maupun
fungsi
otak.
Komplikasi
dari
cedera
kepala
berupa
epilepsi
pascatrauma.. Di USA dan Eropa, kumulatif insiden epilepsi pada cedera kepala
dimana terdapat 2,1% pada CKR, 4,2% pada CKS dan 16,7% pada CKB. Data
epidemiologi epilepsi di Indonesia yang diperoleh dari beberapa rumah sakit
pendidikan
menunjukkan
44,2%
dari
penyandang
epilepsi
simptomatik
Pada
pemeriksaan
status
otonom
tidak
didapatkan
adanya
inkontinensia.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil laboratorium tanggal 2 Juli
2015 didapatkan kadar hemoglobin 15,5 g/dL, leukosit 15.280/mm 3, eritrosit 5,25
x 106/mm3, hematokrit 45,7%, trombosit 255.000/mm3, gula darah sewaktu 153
mg/dL, kreatinin 1,5 mg/dL, ureum 29 mg/dL, GOT 20 /L, GPT 11 /L ,natrium
138 mEq/L, kalium 3,4 mEq/L, chlorida 143 mEq/L.
Saat itu dibuat diagnosis kerja status epileptikus e.c suspect ensefalitis.
Penatalaksanaan awal berupa kontrol jalan nafas, pemberian O 2 2 L/menit
lewat kanul hidung, elevasi kepala 30O, IVFD NaCl 0,9%/ 20gtt/ menit,Ceftriaxon
2x2gram iv/ 12 jam, diazepam 10 mg iv pelan untuk mengatasi kejang. Bila
masih tetap kejang diberikan fenitoin 1000 mg dalam NaCl 0,9% 100cc iv drips/
30 menit. Untuk rumatan diberikan Fenitoin 3x100 mg per oral, Asam folat 2x1
per oral, paracetamol 3x500mg per oral.Pasien direncanakan untuk pemasangan
NGT dan kateter, Brain Ct scan+ kontras,EKG,foto thorax, EEG,LP dan
pemeriksaan VCT. Pada pemeriksaan EKG dan foto thorax dalam batas normal.
Penderita diobservasi di IGD 1 hari dan dipindahkan ke bangsal pada hari ke-2.
Pada perawatan hari kedua, keadaan umum tampak sakit sedang, pasien
sudah tidak kejang, nyeri kepala membaik, pasien tampak gaduh gelisah, bicara
kacau. GCS E3M6V4=13, TD 100/60 mmHg, nadi 110 kali/menit, respirasi 24
kali/menit, suhu badan 37,1oC, saturasi oksigen 97%.Terapi tetap dilanjutkan,
hasil VCT non reaktif.
Perawatan hari ke tiga, keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
membaik, pasien sudah tidak pernah kejang lagi, sakit kepala sudah tidak
dikeluhkan, pasien mengeluh penciuman berkurang. GCS E4M6V5=15, TD
110/60 mmHg, nadi 80 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu badan 36,7 oC,
saturasi oksigen 98%. Pada pemeriksaan N.I didapatkan anosmia.Terapi tetap
Gambar 2. EEG
Hasil konsul neurobehaviour tanggal 10 Juli 2015 didapatkan pemeriksaan
MMSE 29 dan Ina-MOCA 27 kedua pemeriksaan ini memberi kesan normal,
perseverasi normal, luria normal, kelainan pada tes stroop 3, kesimpulan adanya
gangguan emosi dan gangguan disinhibisi. Terapi gangguan neurobehaviour dan
KIE pasien dan keluarga. Pasien disarankan untuk kontrol kembali dipoli
Neurobehavior untuk evaluasi.
Pada perawatan hari ke empat belas pasien dirawat jalan dengan diagnosa
kejang post trauma. Terapi saat pulang Fenitoin 3x100mg l, asam folat 2x1l,
paracetamol 3x500mg jika nyeri kepala. KIE keluarga mengenai penyakit, pasien
disrankan untuk minum obat dan kontrol teratur dan direncanakan kontrol di Poli
Saraf.
Diagnosis
Klinis
: Trauma kepala
Topis
Patologis
Prognosis
Prognosis ad vitam
Prognosis ad functionam
Prognosis ad sanationam
: bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad malam
DISKUSI
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab terjadinya epilepsi, yang
meliputi sekitar 5,5% dari kasus. Klasifikasi dari cedera kepala berdasarkan bukti
klinis dan derajat trauma menunjukan korelasi dengan resiko epilepsi. Pasien
cedera kepala berat dengan cedera kortikal ,sekuele neurologi dan duramater utuh
mempunyai insiden epilepsi 7-39%. Akan tetapi jika terjadi penetrasi duramater
dengan defisit neurologi maka insiden epilepsi meningkat 20-57%.Besarnya
faktor resiko memungkinkan kecenderungan terjadinya epilepsi post trauma (post
traumatic epilepsy =PTE) 7,8
Kejang simptomatik akut setelah cedera kepala dikenal sebagai kejang
post trauma ( post traumatic seizure =PTS), yang merupakan kejang yang terjadi
sebagai akibat trauma di otak. Berdasarakan waktu terjadinya immediate post
traumatic seizure, early post traumatic seizure dan late post traumatic seizure.
8
dan
IP3
(inositoltidyl
phosphytate).
Peningkatan
IP3
untuk
membangun
meknisme
self
repair
seiring
dengan
10
jaringan
hipereksibilitas.
Sitokin
inflamasi
memodulasi
kadar
neurotransmitter, komunikasi antara neuron dan glia, respon reseptor GABA dan
aliran kalsium. Kemokin juga mempengaruhi eksitabilitas neuron melalui
modulasi kanal ion (natrium.kalium dan kalsium), aktivasi arus masuk konduktan
kalium, peningkatan pelepasan berbagai neurotransmitter termasuk glutamat,
GABA dan dopamin. Inflamasi juga berkontribusi terhadap kematian sel setelah
trauma. Disamping kematian sel melalui proses eksitotoksisitas, iskemia serta
gangguan homeostasis cairan dan metabolisme, sitokin inflamatori juga
meningkatkan komponen sinyal dari apoptosis. Berbagai efek inflamasi terhadap
berkurangnya sel dan hipereksibilitas sel mungkin ikut berperan pada
perkembangan jaringan hipereksibilitas dan epileptogenesis akibat cedera
kepala.10
Peningkatan permeabilitas sawar darah otak juga menurunkan nilai
ambang kejang atau mempunyai efek proepileptogenik Berbagai komponen sawar
darah otak seperti sel endotelial dan astrosit bekerja bersama-sama untuk menjaga
homeostasis aliran molekul dan sel antara vaskuler dan perenkim otak. Dimana
11
Pada kasus ini epilepsi post trauma karena proses cedera sekunder dan
repair mechanism dimana terjadi perubahan struktur dan fungsi neuron secara
permanen. Pada pasien ini epilepsi terjadi 3 tahun paska cedera kepala berat.
Eearly seizure merupakan faktor resiko terjadinya epilepsi post trauma
yang sering terjadi pada anak-anak, insidennya 7-9 % ditemukan pada usia 5
tahun, dengan riwayat cedera kepala ringan disertai gangguan kesadaraan. Resiko
early seizure juga meningkat pada pasien dengan kesadaraan menurun yang
memanjang, fraktur skull,hematom, kontusio hemoragik dan defisit fokal
neurologi. Pada late seizure, 18 % mengalami kejang pada bulan pertama dan 57
% pada tahun pertama. Annegers,dkk memperlihatkan peningkatan resiko selama
4 tahun setelah trauma. Salazar dkk, melaporkan resiko kejang 25 kali bahkan
sampai 10-15 tahun setelah trauma. Resiko late seizure meningkat pada orang
12
13
luas
kerusakan
tapi
tidak
dapat
menetapkan
kemungkinan
perkembangan epilepsi, sekitar 20% pasien dengan PTE mempunyai EEG negatif
pada 3 bulan pertama setelah cedera. Anomali mungkin ada berkisar dari
perlambatan dari aktivitas dasar dari gelombang lesi lambat di fokus yang
terlokalisasi. Pasien dengan immediate seizure,rangkaian gelombang paku pada
aktivitas fokal yang lambat akan lebih dikenali, umumnya pada regio temporal.
EEG akan sangat berguna untuk memprediksi kemungkinan kekambuhan dari
kejang sebelum terapi pencegahan. 11,13
Sebagai contoh, sebuah studi restrospektif dari EEG menemukan pasien
dengan cedera kepala tidak adanya nilai yang mampu
abnormalitas EEG
mempredisi suatu
abnormalitas dan tidak secara khusus menilai resiko pola epileptiform. EEG
berharga sebagai faktor prognosis pada orang-orang yang telah mengalami kejang.
Interictal pada epilepsi ditandai dengan epileptiform spike atau sharp wave. Fokal
EEG ditemukan sebulan setelah cedera kepala dengan resiko meningkat
meningkat setelah early seizure.14
14
15
dan
adaptasi sosial.
Seizure pada pasien cedera kepala. Tapi jika late Post Traumatic Seizure telah
terjadi, maka obat anti kejang harus diberikan setelah timbulnya kejang
pertama.11,14
Pengobatan antikonvulsan jangka panjang direkomendasi pada pasien
setelah mengalamai late PTS yang pertama dan diberikan minimal 2 tahun bebas
bangkitan. Fenitoin, karbamazepin dan asam valproat adalah obat anti epilepsi
(OAE) pilihan yang efektif untuk penanganan pertama bangkitan umum sekuder.
Obat-obat ini juga merupakan obat pilihan untuk bangkitan parsial. OAE pada
mulanya diberikan tunggal dan dosisi rendah kemudian dinaikan dosisnya secara
perlahan sampai dosis terapi namun bila bangkitan terkontrol maka dosis
dipertahankan. Apabila bangkitan belum terkontrol walaupun sudah mencapai
dosis terapi maka obat yang kedua harus ditambahkan. Apabila dengan obat yang
kedua bangkitan terkontrol, maka obat yang pertama dapat diturunkan perlahan
sampai obat yang kedua dapat dijadikan obat tunggal.12,14,19
Fenitoin merupakan pilihan untuk bangkitan parsial maupun bangkitan
umum, kecuali mioklonus dan lena. Disamping itu juga efektif untuk status
epileptikus, sindrom Lennox-Gastaut dan sindrom epilepsi pada anak.
Penanganan status epileptikus dengan pemberian fenitoin setelah diazepam
16
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Perdossi. Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma
spinal. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Bagian Neurologi
FKUI/RSCM. Jakarta. 2006;1-9.
2. Soerdewi L. Evaluasi masalah pada cedera kranioserebral. Dalam:
Neurona Vol.21,No.2 Januari 2004:26-34.
3. Pitkanen A, Bolkvadze T, Immonen R. Anti-epileptogenesis in rodent posttraumatic epilepsy models. Nueroscience Letters. 497. Findland 2011:
163-171.
4. Mirawati DK. Acut symptomatic seizure after traumatic brain injury.
Dalam:Neurology update PIN ,Solo 2014:186-193.
5. Marcin A, Hamdan M. Buku ajar ilmu penyakit saraf.Edisi
pertama.Surabaya:Pusat penerbit dan percetakan Unair.Surabaya
2011:109-118.
18
epilepsi
dan
bangkitannya.
Dalam:
19
20
21