang dewasa. SDH akut
adalah lesi intrakranial yg mempunyai resiko paling tinggi untuk berkembang
menjadi early dan late seizure. Peran faktor genetik yang meregulasi respon dari
pada cedera otak belum jelas. Studi epidemiologi kebanyakan tidak menemukan
riwayat epilepsi dalam keluarga yang bisa mewakili faktor resiko yg signifikan
untuk early dan late seizure.10,11
Pada kasus ini resiko late saizure pada pasien dewasa dengan usia 35
tahun, dengan riwayat penurunan kesadaraan saat cedera kepala.Pada pemeriksaan
fisik status lokalis di regio frontal dekstra tampak jejas dan bekas jahitan ukuran
3 cm yang kemungkinan besar terjadi akibat fraktur depress akibat cedera kepala.
Pada gambaran Ct scan adanya gambaran hipodens bifrontal sebagai gambaran
absorbsi perdarahan saat cedera kepala 3 tahun yang lalu. Riwayat keluarga tidak
ada yang menderita epilepsi. Temuan ini menujang faktor resiko tinggi pada
epilepsi post trauma.

13

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
Pada pasien epilepsi post trauma sebagian besar kasus mempunyai fokal
epilepsi atau fokal epilepsi dengan bangkitan umum sekunder. Karakteristik klinis
dari kejang berasal dari lokasi lesi dan perkembangan yang cepat dari bangkitan
umum sekunder. Pasien dengan riwayat trauma pada anak (kurang dari 5 tahun)
memberikan manifestasi epilepsi lobus temporal, sebagian trauma pada regio
temporal pada usia muda dapat menstimulasi munculnya mesial temporal
sklerosis. Status epileptikus sering terjadi, Jennet, mengkalkulasi frekuensi 10%
pada pasien dengan kejang post trauma. Pada populasi anak tidak diragukan
mempunyai kemugkinan besar status epileptikus dibandingkan dewasa. Pada
epilepsi lobus frontalis , status epileptikus biasanya berhubungan dengan
bangkitan yang berasal dari lobus frontal dan jarang berkaitan dengan area otak
lainnya.11,12
Pemeriksaan neurofisiologi berupa EEG yang akan menggambarkan
aktivits fisik listrik otak sehingga dapat menujang diagnosis bangkitan epilepsi.
EEG pada pasien dengan cedera kepala menggunakan lokasi dari fokus lesi dan
mengukur

luas

kerusakan

tapi

tidak

dapat

menetapkan

kemungkinan

perkembangan epilepsi, sekitar 20% pasien dengan PTE mempunyai EEG negatif
pada 3 bulan pertama setelah cedera. Anomali mungkin ada berkisar dari
perlambatan dari aktivitas dasar dari gelombang lesi lambat di fokus yang
terlokalisasi. Pasien dengan immediate seizure,rangkaian gelombang paku pada
aktivitas fokal yang lambat akan lebih dikenali, umumnya pada regio temporal.
EEG akan sangat berguna untuk memprediksi kemungkinan kekambuhan dari
kejang sebelum terapi pencegahan. 11,13
Sebagai contoh, sebuah studi restrospektif dari EEG menemukan pasien
dengan cedera kepala tidak adanya nilai yang mampu
abnormalitas EEG

mempredisi suatu

fokal atau umum. Akan tetapi studi ini termasuk semua

abnormalitas dan tidak secara khusus menilai resiko pola epileptiform. EEG
berharga sebagai faktor prognosis pada orang-orang yang telah mengalami kejang.
Interictal pada epilepsi ditandai dengan epileptiform spike atau sharp wave. Fokal
EEG ditemukan sebulan setelah cedera kepala dengan resiko meningkat
meningkat setelah early seizure.14

14

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
Iktal semiologi adalah tanda dan gejala kejang epilepsi yang tergantung
dengan tipe kejang dan lokasi. Manifestasi klinis sangat bervariasi dan tergantung
area kortikal yang terlibat. Pasien dengan epilepsi lobus frontalis dicirikan oleh
bangkitan berulang yang bersumber dilobus frontalis, seringkali jenis bengkitan
bersifat parsial sederhana atau parsial kompleks, kadang-kadang dengan bangkitan
umum sekunder. Manifestasi klinis bersifat refleksi dari area spesifik tempat
cetusan bersumber, mulai dari gangguan perilaku sampai dengan gejala motorik
atau perubahan tonus/postur rubuh. Kejang sering disalah artikan sebagai kejadian
psikogenik nonepileptik. Secara klinis kejang lobus frontalis berbeda dengan
kejang nonepileptik dimana lebih stereotipik, tidak bertujuan dan durasinya lebih
singkat.12,15
Beberapa studi obsevasional yang melihat tipe kejang yang terjadi
sesudah cedera kepala sedang sampai berat tetapi tidak ada pola kejang yang pasti
ditemukan. Studi retrospektif pasien dewasa dengan epilepsi menetap dilaporkan
mengalami kejang fokal pada 78-91%, lobus temporal 15-56%, lobus frontal 2336%, lobus osipital 2-6% dan lobus parietal 5-38%. Sebuah studi melaporkan
semiologi parietal terlihat lebih sering pada pasien dengan trauma tembus
sementara pada pasien dengan trauma tumpul menunjukan fokal semiologi
temporal dan frontal yang lebih tinggi. 15
Pada kasus ini menunjukan tipe kejang epilepsi sekunder yang menjadi
umum. Pada pasien ini juga terjadi status epileptikus. Hasil EEG yaitu didapatkan
spike yang hampir kontinu di frontopolar kanan, tampak gelombang lambat delta
1,5-2 Hz pada temporal bilateral independen kanan lebih dari kiri dan frontal kiri.
Temuan ini mendukung epilepsi lobus frontal dan disfungsi kortikal frontal dan
temporal.
Trauma kepala masih merupakan penyebab tersering terjadinya sindrom
lobus frontalis selain vaskuler, tumor, demensia frontotemporal, atau pembedahan
akibat aneurisma. namun angka insidens yang pasti masih belum ada. Sindrom
lobus frontalis adalah suatu perubahan pola perilaku, emosi dan kepribadian yang
terjadi akibat kerusakan otak bagian depan. Sindrom ini ditandai dengan gejala
ketidakmampuan mengatur perilaku seperti impulsif, apati, disorganisasi, defisit

15

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
memori dan atensi, disfungsi eksekutif dan mengatur mood. Gejala yang
ditimbulkan sering menyerupai gejala psikiatrik. Manifestasi klinis yang timbul
amat beragam namun berinti pada ketidakmampuan untuk mengatur perilaku
sehingga

berpengaruh dalam mewujudkan kepribadian

dan

adaptasi sosial.

Gejala yang ditimbulkan sering menyerupai gejala psikiatrik. 16,17,18


Pada pasien ini ditemukan gangguan disinhibisi dan emosi yang terjadi
pasca cedera kepala, hal ini sesuai dengan lokasi trauma dilobus prefrontalis.
Tatalaksana epilepsi post trauma mencakup medikamentosa dengan
pemberian antikonvulsan. Dikatakan bahwa early Post Traumatic Seizure dapat
dicegah dengan fenitoin, levitiracetam dan carbamazepin adalah pilihan kedua
sedangkan fenobarbital dan asam valproat tidak dipertimbangkan untuk indikasi
profilaksis. Dari beberapa penelitian dikatakan pemberian obat anti kejang untuk
profilaksis tidak begitu

bermanfaat untuk pencegahan late Post Traumatic

Seizure pada pasien cedera kepala. Tapi jika late Post Traumatic Seizure telah
terjadi, maka obat anti kejang harus diberikan setelah timbulnya kejang
pertama.11,14
Pengobatan antikonvulsan jangka panjang direkomendasi pada pasien
setelah mengalamai late PTS yang pertama dan diberikan minimal 2 tahun bebas
bangkitan. Fenitoin, karbamazepin dan asam valproat adalah obat anti epilepsi
(OAE) pilihan yang efektif untuk penanganan pertama bangkitan umum sekuder.
Obat-obat ini juga merupakan obat pilihan untuk bangkitan parsial. OAE pada
mulanya diberikan tunggal dan dosisi rendah kemudian dinaikan dosisnya secara
perlahan sampai dosis terapi namun bila bangkitan terkontrol maka dosis
dipertahankan. Apabila bangkitan belum terkontrol walaupun sudah mencapai
dosis terapi maka obat yang kedua harus ditambahkan. Apabila dengan obat yang
kedua bangkitan terkontrol, maka obat yang pertama dapat diturunkan perlahan
sampai obat yang kedua dapat dijadikan obat tunggal.12,14,19
Fenitoin merupakan pilihan untuk bangkitan parsial maupun bangkitan
umum, kecuali mioklonus dan lena. Disamping itu juga efektif untuk status
epileptikus, sindrom Lennox-Gastaut dan sindrom epilepsi pada anak.
Penanganan status epileptikus dengan pemberian fenitoin setelah diazepam

16

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
2mg/kgBB intravena dengan kecepatan 5mg/menit sampai maksimum 20mg.
Setelah itu fenitoin diberikan secara intravena dengan dosis 15 18 mg/kgBB
pelan-pelan dengan kecepatan maksimal 50 mg/menit. Dosis rumatan fenitoin
200-400mg/hari. Fenitoin efek sampingnya berupa gangguan kognitif dan fungsi
psikomotor terlebih pada pasien setelah cedera kepala berat. Pada beberapa
penelitian pasien dengan PTE tanpa pemberian antikonvulsan juga beresiko
mengalami gangguan neurobehavior.7,14,19
Pada kasus ini pilihan obat untuk penaganan kejang adalah fenitoin, yang
awalnya diberikan secara intravena untuk mengatasi status epileptikus setelah itu
dilanjutkan pemberian secara oral. Dengan pemberian fenitoin 3x100mg secara
oral, kejang pada penderita bisa teratasi dan sampai saat terakhir kontrol pendrita
sudah tidak pernah kejang lagi.
Early post traumatic seizure merupakan faktor resiko terhadap epilepsi post
trauma, oleh karena itu diperlukan upaya untuk pencegahan terjadinya early PTS.
Guideline yang dikeluarkan oleh Brain Trauma Foundation bersama American
Academy of Neurology merekomendasikan pemberian fenitoin dalam 7 hari
setelah cedera kepala berat untuk profilaksis terjadinya PTS. Levitiracetam efektif
dan aman digunakan sebagai alternatiuf selain fenitoin untuk profilaksis early
PTS 4,20
Angka remisi epilepsi post trauma berkisar 25-40% setelah pengobatan
awal.Angka kejadian bangkitan dalam tahun pertama dapat memprediksi
perjalanan penyakit, dimana pasien yang sering mengalami bengkitan pada tahun
pertama memiliki angka remisi yang rendah. Resiko menurun seiring waktu dan
menjadi normal kembali dalam 5 tahun paska cedera kepala. Epilepsi post trauma
kadang sulit dikendalikan. Sebanyak 13% pasien resisten dengan pengobatan
walaupun sudah diterapi secara agresif.21
Terapi non medikamentosa mencakup stimulasi nervus vagus, behavior
treatment, diet ketogenik dan pembedahan. Terapi pembedahan pada epilepsi
refrakter yang dipertimbangkan pada sindrom epilepsi fokal dan simptomatik.
Selain itu pendekatan keluarga sangat diperlukan pada pasien epilepsi.12,19

17

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
Prognosis untuk epilepsi karena trauma lebih buruk dari yang untuk epilepsi
karena penyebab yang tidak ditentukan. Pasien dengan epilepsi post trauma
diperkirakan memiliki harapan hidup lebih pendek daripada orang dengan cedera
kepala yang tidak mendapat kejang. Dibandingan dengan mereka yang mengalami
cedera struktural tanpa kejang, pasien dengan epilepsi post trauama memerlukan
waktu yang lebih lama untuk pemulihan dari cedera dan memiliki banyak masalah
kognitif dan motorik. Sebagian besar penderita epilepsi post trauma memiliki
serangan pertama dalam 2 tahun setelah cedera kepala, angkanya dapat mencapai
89-90%. Pasien yang tidak mengalami kejang dalam waktu 3 tahun setelah cedera
hanya memiliki peluang 5% berkembang menjadi epilepsi.Semakin lama
seseorang tidak mengalami bangkitan, semakin rendah peluang epilepsi terjadi.22

DAFTAR PUSTAKA
1. Perdossi. Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma
spinal. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Bagian Neurologi
FKUI/RSCM. Jakarta. 2006;1-9.
2. Soerdewi L. Evaluasi masalah pada cedera kranioserebral. Dalam:
Neurona Vol.21,No.2 Januari 2004:26-34.
3. Pitkanen A, Bolkvadze T, Immonen R. Anti-epileptogenesis in rodent posttraumatic epilepsy models. Nueroscience Letters. 497. Findland 2011:
163-171.
4. Mirawati DK. Acut symptomatic seizure after traumatic brain injury.
Dalam:Neurology update PIN ,Solo 2014:186-193.
5. Marcin A, Hamdan M. Buku ajar ilmu penyakit saraf.Edisi
pertama.Surabaya:Pusat penerbit dan percetakan Unair.Surabaya
2011:109-118.

18

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
6. Marpaung E, Hadinoto s. Epilepsi sekunder pasca cedera kepala.Jurnal
keokteran neuro-sain bidang epilepsi. Volume 4 no.2.PERPEI, Jakarta
1999:41-43.
7. Temkin NR JD, Haglund M, Winn RH. Post traumatic seizure. In: Narayan
RK, Wilberger JE, Povlishock JT. Neurotrauma. McGraw-Hill companies.
USA. 1996; 611-617.
8. Willmore LJ. Prophylactic treatment. In: Engel J, Pedly T. Epilepsy a
comprehensive textbook. Lippincott william and Wilking. Second Edition
vol 2.Philadephia 2004: 1371-1374.
9. Young B. Post traumatic Epilepsy. In: Barrow D (ed). Complications and
sequelle of head injury. Illionis: American Association of Neurological
Surgeons, 1992;127-29.
10. Hunt RF, Boychuk JA, Smith BN. Neural circuit mechanism of posttraumatic epilepsy. Frontiers in cellular neuroscience Vol.7 article 89..
USA 2013: 1-14.
11. Cesnik E, Casetta I, Granieri E. Post traumatic epilepsy.Journal Neurologi
and neurophysiology. Department of medical and surgical sciences of
communication and behavior, University of Ferrara. Italy 2013: 1-5.
12. Harsono. Epilepsi. Gadjah Mada University Press. Edisi kedua.Yogyakarta
2007:48-64.177-192.
13. Penggabean.R. Pengenalan

epilepsi

dan

bangkitannya.

Dalam:

Pemeriksaan fisik dasar neurologi berbasis ilustrasu kasus. Bagian/UPF


Ilmu Penyakit Saraf FK UNPAD RS Hasan Sadikin. Bandung 2013: 99105.
14. Hernandes DT, Levisohn MP, Naritoku DK. Posttraumatic epilepsy and
neurorehabilitation. In: Traumatic brain injury rehabilitation treatment and
case management. Second Edition.CRC Press. 2004:27-47.
15. Lamar CD, Robin MD. Rowland JA, Taber KH, Post traumatik
epilepsy:review of risk, pathofisiology and potential biomarkers.. Journal
Neuropsychiatry Clinic Neuroscience 26.2.Spring 2014:108-113.
16. Brown R, Ropper AH. Adams & Victors principles of neurology. 8 th ed.
Craniocerebral trauma. New York: McGraw-Hill, 2005. p.747 70.
17. Pincus J, Tucker D. Behavioral Neurology. 4 th ed. Behaviors associated
with the frontal lobes. New York: Oxford University Press, 2003:258-63.
18. Cummings JL, Miller BL. The human frontal lobes. In: Nakawatase ,
editor. Frontal lobe tumors. New York: The Guilford Press, 1999: 436-45.

19

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu
19. Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiwati E. Pedoman tatalaksana
epilepsi. Kelompok Studi Epilepsi PERDOSI. Airlangga Univesity Press
Edisi 5. Surabaya 2014:35-45.69.
20. Szaflarski J, Nazzal y, Dreer L. Post traumatic epilepsy:current and
emerging treatment option. In:Neuropsychiatric disease and treatment.
USA 2014:1469-1477.
21. Adam RD, Victor M,Ropper AH. Sequele of head injury. In:Principle of
Neurology.Edisi 8.McGraww-Hill.2005:3-73.
22. Swash.M. Ourcomes in Neurological and Neurosurgical Disorders.
Cambridge University Press. Cambridge 2008:172-173.

20

Epilepsi Post Trauma Kepala


Marina Yovita Tumewu

21

Anda mungkin juga menyukai