Anda di halaman 1dari 24

MIASTENIA GRAVIS

R.DINDA
H1A102050
PENDAHULUAN
 Miastenia gravis adalah gangguan neuromuscular
yang sering terjadi. Penyakit ini ditandai dengan
kelemahan otot yang semakin berat ketika
beraktivitas, membaik ketika istirahat. Miastenia
disebabkan oleh proses autoimun.
 MG termasuk gangguan neurologis yang dapat
diobati, dan melibatkan berbagai spesialis yaitu
penyakit dalam, ahli saraf, dokter mata, spesialis
paru. Respon pengobatan MG umumnya baik,
sehingga terapi awal sangat penting untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas tahun
(Gold dan Toyka, 2007)
EPIDEMIOLOGI
 Inside MG berkisar antara3 -30 per 1 juta
penduduk. Laju insiden meningkat karena
metode diagnostik lebih berkembang. Insiden
meningkat dengan pertambahan usia.
Sementara itu, prevalensi MG diperkirakan
25- 100 per 100 juta penduduk.
Perbandingan wanita dan pria yaitu 3:2 dan
rentang usia antara 20-40 dan 60-70 tahun
(Gold dan Toyka, 2007).
ETIOLOGI
 MG disebabkan oleh antibodi yang merusak
protein yang ada di taut neuromuscular
membran post sinaps. Antibodi yang merusak
protein AChR dapat dideteksi pada 50% kasus
MG.
PATOFISIOLOGI
1. Antibodi Anti AChR
Mekansime dari antibodi Anti AChR menurunkan
reseptor asetilkolin antara lain (Sathasivam, 2014):
 antibodi anti-AChR mengikat dan mengadakan
ikatan silang yang AChR, mengakibatkan
peningkatan endositosis dan degradasi dari AChR
oleh sel otot;
 anti AChR mengikat komplemen di membran pos
sinaptik, yang menyebabkan lisis fokus dari post
sinaps di taut neuromuskular
 penghancuran protein AchR terkait lainnya, seperti
utrophin, RapSyn
2. Peranan dari sel CD4+
Antibodi Anti AChR memiliki afinitas yang
kuat dengan IgG dan membutuhkan aktivasi
dari sel CD4+ dalam sintesisnya. Sehingga,
dari mekanisme molecular tersebut sudah
dikembangkan pengobatan terbaru dengan
antibodi anti CD4+ dan diketahui memiliki
efek terapeutik yang baik (Trouth et al,
2012).
Gambar 2.1 A. Kondisi Normal Fisiologi pada Taut Neuromuskular B. Miastenia
Gravis
MANIFESTASI KLINIS
 kelemahan otot yang
sifatnya berfluktuasi,
memburuk dengan
aktivitas berulang dan
membaik dengan
istirahat. Kelemahan ini
diperparah oleh paparan
panas, infeksi, dan stres.
 Kelemahan otot okular adalah yang gejala
awal MG, terjadi pada 85% pasien. Hal ini
akan berkembang pada 50% pasien ini dalam
dua tahun menjadi ptosis dan diplopia atau
kadang-kadang penglihatan kabur.
 MG diklasifikasikan menjadi subtype berikut
untuk menentukan prognosis dan respon
terhadap terapi (Trouth et al, 2012):
 Early onset MG: usia saat onset <50 tahun. timus
hiperplasia, biasanya perempuan
 Late onset MG: usia saat onset> 50 tahun. Atrofi
timus, terutama laki-laki
 thymoma terkait MG (10% -15%)
 MG dengan antibodi anti-Musk
 Ocular MG (OMG): gejala hanya mempengaruhi
ekstraokular otot,
 MG tanpa AChR dan Musk yang terdeteksi
Kelas I MG ditandai dengan gejala berikut:
(i) kelemahan otot okular.
(ii) mungkin memiliki kelemahan penutupan mata.
(iii) semua kekuatan otot lainnya normal.
 
Kelas II MG ditandai dengan gejala berikut:
(i) kelemahan mempengaruhi otot ringan selain okular otot,
(ii) mungkin juga memiliki kelemahan ocularmuscle keparahan apapun.
 
Kelas IIa MG ditandai dengan gejala berikut:
(i) terutama mempengaruhi anggota badan, otot aksial, atau keduanya
(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah dari
orofaringeal otot.
 
Kelas IIb MG ditandai dengan gejala berikut:
(i) terutama mempengaruhi orofaringeal, pernafasan otot, atau
keduanya,
(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah atau sama
anggota badan, otot aksial, atau keduanya.
Kelas III MG ditandai dengan gejala berikut:
(i) sedang kelemahan mempengaruhi otot-otot lain selain otot
okular,
(ii) mungkin juga memiliki kelemahan ocularmuscle keparahan
apapun.
 
Kelas IIIa MG ditandai dengan gejala berikut:
(i) terutama mempengaruhi anggota badan, otot aksial, atau
keduanya,
(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah dari
orofaringeal otot.
Kelas IIIb MG ditandai dengan gejala berikut:
(i) terutama mempengaruhi orofaringeal, pernafasan otot, atau
keduanya,
(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah atau
sama anggota badan, otot aksial, atau keduanya.
Kelas IV MG ditandai dengan gejala berikut:
(i) kelemahan mempengaruhi otot-otot yang parah selain okular otot,
(ii) mungkin juga memiliki kelemahan ocularmuscle keparahan apapun.

Kelas IVa MG ditandai dengan gejala berikut:


(i) terutama mempengaruhi anggota badan, otot aksial, atau keduanya,
(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah dari
orofaringeal otot.

Kelas IVb MG ditandai dengan gejala berikut:


(I) terutama mempengaruhi orofaringeal, pernafasan otot atau keduanya,
(ii) mungkin juga memiliki keterlibatan yang lebih rendah atau sama
anggota badan, otot aksial, atau keduanya.

Kelas V MG ditandai dengan berikut:


(I) intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik, kecuali bila digunakan
selama pasca operasi rutin manajemen,
(ii) penggunaan tabung pengisi tanpa intubasi menempatkan pasien di
kelas IVb.
DIAGNOSIS
 Anamnesis
 P.Fisik
 P.Penunjang
a. Uji Tensilon
disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila
tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi
sebanyak 8 mg tensilon secara intravena.
Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus
memperhatikan otot-otot yang lemah seperti
misalnya kelopak mata yang memperlihatkan
adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis
itu akan segera lenyap
b. Repetitive Nerve Stimulation  sensitivitas 60%
c. SFEMG (Single Fiber Electromyography)
d. Tes Serologi
Tes yang dilakukan untuk mengetahui antibody
Anti AChR, Anti-muscle-specific kinase
(MuSK) antibodies dan Antistriated muscle
(anti-SM) antibody
TATA LAKSANA
 Keadaan akut
1. Plasma Exchange
Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama
dan dapat bertahan hingga lebih dari 10
minggu.
2. IVIG
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari
pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1
gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG
 Terapi farmakologi
1. Kortikosteroid
2. Azathioprine
Azathioprine diberikan secara oral dengan
dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.
Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50
mg/hari hingga dosis optimafl tercapai
 Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan
pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper.
Supresi terhadap aktivasi sel T-helper,
menimbulkan efek pada produksi antibodi.
Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5
mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga
dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih
cepat dibandingkan azathioprine.
Cyclosporine dapat menimbulkan efek
samping berupa nefrotoksisitas dan
hipertensi.
 Cyclophosphamide (CPM)CPM adalah suatu
alkilating agent yang berefek pada proliferasi
sel B, dan secara tidak langsung dapat
menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori
CPM memiliki efek langsung terhadap
produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.
PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada MG
adalah krisis, pasien dikatakan mengalami
krisis jika tidak mampu menelan,
membersihkan secret, atau bernapas secara
adekuat. Dua jenis krisis adalah krisis
miastenik dan krisis kolinergik. Krisis
miastenik ketika pasien membutukan lebih
banyak obat antikolinesterase dan krisis
kolinergik terjadi akibat kelebihan obat
antikolinesterase
DAFPUS
Gilhus et al. (2011). “Myasthenia Gravis: A Review of Available
Treatment Approaches”. Hindawi Publishing Corporation
 
Gold,C.S., Toyka,K.V. (2007). “Myasthenia Gravis: Pathogenesis and
Immunotherapy”. Dtsch Arztebl Vol.104 No.7: pp: 420–6 .
Juel,V.C., Massay, J.M. (2008). “Myasthenia gravis”. Orphanet
Journal of Rare Diseases Vol 2 No. 44
Price,S.A., Wilson, L. M. (2009). Bab Gangguan Neurologis dengan
Simptomatologi Generalisata. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Sathasivam, S., (2014).” Diagnosis and management of myasthenia
gravis”. Progress in Neurology and Psychiatry.
 
Trouth et al. (2012). Myasthenia Gravis: A Review. Hindawi Publishing
Corporation
 
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai