Anda di halaman 1dari 57

Laporan Kasus

Depresi Pasca Stroke dengan Gejala Psikotik

Disusun oleh:
Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa
Periode 24 Januari – 9 Februari 2022

Sarah Mareta Azzahra 04084822124155


Nurul Shafira 04084822124042
Wira Veronica 04084822124044
Rofaqo Hakki 04084882023003

Pembimbing:
dr. Abdullah Sahab, Sp.KJ., MARS

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2022

i
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus

Judul
Depresi Pasca Stroke dengan Gejala Psikotik
Oleh:

Sarah Mareta Azzahra 04084822124155


Nurul Shafira 04084822124042
Wira Veronica 04084822124044
Rofaqo Hakki 04084882023003

Telah dinilai dan dinyatakan diterima sebagai salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa RS Ernaldi
Bahar Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang Periode 24 Januari –
9 Februari 2022.

Palembang, Februari 2022


Pembimbing

dr. Abdullah Sahab, Sp.KJ., MARS

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi Allah Yang Maha Suci dan Maha
Tinggi karena atas berkah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus dengan judul “Depresi Pasca Stroke dengan Gejala Psikotik”. Laporan kasus
ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik di Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit
Ernaldi Bahar Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
dr. Abdullah Sahab, Sp.KJ, MARS selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan bimbingan dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan tugas
ilmiah ini, semoga bermanfaat.

Palembang, Februari 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... ii


KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN .................................................................................3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................18
BAB IV ANALISIS KASUS ...........................................................................50
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................52

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Depresi merupakan gangguan mood yang ditandai dengan penderita terlihat


sedih, murung, kehilangan semangat, mengalami distorsi kognitif misalnya
kepercayaan diri yang menurun, adanya perasaan bersalah dan tidak berguna,
pikiran tentang masa depan yang suram, pesimistis, ragu-ragu, gangguan memori,
dan konsentrasi buruk. Pada depresi terdapat juga retardasi psikomotor, lesu, tidak
bertenaga, gangguan tidur, nafsu makan berkurang, dan gairah seksual berkurang 1.

Depresi seringkali dikaitkan dengan penyakit kronik seperti stroke. Depresi


yang berkaitan dengan stroke disebut sebagai depresi pasca stroke1. Umumnya
gejala depresi ini timbul 1- 2 bulan setelah serangan stroke. Apatis, perubahan-
perubahan psikomotor, gangguan kognitif dan gejala neurologis fokal merupakan
gejala yang sering dijumpai pada depresi pasca stroke. Depresi pasca stroke dapat
memperparah kondisi pasien stroke sehingga memperlambat proses pemulihan.
Penderita-penderita stroke yang mengalami depresi berat acapkali kurang responsif
terhadap upaya rehabilitasi, bersifat mudah marah, dan menunjukkan perubahan
perilaku atau kepribadian. Meskipun depresi pasca stroke memperparah kondisi
pasien stroke, tetapi depresi adalah suatu kelainan yang harus dilihat secara terpisah
dari stroke, dan harus ditangani sedini mungkin bahkan ketika penderita sedang
menjalani proses rehabilitasi 2.

Seringkali depresi pasca stroke kurang mendapat perhatian sehingga sering


terjadi miss diagnosis. Para dokter kadang-kadang salah menafsirkan gejala depresi
pada penderita stroke sebagai suatu reaksi yang tak terhindarkan. Padahal diagnosis
dan pengobatan depresi yang tepat akan memberi keuntungan dalam penyembuhan
bahkan mempersingkat proses rehabilitasi kelainan-kelainan yang ditimbulkan
akibat stroke. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian dan beratnya
depresi pasca-stroke adalah lokasi dari lesi di otak, adanya riwayat depresi di dalam
keluarga, dan kondisi kehidupan sosial pra-stroke 3.

1
1
Sebagai dokter perlunya penegaan diagnosis awal depresi pada pasien
stroke dimana jika didapatkan gejala awal setelah stroke seperti kesedihan,
penolakan, reaksi catastrophic setelah stroke. Reaksi - reaksi diatas merupakan
gejala awal terjadinya depresi atau kecemasan. Ditemukannya juga faktor resiko
seperti isolasi sosial, pemikiran negatif, disabilitas yang berat, dan riwayat psikiatri
sebelumnya perlu dicurigai sebagai depresi pasca stroke 4. Dalam penangannya
seorang dokter harus melihat depresi dan stroke sebagai hal yang terpisah dan
ditangani sedini mungkin.

2
BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTIFIKASI PASIEN
Nama : Ny. SS
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Cerai Mati
Suku/Bangsa : Sumsel/Indonesia
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Jl. Saung Naga No. 157 RT/ RW 06/01 Kecamatan
Batu Raja, Kabupaten OKU
Datang ke RS : 28 Januari 2022
Cara ke RS : Diantar oleh anak kandung pasien
Tempat Pemeriksaan : Poliklinik Ernaldi Bahar Palembang

B. ANAMNESIS
(Alloanamnesis pada 29 Januari 2022)
Diperoleh dari : Tn. JP
Umur : 20 tahun
Hubungan : Anak Kandung
a. Sebab utama
Pasien diantar ke RS Ernaldi Bahar Palembang karena pasien sudah
meresahkan lingkungan tempat tinggal sekitar.

b. Keluhan utama
Sering sedih dan menangis tanpa sebab.

3
c. Riwayat Perjalanan Penyakit
Menurut anak kandung pasien, sejak 2 tahun yang lalu, pasien
mengalami stroke dengan kelemahan sisi tubuh sebelah kanan dan sudah di
rawat selama 1 bulan di Rumah Sakit Swasta Palembang. Dalam masa
pengobatan, pasien dilakukan fisioterapi hingga pasien bisa berjalan namun
setelah itu pasien tidak pernah kontrol kembali ke Rumah Sakit dikarenakan
pasien tidak mau dan merasa sudah sembuh.
Sejak 1 tahun yang lalu, pasien mengeluhkan mulutnya mengot ke
sebelah kiri dan kesulitan dalam berbicara namun masih mengerti dengan
apa yang dibicarakan. Ibu berkomunikasi lewat isyarat dan mengetik di
handphone. Pasien tidak berobat hanya menggunakan pengobatan
tradisional. Dalam aktivitas sehari-hari, pasien dibantu oleh anak
kandungnya.
Sejak 6 bulan yang lalu, pasien mulai sering merasa sedih dan
menangis tanpa sebab secara tiba-tiba.
Sejak 4 bulan yang lalu, pasien mulai sering teriak, emosi tidak
stabil, mengamuk secara tiba-tiba dan marah-marah hingga memukul
tetangga sekitar tanpa alasan yang jelas.
Sejak 2 bulan yang lalu, pasien sering keluar dari rumah dan
mengambil barang milik tetangga seperti baju, makanan, charger
handphone tetapi saat ditanya pasien menyangkal mengambilnya dan
barang tersebut ada di rumah serta sudah meresahkan tetangga sekitar.
Pasien juga sulit dan jarang tidur dan biasanya terbangun di jam 12 malam
dan setelah itu tidak tidur kembali. Nafsu makan pasien juga menurun dan
makan dengan porsi lebih sedikit.
Sejak 1 bulan yang lalu, pasien sering mengobrol sendiri yang tidak
jelas dan saat ditanya pasien menunjuk ke arah telinganya seperti ada orang
yang berbicara ke dirinya. Rasa ingin bunuh diri disangkal. Pasien
kemudian dibawa pertama kali ke Poli RS Dr. Ernaldi Bahar Palembang
oleh anak kandungnya.

4
d. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat gangguan jiwa : tidak ada
- Riwayat kejang : tidak ada
- Riwayat trauma : tidak ada
- Riwayat pemakaian alkohol : tidak ada
- Riwayat NAPZA : tidak ada
- Riwayat merokok : Ada sejak sebelum menikah,
sekitar usia 22 tahun, 1 hari 1 bungkus, dan sudah berhenti sejak tahun
2019
- Riwayat kencing manis : tidak ada
- Riwayat tekanan darah tinggi : Ada dan tidak pernah
berobat selama ± 8 tahun.
- Riwayat asma : tidak ada
- Riwayat alergi : tidak ada
- Riwayat penyakit berat lain : tidak ada
- Riwayat rawat inap kondisi medik umum: Ada, riwayat stroke tahun
2019.

e. Riwayat Pengobatan
Ada. Pada tahun 2019 berobat di RS Charitas di Palembang karena stroke
dan telah menjalani pengobatan serta fisioterapi.

f. Riwayat Premorbid
- Kehamilan : cukup bulan
- Lahir : normal, di bidan, riwayat trauma tidak ada
- Bayi : imunisasi lengkap, riwayat trauma tidak ada
- Anak-anak : pertumbuhan dan perkembangan normal, memiliki
beberapa teman, riwayat trauma tidak ada
- Remaja : pertumbuhan dan perkembangan normal, jarang keluar
rumah, memiliki beberapa teman, riwayat trauma tidak ada
- Dewasa : jarang keluar rumah, riwayat trauma tidak ada

5
g. Riwayat Keluarga

- Pasien merupakan anak kesebelas dari sebelas bersaudara. Pasien memiliki


empat saudara laki-laki dan enam saudara perempuan.
- Pasien memiliki satu suami dan dua anak. Anak pertama dan kedua laki-
laki.
- Riwayat keluarga yang menggunakan NAPZA tidak ada.
- Riwayat ibu pasien mengalami stroke.
- Riwayat sering berselisih pendapat dengan anggota keluarga tidak ada.

h. Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien adalah SMA.

i. Riwayat Pekerjaan
Pasien sebelumnya bekerja sebagai ibu rumah tangga dan senang
memasak.

6
j. Riwayat Kebiasaan
Pasien jarang bersosialisasi dengan tetangga namun sering berkumpul
dengan teman-temannya.

k. Riwayat Perkawinan
Pasien menikah dengan suami tahun 1994 dan suami meninggal saat anak
kedua berusia 5 bulan serta memiliki dua orang anak laki-laki.

l. Keadaan Sosial Ekonomi


Pasien tinggal di rumah sendri bersama satu anaknya. Pasien saat ini tidak
bekerja. Pasien menggunakan BPJS kelas III. Kesan sosial ekonomi
menengah ke bawah.

Saat di poliklinik, pemeriksa sebagai pengamat. Pasien duduk di atas kursi roda
menggunakan baju kaos berwarna putih, jilbab berwarna kuning dan rok berwarna
kuning namun tampak kurang rapi. Pasien berpenampilan sesuai usia. Pasien
memiliki tingkat kesadaran compos mentis dengan afasia motorik. Wawancara
dilakukan secara alloanamnesis terhadap anak kandungnya yang menggunakan
baju kaos warna hitam dan celana panjang hitam. Wawancara dilakukan dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Observasi dilakukan pada hari Jum’at 28 Januari
2022 pukul 10.00 WIB dan wawancara dilakukan pada hari sabtu, 29 Januari 2022
pukul 15.00 WIB via telepon.

Pemeriksa Keluarga Pasien Interpretasi


(Psikopatologi)
“Selamat Siang mas, “Siang. Iya, boleh” Perkenalan dan
perkenalkan kami dokter informed concent
muda, saya Nurul, disini
ada teman saya Sarah,
Wira, Rofaqo. Kami ingin
bertanya terkait keadaan

7
ibunya,kira-kira mas
bersedia? “
“ini dengan mas “Saya Jerriko, anaknya Menanyakan identitas
siapa? Mas siapanya pasien” keluarga pasien
pasien?”
“Ibu Sri dibawa ke rs “saya bawa ibu saya ke Menunjukkan afek
kenapa ya mas?” RS karena ibu saya sering depresif pada pasien
merasa sedih, sering
nangis dan kelakuannya
mulai meresahkan warga
disekitar tempat tinggal”
“oh baik jadi “kalau sering nangis Menunjukkan afek
karena alasan itu itu sudah sekitar 6 depresif pada pasien
ya mas, sedihnya bulan yang lalu,
kira-kira karena kurang tau juga
apa mas? perilaku penyebabnya apa,
tersebut sudah tapi tiba-tiba
berpa lama?” langsung nangis,
kalau sering
ngambil barang
orang lain baru 2
bulan belakangan
ini ”
“Apa biasanya “biasanya ngambil Perilaku marah-
barang yang di baju orang, dagangan marah, memukul
ambil ibu? Tadi orang, charger tetangga, dan
katanya handphone tapi mengamuk
perilakunya mulai waktu ditanya dia menunjukkan
meresahkan ya tidak mengaku perilaku agresif.
mas, kalau boleh padahal barangnya
tau meresahkan ada dirumah, itu
Perilaku mengambil
seperti apa?” sudah kisaran 2
barang milik orang
bulan yang lalu.
lain dan tidak
Iya mulai mengaku
meresahkan seperti mengambilnya
marah-marah, mukul menunjukkan
orang lain, ngamuk- kleptomania
ngamuk”

8
“Ketika ibunya di “Responnya diam Tidak ada kontak
ajak berbicara, saja, melihat ke arah mata saat pasien
bagaimana lain ga mau lihat ke diajak berbicara.
responnya?” orang yang ngajak
“Kalau ibunya ngomong”
Pasien berkomunikasi
yang ingin bicara “kalau dia mau melalui isyarat
bagaimana?” ngomong ya kadang
cuma ngetik di hp,
kadang jelas kadang
juga ga jelas ngetik
apa, kadang juga
menunjuk-nunjuk
sesuatu yang
diinginkan”
“Bagaimana “kalo saya kerja, ibu Vagabondage (+)
aktivitas ibu di rumah sendiri.
sehari-hari di Tapi, semenjak 2
rumah?” bulan belakangan,
ibu suka keluar dari
rumah jadi saya
kunci aja rumahnya”
“Tidurnya “Kalau sekarang Gangguan tidur
bagaimana mas, tidur tidak ada menunjukkan gejala
apakah sulit masalah, bisa tidur depresi
tidur?” dengan nyenyak, tapi
dulu sering mondar-
mandir malam hari
ga ada tujuan, cuma
jalan-jalan di dalam
rumah”
“Nafsu makannya “makannya sulit, Penurunan nafsu
bagaimana mas?” sekarang kira-kira makan menunjukkan
1/4 porsi dari gejala depresi
makanan biasanya,
tapi suka ngemil
wafer atau roti”
“Apakah ibunya “Ada, ibu saya Halusinasi auditorik
mendengar suara mengobrol sendiri (+)

9
bisik-bisik? Kalau dan memberi isyarat Halusinasi visual (-)
ada mas tau dari seperti ada orang
mana?” yang ngomong
sambil menunjuk ke
arah telinga tapi
Apakah ibunya waktu ditanya dengar
merasa ada melihat suara apa, dia tidak
sesuatu yang memberi tahu. Kalau
sebenarnya tidak seperti melihat
ada?
sesuatu kayaknya ga
ada”

“Apakah pernah “Tidak ada” Ide bunuh diri (-)


ada usaha-usaha
untuk menyakiti
diri sendiri atau
pernah ngomong
mau bunuh diri?”
“Kegiatan sehari- “Kegiatan sehari- ADL pasien dibantu
hari ibu bagaimana harinya saya yang oleh anak kandung
mas? Siapa yang bantu, karena di pasien
membantu?” rumah kami cuma
tinggal berdua,
sedangkan ibu saya
stroke dari tahun
2019 jadi susah
aktivitas”
“Jadi ada stroke ya “2019 di rawat di RS Riwayat stroke tiga
mas di 2019 Charitas kurang lebih tahun yang lalu
kemarin, itu d sebulan, kemudian di
rawat di rumah fisioterapi, mulai
sakit mana mas? bisa jalan tapi setelah
Berapa lama dari situ belum
dirawatnya?” pernah kontrol lagi
karna ibu tidak mau
dan sudah merasa
sembuh, tahun 2020
mulut ibu mengot ke
sebelah kiri dan sulit

10
berbicara lama-lama
keadaannya semakin
memburuk tapi tidak
berobat hanya
pengobatan
tradisional aja”
“Kelemahannya di “Sisi tubuh sebelah Letak lesi di hemisfer
sisi tubuh sebelah kanan yang lemah” kiri
mana mas?’
“Pekerjaan Ibu “Ibu rumah tangga Riwayat merokok
dulu apa mas? dan suka memasak, meningkatkan risiko
Kebiasaannya dulu dulu waktu sebelum untuk mengalami
biasanya menikah emang stroke
ngapain?” suka ngerokok,
sehari kira-kira
sebungkus rokok.”
“Di keluarga ada “Cuma ada stroke, Riwayat keluarga
juga yang nenek saya dari meningkatkan risiko
mengalami bagian ayah dan ibu untuk mengalami
keluhan serupa?” saya” stroke

“Kalau penyakit “Ada, darah tinggi Riwayat darah tinggi


yang lain sekitar 8 tahun yang dan tidak pernah
bagaimana mas, lalu berobat di bidan minum obat
apakah ada tapi ga pernah meningkatkan risiko
penyakit tertentu minum obat karena untuk mengalami
seperti darah tinggi ibu saya ga mau stroke
atau kencing minum obat”
manis?”

C. PEMERIKSAAN
A. STATUS INTERNUS
1) Keadaan Umum
Sensorium : Compos Mentis
Frekuensi Nadi : 84 x/menit
Tekanan Darah : 141/108 mmHg
Suhu : 36,4 ⁰C

11
Frekuensi Napas : 20 x/menit
BB : 57 kg
TB : 160 cm
Status Gizi : Normoweight

B. STATUS NEUROLOGIKUS
1) Gejala Rangsang Meningeal : Tidak ada kelainan
2) Mata (Nervus III/IV/VI)
Gerakan : Baik ke segala arah
Persepsi Mata : Baik, diplopia tidak ada, visus normal
Pupil : bentuk bulat, sentral, isokor, Ø 3 mm/3mm
Refleks Cahaya : +/+
Refleks Kornea : +/+
Pemeriksaan Oftalmoskopi : Tidak dilakukan
3) Nervus VII: plica nasolabialis kanan datar, sudut mulut kanan tertinggal
4) Motorik
Lengan Tungkai
Fungsi Kanan Kiri Kanan Kiri
Motorik
Gerakan Kurang Cukup Kurang Cukup
Kekuatan 2 5 2 5
Tonus Hipotoni Eutonia Hipotonia Eutonia
Klonus - -
Refleks Meningkat Normal Meningkat Normal
Fisiologis
Refleks - - Babinski (+) -
Patologis Chadok (+)

5) Sensibilitas : Belum dapat dinilai


6) Kelainan Khusus : Afasia motorik

12
C. STATUS PSIKIATRIKUS
Pemeriksaan tanggal 28 Januari 2022.

KEADAAN UMUM
a. Sensorium : Compos Mentis
b. Perhatian : Adekuat
c. Sikap : Kooperatif
d. Inisiatif : Baik
e. Tingkah Laku Motorik : Normoaktif
f. Ekspresi Fasial : Wajar
g. Verbalisasi : Tidak jelas
h. Cara Bicara : Afasia motorik
i. Kontak Fisik : Tidak ada
j. Kontak Mata : Ada
k. Kontak Verbal : Ada

KEADAAN KHUSUS
a. Keadaan Afektif
Afek : Depresi
Mood : Murung/sedih

b. Hidup Emosi

Stabilitas : Stabil

Dalam-Dangkal : Normal

Pengendalian : Terkendali

Adequacy : Adekuat

Echt-Unecht : echt

Skala Diferensiasi : Normal

Einfuhlung : Sukar dirabarasakan

13
Arus Emosi : Normal

c. Keadaan dan Fungsi Intelektual

Daya Ingat : Baik

Daya Konsentrasi : Baik

Orientasi Orang/Waktu/Tempat : Baik

Luas Pengetahuan Umum : Baik

Discriminative Judgement : Tidak terganggu

Discriminative Insight : Tidak terganggu

Dugaan Taraf Intelegensi : Dalam batas rata-rata

Kemunduran Intelektual : Tidak Ada

Kelainan Sensasi dan Persepsi Ilusi : Tidak ada

Halusinasi : Ada (halusinansi auditorik)


KEADAAN PROSES BERPIKIR
a. Psikomotilitas : Cukup
b. Mutu : Cukup
c. Arus pikiran
Flight of Ideas : Tidak dapat dinilai
Inkoherensi : Tidak dapat dinilai
Sirkumstansial : Tidak dapat dinilai
Tangensial : Tidak dapat dinilai
Terhalang (Blocking) : Tidak dapat dinilai
Terhambat (Inhibition) : Tidak dapat dinilai
Perseverasi : Tidak dapat dinilai
Verbigerasi : Tidak dapat dinilai

d. Isi Pikiran
Waham : Tidak dapat dinilai

14
Pola Sentral : Tidak dapat dinilai
Fobia : Tidak dapat dinilai
Konfabulasi : Tidak dapat dinilai
Perasaan Inferior : Tidak dapat dinilai
Rasa Permusuhan : Tidak dapat dinilai
Hipokondria : Tidak dapat dinilai
Ide Bunuh Diri : Tidak dapat dinilai
Ide Melukai Diri : Tidak dapat dinilai

e. Pemilikan Pikiran
Obsesi : Tidak dapat dinilai
Aliensi : Tidak dapat dinilai

f. Bentuk Pikiran
Autistik/Dereistik : Tidak dapat dinilai
Simbolik : Tidak dapat dinilai
Paralogik : Tidak dapat dinilai
Simetrik : Tidak dapat dinilai
Konkritisasi : Tidak dapat dinilai
Lain-lain : Tidak dapat dinilai

g. Keadaan Dorongan Instinktual dan Perbuatan


Hipobulia : Ada
Vagabondage : Tidak ada
Stupor : Tidak ada
Pyromania : Tidak ada
Raptus/Impulsivitas : Tidak ada
Mannerisme : Tidak ada
Kegaduhan Umum : Tidak ada
Autisme : Tidak ada
Deviasi Seksual : Tidak ada

15
Logore : Tidak ada
Ekopraksi : Tidak ada
Mutisme : Ada
Ekolalia : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada

h. Kecemasan : Tidak ada


i. Dekorum
Kebersihan : Bersih
Cara Berpakaian : Kurang rapi
Sopan santun : Baik

PEMERIKSAAN LAIN
a. Pemeriksaan radiologi/foto thoraks : tidak dilakukan
b. Pemeriksaan radiologi/ CT scan : tidak dilakukan
c. Pemeriksaan darah rutin : tidak dilakukan
d. Pemeriksaan Narkoba, sampel urin : tidak dilakukan
e. Pemeriksaan LCS : tidak dilakukan
f. Pemeriksaan elektroensefalogram : tidak dilakukan

D. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Aksis I : Depresi pasca stroke dengan gejala psikotik
Aksis II : Tidak ada diagnosis
Aksis III : Stroke
Aksis IV : Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial
Aksis V : GAF Scale 40-31: beberapa disabilitas dalam hubungan dengan
realita & komunikasi, disabilitas berat dalam beberapa fungsi

E. DIAGNOSIS DIFFERENSIAL
- Episodik depresif berat tanpa gejala psikotik
- Skizoafektif tipe depresif

16
F. TERAPI
- Risperidone 2x1 mg
- Fluoxatine 1x10 mg
- Metildopa 1x 0,5 mg
- Neurodex 1x5 mg

G. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 . Depresi Pasca Stroke
3.1.1. Definisi
Menurut PPDGJ-III, depresi merupakan salah satu gangguan mood
yang ditandai dengan gejala utama berupa (1) afek depresif, (2)
kehilangan minat maupun anhedonia, dan (3) kehilangan energi yang
ditandai dengan cepat lelah, dan dengan gejala tambahan lainnya
seperti: konsentrasi atau perhatian yang berkurang, harga diri maupun
kepercayaan diri yang berkurang, rasa bersalah atau rasa tidak berguna,
memiliki pandangan tentang masa depan yang suram serta pesimistis,
gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur
terganggu, dan nafsu makan berkurang.
Depresi pasca stroke merupakan gangguan emosi yang paling sering
dikaitkan dengan stroke5. Depresi pasca stroke juga merupakan
komplikasi yang sering terjadi yang mempengaruhi sekitar sepertiga
dari semua pasien dalam dua tahun pertama setelah stroke. Ini telah
dikaitkan dengan peningkatan kecacatan fungsional, kognitif dan
komunikatif, penurunan kualitas hidup, dan peningkatan kematian 6.

3.1.2. Etiologi
Meskipun penyebab pasti depresi pasca stroke (DPS) belum
diketahui namun sejumlah peneliti menyatakan bahwa lokasi lesi di
otak memegang peranan penting terhadap kejadian DPS5.
a. Lesi korteks dan subkorteks
Dari suatu penelitiam yang dilakukan pada pasien
pascastroke didapatkan bahwa sekitar 44% pasien dengan lesi
dikorteks kiri mengalami depresi sedangkan pada pasien dengan lesi
di subkorteksi kiri 39%. Depresi pada lesi di korteks kanan 11% dan
disubkorteks kanan 14%. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna
mengenai kejadian depresi antara lesi di korteks dengan subkorteks.

18
Perbedaan yang signifikan terdapat antara lesi di hemisfer kiri
dengan lesi di hemisfer kanan yaitu prevalensi depresi lebih tinggi
pada pasien stroke dengan lesi di hemisfer kiri daripada hemisfer
kanan 7.
Bila diliat lebih jauh, pasien dengan lesi korteks frontal kiri
anterior mengalami depresi lebih sering bila dibandingkan dengan
pasien dengan lesi korteks frontal kiri posterior. Dengan perkataan
lain, depresi akan lebih berat bila lesi lebih dekat ke kutub frontal.
Depresi lebih tinggi pada pasien dengan lesi di hemisfer anterior kiri
daripada lesi di hemisfer anterior kanan. Lesi pada korteks frontal
dorsolateral dan lesi ganglia basal kiri menimbulkan depresi mayor
yang frekuensinya lebih sering dan lebih berat dibandingkan dengan
lesi ditempat lain.

b. Lesi sirkulasi serebri media dan posterior


Suatu penelitian yang dilakukan terhadap 37 pasien dengan
lesi sirkulasi serebri posterior dibandingkan dengan 42 pasien
dengan lesi sirkulasi serebri media. Lesi sirkulasi serebri posterior
dibagi lagi menjadi lesi hemisfer temporooksipital dan lesi batang
otak/serebelum. Depresi mayor/minor terjadi pada 48% pasien
dengan lesi sirkulasi serebri media dan 35% pada pasien dengan lesi
batang otak/serebelum. Setelah pemantauan enam bulan, frekuensi
depresi adalah 82% pada pasien dengan lesi sirkulasi serebri media
dan 20% pada sirkulasi serebri posterior. Pada pemantauan 1-2
tahun, frekuensi depresi adalah 68% dan 0%. Perjalanan depresi di
regio batang otak/serebelum lebih pendek. Penemuan ini
menunjukkan bahwa mekanisme depresi akibat lesi di arteri serebri
media berbeda dengan lesi di batang otak/serebelum. Hal ini
disebabkan karena lesi di batang otak biasanya berukuran kecil dan
tidak begitu merusak jaras biogenik amin. Jaras biogenik amin
berperan penting dalam memodulasi emosi.

19
c. Lesi hemisfer kanan
Suatu penelitian yang dilakukan terhadap 54 pasien stroke
(yang diagnosisnya ditegakkan dengan CT-Scan) melaporkan
bahwa 66% dengan depresi mayor. 63% dengan depresi minor
mempunyai lesi di lobus parietal. Lesi pada masa putih (white
matter) di parietal menyebabkan terjadinya depresi lebih tinggi
dibandingkan pasien dengan lesi ditempat lain. Riwayat psikiatrik
dalam keluarga pasien dengan lesi hemisfer kanan yang menderita
depresi, lebih tinggi secara signifikan bila dibandingkan dengan
pasien dengan lesi di hemisfer kanan yang tidak depresi 8.
Selain letak lesi di otak, beberapa peneliti berpendapat
bahwa kortisol memegang peran penting dalam terjadinya depresi
pasca stroke. Astrom dan kawan-kawan mengatakan pada pasien
stroke didapatkannya peningkatan level kortisol dalam 3 bulan
pertama, dimana yang kita ketahui kortisol berperan dalam atensi,
memori, persepsi, ekspresi diri. Level yang abnormal dari kortisol
juga ditemukan pada pasien depresi pada umumnya 9.

3.1.3. Epidemiologi
Gangguan depresi sering ditemui dengan prevalensi selama
kehidupan pada perempuan 10%-25% dan pada laki-laki 5%-12%.
Pada stroke, gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang
paling sering ditemukan. Sekitar 15-25% pasien stroke yang ada
dalam komunitas menderita depresi sedangkan pasien dengan stroke
yang sedang dirawat di Rumah Sakit, sekitar 30-40% menderita
depresi. Gangguan depresi dapat menurunkan kualitas hidup
penderitanya. Ia dapat pula mencetuskan, memperlambat
penyembuhan atau memperberat penyakit fisik. Selain itu, depresi
dapat pula meningkatkan beban ekonomi 5.
Sekitar 26% pasien pasca stroke menderita depresi mayor dan
20% depresi tipe distimik. Sekitar 4-50% pasien dapat menjadi

20
depresi dalam beberapa bulan pertama setelah stroke. Sebuah
penelitian prospektif (dua tahun) yang dilakukan terhadap pasien
stroke melaporkan bahwa sebanyak 26% pasien mengalami depresi
mayor dan 20% depresi minor ketika di rumah sakit. Pasien yang
mengalami depresi mayor ketika di dalam rumah sakit, setelah satu
atau dua tahun mengalami kesembuhan sempurna. Sekitar 30% yang
tidak mengalami depresi selama perawatan di rumah sakit menjadi
depresi setelah dua tahun pascastroke 5.
Sejak penelitian sistematis pertama, depresi (mayor dan minor)
telah dianggap sebagai gangguan neuropsikiatri yang paling umum
setelah stroke, dengan perkiraan prevalensi mulai dari 18 hingga
60%. Prevalensi DPS di antara pasien rawat inap pada fase akut
adalah 22% untuk depresi mayor dan 17% untuk depresi minor.
Dalam sampel rawat jalan (dari 3 bulan hingga 10 tahun setelah
stroke), sekitar 23% untuk depresi mayor dan 35% untuk depresi
minor, sedangkan sampel komunitas menunjukkan tingkat
prevalensi rata-rata masing-masing 13% dan 10%. Sebuah meta-
analisis baru-baru ini menunjukkan bahwa prevalensi depresi setiap
saat setelah stroke adalah 29% 10.

3.1.4. Faktor Risiko


Meskipun pasien dengan lesi anterior kiri dan posterior kanan
berhubungan dengan depresi pasca stroke, tidak semua pasien
dengan lesi ini menjadi depresi. Pasien depresi lebih sering
mempunyai riwayat keluarga atau pribadi menderita depresi
dibandingan dengan pasien nondepresi. Dengan perkataan lain,
lokasi lesi bukanlah faktor tunggal dalam terjadinya DPS. Adanya
atropi subkorteks, riwayat keluarga mengalami depresi yang terjadi
sebelum stroke merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya
11
depresi pasca stroke . Ditemukan juga faktor resiko lain seperti
isolasi sosial, pemikiran negatif, disabilitas yang berat, dan riwayat

21
psikiatri sebelumnya yang bisa ditemukan pada pasien depresi pasca
stroke.
Pasien dengan lesi hemisfer kanan yang berkembang menjadi
depresi mayor setelah stroke mempunyai riwayat keluarga
menderita gangguan psikiatrik yang lebih tinggi dibandingkan
dengan yang tidak depresi. Hal ini menunjukkan bahwa faktor
genetik juga ikut berperan dalam terjadinya depresi pasca stroke 8.

3.1.5. Patofisiologi
Hubungan depresi pascastroke dengan hendaya (impairment) fisik

Dari penelitian yang menggunakan instrument ADL (Activity Daily


Living) penderita pasca stroke melaporkan bahwa ada hubungan antara
depresi dengan impermen fisik atau impermen fungsi sehari-hari. Impermen
fungsi dapat menimbulkan depresi dan depresi dapat pula mempengaruhi
beratnya impermen fungsi sehari-hari. Depresi berpengaruh terhadap
penyembuhan yaitu memperlambat penyembuhan fisik 5.

Hubungan depresi dan hendaya kognitif

Pasien stroke dengan depresi mengalami defisit intelektual. Dengan


mengobati depresi, deficit intelektualnya membaik. Impermen kognitif
(penurunan skor Mini Mental State Examination (MMSE), lebih berat pada
pasien dengan lesi hemisfer kiri yang mengalami depresi mayor daripada
pasien dengan lesi yang sama tetapi tidak mengalami depresi. Sedangkan
pada pasien dengan lesi hemisfer kanan tidak terlihat adanya perbedaan
penurunan fungsi kognitif antara kelompok yang depresi dengan non-
depresi5.

Hubungan depresi dan afasia

Sekitar 53% pasien afasia mengalami depresi. Penemuan ini hampir


sama dengan pasien frekuensi depresi mayor atau minor di antara pasien
stroke non-afasia. Frekuensi depresi lebih tinggi pada pasien afasia motorik

22
daripada afasia global (71%:44&). Peneliti lain juga melaporkan bahwa
depresi pada pasien afasia motorik lebih tinggi daripada global (63%:16%).
Tingginya frekuensi depresi pada pasien afasia motorik disebabkan oleh
tingginya kesadaran mereka akan impermen. Selain itu, lesi yang
menimbulkan afasia motorik juga menimbulkan depresi. Diagnosis dapat
dibuat berdasarkan perilaku yang dapat diobservasi seperti kurang tidur,
menolak makan, gelisah, agitasi, atau retardasi5.

Mekanisme terjadinya depresi pasca stroke

Penyebab pasti belum diketahui. Ada dugaan DPS disebabkan oleh


disfungsi biogenic amin. Badan sel serotoninergic dan noradrenergic
terletak di batang otak dan ia mengirim proyeksinya melalui bundle
forebrain media ke korteks frontal. Lesi yang mengganggu korteks
prefrontal atau ganglia basalis dapat merusak serabut-serabut ini. Ada
dugaan bahwa DPS disebabkan oleh deplesi serotonin dan norepinefrin
akibat lesi frontal dan ganglia basalis. Respon biokimia terhadap lesi
iskemik bersifat lateralisasi. Lesi hemisfer kiri menyebabkan penurunan
biogenikamin tanpa adanya kompensasi peninggian regulasi serotonin.
Akibatnya, gejala depresi dapat muncul. Sebaliknya, lesi pada hemisfer
kanan menyebabkan peninggian regulasi serotonin (karena mekanisme
kompensasi) yang bersifat protector terhadap depresi5.

Terdapat beberapa hipotesis patofisiologi DPS sebagai berikut:

Hipotesis Lokasi Lesi

Robinson, dkk. melaporkan stroke hemisfer kiri khususnya di regio


frontal kiri dan basal ganglia secara signifi kan berhubungan dengan
depresi. Tetapi beberapa studi lain menemukan hubungan lesi hemisfer
kanan dengan DPS dan penelitian lain tidak menemukan hubungan antara
lokasi lesi dan risiko DPS. Lesi frontal kiri dan basal ganglia kiri merupakan
tipe lesi tersering pada pasien depresi mayor.

23
Hipotesis Ukuran Infark

Ukuran infark berhubungan dengan timbulnya dan beratnya DPS.


Infark luas menyebabkan kerusakan berat pada area yang memodulasi
perilaku emosional dan perubahan biokimia. Defisit neurologi berat akibat
infark luas dapat menjadi faktor psikologis sosial yang berhubungan dengan
patogenesis DPS. Studi DPS di Cina menunjukkan volume infark akut lebih
besar pada grup DPS dibandingkan kontrol (p=0,029), dan Nys, dkk.
melaporkan DPS awal secara signifikan berhubungan dengan ukuran lesi
(p=0,008).

Hipotesis Depresi Vaskuler

Berdasarkan hipotesis ini, lesi silent yang mengganggu jalur kortiko-


striato-pallido-talamo-kortikal menimbulkan gejala depresif. Brodaty dan
Santos menyatakan DPS berhubungan dengan akumulasi patologi vaskuler
otak atau lesi pada area kritis ini. Hipertensi rentan menimbulkan kelainan
neurodegeneratif melalui mekanisme stres oksidatif dan menimbulkan
gejala depresi melalui perubahan struktur limbik yang diketahui mengatur
emosi dan perilaku. Pada pasien hipertensi terjadi perubahan dinding
pembuluh darah dan gangguan vasodilatasi yang dimediasi oleh endotelium
akibat terbentuknya kolagen sehingga menyebabkan berkurangnya distensi
pembuluh darah, mengakibatkan berkurangnya Cerebral Blood Flow (CBF)
dan reaktivitas serebrovaskuler. Perubahan abnormal CBF regional pada
pasien hipertensi terjadi pada regio subkortikal otak, yaitu struktur limbik
dan paralimbik.

Hipotesis Neurotransmiter

Perilaku emosional diatur oleh neurotransmiter seperti monoamin,


dan disfungsi monoamin dapat menimbulkan berbagai gejala psikiatri
termasuk depresi. Hipotesis ini menjelaskan hipotesis lokasi lesi pada
patogenesis DPS. Lesi serebral menyebabkan terputusnya proyeksi
ascending dari midbrain dan batang otak, melewati talamus dan basal

24
ganglia dan mencapai korteks frontal, menyebabkan penurunan
bioavailabilitas biogenik amin termasuk serotonin (5-HT), dopamin (DA)
dan norepinefrin (NE) sehingga menimbulkan gejala depresi. Gao, dkk.
mengamati penurunan konsentrasi serotonin plasma dan liquor
cerebrospinal (LCS) pada pasien DPS. Winter, dkk. menemukan bahwa lesi
neuron dopaminergik pada substansia nigra pars kompakta dan area
tegmentum ventral tikus memperberat gejala perilaku seperti depresi. Selain
itu kadar reseptor 5-HT dan messenger ribonucleotide acid (mRNA)
hipokampus pada model tikus dengan DPS lebih rendah (Wang, dkk.).

Hipotesis neurotransmiter dan sitokin merupakan 2 teori biologi


utama DPS. Menurut Robinson dan Bloom (1977), lesi iskemik yang
mengganggu akson asending mengandung biogenik amin dari batang otak
ke korteks serebri menyebabkan penurunan ketersediaan biogenik amin di
struktur limbik lobus frontal dan temporal serta basal ganglia. Teori
monoamin menyatakan bahwa depresi berhubungan dengan kadar
monoamine yang rendah, khususnya 5-HT, NE dan dopamin serta densitas
tinggi reseptor global untuk monoamin oksidase (MAO-A) yang
memetabolisme neurotransmiter ini. Serabut serotonergik dan
noradrenergik yang berasal dari nuklei batang otak dan menginervasi sistem
limbik, korteks prefrontal dan struktur lainnya berhubungan dengan regulasi
mood. Sistem kolinergik melalui reseptor asetilkolin nikotinik, diperkirakan
terlibat pada etiologi depresi mayor. Perubahan sistem dopaminergik
mesolimbik menimbulkan anhedonia. Seluruh jalur ini bisa terputus oleh
lesi stroke sehingga menimbulkan depresi.

Hipotesis Disfungsi Imun

Depresi terbukti berhubungan dengan peningkatan respons


inflamasi seperti level interferon gamma (IFN γ), interleukin -1 beta (IL-
1β), tumor necrotizing factor alfa (TNF-α), interleukin (IL)-6, IL-1 dan
penurunan IL-10. Kerusakan jaringan dan kematian sel merupakan
jembatan antara inflamasi dan DPS. Pada model hewan depresi, terjadi

25
peningkatan sitokin proinfl amasi seperti IL-1β dan TNF-α di hipokampus
dan striatum yang merupakan area kritis kelainan mood, dan dapat
meningkatkan ukuran infark serta pembentukan edema. Sitokin inflamasi
berperan penting pada pengaturan kematian sel, termasuk apoptosis dan
nekrosis, khususnya pada area rentan seperti hipokampus. Meningkatnya
kematian sel akibat perluasan infark serebri berhubungan langsung dengan
gejala depresi. Studi pada hewan depresi menunjukkan peningkatan
apoptosis pada hipokampus dan amigdala. IL-1, IL-6 dapat mengganggu
sistem metabolisme glutamat dan meningkatkan neurotoksisitas. Sitokin
proinflamasi mempengaruhi sintesis dan metabolisme neurotransmiter
monoamine.

Hipotesis Aktivasi Aksis Hipotalamik pituitari-Adrenal (HPA)

Fungsi aksis HPA secara normal adalah untuk merespons stres


lingkungan. Aktivasi aksis HPA setelah stroke berupa peningkatan kadar
glukokortikoid seperti hiperkortisolisme. Beberapa studi menunjukkan
sitokin dapat menginduksi resistensi hiperkortisolisme dan glukokortikoid
melalui inhibisi reseptor glukokortikoid. Glukokortikoid dapat
meningkatkan sitokin IL-1β, IL-6 dan TNF α yang terbukti berhubungan
dengan DPS dan pengaturan fungsinya.

Hipotesis Neurogenesis

Hipotesis ini menerangkan peranan kritis neuron hipokampus dalam


kontrol mood. Studi pada pasien dan hewan depresi menunjukkan
penurunan neurogenesis dan volume hipokampus. Hipokampus sangat
rentan terhadap sitokin, yang dapat mengurangi neurogenesis hipokampus,
sedangkan plastisitas dan pengaturan neurogenesis penting untuk kontrol
mood. Kadar Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF) yang rendah
menyebabkan penurunan neurogenesis pada hipokampus sehingga
menimbulkan DPS. Antidepresan dapat meningkatkan neurogenesis pada
hipokampus12.

26
3.1.6. Klasifikasi
Klasifikasi Depresi menurut DSM-V yaitu5 :

a. Gangguan Regulasi Mood


b. Gangguan Depresi Mayor
c. Gangguan Depresi Persisten (Distimia)
d. Gangguan Disforia Pramenstruasi
e. Gangguan Depresi akibat obat-obatan/zat
f. Gangguan Depresi akibat kondisi medis lainnya
g. Gangguan Depresi tertentu lainnya
h. Gangguan Depresi yang tidak tergolongkan

Klasifikasi Depresi menurut DSM-IV yaitu :

a. Gangguan Depresi Mayor – unipolar dan bipolar


b. Gangguan Mood spesifik lainnya
- Gangguan distimik – depresi minor
- Gangguan siklotimik – depresi dan hipomanik saat ini atau baru
saja berlalu (secara terus menerus selama 2 tahun)
- Gangguan depresi atipik
- Depresi post partum
- Depresi menurut musim
c. Gangguan depresi akibat kondisi medik umum dan gangguan
depresi akibat zat
d. Gangguan penyesuaian dengan mood depresi; depresi
disebabkan oleh stressor psikososial.

3.1.7. Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda depresi5:
1. Gambaran emosi
- Mood depresi, sedih atau murung
- Iritabilitas, ansietas
- Ikatan emosi berkurang

27
- Menarik diri dari hubungan interpersonal
- Preokupasi dengan kematian
- Ide-ide bunuh diri atau bunuh diri
2. Gambaran kognitif
- Mengetik diri-sendiri, merasa tak berharga, merasa bersalah
- Merasa pesimis, tak ada harapan, putus asa
- Bingung, konsentrasi buruk
- Tak pasti dan ragu-ragu
- Berbagi obsesi
- Keluhan somatic
- Gangguan memori
- Ide-ide mirip waham
3. Gangguan vegetative
- Lesu dan tak ada tenaga
- Tak bisa tidur atau banyak tidur
- Tak mau makan atau banyak makan
- Penurunan berat badan atau penambahan berat badan
- Libido terganggu
- Variasi diurnal
4. Psikomotor
- Retardasi psikomotor
- Agitasi psikomotor
5. Tanda-tanda depresi:
- Tidak atau lambat bergerak
- Wajah sedih dan selalu berlinang air mata
- Kulit dan mulut kering
- Konstipasi
Gejala klinis DPS berupa perubahan mood depresi, apatis,
penurunan berat badan, perubahan tidur, kelelahan,
berkurangnya rasa berguna dan anhedonia. Ada juga yang
membagi gejala DPS menjadi dua, yaitu gejala somatik dan

28
gejala psikologi. Gejala somatik seperti berkurangnya nafsu
makan, kelelahan, melambatnya psikomotor, sedangkan gejala
psikologi berupa mood yang depresi 12.

3.1.8. Diagnosis Banding


Batasan klinis diagnosis sulit ditentukan secara operasional.
Membedakan diagnosis dengan skizoafektif tipe depresif juga sulit3.

3.1.9. Algoritma Penegakkan Diagnosis


Kriteria diagnosis depresi menurut PPDGJ III13:

a. Gejala Utama (pada derajat ringan, sedang dan berat):


- Afek depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan
mudah lelah (rasa lelah yang nyata setelah kerja sedikit saja) dan
menurunnya aktivitas.
b. Gejala lainnya:
- Konsentrasi dan perhatian berkurang
- Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
- Gagasan tentang rasa bersalah dan berguna
- Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
- Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
- Tidur terganggu
- Nafsu makan berkurang

- Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut


diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan
diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika
gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.

29
Depresi berat tanpa gejala psikotik

- Semua 3 gejala utama depresi harus ada


- Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan
beberapa diantaranya harus berintensitas berat.
- Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi
psikomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau
atau tidak mampu untuk melaporkan gejalanya secara rinci.
Dalam hal demikan penilaian secara menyeluruh terhadap
episode depresi berat masih dapat dibenarkan.
- Episode depresi biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya
2 minggu, kaan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sanagt
cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis
dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.
- Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan
sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga kecuali pada taraf
yang sangat terbatas.

Depresi berat dengan gejala psikotik


- Episode depresi berat yang memenuhi kriteria depresi berat tanpa
gejala psikotik
- Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging busuk.
Retardasi yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan,
waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak
serasi dengan afek (mood congruent)

30
Kriteria diagnosis gangguan depresi berat5.

a. Pasien mengalami mood terdepresi (sebagai contoh, sedih atau


perasaan kosong) atau kehilangan minat atau kesenangan
sepanjang waktu selama 2 minggu atau lebih ditambah 4 atau
lebih gejala-gejala berikut ini.

Tidur. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari


Minat Menurunnya minat atau kesenangan hampir pada semua
hampir sepanjang kegiatan waktu
Rasa bersalah. Perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak
sesuai atau rasa tidak berharga hampir sepanjang waktu
Energi. Kehilangan energi atau letih hampir sepanjang waktu
Konsentrasi. Menurunnya kemampuan untuk berpikir atau
konsentrasi; sulit membuat keputusan hampir sepanjang waktu
Selera makan. Dapat menurun atau meningkat
Psikomotor. Dalam pengamatan ditemukan agitasi / retardasi
Bunuh diri. Timbul pikiran berulang tentang mati / ingin bunuh
diri

b. Gejalanya tidak memenuhi untuk kriteria episode campuran


(episode depresi berat dan episode manik)
c. Gejalanya menimbulkan penderitaan atau hendaya sosial,
pekerjaan atau fungsi penting lainnya yang bermakna secara
klinik.
d. Gejalanya bukanlah merupakan efek fisiologi langsung dari zat
sebagai contoh:penyalahgunaan obat, atau medikasi) atau suatu
kondisi medik umum (sebagai contoh: hypotroidisme)
e. Gejalanya tidak lebih baik dibandingkan dengan dukacita,
misalnya, setelah kehilangan seseorang yang dicintai, gejala

31
menetap lebih dari 2 bulan atau ditandai hendaya fungsi yang
jelas, preokupasi rasa ketidakbahagian yang abnormal, ide bunuh
diri, gejala psikotik atau retardasi psikomotor.

Mood incongruent adalah suatu kondisi yang pada saat bersamaan


pada pasien depresi ditemukan adanya delusi dan halusinasi yang
menetap, selain itu juga ditemukan perasaan bersalah, tidak
betharga, kegagalan, penderitaan dan keadaan terminal penyakit
somatik (seperti kanker dan kerusakan otak). Gambarannya
adalah ketidaksesuaian antara isi delusi atau halusinasi dengan
mood depresi. Ketidaksesuiaan isi delusi dengan mood pada
pasien depresi meliputi tema grandiosa tentang kemampuan yang
berlebihan, pengetahuan, dan sesuatu yang betharga - sebagai
contoh, pasien percaya bahwa sesorang tersiksa karena dia adalah
Messiab.

Pikiran. Pandangan negatif terhadap dunia dan dirinya sendiri.


Isi piker mereka seting meliputi rasa kehilangan, rasa bersalah,
pikiran bunuh diri, dan kematian. Sekitar 10 persen dari semua
pasien depresi menunjukkan gejala gangguan pikiran, biasanya
dalam isi pikirnya adalah hambatan dan kemiskinan.

Sensorium dan kognitif. Orientasi.


Kebanyakan pasien depresi tidak terganggu orientasinya baik
orang, tempat, dan waktu, meskipun beberapa dari mereka tidak
mempunyai tenaga atau minat untuk menjawab pertanyaan
tentang subjek tersebut selama wawancara.
Memori. Sekitar 50 sampai 75 persen dari pasien depresi
mempunyai hendaya kognitif, kadang-kadang ditunjukkan
sebagai pseudodementia depresi. Umumnya pasien mengeluhkan
tidak mampu konsentrasi dan gampang lupa.

32
Kontrol impuls. Sekitar 10 sampai 15 persen melakukan bunuh
diri dan sekitar dua pertiganya mempunyai ide untuk bunuh diri.
Pasien dengan cirri psikotik biasanya mempertimbangkan untuk
membunuh orang sebagai manifestasi delusi, walaupun banyak
Ppasien depresi kurang tenaga atau motivasi untuk mengikuti
suara hati untuk melakukan kejahatan. Pasien dengan gangguan
depresi meningkat risiko untuk bunuh diri ketika energi mereka
mulai meningkat dan menjalankan rencana untuk menyelesaikan
bunuh diri. Tidak bijaksana apabila dokter memberikan resep
antidepresan dalam jumlah besar, terutama obat trisiklik, pada
saat pasien keluar dari rumah sakit
Pertimbangan dan tilikan. Menilai sikap dan perilaku pasien
tetkini, selama wawancara. Tilikan pasien depresi terhadap
gangguannya sering berlebihan: mereka terlalu menekankan
gejalanya, gangguannya, dan masalah hidup mereka. Ini
menyulitkan untuk meyakinkan pasien, bahwa perbailan mungkin
terjadi.
Hal dapat dipercaya. Pada wawancara dan perbincangan, pasien
depresi terlalu melebihkan hal buruk dan meminimalkan hal baik.
Kesalahan dokter, sering tidak memercayai penjelasan pasien
depresi yang menyatakan pengobatan dengan antidepresan
sebelumnya tidak berespon. Dianggap pernyataan itu mungkin
salah, dan dibutuhkan sumber lain untuk mendapatkan informasi
tentang hal tersebut.

3.1.10. Pemeriksaan Penunjang


Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis dan prognosis depresi.
Dexamethasone suppression test (DST) menunjukkan hasil positinf
bila tidak terjadi penekanan plasma kortisol 6 – 24 jam setelah
menggunakaan dexamethasone oral.

33
- Peningkatan kortisol serum (30% pasien depresi mengalami
hipertropi adrenal)
- Pemeriksaan MHPG. Dimana terdapat penurunan MHPG (3-
methxy-4-hydroxyphenylene-glycol urin, yaitu suatu hasil
katabolit metanorepinefrin) dan 5 –HIAA cairan serebrospinal
yaitu suatu metabolit serotonin pada penderita depresi.
- Uji stimulasi TSH (TSH turun dan tidak ada respon TSH dan
GH terhadap TRH eksogen, menunjukkan depresi unipolar).
- Rekaman tidur, terdapat gangguan pola tidur : latensi REM
memendek – waktu antara masuk tidur dengan mulai tidur
REM (suatu indikator paling baik); sering terbangun,
terbangun dini hari, penurunan tidur NREM (frekuensi
gerakan bola mata cepat pada tidur REM). Semua ini mungkin
ciri – ciri bagi orang yang rentan untuk depresi.
- Uji tantangan stimulansia (beberapa pasien depresi membaik
untuk sementara bila diberi 10 mg amfetamin).

Uji – uji ini dalam penggunaan klinik rutin sangat sedikit; yang
paling baik dilihat adalah :

a. Penelitian abnormal tidur


b. Abnormal kadar TSH dan respon TRH
c. Bila setelah pengobatan, DST positif, ini merupakan indikator
ukuran hasil terapi yang buruk

Semua uji-uji ini, tidak mempunyai sensitivitas dan spesifikasi


yang cukup baik (terlalu banyak positif palsu dan negative
palsu). Bagaimanapun, keadaan ini dapat menunjukkan bahwa
faktor biologi memegang peranan pada pasien depresi
(lingkungan) juga berperan penting, karena 25% pasien
dengan kondisi medik serius dan yang menderita stress
psikososial yang berat akan menimbulkan depresi mayor.

34
Penelitian dengan PET dan fMRI untuk mengetahui lokasi
gangguan depresi pasca stroke di sistem saraf pusat telah
memberikan pengarahan letak lesi5.

3.1.11. Tata laksana


Penatalaksanaan5.
Penatalaksanaan pasien gangguan mood harus diarahkan
kepada beberapa tujuan. Pertama, keselamatan pasien harus
terjamin. Kedua, kelengkapan evaluasi diagnostic pasien harus
dilaksanakan. Ketiga, rencana terapi bukan hanya untuk
gejala, tetapi kesehatan jiwa pasien kedepan harus
diperhatikan. Walaupun penatalaksanaan farmakoterapi dan
psikoterapi harus dipikirkan pada pasien, peristiwa kehidupan
yang penuh ketegangan dapat meningkatkan angka
kekambuhan. Selanjutnya melalui terapi harus dapat
menurunkan banyaknya stressor berat dalam kehidupan
pasien. Secara keseluruhan, penatalaksanaan gangguan mood
harus diserahkan kepada psikiater. Remisi penuh akan dialami
pasien dalam waktu 4 bulan dengan pengobatan yang adekuat.

Farmakoterapi
Gangguan depresi berat. Penanganan efektif dan
spesifik, seperti obat trisiklik, untuk gangguan depresi berat
telah digunakan selama 40 tahun. Penggunaan secara spesifik
farmakoterapi diperkirakan kemungkinan sembuh dua kali
lipat dalam waktu satu bulan. Meskipun demikian, masih ada
permasalahan dalam penanganan gangguan depresi berat:
Beberapa pasien tidak berespons dengan terapi pertama.
Antidepresan membutuhkan waktu 3 sampai 4 minggu untuk
memberikan efek terapi yang bermakna, meskipun ada yang
menunjukkan efek terapi lebih awal; dan secara relatif, semua
35
antidepresan yang tersedia menjadi toksik pada dosis yang
kelebihan dan menunjukkan efek samping.
Antidepresan lainnya adalah Selective Serotonine
Reuptake Inbibitor (SSRI), seperti fuoxetine, paroxetine
(Paxil), dan Sertraline (Zoloft). Antidepresan golongan lain
misalnya bupropion, venlafaxine, nefazodone (Serzone) dan
mirtazapine (Remeron),menunjukkan secara klinis hasil yang
sama efektif dengan obat terdahulu tetapi lebih aman dan
toleransinya lebih baik.
Prinsip indikasi untuk antidepresi adalah episode
depresi berat. Gejala pertama yang menjadi pegangan adalah
sulit tidur dan gangguan dalam pola makan. Gcejala lainnya
yang dapat timbul adalah mengamuk, cemas, dan rasa putus
asa. Target gejala lainnya termasuk energi memurun, kurang
konsentrasi, tidak berdaya, dan menurunnya libido. Edukasi
pasien yang adekuat tentang kegunaan antidepresan sebagai
hal penting untuk kesuksesan termasuk pemilihan obat dan
dosis yang paling sesuai. Ketika mengenalkan penggunaan
obat kepada pasien, dokter perlu menekankan gangguan
depresi berat adalah kombinasi dari faktor biologi dan
psikologi; kedua-duanya mendapatkan manfaat dengan terapi
pengobatan. Dokter juga harus menekankan kepada pasien
tidak akan menjadi ketergantungan dengan obat antidepresan,
karena obat tidak memberikan kepuasan segera dan dosis obat
akan diturunkan secara perlahan-lahan sesuai dengan evaluasi
gejala.
Pada pemberian antidepresan, obat akan
memperlihatkan efek antidepresan yang optimal dalam 3
sampai 4 minggu. Timbulnya efek samping menunjukkan obat
bekerja, tetapi efek samping yang timbul ini harus dijelaskan
secara detail. Sebagai contoh, beberapa pasien yang meminum

36
antidepresan golongan SSRIs menjadi gelisah, mual dan
muntah sebelum adanya perbaikan gejala. Efek samping
berkurang seiring berjalannya waktu. Dengan obat trisiklik
dan MAOis, dokter akan menjelaskan pada pasien bahwa
gejala yang akan membaik lebih awal adalah adanya perbaikan
tidur dan selera makan, yang diikuti oleh perbaikan pada
perasaan kurang energi, dan terakhir perasaan depresi,
untungnya hal terakhir merupakan gejala terakhir muncul.
Apabila pada 3 minggu setelah pemberian obat antidepresan
pasien belum memperlihatkan perbaikan gejala atau perbaikan
dari 20% maka perlu mengganti antidepresan dengan
antidepresan golongan lainnya. Namun setelah 3-6 minggu
pemberian antidepresan, hanya didapatkan respons parsial,
maka dosis obat harus terus dinaikkan sampai dosis maksimal
atau dengan pemberian augmentasi, misalnya dengan litium,
psikostimulan, yang terbukti pada penelitan mempercepat
perbaikan gejala dalam waktu 1-2 minggu pada 25 persen
pasien.

Alternatif pengobatan.

Electro Convulsive Therapy (ECT) biasanya digunakan jika


pasien tidak berespon terhadap farmakoterapi dengan dosis
yang sudah adekuat atau tidak dapat mentoleransi
farmakoterapi atau pada tampilan klinis yang sangat berat
yang menperlihatkan perbaikan sangat cepat dengan
penggunaan ECT.

Efek samping.

Hal yang paling serius dipikirkan adalah menyebabkan


kematian pada dosis berlebih. Obat trisiklik dan tetrasiklik,

37
merupakan obat antidepresan yang paling sering menyebabkan
kematian.

SSRIs, bupropion, trazodone, nefazodone, mirtazapine,


venlafaxine dan MAOIs bersifat aman, meskipun masing-
masing obat ini dapat menyebabkan kematian jika
dikombinasikan dengan alkohol atau obat lain. Hal lain yang
menarik pethatian dari obat antidepresan adalah keamanan
pada jantung. Obat trisiklik dan tetrasikik secara umum kurang
aman. Hipotensi adalah efek samping yang serius dari banyak
antidepresan, khususnya pada orang tua. Antidepresan
konvensional, amoxapine (Asendin), maprotiline (Ludiomil),
nortriptyline (Aventyl), dan trazodone juga sedikit
menyebabkan hipotensi, demikian pula dengan bupropion dan
SSRIs. Efek samping seksual pada penggunaan antidepresan.
Hampir semua antidepresan kecuali nefazodone dan
mirtazapine, menyebabkan penurunan libido, disfungsiereksi,
atau anorgasmia. Obat serotonergik mungkin yang paling
dekat bethubungannya dengan efek samping seksual
dibanding dengan campuran noradrenergik.

Petunjuk Klinis Umum

Kesalahan klinis tersering berawal dari kegagalan pengobatan


yaitu penggunaan obat antidepresan dosis sangat rendah untuk
waktu yang sangat singkat. Jika pasien tidak memberikan
respon yang sesuai setelah pengobatan selama 2 sampai 3
minggu, dokter dapat memutuskan untuk tes konsentrasi
plasma dari obat jika tes tersedia untuk obat yang digunakan.

Durasi dan Profilaksis

Terapi antidepresan harus dipertahankan setidak-tidaknya 6


bulan atau sesuai lamanya pengobatan pada episode

38
sebelumnya. Beberapa penelitian menunjukan terapi
profilaksis dengan antidepresan efektif mengurangi jumlah
dan keparahan tiap kekambuhan. Satu penelitian
menyimpulkan jika episode depresi terpisah kurang dar 2,5
tahun, terapi profilaksis selama 5 tahun mungkin merupakan
indikasi. Faktor lain memengaruhi terapi profilaksus adalah
tingkat keparahan episode depresi sebelumnya. Episode yang
melibatkan pikiran untuk bunuh diri atau ketidakmampuan
fungsi psikososial merupakan indikasi untuk
mempertimbangkan terapi profilaksis. Terapi profilaksis
selama 5 tahun juga diberikan pada pasien dengan 2 atau lebih
episode depresi dalam 5 tahun, onset episode depresi di atas 50
tahun, dan riwayat sulit untuk di tatalaksana. Jika terapi
antidepresan dihentikan, dosis antidepresan harus di turunkan
secara bertahap di atas 1 atau 2 minggu, tergantung dari waktu
paruh campuran partikel.

Psikoterapi

Psikoterapi diberikan untuk membantu pasien


mengembangkan strategi coping yang lebih baik dalam
mengatasi stressor kehidupan sehari-hari. Banyak penelitian
telah membuktian bahwa psikoterapi merupakan terapi yang
bermakna untuk depresi. Pemberian psikoterapi dan obat lebih
efektif. Terapi gabungan ini lebiih baik hasilnya dari pada
penggunaan obat saja. Pasien juga dapat bertahan lebih lama
menggunakan obat bila ia dalam proses psikoterapi.

Jenis psikoterapi yang diberikan tergantung dengan kondisi


pasien dan preferensi dokternya. Dapat diberikan psikoterapi
suportif atau reedukatif (missal psikoterapi kognitif, atau
terapi perilaku atau terapi kognitif perilaku) atau psikoterapi
rekonstruktif. Perlu diingat pada pemilihan jenis psikoterapi

39
yaitu tentang kondisi pasien bila pasien dalam keadaan depresi
berat terlebih dengan ciri psikotik, yang dapat dilakukan hanya
psikoterapi suportif, itupun jangan langsung dihibur ataupun
diberi nasihat (karena pasien akan bertambah sedih bila tidak
mampu melaksanakan nasihat dokternya). Bila pasien sudah
lebih tenang (tidak dipengaruhi gejala psikotiknya), dapat
dipertimbangkan pemberian psikoterapi kognitif, atau
kognitif-perilaku atau psikoterapi dinamik.

Terapi Keluarga

Terapi keluarga tidak umum digunakan sebagai terapi primer


untuk gangguan depresi berat. Bukti klinis mendapatkan
bahwa terapi keluarga dapat membantu pasien dengan
gangguan mood untuk mengurangi dan menghadapai stress
dan untuk mengurangi adanya kekambuhan. Terapi keluarga
diindikasikan untuk gangguan yang membahayakan
perkawinan pasien atau fungsi keluarga atau jika gangguan
mood didasari atau dapat ditangani oleh situasi keluarga.
Terapi keluarga menguji peran pasien gangguan mood pada
seluruh keluarga, juga menguji peran dari keluarga untuk
menangani gejala pasien. Pasien dengan depresi memiliki
angka yang tinggi untuk oerceraian, dan sekitar 50% pasangan
dilaporkan tidak akan menikah atau punya adank jika mereka
tahu pasien mempunyai gangguan mood.

Terapi Kognitif (TK)

Ada dugaan bahwa penderita depresi adalah orang yang


“belajar menjadi tak berdaya”. Depresi di terapi dengan
memberikan pasien latihan keterampilan dan memberikan
pengalaman-pengalaman tentang kesukisesan. Terapi inin=
bertujuan untuk menghilangkan simtom depresi melalui usaha

40
yang sistematis yaitu merubah cara pikir maladaptive dan
otomatik pada pasien-pasien depresi. Dasar pendekatannya
adalah suatu asumsi bahwa kepercayaan-kepercayaan yang
mengalami distorsi tentang diri sendiri, dunia dan masa depan
dapat mennyebabkan depresi. Pasien harus menyadari cara
berpikirnya yang salah. Kemudian ia harus belajar cara
merespon cara pikir yang salah tersebut dengan cara yang lebih
adaptif. Dari perspektif kognitif, pasien dilatih untuk mengenal
dan menghilangkan pikiran-pikiran negative dan harapan-
0harapan negatif. Cara ini dipraktikkan di luar sesi terapi dan
ini menjadi modal utama dalam merubah gejala.

Terapi ini berlangsung lebih kurang 12-16 sesi. Ada 3 fase


yaitu:

1. Fase awal (sesi 1-4): membentuk hubungan terapeutik


dengan pasien. Mengajarkan pasien tentang bentuk
kognitif yang salah dan pengaruhnya terhadap emosi dan
fisik. Menetukan tujuan terapi. Mengajarkan pasien
untuk mengevaluasi pikiran-pikirannya yang automatis.
2. Fase pertengahan (sesi 5-12): mengubah secara
berangsur-angsur kepercayaan yang salah. Membantu
pasien mengenal akar kepercayaan diri. Pasien diminta
mempraktikan keterampilan berespon terhadap hal-hal
yang depresogenik dan memodifikasinya.
3. Fase akhir (sesi 13-16) menyiapkan pasien untuk
terminasi dan memprediksi situasi berisiko tinggi yang
relevan untuk terjadinya kekambuhan dan
mengkonsolidasikan pemebelajaran melalui tugas-tugas
terapi sendiri.

41
Terapi Perilaku

Intervensi perilaku terutama efektif untuk pasien yang menarik


diri dari sosial dan anhedonia. Terapi ini sering digunakan
bersama-sama dengan terapi kognitif. Tujuan terapi perilaku
adalah meningkatkan aktivitas pasien, mengikutkan pasien
dalam tugas-tugas yang dapat meningkatkan perasaan yang
menyenangkan.

Fase awal pasien diminta untuk memantau aktivitas mereka,


menilai derajat kesulitan aktivitasnya, kepuasan terhadap
aktivitasnya. Pasien ddiminta untuk melakukan sejumlah
aktivitas yang menyenangkan. Latihan keterampilan sosial,
latihan agar menjadi asertif, dapat meningkatkan hubungan
interpersonal dan dapat menurunkan interaksi submisif. Fase
akhir focus berpindah ke latihan mengontrol diri dan
memecahkan masalah. Diharapkan ilmu yang diddapat dalam
terapi dapat digeneralisasi dan dipertahankan dalam
lingkungan pasien sendiri.

Psikoterapi Suportif

Psikoterapi ini hampir selalu diindikasikan. Memberikan


kehangatan, empati, pengertian dan optimisme. Bantu pasien
mengidentifikasi dan megekspresikan emosinya dan bantu
untuk ventilasi. Mengidentifikasi faktor-faktor presipitasi dan
membantu mengoreksi. Bantu memecahkan problem eksternal
(misalnya masalah pekerjaan, rumah tangga). Latih pasien
untuk mengenal tanda-tanda dekompensasi yang akan datang.
Temui pasien sesering mungkin (mula-mula 1 sampai 3 kali
perminggu) dan secara teratur, tetapi jangan sampai tidak
berakhir atau selamanya. Kenalilah bahwa beberapa pasien

42
depresi dapat memprovokasi kemarahan terapis (melalui
kemarahan, hostilitas dan tuntutan yang tak masuk akal)

Psikoterapi Psikodinamik

Dasar terapi ini adalah teori psikodinamik yaitu bahwa


kerentanan psikologik terjadi akibat konflik perkembangan
yang tak selesai, atau terhambatnya masa lalu atau relasi objek
sejak masa dini, atau tidak utuhnya perkembangan self
seseorang. Terapi ini dilakukan dalam periode jangka panjang.
Perhatian pada terapi ini adalah defisit psikologik yang
menyeluruh yang diduga mendasari gangguan depresi.
Misalnya, problem yang berkaitan dengan rasa bersalah, rasa
rendah diri, berkaitan dengan pengalaman yang memalukan,
pengaturan emosi yang buruk, deficit interpersonal akibat tak
adekuatnya hubungan dengan keluarga.

3.1.12. Prognosis
Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan
yang ringan, biasanya cenderung untuk menjadi kronik dan
kambuh. Episode pertama gangguan depresi berat yang
dirawat di rumah sakit sekitar 50 persen angka
kesembuhannya pada tahun pertama. Persentasi pasien untuk
sembuh setelah perawatan berulang berkurang seiring
berjalannya waktu. Banyak pasien yang tidak pulih akan
menderita gangguan distimik 14.
Kekambuhan depresi berat juga sering terjadi, sekitar
25 persen pada 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit,
sekitar 30 sampai 50 persen dalam 2 tahun pertama, dan
sekitar 50 sampai 75 persen dalam periode 5 tahun. Insiden
relaps berkurang pada pasien yang melanjutkan terapi

43
psikofarma profilaksis dan pasien yang hanya mempunyai
satu atau dua episode depresi. Secara umum, semakin sering
pasien mengalami episode depresi, semakin memperburuk
keadaanya 14.
Identifikasi indikator prognosis baik dan buruk pada
depresi berat dapat diuraikan sebagai berikut. Kemungkinan
prognosis baik: episode ringan, tidak ada gejala psikotik,
waktu rawat inap singkat. Indikator psikososial meliputi
mempunyai teman akrab selama masa remaja, fungsi
keluarga stabil, lima tahun sebelum sakit secara umum
fungsi sosial baik. Sebagai tambahan, tidak ada komorbiditas
dengan gangguan psikiatri lain, tidak lebih dari sekali rawat
inap dengan depresi berat, onset awal pada usia lanjut.
Kemungkinan prognosis buruk : depresi berat bersamaan
dengan distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain,
ditemukan gejala cemas, ada riwayat lebih dari sekali
episode depresi sebelumnya14.
Penelitian depresi pasca stroke di rumah sakit
menunjukkan prognosis baik, tetapi pada penelitian
komunitas perbaikan baru terjadi setelah satu tahun;
penelitian lain mengatakan penderita stroke dengan depresi
selama satu tahun akan sulit mengalami perbaikan.
Peningkatan angka kematian pada penderita depresi pasca-
stroke berhubungan dengan ketidakpatuhan pasien dalam
pengobatan strokenya, tidak melakukan upaya promosi
kesehatan untuk mencegah berulangnya stroke dan penyakit
penyerta lain seperti diabetes mellitus 15.

44
3.2 . Gangguan Psikotik akibat Kondisi Medis Umum dan Gangguan
Psikotik akibat Zat
3.2.1 Epidemiologi
Data epidemiologis yang relevan mengenai gangguan psikotik
yang disebabkan kondisi medis umum dan gangguan psikotik akibat
zat tidak ada. Gangguan paling sering ditemukan pada pasien yang
kecanduan alkohol atau zat lain dalam jangka panjang 3.

3.2.2 Etiologi
Keadaan fisik seperti neoplasma serebral, terutama area
oksipital atau temporal dapat menyebabkan halusinasi. Deprivasi
sensorik, seperti pada orang buta atau tuli, dapat juga menyebabkan
pengalaman waham atau halusinasi. Lesi yang mengenai lobus
temporalis dan region serebral lain, terutama hemisfer kanan dan
lobus parietalis, disertai waham3.

3.2.3 Diagnosis
Gangguan Psikotik Akibat Kondisi Medis Umum

Diagnosis gangguan psikotik akibat kondisi medis umum menurut


DSM-IV-TR didefinisikan dengan menentukan gejala yang menonjol. Bila
diagnosis digunakan, kondisi medis, bersama dengan pola gejala yang
dominan, harus dimasukkan dalam diagnosis, misalnya gangguan psikotik
disebabkan oleh tumor otak dengan waham. Kriteria DSM-IV TR
menentukan bahwa gangguan tidqa terjadi secara eksklusif pada saat pasien
dalam keadaan delirium atau demensia dan bahwa gejala tidak disebabkan
keadaan mental lain3.

Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Psikotik Akibat Kondisi Medis


Umum3:

a. Halusinasi atau waham menonjol

45
b. Terdapat tanda dari riwayat, pemeriksaan fisik atau hasil
laboratorium bahwa gangguan tersebut merupakan akibat fisiologi
langsung kondisi medis umum.
c. Gangguan tidak disebabkan gangguan mental lain.
d. Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama perjalanan
delirium.

Kode berdasarkan gejala dominan:

Dengan waham : jika waham adalah gejala yang


menonjol

Dengan halusinasi: jika halusinasi adalah gejala yang


menonjol

Dengan pengodean: Mencakup nama kondisi medis umum


pada Aksis I, misalnya gangguan psikotik akibat neoplasma paru
ganas, dengan waham, juga mengode kondisi medis umum pada
Aksis III.

Catatan pengodean: Jika waham merupakan bagian


demensia vascular, jelaskan waham dengan megode subtype yang
sesuai. Contoh demensia vascular dengan waham

Gangguan Psikotik Akibat Zat

Kategori diagnostik gangguan psikotik akibat zat dalam DSM-IV-


TR diberikan untuk mereka yang mengalami gejala psikotik akibat zat dan
uji realita terganggu. Orang dengan gejala psikotik akibat zat (halusinasi)
tetapi dengan uji realita intak harus digolongkan menderita gangguan
terkait zat (misalnya intoksikasi PCP dengan gangguan persepsi).
Diagnosis penuh gangguan psikotik akibat zat harus meliputi jenis zat yang
terlibat, stadium penggunaan zat harus saat gangguan mulai timbul
(misalnya, selama intoksikasi atau keadaan putus zat), dan fenomena klinis
(misalnya halusinasi atau waham) 3.

46
Tabel Kriteria Diagnostik SM-IV-TR Gangguan Psikotik Akibat Zat3

A. Halusinasi atau waham menonjol. Catatan : jangan memasukan halusinasi


jika orang mempunyai tilikan bahwa keadaan tersebut disebabkan zat.
B. Terdapat tanda dari riwayat, pemeriksaan fisik atau hasil laboratorium :
1) Gejala kriteria A timbul selama, atau dalam satu bulan setelah,
intoksikasi atau keadaan putus zat
2) Pemakaian obat secara etiologi terkait dengan gangguan
C. Gangguan tidak disebabkan gangguan psikotik yang bukan akibat zat.
Tanda bahwa gejala disebabkan gangguan psikotik yang bukan akibat zat
mungkin mencakup : gejala mendahului awitan pemakaian zat (pemakaian
obat); gejala menetap untuk suatu waktu yang substansial (cth., sekitar satu
bulan) setelah penghentian keadaan putus zat akut atau intoksikasi berat,
atau secara substansial melebihi perkiraan efek yang dihasilkan oleh jenis
atau jumlah zat yang digunakan atau lama penggunaan; atau terdapat tanda
lain yang menunjukkan eksistensi suatu gangguan psikotik bukan akibat zat
independen (cth., riwayat episode bukan terkait zat rekuren).
D. Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama terjadi delirium.
Catatan : diagnosis tersebut harus ditegakkan menggantikan diagnosis
intoksikasi zat atau keadaan putus zat hanya bila gejala melebihi yang biasanya
disebabkan sindrom intoksikasi atau keadaan putus zat dan bila gejala cukup berat
sehingga memerlukan perhatian klinis tersendiri.
Kode gangguan psikotik akibat [zat tertentu] :
(Alkohol, dengan waham; alkohol, dengan halusinasi; amfetamin [atau zat seperti
amfetamin], dengan waham; amfetamin [atau zat seperti amfetamin], dengan
halusinasi; kanabis, dengan waham; kanabis, dengan halusinasi; kokain, dengan
waham; kokain, dengan halusinasi; halusinogen, dengan waham; halusinogen,
dengan halusinasi; inhalan, dengan waham; inhalan, dengan halusinasi; opioid,
dengan waham; opioid, dengan halusinasi; fensiklidin, [atau zat seperti
fensiklidin]dengan waham; fensiklidin [atau zat seperti fensiklidin], dengan
halusinasi; sedative, hipnotik, atau ansiolitik, dengan waham; sedative, hipnotik,
atau ansiolitik, dengan halusinasi; zat lain [atau tidak diketahui], dengan waham;
zat lain [atau tidak diketahui], dengan halusinasi)
Tentukan apakah :
Dengan awitan selama intoksikasi : jika kriteria intoksikasi zat terpenuhi dan
gejala timbul selama sindrom intoksikasi.
Dengan awitan selama keadaan putus zat : jika kriteria keadaan putus zat
terpenuhi dan gejala timbul selama, atau segera setelah, sindrom keadaan putus zat

47
3.2.4 Gambaran Klinis
Halusinasi
Halusinasi dapat terjadi pad satu atau lebih modalitas
sensorik. Halusinasi taktil (seperti sensasi dirayapi kutu pada kulit)
khas pada penggunaan kokain. Halusinasi pendengaran biasanya
disebabkan penyalahgunaan zat psikoaktif; halusinasi pendengaran
juga dapat terjadi pada orang yang tuli. Halusinasi penghidu dapat
disebabkan epilepsy lobus temporalis; halusinasi penglihatan dapat
terjadi pada orang yang buta karena katarak. Halusinasi dapat
bersifat baik rekuren maupun persisten dan dialami pada keadaan
sadar penuh dan siaga; pasien yang mengalami halusinasi tidak
memperlihatkan adanya perubahan fungsi kognitif yang signifikan.
Halusinasi penglihatan sering mengambil bentuk gambar yang
melibatkan gambar manusia kerdil atau hewan kecil. Halusinasi
musik yang langka biasanya berupa lagu rohani. Pasien dengan
gangguan psikotik akibat kondisi medik umum dan akibat zat dapat
bertindak berdasarkan halusinasinya. Pada halusinasi akibat alcohol,
suara ancaman, kritis atau menghina dari orang ketiga berbicara
mengenai pasien dan dapat memberitahu mereka agar mencelakakan
diri mereka sendiri atau orang lain. Pasien tersebut berbahaya dan
berisiko signifikan untuk melakukan bunuh diri atau pembunuhan3.
Waham
Waham akibat zat dan waham sekunder biasanya ada dalam
keadaan sadar penuh. Pasien tidak mengalami perubahan tingkat
kesadaran, meskipun gangguan kognitif ringan dapat ditemukan,
pasien tampak bingung, kusut atau eksentrik, dengan bicara
tangensial, atau bahkan inkoheren. Hiperaktivitas dan apatis dapat
timbul, sering disertai mood disforik. Waham dapat sistematis atau
terfragmentasi, dengan isi pikiran bervariasi, tetapi waham kejar
paling sering3.

48
3.2.5 Diagnosis Banding
Gangguan psikotik yang disebabkan kondisi medis umum
dan gangguan psikotik akibat zat harus dibedakan dari delirium,
yaitu pasien mengalami kesadaran berkabut; dari demensia, yaitu
pasien mengalami defisit intelektual mayor; dan dari skizofrenia,
yaitu pasien mempunyai gejala lain berupa gangguan pikiran dan
gangguan fungsi. Gangguan psikotik yang disebabkan kondisi medis
umum dan gangguan psikotik akibat zat harus juga dibedakan dari
gangguan mood psikotik, yaitu gejala afektif lain menonjol3.

3.2.6 Tatalaksana
Pengobatan meliputi identifikasi kondisi medis umum atau
zat tertentu yang menjadi penyebab. Pada titik ini, pengobatan
ditujukan pada keadaan yang mendasari dan kontrol perilaku segera
pasien. Rawat inap mungkin diperlukan untuk megevaluasi pasien
secara lengkap dan memastikan keamanannya. Agen antipsikotik
(misalnya Olanzapine [Zyprexa] dan haloperidol [Haldol]) mungkin
diperlukan untuk pengendalian segera dan jangka pendek terhadap
perilaku psikotik atau agresif, meskipun benzodiazepine juga
berguna untuk mengendalikan agitasi dan ansietas3.

49
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien datang ke RS Dr. Ernaldi Bahar Palembang di bawa oleh
anaknya karena perilaku pasien mengamuk dan sudah meresahkan lingkingan
sekitar. Dilakukan alloanamnesis dengan anak pasien, ditemukan data-data
bahwa sejak 6 bulan yang lalu, pasien mulai sering merasa sedih dan menangis
tanpa sebab secara tiba-tiba, kehilangan minat terhadap hobi yang biasa ia
lakukan yaitu memasak dan pasien juga sering termenung tanpa aktivitas. Anak
pasien juga mengatakan bahwa ibunya seperti kehilangan minat dengan
kehidupannya, nafsu makan berkurang dan sulit tidur. Menurut PPDGJ III
pernyataan-pernyataan di atas merupakan gejala dari depresi.
Sejak 1 bulan yang lalu, pasien sering mengobrol sendiri dan saat
ditanya pasien menunjuk ke arah telinganya seperti ada orang yang berbicara
ke dirinya. Rasa ingin bunuh diri disangkal. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat halusinasi auditorik pada pasien. Pada depresi berat dengan gejala
psikotik biasanya terdapat halusinasi auditorik maupun olfaktorik, biasanya
berupa suara yang menghina atau menuduh, atau pasien seperti mencium bau
kotoran ataupun daging yang busuk13.
Sejak 4 bulan yang lalu, pasien mulai sering teriak, emosi tidak stabil,
mengamuk secara tiba-tiba dan marah-marah hingga memukul tetangga sekitar
tanpa alasan yang jelas. Perilaku tersebut termasuk masalah psikososial yang
terjadi timbul dari respon individu karena perubahan fisik didalam dirinya yang
menjadi pemicu stressor sehingga mengalami ketidakberdayaan dan untuk
menghadapinya cenderung menggunakan mekanisme koping yang
maladaptif16. Pasien juga sering mengabil barang milik tetangga seperti baju,
makanan, charger handphone tetapi saat ditanya pasien menyangkal
mengambilnya dan barang tersebut ada di rumah serta sudah meresahkan
tetangga sekitar menunjukkan perilaku kleptomania.
Sejak 2 tahun yang lalu, pasien mengalami stroke dengan kelemahan
sisi tubuh sebelah kanan dan sudah di rawat selama 1 bulan di Rumah Sakit
Swasta Palembang. Setelah itu pasien mengeluhkan mulutnya yang mengot

50
dan kesulitan dalam berbicara sehingga pasien berkomunikasi lewat isyarat dan
mengetik di handphone. Keluarga pasien mengaku kadang tidak mengerti apa
yang sedang dibicarakan pasien. Sekitar 15-25% pasien dtroke di komunitas
mengalami depresi pasca stroke. Faktor yang telah diidentifikasi dapat
memengaruhi perjalanan alamiah depresi pasca stroke adalah lokasi lesi,
terdapat perbedaan yang signifikan anatara lesi di hemisfer kiri dan hemisfer
kanan, yaitu prevalensi depresi lebih tinggi pada pasien stroke dengan lesi di
hemisfer kiri daripada hemisfer kanan 5. Pasien ini mengalami hemiparesis
dextra sehingga letak lesi yang terjadi berada di hemisfer kiri. Namun
demikian, lokasi bukanlah faktor tunggal dalam mekanisme terjadinya depresi
pasca stroke, adanya atropi subkorteks, riwayat keluarga dan pribadi menderita
depresi yang terjadi sebelum stroke merupakan faktor yang berperan dalam
terjadinya depresi pasca stroke. Penyebab pasti terjadinya depresi pasca stroke
belum diketahui, namun hal ini di duga karena disfungsi biogenic amin. Badan
sel serotoninergik dan noradrenergik terletak di batang otak dan badan sel
tersebut mengirim proyeksi melalui bundle forebrain media ke korteks frontal.
Lesi yang mengganggu korteks prefrontal atau ganglia basalis dapat merusak
serabut-serabut tersebut. Pada depresi pasca stroke terjadi deplesi serotonin dan
noreprinefrin akibat lesi frontal dan ganglia basalis. Respon biokimia terhadap
lesi iskemik bersifat lateralisasi. Lesi pada hemisfer kiri menyebabkan
penurunan pada biogenik amin tanpa diikuti kompensasi meningkatnya
regulasi serotonin, sehingga gejala depresi dapat muncul. Sedangkan lesi pada
hemisfer kanan justru meningkatkan serotonin karena adanya mekanisme
kompensasi yang bersifat protector terhadap depresi5. Hal inilah yang menjadi
penyebab mengapa lesi di hemisfer kiri lebih rentan untuk terjadinya depresi
pasca stroke.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Hasra I, Munayang H, Kandau J. Prevalensi Gangguan Kognitif dan Depresi


pada Pasien Stroke di Irina F Blu RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. e
- Clin. 2014;2(1):1–8.

2. Suwantara J. Depresi Pasca-Stroke : Epidemiologi, Rehabilitasi, dan


Psikoterapi Stroke. J Kedokter Trisakti. 2004;29(1):11–23.

3. Sadock B, Sadock VA. Buku Ajar Psikiatri Klinis Kaplan & Sadock. 2nd ed.
Jakarta: EGC; 2014.

4. Andri MS. Tatalaksana Depresi Pasca-Stroke. Maj Kedokt Indones.


2018;58(1):2–9.

5. Kusumawardhani A, Husin A, Adikusumo A, Damping CE, Brilliantina DM,


Lubis B, et al. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit FK UI; 2017.

6. Ginkel JM de M, Hafsteinsdóttir TB, Lindeman E, Geerlings I. G, E. M,


Diederick Schuurmans, et al. Clinical Manifestation of Depression after
Stroke: Is It Different from Depression in Other Patient Populations? PLoS
One. 2015;10(12):1–12.

7. Signer S, Cummings J, Benson D. Delusion and mood disorder in patient


with chronic aphasia. J Neuropsy Clin Neurosci. 1989;1(1):40–5.

8. Robinson R, Starr L, Kubos K. Mood disorders in stroke patients :


importance of lesion location. Brain. 1989;1(107):81–93.

9. Lyvia S, Chirki B, Szofia S, Bullain MD. The Recognition and Management


of Psychological Reaction to Stroke : A Case Discussion. Prim Care
Companion J Clin Psychiatry. 2006;8(4):1–10.

10. Vinicius Sousa Pietra Pedroso, Leonardo Cruz de Souza ARB, Teixeira AL.
Post stroke depression: clinics, etiopathogenesis and therapeutics. Arch Clin
Psychiatry. 2015;42(1):18–24.

52
11. Jorgensen M, Dam H, Bolwig T. The Efficacy of Psychotherapy in non-
bipolar depression : a review. Acta Psychiatr Scand. 1998;1(98):1–13.

12. Susilawati A, N R, Putera K. Depresi Pasca-Stroke: Diagnosis dan


Tatalaksana. CDK-223. 2014;41(12):901–5.

13. Rusdi M. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-
V. Jakarta: PT. Nuh Jaya; 2013.

14. Kusumawardhani A, Husin A, Adikusumo A, Damping CE, Brilliantina DM,


Lubis B, et al. Buku Ajar Psikiatri. 3rd ed. Elvira SD, Hadisukanto G, editors.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2017. 1–626 p.

15. Susilawati A, N R, Putera K. Depresi Pasca-Stroke : Diagnosis dan


Tatalaksana. CDK J. 2014;14(12):901–5.

16. Nuraliyah S, Burmanajaya B. Mekanisme Koping dan Respon


Ketidakberdayaan pada Pasien Stroke. J Ris Kesehat Poltekkes Depkes
Bandung. 2019;11(1):38–43.

53

Anda mungkin juga menyukai