Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Spinal cord injury atau cedera medula spinalis merupakan kondisi medis yang komplek
dan mengancam jiwa, serta berkaitan dengan angka kematian yang sangat tinggi. Cedera ini
juga sering berakhir dengan gangguan fungsional jangka panjang pada individu1. (WHO)
Brown Sequrd syndrome atau hemiseksi medulla spinalis merupakan salah satu cedera medulla
spinalis inkomplit yang jarang dijumpai, yang insidensi sebenarnya tidak diketahui. emedicine
Cedera medulla spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera yang
mengenai medulla spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi utamanya (motorik,
sensorik, otonom, dan reflek) secara lengkap atau sebagian. 2 (refrat1) Cedera medula spinalis
merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis akibat trauma. Pusat data nasional
cedera medulla spinalis (National Spinal Cord Injury Statistical Center/NSCISC 2004)
memperkirakan setiap tahun di Amerika serikat ada 11.000 kasus cedera spinalis dimana 2-4
% merupakan brown sequard syndrome. Cedera medulla spinalis umumnya terjadi pada remaja
dan dewasa muda (16-30 tahun), dan biasanya lebih banyak terjadi pada laki laki dibandingkan
wanita. Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50,4%), jatuh (23,8%), dan cedera
yang berhubungan dengan olahraga (9%), sisanya akibat kekerasan terutama luka tembak dan
kecelakaan kerja.(234refrat)
Dahulu, penatalaksanaan cedera medula spinalis akut hanya terapi konservatif.
Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS1,2, dan 3), penemuan terapi
farmakologi dengan metilprednison menurunkan defisit neurologis. Baru baru ini operasi
dekompresi, stabilisasi dan fiksasi tulang belakang secara potensial mampu memperbaiki
kerusakan akibat cedera medula spinalis. Hal tersebut menunjukkan kelak pendekatan secara
farmakologi dan operasi akan mampu menurunkan kerusakan akibat cedera tersebut. 3refrat
BAB II
DAFTAR PUSTAKA

A. Cedera Medulla Spinalis (Spinal Cord Injury)

1. Definisi
Cedera medula spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera yang
mengenai medula spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi utamanya (motorik,
sensorik, otonom dan reflek) secara lengkap atau sebagian.2 refrat
2. Epidemiologi
Menurut NSCISC, di USA terjadi 11.000 kasus cedera medulla spinalis tiap tahun
dimana 2-4% merupakan kasus cedera inkomplet brown sequard syndrome.2ref Angka
insiden paralisis komplit akibat kecelakaan diperkirakan 20 tiap 100.000 penduduk, dengan
angka tetraplegia 200.000 pertahunnya. Menurut WHO, pada tahun 2010 kasus cedera
medulla spinalis akibat trauma (TSCI) di Kanada sebesar 1298 kasus tiap 1 juta penduduk,
di Australia 681 kasus tiap 1 juta penduduk. Estimasi global kasus cedera spinal mencapai
40 – 80 kasus tiap 1 juta penduduk per tahun, artinya terdapat 250.000 hingga 500.000
kasus cedera spinal. Kasus cedera medulla spinalis sendiri lebih banyak terjadi pada laki
laki daripada perempuan, terutama mengenai usia remaja dan dewasa (usia 16-30 tahun)
tetapi rata rata usia meningkat seiring decade. Sejak tahun 2010 usia rata-rata saat terjadi
cedera 42,6 tahun dengan penyebab trauma. Rata rata umur penderita brown sequard
syndrome adalah 40 tahun. 90 % kasus cedera medulla spinalis akibat dari trauma.1who
Menurut database yang ada sejak tahun 2010 , 67% kasus cedera medulla spinalis terjadi
pada populasi kulit putih, 24,4% pada African-American, 7,9% pada Hispanic, dan 0,7%
pada ras lain.
Grafik 1. Global Variation in country level
estimates of annual incidence of TSCI

Grafik 2. Distribution of TSCI by sex and age


group

3. Etiologi
Penyebab cedera medulla spinalis dapat dikelompokkan menjadi 2, traumatik dan
nontraumatik. Penyebab traumatik tersering adalah karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh,
dan kekerasan baik karena kekerasan tumpul atau tajam. Sedangkan penyebab
nontraumatik diantaranya tumor neoplatik, penyakit degeneratif yang diikuti oleh
gangguan vaskuler serta gangguan imun. Di beberapa Negara juga dilaporkan infeksi
tuberculosis menjadi penyebab tersering cedera medulla spinalis non traumatic selain
tumor.1who
Holdsworth membuat klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan mekanisme
traumanya sebagai berikut :
a. Cedera Fleksi, menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan
selanjutnya dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra dan
mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini dikategorikan
sebagai cedera stabil.
b. Cedera fleksi-rotasi, menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang juga
prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur
rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra. Cedera ini
merupakan cedera yang paling tidak stabil.
c. Cedera Ekstensi, biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan
menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daaerah leher. Selama kolum
vertebra dalam keadaan fleksi cedera ini masih tergolong stabil.
d. Cedera kompresi vertical, mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dan
dapat menimbulkan burst fracture
e. Cedera robekan langsung (direct shearing), biasanya terjadi di daerah torakal dan
disebabkan pukulan langsung pada punggung sehingga salah satu vertebra bergeser,
fraktur prosesus artikularis serta rupture ligament.

Kerusakan pada sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan
melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan. Cedera
medulla spinalis primer merupakan akibat dari gangguan mekanis elemen neural. Trauma
ini biasa terjadi pada fraktur dan atau dislokasi tulang belakang, atau tanpa keduanya.
Fraktur tulang belakang terbanyak mengenai daerah cervical dan lumbal. Di daerah torakal
tidak banyak terjadi karena terlindung struktur toraks. Fraktur dapat berupa patah tulang
sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi. Cedera medulla spinalis primer juga dapat
terjadi akibat trauma penetrasi seperti trauma tembak. Cedera medulla spinalis sekunder
dapat terjadi akibat gangguan arteri, thrombosis arteri atau hipoperfusi, hipoksemia dan
iskemia, edema, hematom epidural spinal atau abses yang menyebabkan kompresi
sumsung tulang belakang akut. SCRIB

Grafik 3. Etiologi SCI by WHO region

4. Anatomi
Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat (SSP). Terbentang dari
foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar yang disebut
conus terminalis atau conus medullaris (Gambar 1). Terbentang dibawah conus terminalis
serabut serabut bukan saraf yang disebut filum terminale yang merupakan jaringan ikat.
Terdapat 31 pasang saraf spinal: 8 pasang saraf servikal, 12 pasang saraf torakal, 5
pasang saraf lumbal, 5 pasang saraf sakral dan 1 pasang saraf koksigeal. 3 Akar saraf
lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan kauda equina. Setiap pasangan saraf
keluar melalui intervertebral foramina. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan
ligamen dan juga oleh meningen spinal dan CSF.
Gambar 1. Anatomi
skematik Medula Spinalis

Struktur internal medula spinalis terdiri dari substansi abu abu dan substansi putih
(Gambar2). Substansi Abuabu membentuk seperti kupu kupu dikelilingi bagian luarnya
oleh substansi putih. Terbagi menjadi bagian kiri dan kanan oleh anterior median fissure
san median septum yang disebut dengan posterior median septum.
Keluar dari medula spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari saraf spinal.
Substansi abu abu mengandung badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak
bermyelin, saraf sensoris dan motoris dan akson terminal dari neuron. Substansi abu abu
membentuk seperti huruf H dan terdiri dari tiga bagian yaitu: anterior, posterior dan
komisura abu abu. Bagian posterior sebagai input/afferent, anterior sebagai output/efferent.
Komisura abu abu untuk reflek silang dan substansi putih merupakan kumpulan saraf
bermyelin.
Gambar 2. Struktur internal medulla spinalis

Terdapat traktus saraf pada medulla spinalis, descending (motor) dan ascending (sensoris).
Traktus kortikospinalis anterior dan traktus kortikospinalis lateral keduanya menginervasi neuron
motoric dan berfungsi dalam gerakan volunteer. Cedera pada pada traktus anterior sering terjadi
pada anterior cord syndrome, sedangkan traktus lateral sering cedera pada brown sequard
syndrome. Traktus sensoris terdiri dari traktus sphinotalamicus anterior yang berfungsi untuk
mengantarkan impuls sentuhan ringan, traktus spinotalamik lateral yang membawa impuls nyeri
dan suhu, serta collum dorsal yang terdiri dari fasikulus grasilis dan fasikulus kuneatus yang
keduanya membawa impuls propioseptik dan vibrasi. (netter)
Dermatom dan Myotom penting dalam mendiagnosis cedera medulla spinalis terutama
dalam menentukan level cederanya. Dermatom merupakan suatu area kutaneus yang dipersarafi
sensoris oleh satu saraf spinal (dorsal root). Pembagian divisi dermatom kulit menggamabrkan
segmen medulla spinalis serta saraf yang terkait. Dermatom nyeri lebih sempit disbanding
dermatom sentuhan dan seringkali tumpang tindih dengan dermatom lain. Oleh karenanya level
cedera spinal yang menyebabkan gangguan sensoris lebih mudah diperiksa dengan tes pinprick
daripada tes sentuhan lembut. Myotome adalah distribusi muscular dari satu saraf spinalis, hamper
sama dengan distribusi dermatom.(atlas neuro)
Gambar 3. Dermatomes and Myotomes

5. Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari cedera medula spinalis penting untuk dipahami,
sehingga dapat segera dilakukan intervensi farmakologi yang tepat dengan tujuan untuk
mengurangi atau mencegah efek dari cedera sekunder.2ref
Banyak sel di medula spinalis mati seketika secara progresif setelah terjadinya
cedera. Kista biasanya terbentuk setelah cedera memar. Setelah mengalami luka tusuk, sel
dari sistem saraf perifer seringkali menyebabkan daerah yang terkena tusuk membentuk
jaringan parut yang bergabung bersama astrosit, sel progenitor, dan mikroglia. Akson
asending dan desending banyak yang terganggu dan gagal memperbaiki diri. Beberapa
akson membentuk sirkuit baru, akson dapat menembus kedalam trabekula dan dibentuk
oleh sel ependim. Segmen akson bermielin yang terputus difagosit oleh makrofag.
Sebagian remielinasi muncul spontan, yang terbanyak dari sel schwan.6ref
Pada umumnya, cedera medula spinalis disertai kompresi dan angulasi vertebra
yang parah, misalnya terjadinya hipotensi yang parah akibat infark dari medula atau
distraksi aksial dari unsur kolumna vertebralis akan mengakibatkan tarikan (stretch) pada
medula. Biasanya cedera medula spinalis disertai subluksasi dengan atau tanpa rotasi dari
vertebra yang menekan medula diantara tulang yang dislokasi. Kompresi aksial tulang
belakang jarang menyebabkan kerusakan atau pendesakan pada vertebra, dan tulang lain
atau fragmen diskus intervertebralis dapat menekan ke dalam kanalis spinalis dan menjepit
medula dan arteri spinalis. Cedera seringkali terjadi pada orang tua dengan artritis
degeneratif dan stenosis vertebra servikalis, termasuk hiperekstensi leher disertai ligantum
flavum yang terletak di kanalis vertebra posterior dari medula. Medula spinalis terjepit
diantara spurs (osteofit) anterior dari tulang yang mengalami artritis dan posterior dari
ligamentum flavum, sehingga menyebabkan cedera yang dikenal dengan sebutan sindroma
medula sentral.3ref
Patofisiologi terjadinya cedera medula spinalis meliputi mekanisme cedera primer
dan sekunder.2ref Terdapat empat mekanisme cedera primer pada medula spinalis, pertama
adalah dampak cedera disertai kompresi persisten, pada umumnya terjadi akibat fragmen
tulang yang menyebabkan kompresi pada spinal, fraktur dislokasi, dan ruptur diskus akut.
Kedua, Dampak cedera disertai kompresi sementara, dapat terjadi misalnya pada seseorang
dengan penyakit degeneratif tulang cervikal yang mengalami cedera hiperekstensi. Ketiga
adalah distraksi, terjadi jika kolumna spinalis teregang berlebihan pada bidang aksial akibat
distraksi yang dihasilkan dari gerakan fleksi, ekstensi, rotasi atau adanya dislokasi yang
menyebabkan pergeseran atau peregangan dari medula spinalis dan atau asupan darahnya.
Biasanya mekanisme seperti ini tanpa disertai kelainan radiologis dan pada umumnya
terjadi pada anak anak dimana vertebranya masih terdiri dari tulang rawan, ototnya masih
belum berkembang sempurna, dan ligamennya masih lemah. Pada orang dewasa, cedera
medula spinalis tanpa disertai kelainan radiologis umumnya terjadi pada seseorang dengan
penyakit degeneratif tulang belakang. Keempat yaitu laserasi atau transeksi, dapat terjadi
akibat luka tembak, dislokasi fragmen tulang tajam, atau distraksi yang parah. Laserasi
dapat terjadi mulai dari cedera yang ringan sampai transeksi lengkap.2ref
Cedera primer yang terjadi cenderung merusak pusat substansia grisea dan sebagian
mengenai substansia alba. Hal tersebut terjadi karena, konsistensi substansia grisea lebih
lunak dan banyak vaskularisasi. Pada cedera primer, tahap awal akan terjadi perdarahan
pada medula spinalis dilanjutkan dengan terganggunya aliran darah medula spinalis
menyebabkan hipoksi dan iskemia sehingga terjadi infark lokal. Hal ini menyebabkan
substansia grisea rusak.2ref
Kerusakan terutama pada gray matter (substansia grisea) karena kebutuhan
metaboliknya yang tinggi. Saraf yang mengalami trauma secara fisik terganggu dan
ketebalan myelinnya berkurang. Perdarahan mikro (mikrohemorrages) atau edema di
sekitar saraf yang mengalami cedera, dapat menyebabkan saraf tersebut semakin
terganggu. Hal tersebut yang mendasari pemikiran bahwa substansia grisea mengalami
kerusakan yang ireversibel selama satu jam pertama, sedangkan substansia alba mengalami
kerusakan selama 72 jam setelah cedera.2ref
Segera setelah terjadi cedera medula spinalis, fungsi disertai perubahan patologis
akan hilang secara sementara. Pada permulaan terjadinya cedera memicu timbulnya
kaskade yang terdiri dari akumulasi produksi asam amino, neurotransmiter, eikosanoid
vasoaktif, radikal bebas oksigen, dan produk dari peroksidasi lipid. Program jalur kematian
sel juga teraktivasi. Terjadi kehilangan darah dari barier medula akibat edema dan
peningkatan tekanan jaringan.3ref Selama berlangsungnya perdarahan pada medula, maka
suplai darah menjadi terbatas, sehingga menyebabkan iskemia yang mengakibatkan
kerusakan medula lebih lanjut sehingga timbul cedera sekunder.23ref Cedera sekunder
meliputi syok neurogenik, gangguan vaskular seperti perdarahan dan reperfusi iskemia,
eksitotoksisitas, cedera primer yang dimediasi kalsium dan gangguan cairan elektrolit,
trauma imunologik, apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses lainnya. 2ref
Respon patofisiologi cedera medulla spinalis berlangsung dari hitungan menit sejak
terjadinya trauma hingga beberapa minggu melalui mekanisme imonologis yang komplek.
Circulatory Collaps
Kaskade cedera sekunder diawali dengan insufisiensi mikrosirkuler segera setalah
terjadi cedera mekanis. Hipoperfusi vaskuler terjadi akibat kerusakan kapiler, spasme
kapiler, thrombosis, hipotensi sistemik, dan gangguan regulasi otonom, yang lebih lanjut
menyebabkan iskemi seluler pada sekeliling medulla spinalis yang mengalami cedera.
Substansi abu abu yang banyak mengandung sel neuronal sangat rentan untuk terjadi
iskemia.
Oxidative Damage
Hipoperfusi dan iskemia selanjutnya memicu stress oksidatif dengan pembentukan
radikal bebas. Radikal bebas dapat terakumulasi di dalam sel dan merusak DNA sel,
mitokondria yang lebih lanjut terjadi kerusakan sel yang ireversibel.
Exitotoxicity
Radikal bebas yang tebentuk mengganggu kestabilan membrane neuron. Sel sel
yang terganggu melepaskan neurotransmitter glutamate. Glutamate mengaktivasi beberapa
reseptor di permukaan sel, yang memicu terjadinya berbagai proses intraseluler. Reseptor
glutamate yang banyak diteliti adalah reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA), reseptor
ini memediasi masuknya kalsium kedalam sitoplasma. Kalsium yang berlebihan dalam sel
akan memicu proses oksidasi lipid oleh enzim lipoxygenase dan phospholipase, sehingga
makin banyak radikal bebas yang dihasilkan. Radikal bebas yang dihasilkan akan merusak
protein sel, pada mitikondria terjadi phosphorilasi oksidatif. Sel sel saraf menjadi
kekurangan energy ATP, selanjutnya sel sel tersebut mati oleh karena nekrosis atau
apoptosis sel.
Neuroimmonologic Response
Sel sel inflamasi terlibat dalam proses destruksi sel neuronal. Selama beberapa jam
hingga minggu, sel sel inflamasi terkumpul dalam lingkungan ekstraseluler yang akan
menghambat regenerasi axonal. Sel pertama yang muncul pada sisi cedera adalah netrofil.
Ketika aktif, netrofil akan mensekresi sitokin yang menstimulasi produksi fosfolipase dan
siklooxinase. Siklooksinase akan mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin dan
tromboksan. Prostaglandin (PGE2, PGD2, PGF2a, PGI2) menyebabkan : (1) memperkuat
respon inflamasi dengan meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga sel sel inflamasi
semakin banyak masuk ke sirkulasi, (2) meningkatkan konsentrasi kalsium neuronal
memicu proses exitotoxicity, (3) mengaktivasi sel sel inflamasi yang lain. Tromboksan
memicu terjadinya aggregasi platelet dalam kapiler yang akan memperparah iskemia
jaringan.
Makrofag, mikroglia, dan astrosit akhirnya muncul dan mulai mensekresi 2 sitokin
inflamasi yang paling penting : interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor –alpha (TNF-
α). IL-1 menstimulasi ekspresi factor adhesi pada sel endotel, dimana akan membiarkan
limfosit mempenetrasi sawar darah otak. TNF-α berperan merekrut limfosit sitotoksik
yang teraktivasi untuk menempel pada sel endotel kemudian ke sisi cedera. Epicenter
cedera sekarang menjadi pusat inflamasi yang signifikan. Respon inflamasi adalah 1 dari
neurotoksik dan apoptosis neuronal. Beberapa minggu berikutnya, debris seluler akan
menjadi cair kedalam kista post traumatic dan kemudian berubah menjadi scar astroglial,
scar ini akan menghambat regenerasi axonal. (rothman)

Gambar 4. Kaskade cedera medulla spinalis (diambil dari Rothman)

6. Klasifikasi
Klasifikasi utama cedera medulla spinalis adalah trauma komplet (complete injury)
dan parsial (partial injury). Trauma komplet didefinisikan sebagai kehilangan total fungsi
sensoris dan fungsi motoris pada area yang terinervasi lebih dari 2 level dibawah lokasi
vertebra yang trauma dan bertahan selama lebih dari 48 jam. Perbaikan status neurologis
pasca trauma komplet biasanya minimal. Trauma parsial dapat dibagi dalam beberapa tipe,
antara lain : (agus hadian)
a. Sindrom korda anterior
b. Sindrom korda sentral
c. Sindrom Brown Sequard
d. Sindrom korda posterior
e. Sindrom konus medularis
f. Sindrom kauda equina
Metode klasifikasi menurut American Spinal Injury Association (ASIA) yang
dimodifikasi dari kriteria Frankel berdasarkan hubungan antara kelengkapan dan level
cedera dengan defisit neurologis yang timbul (spine scret)
a. A = Komplit : tidak ada fungsi motoric dan sensorik yang tersisa pada semua sacral
S4-S5
b. B = Inkomplit : terdapat fungsi sensorik tanpa fungsi motoric dibawah lesi termasuk
segmen sacral S4-S5
c. C = Inkomplit : terdapat fungsi motoric dibawah lesi dan lebih dari separuh memiliki
kekuatan otot kurang dari 3
d. D = Inkomplit : terdapat fungsi motoric dibawah lesi dan lebih dari separuh memiliki
kekuatan otot 3 atau lebih
e. E = Normal : fungsi motoric dan sensorik normal
B. Brown Sequard Syndrome
1. Definisi
Brown Sequard Syndrome atau hemiseksi medulla spinalis adalah cedera medulla
spinalis inkomplit yang ditandai dengan paralisis tipe UMN dan hilangnya proprioseptik
pada sisi ipsilateral serta hilangnya sensasi nyeri dan suhu pada sisi kontralateral dibawah
lesi cedera. (emedicine)
2. Epidemiologi
Brown sequard syndrome jarang dijumpai, insidensi sesungguhnya belum
diketahui. Tidak ada database nasional yang mencatat secara akurat angka kejadian brown
sequard syndrome. Insiden cedera medulla spinalis traumatic sendiri di Amerika
diperkirakan mencapai 11.000 kasus baru per tahun, dimana 2-4 % adalah kasus brown
sequard syndrome. emedicine
Angka kematian 5,7 % jika tidak ada tindakan operasi dan 2,7 % jika disertai
intervensi operasi. Angka kesakitan dapat terjadi pada setiap cedera spinal. Komplikasi
yang sering adalah ulkus pepticum, pneumonia, infeksi saluran kemih, deep vein
thrombosis, emboli pulmonal dan infeksi pasca operasi.
Berdasarkan ras, 70,1% kasus brown sequard syndrome terjadi pada populasi kulit
putih, 19.6 % terjadi pada ras afro-amerika, 1.2 % pada populasi Asia, 1,3 % pada populasi
Indian-Amerika dan 7,8 % pada ras lain.
Database cedera medulla spinalis menunjukkan sejak tahun 2010, 67 % kasus
cedera medulla spinalis terjadi pada populasi kulit putih, 24,4 % pada Afrika-Amerika, 7,9
% pada populasi hispanik, dan 0,7 % pada etnis lainnya.
Berbagai studi demografik tentang cedera medulla spinalis menjelaskan bahwa
cedera medulla spinalis lebih sering mengenai pria daripada wanita. Angka ini
menggambarkan cedera ini karena trauma, tidak menggambarkan penyebab nontrauma.
Studi berbasis populasi mengungkapkan bahwa cedera medulla spinal terutama
mengenai usia 16-30 tahun, tetapi rata-rata usia ini meningkat dalam beberapa tahun ini,
rata-rata usia pada saat cedera adalah 42,6 tahun pada pasien dengan cedera akibat trauma.
Sedangkan rata-rata usia pada brown sequard syndrome adalah 40 tahun.
3. Patofisiologi
Patofisiologi dari Brown Sequard Syndrome adalah kerusakan traktus korda
spinalis ascenden dan descenden pada satu sisi korda spinalis. Serabut motorik dari traktus
kortikospinalis menyilang pada pertemuan antara medulla dan korda spinalis. Kolumna
dorsalis ascenden membawa sensasi getar dan posisi ipsilateral terhadap akar masuknya
impuls dan menyilang diatas korda spinalis di medulla. Traktus spinotalamikus membawa
sensasi nyeri, suhu, dan raba kasar dari sisi kontralateral tubuh. Pada lokasi terjadinya
cedera spinalis akar saraf dapat terkena.
4. Gejala Klinis
Brown Sequard Syndrome ditandai dengan paralisis asimetris disertai hiperalgesia
yang lebih jelas pada sisi yang mengalami paresis. Brown Sequard Syndrome murni sering
berhubungan dengan hal-hal berikut :
 Gangguan traktus kortikospinalis lateralis :
- Paralisis spastik ipsilateral dibawah letak lesi
- Tanda babinski positif ipsilateral dari letak lesi
- Reflek patologis dan babinski positif ( mungkin belum didapatkan pada cedera
akut)
 Gangguan kolumna alba posterior : berkurangnya sensasi taktil untuk diskriminasi,
rasa getar dan posisi ipsilateral dibawah letak lesi.
 Gangguan traktus spinotalamikus lateralis : berkurangnya sensasi nyeri dan suhu
kontralateral. Hal ini biasanya terjadi pada 2-3 segmen dibawah letak lesi.
5. Etiologi
Brown Sequard Syndrome dapat disebabkan oleh segala macam mekanisme yang
menyebabkan kerusakan pada satu sisi korda spinalis. Penyebab paling sering adalah
cedera akibat trauma, sering juga akibat mekanisme penetrasi seperti tikaman atau
tembakan pistol.
Beberapa penyebab Brown Sequard Syndrome lainnya :
 Tumor korda spinalis, metastasis atau intrinsik
 Trauma baik tajam maupun tumpul
 Penyakit degeneratif seperti herniasi discus dan spondilosis cervical
 Iskemia
 Infeksi atau inflamasi yang disebabkan oleh : meningitis, empyema, herpes zoster,
herpes simplek, myelitis, tuberkulosis, siphilis, multiple sclerosis
 Perdarahan, termasuk spinal subdural/ epidural dan hematomyelia
6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding Brown-Séquard Syndrome antara lain fraktur cervical,
multiple sclerosis, infeksi korda spinalis, cedera korda spinalis,stroke akibat iskemik,
poliomielitis akut, Guillain-Barre Syndrome, post-traumatic syringomielia.

7. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis Brown-Séquard Syndrome ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala
klinis. Pemeriksaan laboratorium tidak terlalu diperlukan untuk mengevaluasi kondisi
pasien tetapi sangat membantu dalam mengikuti perjalananvpenyakit pasien.
Pemeriksaan laboratorium dapat berguna pada Brown-Séquard Syndrome yang
disebabkan keadaan nontraumatik seperti infeksi atau neoplasma .
 Pemeriksaan Radiologis :
Foto polos spinal dapat menggambarkan cedera tulang yang disebakan trauma
tajam maupun tumpul. Pemeriksaan MRI menunjukkan luasnya cedera korda spinalis dan
ini sangat membantu untuk membedakannya dengan penyebab nontraumatik. CT
Mielogram dapat membantu jika MRI dikontraindikasikan atau tidak tersedia.
 Pemeriksaan lain :

Pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (BTA) dapat dilakukan jika dicurigai


disebabkan oleh tuberkulosis.

8. Tatalaksana
Langkah awal dalam management pasien dengan cedera medula spinalis adalah
mengaktifkan protokol ATLS. Tatalaksana dari brown sequard syndrome berdasarkan
patologi penyebabnya. Kebutuhan akan operatif atau non operatif berdasarkan status
neurologis pasien dan gambaran klinis radiologis. Intervensi Pembedahan pada post
traumatic BSS apabila terdapat sisa sisa benda asing, kebocoran LCS, infeksi atau adanya
tanda kompresi spinal cord.

Anda mungkin juga menyukai