Anda di halaman 1dari 22

REFARAT

MIASTENIA GRAVIS

Pembimbing :
dr. Helda Juliani Siahaan, M.Ked (Neu), Sp.S
dr. Wilasari Novantina, Sp.N

Disusun oleh :
Oris Sandhy Rizki H. Simangunsong (102121039)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT HJ BUNDA HALIMAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah mencurahkan nikmat
dan karunia-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas refarat ini.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi besar Muhammad
shalallahu ‘alaihiwasallam, yang telah membawa manusia dari zaman jahiliah ke
alam yang penuh ilmu pengetahuan ini.
Alhamdulillah berkat kemudahan yang diberikan Allah subhanahuwata’ala,
penulis dapat menyelesaikan tugas refarat yang berjudul “MIASTENIA
GRAVIS”. Dalam penyusunan referat ini, penulis mendapatkan beberapa
hambatan serta kesulitan, akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak hal
tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
refarat ini, terutama kepada dr. Helda Juliani Siahaan, M.Ked (Neu), Sp.S dan
dr. Wilasari Novantina, Sp.N selaku pembimbing. Semoga segala bantuan yang
penulis terima akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah
subhanahuwata’ala.
Adapun penulisan tugas refarat ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti kegiatan kepaniteraan klinik senior bagian Ilmu Penyakit Saraf di
Rumah Sakit Hj Bunda Halimah.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan masih banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang ditujukan untuk membangun.

Batam, 12 Februari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. LATAR BELAKANG.................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. DEFINISI.....................................................................................................2
B. EPIDEMIOLOGI.........................................................................................2
C. ANATOMI DAN FISIOLOGI NEUROMUSCULAR JUNCTION...........3
D. PATOFISIOLOGI........................................................................................5
E. MANIFESTASI KLINIS.............................................................................7
F. KLASIFIKASI.............................................................................................8
G. DIAGNOSIS................................................................................................8
H. DIAGNOSIS BANDING...........................................................................12
I. PENATALAKSANAAN...........................................................................12
J. KOMPLIKASI...........................................................................................13
K. PROGNOSIS..............................................................................................14
BAB III KESIMPULAN
KESIMPULAN..........................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Miastenia gravis (MG) adalah gangguan autoimun yang paling umum yang
mempengaruhi sambungan neuromuskular. Miastenia gravis sebagian besar
merupakan penyakit yang dapat diobati tetapi dapat mengakibatkan morbiditas
bahkan mortalitas. Ini biasanya dapat dicegah dengan diagnosis tepat waktu dan
pengobatan penyakit yang tepat. Miastenia gravis adalah penyakit heterogen dari
fenotipik dan sudut pandang patogenesis. Spektrum gejala berkisar dari murni
okular bentuk kelemahan parah anggota badan, bulbar dan otot-otot pernapasan.
Usia onset adalah variabel dari masa kanak-kanak hingga dewasa akhir dengan
puncak penyakit pada wanita dewasa muda dan pria yang lebih tua.1
Miastenia Gravis dianggap sebagai contoh klasik penyakit autoimun yang
dimediasi antibodi, bisa juga dipandang sebagai contoh reaksi hipersensitivitas
kelas II, seperti autoantibodi IgG bereaksi dengan antigen intra atau ekstraseluler,
menyebabkan kerusakan organ akhir. Kebanyakan pasien dengan miastenia gravis
memiliki autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChRs) dan minoritas
seropositif untuk antibodi yang diarahkan ke otot-spesifik kinase (MuSK), low-
density protein terkait reseptor lipoprotein 4 (LRP4) atau agrin.1
Antibodi ini juga memberikan dasar untuk mendefinisikan subkelompok
penyakit dan membantu menggambarkan varian fenotipik. Disubkelompok pasien
miastenia gravis, antibodi striasional juga telah diidentifikasi, yang meliputi:
antibodi terhadap titin, reseptor ryanodine, dan subunit alfa dari K+ berpintu
tegangan saluran (Kv1.4). Antibodi ini sebagian besar berfungsi sebagai
biomarker keparahan penyakit dan sering terdeteksi pada pasien dengan miastenia
gravis onset lambat atau dengan timoma dan beberapa di antaranya memiliki
miositis dan/atau miokarditis bersamaan. Meskipun miastenia gravis dimediasi
oleh autoantibodi, subtipe sel T yang berbeda dan sitokin juga memainkan peran
penting dalam patogenesis.1

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Miastenia Gravis adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
kelemahan fluktuatif pada otot-otot ekstra okular, bulbar dan otot-otot proksimal.
Kelemahan otot yang terjadi akan memburuk saat beraktivitas dan membaik
setelah beristirahat. Miastenia gravis disebabkan oleh adanya autoantibodi pada
membran pascasinaps pada taut saraf otot (neuromuscular junction).2
Autoantibodi yang banyak ditemukan pada serum pasien miastenia gravis
adalah antibodi terhadap reseptor asetilkolin. Saat ini diketahui antibodi lain yang
terdapat pada pasien miastenia gravis, yakni muscle-spesific kinase (Musk) dan
low-density lipiprotein receptor-releted protein (LRP4). Walaupun mekanisme
timbulnya autoimun pada mistenia gravis masih belum diketahui secara pasti,
diduga beberapa faktor berperan dalam terjadinya reaksi autoimun tersebut, yakni
jenis kelamin, hormon dan kelenjar timus yang abnolmal pada hampir 80%
penderita miastenia gravis.2
B. EPIDEMIOLOGI
Miastenia gravis termasuk penyakit yang jarang, insidennya hanya sekitar
1,7-21,3 per 1 juta, dapat terjadi disemua usia dan jenis kelamin. Dari beberapa
penelitian diketahui gambaran bimodal berdasarkan jenis kelamin dan usia. Pada
usia dibawah atau sampai usia 50 tahun, lebih banyak terjadi pada perempuan
dengan rasio 7:3, sedangkan pada usia diatas 50 tahun ditemukan laki-laki dengan
rasio 3:2. Prevalensi paling tinggi pada perempuan usia 20-30 tahun sedangkan
laki-laki pada usia 60 tahun.2
Semakin meningkatnya kemampuan diagnosis, terapi dan umur harapan
hidup, prevalensi miastenia gravis semakin meningkat, yaitu 15-179:1 juta dengan
sekitar 10% nya adalah usia anak-anak meningkat sekitar 4,5% bila dalam
keluarga, saudara kandung atau orangtua memiliki riwayat menderita miastenia
gravis atau penyakit autoimum lainnya.2

2
3

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI NEUROMUSCULAR JUNCTION


Akson sel neuron akan berakhir sebagai akson terminal pada otot dan
membentuk motor end plate yang terdiri dari terminal saraf atau membran
presinaps, celah sinaps dan membran pascasinaps. Pada membaran pascasinaps
terdapat beberapa macam protain yaitu, : reseptor asetilkolin, EATL,MuSK,Agrin,
MASC dan yang bekerja satu sama lain melancarkan transmisi sinyal ke reseptor
asetilkolin.2

Saat potensial aksi yang dihantar oleh saraf motorik mencapai terminal saraf
akan timbul depolarisasi yang membuka kanal kalsium di membran presinaps.
Terbukanya kanal kalsium akan mecetuskan pelepasan asetilkolin
(Acetylchollin/Ach) ke celah sinaps dan selanjutnya berikatan dengan reseptor
asetilkolin (Acetychollin/AchR) di membran pasca sinaps. Ikatan antara Ach dan
AChR akan mengakibatkan terbukanya natrium pada sel otot, terjadi influks Na +.
Influks Na+ ini akan menyebabkan depolarisasi pada membrane pasca sinaps.2
Jika depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka
akan terjadi potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan di
propagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan karakteristik sel
eksitabel dan akhirnya megakibatkan kontraksi. Ach yang masih tertempel pada
4

AChR kemudian dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat


dalam jumlah yang cukup banyak pada membrane pascasinaps. ACh akan dipecah
menjadi kolin dan asam laktat. Kolin kemudian masuk kedalam membran
persinaps untuk membentuk ACh kembali. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk
mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan mengakibatkan
kontraksi terus menerus.2
Keberhasilan transmisi impuls pada taut saraf otot tergantung dari :2
 Kepadatan reseptor asetilkolin pada permukaan membran persinaps
 Aktivitas asetilkolinesterase
 Struktur dan jumlah lekukan pada membran persinaps

Kelemahan otot yang terjadi pada MG disebabkan oleh proses


autoimun pada taut saraf otot. Faktor utama dan paling penting dalam
patofisiologi MG adalah terbentuknya autoantibodi terhadap reseptor
asetilkolin (AChR) pada membrane pascasinaps. Terdapat tiga proses yang
menyebabkan gagalnya kontraksi otot akibat proses autoantibodi ini.2

Antibodi yang melekat pada AChR akan mengaktifkan kaskade


komplemen yang membentuk membrane attack complex (MAC) yang
kemudian menghancurkan AChR serta merusak struktur lipatan-lipatan
membrane pascasinaps, sehingga mengurangi luas permukaannya.
Akibatnya asetilkolin yang dapat berikatan dengan AChR pada membrane
pascasinaps menjadi jauh lebih sedikit.2

Antibodi yang berikatan dengan pada dua AChR akan


mengaktifkan proses endomitosis AChR, sehingga terjadi degradasi AChR
pada membran pascasinaps. Degradasi ini lebih cepat daripada
pembentukan AChR baru, sehingga semakin menurunkan jumlah ACh
yang berikatan dengan AChR. Antibodi yang melekat pada AChR akan
memblok ACh, sehingga tidak dapat berikatan dengan AChR. Kompetisi
antara autoantibodi dan ACh untuk dapat berikatan dengan AChR semakin
menurunkan jumlah ACh yang berikatan dengan AChR.2

Pada 85% pasien MG dapat ditemukan antibodi terhadap reseptor


asetilkolin yang dapat menjadi antigen target proses autoantibodi pada
5

MG. terdapat struktur protein lain pada permukaan membrane pascasinaps


yang dapat menjadi target antigen. Perkembangan terbaru menunjukkan
sebagian pasien MG yang tidak mempunyai antibody terhadap reseptor
asetilkolin ternyata memiliki antibody terhadap LRP4 yang merupakan
bagian dari struktur protein agrin.2

D. PATOFISIOLOGI

Mekanisme patofisiologi pada miastenia gravis tergantung pada jenis


antibodi yang ada. Pada n-AChR miastenia gravis, antibodi adalah subtipe
IgG1 dan IgG3. Mereka mengikat reseptor n-ACh yang ada di membran
postsinaptik otot rangka dan mengaktifkan sistem komplemen yang
mengarah ke pembentukan kompleks serangan membran (MAC). MAC
menyebabkan degradasi akhir dari reseptor. Mereka juga dapat bertindak
dengan secara fungsional memblokir pengikatan ACh ke reseptornya atau
dengan meningkatkan endositosis reseptor n-ACh yang terikat antibodi.3

Pada MusK MG dan LPR4 miastenia gravis, antibodi adalah subtipe


IgG4 dan tidak memiliki properti pengaktif komplemen. Mereka mengikat
kompleks protein Agrin-LRP4-MuSK di NMJ, yang fungsi utamanya
adalah pemeliharaan NMJ, termasuk distribusi dan pengelompokan
reseptor n-ACh. Penghambatan kompleks menyebabkan penurunan jumlah
reseptor n-ACh. ACh yang dilepaskan di terminal saraf, pada gilirannya,
tidak dapat menghasilkan potensial postsinaptik yang diperlukan untuk
menghasilkan potensial aksi di otot karena berkurangnya jumlah reseptor
n-ACh yang menyebabkan gejala kelemahan otot. Kelemahan lebih
menonjol dengan penggunaan kelompok otot yang berulang karena
menyebabkan penipisan simpanan ACh di NMJ.3

Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl


Choline Receptor (AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl
Choline(ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat
mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan
reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan
mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh
6

impuls tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada


pasien.4

Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses


auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang
dapat memblok AChR dan merusak membran post-synaptic.
Etipatogenesis proses autoimun pada Miastenia gravis tidak sepenuhnya
diketahui, walaupun demikian diduga kelenjar timus turut berperan pada
patogenesis Miastenia gravis. Sekitar 75 % pasien Miastenia gravis
menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien menunjukkan hiperplasi
timus yang menandakan aktifnya respon imun dan 10 % berhubungan
dengan timoma.4

Kelemahan otot yang terjadi pada MG disebabkan oleh proses


autoimun pada taut saraf otot. Faktor utama dan paling penting dalam
patofisiologi MG adalah terbentuknya autoantibodi terhadap rseptor
asetilkolin(AChR) pada membrane postsinaps. Terdapat tiga proses yang
menyebabkan gagalnya kontraksi otot akibat proses autoantibodi. Pertama,
antibody yang melekat pada AChR akan mengaktifkan kaskade
komplemen yang membentuk membrane attack complex(MAC) yang
kemudian menghancurkan AChR serta meusak stuktur lipatan-lipatan
postsinaps, sehingga mengurangi luas permukaannya. Akibatnya
asetilkolin yang dapat berikatan dengan AChR menajdi jauh lebih sedikit.2

Kedua, antibody yang berikatan pada dua AChR akan mengaktifkan


proses endositosis AChR sehingga terjadi degradasi AChR pada
membrane postsinaps. Degradasi ini lebih cepat dari pada pembentukan
AChR baru, sehingga semakin menurunkan jumlah Ach yang berikatan
dengan AChR. Ketiga, Antibodi yang melekat pada AChR akan meblok
Ach, sehingga tidak dapat berikatan dengan AChR. Kompetisi antara
7

autoantibodi dan ACh untuk dapat berikatan dengan AChR akan semakin
menurunkan jumlah Ach yang berikatan dengan AChR.2

E. MANIFESTASI KLINIS
Pada Miasthenia gravis, kelemahan dan kelelahan terjadi berfluktuasi,
tergantung pada aktivitas pasien, sehingga dapat berbeda-beda setiap waktu.
Kelemahan memberat setelah aktivitas fisik yang berat, kenaikan suhu tubuh dan
lingkungan sekitar serta akan berkurang bahkan menghilang setelah istirahat. Pada
sekitar 70% penderita miastenia gravis memiliki gejala awal yang dikeluhkan
pada mata yang asimetris, yang mengenai otot-otot ekstraokular, berupa turunnya
kelopak atas (Ptosis) dan penglihatan ganda (Diplopia).2
Dari seluruh tipe okular, sekitar 50% berkembang menjadi tipe generalisata,
yaitu kelemahan terjadi pada otot-otot bulbar dan otot-otot proksimal, sedangkan
sekitar 15% teteap sebagai tipe okular. Gejala klinis yang berat sering ditemukan
pada tahun pertama sampai tahun ketiga, jarang sekali ditemui perbaikan klinis
yang sempurna dan permanen.2
Gejala klinis mistenia gravis dapat berupa :2
1. Gejala Okular
Ptosis dan diplopia yang asimetris merupakan gejala okular yang paling
sering ditemukan. Gejala okular akan menetap pada 100-16% pasien
mistania gravis dalam masa 3 tahun pertama dan menjadi sekitar 3-10%
setelah 3 tahun. Bila gejela okular menetap sampai lebih dari 3 tahun,
maka sekitar 84% tidak mengalami perubahan menjadi tipe general
ataupun bulbar.
8

2. Gejala Bulbar
a. Disfoni dan disatria yang muncul setelah berbicara beberapa lama,
sering terjadi pada onset pertama kali.
b. Disfagia (gangguan menelan) muncul setelah penderita memakan
makanan padat. Penderita dapat mengalami kesulitan menggerakkan
rahang bawah saat mengunyah makanan, sehingga harus dibantu oleh
tangan (tripod position).
c. Kelumpuhan otot-otot wajah sering tidak disadari oleh penderita, baru
diketahui setelah orang lain melihat menurunnya ekspresi wajah atau
senyumannya tampak datar(myastenic snarl).
3. Leher dan Ekstremitas
a. Leher terasa kaku, nyeri dan sulit untuk menegakkan kepala (dropped
head) akibat kelemahan pada otot-otot ekstensor leher.
b. Pada ekstremitas, kelemahan lebih sering pada ekstremitas atas dan
mengenai otot-otot proksimal (deltoid dan trisep). Pada keadaan yang
berat, kelemahan dapat terjadi juga pada otot-otot distal.
4. Gangguan Pernafasan
Ganguan pernafasan sering terjadi pada miastenia gravis tipe general.
Penderita merasakan kesulitan menarik napas akibat kelemahan otot-otot
bulbar dan pernapasan.
F. KLASIFIKASI
9

Menurut Task Force of the Medical Scientific Advisory Board of the


Myasthenia Gravis Foundation of Amerika, Miasthenia Gravis dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :2

KELAS DESKRIPSI
I Kelemahan motorik terbatas pada okular, memiliki kesulitan
dalam menutup mata, kekuatan motorik lain normal.
II Kelemahan motorik derajat ringan melibatkan otot lain selain
okular. Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas pada
okular dengan berbagai derajat.
IIA Kelemahan motorik lebih berat pada otot ekstremitas, batang
tubuh atau keduanya.
IIB Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik
atau keduanya.
III Kelemahan motorik derajat sedang melibatkan otot lain selain
otot okular. Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas pada
okular dengan berbagai derajat.
IIIA Kelemahan motorik lebih berat pada otot ekstremitas, batang
tubuh atau keduanya.
IIIB Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik
atau keduanya.
IV Kelemahan motorik derajat berat melibatkan otot lain selain
otot okular. Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas pada
okular dengan berbagai derajat.
IVA Kelemahan motorik lebih berat pada otot ekstremitas, batang
tubuh atau keduanya.
IVB Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik
atau keduanya.
V Membutuhkan intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanisk,
terkecuali dilakukan pascaoperasi. Pemberian nutrisi enteral
tanpa intubasi termasuk ke kelompok IVB.
10

G. DIAGNOSIS

Diagnosis Miasthenia Gravis ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan neurologis, elektrodiagnostik, serologi untuk antibody AChR
dan MuSK, serta CT-Scan Thorax untuk melihat adanya timoma.2

1. Anamnesis
Miastenia Gravis dapat menyerang otot volunter, yaitu otot yang
mengontrol mata dan pergerakannya, ekspresi wajah, dan otot untuk menelan.
Oleh karena itu dapat ditemui gejala, seperti kelemahan otot mata yang dapat
menyebabkan ptosis dan diplopia, kesulitan menelan, dan bicara pelo. Selain itu,
dapat juga menyebabkan kelemahan pada tangan, kaki, dan leher. Bila penyakit ini
sudah mencapai tahap yang parah, dapat mengenai otot-otot pernapasan.
Kelemahan bersifat fluktuatif dan membaik dengan pemberian asetilkolinesterase
inhibitor sebelumnya.2
2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan fisik umum dan neurologis secara menyeluruh
untuk menilai kekuatan motoric dan derajat kelemahan otot-otot yang terkena.2
11

3. Tes Klinis Sederhana


a. Tes Wartenberg, penderita diminta untuk melihat keatas bidang datar
dengan sudut kurang lebih 30 derajat selama 60 detik, positif bila
terjadi ptosis.2
b. Tes Hitung, penderita diminta untuk menghitung 1-100, positif bila
suara menjadi sengau (suara nasal) atau suara menghilang.2
c. Ice pack eye test, celah antara kedua kelopak mata yang mengalami
ptosis akan diukur terlebih dahulu kemudian dengan es yang terbalut
kain akan ditempelkan ke kelopak mata penderita. Celah antara kedua
kelopak mata yang bertambah lebar setelah penempelan es selama 2
menit dianggap positif.2
4. Uji Tensilon (endrophonium chloride), bermanfaat untuk konfirmasi
diagnosis dan respons terhadap pengobatan. Hasil positif bila ditemukan
perbaikan gejala kelemahan motorik secara cepat, tetapi dalam waktu
singkat. Apabila pemeriksaan ini tidak tersedia, pemberian obat
penghambat AchE oral seperti Piridostigmin dapat diberikan, namun
perbaikan gejala lebih lambat, baru terlihat setelah 1-2 jam.2
5. Uji Prostigmin (Neostigmin), pada tes ini disuntikkan 1,5 mg atau 3 cc
prostigmin metilsulfat secara IM (diberikan pula atropine 0,8 mg bila
perlu). Jika kelemahan itu disebabkan oleh myasthenia gravis, maka
gejala-gejala seperti ptosis, strabismus, atau kelemahan lain tidak lama
kemudian akan hilang.2
6. Serologi
a. Antibidi reseptor anti-asetilkolin, posotif pada 70-95% penderita MG
generalisata dan 50-75% penderita MG ocular murni. Pada pasien timoma
tanpa MG sering terjadi false positif antibody antiAChR.2
b. Anti-Muscle-spesific kinase (MuSK) antibodies,hamper 50% penderita MG
yang menunjukkan hasil antiAChR Ab negative (MG Seronegatif),
menunjukkan hasil yang positif untuk anti MuSK Ab.2
12

7. Elektrodiagnostik
a. Repetitive nerve stimulation (RNS), untuk mendeplesi vesikel Ach sehingga
terjadi penurunan compound motor action potential (CMAP) progresif fan
menilai adanya blok.2
b. Single fiber electromyography (SFEMG), menilai instabilitas sebelum
adanya blok neuromuscular.2
8. Radiologi, pemeriksaan CT-SCAN atau MRI Thorax dilakukan untuk melihat
ada atau tidaknya timoma.2
H. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia
gravis antara lain :2

1. Meningitis Basalis (Tuberkulosis atau Leutika)


2. Infiltrasi Karsinoma anaplastic dari nasofaring.
3. Aneurisma di sirkulus srteriosus willisi
4. Paralisis pascadifteri
5. Pseudoptosis pada trakoma
6. Sclerosis multipleks
7. Sindrom Lambert-Eaton (Lambert-Eaton Myasthenic syndrome).
I. PENATALAKSANAAN
Tujuan penetalaksanaan ini adalah untuk mengendalikan gejala
(simptomatik), mencegah progresifitas dan mencegah komplikasi. Terapi
farmakologi mencakup :2,5
1. Pyridostigmine / Mestinon (golongan asetilkolinesterase inhibitor)
bekerja menghambat hidrolisis asetilkolin di celah sinaptik. Obat ini akan
meningkatkan interaksi antara asetilkolin dan reseptornya di NMJ. Dosis
awal dimulai dengan 60 mg setiap 6 jam di siang hari (while awake).
Dosis dapat ditingkatkan menjadi 60-120 mg setiap 3 jam.
Efek klinis akan muncul sekitar 15-30 menit sejak dikonsumsi dan
bertahan hingga 3-4 jam. Efek samping yang paling sering muncul adalah
13

gangguan saluran pencernaan seperti kram perut, BAB cair, dan


kembung. Obat ini merupakan kontraindikasi relatif pada krisis miastenia
karena dapat meningkatkan sekresi cairan di saluran pernapasan.
2. Kortikosteroid, Mekanisme kerja kortikosteroid Terhadap miastenia
gravis belum diketahui, namun kortikosteroid dianggap imunosupresan
paling efektif untuk miastenia gravis. Ada 2 cara pemberian
kortikosteroid pada miastenia gravis yaitu regimen induksi cepat dengan
dosis tinggi dan regimen titrasi lambat dengan dosis rendah. Regimen
titrasi lambat dengan dosis rendah digunakan pada pasien miastenia
gravis ringan hingga sedang. Dosis Prednison yang diberikan adalah 10
mg/hari dan ditingkatkan 10 mg setiap 5-7 hari hingga dicapai dosis
maksimal 1,0-1,5 mg/kg BB/hari. Regimen induksi cepat diberikan
Prednison dengan dosis 1,0-1,5 mg/kg BB/hari selama 2-4 minggu.
Setelahnya dilakukan penggantian cara pemberian menjadi selang sehari
atau tetap meneruskan dosis tinggi setiap hari.
3. Azathioprine adalah antimetabolit sitotoksik yang menghambat sintesis
purin sehingga menghambat sintesis DNA dan RNA, replikasi sel, dan
fungsi limfosit. Respons MG terhadap terapi Azathioprine berkisar antara
70-91%. Obat ini diberikan pada pasien miastenia gravis yang masih
menunjukkan gejala meskipun telah diterapi dengan kortikosteroid,
pasien dengan kontraindikasi relatif terhadap kortikosteroid, serta pasien
yang mengalami efek samping berat dengan terapi kortikosteroid. Dosis
awal adalah 50 mg/hari. Dosis dapat dinaikkan dengan penambahan 50
mg setiap 2-4 minggu hingga tercapai dosis 2-3 mg/kg BB/hari.
4. Plasma Exchange (PLEX), Indikasi PLEX adalah krisis miastenia,
ancaman krisis pada pasien dengan miastenia gravis berat, serta pasien
miastenia gravis ringan-sedang dengan perburukan gejala klinis atau tidak
berespon terhadap obat imunosupresan. Mekanisme kerja PLEX pada
miastenia gravis adalah dengan menghilangkan autoantibodi patogenik
dan sitokin yang bersifat larut dalam plasma. Regimen standar adalah 5
kali prosedur PLEX dimana 1 volume plasma diganti setiapkali prosedur
dilakukan. PLEX dilakukan selang sehari. Cairan pengganti plasma yang
14

digunakan adalah albumin 5% yang ditambah dengan kalsium glukonat


untuk mencegah hipokalsemia akibat efek sitrat.
5. Intravenosus Immunoglobulin (IVIG), Indikasi IVIG sama dengan
indikasi PLEX untuk pasien MG. Dosis induksi sebesar 2 g/kg BB dibagi
menjadi 2-5 hari. Komplikasi IVIG adalah sakit kepala, anafilaksis,
stroke, infark miokard, deep venous thrombosis, dan emboli pulmo.
6. Timektomi, Pada miastenia gravis dengan timoma, harus dilakukan
pembuangan tumor dan seluruh jaringan timus. Timektomi pada
miastenia gravis tanpa timoma telah menjadi standar terapi, meskipun
belum ada bukti ilmiah mengenai efektivitasnya.
J. KOMPLIKASI

Komplikasi miastenia gravis termasuk krisis miastenia, biasanya


sekunder akibat infeksi, stres, atau penyakit akut. Komplikasi pengobatan
termasuk efek steroid jangka panjang seperti osteoporosis, hiperglikemia,
katarak, penambahan berat badan, hipertensi, dan nekrosis avaskular
pinggul. Ada juga risiko keganasan limfoproliferatif, serta infeksi
oportunistik seperti infeksi jamur sistemik, tuberkulosis, dan pneumonia
Pneumocystis carinii dengan terapi imunosupresif kronis. Krisis kolinergik
muncul karena ACh berlebihan pada reseptor nikotinik dan muskarinik
sekunder akibat penggunaan inhibitor kolinesterase. Gejalanya meliputi
kram, lakrimasi, peningkatan air liur, kelemahan otot, fasikulasi otot,
kelumpuhan, diare, dan penglihatan kabur.6

K. PROGNOSIS
Pada miastenia gravis okular, dalam beberapa tahun >50% kasus
berkembang menjadi miastenia gravis generalisata dan akan sekitar <10% akan
terjadi remisi spontan. Sekitar 15- 17% akan tetap mengalami gejala okular yang
di follow-up dalam periode 17 tahun. Sebuah studi dari 37 pasien dengan
miastenia gravis menunjukkan adanya timoma memberikan outcome yang lebih
buruk.5
Kebanyakan pasien dengan miastenia gravis memiliki rentang hidup yang
mendekati normal dengan modalitas pengobatan saat ini. Lima puluh tahun yang
lalu, angka kematian sekitar 50% hingga 80% pada krisis miastenia, dan sekarang
15

telah berkurang secara substansial menjadi 4,47%. Morbiditas dihasilkan dari


kelemahan otot intermiten yang menyebabkan pneumonia aspirasi dan efek
samping obat. Berbagai temuan klinis dan laboratorium/pencitraan pada miastenia
gravis juga memiliki signifikansi prognostik.6
Risiko generalisasi sekunder, hal ini terkait dengan usia onset yang
terlambat, titer antibodi anti-asetilkolin reseptor (AChR) yang tinggi dan adanya
timoma. Sebuah studi baru-baru ini memprediksi risiko ini dengan jenis gejala
klinis pada saat presentasi. Adanya ptosis dan diplopia pada permulaan memiliki
kemungkinan generalisasi sekunder yang lebih tinggi dibandingkan dengan ptosis
atau diplopia saja. Namun, pengobatan dini dengan obat imunosupresif seperti
kortikosteroid dan azathioprine dikaitkan dengan penurunan risiko. Risiko
kekambuhan miastenia gravis: Usia awitan (<40 tahun), timektomi dini dan
pemberian prednisolon ditemukan terkait dengan penurunan risiko kekambuhan.
Namun, pasien dengan antibodi anti-Kv1.4 dan penyakit autoimun yang
menyertainya menunjukkan tingkat kekambuhan yang tinggi.6
BAB III

KESIMPULAN

1. Miastenia Gravis adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan


kelemahan fluktuatif pada otot-otot ekstra okular, bulbar dan otot-otot
proksimal. Kelemahan otot yang terjadi akan memburuk saat beraktivitas
dan membaik setelah beristirahat. Miastenia gravis disebabkan oleh adanya
autoantibodi pada membran pascasinaps pada taut saraf otot
(neuromuscular junction).
2. Miastenia gravis termasuk penyakit yang jarang, insidennya hanya sekitar
1,7-21,3 per 1 juta, dapat terjadi disemua usia dan jenis kelamin.
3. Gejala klinis miastenia gravis dapat berupa : Ptosis, diplopia yang asimetris,
disfonia, disatria, disfagia, kelumpuhan otot-otot wajah, leher teraa kaku,
nyeri dan sulit untuk ditegakkan, kelemahan pada ekstremitas atas serta
gangguan pernafasan.
4. Diagnosis Miasthenia Gravis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan neurologis, elektrodiagnostik, serologi untuk antibody AChR
dan MuSK, serta CT-Scan Thorax untuk melihat adanya timoma.
5. Tujuan penetalaksanaan miastenia gravis adalah untuk mengendalikan
gejala (simptomatik), mencegah progresifitas dan mencegah komplikasi.
Terapi farmakologi mencakup : Pyridostigmine / Mestinon (golongan
asetilkolinesterase inhibitor), kortikosteroid, Azhatiopirine, Plasma
Exchange (PLEX), Intravenosus Immunoglobulin (IVIG) dan tindakan
bedah timektomi.
6. Komplikasi miastenia gravis termasuk krisis miastenia, biasanya sekunder
akibat infeksi, stres, atau penyakit akut.
7. Prognosis pada kebanyakan pasien dengan miastenia gravis memiliki
rentanghidup yang mendekati normal dengan modalitas pengobatan saat ini.
Risiko kekambuhan miastenia gravis: Usia awitan (<40 tahun), timektomi
dini dan pemberian prednisolon ditemukan terkait dengan penurunan risiko
kekambuhan. Namun, pasien dengan antibodi anti-Kv1.4 dan penyakit
autoimun yang menyertainya menunjukkan tingkat kekambuhan yang
tinggi.

16
17
DAFTAR PUSTAKA

1. Oliven Betty, dkk. (2021). Myasthenia Gravis: Epidemiology,


Pathophysiology and Clinical Manifestations. Journal of Clinical
Medicine MDPI. Departemen of Neuorolgy Univesity of Chicago: USA
2. Aninditha, T & Wiratman, W. (Eds). (2017). Buku Ajar Neurologi. Jakarta
: Departemen Neurologi.
3. Asuncion RMD, dkk. (2021). Myasthenia Gravis. Statpearls Publishing
LCC NCBI.
4. Setiyohadi, dkk. (Eds). (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing.
5. Kamarudin, S & Chairani, L. (2019). Miasthenia Gravis. Syifa’ Medika,
10 (1), 64-70.
6. Asuncion RMD, dkk. (2021). Myasthenia Gravis. Statpearls Publishing
LCC NCBI.

Anda mungkin juga menyukai