Disusun Oleh:
Huzaival
NIM : 1807601080002
Pembimbing:
Dr.dr. Zafrullah Khany Jasa, SpAn, KNA
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................4
DAFTAR TABEL....................................................................................................5
BAB I.......................................................................................................................6
BAB II......................................................................................................................8
BAB III..................................................................................................................21
3.1 Identitas...................................................................................................21
3.2 Diagnosa..................................................................................................21
3.3 Rencana...................................................................................................21
3.4 Preoperatif...............................................................................................21
3.5 Intraoperatif.............................................................................................24
3.6 Postoperatif..............................................................................................25
BAB IV..................................................................................................................26
BAB V....................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................36
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
BAB I
PENDAHULUAN
Invasi plasenta yang abnormal ke dalam dinding rahim adalah salah satu
dari banyak penyebab perdarahan obstetrik utama. Pada plasentasi normal,
antarmuka plasenta-endometrium dipisahkan oleh lapisan fibrinoid (lapisan
Nitabuch), mencegah implantasi yang terlalu dalam ke dinding rahim. Nitabuch
kemudian menyediakan bidang pembelahan, memungkinkan kala III
persalinan normal. Ketika lapisan fibrin antara zona batas endometrium dan
cangkang sitotrofoblas plasenta terganggu, plasenta yang melekat secara abnormal
dapat terbentuk.1
Istilah plasenta yang melekat tidak normal, adalah istilah umum yang sering
digunakan untuk menggambarkan spektrum invasi plasenta patologis ke dalam
dinding rahim. Dalam kasus invasi abnormal plasenta, histerektomi sesar
dianggap sebagai prosedur gold standard, meskipun dikaitkan dengan tingginya
tingkat morbiditas ibu yang parah (40-50%) dan mortalitas (7%). Untuk
mengurangi morbiditas ibu (terutama perdarahan masif), dan untuk
mempertahankan kesuburan, manajemen konservatif dengan meninggalkan
plasenta in situ telah menjadi lebih umum lagi selama beberapa tahun terakhir.17
Setelah persalinan sesar tanpa mengeluarkan plasenta, aliran darah di plasenta
berkurang secara signifikan. Hal ini dari waktu ke waktu menyebabkan nekrosis
dan pelepasan plasenta spontan dari rahim dan bahkan organ lain yang diinvasi.
vi
Metode ini dianggap sebagai alternatif, terutama untuk kasus AIP yang parah.
Namun demikian, ada juga kemungkinan komplikasi berat yang dapat terjadi
dalam konsep terapi ini, seperti infeksi, sepsis dan perdarahan vagina masif,
bahkan disertai DIC.2
Plasenta akreta spektrum (PAS) adalah indikasi yang paling umum untuk
histerektomi peripartum dan memiliki potensi untuk perdarahan masif. Sekuele
peripartum tambahan dari plasenta yang melekat secara tidak sehat termasuk
koagulopati pengenceran, reaksi transfusi, cedera paru akut terkait transfusi,
kelebihan beban jantung terkait transfusi, gangguan elektrolit, cedera ginjal akut,
dan perawatan di unit perawatan intensif (ICU). Wanita dengan plasentasi
abnormal juga berisiko mengalami cedera pada usus, kandung kemih, dan ureter;
serta tromboemboli.4
vii
masif seperti ini akan menimbulkan gejala syok pada pasien hingga meninggal
apabila tidak mampu ditata laksana dengan baik.5
viii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Plasenta terdiri dari lempeng korionik di sisi janin dan lempeng basal di sisi
ibu. Sisi janin dan sisi ibu dipisahkan oleh ruang intervili. Lempeng korionik
adalah massa tebal jaringan ikat dan berisi amnion, vili batang utama serta arteri
dan vena korionik, yang merupakan percabangan dari arteri umbilikalis dan vena
umbilikalis. Arteri dan vena korionik bercabang menjadi arteriol dan venula dari
vili batang utama. Vili batang utama menonjol ke dalam ruang intervili dan
terhubung ke lempeng basal ibu dengan menambatkan vili.1
Lempeng basal terdiri dari campuran heterogen sel trofoblas dan sel desidua
Nitabuch berkembang. Ini adalah area spesifik dari mana plasenta melepaskan diri
dari rahim saat lahir. Dari lempeng basal, septa plasenta menonjol ke dalam ruang
intervili, menciptakan sistem alur yang membatasi 10-40 area yang ditinggikan,
juga dikenal sebagai kotiledon atau lobus ibu. Pelat basal ditembus oleh arteri dan
venula endometrium. Pertukaran antara sistem sirkulasi janin dan ibu terjadi
antara vili batang utama dan arteri endometrium ibu dan venula di ruang intervili.1
ix
Selain memberikan suplai kehidupan untuk janin, plasenta memainkan
peran yang sama pentingnya dalam meminimalkan xenobiotik, racun anorganik,
patogen, dan juga hormon ibu dari mencapai janin. Oleh karena itu bertindak
sebagai penghalang selektif untuk menciptakan lingkungan internal di mana janin,
dan khususnya sistem endokrinnya, dapat berkembang secara mandiri. Meskipun
demikian, gangguan fungsi ini karena kerusakan mekanis, polimorfisme atau
faktor lingkungan dapat menyebabkan peningkatan paparan janin. Berbagai obat
dan racun diketahui mengganggu perkembangan normal dan menengahi
teratogenesis, dan orang mungkin berspekulasi bahwa dosis yang lebih rendah,
tidak cukup untuk menyebabkan malformasi, mungkin memainkan peran dalam
pemrograman.9
Invasi plasenta yang abnormal ke dalam dinding rahim adalah salah satu
dari banyak penyebab perdarahan obstetrik utama. Pada plasentasi normal,
antarmuka plasenta-endometrium dipisahkan oleh lapisan fibrinoid (lapisan
Nitabuch), mencegah implantasi yang terlalu dalam ke dinding rahim. Nitabuch
kemudian menyediakan bidang pembelahan, memungkinkan kala III
persalinan normal. Ketika lapisan fibrin antara zona batas endometrium dan
cangkang sitotrofoblas plasenta terganggu, plasenta yang melekat secara abnormal
dapat terbentuk.5
x
seluruh dunia. Insiden invasi abnormal plasenta meningkat dengan jumlah
kelahiran sesar sebelumnya. Morbiditas dan mortalitas ibu dapat terjadi karena
perdarahan yang parah dan terkadang mengancam jiwa. Biasanya, pemisahan
plasenta dari dinding rahim terjadi pada stroma endometrium yang mengalami
desidualisasi antara miometrium yang berkontraksi dan plasenta yang tidak
berkontraksi, lapisan Nitabuch, lapisan yang terbentuk selama trimester ketiga
kehamilan. Namun, tidak adanya desidua yang mencegah pemisahan
menyebabkan plasenta yang melekat secara klinis dan perdarahan berikutnya.
Apakah peningkatan risiko retensio plasenta pada wanita dengan persalinan sesar
sebelumnya didasarkan pada mekanisme yang sama seperti pada invasif abnormal
plasenta masihbelum pasti. 1
Saat ini, tidak ada standar yang seragam untuk pengobatan plasenta akreta.
xi
pengobatan standar emas untuk akreta invasif. Ini secara efektif menjamin
keamanan nifas, meskipun kehilangan kesuburan dapat terjadi. Namun, risiko
komplikasi dari histerektomi juga telah dilaporkan. Saat ini, kebanyakan pasien
memilih perawatan konservatif yang mempertahankan rahim, yang dapat menjaga
kesuburan pasien dan mengurangi masalah psikologis. 20
Istilah plasenta yang melekat tidak normal, adalah istilah umum yang sering
digunakan untuk menggambarkan spektrum invasi plasenta patologis ke dalam
dinding rahim. Dalam kasus invasi abnormal plasenta, histerektomi sesar
dianggap sebagai prosedur gold standard, meskipun dikaitkan dengan tingginya
tingkat morbiditas ibu yang parah (40-50%) dan mortalitas (7%). Untuk
mengurangi morbiditas ibu (terutama perdarahan masif), dan untuk
mempertahankan kesuburan, manajemen konservatif dengan meninggalkan
plasenta in situ telah menjadi lebih umum lagi selama beberapa tahun terakhir.17
Setelah persalinan sesar tanpa mengeluarkan plasenta, aliran darah di plasenta
berkurang secara signifikan. Hal ini dari waktu ke waktu menyebabkan nekrosis
dan pelepasan plasenta spontan dari rahim dan bahkan organ lain yang diinvasi.
Metode ini dianggap sebagai alternatif, terutama untuk kasus AIP yang parah.
Namun demikian, ada juga kemungkinan komplikasi berat yang dapat terjadi
dalam konsep terapi ini, seperti infeksi, sepsis dan perdarahan vagina masif,
bahkan disertai DIC. 18
xii
Tidak semua kasus abnormally invasive placenta (AIP) dapat ditangani
secara konservatif, sehingga menentukan indikasi tindakan konservasi uterus pada
kasus AIP perlu dilakukan dan direncanakan sebelum operasi. Pemilihan jenis
penanganan uterus pada kasus AIP sangat dominan ditentukan oleh dua hal:
vaskularisasi uterus-plasenta dan topografi plasenta.4
Sejak dahulu, kita diajarkan bahwa vaskularisasi uterus hanya berasal dari
cabang arteri uterina (90%) dan arteri ovarika (10%), ditambah 1 cabang
tambahan dari ligamentum rotundum yang berasal dari arteri epigastrika. Namun,
sejak 2007 Palacios dalam studi anatominya menemukan adanya sistem vaskular
lain yang memegang peran besar pula untuk menjaga vaskularisasi uterus. Sistem
vaskularisasi tambahan ini berasal dari arteri vaginalis, yang ternyata memiliki
diameter tidak kalah besar dengan arteri uterina, dan dapat menormalkan aliran
darah ke uterus meski kedua cabang arteri uterina dioklusi. Karena itu Palacios
(2012) membuat klasifikasi vaskularisasi uterus berdasar pemahaman ini, yang
membagi menjadi 2 area: S1 dan S2. Pada potongan sagital pangul dibuat garis
imajiner yang ditarik mulai dari area tengah dinding posterior bladder, yang
membagi area atas yang terdiri dari corpus uteri (S1) yang dominan
divaskularisasi oleh arteri uterina dan arteri ovarica, dan area topografi bawah
yang terdiri dari segmen bawah rahim, serviks, dan bagian atas vagina (S2) yang
dominan disupply oleh arteri vaginalis.6
xiii
Gambar 1 Pembagian vaskularisasi uterus plasenta S1&S2.4
Area S1 disupply terutama oleh arteri uterina dan sebagian kecil arteri
ovarica, konsekuensinya tindakan untuk mengoklusi, ligasi, atau mengkompresi
cabang kedua pembuluh darah ini akan dapat menghentikan perdarahan secara
efisien pada daerah ini. Sedangkan area S2 terutama disupply oleh 5 cabang
pembuluh darah subperitoneal: arteri vaginalis supeior, media, inferior, arteri
vesicalis inferior, dan arteri pudenda interna. Dengan berbagai macam suplai
arteri yang disediakan tubuh untuk organ reproduksi ini, maka segala gangguan
yang melibatkan arteri dan vena selama operasi akan mngakibatkan banyaknya
perdarahan. Perdarahan masif seperti ini akan menimbulkan gejala syok pada
pasien hingga meninggal apabila tidak mampu ditata laksana dengan baik.7
xiv
Objek utama manajemen cairan intraoperatif ialah memelihara volume
intravaskular dan pada saat yang sama menghindari asupan garam dan air yang
tidak perlu melalui solusio kristaloid. Komposisi cairan tubuh terdiri dari cairan
plasma dan interstisial. Dehidrasi interstisial dan hipovolemia intravaskular
merupakan diagnosis klinis yang berbeda yang mana membuat perbedaan
tatalaksana. Sebagai contoh, keringat dan produksi urin membuat hilangnya cairan
bebeas koloid namun akibat redistribusi segera antara intravaskular dan ruang
interstitial, kompartemen intravaskular biasanya tidak terlalu terpengaruh. Maka
dari itu, penambahan ruang interstistial oleh pemberian solusio kristaloid dapat
menterapi dehidrasi. Kebalikan dari dehidrasi, hipovolemia akut secara langsung
mempengaruhi ruang intravaskular. Akibat solusio kristaloid dapat difus secara
bebas antara ruang interstisial dan intravaskular, hal ini dapat menyeimbangkan
secara segera dan menginduksi edema interstisial. Selain itu, dilusi plasma dengan
solusio kristaloid akan menurunkan tekanan onkotik intravaskular dan
memfasilitasi cairan terdorong ke ruang interstisial. Maka dari itu, fase euvolemik
dapat dicapai melalui keseimbangan cairan pemeliharaan dan terapi pengganti
volume.9
Pemberian cairan maintenance atau pemeliharan ditujukan untuk mengganti
kehilangan terkait dengan keringat dan produksi urin. Kebutuhan cairan ini dapat
dicapai oleh solusio kristaloid seimbang dengan 1 hingga 3 mL/kgBB/jam.
Pendekatan ini juga sering disebut restriktif atau zero-balanced fluid therapy.9
Terapi pengganti volume dibutuhkan untuk menterapi hipovolemi
disebabkan oleh kehilangan darah saat operasi dan/atau volume intravaskular
terdorong ke ruang interstisial. Pada kasus dimana hipovolemia intravaskular
dicurigai, pendekatan yang direkomendasikan ialah memberikan cairan untuk
menguji respon sistem kardiovaskular untuk meningkatka volume intravaskular
(dengan mendorong kurva Frank-Starling ke kanan). Hal ini direkomendasikan
pemberian cairan dilakukan 5 hingga 10 menit. Maka kesimpulannya ialah
ketidakstabilitas hemodinamik intraoperatif tidak selalu membuat hipovolemia
karena hanya 50% pasien tidak stabil hemodinamik intraperatif yang respon
dengan pemberian cairan.9
xv
Gambar 1. Komposisi cairan tubuh
xvi
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di
setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan
alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama.10–12
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid)
ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit
volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar
20-30 menit.10–12
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit
larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan
paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka,
apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%.10–12
Penelitian lain menunjukkan pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat
mengakibatkan timbulnya edema paru berat. Selain itu, pemberian cairan
kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya
tekanan intra kranial.10–12
Perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid menyebabkan
kristaloid sebagai pilihan untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.10–12
D5 ½ NS Hiper (407) 77 77 - - 50 -
xvii
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak
digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang
hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan
tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat.10–12
Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi
bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional
hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat
peningkatan klorida.10–12
Solusio NaCl, seperti ringer laktat, NormoSol dan Plasmalyte, menunjukkan
tidak ada efek samping pada populasi pasien. Hal ini tidak berhubungan dengan
hiperkloremia atau hipernatremia dan merupakan cairan perioperatif yang
direkomendasikan. Disfungsi gastrointestinal dan tertundanya pemulihan usus
merupakan dua hal yang dideskripsikan sebagai komplikasi postoperatif dari infus
kristaloid dengan volume banyak. 9
2. Koloid
Cairan kristaloid juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
‘plasma substitute´ atau ‘plasma expander´. Cairan koloid mengandung zat/bahan
yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam)
dalam ruang intravaskuler.10–12
Hal ini menyebabkan koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara
cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan
hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (seperti luka bakar).
Kerugian dari koloid, yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik
(jarang) serta dapat menyebabkan gangguan pada cross match.10,11
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:10–12
a. Koloid Alami
xviii
dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu
pemberian infuse dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi
dan kolaps kardiovaskuler. 10–12
b. Koloid Sintesis
Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran
70(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostocmesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Dextran 70
merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan Dextran 40, tetapi
Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat
menurunkan kekentalan (viskositas) darah. 9
Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet
adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan
melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran >20 ml/kgBB/hari dapat
mengganggu cross- match, waktu perdarahan memanjang dan gagal ginjal.
Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan
memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu. 9
Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Heta straxch tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 ±
1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30
mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46%
lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. 9
Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat
meningkatkan kadar serum amilase ( walau jarang). Low molecullar weight
Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch yang mampu
mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan
berlangsung selama 12 jam. 9
Potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas
yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi menyebabkan Penta starch dipilih
sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat. 9
Gelatin
xix
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul
rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin,
yaitu:10–12
- Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
Oxypoly gelatin ,merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada
penderita gawat. Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang)
terutama dari golonganurea linked gelatin. 9
xx
ml darah, sedangkan untuk kain kasa sebaiknya ditimbang sebelum dan setelah
dipakai dimana selisih 1 gram dianggap sama dengan 1 ml darah.10,14
Perkiraan jumlah perdarahan dapat juga diukur dengan pemeriksaan
hematokrit dan hemoglobin secara serial. pasien yang mengalami perdarahan
untuk mempertahankan volume intravena dapat diberikan kristaloid atau koloid
sampai tahap timbulnya bahaya karena anemia.10,14
Pasien yang mengalami perdarahan selanjutnya diganti dengan transfusi sel
darah merah untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin ataupun hematokrit
pada level aman, yaitu Hb 7-10 g/dl atau Hct 21-30% dan 20-25% pada individu
sehat atau anemia kronis.10,14
Kebutuhan transfusi dapat ditetapkan pada saat prabedah berdasarkan nilai
hematokrit dan EBV. EBV pada neonatus prematur 95 ml/kgBB, full term 85
ml/kgBB, bayi 80 ml/kgBB dan pada dewasa laki-laki 75 ml/kgBB, perempuan 85
ml/kgBB. Penentuan jumlah perdarahan yang diperlukan agar Hct menjadi 30%
dapat dihitung dengan cara:10,14
- EBV
- Estimasi volume sel darah merah pada Hct prabedah (RBCV preop)
- Estimasi volume sel darah merah pada Hct 30% prabedah (RBCV%)
- Volume sel darah merah yang hilang, RBCV lost = RBCV preop -
RBVC 30%)
- Jumlah darah yang boleh hilang = RBCV lost x 3
Transfusi dilakukan jika perdarahan melebihi nilai RBCV lost x 3. Selain
cara tersebut di atas, beberapa pendapat mengenai penggantian cairan akibat
perdarahan adalah sebagai berikut : 9
- Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10 – 15%, cukup
diganti dengan cairan elektrolit.
- Perdarahan sedang, perdarahan 10 – 20% EBV, 15 – 30%, dapat
diganti dengan cairan kristaloid dan koloid.
- Perdarahan berat, perdarahan 20 – 50% EBV, > 30%, harus diganti
dengan transfusi darah.
xxi
xxii
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : Ny. PR
Umur : 34 tahun
BB : 60 kg
3.2 Diagnosa
G4P3A0 hamil 38-39 minggu, JPKTH, BSC 3x, (IDT 3,8 th), HAP ec. PPT, High
Suspicious of diffuse AIP (Suspect Perkreta)
3.3 Rencana
3.4 Preoperatif
S/
Pasien datang rujukan dari RS BMC bireun setelah di dapatkan plasenta perkreta
saat dilakukan insisi section cesarea kemudian di tutup dan di rujuk ke RSUDZA.
Riwayat Hipertensi (-) Diabetes Mellitus (-) Alergi (-) Asma (-)
xxiii
L : Pasien mulai puasa jam 02.00 WIB
O/
B1 Breathing : OS sesak napas (-) RR 20x/i, SpO2 98% Room Air, PF/ Vesikuler
+/+ Rhonki -/- Wheezing -/-
B2 Blood : TD 124/82 mmhg, HR 74 x/menit, regular, kuat angkat, CRT < 2 detik
B4 Bladder : Urin (+) warna kekuningan, Urin output > 0,5 cc/kgbb/jam
B5 Bowel : Mual (-) Muntah (-) Nafsu makan baik, peristaltik usus 6-8 x/menit
A/
ASA II
P/
xxiv
- Persiapan darah PRC 10 kolf, FFP 5 kolf, TC 5 kolf
BPD : 9,14 cm
HC : 33,46 cm
AC : 33,6 mm
ICA : 14 cm
EFW : 3247 gr
xxv
Clear zone : Negatif
Mapping Plasenta:
3.5 Intraoperatif
xxvi
• Pemasangan artery blood pressure dilakukan untuk monitoring, dengan 2
IV line untuk pemberian cairan, dan pemasangan kateter untuk monitoring
cairan yang keluar
• ABL 9 : 609 cc, ABL 8 : 975 cc, ABL 7 : 1340 cc, ABL 6 : 1706 cc
• Perdarahan : 2200 cc
- RL 1700 cc
- Gelofusin 500 cc
3.6 Postoperatif
xxvii
BAB IV
PEMBAHASAN
Plasenta akreta spektrum (PAS) adalah indikasi yang paling umum untuk
histerektomi peripartum dan memiliki potensi untuk perdarahan masif. Sekuele
peripartum tambahan dari plasenta yang melekat secara tidak sehat termasuk
koagulopati pengenceran, reaksi transfusi, cedera paru akut terkait transfusi,
kelebihan beban jantung terkait transfusi, gangguan elektrolit, cedera ginjal akut,
dan perawatan di unit perawatan intensif (ICU). Wanita dengan plasentasi
abnormal juga berisiko mengalami cedera pada usus, kandung kemih, dan ureter;
serta tromboemboli.15
Penilaian pra operasi pasien dengan PAS yang diketahui atau dicurigai
harus fokus pada komponen riwayat medis dan faktor risiko obstetrik yang dapat
menempatkan pasien pada peningkatan risiko perdarahan atau kerusakan organ.
Konsultasi dan evaluasi dini oleh ahli anestesi memungkinkan studi laboratorium
atau diagnostik tambahan, masukan tepat waktu dari spesialis lain dan rujukan
jika diperlukan, kemampuan untuk melakukan diskusi multidisiplin seputar
kebutuhan pasien yang unik. Selain tinjauan sistem organ utama, riwayat
obstetrik, dan pemeriksaan fisik terfokus, elemen spesifik yang secara signifikan
mengubah manajemen perioperatif yang direncanakan termasuk masalah anestesi
xxviii
sebelumnya (misalnya, jalan napas sulit yang diketahui, hipertermia maligna),
koagulopati, nyeri kronis, dan penolakan produk darah harus dinilai. Semua upaya
harus difokuskan untuk mengoptimalkan semua kondisi komorbiditas dan
pengurangan risiko sebelum waktu persalinan.17
Sebagian dari evaluasi praoperasi harus fokus pada riwayat obstetrik yang
dapat mempengaruhi stabilitas hemodinamik intraoperatif, koagulopati, dan
morbiditas organ akhir (misalnya, preeklamsia dengan atau tanpa gejala berat,
trombositopenia gestasional). Meskipun banyak kasus PAS yang dicurigai
antenatal berdasarkan pencitraan, diagnosis pasti tidak diketahui sampai
laparotomi. Akibatnya, penting bagi ahli anestesi untuk mendapatkan riwayat
obstetrik. Pengetahuan rinci tentang operasi abdominal sebelumnya dapat
memfasilitasi ahli anestesi dalam memperkirakan waktu dari sayatan untuk
melahirkan dan total waktu dari histerektomi sesar yang direncanakan.
Perhitungan ini akan membantu menentukan rencana anestesi yang tepat.20
xxix
yang dinilai dengan membuka mulut, mobilitas leher, dan lingkar leher, dapat
memandu pilihan anestesi dalam pengaturan intubasi sulit yang diantisipasi atau
ventilasi masker yang sulit. Ketika anestesi neuraksial direncanakan, punggung
pasien harus diperiksa. Tempat untuk kemungkinan akses vaskular harus
diperhatikan untuk merencanakan jalur yang lebih baik yang akan diperlukan jika
akses intravena perifer dengan lubang besar diantisipasi menjadi tantangan.21
Meskipun tidak diperlukan untuk rawat inap standar untuk persalinan dan
pelahiran, hitung darah lengkap harus dievaluasi sebelum operasi untuk
mengetahui adanya anemia. Selain itu, panel metabolik dasar, tes fungsi hati, dan
tes koagulasi (PT/INR, waktu tromboplastin parsial, kadar fibrinogen) juga harus
dinilai. Saat ini, tidak ada agen anestesi umum yang diketahui lebih unggul dari
yang lain, dan ini mendorong untuk dicatat bahwa dua uji klinis yang dirancang
dengan baik baru-baru ini menemukan paparan terbatas anestesi umum di awal
kehidupan tidak terkait dengan defisit neurokognitif jangka panjang.1
Waktu dan lokasi untuk melahirkan PAS dengan histerektomi sesar yang
direncanakan sangat penting. ACOG menyarankan bahwa pasien stabil dengan
PAS dilahirkan antara 34-35 minggu kehamilan. Pasien dan rencana pembedahan
harus didiskusikan di antara tim multidisiplin, idealnya pertemuan antar disiplin
disusun pada awal trimester ketiga kehamilan. Semua anggota tim harus
mendapatkan informasi terbaru tentang perubahan yang relevan dengan status
medis pasien seiring perkembangan kehamilannya (misalnya, perdarahan
antepartum). Rencana kontinjensi untuk sesar darurat atau darurat dalam
pengaturan ketuban pecah dini prematur, persalinan prematur, perdarahan yang
signifikan atau masalah kebidanan dan janin lainnya harus ada dengan semua
anggota tim diberitahu tentang rencana tersebut.22
xxx
koagulasi yang tersedia. Kemampuan laboratorium harus dipertimbangkan,
mengingat potensi beberapa sampel laboratorium untuk terus-menerus menilai
kadar hemoglobin dan hematokrit serta penilaian gas darah yang sering. Atas
dasar faktor-faktor ini, pusat perawatan tersier atau pusat keunggulan untuk
plasenta akreta sering lebih disukai, karena hasil yang lebih baik untuk pasien
yang dikelola di pusat keunggulan untuk PAS dengan tim multidisiplin.23
xxxi
AKSES VASKULAR DAN PEMANTAUAN INVASIF
TEKNIK ANESTETIK
xxxii
saat perut terbuka. Pilihan teknik mungkin sering individual dan ditentukan oleh
komorbiditas pasien, derajat dan kepastian invasi plasenta, preferensi pasien
tertentu, ketersediaan sumber daya, dan keakraban dan preferensi penyedia. 24
VASOPRESSOR
xxxiii
neuraksial. Agen dan dosis vasopresor sering dititrasi untuk menjaga tekanan
darah ibu dan parameter denyut jantung mendekati garis dasar dalam upaya untuk
mempertahankan curah jantung dan uteroplasen - perfusi tinggi. Glikopirolat
dapat digunakan untuk meningkatkan denyut jantung ibu jika diperlukan.
Penggunaan norepinefrin untuk mengobati hipotensi yang diinduksi tulang
belakang selama persalinan sesar saat ini sedang dipelajari, karena aktivitas alfa
dan beta gabungan dapat mencegah bradikardia refleks yang sering terlihat
dengan pemberian fenilefrin. Studi yang membandingkan infus fenilefrin versus
norepinefrin menunjukkan bahwa penggunaan norepinefrin pada kehamilan
adalah wajar dan dapat menghasilkan denyut jantung dan curah jantung yang
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan fenilefrin saja. Meskipun demikian,
signifikansi klinis tidak pasti karena hasil neonatus serupa dengan penggunaan
kedua obat, dan studi lebih lanjut diperlukan sebelum norepinefrin dianggap
sebagai agen lini pertama pilihan. Penggunaan epinefrin selama kehamilan
biasanya disediakan untuk pengaturan resusitasi akut. (misalnya, anafilaksis, henti
jantung). Ada kekhawatiran untuk mengurangi aliran darah uterus setelah
pemberian epinefrin karena vasokonstriksi uterus yang signifikan yang mungkin
terjadi, secara teoritis meningkatkan hipoksia janin. Namun, dalam keadaan
tertentu, resusitasi janin terbaik adalah resusitasi ibu, dan ini mungkin
memerlukan penggunaan epinefrin. Vasopresin adalah pilihan vasopresor lini
kedua untuk pengelolaan hipotensi pada pasien hamil septik. Namun, secara teori,
vasopresin dapat mengaktifkan reseptor V1a uterus dan merangsang kontraksi
uterus. Setelah pelahiran terjadi, pemilihan vasopresor harus ditentukan terutama
oleh status pasien saat ini dan penyebab yang mendasari hipotensi.19
xxxiv
dalam rasio 1:1:1 sel darah merah: FFP: trombosit (rasio 6:6:1 menyiratkan
penggunaan trombosit yang lebih umum) unit thrombophreresis daripada "paket"
trombosit individu. Meskipun studi trauma yang lebih baru tidak menunjukkan
perbedaan mortalitas dalam menggunakan rasio transfusi 2:1:1 versus 1:1:1,
sebagian besar pusat akademik dengan MTP menggunakan rasio RBC dan plasma
1:1.43 ACOG opini komite untuk PAS merekomendasikan transfusi produk darah
selama perdarahan dalam rasio 1 banding 1.24
Karena status koagulasi dan massa sel darah merah dapat berubah dengan
cepat, pengujian laboratorium yang sering mungkin bermanfaat sampai
perdarahan terkontrol. Pengujian titik perawatan dapat secara signifikan
mengurangi waktu tunda antara pengambilan sampel dan hasil, yang mungkin
bermanfaat dalam memandu manajemen transfusi. Kriopresipitat harus tersedia
untuk mengobati koagulasi intravaskular diseminata dan kadar fibrinogen yang
rendah.18
xxxv
Tidak seperti penggunaan TXA, penggunaan "off-label" dari faktor VIIa
rekombinan (rFVIIa) untuk pengobatan perdarahan postpartum telah dikaitkan
dengan peningkatan risiko kejadian tromboemboli. Pendapat ahli saat ini dan
protokol perdarahan dalam kebidanan merekomendasikan rFVIIa dicadangkan
untuk digunakan sebagai pilihan terakhir ketika semua perawatan lain gagal untuk
memperbaiki perdarahan parah dan koagulopati yang sedang berlangsung. 24
xxxvi
BAB V
KESIMPULAN
Plasenta akreta spektrum (PAS) adalah indikasi yang paling umum untuk
histerektomi peripartum dan memiliki potensi untuk perdarahan masif. Sekuele
peripartum tambahan dari plasenta yang melekat secara tidak sehat termasuk
koagulopati pengenceran, reaksi transfusi, cedera paru akut terkait transfusi,
kelebihan beban jantung terkait transfusi, gangguan elektrolit, cedera ginjal akut,
dan perawatan di unit perawatan intensif (ICU). Wanita dengan plasentasi
abnormal juga berisiko mengalami cedera pada usus, kandung kemih, dan ureter;
serta tromboemboli.
xxxvii
DAFTAR PUSTAKA
3. Ronen JA, Castaneda K, Sadre SY. Early Accreta and Uterine Rupture in
the Second Trimester. Cureus. 2018;10(7):1–11.
xxxviii
10. Gede M TG. Ilmu Anestesia Dan Reanimasi. Jakarta: FK UI; 2017.
20. Findeklee S, Costa SD. Placenta Accreta and Total Placenta Previa in the
19th Week of Pregnancy. Geburtshilfe und Frauenheilkunde.
2015;75(8):839–43.
xxxix
22. Fonseca A, Ayres de Campos D. Maternal morbidity and mortality due to
placenta accreta spectrum disorders. Best Practice & Research Clinical
Obstetrics & Gynaecology [Internet]. 2021;72:84–91. Available from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1521693420301218
23. RCOG. Placenta Praevia and Placenta Accreta: Diagnosis and Management
(Green-top Guideline No. 27a). RCOG/BSGE Joint Guideline.
2018;2(1):88–96.
xl