PENDAHULUAN
sehingga terjadi gangguan neurologis, tergantung letak kerusakan saraf spinalis dan
mulai dari nyeri, paralisis, sampai terjadinya inkontinensia bergantung pada letak
kerusakan medula spinalis. Kerusakan medula spinalis dapat dibagi menjadi tingkat
inkomplit dengan gejala-gejala yang tidak berefek pada pasien sampai tingkat
Insiden trauma spinal di dunia tercatat sebesar 0,019% hingga 0,088% per
tahun dari data 35 hingga 53 juta penduduk dunia. National Spinal Cord Injury
medulla spinal setiap tahun. Insiden cedera medula spinalis menunjukkan terdapat
40- 80 kasus baru per 1 juta populasi setiap tahunnya. Ini berarti bahwa setiap tahun
terakhir menunjukkan 90% kejadian cedera medula spinalis disebabkan oleh adalah
trauma seperti kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), olahraga (10%), atau
kecelakaan kerja. Angka mortalitas didapatkan sekitar 48% dalam 24 jam pertama.
Sekitar 80% meninggal di tempat kejadian oleh karena vertebra servikalis memiliki
risiko trauma paling besar, dengan level tersering C5, diikuti C4, C6, kemudian
T12, L1, dan T10. Kerusakan medula spinalis tersering oleh penyebab traumatik,
disebabkan dislokasi, rotasi, axial loading, dan hiperfleksi atau hiperekstensi
medula spinalis atau kauda ekuina (Genovova M.D.P., Kharunnisa B., 2017;
Widhiyanto L., Martiana I.K., Airlangga P.A., Permana D., 2019; Chin L., 2017).
cedera medula spinalis komplit hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal
Sistem saraf pusat terdiri atas otak (cerebrum dan cerebellum) dan medulla
spinalis. Otak merupakan pusat dan pikiran dan interpretasi terhadap lingkungan
dilindungi dari bagian dalam menuju luar oleh cairan cerebrospinal, selaput otak
dan tulang vertebrat. Medulla spinalis tersusun atas segmen-segmen yang sama
dengan tulang vertebra, namun karena pertumbuhan maka segmen medulla spinalis
semakin kebawah semakin menjauhi segmen tulang vertebra yang sesuai (Howlett,
a. Susunan Piramidal
menuju otot kaki dan tungkai bawah. Peta itu, dikenal sebagai
b. Susunan Ekstrapiramidal
b.) Motor neuron berukuran kecil, akhirnya halus dan mensarafi serabut
otot intrafusal.
menggerakan sel-sel serabut otot. Otot lumpuh ringan (paresis) atau lumpuh
keruntuhan pada serabut otot yang termasuk unit motorinya, lalu otot yang
terkena akan atrofi atau mengecil. Di samping itu, dapat terlihat juga adanya
kegiatan abnormal pada serabut otot sehat yang tersisa, yang disebut
fasikulasi.
Akson menghubungkan sel serabut otot melalui sinaps,
bersinaps itu dikenal sebagai ‘motor end plate’. Inilah alat perhubungan
2.2 Definisi
tergantung letak kerusakan saraf spinalis dan jarirngan saraf yang rusak (Chin L.,
2017).
2.3 Epidemiologi
mencatat terdapat 11.000 kasus trauma medulla spinal setiap tahun. Trauma
medulla spinalis diperkirakan terjadi pada 30-40 per satu juta penduduk per tahun,
dan sekitar 8.000-10.000 penderita setiap tahun; umumnya terjadi pada remaja dan
dewasa muda. Angka mortalitas diperkirakan 48% dalam 24 jam pertama. Sekitar
80% meninggal di tempat kejadian oleh karea vertebra servikalis memiliki risiko
trauma paling besar, dengan level C5, diikuti C4, C6, kemudian T12,L1, dan T10.
Berdasarkan kecacatan yang terjadi, 52% kasus mengalami paraplegia dan 47%
2.4 Etiologi
lalu lintas), jatuh, dan kekerasan. Di wilayah Asia Tenggara trauma medulla
spinalis sebesar 55%, diduga akibat tingginya kemacetan lalu lintas. Jatuh
merupakan penyebab kedua TSCI. Jatuh menyumbang lebih dari 40% daris eemua
Ada beberapa data nasional yang dapat diandalkan mengenai etiologic Non
belakang, diikuti dengan kelainan vascular dan autoimun. Selain itu, adanya
kekurangan nutrisi seperti neural tube defects, kekurangan vitamin B12 dan
apoptosis dimulai. Terdapat gangguan sawar darah medulla spinalis, masuknya sel
lanjut. Krisis energi muncul, terdapat produksi radikal bebas oksigen, dan
pada medulla spinalis, baik asenden atau desenden. Terjadi nekrosis hemoragik
dalam 24-36 jam. Pada substansia alba dapat ditemukan petekie dalam 3-4 jam
setelah trauma. Medulla spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme
hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan
trauma hiperekstensi
2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi
usia
4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat
kompresi tulang.
berikut: (1) gaya impact dan kompresi persisten, (2) gaya impact tanpa kompresi,
(3) tarikan medulla spinalis, (4) laserasi dan medulla spinalis terpotong akibat
gangguan pada mitokondria, dan proses lain (Gondowardjaja, Y., Purwata T.E.,
2014).
2.6 Klasifikasi
Trauma medulla spinalis komplit adalah kehilangan sensasi dan fungsi motorik
fungsi motorik volunteer. Definisi lainnya yaitu trauma medulla spinalis komplit
ditandai tidak adanya fungsi sensorik dan motorik yang keluar dari bawah level
cedera sedangkan trauma medulla spinalis inkomplit masih ada fungsi sensorik dan
atau tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Terdapat 5 sindrom utama
3. Brown-Sequard syndrome
Sindrom inkomplit yang sangat jarang terjadi yaitu Posterior cord syndrome10.
proses lain menggangu semua jaras serabut yang melewati substansia grisea.
Serabut yang paling terpengaruh adalah serabut yang berasal dari sel-sel kornu
posterior dan menghantarkan sensasi tekanan, rasa kasar, nyeri dan suhu; serabut-
serabut tersebut menyilang di substansia grisea sentral dan kemudian berjalan naik
berisi cairan di medulla spinalis; penyakit yang serupa di batang otak disebut
siringobulbia. Rongga ini disebut siring, dapat terbentuk oleh berbagai mekanisme
yang berbeda dan terdistribusi dengan pola karakteristik yang berbeda, sesuai
sentralis medulla spinalis, yang dapat berhubungan atau tidak berhubungan dengan
dan terpisah dari kanalis sentralis. Siringomielia sering terjadi di medulla spinalis
servikalis, umumnya menimbulkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu di bahu dan
ekstremitas atas. Siring yang meluas secara progresif dapat merusak traktus
medulla spinalis yang panjang, menyebabkan (para) paresis spastik, dan gangguan
pada proses berkemih, defekasi, dan fungsi seksual (Baehr M., Frotscher M., 2015).
Baik poliomielitis akut maupun berbagai jenis atrofi otot spinal secara
servikaslis dan lumbalis medulla spinalis (Baehr M., Frotscher M., 2015).
Pada poliomielitis (infeksi virus), sejumlah sel kornu anterior hilang secara
akut dan ireversibel, terutama di region lumbalis, menyebabkan paresis flasid pada
otot di segmen yang sesuai. Otot proksimal cenderung lebih terpengaruh daripada
otot distal. Otot menjadi atrofi dan pada kasus yang berat, dapat tergantikan
seluruhnya oleh jaringan ikat dan lemak. Poliomielitis jarang mengenai seluruh otot
jarang terjadi dan biasanya tidak komplit; penyebab terseringnya adalah trauma
medulla spinalis dan herniasi diskus servikalis. Interupsi jaras motoric desenden
pada satu sisi medulla spinalis pada awalnya menyebabkan paresis flasid ipsilateral
di bawah tingkat lesi (syok spinal), yang kemudian menjadi spastik dan disertai
oleh hiperrefleks, tanda babinski, dan gangguan vasomotor. Pada saat yang
bawah tingkat lesi. Ataksia yang normalnya terlihat pada lesi kolumna posterior
tidak terjadi karena paresis ipsilateral yang terjadi bersamaan. Sensasi nyeri dan
suhu sesisi lesi tidak terganggu, karena serabut yang mempersarafi modalitas ini
spinotalamikus lateralis, tetapi sensasi nyeri dan suhu kontralateral hilang di bawah
oleh dua jaras serabut yang berbeda: kolumna posterior (tidak menyilang) dan
menyisakan satu dari kedua jaras tersebut untuk sensasi taktil pada kedua sisi tubuh
tetap intak – kolumna posterior kontralateral untuk sisi kontralateral lesi, dan
traktus spinotalamikus anterior kontralateral untuk sisi ipsilateral (Baehr M.,
mengalami kerusakan dengan luas yang bervariasi pada tingkat lesi, kemungkinan
parestesia atau nyeri radicular di dermatom yang sesuai pada batas atas gangguan
Cauda equine syndrome melibatkan radiks nervi lumbalis dan radiks nervi
sakralis yang berjalan ke bawah di sepanjang sisi dan bawah konus medularis, dan
tumor (misal, ependimoma atau lipoma) merupakan penyebab yang umum. Pasien
awalnya mengeluhkan nyeri radikular pada distribusi nervus iskhiadikus, dan nyeri
pada kandung kemih yang hebat dan memberat saat batuk dan bersin. Kemudian,
defisit sensorik radikular dengan berat yang bervariasi, mengenai semua modalitas
sensorik, timbul pada tingkat L4 atau di bawahnya (Baehr M., Frotscher M., 2015).
sensorik pada tungkai dan area saddle. Dapat terjadi paresis flasid pada ekstremitas
bawah dengan arefleksia; juga dapat terjadi inkontinensia urin dan alvi, bersamaan
dengan disfungsi seksual. Pada lesi di bagian bawah kauda ekuina, defisit sensorik
hanya terdapat pada area saddle (S3-S5), dan tidak terjadi kelemahan tungkai, tetapi
fungsi miksi, defekasi, dan fungsi seksual terganggu. Tumor yang mengenai kauda
dengan kecepatan yang berbeda, dan beberapa diantaranya dapat tidak mengalami
kerusakan hingga akhir perjalanan klinis (Baehr M., Frotscher M., 2015).
Conus medullary syndrome terjadi akibat lesi medulla spinalis setinggi atau
di bawah S3, jarang terjadi. Sindrom ini dapat disebabkan oleh tumor spinal,
iskemia, atau herniasi diskus lumbalis masif. Ekstremitas bawah tidak paresis dan
reflex Achilles tetap ada. Lesi konus medularis terisolasi menimbulkan berbagai
dripping)
c.) Impotensi
Jika sindrom konus disebabkan oleh tumor, radiks lumbalis, dan radiks
sakralis yang berjalan menurun di sepanjang konus medularis akan terkena, cepat
atau lambat. Pada kasus tersebut, manifestasi sindrom konus disertai oleh defisit
sensorik yang lebih luas dibandingkan dengan defisit pada sindrom konus murni
vertebra thorakal (AP/Lat), vertebra lumbal (AP/Lat). Pada kaksus yang tidak
dianjurkan. MRI merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi lesi
2. Kadar laktat: untuk memantau status perfusi dan membantu ketika shock
kehilangan darah
memiliki keluhan sakit leher, nyeri tulang belakang, gejala atau tanda deficit
neurologi yang berhubungan dengan tulang belakang, dan pasien yang tidak dapat
dinilai dengan jelas (orang yang sesdang tidak sadar, tidak kooperatif, tidak
koheren, atau mabuk) membutuhkan studi radiografi dari medulla spinalis. The
upaya untuk mengidentifikasi risiko rendah untuk fraktur servikal, sublukasi, atau
dislokasi (Rouanet C., Reges D., Rocha E., Gagliardi, V., Silva G.S., 2017)
2.8 Tata Laksana
prognosis yang lebih baik. Bila fungis sensorik di bawah lesi masih ada, maka
Penatalaksaan Pra-RS
Penatalaksaan SCI dimulai segera setelah terjadinya trauma. Dalam hal ini
berperan fase evaluasi. Fase evalulasi meliputi obserrvasi primer dan sekunder.
E: Exposure/environmental control
bantal pasir pada kedua sisi kepala. Bila terdapat abnormalitas pada struktur
bersangkutan. Indikasi operasi berupa fraktur tidak stabil, fraktur yang tidak dapat
direduksi dengan traksi, gross spinal misalignment, kompresi medulla spinalis pada
Medikamentosa
mekanik. Pada tingkat seluler dapat terjadi peningkatan kadar asam amino
cadangan ATP yang pada akhirnya meneyebabkan kematian sel (Arifin, MZ,
seemuanya memberi hasil baik namun sampai saat ini baru kortikosteroid yang
Penggunaannya sebagai terapi utama TSCI masih dikritik oleh banyak pihak dan
Operatif
karena retropulsi diskus atau hematoma epidural, untuk resorasi atau realignment
kolma vertebra, dekompresi struktur saraf untuk penyembuhan, vertebra yang tidak
1. Tahap survival
4. Tahap re-sosialisasi
medik merupakan kunci utama dalam penanganan pasien cedera medulla spinalis.
Fisioterpi, terapi okupasi, bladder training harus dilakukan seedini mugkin. Tujuan
Komplikasi yang timbul pada trauma medulla spinalis antara lain (Wahyudi,
Latif, 2012):
berat badan
Pneumonia
pada sendi besar seperti hip, knee, atau shoulder, resiko terjadi kaku sendi
Spasticity
Autonomic dysreflexia: yaitu dapat terjadi pada pasien dengan lesi di atas
Cardiovascular disease
Spinal cord pain: yaitu kerusaakan dari tulang vertebra, medulla spinalis,
saraf tepi, dan jaringan di sekitarnya dapat menyebabkan hal ini. Dapat
berupa nyeri pada akar saraf yang tajam seperti teriris dan menjalar
motorik, sensorik, dan fungsi otonom. Trauma ini menimbulkan lesi di medulla
minimal di substansia alba dan grisea, akson, dan destruksi membran seluler.
kehidupan sosial.
Trauma medulla spinalis jarang hanya mengenai substansia alba atau hanya
sindrom medulla spinalis yang khas memiliki gambaran lesi topikal yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, MZ, Henky, J., 2012. Analisis Nilai Functional Independence Measure
Penderita Cedera Servikal denngan Perawatan Konseratif, Bagian Bedah Saraf RS
DR. Hasan Sadikin, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjara, Makara
Kesehatan, Vol.16. No.1, Juni 2012:17-22.
Baehr, M., Frotscher, M., 2015. Diagnosis Topik Neurologi Duus: Anatomi,
Fisiologi, Tanda, Gejala, Ed.4. Jakarta:EGC.
Gaus, S., Bisri, T., 2012. Cedera Medulla Spinalis Akibat Fraktur Vertebra
Servikal 5,6. Jurnal Nasional Indonesia, 2012: 1(4).
Gondowardjaja, Y., Purwata T.E., 2014. Trauma Medulla Spinalis: Patobiologi dan
Tatalaksana Medikamentosa. Fakultas Kedoteran Universitas Udayana, RSUP
Sanglah, Denpasar Bali, Indonesia. CDK-219. Vol (41) No.8 Tahun 2014.
Maja, Junita, 2013. Diagnosis dan Penatalaksaan Cedera Medulla Spinalis, Bagian
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Jurnal
biomedik, Vol 5, No.3, November 2013, hlm. 181-189.
Rouanet C., Reges D., Rocha E., Gagliardi, V., Silva G.S., 2017. Traumaic Spinal
Cord Injury: Curentconccept and treatment updates. Universidade Federal de Sao
Paulo. Departemento de Neuralgia e Neurocirurgia, Sao Paulo S.P., Brasil.
Widhiyanto L., Martiana I.K., Airlangga P.A., Permana D., 2019. Studi
Epidemiologi Fraktur Vertebra di RSUD DR. Soetomo Surabaya Pada Tahun 2013-
2017. Qanun Medika Vol.3, No.1, Januari 2019.