Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

Trauma pada tulang belakang yang menyebabkan lesi medulla spinalis

sehingga terjadi gangguan neurologis, tergantung letak kerusakan saraf spinalis dan

jarirngan saraf yang rusak sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat

menyebabkan kecacatan menetap atau kematian. Gejala-gejala dapat bervariasi

mulai dari nyeri, paralisis, sampai terjadinya inkontinensia bergantung pada letak

kerusakan medula spinalis. Kerusakan medula spinalis dapat dibagi menjadi tingkat

inkomplit dengan gejala-gejala yang tidak berefek pada pasien sampai tingkat

komplit dimana pasien mengalami kegagalan fungsi total (Genovova M.D.P.,

Kharunnisa B., 2017; Chin L., 2017).

Insiden trauma spinal di dunia tercatat sebesar 0,019% hingga 0,088% per

tahun dari data 35 hingga 53 juta penduduk dunia. National Spinal Cord Injury

Statistitcal Center (NSCISC), di USA mencatat terdapat 11.000 kasus trauma

medulla spinal setiap tahun. Insiden cedera medula spinalis menunjukkan terdapat

40- 80 kasus baru per 1 juta populasi setiap tahunnya. Ini berarti bahwa setiap tahun

sekitar 250.000-500.000 orang mengalami cedera medula spinalis. Penelitian

terakhir menunjukkan 90% kejadian cedera medula spinalis disebabkan oleh adalah

trauma seperti kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), olahraga (10%), atau

kecelakaan kerja. Angka mortalitas didapatkan sekitar 48% dalam 24 jam pertama.

Sekitar 80% meninggal di tempat kejadian oleh karena vertebra servikalis memiliki

risiko trauma paling besar, dengan level tersering C5, diikuti C4, C6, kemudian

T12, L1, dan T10. Kerusakan medula spinalis tersering oleh penyebab traumatik,
disebabkan dislokasi, rotasi, axial loading, dan hiperfleksi atau hiperekstensi

medula spinalis atau kauda ekuina (Genovova M.D.P., Kharunnisa B., 2017;

Widhiyanto L., Martiana I.K., Airlangga P.A., Permana D., 2019; Chin L., 2017).

Terapi pada kasus cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk

meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensorik dan motorik. Pasien dengan

cedera medula spinalis komplit hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal

(Genovova M.D.P., Kharunnisa B., 2017).


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Sistem saraf pusat terdiri atas otak (cerebrum dan cerebellum) dan medulla

spinalis. Otak merupakan pusat dan pikiran dan interpretasi terhadap lingkungan

eksternal, sedangkan medulla spinalis merupakan kumpulan saraf yang

menghubungkan otak dengan organ tubuh dan sebaliknya. Medulla spinalis

dilindungi dari bagian dalam menuju luar oleh cairan cerebrospinal, selaput otak

dan tulang vertebrat. Medulla spinalis tersusun atas segmen-segmen yang sama

dengan tulang vertebra, namun karena pertumbuhan maka segmen medulla spinalis

semakin kebawah semakin menjauhi segmen tulang vertebra yang sesuai (Howlett,

William P. DR., 2012).

Gamar 2.1 Penampanng medulla spinalis

Secara anatomik sistem neuromuskular volunter, yaitu sistem yang

mengurus dan melaksanakan gerakan yang dikendalikan oleh kemauan tersebut

terdiri atas (Howlett, William P. DR., 2012):


1. Upper Motor Neuron (UMN)

Gambar 2.2 Homunkulus Motorik

Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik, kelompok UMN dibagi

dalam susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal

a. Susunan Piramidal

Semua neuron yang menyalurkan impuls motorikk secara langsung ke

UMN atau melalui interneuronnya, tergolong dalam kelompok UMN.

Neuron-neuron tersebut merupakan penghuni gyrus precentralis. Oleh

karena itu, maka gyrus tersebut dinamakan korteks motorik. Korteks

motorik ini terdapat pada lapisan ke lima dan masing-masing memiliki

hubungan dengan gerak otot tertentu yang berada di korteks motorik

yang menghadap ke fisura longitudinalis cerebri mempunyai koneksi

menuju otot kaki dan tungkai bawah. Peta itu, dikenal sebagai

homunculus motorik. Melalui aksonnya neuron korteks motorik


menghubungi motoneuron yang membentuk inti motorik saraf kranial

dan motoneuron di kornu anterior medulla spinalis. Akson-akson

tersebut menyusun jaras kortikobulbar-kortikospinal

Gambar 2.3 Jaras kortikobulba-kortikospinal

b. Susunan Ekstrapiramidal

Berbeda dengan uraian sederhana tentang susunan piramidal, susunan

ekstrapiramidal terdiri atas komponen-komponen, yakni: korpus

striatum, globus pallidus, inti thalamik, nukleus subthalamikus,

substantia nigra, komotio reticularis batang otak, cerebellum dan

korteks motorik tambahan, yaitu area 4, 6 dan 8. Komponen-komponen


tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson masing-masing

komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar, yang

dikenal sebagai sirkuit.

2. Lower Motor Neuron

Neuron yang menyalurkan impuls motorik pada bagian perjalanan terakhir

keseluruhan otot skeletal. LMN dibedakan menjadi 2 bagian:

a.) Motorneuron berukuran besar dan menjulurkan akson tebal ke serabut

otot ekstrafusal dan yang lain,

b.) Motor neuron berukuran kecil, akhirnya halus dan mensarafi serabut

otot intrafusal.

Dengan perantaraan kedua macam motorneuron itu, impuls motorik

dapat mengemudikan keseimbangan tonus otot yang diperlukan untuk

mewujudkan setiap gerakan tangkas. Tugas motorneuron hanya

menggerakan sel-sel serabut otot. Otot lumpuh ringan (paresis) atau lumpuh

mutlak (paralisis) bergantung pada jumlah motorneuron yang rusak. Oleh

karena motorneuron dengan sejumlah serabut otot yang dipersarafinya

merupakan satu kesatuan, maka kerusakan motorneuron membangkitkan

keruntuhan pada serabut otot yang termasuk unit motorinya, lalu otot yang

terkena akan atrofi atau mengecil. Di samping itu, dapat terlihat juga adanya

kegiatan abnormal pada serabut otot sehat yang tersisa, yang disebut

fasikulasi.
Akson menghubungkan sel serabut otot melalui sinaps,

sebagaimana neuron berhubungan dengan neuron lain. Bagian otot yang

bersinaps itu dikenal sebagai ‘motor end plate’. Inilah alat perhubungan

antara neuron dan otot (Howlett, William P. DR., 2012):

Tabel 2.1 Perbedaan lesi tipe UMN dan LMN

2.2 Definisi

Trauma medulla spinalis adalah trauma pada tulang belakang yang

menyebabkan lesi medulla spinalis sehingga terjadi gangguan neurologi,

tergantung letak kerusakan saraf spinalis dan jarirngan saraf yang rusak (Chin L.,

2017).

2.3 Epidemiologi

National Spinal Cord Injury Statistitcal Center (NSCISC), di USA

mencatat terdapat 11.000 kasus trauma medulla spinal setiap tahun. Trauma

medulla spinalis diperkirakan terjadi pada 30-40 per satu juta penduduk per tahun,
dan sekitar 8.000-10.000 penderita setiap tahun; umumnya terjadi pada remaja dan

dewasa muda. Angka mortalitas diperkirakan 48% dalam 24 jam pertama. Sekitar

80% meninggal di tempat kejadian oleh karea vertebra servikalis memiliki risiko

trauma paling besar, dengan level C5, diikuti C4, C6, kemudian T12,L1, dan T10.

Berdasarkan kecacatan yang terjadi, 52% kasus mengalami paraplegia dan 47%

kasus mengalami tetraplegia (Chin L., 2017; Maja Junita, 2013).

2.4 Etiologi

World Health Organization (WHO) menyatakan Trauma Spinal Cord

Injury (TSCI) memiliki 3 penyebab paling umum yaitu transportasi (kecelakaan

lalu lintas), jatuh, dan kekerasan. Di wilayah Asia Tenggara trauma medulla

spinalis sebesar 55%, diduga akibat tingginya kemacetan lalu lintas. Jatuh

merupakan penyebab kedua TSCI. Jatuh menyumbang lebih dari 40% daris eemua

kasus di kawasan mediterania dan Asia Tenggara (WHO, 2013).

Ada beberapa data nasional yang dapat diandalkan mengenai etiologic Non

Trauma Spinal Cord Injury (NTSCI), namun penelitian menyebutkan bahwa

penyebab utamanya adalah tumor neoplasma dan kondisi degeneratif tulang

belakang, diikuti dengan kelainan vascular dan autoimun. Selain itu, adanya

kekurangan nutrisi seperti neural tube defects, kekurangan vitamin B12 dan

komplikasi perawatan medis (WHO, 2013).


2.5 Patofisiologi

Trauma primer awal menyebabkan cedera mekanis pada medulla spinalis,

kompresi kombinasi, laserasi, gangguan atau kerusakan pada mikrovaskuler,

edema progresif berkembang, perburukan iskemia berlangsung dan sinyal pro-

apoptosis dimulai. Terdapat gangguan sawar darah medulla spinalis, masuknya sel

inflamasi, peptide vasoaktif, dan pelepasan faktor koagulasi. Peristiwa ini

menyebabkan trombus dan kaku mikrovaskuler, yang menybabkan hipoksia lebih

lanjut. Krisis energi muncul, terdapat produksi radikal bebas oksigen, dan

eksitoksisitas dan berkembangnya edema sitotoksik. Karena distorsi kerangka

struktural, upaya regeneratif tidak berhasil. Rho-ROCK (Rho-associated protein

kinase) diaktifkan dan mengkhambat pertumbuhan neurosit. Bersama-sama, semua

mekanisme tersebut berkontribusi pada pembatasan regenerasi (Rouanet C., Reges

D., Rocha E., Gagliardi, V., Silva G.S., 2017).

TSCI dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi, atau kompresi

medulla spinalis. Patomekanisme lesi medulla spinalis berupa rusaknya traktus

pada medulla spinalis, baik asenden atau desenden. Terjadi nekrosis hemoragik

dalam 24-36 jam. Pada substansia alba dapat ditemukan petekie dalam 3-4 jam

setelah trauma. Medulla spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme

berikut (Gondowardjaja, Y., Purwata T.E., 2014):

1. Kompresi oleh tulang, ligament, herniasi diskus intervertebralis, dan

hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan

kompresi oleh korpus vertebra yayng mengalami disklokasi ke posterior dan

trauma hiperekstensi
2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi

medulla spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya

usia

3. Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu

aliran darah kapiler dan vena.

4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat

kompresi tulang.

Mekanisme kerusaskan primer setidaknya dapat terjadi dari mekanisme

berikut: (1) gaya impact dan kompresi persisten, (2) gaya impact tanpa kompresi,

(3) tarikan medulla spinalis, (4) laserasi dan medulla spinalis terpotong akibat

trauma. Kerusaakan primer merupakan titik awal terjadinya kerusakan sekunder.

Mekanisme kerusakan sekunder disebabkan oleh syok neurogenik, proses vaskular,

seperti perdarahan dan iskemia, eksitoksisitas, lesi sekunder yang dimediasi

kalsium, gangguan elektrolit, kerusakan karena proses imunologi, apoptosis,

gangguan pada mitokondria, dan proses lain (Gondowardjaja, Y., Purwata T.E.,

2014).

2.6 Klasifikasi

Trauma medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplit dan inkomplit.

Trauma medulla spinalis komplit adalah kehilangan sensasi dan fungsi motorik

volunteer total sedangkan inkomplit adalah campuran kehilangan sensasi dan

fungsi motorik volunteer. Definisi lainnya yaitu trauma medulla spinalis komplit

ditandai tidak adanya fungsi sensorik dan motorik yang keluar dari bawah level
cedera sedangkan trauma medulla spinalis inkomplit masih ada fungsi sensorik dan

motorik di bawah level cedera (Gaus, S., Bisri, T., 2012).

Tabel 2.2 Karakteritik klinis trauma medulla spinalis

Gambar 2.4 Skala trauma medulla spinalis menurut ASCIA


Trauma medulla spinalis komplit dan inkomplit dibagi berdasarkan ada

atau tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Terdapat 5 sindrom utama

trauma medulla spinalis inkomplit menurut American Spinal Cord Injury

Association (ASCIA), yaitu:

1. Central cord syndrome

2. Anterior cord syndrome

3. Brown-Sequard syndrome

4. Cauda equine syndrome

5. Conus medullary syndrome

Sindrom inkomplit yang sangat jarang terjadi yaitu Posterior cord syndrome10.

2.6.1 Central cord syndrome

Kerusakan pada substransia grisea sentral medulla spinalis akibat

siringomielia, hematomielia, tumor medulla spinalis intra medular, atau proses-

proses lain menggangu semua jaras serabut yang melewati substansia grisea.

Serabut yang paling terpengaruh adalah serabut yang berasal dari sel-sel kornu

posterior dan menghantarkan sensasi tekanan, rasa kasar, nyeri dan suhu; serabut-

serabut tersebut menyilang di substansia grisea sentral dan kemudian berjalan naik

di traktus spinotalamikus lateralis dan anterior. Suatu lesi yang mengenainya

menimbulkan defisit sensorik terdisosiasi bilateral di area kulit yang dipersarafi

oleh serabut yang rusak (Baehr M., Frotscher M., 2015).


Gambar 2.5 Central cord syndrome

Siringomielia ditandai dengan pembentukan satu atau beberapa rongga

berisi cairan di medulla spinalis; penyakit yang serupa di batang otak disebut

siringobulbia. Rongga ini disebut siring, dapat terbentuk oleh berbagai mekanisme

yang berbeda dan terdistribusi dengan pola karakteristik yang berbeda, sesuai

dengan mekanisme pembentukannya. Beberapa siring merupakan perluasan kanalis

sentralis medulla spinalis, yang dapat berhubungan atau tidak berhubungan dengan

dengan ventrikel keempat; yang lainnya merupakan pelekukan-keluar parenkim

dan terpisah dari kanalis sentralis. Siringomielia sering terjadi di medulla spinalis

servikalis, umumnya menimbulkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu di bahu dan

ekstremitas atas. Siring yang meluas secara progresif dapat merusak traktus

medulla spinalis yang panjang, menyebabkan (para) paresis spastik, dan gangguan

pada proses berkemih, defekasi, dan fungsi seksual (Baehr M., Frotscher M., 2015).

2.6.2 Anterior cord syndrome

Baik poliomielitis akut maupun berbagai jenis atrofi otot spinal secara

spesifik mempengaruhi sel-sel kornu anterior, terutama pada pembesaran

servikaslis dan lumbalis medulla spinalis (Baehr M., Frotscher M., 2015).
Pada poliomielitis (infeksi virus), sejumlah sel kornu anterior hilang secara

akut dan ireversibel, terutama di region lumbalis, menyebabkan paresis flasid pada

otot di segmen yang sesuai. Otot proksimal cenderung lebih terpengaruh daripada

otot distal. Otot menjadi atrofi dan pada kasus yang berat, dapat tergantikan

seluruhnya oleh jaringan ikat dan lemak. Poliomielitis jarang mengenai seluruh otot

ekstremitas, karena sel-sel kornu anterior tersusun di kolumna vertikal yang

panjang di dalam medulla spinalis (Baehr M., Frotscher M., 2015).

Gambar 2.6 Anterior cord syndrome

2.6.3 Brown-Sequard cord syndrome

Brown-Sequard cord syndrome atau sindrom hemiseksi medulla spinalis

jarang terjadi dan biasanya tidak komplit; penyebab terseringnya adalah trauma

medulla spinalis dan herniasi diskus servikalis. Interupsi jaras motoric desenden

pada satu sisi medulla spinalis pada awalnya menyebabkan paresis flasid ipsilateral

di bawah tingkat lesi (syok spinal), yang kemudian menjadi spastik dan disertai

oleh hiperrefleks, tanda babinski, dan gangguan vasomotor. Pada saat yang

bersamaan gangguan kolumna posterior pada satu sisi medulla spinalis


menimbulkan hilangnya sensasi posisi, getar, dan diskriminasi taktil ipsilateral di

bawah tingkat lesi. Ataksia yang normalnya terlihat pada lesi kolumna posterior

tidak terjadi karena paresis ipsilateral yang terjadi bersamaan. Sensasi nyeri dan

suhu sesisi lesi tidak terganggu, karena serabut yang mempersarafi modalitas ini

telah menyilang ke sisi kontralateral dan berjalan naik di dalam traktus

spinotalamikus lateralis, tetapi sensasi nyeri dan suhu kontralateral hilang di bawah

tingkat lesi karena traktus spinotalamikus ipsilateral (yang telah menyilang)

terganggu (Baehr M., Frotscher M., 2015).

Gambar 2.7 Brown sequard syndrome

Sensasi taktil sederhana tidak terganggu, karena modalitas ini dipersarafi

oleh dua jaras serabut yang berbeda: kolumna posterior (tidak menyilang) dan

traktus spinotalamikus anterior (menyilang). Hemiseksi medulla spinalis

menyisakan satu dari kedua jaras tersebut untuk sensasi taktil pada kedua sisi tubuh

tetap intak – kolumna posterior kontralateral untuk sisi kontralateral lesi, dan
traktus spinotalamikus anterior kontralateral untuk sisi ipsilateral (Baehr M.,

Frotscher M., 2015).

Selain interupsi traktus yang panjang, sel-sel kornu anterior dapat

mengalami kerusakan dengan luas yang bervariasi pada tingkat lesi, kemungkinan

menyebabkan paresis flasid. Iritasi radiks posterior juga dapat menyebabkan

parestesia atau nyeri radicular di dermatom yang sesuai pada batas atas gangguan

sensorik (Baehr M., Frotscher M., 2015).

2.6.4 Cauda equine syndrome

Cauda equine syndrome melibatkan radiks nervi lumbalis dan radiks nervi

sakralis yang berjalan ke bawah di sepanjang sisi dan bawah konus medularis, dan

menembus ruang subarachnoid lumbosacral, dan keluar melalui foraminanya; suatu

tumor (misal, ependimoma atau lipoma) merupakan penyebab yang umum. Pasien

awalnya mengeluhkan nyeri radikular pada distribusi nervus iskhiadikus, dan nyeri

pada kandung kemih yang hebat dan memberat saat batuk dan bersin. Kemudian,

defisit sensorik radikular dengan berat yang bervariasi, mengenai semua modalitas

sensorik, timbul pada tingkat L4 atau di bawahnya (Baehr M., Frotscher M., 2015).

Lesi yang mengenai bagian atas kauda equinea menimbulkan defisit

sensorik pada tungkai dan area saddle. Dapat terjadi paresis flasid pada ekstremitas

bawah dengan arefleksia; juga dapat terjadi inkontinensia urin dan alvi, bersamaan

dengan disfungsi seksual. Pada lesi di bagian bawah kauda ekuina, defisit sensorik

hanya terdapat pada area saddle (S3-S5), dan tidak terjadi kelemahan tungkai, tetapi

fungsi miksi, defekasi, dan fungsi seksual terganggu. Tumor yang mengenai kauda

ekuina, tidak seperti tumor konus, menimbulkan manifestasi klinis dengan


progresivitas lambat dan irregular, karena masing-masing radiks saraf terkena

dengan kecepatan yang berbeda, dan beberapa diantaranya dapat tidak mengalami

kerusakan hingga akhir perjalanan klinis (Baehr M., Frotscher M., 2015).

Gambar 2.8 Cauda equine syndrome

2.6.5 Conus medullary syndrome

Conus medullary syndrome terjadi akibat lesi medulla spinalis setinggi atau

di bawah S3, jarang terjadi. Sindrom ini dapat disebabkan oleh tumor spinal,

iskemia, atau herniasi diskus lumbalis masif. Ekstremitas bawah tidak paresis dan

reflex Achilles tetap ada. Lesi konus medularis terisolasi menimbulkan berbagai

deficit neurologis berikut:


a.) Arefleksia detrusor dengan retensi urin dan inkontinensia overflow (continual

dripping)

b.) Inkontinensia alvi

c.) Impotensi

d.) Saddle anesthesia

e.) Hilangnya reflek ani

Gambar 2.9 Conus medullary syndrome

Jika sindrom konus disebabkan oleh tumor, radiks lumbalis, dan radiks

sakralis yang berjalan menurun di sepanjang konus medularis akan terkena, cepat

atau lambat. Pada kasus tersebut, manifestasi sindrom konus disertai oleh defisit

akibat keterlibatan kauda equina: kelemahan ekstremitas bawah, dan defisit

sensorik yang lebih luas dibandingkan dengan defisit pada sindrom konus murni

(Baehr M., Frotscher M., 2015).


2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaaan penunjang yang disarankan adalah laboratorium darah,

radiologi, dianjurkan dengan 3 posisi standar: vertebra servikal (AP/Lat/Odontoid),

vertebra thorakal (AP/Lat), vertebra lumbal (AP/Lat). Pada kaksus yang tidak

menunjukkan kelainan radiologi, pemeriksaan lanjutan CT Scan dann MRI sangat

dianjurkan. MRI merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi lesi

memdula spinalis akibat trauma (Maja, Junita, 2013).

Penelitian laboratorium yang dapat membantu dalam evaluasi trauma

medulla spinalis adalah (Chin, L., 2017):

1. Pengukuran gas darah arteri: dapat berguna untuk evaluasi kecukupan

oksigen dan ventilasi

2. Kadar laktat: untuk memantau status perfusi dan membantu ketika shock

3. Tingkat hemoglobin dan atau hematokrit: dapat diukur pada awalnya

dengan dipantau secara serial untuk mendeteksi atau memantau sumber

kehilangan darah

Menurut pedoman trauma medulla spinalis terakhir, pasien trauma yang

memiliki keluhan sakit leher, nyeri tulang belakang, gejala atau tanda deficit

neurologi yang berhubungan dengan tulang belakang, dan pasien yang tidak dapat

dinilai dengan jelas (orang yang sesdang tidak sadar, tidak kooperatif, tidak

koheren, atau mabuk) membutuhkan studi radiografi dari medulla spinalis. The

National Emergency X-Radiography Utilization Study (NEXUS) dirancang sebagai

upaya untuk mengidentifikasi risiko rendah untuk fraktur servikal, sublukasi, atau

dislokasi (Rouanet C., Reges D., Rocha E., Gagliardi, V., Silva G.S., 2017)
2.8 Tata Laksana

Terapi pada kasus SCI terutama ditujukan untuk meningkatkan dan

mempertahankan fungsi sensorik dan motoric. Pasien dengan cedera medulla

spinalis komplit hanya memiliki peluag 5% untuk kembali normal.lesi medulla

spinalis komplit yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama,

cenderung menetap dan prognosisnyaa buruk. SCI inkomplit cenderung memiliki

prognosis yang lebih baik. Bila fungis sensorik di bawah lesi masih ada, maka

kemungkinan untuk kembali berjalan>90% (Maja, Junita, 2013).

 Penatalaksaan Pra-RS

Penatalaksaan SCI dimulai segera setelah terjadinya trauma. Dalam hal ini

berperan fase evaluasi. Fase evalulasi meliputi obserrvasi primer dan sekunder.

Observasi primer terdiri atas stabilisasi A/B/C/D/E:

A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal

B: Breathing dan ventilasi

C: Circulation dengan kontrol perdarahan

D: Disability (status neurologis)

E: Exposure/environmental control

 Penatalaksaan Gawat Darurat

Instabilitas vertebra berisiko merusaak saaraf. Vertebra servikal dapat

diimobilisasi sementara memnggunakan hard cervical collar dan meletakkan

bantal pasir pada kedua sisi kepala. Bila terdapat abnormalitas pada struktur

vertebra, tujuan penatalaksaan adalah realignment dan fiksasi segmen

bersangkutan. Indikasi operasi berupa fraktur tidak stabil, fraktur yang tidak dapat
direduksi dengan traksi, gross spinal misalignment, kompresi medulla spinalis pada

trauma inkomplit, penurunan status neuologi, dan instabilitas menetap pada

manajemen konservatif (Arifin, MZ, Henky, J., 2012).

 Medikamentosa

Selain faktor mekanik yang merusak fugsi medulla spinalis, peerfusi

jaringan dan oksigenasi juga mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres

mekanik. Pada tingkat seluler dapat terjadi peningkatan kadar asam amino

eksitatorik, glutamate, produksi radikal bebas, opioid endogen serta habisnya

cadangan ATP yang pada akhirnya meneyebabkan kematian sel (Arifin, MZ,

Henky, J., 2012).

Bertambahnya pemahaman fisiolgi trauma medulla spinalis akan

menambah pilihan terapi farmakologi. Terapi farmakolologi seperti kortikosteroid,

21-amino steroid, antagonis reseptor opiod, ganglionosida, tirotropin releasing

hormone (TRH), antioksidan, kalsium, termasuk golongan imunomodulator,

seemuanya memberi hasil baik namun sampai saat ini baru kortikosteroid yang

secara klinis bermakna (Maja, Junita, 2013).

Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk

TSCI dan direkomendasikan oleh National Institute of Health di Amerika Serikat.

Penggunaannya sebagai terapi utama TSCI masih dikritik oleh banyak pihak dan

belum digunakan sebagai terapi standar. Mekanisme kerja metilprednisolon adalah

menurunkan respon inflamasi dengan menekan migrasi netrofil dan menghambat

peningkatan permeabilitas vascular. Metilprednisolon menghambat kerja lipid


peroksidase dan hidrolisis sehingga dapat menghambat destruksi membran sel

(Maja, Junita, 2013).

 Operatif

Indikasi operasi pada trauma medulla spinalis adalah: perburukan progresif

karena retropulsi diskus atau hematoma epidural, untuk resorasi atau realignment

kolma vertebra, dekompresi struktur saraf untuk penyembuhan, vertebra yang tidak

stabil (Gaus, S., Bisri, T., 2012).

Tahapan pertolongan pada penderita paraparese:

1. Tahap survival

2. Tahap penyesuaian diri (self-care)

3. Tahap latihan kerja

4. Tahap re-sosialisasi

Pencegahan komplikasi sangat berperan penting. Tindakan rehabilitasi

medik merupakan kunci utama dalam penanganan pasien cedera medulla spinalis.

Fisioterpi, terapi okupasi, bladder training harus dilakukan seedini mugkin. Tujuan

utama fisioterapi adalah mempertahankan range of motion (ROM) dan kemampuan

mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot. Terapi okupasional terutama ditujukan

untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi ekstremitas, serta mempertahankan

kemampuan aktivitas hidup sehari-hari. Sehingga tercipta pemberian pelayanan

kepada individu untuk memperbaiki, mengembangkan dan memelihara gerak dan

kemampuan fungsi yang maksimal (Arifin, MZ, Henky, J., 2012).


2.9 Komplikasi

Komplikasi yang timbul pada trauma medulla spinalis antara lain (Wahyudi,

Latif, 2012):

 Skin breakdown: disebabkan karena penekanan (posisi statis), gangguan

sensori dan gangguan vaskularisasi

 Osteoporosis: disebabkan karena tidak ada aktivitas otot dan peumpukan

berat badan

 Pneumonia

 Heteropiv Ossification: yaitu penulangan pada sekitar seendi, biasa terjadi

pada sendi besar seperti hip, knee, atau shoulder, resiko terjadi kaku sendi

dan penyatuan sendi

 Spasticity

 Autonomic dysreflexia: yaitu dapat terjadi pada pasien dengan lesi di atas

level T6 atau T7, diduga karena terputusnyaa otonom yang mengontrol

tekanan darah dan fungsi jantung dapat berakibat hiperteni

 Deep Vein Trombosis atau emboli paru

 Cardiovascular disease

 Syingomyela: merupakan pembesaran kanalis sentralis dari medulla spinalis

pasca trauma, terjadi pada 1-3% pasien trauma medulla spinalis

 Respiratory dysfunction dan infeksi

 Spinal cord pain: yaitu kerusaakan dari tulang vertebra, medulla spinalis,

saraf tepi, dan jaringan di sekitarnya dapat menyebabkan hal ini. Dapat
berupa nyeri pada akar saraf yang tajam seperti teriris dan menjalar

sepanjang perjalanan saraf tepinya, bahkan terjadi phantom limb pain.


BAB 3
KESIMPULAN

Trauma medulla spinalis merupakan trauma yang menyebabkan gangguan

motorik, sensorik, dan fungsi otonom. Trauma ini menimbulkan lesi di medulla

spinalis akibat terjadinya fraktur atau dislokasi yang menyebabkan perdarahan

minimal di substansia alba dan grisea, akson, dan destruksi membran seluler.

Trauma medulla spinalis dapat mengganggu kualitas hidup pasien hingga

kehidupan sosial.

Trauma medulla spinalis jarang hanya mengenai substansia alba atau hanya

substansia grisea, tetapi lebih sering mengenai keduanya. Manifestasi klinis

sindrom medulla spinalis yang khas memiliki gambaran lesi topikal yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, MZ, Henky, J., 2012. Analisis Nilai Functional Independence Measure
Penderita Cedera Servikal denngan Perawatan Konseratif, Bagian Bedah Saraf RS
DR. Hasan Sadikin, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjara, Makara
Kesehatan, Vol.16. No.1, Juni 2012:17-22.

Baehr, M., Frotscher, M., 2015. Diagnosis Topik Neurologi Duus: Anatomi,
Fisiologi, Tanda, Gejala, Ed.4. Jakarta:EGC.

Chin, L., 2017. Spina Cord Injuries. Electronic Journal, Medscape.

Gaus, S., Bisri, T., 2012. Cedera Medulla Spinalis Akibat Fraktur Vertebra
Servikal 5,6. Jurnal Nasional Indonesia, 2012: 1(4).

Genoveva M.D.P., Kharunnisa B., 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Trauma


Medula Spinalis. J Medula Unila, Vol.7 No.2, April 2017.

Gondowardjaja, Y., Purwata T.E., 2014. Trauma Medulla Spinalis: Patobiologi dan
Tatalaksana Medikamentosa. Fakultas Kedoteran Universitas Udayana, RSUP
Sanglah, Denpasar Bali, Indonesia. CDK-219. Vol (41) No.8 Tahun 2014.

Howlett, William P. DR., 2012. Neurological Disorder : Paraplegic Non Traumatic.


Chapter 10. Bodony, Bergen, Norway.

Maja, Junita, 2013. Diagnosis dan Penatalaksaan Cedera Medulla Spinalis, Bagian
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Jurnal
biomedik, Vol 5, No.3, November 2013, hlm. 181-189.

Rouanet C., Reges D., Rocha E., Gagliardi, V., Silva G.S., 2017. Traumaic Spinal
Cord Injury: Curentconccept and treatment updates. Universidade Federal de Sao
Paulo. Departemento de Neuralgia e Neurocirurgia, Sao Paulo S.P., Brasil.

Wahyudi, Latif, 2012. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Post Frraktur


Kompresi VertebraServikalis V Frenkel A di RSU Prof. DR. R. Soeharso
Surakarta, Program Studi Diploma III Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah, Surakarta.

Widhiyanto L., Martiana I.K., Airlangga P.A., Permana D., 2019. Studi
Epidemiologi Fraktur Vertebra di RSUD DR. Soetomo Surabaya Pada Tahun 2013-
2017. Qanun Medika Vol.3, No.1, Januari 2019.

WHO, 2013. International Perspective on Spinal Cord Injury, World Health


Organization.

Anda mungkin juga menyukai