Anda di halaman 1dari 40

Laporan Kasus

MANAJEMEN PERFUSI PADA SC PASIEN AKRETA

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Pendidikan Dokter Spesialis-1 Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun Oleh:
Huzaival
NIM : 1807601080002

Pembimbing:
Dr.dr. Zafrullah Khany Jasa, SpAn, KNA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FK UNSYIAH/RSUD ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan kasih sayang-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus. Shalawat
serta salam kepada baginda Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan dan
rahmat untuk semesta alam yang telah membawa banyak perubahan terutama
dalam bidang akhlak dan ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas pada
Bagian/SMF Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif pada RSUD dr. Zainoel
Abidin Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Penghormatan penulis dan ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada
Dr.dr. Zafrullah Khany Jasa, SpAn, KNA yang telah bersedia meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis juga berterimakasih kepada seluruh teman-teman yang telah berpartisipasi
ikut membantu hingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik.
Pada akhirnya penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi pembacanya terutama dalam pengembangan ilmu di bidang kedokteran.
Semoga Allah selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Banda Aceh, April 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................3

DAFTAR GAMBAR...............................................................................................4

DAFTAR TABEL....................................................................................................5

BAB I.......................................................................................................................6

BAB II......................................................................................................................8

2.1 Fisiologi Plasenta......................................................................................8

2.2 Placenta Accreta Spectrum........................................................................9

2.3 Menjaga Perfusi pada SC dengan Akreta................................................13

2.3.1 Terapi Cairan Intraoperatif...............................................................13

2.3.2 Pemilihan Cairan Perioperatif..........................................................15

2.3.3 Perkiraan Jumlah Perdarahan...........................................................18

BAB III..................................................................................................................21

3.1 Identitas...................................................................................................21

3.2 Diagnosa..................................................................................................21

3.3 Rencana...................................................................................................21

3.4 Preoperatif...............................................................................................21

3.5 Intraoperatif.............................................................................................24

3.6 Postoperatif..............................................................................................25

BAB IV..................................................................................................................26

BAB V....................................................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................36

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Pembagian vaskularisasi uterus plasenta S1&S2.............................12


Gambar 2 Trombofilaksis dan neuraxial anestesia pada pasien hamil.............31

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Klasifikasi syok akibat perdarahan......................................................18

v
BAB I
PENDAHULUAN

Profesi kesehatan memiliki kewajiban untuk menyediakan dan


mempromosikan edukasi komprehensif tentang kehamilan, persalinan dan gejala
terkait. Dokter harus memiliki pemahaman menyeluruh tentang fisiologi
reproduksi sebelum mereka dapat memberikan pengetahuan tersebut kepada
pasien mereka dan harus peka terhadap kebutuhan dalam menyajikan informasi
dalam konteks yang positif dan sesuai dengan budaya yang mendorong sikap
sehat terhadap fungsi seksual dan reproduksi. Pemahaman edukatif tentang proses
reproduksi normal adalah instrumen yang ampuh dalam menangani dan mengatasi
gejala dan gangguan proses reproduksi.

Invasi plasenta yang abnormal ke dalam dinding rahim adalah salah satu
dari banyak penyebab perdarahan obstetrik utama. Pada plasentasi normal,
antarmuka plasenta-endometrium dipisahkan oleh lapisan fibrinoid (lapisan
Nitabuch), mencegah implantasi yang terlalu dalam ke dinding rahim. Nitabuch
kemudian menyediakan bidang pembelahan, memungkinkan kala III
persalinan normal. Ketika lapisan fibrin antara zona batas endometrium dan
cangkang sitotrofoblas plasenta terganggu, plasenta yang melekat secara abnormal
dapat terbentuk.1

Istilah plasenta yang melekat tidak normal, adalah istilah umum yang sering
digunakan untuk menggambarkan spektrum invasi plasenta patologis ke dalam
dinding rahim. Dalam kasus invasi abnormal plasenta, histerektomi sesar
dianggap sebagai prosedur gold standard, meskipun dikaitkan dengan tingginya
tingkat morbiditas ibu yang parah (40-50%) dan mortalitas (7%). Untuk
mengurangi morbiditas ibu (terutama perdarahan masif), dan untuk
mempertahankan kesuburan, manajemen konservatif dengan meninggalkan
plasenta in situ telah menjadi lebih umum lagi selama beberapa tahun terakhir.17
Setelah persalinan sesar tanpa mengeluarkan plasenta, aliran darah di plasenta
berkurang secara signifikan. Hal ini dari waktu ke waktu menyebabkan nekrosis
dan pelepasan plasenta spontan dari rahim dan bahkan organ lain yang diinvasi.

vi
Metode ini dianggap sebagai alternatif, terutama untuk kasus AIP yang parah.
Namun demikian, ada juga kemungkinan komplikasi berat yang dapat terjadi
dalam konsep terapi ini, seperti infeksi, sepsis dan perdarahan vagina masif,
bahkan disertai DIC.2

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah sindrom


klinikopatologi multifaktorial dengan beberapa kemungkinan pemicu. Hal ini
terutama ditandai dengan aktivasi sistemik dari jalur koagulasi, yang
menyebabkan pembentukan bekuan fibrin yang tidak terkontrol dan, karena
konsumsi faktor koagulasi, dapat menyebabkan perdarahan hebat.19 Sebagian
besar kasus beralih dari manajemen konservatif ke manajemen bedah
pascapersalinan. Hanya dalam dua kasus, manajemen konservatif dapat
dilanjutkan, sedangkan dalam enam kasus, histerektomi sekunder karena dua
perdarahan masif dilakukan. Dalam tiga kasus, tidak ada operasi sekunder yang
ditentukan lebih lanjut dilakukan atau terdaftar.3

Plasenta akreta spektrum (PAS) adalah indikasi yang paling umum untuk
histerektomi peripartum dan memiliki potensi untuk perdarahan masif. Sekuele
peripartum tambahan dari plasenta yang melekat secara tidak sehat termasuk
koagulopati pengenceran, reaksi transfusi, cedera paru akut terkait transfusi,
kelebihan beban jantung terkait transfusi, gangguan elektrolit, cedera ginjal akut,
dan perawatan di unit perawatan intensif (ICU). Wanita dengan plasentasi
abnormal juga berisiko mengalami cedera pada usus, kandung kemih, dan ureter;
serta tromboemboli.4

Ahli anestesi perlu menyeimbangkan tantangan ini sambil memastikan


pencapaian beberapa tujuan simultan dari keselamatan ibu, kondisi operasi yang
optimal, dan meminimalkan risiko pada janin untuk hasil neonatal yang optimal.
Komunikasi yang jelas antara semua anggota tim selama perencanaan rinci,
perawatan intraoperatif, dan manajemen pascaoperasi sangat penting untuk
mendapatkan hasil terbaik. Dengan berbagai macam suplai arteri yang disediakan
tubuh untuk organ reproduksi ini, maka segala gangguan yang melibatkan arteri
dan vena selama operasi akan mngakibatkan banyaknya perdarahan. Perdarahan

vii
masif seperti ini akan menimbulkan gejala syok pada pasien hingga meninggal
apabila tidak mampu ditata laksana dengan baik.5

viii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Plasenta

Plasenta terdiri dari lempeng korionik di sisi janin dan lempeng basal di sisi
ibu. Sisi janin dan sisi ibu dipisahkan oleh ruang intervili. Lempeng korionik
adalah massa tebal jaringan ikat dan berisi amnion, vili batang utama serta arteri
dan vena korionik, yang merupakan percabangan dari arteri umbilikalis dan vena
umbilikalis. Arteri dan vena korionik bercabang menjadi arteriol dan venula dari
vili batang utama. Vili batang utama menonjol ke dalam ruang intervili dan
terhubung ke lempeng basal ibu dengan menambatkan vili.1

Lempeng basal terdiri dari campuran heterogen sel trofoblas dan sel desidua

dan mengandung desidua basalis. Pada trimester ketiga kehamilan, lapisan

Nitabuch berkembang. Ini adalah area spesifik dari mana plasenta melepaskan diri
dari rahim saat lahir. Dari lempeng basal, septa plasenta menonjol ke dalam ruang
intervili, menciptakan sistem alur yang membatasi 10-40 area yang ditinggikan,
juga dikenal sebagai kotiledon atau lobus ibu. Pelat basal ditembus oleh arteri dan
venula endometrium. Pertukaran antara sistem sirkulasi janin dan ibu terjadi
antara vili batang utama dan arteri endometrium ibu dan venula di ruang intervili.1

Meskipun terdapat keragaman jenis morfologi yang luas di antara mamalia,


ciri umum adalah bahwa plasenta menyediakan aposisi yang luas dan intim dari
sirkulasi ibu dan janin. Jaringan yang memisahkan dua sirkulasi paling baik
disebut secara umum sebagai membran interhemal, dan dapat bervariasi dalam
jumlah dan sifat lapisan selnya. Transportasi melintasi membran baru-baru ini
telah ditinjau secara ekstensif, sehingga perhitungan ini terbatas pada aspek-aspek
yang paling berkaitan dengan adaptasi plasenta terhadap isyarat lingkungan. Ada
tiga mekanisme utama dimana pertukaran melintasi membran interhemal dapat
terjadi: difusi, mekanisme yang diperantarai transporter, dan
endositosis/eksositosis.8

ix
Selain memberikan suplai kehidupan untuk janin, plasenta memainkan
peran yang sama pentingnya dalam meminimalkan xenobiotik, racun anorganik,
patogen, dan juga hormon ibu dari mencapai janin. Oleh karena itu bertindak
sebagai penghalang selektif untuk menciptakan lingkungan internal di mana janin,
dan khususnya sistem endokrinnya, dapat berkembang secara mandiri. Meskipun
demikian, gangguan fungsi ini karena kerusakan mekanis, polimorfisme atau
faktor lingkungan dapat menyebabkan peningkatan paparan janin. Berbagai obat
dan racun diketahui mengganggu perkembangan normal dan menengahi
teratogenesis, dan orang mungkin berspekulasi bahwa dosis yang lebih rendah,
tidak cukup untuk menyebabkan malformasi, mungkin memainkan peran dalam
pemrograman.9

2.2 Placenta Accreta Spectrum

Invasi plasenta yang abnormal ke dalam dinding rahim adalah salah satu
dari banyak penyebab perdarahan obstetrik utama. Pada plasentasi normal,
antarmuka plasenta-endometrium dipisahkan oleh lapisan fibrinoid (lapisan
Nitabuch), mencegah implantasi yang terlalu dalam ke dinding rahim. Nitabuch
kemudian menyediakan bidang pembelahan, memungkinkan kala III
persalinan normal. Ketika lapisan fibrin antara zona batas endometrium dan
cangkang sitotrofoblas plasenta terganggu, plasenta yang melekat secara abnormal
dapat terbentuk.5

Invasi abnormal plasenta ditandai dengan invasi trofoblas abnormal ke


dinding rahim dan kontak langsung jaringan vili dengan miometrium di
bawahnya, tanpa desidua di antaranya. Hal ini menyebabkan kegagalan pemisahan
plasenta saat pelahiran diikuti dengan perdarahan berikutnya. Spektrum plasenta
akreta diklasifikasikan menurut kedalaman invasi plasenta. Pada plasenta akreta,
plasenta bersentuhan langsung dengan miometrium (75%); pada plasenta inkreta,
plasenta menginvasi miometrium (18%); dan pada plasenta perkreta, invasi
plasenta meluas melampaui serosa uterus dan ke dalam struktur sekitarnya seperti
kandung kemih (7%).80,81 Insidennya bervariasi dari 1 dalam 533-70.000
persalinan, tergantung pada definisi, populasi studi dan masa studi. Insiden
meningkat, yang dapat dikaitkan dengan peningkatan tingkat kelahiran sesar di

x
seluruh dunia. Insiden invasi abnormal plasenta meningkat dengan jumlah
kelahiran sesar sebelumnya. Morbiditas dan mortalitas ibu dapat terjadi karena
perdarahan yang parah dan terkadang mengancam jiwa. Biasanya, pemisahan
plasenta dari dinding rahim terjadi pada stroma endometrium yang mengalami
desidualisasi antara miometrium yang berkontraksi dan plasenta yang tidak
berkontraksi, lapisan Nitabuch, lapisan yang terbentuk selama trimester ketiga
kehamilan. Namun, tidak adanya desidua yang mencegah pemisahan
menyebabkan plasenta yang melekat secara klinis dan perdarahan berikutnya.
Apakah peningkatan risiko retensio plasenta pada wanita dengan persalinan sesar
sebelumnya didasarkan pada mekanisme yang sama seperti pada invasif abnormal
plasenta masihbelum pasti. 1

Idealnya, invasif abnormal plasenta didiagnosis antepartum, karena dapat

menyebabkan perdarahan masif yang memerlukan histerektomi peripartum


darurat. Namun, identifikasi sonografi dari plasenta invasif yang abnormal sudah
dimungkinkan pada trimester pertama, yang memungkinkan diagnosis dini,
karena beberapa karakteristik kemudian sudah dapat dideteksi.1 Diagnosis
plasenta invasif abnormal dibuat dengan USG, kadang-kadang dikombinasikan
dengan magnetic resonance imaging (MRI). Diagnosis tepat waktu
memungkinkan manajemen obstetrik yang memadai dalam pengaturan
multidisiplin, sehingga memungkinkan histerektomi sesar yang direncanakan
tanpa pengiriman plasenta. Teknik pencitraan telah maju selama bertahun-tahun
tetapi kedalaman invasi dan dengan demikian diagnosis pasti hanya dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi dari sampel jaringan yang diperoleh
selama histerektomi. Diagnosis dibuat ketika vili korionik tertanam di
miometrium tanpa adanya lapisan desidua. Tindakan terbaik untuk mencegah
plasenta invasif abnormal adalah dengan mencegah jaringan parut pada rahim,
sehingga mencegah operasi caesar pertama atau mencegah pelebaran dan kuretase
pada kehamilan atau keguguran yang tidak diinginkan.1

Saat ini, tidak ada standar yang seragam untuk pengobatan plasenta akreta.

Protokol ini terutama mencakup perawatan bedah nonkonservatif, seperti


histerektomi, dan perawatan konservatif. Histerektomi sesar dianggap sebagai

xi
pengobatan standar emas untuk akreta invasif. Ini secara efektif menjamin
keamanan nifas, meskipun kehilangan kesuburan dapat terjadi. Namun, risiko
komplikasi dari histerektomi juga telah dilaporkan. Saat ini, kebanyakan pasien
memilih perawatan konservatif yang mempertahankan rahim, yang dapat menjaga
kesuburan pasien dan mengurangi masalah psikologis. 20

Istilah plasenta yang melekat tidak normal, adalah istilah umum yang sering
digunakan untuk menggambarkan spektrum invasi plasenta patologis ke dalam
dinding rahim. Dalam kasus invasi abnormal plasenta, histerektomi sesar
dianggap sebagai prosedur gold standard, meskipun dikaitkan dengan tingginya
tingkat morbiditas ibu yang parah (40-50%) dan mortalitas (7%). Untuk
mengurangi morbiditas ibu (terutama perdarahan masif), dan untuk
mempertahankan kesuburan, manajemen konservatif dengan meninggalkan
plasenta in situ telah menjadi lebih umum lagi selama beberapa tahun terakhir.17
Setelah persalinan sesar tanpa mengeluarkan plasenta, aliran darah di plasenta
berkurang secara signifikan. Hal ini dari waktu ke waktu menyebabkan nekrosis
dan pelepasan plasenta spontan dari rahim dan bahkan organ lain yang diinvasi.
Metode ini dianggap sebagai alternatif, terutama untuk kasus AIP yang parah.
Namun demikian, ada juga kemungkinan komplikasi berat yang dapat terjadi
dalam konsep terapi ini, seperti infeksi, sepsis dan perdarahan vagina masif,
bahkan disertai DIC. 18

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah sindrom


klinikopatologi multifaktorial dengan beberapa kemungkinan pemicu. Hal ini
terutama ditandai dengan aktivasi sistemik dari jalur koagulasi, yang
menyebabkan pembentukan bekuan fibrin yang tidak terkontrol dan, karena
konsumsi faktor koagulasi, dapat menyebabkan perdarahan hebat.19 Sebagian
besar kasus beralih dari manajemen konservatif ke manajemen bedah
pascapersalinan. Hanya dalam dua kasus, manajemen konservatif dapat
dilanjutkan, sedangkan dalam enam kasus, histerektomi sekunder karena dua
perdarahan masif dilakukan. Dalam tiga kasus, tidak ada operasi sekunder yang
ditentukan lebih lanjut dilakukan atau terdaftar.17

xii
Tidak semua kasus abnormally invasive placenta (AIP) dapat ditangani
secara konservatif, sehingga menentukan indikasi tindakan konservasi uterus pada
kasus AIP perlu dilakukan dan direncanakan sebelum operasi. Pemilihan jenis
penanganan uterus pada kasus AIP sangat dominan ditentukan oleh dua hal:
vaskularisasi uterus-plasenta dan topografi plasenta.4

Sejak dahulu, kita diajarkan bahwa vaskularisasi uterus hanya berasal dari
cabang arteri uterina (90%) dan arteri ovarika (10%), ditambah 1 cabang
tambahan dari ligamentum rotundum yang berasal dari arteri epigastrika. Namun,
sejak 2007 Palacios dalam studi anatominya menemukan adanya sistem vaskular
lain yang memegang peran besar pula untuk menjaga vaskularisasi uterus. Sistem
vaskularisasi tambahan ini berasal dari arteri vaginalis, yang ternyata memiliki
diameter tidak kalah besar dengan arteri uterina, dan dapat menormalkan aliran
darah ke uterus meski kedua cabang arteri uterina dioklusi. Karena itu Palacios
(2012) membuat klasifikasi vaskularisasi uterus berdasar pemahaman ini, yang
membagi menjadi 2 area: S1 dan S2. Pada potongan sagital pangul dibuat garis
imajiner yang ditarik mulai dari area tengah dinding posterior bladder, yang
membagi area atas yang terdiri dari corpus uteri (S1) yang dominan
divaskularisasi oleh arteri uterina dan arteri ovarica, dan area topografi bawah
yang terdiri dari segmen bawah rahim, serviks, dan bagian atas vagina (S2) yang
dominan disupply oleh arteri vaginalis.6

xiii
Gambar 1 Pembagian vaskularisasi uterus plasenta S1&S2.4

Area S1 disupply terutama oleh arteri uterina dan sebagian kecil arteri
ovarica, konsekuensinya tindakan untuk mengoklusi, ligasi, atau mengkompresi
cabang kedua pembuluh darah ini akan dapat menghentikan perdarahan secara
efisien pada daerah ini. Sedangkan area S2 terutama disupply oleh 5 cabang
pembuluh darah subperitoneal: arteri vaginalis supeior, media, inferior, arteri
vesicalis inferior, dan arteri pudenda interna. Dengan berbagai macam suplai
arteri yang disediakan tubuh untuk organ reproduksi ini, maka segala gangguan
yang melibatkan arteri dan vena selama operasi akan mngakibatkan banyaknya
perdarahan. Perdarahan masif seperti ini akan menimbulkan gejala syok pada
pasien hingga meninggal apabila tidak mampu ditata laksana dengan baik.7

2.3 Menjaga Perfusi pada SC dengan Akreta

2.3.1 Terapi Cairan Intraoperatif

Manajemen cairan intraoperatif merupakan hal penting untuk outcome


postoperatif. Penelitian oleh Shin dkk menemukan hubungan antara pemberian
cairan dengan perkembangan komplikasi respirasi. Selanjutnya, restriksi cairan
berkaitan dengan kejadian Acute Kidney Injury (AKI).8

xiv
Objek utama manajemen cairan intraoperatif ialah memelihara volume
intravaskular dan pada saat yang sama menghindari asupan garam dan air yang
tidak perlu melalui solusio kristaloid. Komposisi cairan tubuh terdiri dari cairan
plasma dan interstisial. Dehidrasi interstisial dan hipovolemia intravaskular
merupakan diagnosis klinis yang berbeda yang mana membuat perbedaan
tatalaksana. Sebagai contoh, keringat dan produksi urin membuat hilangnya cairan
bebeas koloid namun akibat redistribusi segera antara intravaskular dan ruang
interstitial, kompartemen intravaskular biasanya tidak terlalu terpengaruh. Maka
dari itu, penambahan ruang interstistial oleh pemberian solusio kristaloid dapat
menterapi dehidrasi. Kebalikan dari dehidrasi, hipovolemia akut secara langsung
mempengaruhi ruang intravaskular. Akibat solusio kristaloid dapat difus secara
bebas antara ruang interstisial dan intravaskular, hal ini dapat menyeimbangkan
secara segera dan menginduksi edema interstisial. Selain itu, dilusi plasma dengan
solusio kristaloid akan menurunkan tekanan onkotik intravaskular dan
memfasilitasi cairan terdorong ke ruang interstisial. Maka dari itu, fase euvolemik
dapat dicapai melalui keseimbangan cairan pemeliharaan dan terapi pengganti
volume.9
Pemberian cairan maintenance atau pemeliharan ditujukan untuk mengganti
kehilangan terkait dengan keringat dan produksi urin. Kebutuhan cairan ini dapat
dicapai oleh solusio kristaloid seimbang dengan 1 hingga 3 mL/kgBB/jam.
Pendekatan ini juga sering disebut restriktif atau zero-balanced fluid therapy.9
Terapi pengganti volume dibutuhkan untuk menterapi hipovolemi
disebabkan oleh kehilangan darah saat operasi dan/atau volume intravaskular
terdorong ke ruang interstisial. Pada kasus dimana hipovolemia intravaskular
dicurigai, pendekatan yang direkomendasikan ialah memberikan cairan untuk
menguji respon sistem kardiovaskular untuk meningkatka volume intravaskular
(dengan mendorong kurva Frank-Starling ke kanan). Hal ini direkomendasikan
pemberian cairan dilakukan 5 hingga 10 menit. Maka kesimpulannya ialah
ketidakstabilitas hemodinamik intraoperatif tidak selalu membuat hipovolemia
karena hanya 50% pasien tidak stabil hemodinamik intraperatif yang respon
dengan pemberian cairan.9

xv
Gambar 1. Komposisi cairan tubuh

2.3.2 Pemilihan Cairan Perioperatif

Efek terapetik dari pemberian cairan intravena menghasilkan ekspansi pada


ruang intravaskular, interstisial atau intraseluler. Resusitasi cairan diindikasikan
untuk hipovolemia intravaskular dan ekstravaskular yang menyebabkan
ketidakstabilan hemodinamik yang bermanifestasi sebagai hipoperfusi organ
akhir, dehifrasi dan hiperosmolaritas.9
Pemilihan cairan perioperatif secara langsung mempengaruhi outcome
postoperatif. Pemilihan koloid versus kristaloid untuk resusitasi masih
diperdebatkan. Dibandingkan dengan resusitasi kristaloid, penggunaan koloid
membuat ekspansi volume plasme lebih efisien dengan volume lebih rendah.
Manajemen cairan optimal menggunakan pendekatan yang seimbang dengan
titrasi kristaloid dan koloid untuk kestabilan hemodinamik dan pemeliharaan
output urin sebanyak 0,5 mL/kgBB/jam. Maintenance dengan cairan kristaloid
ketika digunakan harus dibatasi hingga kurang dari 2 mL/kgBB/jam, terhitung
untuk volume yang bersama dengan infus obat. 9
1. Kristaloid

xvi
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di
setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan
alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama.10–12
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid)
ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit
volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar
20-30 menit.10–12
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit
larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan
paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka,
apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%.10–12
Penelitian lain menunjukkan pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat
mengakibatkan timbulnya edema paru berat. Selain itu, pemberian cairan
kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya
tekanan intra kranial.10–12
Perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid menyebabkan
kristaloid sebagai pilihan untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.10–12

Tabel 1. Komposisi cairan13


Larutan Tonisitas Na+ Cl- K+ Ca2 Glukosa Laktat
(mosml/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (gr/L) (mEq/L)

Dex5% Hipo (253) - - - - 50 -

NS Iso (208) 154 154 - - - -

D5 ¼ NS Iso (330) 38,5 38,5 - - 50 -

D5 ½ NS Hiper (407) 77 77 - - 50 -

D5NS Hiper (561) 154 154 - - 50 0

RL Iso (273) 130 109 4 3 - 28

D5RL Hiper (525) 130 109 4 3 50 28

xvii
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak
digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang
hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan
tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat.10–12
Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi
bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional
hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat
peningkatan klorida.10–12
Solusio NaCl, seperti ringer laktat, NormoSol dan Plasmalyte, menunjukkan
tidak ada efek samping pada populasi pasien. Hal ini tidak berhubungan dengan
hiperkloremia atau hipernatremia dan merupakan cairan perioperatif yang
direkomendasikan. Disfungsi gastrointestinal dan tertundanya pemulihan usus
merupakan dua hal yang dideskripsikan sebagai komplikasi postoperatif dari infus
kristaloid dengan volume banyak. 9
2. Koloid
Cairan kristaloid juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
‘plasma substitute´ atau ‘plasma expander´. Cairan koloid mengandung zat/bahan
yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam)
dalam ruang intravaskuler.10–12
Hal ini menyebabkan koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara
cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan
hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (seperti luka bakar).
Kerugian dari koloid, yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik
(jarang) serta dapat menyebabkan gangguan pada cross match.10,11
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:10–12
a. Koloid Alami

Fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%). Dibuat


dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam untuk
membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta
globulin.Prekallikrein activators (Hageman’s factor fragments) seringkali terdapat

xviii
dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu
pemberian infuse dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi
dan kolaps kardiovaskuler. 10–12
b. Koloid Sintesis

 Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran
70(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostocmesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Dextran 70
merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan Dextran 40, tetapi
Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat
menurunkan kekentalan (viskositas) darah. 9
Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet
adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan
melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran >20 ml/kgBB/hari dapat
mengganggu cross- match, waktu perdarahan memanjang dan gagal ginjal.
Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan
memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu. 9
 Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Heta straxch tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 ±
1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30
mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46%
lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. 9
Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat
meningkatkan kadar serum amilase ( walau jarang). Low molecullar weight
Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch yang mampu
mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan
berlangsung selama 12 jam. 9
Potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas
yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi menyebabkan Penta starch dipilih
sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat. 9
 Gelatin

xix
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul
rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin,
yaitu:10–12
- Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
Oxypoly gelatin ,merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada
penderita gawat. Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang)
terutama dari golonganurea linked gelatin. 9

2.3.3 Perkiraan Jumlah Perdarahan

Perkiraan jumlah perdarahan yang terjadi selama pembedahan sering


mengalami kesulitan dikarenakan adanya perdarahan yang sulit
diukur/tersembunyi yang terdapat di dalam luka operasi, kain kasa, kain operasi
dan lain-lain.10,14

Tabel 1 Klasifikasi syok akibat perdarahan10,14


Class I 2.5 L Ringer-lactate solution atau 1.0 L
(haemorrhage 750 ml (15%)) polygelatin

Class II 1.0 L polygelatin + 1.5 L Ringer-lactate


(haemorrhage 800-1500 ml (15-30%)) solution

Class III 1.0 L Ringer-lactate solution + 0.5 L whole


(haemorrhage 1500-2000 ml (30-40%)) blood atau 0.1-1.5 L equal volumes of
concentrated red cells and polygelatin

Class IV 1.0 L Ringer-lactate solution + 1.0 L


(haemorrhage 2000 ml (48%)) polygelatin plus 2.0 l whole blood atau 2.0
L equal volumes of concentrated red cells
dan polygelatin atau hestastarch

Cara yang biasa digunakan untuk memperkirakan jumlah perdarahan


dengan mengukur jumlah darah di dalam botol suction ditambah perkiraan jumlah
darah di kain kasa dan kain operasi. Satu lembar duk dapat menampung 100-150

xx
ml darah, sedangkan untuk kain kasa sebaiknya ditimbang sebelum dan setelah
dipakai dimana selisih 1 gram dianggap sama dengan 1 ml darah.10,14
Perkiraan jumlah perdarahan dapat juga diukur dengan pemeriksaan
hematokrit dan hemoglobin secara serial. pasien yang mengalami perdarahan
untuk mempertahankan volume intravena dapat diberikan kristaloid atau koloid
sampai tahap timbulnya bahaya karena anemia.10,14
Pasien yang mengalami perdarahan selanjutnya diganti dengan transfusi sel
darah merah untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin ataupun hematokrit
pada level aman, yaitu Hb 7-10 g/dl atau Hct 21-30% dan 20-25% pada individu
sehat atau anemia kronis.10,14
Kebutuhan transfusi dapat ditetapkan pada saat prabedah berdasarkan nilai
hematokrit dan EBV. EBV pada neonatus prematur 95 ml/kgBB, full term 85
ml/kgBB, bayi 80 ml/kgBB dan pada dewasa laki-laki 75 ml/kgBB, perempuan 85
ml/kgBB. Penentuan jumlah perdarahan yang diperlukan agar Hct menjadi 30%
dapat dihitung dengan cara:10,14
- EBV
- Estimasi volume sel darah merah pada Hct prabedah (RBCV preop)
- Estimasi volume sel darah merah pada Hct 30% prabedah (RBCV%)
- Volume sel darah merah yang hilang, RBCV lost = RBCV preop -
RBVC 30%)
- Jumlah darah yang boleh hilang = RBCV lost x 3
Transfusi dilakukan jika perdarahan melebihi nilai RBCV lost x 3. Selain
cara tersebut di atas, beberapa pendapat mengenai penggantian cairan akibat
perdarahan adalah sebagai berikut : 9
- Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10 – 15%, cukup
diganti dengan cairan elektrolit.
- Perdarahan sedang, perdarahan 10 – 20% EBV, 15 – 30%, dapat
diganti dengan cairan kristaloid dan koloid.
- Perdarahan berat, perdarahan 20 – 50% EBV, > 30%, harus diganti
dengan transfusi darah.

xxi
xxii
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas

Nama : Ny. PR

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 34 tahun

BB : 60 kg

Tanggal Operasi : 15-01-2022

3.2 Diagnosa

G4P3A0 hamil 38-39 minggu, JPKTH, BSC 3x, (IDT 3,8 th), HAP ec. PPT, High
Suspicious of diffuse AIP (Suspect Perkreta)

3.3 Rencana

Sectio Caesarea (SC) dengan Epidural Anestesi, persiapan dengan General


Anestesi

3.4 Preoperatif

S/

Pasien datang rujukan dari RS BMC bireun setelah di dapatkan plasenta perkreta
saat dilakukan insisi section cesarea kemudian di tutup dan di rujuk ke RSUDZA.
Riwayat Hipertensi (-) Diabetes Mellitus (-) Alergi (-) Asma (-)

A : Riwayat alergi obat ataupun udara dingin disangkal

M : Pasien mendapatkan Ceftriaxone 2gr/24jam

P : Riwayat Hipertensi disangkal, Diabetes mellitus disangkal, Asma disangkal

xxiii
L : Pasien mulai puasa jam 02.00 WIB

E : Saat ini pasien tidak ada keluhan

O/

B1 Breathing : OS sesak napas (-) RR 20x/i, SpO2 98% Room Air, PF/ Vesikuler
+/+ Rhonki -/- Wheezing -/-

B2 Blood : TD 124/82 mmhg, HR 74 x/menit, regular, kuat angkat, CRT < 2 detik

B3 Brain : GCS E4M6V5, compos mentis

B4 Bladder : Urin (+) warna kekuningan, Urin output > 0,5 cc/kgbb/jam

B5 Bowel : Mual (-) Muntah (-) Nafsu makan baik, peristaltik usus 6-8 x/menit

B6 Bone : tidak ada kelainan

A/

ASA II

- Kehamilan Hb 9,7 gr/dL, Leukosit 13.000/mm³, trombosit 221.000/mm³

P/

- Sio sita informed consent

- Puasa 6 jam preop

- Terpasang IV line adekuat dan maintenance cairan

- Pemberian obat antiemetik

- Pemberian obat analgetik

xxiv
- Persiapan darah PRC 10 kolf, FFP 5 kolf, TC 5 kolf

- Post operasi : HCU backup ICU

Hasil pemeriksaan USG:

FHR +, Presentasi Bokong

BPD : 9,14 cm

HC : 33,46 cm

AC : 33,6 mm

ICA : 14 cm

EFW : 3247 gr

Plasenta : Corpus anterior menutupi OUI

Lacuna : grade III

Bridging vessel : Positif

xxv
Clear zone : Negatif

Cervix Length : 4,3 cm

Kesimpulan : Janin tunggal hidup presentasi kepala ~ 38-39 minggu, Plasenta


Previa Totalis, High Suspicious Of diffuse AIP, Susp. Perkreta.

Mapping Plasenta:

3.5 Intraoperatif

• Jam 08.30 WIB, mulai pembiusan dengan epidural anestesi puncture di


intervertebral space L3-L4, dengan Lor 3.5, Fix 8.5, Peak level T11-T12,
dengan regimen levobupivacaine 0,125% + morfin 1 mg, total volume 12
cc, pemberian nasal kanul O2 4 liter per menit

xxvi
• Pemasangan artery blood pressure dilakukan untuk monitoring, dengan 2
IV line untuk pemberian cairan, dan pemasangan kateter untuk monitoring
cairan yang keluar

• EBV : 3900 cc,

• ABL 9 : 609 cc, ABL 8 : 975 cc, ABL 7 : 1340 cc, ABL 6 : 1706 cc

• Perdarahan : 2200 cc

• Resusitasi cairan dengan kristaloid

- RL 1700 cc

- NaCL 0,9% 300 cc

• Resusitasi cairan dengan kristaloid

- Gelofusin 500 cc

• Transfusi darah PRC 836 cc

• Urine output : 700 cc

Lama pembiusan : 4 jam 45 menit

Lama pembedahan : 4 jam

3.6 Postoperatif

• Pasien dipindahkan ke ruang PACU dan diberikan penghangat

• Pasien dipindahkan ke ruangan HCU

xxvii
BAB IV
PEMBAHASAN

Plasenta akreta spektrum (PAS) adalah indikasi yang paling umum untuk
histerektomi peripartum dan memiliki potensi untuk perdarahan masif. Sekuele
peripartum tambahan dari plasenta yang melekat secara tidak sehat termasuk
koagulopati pengenceran, reaksi transfusi, cedera paru akut terkait transfusi,
kelebihan beban jantung terkait transfusi, gangguan elektrolit, cedera ginjal akut,
dan perawatan di unit perawatan intensif (ICU). Wanita dengan plasentasi
abnormal juga berisiko mengalami cedera pada usus, kandung kemih, dan ureter;
serta tromboemboli.15

PAS memerlukan koordinasi yang terencana dengan baik dari beberapa


spesialis dan menghadirkan berbagai tantangan bagi ahli anestesi termasuk
persiapan untuk perdarahan akut yang cepat, transfusi masif, koagulopati,
kemungkinan kesulitan jalan napas, waktu operasi yang diperpanjang,
perpindahan ke lokasi lain (misalnya, bedah intervensi) dan mengoptimalkan
manajemen nyeri pasca operasi. Ahli anestesi perlu menyeimbangkan tantangan
ini sambil memastikan pencapaian beberapa tujuan simultan dari keselamatan ibu,
kondisi operasi yang optimal, dan meminimalkan risiko pada janin untuk hasil
neonatal yang optimal. Komunikasi yang jelas antara semua anggota tim selama
perencanaan rinci, perawatan intraoperatif, dan manajemen pascaoperasi sangat
penting untuk mendapatkan hasil terbaik.16

Penilaian pra operasi pasien dengan PAS yang diketahui atau dicurigai
harus fokus pada komponen riwayat medis dan faktor risiko obstetrik yang dapat
menempatkan pasien pada peningkatan risiko perdarahan atau kerusakan organ.
Konsultasi dan evaluasi dini oleh ahli anestesi memungkinkan studi laboratorium
atau diagnostik tambahan, masukan tepat waktu dari spesialis lain dan rujukan
jika diperlukan, kemampuan untuk melakukan diskusi multidisiplin seputar
kebutuhan pasien yang unik. Selain tinjauan sistem organ utama, riwayat
obstetrik, dan pemeriksaan fisik terfokus, elemen spesifik yang secara signifikan
mengubah manajemen perioperatif yang direncanakan termasuk masalah anestesi

xxviii
sebelumnya (misalnya, jalan napas sulit yang diketahui, hipertermia maligna),
koagulopati, nyeri kronis, dan penolakan produk darah harus dinilai. Semua upaya
harus difokuskan untuk mengoptimalkan semua kondisi komorbiditas dan
pengurangan risiko sebelum waktu persalinan.17

Adaptasi paru pada kehamilan menghasilkan peningkatan ventilasi semenit


dan konsumsi oksigen. Penurunan cadangan paru dan peningkatan edema jalan
napas yang berhubungan dengan kehamilan membuat manajemen pernapasan
lebih menantang.18

Wanita yang dijadwalkan untuk histerektomi sesar harus dievaluasi untuk


anemia dan memiliki penilaian yang cermat untuk (riwayat) koagulopati. Studi
laboratorium mengevaluasi potensi anemia, trombositopenia, dan koagulopati
harus diperoleh pada titik waktu yang cukup awal sehingga konsultasi hematologi
dan rekomendasi yang tepat dapat diperoleh jika gangguan koagulasi
diidentifikasi. Selain itu, jika pasien mngalami anemia yang signifikan, evaluasi
awal akan memberikan waktu untuk penentuan penyebab yang mendasari dan
intervensi potensial untuk meningkatkan massa sel darah merah (misalnya,
suplementasi zat besi atau B12, eritropoietin).19

Sebagian dari evaluasi praoperasi harus fokus pada riwayat obstetrik yang
dapat mempengaruhi stabilitas hemodinamik intraoperatif, koagulopati, dan
morbiditas organ akhir (misalnya, preeklamsia dengan atau tanpa gejala berat,
trombositopenia gestasional). Meskipun banyak kasus PAS yang dicurigai
antenatal berdasarkan pencitraan, diagnosis pasti tidak diketahui sampai
laparotomi. Akibatnya, penting bagi ahli anestesi untuk mendapatkan riwayat
obstetrik. Pengetahuan rinci tentang operasi abdominal sebelumnya dapat
memfasilitasi ahli anestesi dalam memperkirakan waktu dari sayatan untuk
melahirkan dan total waktu dari histerektomi sesar yang direncanakan.
Perhitungan ini akan membantu menentukan rencana anestesi yang tepat.20

Pemeriksaan fisik terfokus harus mencakup pengukuran tekanan darah


dasar, dan pemeriksaan jalan napas, jantung, dan paru-paru, sesuai dengan ASA
Practice Advisory for Preanesthesia Evaluation. Potensi kesulitan jalan napas

xxix
yang dinilai dengan membuka mulut, mobilitas leher, dan lingkar leher, dapat
memandu pilihan anestesi dalam pengaturan intubasi sulit yang diantisipasi atau
ventilasi masker yang sulit. Ketika anestesi neuraksial direncanakan, punggung
pasien harus diperiksa. Tempat untuk kemungkinan akses vaskular harus
diperhatikan untuk merencanakan jalur yang lebih baik yang akan diperlukan jika
akses intravena perifer dengan lubang besar diantisipasi menjadi tantangan.21

Meskipun tidak diperlukan untuk rawat inap standar untuk persalinan dan
pelahiran, hitung darah lengkap harus dievaluasi sebelum operasi untuk
mengetahui adanya anemia. Selain itu, panel metabolik dasar, tes fungsi hati, dan
tes koagulasi (PT/INR, waktu tromboplastin parsial, kadar fibrinogen) juga harus
dinilai. Saat ini, tidak ada agen anestesi umum yang diketahui lebih unggul dari
yang lain, dan ini mendorong untuk dicatat bahwa dua uji klinis yang dirancang
dengan baik baru-baru ini menemukan paparan terbatas anestesi umum di awal
kehidupan tidak terkait dengan defisit neurokognitif jangka panjang.1

Waktu dan lokasi untuk melahirkan PAS dengan histerektomi sesar yang
direncanakan sangat penting. ACOG menyarankan bahwa pasien stabil dengan
PAS dilahirkan antara 34-35 minggu kehamilan. Pasien dan rencana pembedahan
harus didiskusikan di antara tim multidisiplin, idealnya pertemuan antar disiplin
disusun pada awal trimester ketiga kehamilan. Semua anggota tim harus
mendapatkan informasi terbaru tentang perubahan yang relevan dengan status
medis pasien seiring perkembangan kehamilannya (misalnya, perdarahan
antepartum). Rencana kontinjensi untuk sesar darurat atau darurat dalam
pengaturan ketuban pecah dini prematur, persalinan prematur, perdarahan yang
signifikan atau masalah kebidanan dan janin lainnya harus ada dengan semua
anggota tim diberitahu tentang rencana tersebut.22

Histerektomi sesar untuk pasien dengan plasentasi abnormal harus


dilakukan di institusi di mana dokter terlatih dalam kedokteran janin ibu, anestesi
obstetrik, neonatologi, perawatan kritis, bedah panggul, bedah vaskular, dan
radiologi intervensi tersedia. Ruang ICU untuk perawatan pasca operasi harus
tersedia. Fasilitas tersebut harus memiliki bank darah yang mampu melakukan
transfusi masif dengan plasma beku segar (FFP), kriopresipitat, dan faktor

xxx
koagulasi yang tersedia. Kemampuan laboratorium harus dipertimbangkan,
mengingat potensi beberapa sampel laboratorium untuk terus-menerus menilai
kadar hemoglobin dan hematokrit serta penilaian gas darah yang sering. Atas
dasar faktor-faktor ini, pusat perawatan tersier atau pusat keunggulan untuk
plasenta akreta sering lebih disukai, karena hasil yang lebih baik untuk pasien
yang dikelola di pusat keunggulan untuk PAS dengan tim multidisiplin.23

PERSIAPAN PRODUK DARAH

Jenis dan skrining harus diselesaikan sebelum tanggal operasi untuk


mengevaluasi dan merencanakan antibodi dan pencocokan silang yang sulit. Jenis
dan pencocokan silang harus diselesaikan sebelum memindahkan pasien ke ruang
operasi untuk pembedahan. Sel darah merah yang dikemas (RBC) dan FFP harus
tersedia pada saat operasi di ruang operasi untuk histerektomi sesar yang
direncanakan. Meskipun terdapat variasi yang cukup besar, contoh persiapan
produk darah mungkin mencakup 6 unit RBC dan 4 unit FFP. Penting juga untuk
mengomunikasikan potensi kebutuhan trombosit dan kriopresipitat dengan bank
darah sedini mungkin, karena produk ini mungkin secara berkala kekurangan atau
persediaan terbatas di beberapa institusi.16

MANAJEMEN DAN PERTIMBANGAN INTRAOPERATIF

Meskipun banyak pertimbangan anestesi perioperatif serupa dengan


persalinan sesar, sejumlah besar persiapan tambahan yang rinci diperlukan untuk
mengoptimalkan hasil ibu dan janin dalam kasus PAS. Akibatnya, daftar
pemeriksaan tertulis akan berguna untuk memastikan semua detail perencanaan
dan operasional telah tercapai. Sebelum memasuki ruang operasi, penting untuk
melengkapi anamnesis sementara dan pemeriksaan fisik, memastikan ketersediaan
produk darah, neonatus dan tim khusus lainnya, persetujuan (persalinan sesar,
histerektomi, produk darah, dan rencana anestesi), ketersediaan peralatan invasif.
pemantauan, infuser cepat, vasopresor, dan peralatan jalan napas. Batas waktu
yang diperpanjang secara rinci sebelum memasuki ruang operasi sangat ideal
untuk memastikan semuanya sudah pada tempatnya.21

xxxi
AKSES VASKULAR DAN PEMANTAUAN INVASIF

Pasien dengan plasentasi abnormal berisiko mengalami perdarahan masif


dan membutuhkan transfusi masif. Database pasien rawat inap negara bagian New
York menyebutkan plasenta akreta sebagai penyebab paling umum untuk transfusi
masif dalam kebidanan. Pasien harus memiliki minimal dua IV lubang besar (16
atau 14 G) ditempatkan sebelum sayatan untuk memfasilitasi darah dan cairan
yang cepat administrasi. Akses IV yang sulit harus memiliki garis tengah lubang
besar atau selubung pengantar di tempat untuk resusitasi volume cepat yang besar.
Meskipun jalur sentral mungkin juga berguna untuk infus vasopresor sebagai
metode untuk sementara waktu ketidakstabilan hemodinamik karena
simpatektomi atau kehilangan volume dan sebagai perkiraan status volume, tidak
rutin digunakan di semua institusi.24

Pemantauan hemodinamik invasif adalah bijaksana pada wanita dengan


PAS karena memungkinkan untuk evaluasi terus menerus dari tekanan darah dan
konfirmasi denyut jantung dan ritme perfusi dalam pengaturan potensi pergeseran
cairan yang cepat. Selain itu, alat ini menyediakan akses cepat untuk gas darah,
hitung darah, tes koagulasi, dan pemeriksaan laboratorium lainnya. Dalam kasus
dengan patologi jantung ibu yang signifikan, ekokardiografi intraoperatif sangat
diperlukan dalam mengoptimalkan manajemen cairan, titrasi obat ionotropik dan
vasoaktif, dan menentukan fungsi ventrikel. 24

TEKNIK ANESTETIK

Anestesi untuk histerektomi sesar yang direncanakan dapat terdiri dari


anestesi umum, anestesi neuraksial, atau kombinasi keduanya. Meskipun banyak
teknik yang berbeda telah berhasil digunakan, tidak ada data dari percobaan
prospektif yang mendukung anestesi "optimal" untuk histerektomi sesar yang
direncanakan. Pada pasien dengan PAS dan histerektomi sesar yang direncanakan,
sering terjadi kehilangan darah intraoperatif yang masif dan cepat. Kehilangan
darah yang dilaporkan sering berkisar antara 2000 hingga 5000 mL dan
koagulopati yang signifikan sering dapat berkembang. Namun dalam beberapa
kasus, terlepas dari temuan pencitraan yang meyakinkan, PAS tidak didiagnosis

xxxii
saat perut terbuka. Pilihan teknik mungkin sering individual dan ditentukan oleh
komorbiditas pasien, derajat dan kepastian invasi plasenta, preferensi pasien
tertentu, ketersediaan sumber daya, dan keakraban dan preferensi penyedia. 24

Gambar 2 Trombofilaksis dan neuraxial anestesia pada pasien hamil.24

VASOPRESSOR

Selama Bertahun-tahun, ephedrine adalah pengobatan standar untuk


hipotensi yang diinduksi tulang belakang dalam pengaturan kelahiran sesar.
Namun, sekitar 10 tahun yang lalu ditentukan bahwa efedrin melintasi plasenta
lebih luas daripada fenilefrin dan berhubungan dengan asidosis janin. Fenilefrin
dan efedrin keduanya merupakan pilihan yang aman pada kehamilan dalam dosis
yang wajar, tetapi fenilefrin sekarang penekan yang lebih disukai sebelum
melahirkan dan biasanya diberikan sebagai infus setelah inisiasi anestesi

xxxiii
neuraksial. Agen dan dosis vasopresor sering dititrasi untuk menjaga tekanan
darah ibu dan parameter denyut jantung mendekati garis dasar dalam upaya untuk
mempertahankan curah jantung dan uteroplasen - perfusi tinggi. Glikopirolat
dapat digunakan untuk meningkatkan denyut jantung ibu jika diperlukan.
Penggunaan norepinefrin untuk mengobati hipotensi yang diinduksi tulang
belakang selama persalinan sesar saat ini sedang dipelajari, karena aktivitas alfa
dan beta gabungan dapat mencegah bradikardia refleks yang sering terlihat
dengan pemberian fenilefrin. Studi yang membandingkan infus fenilefrin versus
norepinefrin menunjukkan bahwa penggunaan norepinefrin pada kehamilan
adalah wajar dan dapat menghasilkan denyut jantung dan curah jantung yang
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan fenilefrin saja. Meskipun demikian,
signifikansi klinis tidak pasti karena hasil neonatus serupa dengan penggunaan
kedua obat, dan studi lebih lanjut diperlukan sebelum norepinefrin dianggap
sebagai agen lini pertama pilihan. Penggunaan epinefrin selama kehamilan
biasanya disediakan untuk pengaturan resusitasi akut. (misalnya, anafilaksis, henti
jantung). Ada kekhawatiran untuk mengurangi aliran darah uterus setelah
pemberian epinefrin karena vasokonstriksi uterus yang signifikan yang mungkin
terjadi, secara teoritis meningkatkan hipoksia janin. Namun, dalam keadaan
tertentu, resusitasi janin terbaik adalah resusitasi ibu, dan ini mungkin
memerlukan penggunaan epinefrin. Vasopresin adalah pilihan vasopresor lini
kedua untuk pengelolaan hipotensi pada pasien hamil septik. Namun, secara teori,
vasopresin dapat mengaktifkan reseptor V1a uterus dan merangsang kontraksi
uterus. Setelah pelahiran terjadi, pemilihan vasopresor harus ditentukan terutama
oleh status pasien saat ini dan penyebab yang mendasari hipotensi.19

CAIRAN DAN TRANSFUSI

Cairan intravena dan produk darah harus diberikan hangat untuk


menghindari koagulopati akibat hipotermia. Perdarahan selama kasus PAS
seringkali akut dan cepat. Penggunaan protokol transfusi masif membantu
memastikan produk darah dapat diberikan dengan cepat dan rasio yang tidak
tepat. Namun, data dari kasus trauma mendukung penghindaran koagulopati
pengenceran dengan memberikan FFP dan trombosit di awal proses resusitasi

xxxiv
dalam rasio 1:1:1 sel darah merah: FFP: trombosit (rasio 6:6:1 menyiratkan
penggunaan trombosit yang lebih umum) unit thrombophreresis daripada "paket"
trombosit individu. Meskipun studi trauma yang lebih baru tidak menunjukkan
perbedaan mortalitas dalam menggunakan rasio transfusi 2:1:1 versus 1:1:1,
sebagian besar pusat akademik dengan MTP menggunakan rasio RBC dan plasma
1:1.43 ACOG opini komite untuk PAS merekomendasikan transfusi produk darah
selama perdarahan dalam rasio 1 banding 1.24

Karena status koagulasi dan massa sel darah merah dapat berubah dengan
cepat, pengujian laboratorium yang sering mungkin bermanfaat sampai
perdarahan terkontrol. Pengujian titik perawatan dapat secara signifikan
mengurangi waktu tunda antara pengambilan sampel dan hasil, yang mungkin
bermanfaat dalam memandu manajemen transfusi. Kriopresipitat harus tersedia
untuk mengobati koagulasi intravaskular diseminata dan kadar fibrinogen yang
rendah.18

Hasil terbaru dari percobaan multi-institusi besar mencatat manfaat asam


traneksamat (TXA) dalam mengurangi kematian akibat perdarahan pada wanita
yang mengalami perdarahan postpartum ketika 1 g diberikan dalam waktu 3 jam
setelah melahirkan. 18

Yang paling penting, hasil membantu memberikan bukti keamanan tanpa


peningkatan tingkat kejadian tromboemboli termasuk emboli paru, infark
miokard, atau stroke. Akibatnya, pemberian TXA mungkin bermanfaat setelah
melahirkan dalam kasus histerektomi sesar tetapi buktinya kurang. 18

Meskipun kadar fibrinogen meningkat pada kehamilan dan kadar


fibrinogen berfungsi sebagai prediktor perdarahan postpartum berat, saat ini tidak
ada bukti untuk memastikan bahwa pemeliharaan fibrinogen pada 200 mg/dL dan
penggunaan konsentrat fibrinogen secara preemptif bermanfaat dalam pengelolaan
obstet. - perdarahan. Sebaliknya, kadar <200 mg/dL dikaitkan dengan peningkatan
risiko komplikasi perdarahan dan beberapa otoritas menyarankan untuk menjaga
kadar di atas ambang batas ini. 18

xxxv
Tidak seperti penggunaan TXA, penggunaan "off-label" dari faktor VIIa
rekombinan (rFVIIa) untuk pengobatan perdarahan postpartum telah dikaitkan
dengan peningkatan risiko kejadian tromboemboli. Pendapat ahli saat ini dan
protokol perdarahan dalam kebidanan merekomendasikan rFVIIa dicadangkan
untuk digunakan sebagai pilihan terakhir ketika semua perawatan lain gagal untuk
memperbaiki perdarahan parah dan koagulopati yang sedang berlangsung. 24

Selain transfusi produk darah alogenik, penyelamatan sel telah berhasil


digunakan dalam banyak kasus perdarahan obstetrik meskipun secara teoritis
mengkhawatirkan emboli cairan ketuban dan sesuai untuk digunakan dalam kasus
histerektomi sesar. Meskipun komponen yang tepat dari cairan ketuban yang
bertanggung jawab untuk kejadian klinis yang terkait dengan emboli cairan
ketuban masih belum diketahui, penggunaan sisa sel dengan filter reduksi leukosit
telah ditunjukkan untuk menghilangkan faktor jaringan, alfa fetoprotein, bakteri
sel skuamosa janin, dan prokoagulan lainnya. 24

Meskipun ada dua laporan tentang hipotensi yang berhubungan dengan


penggunaan cell salvage pada periode peripartum, sebagian besar kasus
memberikan hasil yang baik dan teknik ini dianggap tepat untuk digunakan pada
perdarahan obstetrik masif. Meskipun tidak ada bukti, banyak institusi
menganjurkan untuk menggunakan hisap dinding untuk mengeluarkan semua
cairan ketuban dan mengairi lapangan dengan kristaloid tambahan, yang
kemudian dikeluarkan sebelum inisiasi hisap penyelamatan sel. Pada pasien
dengan Rh−, imunoglobulin anti-D harus diberikan dalam koordinasi dengan
pengujian Kleihaur Betke untuk mencegah alloimunisasi karena jumlah sel darah
merah janin yang bervariasi ditransfusikan ke ibu dengan menggunakan sisa sel. 24

xxxvi
BAB V
KESIMPULAN

Plasenta akreta spektrum (PAS) adalah indikasi yang paling umum untuk
histerektomi peripartum dan memiliki potensi untuk perdarahan masif. Sekuele
peripartum tambahan dari plasenta yang melekat secara tidak sehat termasuk
koagulopati pengenceran, reaksi transfusi, cedera paru akut terkait transfusi,
kelebihan beban jantung terkait transfusi, gangguan elektrolit, cedera ginjal akut,
dan perawatan di unit perawatan intensif (ICU). Wanita dengan plasentasi
abnormal juga berisiko mengalami cedera pada usus, kandung kemih, dan ureter;
serta tromboemboli.

PAS memerlukan koordinasi yang terencana dengan baik dari beberapa


spesialis dan menghadirkan berbagai tantangan bagi ahli anestesi termasuk
persiapan untuk perdarahan akut yang cepat, transfusi masif, koagulopati,
kemungkinan kesulitan jalan napas, waktu operasi yang diperpanjang,
perpindahan ke lokasi lain (misalnya, radiologi intervensi) dan mengoptimalkan
manajemen nyeri pasca operasi. Ahli anestesi perlu menyeimbangkan tantangan
ini sambil memastikan pencapaian beberapa tujuan simultan dari keselamatan ibu,
kondisi operasi yang optimal, dan meminimalkan risiko pada janin untuk hasil
neonatal yang optimal. Komunikasi yang jelas antara semua anggota tim selama
perencanaan rinci, perawatan intraoperatif, dan manajemen pascaoperasi sangat
penting untuk mendapatkan hasil terbaik.

xxxvii
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaelin Agten A, Jones NW. Abnormally invasive placentation: diagnosis


and management. Obstetrics, Gynaecology & Reproductive Medicine
[Internet]. 2019;29(7):189–94. Available from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1751721419300740

2. Collins SL, Chantraine F, Morgan TK, Jauniaux E. Abnormally adherent


and invasive placenta: a spectrum disorder in need of a name. Ultrasound in
Obstetrics & Gynecology [Internet]. 2018 Feb 1;51(2):165–6. Available
from: https://doi.org/10.1002/uog.18982

3. Ronen JA, Castaneda K, Sadre SY. Early Accreta and Uterine Rupture in
the Second Trimester. Cureus. 2018;10(7):1–11.

4. Palacios-Jaraquemada JM, Fiorillo A, Hamer J, Martínez M, Bruno C.


Placenta accreta spectrum: a hysterectomy can be prevented in almost 80%
of cases using a resective-reconstructive technique. The Journal of
Maternal-Fetal & Neonatal Medicine [Internet]. 2020 Jan 26;1–8. Available
from: https://doi.org/10.1080/14767058.2020.1716715

5. Butterworth J, Mackey D, Wasnick J. Morgan and Mikhail’s Clinical


Anesthesiology. 6th ed. McGraw-Hill Education; 2018.

6. Cunningham F, Leveno K, Bloom S. Williams Obstetrics. Mc Graw Hill


Education Medical; 2020.

7. Berghella V. Maternal-Fetal Evidence Based Guidelines Third Edition.pdf.


2017. 1–20 p.

8. Iwata H. Importance of intraoperative fluid management. Journal of


thoracic disease. 2019 Sep;11(Suppl 15):S2002–4.

9. Simmons JW, Dobyns JB. Enhanced Recovery After Surgery


Intraoperative Fluid Management Strategies. Surgical Clinics of NA. 2018;

xxxviii
10. Gede M TG. Ilmu Anestesia Dan Reanimasi. Jakarta: FK UI; 2017.

11. Morgan GE; Mikhail MS; Murray MJ. Clinical Anesthesiology.


Philadelphia: McGraw-Hill Education; 2013.

12. National Institute for Clinical Excellence. Intravenous fluid therapy in


adults in hospital-NICE clinical guideline. 2013.

13. Padhi S; Bullock I; Li L; et al. Intravenous fluid therapy for adults in


hospital: summary of NICE guidance. BMJ. 2013;347:70–3.

14. Paul. The Pyshiology of Volume Resuscitation. Curr Anesthesiol Rep.


2014;4:353–9.

15. Shepherd A, Mahdy H. Placenta Accreta. StatPearls Publishing: Treasure


Island (FL). 2021;

16. The American College of Obstetricians and Gynecologists. Placenta


Accreta Spectrum. Am J Obstet Gynecol. 2018 Dec;219(6):B2–16.

17. Goh W, Zalud I. Placenta accreta: Diagnosis, management and the


molecular biology of the morbidly adherent placenta. J Matern Fetal
Neonatal Med. 2016;29(11):1795–800.

18. Piñas Carrillo A, Chandraharan E. Placenta accreta spectrum: Risk factors,


diagnosis and management with special reference to the Triple P procedure.
Women’s Health [Internet]. 2019 Jan 1;15:1745506519878081. Available
from: https://doi.org/10.1177/1745506519878081

19. Sentilhes L, Goffinet F, Kayem G. Management of placenta accreta. Acta


Obstetricia et Gynecologica Scandinavica. 2013;92(10):1125–34.

20. Findeklee S, Costa SD. Placenta Accreta and Total Placenta Previa in the
19th Week of Pregnancy. Geburtshilfe und Frauenheilkunde.
2015;75(8):839–43.

21. Pardo M, Miller R. Basics of anesthesia. 7th ed. Angewandte Chemie


International Edition, 6(11), 951–952. Elsevier Inc.; 2018. 432–526 p.

xxxix
22. Fonseca A, Ayres de Campos D. Maternal morbidity and mortality due to
placenta accreta spectrum disorders. Best Practice & Research Clinical
Obstetrics & Gynaecology [Internet]. 2021;72:84–91. Available from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1521693420301218

23. RCOG. Placenta Praevia and Placenta Accreta: Diagnosis and Management
(Green-top Guideline No. 27a). RCOG/BSGE Joint Guideline.
2018;2(1):88–96.

24. Warrick CM, Rollins MD. Peripartum anesthesia considerations for


placenta accreta. Clinical Obstetrics and Gynecology. 2018;61(4):808–27.

xl

Anda mungkin juga menyukai