Anda di halaman 1dari 56

Dibacakan : 20 Juli via 2023 via REFERAT

zoom meeting JULI 2023

UPAYA MENCEGAH KELALAIAN MEDIK DALAM PELAYANAN MATERNAL


UNTUK MENURUNKAN MORBIDITAS DAN MORTALITAS MATERNAL

Oleh
Nadya Kurnia Wardani

PEMBIMBING:
Dr. dr. Elizabet C. Jusuf, Sp.OG, Subsp.Obginsos, M.Kes., MH
dr. Umar Malinta, Sp.OG, Subsp.Obginsos

DIVISI OBSTETRI DAN GINEKOLOGI SOSIAL DEPARTEMEN OBSTETRI


DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
ii

DAFTAR ISI

REFERAT...................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Ilustrasi Kasus........................................................................................1
1.2 Latar Belakang.......................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................8
2.1 TINJAUAN EPIDEMIOLOGI, BIOSTATISTIK DAN EVIDENCE
BASED MEDICINE.............................................................................8
2.2 TINJAUAN ETIK DAN MEDIKOLEGAL........................................10
2.3 Tinjauan Manajemen Program.............................................................27
2.4 Tinjauan Manajemen Rumah Sakit......................................................35
2.5 Tinjauan Holistik Biopsikososiokultural.............................................43
2.6 Tinjauan Pendidikan dan Pelatihan......................................................45
BAB III KESIMPULAN..........................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................51
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Ilustrasi Kasus


Seorang Ibu N, umur 35 tahun Gravida 5 Para 3 abortus 1, Masuk rumah
sakit dengan rencana operasi elektif seksio sesarea atas indikasi plasenta akreta
spektrum disorder, pasien merupakan pasien post seksio sesarea 2 kali dan post
kuretase dengan skor PAI (Placenta Acreta Index) 5 , pasien direncanakan
operasi dengan Informed consent antara lain risiko perdarahan, trauma organ
sekitar, hingga tindakan seperti pengangkatan rahim total. Informed consent juga
memuat komplikasi pasca operasi diantaranya retensi urine, maupun adanya
dehisiensi luka operasi.
Operasi pada pasien terdiagnosis akreta memerlukan tim yang
berkompetensi dibidangnya serta dokter yang melakukan tindakan sudah
antaranya konsultan fetomaternal, bedah urologi, dan persiapan operasikonsul
anestesi, divisi urologi untuk marker ureter, dan konsul perinatologi. Tindakan
yang dilakukan adalah seksio sesarea dengan reseksi uterus, dengan jumlah
perdarahan sebanyak 3500 cc, durasi operasi selama 3 jam, dengan dilakukan
transfusi intraoperasi di 12 bag dengan komponen darah 4 bag pocket red cell, 4
trombosit concentrates, dan 4 bag fresh frozen plasma oleh Tim anestesi.
Setelah operasi perawatan dilanjutkan di HCU ( High Care Unit ) dan
dilakukan perawatan selama 3 hari, dan dipulangkan dalam kondisi membaik.
untuk kontrol poliklinik. Selain di Poliklinik rumah sakit pasien juga rutin kontrol di
praktik pribadi dokter, dan selalu mengeluhkan jika perut sebelah kanan terasa
tidak nyaman dan nyeri yang hilang timbul semenjak pasca operasi, akan tetapi
setelah 3 bulan rutin kontrol dipoliklinik dan praktek pribadi dokter spesialis,
psien tetap mengeluh hal yang sama, dan keluarga terutama suami merasa
keberatan, sehingga pasien dan keluarga memutuskan untuk memeriksa dan
meminta ct scan di RS swasta, dan dari hasil CT scan tersebut adalah
Gambaran massa hyperechoic curiga Corpus Aleinum. Dari hasil tersebut pasien
ke dokter bedah digestif dan disarankan untuk Kembali ke dokter spesialis dan
RS yang pertama kali merawat, Namun pasien dan keluarga merasa keberatan
dan tidak mau Kembali ke dokter spesialis yang merawat pertama kali.
2

Dalam pembicaraan dengan dokter bedah digestif, dokter tersebut


memberi pengertian, dan mengingat operasi pertama yang dijalan ioleh pasien
merupakan operasi besar dan keluarga yang dimana suami merupakan
konsultan dibidang Hukum sudah dijelaskan komplikasi dan risiko yang dialami
dalam hal ini pasien dan keluarga tidak menuntut atas kejadian tersebut, dengan
komunikasi yang baik antara dokter bedah digestif, dokter spesialis kandungan,
dan pihak rumah sakit maka diputuskan pasien kembali dirawat di Rumah sakit
yang pertama, dan menjalani perawatan oleh dokter spesialis kandungan yang
berbeda.
Pihak Rumah sakit memfasilitasi pasien dan keluarga, agar cepat
mendapatkan penanganan segera, dari anamnesis pasien di UGD keluhan nyeri
perut yang sering hilang timbul dan perut membesar, semenjak post operasi,
pasien mengaku telah mengkonsumsi antibiotik dan analgetic namun keluhan
tersebut tidak berkurang. Nyeri yang dirasakan makin hari makin memberat dari
anamnesis. Dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
didapatkan pemeriksaan lokalis pada abdomen adalah massa padat solid,
sekitar ukuran 7x8 cm, nyeri tekan ada, pasien juga kembali menjalani
pemeriksaan penunjang, untuk persiapan operasi.
Tindakan laparatomi eksplorasi dengan diagnosis pre operasi suspek
adhesive band dengan perlengketan dan corpus aleinum intraabdomen, setelah
dilakukan ekplorasi didapatkan kassa sebesar 16 x 16 cm dan perlengketan
hebat antara kolon,uterus dan kedua ovarium. Selanjutnya dilakukan tindakan
adesiolisis, dan terjadi perforasi. Sehingga diputuskan untuk konsul durante
operasi pada teman sejawat divisi digestif, dilakukan Tindakan repair perforasi
dan pemasangan drain intraabdomen. Setelah menjalani perawatan post operasi
di ICU (intensif care unit) selama 5 hari, pasien pindah ke perawatan biasa dan
menjalani 10 hari perawatan hingga luka operasi dinyatakan sembuh.

1.2 Latar Belakang


Kematian ibu telah digunakan sebagai ukuran kualitas pelayanan
kesehatan di masyarakat. Lebih dari 600.000 kematian ibu terjadi setiap tahun di
seluruh dunia. Kematian ibu didefinisikan sebagai kematian seorang wanita saat
hamil atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, terlepas dari lama dan
3

lokasi kehamilan, dari setiap penyebab yang berkaitan dengan atau diperparah
oleh kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan karena kecelakaan atau
insidental. Sulit untuk menemukan pelaporan kematian ibu yang tepat karena
memerlukan informasi tentang kematian pada wanita usia reproduksi, status
kehamilan pada atau mendekati saat kematian, dan penyebab medis kematian.
Penyebab utama kematian ibu adalah penyebab langsung seperti
perdarahan/perdarahan hebat (25%), infeksi (13%), eklampsia (12%), persalinan
macet (8%), penyebab langsung lainnya (8%), dan penyebab tidak langsung.
(20%). Kematian ibu tidak langsung dapat disebabkan oleh penyakit yang sudah
ada sebelumnya atau penyakit yang berkembang selama kehamilan dan bukan
karena penyebab obstetrik langsung.1
Sebagian besar kematian ibu menjalani pemeriksaan medikolegal. Hal ini
karena dokter tidak yakin penyebab pasti kematian dan tidak mau mengeluarkan
sertifikat penyebab kematian, bahkan ketika penyebab langsung kematian
tampaknya jelas. Jelas bahwa litigasi medis meningkat, dan kebidanan dan
ginekologi menyumbang 30% dari semua klaim kelalaian terhadap dokter
otoritas kesehatan. Meski risiko kematian akibat komplikasi kehamilan telah
menurun selama beberapa dekade terakhir, hal itu terus menghantui dokter
kandungan.1
komplikasi pascapersalinan, dan prosedur yang dilakukan tanpa
persetujuan yang sah adalah situasi utama di mana vonis yang merugikan
diberikan kepada profesional medis. Ruang lingkup litigasi muncul dalam
beberapa kondisi. Ini termasuk diagnosis yang salah, pengambilan keputusan
yang salah, kelalaian, pengawasan yang buruk, persetujuan yang tidak lengkap
atau tidak tepat, komplikasi intraoperatif, dan retensi benda asing setelah
operasi. Namun, sistem hukum memandang profesi medis sebagai “profesi yang
mulia”. Profesional medis diharapkan menunjukkan standar kompetensi saat
menangani pasien.2 Peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas pada
persalinan seksio sesarea disebabkan karena komplikasi yang ditimbulkan yaitu
selama intra operatif ataupun post operatif. Lebih jauh, komplikasi pada
persalinan seksio sesarea dibedakan menjadi komplikasi segera dan komplikasi
jangka panjang. Morbiditas pada pasien umumnya tidak berlangsung secara
cepat tetapi melalui proses. Komplikasi perdarahan merupakan komplikasi yang
4

paling banyak terjadi pada pasien adalah perdarahan yang membutuhkan


transfusi darah atau ≥1000 mL terjadi setidaknya pada 8,6 – 13% persalinan.
Sedangkan kasus perdarahan berat atau kehilangan darah ≥1500 mL terjadi
pada 2,2% persalinan seksio sesarea elektif dan 3,4% seksio sesarea
emergensi. Mengurangi morbiditas dan mortalitas ibu menjadi perhatian global
dan tujuan perawatan kesehatan utama di negara-negara berkembang. Tinjauan
Kematian Ibu adalah pendekatan yang dianjurkan oleh WHO untuk meneliti
praktik dan hasil persalinan di fasilitas kesehatan dan di masyarakat. Ini
menganalisis kematian dan faktor-faktornya di semua tingkatan dan dibagi
menjadi Kajian kematian ibu berbasis fasilitas dan berbasis komunitas.
Pemahaman tentang perubahan dan tren terbaru dalam epidemiologi kematian
ibu adalah penting dalam hal ini.3
Kematian ibu saat ini didefinisikan sebagai “Kematian wanita mana pun
saat hamil atau dalam waktu empat puluh dua hari setelah berakhirnya
kehamilan terlepas dari lama atau tempat kehamilan dari penyebab apa pun
yang terkait dengan atau diperparah oleh kehamilan tetapi bukan dari penyebab
kecelakaan atau insidental”. Angka kematian ibu didefinisikan secara
internasional, sebagai angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.
Kematian ibu merupakan indikator penting dari jangkauan layanan kesehatan
klinis yang efektif bagi masyarakat miskin, dan dianggap sebagai salah satu
ukuran gabungan untuk menilai kemajuan Negara.3
Di negara - negara berkembang, kematian ibu jauh lebih umum, tetapi
sulit untuk mengukur secara akurat karena kesulitan dalam kelengkapan
identifikasi kasus. Ada perbedaan regional dan nasional dalam penyebab
kematian langsung dan tidak langsung di negara-negara berkembang, tetapi
penyebab paling umum kematian ibu di negara-negara ini adalah perdarahan,
hipertensi yang diinduksi kehamilan di antara primiparae, ruptur uterus, dan
sepsis. Sebagian besar kematian ibu menjalani investigasi medikolegal. Ini
karena dokter tidak yakin akan penyebab kematian yang tepat dan tidak mau
mengeluarkan sertifikat penyebab kematian, bahkan ketika penyebab kematian
langsung tampaknya jelas.3
Jelas bahwa litigasi medis meningkat, kebidanan dan ginekologi
menyumbang 30% dari semua klaim kelalaian terhadap dokter otoritas
5

kesehatan. Meskipun risiko kematian akibat komplikasi kehamilan telah menurun


selama beberapa dekade terakhir, hal ini tetap banyak di kalangan dokter
kandungan. Di beberapa bagian Afrika, angka kematian ibu dilaporkan setinggi
satu dari 10 kehamilan berbeda dengan Swedia dan Norwegia sekitar satu dari
5.000, mewakili perbedaan hampir 500 kali lipat, sedangkan di beberapa negara
berkembang, angka tersebut telah dilaporkan sebagai satu dibanding 50 kasus.1
Sectio caesarea merupakan tindakan medis yang diperlukan untuk
membantu persalinan yang tidak bisa dilakukan secara normal akibat masalah
kesehatan ibu atau kondisi janin. Tindakan ini diartikan sebagai pembedahan
untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus atau
vagina yang merupakan suatu histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam
rahim. Namun demikian, tindakan sectio caesarea tidak lagi dilakukan semata-
mata karena pertimbangan medis, tetapi juga termasuk permintaan pasien
sendiri atau saran dokter yang menangani.4
Komplikasi jangka panjang bagi ibu dengan Riwayat seksio sesarea
sebelumnya adalah meningkatnya risiko terjadi plasenta akreta, dilaporkan pada
sebuah studi tahun 2016 yang dilakukan dengan mengambil sampel rawat inap
dimana menemukan bahwa tingkat keseluruhan plasenta akreta di Amerika
serikat adalah 1 dibanding 272, meningkatnya tingkat plasenta akreta 4 dekade
terakhir disebabkan oleh perubahan faktor risiko terutama peningkatan kelahiran
saesar sebelumnya. Tinjauan sistematis tingkat spektrum akreta meningkat 0.3
% pada wanita dengan satu persalinan saesar sebelumnya menjadi 6,74% untuk
wanita dengan lima atau lebih post oeprsi sebelumnya, dn faktor risiko tambahan
seperti usia, multiparitas, serta kuretase rahim sebelumnya.5
Pada tahun 2015, American College of Obstetricians and Gynecologists
(ACOG) dan Society for Maternal-Fetal Medicine mengembangkan sistem
perawatan ideal ibu yang sesuai risiko standar untuk fasilitas, berdasarkan
wilayah dan keahlian staf medis, untuk mengurangi morbiditas ibu secara
keseluruhan dan mortalitas di Amerika Serikat. Konsep itu “Levels of maternal
care”. Spektrum plasenta akreta dianggap sebagai kondisi berisiko tinggi dengan
morbiditas terkait yang serius, oleh karena itu, ACOG dan Society for Maternal-
Fetal Medicine merekomendasikan pasien ini untuk menerima perawatan tingkat
III (subspesialisasi) atau lebih tinggi. Tingkat ini mencakup staf medis yang
6

tersedia terus-menerus dengan pelatihan dan pengalaman yang sesuai dalam


mengelola komplikasi ibu dan kebidanan yang kompleks, termasuk spektrum
plasenta akreta, serta akses yang konsisten ke staf interdisipliner dengan
keahlian dalam perawatan kritis (yaitu, subspesialis perawatan kritis, ahli
hematologi, ahli jantung, dan ahli neonatologi).5

Instrument bedah seperti scissor, klem, pingset maupun bahan habis


seperti kassa, dan kassa besar umumnya sering dijumpai pada operasi dengan
lapangan operasi yang besar seperti laparatomi, insiden belum pernah
dilaporkan secara global maupun nasional. Namun ada beberapa laporan kasus
seperti kejadian yang dilaporkan oleh Hippokratia jurnal pada tahun 2014,
instrument tertinggal di dalam abdomen dan berada di kolon sigmoid.6
Gossypiboma adalah lesi massa akibat tertahannya spons bedah yang dikelilingi
oleh reaksi benda asing. Ini dapat menyebabkan morbiditas yang serius dan
bahkan kematian. Karena tidak diantisipasi, sering salah didiagnosis, dan sering
dilakukan prosedur bedah radikal yang tidak perlu. Ini harus dipertimbangkan
dalam diagnosis diferensial dari setiap kasus pasca operasi dengan masalah
yang tidak terselesaikan atau tidak biasa. Pasien mengalami gejala sakit perut,
mual, muntah, anoreksia, dan penurunan berat badan, akibat obstruksi atau
sindrom tipe malabsorpsi yang disebabkan oleh fistula usus multipel atau
pertumbuhan bakteri intraluminal yang berlebihan. Komplikasi yang disebabkan
oleh benda asing ini sudah diketahui dengan baik, namun kasus jarang
dipublikasikan karena implikasi medikolegal Diagnosis gossypiboma dan operasi
bedah perbaikan kedua yang diperlukan untuk memperbaiki masalah medis yang
kemungkinan dapat menyebabkan masalah hukum antara pasien dan ahli
bedah. Konsekuensi medikolegal dari gossypiboma sangat signifikan. Seperti
yang dilaporkan pada Indiana Journal of Surgery pada kasus post operative
appendectomy dimana pasien mengalami asien mengalami dehidrasi dan
anemia dengan takikardia, hipotensi dan produksi urin rendah. Perutnya
membesar dengan bising usus yang meningkat. Tidak ada balon rektal. Laporan
darah menunjukkan leukositosis dan penurunan kadar hemoglobin. Secara
radiologis, terdapat beberapa tingkat cairan udara, yang menunjukkan obstruksi
usus. Pasien dikelola secara konservatif, tetapi gejala obstruksi ususnya tidak
sembuh. Pada laparotomi eksplorasi, spons bedah intraluminal ditemukan 15 cm
7

proksimal ke persimpangan ileocaecal. Segmen ileum yang terlibat direseksi dan


dilakukan anastomosis ujung ke ujung ileoileal. Pada prosesn pemulihannya
kondisi pasien membaik.6

Insiden pasti tertinggalnya perangkat bedah tidak diketahui, akibat kurang


pelaporan terkait aspek medikolegal. Kejadiannya diperkirakan sekitar 0,01-
0,03%. Di Amerika Serikat kasus tertinggalnya perangkat bedah dilaporkan
sebanyak 750 kasus pertahunnya, Tidak ada data mengenai insiden
gossypiboma di Indonesia. Walaupun jarang terjadi, kasus ini dapat
menyebabkan morbiditas yang serius dengan segala dampak buruknya, bahkan
mortalitas.7 Namun untuk data statistik untuk Indonesia sendiri tidak ditemukan.
8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TINJAUAN EPIDEMIOLOGI, BIOSTATISTIK DAN EVIDENCE BASED


MEDICINE
Kematian maternal masih menjadi perhatian khusus di seluruh
dunia saat ini. Menurut WHO (World Health Organization), kematian ibu
hamil, anak dan remaja mencakup lebih dari sepertiga kematian di seluruh
dunia. Kematian maternal ditemukan 19 kali lebih tinggi di negara
berkembang dibandingkan negara maju, walaupun sudah terdapat
penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dari tahun 1990 hingga 2015
sebesar 44% di seluruh dunia. Kawasan Asia Tenggara sendiri
mempunyai penurunan AKI sebesar 69% selama periode 1990 hingga
2015, tetapi masih belum mencapai target penurunan dari Millenium
Development Goals (MDGs) yang kelima yaitu terdapat penurunan angka
kematian ibu sebesar 75% pada tahun 2015.8
Prosedur bedah Sectio Caesarea dilakukan berdasarkan indikasi
medis untuk menyelamatkan ibu, janin, ataupun keduanya dari ancaman
kematian. Indikasi medis dibagi menjadi tiga kategori yaitu kekuatan
(power), jalan lahir (passage), dan janin (passanger). Sebagian besar,
masalah yang dihadapi adalah prolaps tali pusat/gawat janin, antepartum
mayor perdarahan, partus macet, preeklampsia/eklampsia tinggi, janin
melintang, presentasi bokong, dan ruptur uteri.9
Sectio Caesarea adalah prosedur bedah yang paling umum
dilakukan di seluruh dunia. Sectio caesarea telah menjadi trend, yaitu
peningkatan rata-rata Sectio Caesarea di dunia adalah 19,1% (hasil
analisis tinjauan tahun 2016). Di Indonesia, angka ibu melahirkan menurut
Sectio Caesarea meningkat tajam. Data dari IHDS 2007 menunjukkan
tingkat 5%, tahun 2012 naik menjadi 12%, dan tahun 2017 menjadi
16,4%. Survei lain menyatakan dari Baseline Health Penelitian 2010
menunjukkan angka 15,3%. Angka ini melebihi batas maksimum yang
direkomendasikan oleh WHO yaitu 15%. Persentase tindakan operasi
9

Sectio Caesarea yang terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bali
hampir semua melakukan Sectio Caesarea. Hal tersebut sebagian besar
dilakukan oleh mereka yang tinggal di perkotaan dan berpendidikan tinggi.
Angka ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang dilakukan berdasarkan
survei Riskedas tahun 2010 bahwa 64,52% tinggal di perkotaan, 48,72%
berpendidikan tinggi.9
Analisis selanjutnya dilakukan oleh Baseline Health Research tahun
2013 yang dilakukan oleh Sihombing dkk mengungkapkan bahwa hunian
perkotaan dan tinggi pendidikan yang mempengaruhi terjadinya Sectio
Caesarea. Hal yang sama juga terjadi di China, dan lainnya negara
berkembang di Asia Selatan dan Tenggara. Studi lain menunjukkan
bahwa ada 54% Sectio Caesarea prosedur di dunia tinggal di daerah
perkotaan. Dengan hasil ini, prediksi masa depan dengan tinggi mobilitas
urbanisasi dan peningkatan pendapatan per kapita, memiliki
kecenderungan angka Sectio Caesarea akan meningkat.9
Kejadian yang tidak diinginkan maupun nyaris cidera (near miss)
merupakan komplikasi yang dapat menyertai setiap operasi terutama
pada operasi gawat darurat. Kejadian tidak diinginkan diantaranya adalah
tertinggalnya perangkat bedah berupa kasa bedah yang dikenal dengan
istilah gossypiboma. Risiko gossypiboma ini akan lebih sering terjadi jika
prinsip-prinsip patient safety tidak dilaksanakan dengan baik.
Keselamatan pasien sudah menjadi tuntutan global pelayanan kesehatan
terutama di rumah sakit. Institute of Medicine (IOM) menyatakan patient
safety sebagai upaya untuk mencegah timbulnya bahaya bagi pasien.
Insiden pasti tertinggalnya perangkat bedah tidak diketahui, akibat kurang
pelaporan terkait aspek mediko-legal.
Kasus gossypiboma merupakan kasa bedah yang tertinggal pasca
seksio sesaria. Kasus pertama merupakan seksio sesaria yang
direncanakan sehingga mestinya dapat dicegah. Kepatuhan tim bedah
dalam penerapan surgery safety checklist sangat penting untuk mencegah
kejadian tidak diinginkan pasca operasi. Penerapan surgery safety
checklist meliputi fase Sign in, Time Out, dan Sign Out seperti pada
10

Penelitian di RSUD Kabupaten Barru di Jawa Tengah terdapat tiga kasus


Gossypiboma yang merupakan tindakan section caesarea, dimana 2
merupakan tindakan elektif, dan 1 merupakan tindakan emergency.10
Penelitian tersebut menilai hubungan antara penerapan surgery
safety checklist dengan kejadian tidak diinginkan (infeksi daerah operasi).
Perawat kamar operasi wajib mengkonfirmasi bahwa instrumen telah
dihitung dengan benar dan lengkap selama. Kepatuhan akan hal ini sering
tidak dipatuhi. Kasus kedua dan ketiga merupakan kasus gawat obstetri
tanpa disertai kedaruratan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak dapat
menerapkan kepatuhan terhadap surgery safety Kasus pertama dicurigai
setelah lebih dari 3 bulan lebih setelah seksio sesaria di rumah sakit
Kabupaten. Penderita mengeluh ada kasa keluar dari pantat. Kasa yang
keluar sempat ditarik dan dipotong sendiri oleh pasien. Setelah
berkonsultasi dengan dokter disarankan untuk dirujuk ke rumah sakit
pusat rujukan di Denpasar. Hari ketiga pasca seksio sesaria penderita
sempat mengalami gangguan buang air besar disertai perut kembung.
Masa rawat inap diperpanjang sebelum akhirnya dipulangkan dengan
perbaikan. Kasus kedua timbul setelah satu tahun setalah operasi seksio
sesaria. Sedangkan kasus ketiga didiagnosis lima bulan setelah seksio
sesaria.10

2.2 TINJAUAN ETIK DAN MEDIKOLEGAL


Dalam pelayanan kesehatan terdapat tiga norma yang tidak bisa
dipisahkan satu dengan yang lainnya, yaitu : norma etika, norma disiplin
dan norma hukum. Norma etika mengatur etika profesi sebagai Ethical of
conduct. Disiplin profesi merupakan professional conduct yang menjadi
standard profesi kedokteran. Hukum adalah semua aturan hukum di
bidang kesehatan. Ketiga norma ini saling berhubungan sehingga ada
unsur-unsur yang merupakan gabungan dari masing-masing norma.11
Disiplin profesi tidak bisa dilepaskan dari kompetensi, tanggung
jawab dan prilaku yang harus ditunjukkan seorang dokter dalam
menjalankan profesinya. Disiplin dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia
11

(KODEKI) diatur secara rinci dalam profesionalisme yaitu seorang dokter


wajib dalam setiap praktik medisnya memberikan pelayanan secara
berkompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai
rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat
manusia.11
Standar perilaku profesi (standard of professional conduct) dalam
norma disiplin dijabarkan menjadi beberapa bagian yaitu:11
1. Altruism: menjalankan profesi untuk kepentingan orang banyak
2. Humanis: profesi berdasarkan rasa hormat, rasa kasih sayang,
empati, tindakan terhormat dan integritas.
3. Accountability: mengembangkan hubungan dokter pasien bersifat
kontrak sosial dan menciptakan regulasi internal profesi
4. Excellence: pelayanan berdasarkan kompetensi, sesuai dengan
prinsip-prinsip Etika Kedokteran, mengembangkan pengetahuan dan
ketrampilan dan memberikan pelayanan sesuai dengan standar
pelayanan
5. Competencies: kompetensi yang diaplikasikan disamping
kompetensi klinis tetapi juga kompetensi komunikasi dan mengerti
terhadap Etiko-legal.
Etika dan medikolegal sudah menjadi bagian penting di dalam
dunia kedokteran. Hal ini dilandaskan beberapa alasan, antara lain
adanya fenomena sosial yang menghendaki adanya pengakuan
terhadap Hak Asasi Manusia (dalam hal ini adalah pasien) yang
membawa konsekuensi pada perubahan pola hubungan dokter pasien,
pengambilan keputusan medis (dari paternalistik ke informed consent),
adanya fenomena perkembangan Ilmu pengetahun dan teknologi
kedokteran yang tidak diikuti dengan perkembangan nilai etik dan moral
telah memunculkan masalah-masalah yang memiliki dimensi moral,
seperti pertolongan hidup, fertilisasi in-vitro, Stem cell, cloning
reproduksi/terapi, dan masalah-masalah lain, adanya peningkatan
kejahatan moral yang dilakukan oleh praktisi medis, dimana profesi
medis menemukan dirinya berada dalam sebuah dilema karena nilai-
12

nilai moral tidak lagi menjadi bagian dari kurikulum kedokteran sekuler,
dan adanya tuntutan peningkatan profesionalisme dokter dalam
melakukan praktek (Area Kompetensi dari Konsil Kedokteran Indonesia
dan Modul dari Kolegium Dokter Spesialis), sehingga etika dan
medikolegal diharapkan mampu menjawab tantangan untuk
meningkatkan profesionalisme lulusan pendidikan dokter spesialis di
Indonesia.8
Beauchamp dan Childress (1994) menguraikan (Empat prinsip etika
Eropa) bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan ETIK diperlukan 4
Kaidah Dasar Moral / Kaidah Dasar Bioetik (Moral Principle) dan beberapa
rules atau kriteria dibawahnya. Keempat Kaidah Dasar Moral tersebut
adalah:2

1. Prinsip “Autonomy” (self-determination)


Yaitu prinsip yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination) dan merupakan kekuatan
yang dimiliki pasien untuk memutuskan suatu prosedur medis. Prinsip
moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin Informed consent.
Autonomy menciptakan kewajiban etis prima facie untuk mengidentifikasi
alternatif yang masuk akal secara medis untuk manajemen klinis
kehamilan dan komplikasi ibu dan janinnya. Autonomy menciptakan
kewajiban etis prima facie untuk mengidentifikasi alternatif yang masuk
akal secara medis untuk manajemen klinis kondisi pasien. Prinsip etika
menghormati otonomi dalam etika profesional dalam ginekologi
menciptakan kewajiban etis prima facie untuk memberdayakan pasien
wanita untuk membuat keputusan yang terinformasi dan sukarela tentang
pengelolaan kondisi klinisnya dengan memberikan informasi tentang
alternatif yang masuk akal secara medis untuk manajemen klinisnya.
Pada Kasus Ny.N, pasien mendapatkan hak dengan ditangani oleh
ahli kandungan yang lain, serta mendapatkan pelayanan yang baik dan
cepat di rumah sakit tempat pertama kali Ny.N menjalani operasi pertama.
13

2. Prinsip tidak merugikan “Non-maleficence”


Adalah prinsip menghindari terjadinya kerusakan atau prinsip moral
yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini
dikenal sebagai “primum non nocere” atau “above all do no harm“. Prinsip
etik nonmaleficence dalam etika profesi dalam obstetrik menetapkan
syarat yang membatasi prinsip etik beneficence. Ketika bukti untuk
alternatif yang masuk akal secara medis menjadi lemah, dokter
kandungan harus waspada terhadap kelemahan yang sesuai dari prediksi
bahwa manfaat klinis bersih bisa menjadi hasilnya. Prinsip etika
nonmaleficence dalam etika profesional dalam ginekologi menetapkan
kondisi yang membatasi prinsip etika beneficence. Ketika bukti untuk
alternatif yang masuk akal secara medis menjadi lemah, ginekolog harus
waspada terhadap meningkatnya kekuatan prediksi bahwa kerugian klinis
murni dapat menjadi hasilnya.

3. Prinsip murah hati “Beneficence”


Yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke
kebaikan pasien atau penyediaan keuntungan dan menyeimbangkan
keuntungan tersebut dengan risiko dan biaya. Dalam Beneficence tidak
hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan
yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya
(mudharat). Pemahaman tentang etika perawatan ini memaksa praktisi
kesehatan individu untuk mempertimbangkan panggilannya ke standar
profesionalisme yang tinggi sebagai keharusan moral; salah satu yang
mengadvokasi standar tinggi dan berjuang untuk kebaikan yang lebih
besar. Profesional medis memiliki tugas yang meliputi pasien, kolega
profesional, dan masyarakat secara keseluruhan. Setiap profesional
individu yang tidak memahami atau menerima tugas ini berisiko bertindak
jahat dan melanggar prinsip fidusia untuk menghormati dan melindungi
pasien. alam lingkungan perawatan kesehatan, pemikiran modern tentang
kebaikan menganut humanisme. Semua orang memiliki hak yang tidak
dapat diubah untuk hidup dan kebebasan, dan hak-hak ini harus
14

dihormati, dipelihara, dan difasilitasi. Penghormatan terhadap pasien dan


pengalaman penderitaannya menunjukkan rasa hormat terhadap individu
dan kehidupan itu sendiri. Praktisi harus bertindak dengan cara yang
mendukung kesehatan dan kesejahteraan pasien dan berhati-hati untuk
tidak melakukan apa pun yang akan menyebabkan bahaya. Kebaikan
berusaha untuk perawatan terbaik sambil merangkul tidak melakukan
sesuatu yang berbahaya dan dengan perluasan diekstrapolasi ke dalam
kategori supererogatory yang murah hati. Ada keterkaitan yang jelas
dengan etika nonmalfeasance, penghindaran aktif dari setiap tindakan
yang akan menyebabkan kerugian.12
Profesional kesehatan berkewajiban untuk bertindak dengan cara
yang dermawan, karena 2 prinsip dasar profesionalisme adalah memiliki
pengetahuan yang unik dan khusus dan untuk selalu dan tanpa kecuali
menggunakan pengetahuan ini untuk kebaikan. Kebajikan, salah satu
etika dasar, menentukan perilaku dan perilaku yang benar yang harus
dikejar oleh profesional. Praktisi yang hati-hati berusaha untuk
menegakkan konsep "panggilan" sebagai salah satu standar etika dan
perilaku profesional yang tinggi karena para profesional memiliki standar
yang lebih tinggi daripada populasi umum. Relativisme moral
bertentangan dengan banyak prinsip etika termasuk kebaikan dengan
menumbangkan peran pengasuhan profesional. Beneficence memainkan
peran utama dalam semua perawatan kesehatan dengan memastikan
bahwa perawatan memberikan manfaat bersih dan bahwa pasien
terlindungi. Profesional perawatan kesehatan memiliki tugas perawatan
yang meluas ke pasien, kolega profesional, dan masyarakat secara
keseluruhan. Setiap profesional individu yang tidak memahami atau
menerima tugas ini beresiko untuk bertindak jahat dan melanggar prinsip
menghormati dan melindungi pasien.12

4. Prinsip keadilan “Justice”


15

Yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam


bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive
justice) atau pendistribusian dari keuntungan, biaya dan risiko secara adil.
Profesional medis diharapkan menunjukkan standar kompetensi
saat menangani pasien. Referensi untuk standar perawatan ini digariskan
oleh kode etik kedokteran dan peraturan lain yang terkait dengan perilaku
profesional yang dituangkan dalam Medical Council of India Act 2001
bersama dengan Indian Medical Council Act 1956. Standar ini telah
diratifikasi dan diteruskan dalam National Medical Commission Act 2019.
Beberapa peraturan yang termasuk adalah:2
- Kode Etik Kedokteran
- Kewajiban dokter terhadap pasien
- Tugas dokter sebagai konsultan
- Tanggung jawab antar dokter
- Tanggung jawab dokter terhadap masyarakat
- Menghindari pelanggaran dan tidak terlibat dalam tindakan yang tidak etis
- Usulan tindakan hukuman dan pencegahan.
Profesi Dokter dalam perkembangannya di Indonesia, diatur dalam
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Praktik kedokteran bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa
saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional
kedokteran tertentu yang berkompetensi dan memenuhi standar tertentu
dan mendapat izin dari institusi yang berwenang, serta bekerja sesuai
dengan standar dan profesionalisme yang ditetapkan oleh organisasi
profesi. Dengan demikian terlihat bahwa kehadiran profesi kedokteran
bertujuan untuk memberikan perbaikan dan perlindungan kesehatan bagi
masyarakat khususnya pasien dalam ruang lingkup pelayanan
kesehatan.13
Dalam kasus ini prinsip etik yang dilanggar adalah prinsip
beneficence dan Non-maleficence dimana Prinsip non-maleficence sering
menjadi pembahasan dalam bidang kedokteran terutama kasus
kontroversial terkait dengan kasus penyakit terminal, penyakit serius dan
16

luka serius. Prinsip ini memegang peranan penting dalam pengambilan


keputusan untuk mempertahankan atau mengakhiri kehidupan.
Penerapannya dapat dilakukan pada pasien yang kompeten maupun tidak
kompeten. Pada dasarnya, prinsip non-maleficence memberikan peluang
kepada pasien, walinya dan para tenaga kesehatan untuk menerima atau
menolak suatu tindakan atau terapi setelah menimbang manfaat dan
hambatannya dalam situasi atau kondisi tertentu. Banyak filosof yang
menjadikan prinsip non-maleficence sebagai satu kesatuan dengan
prinsip beneficence (mengutamakan tindakan untuk kebaikan pasien).
Namun, banyak juga yang membedakannya. Pertimbangannya antara lain
pemikiran bahwa kewajiban untuk tidak membahayakan atau
mencelakakan pasien, tentu berbeda dengan kewajiban untuk membantu
pasien, walaupun keduanya untuk kebaikan pasien.

1. Kelalaian Medik
Profesi medis dianggap sebagai profesi yang mulia karena membantu
dalam melestarikan kehidupan. Kami percaya hidup adalah pemberian
Tuhan. Jadi, seorang dokter menggambarkan skema Tuhan saat dia
berdiri untuk melaksanakan perintah-Nya. Seorang pasien umumnya
mendekati dokter/rumah sakit berdasarkan reputasinya. Harapan pasien
ada dua: dokter dan rumah sakit diharapkan memberikan perawatan
medis dengan semua pengetahuan dan keterampilan yang mereka
perintahkan dan kedua mereka tidak akan melakukan apa pun yang
merugikan pasien dengan cara apa pun baik karena kelalaian,
kecerobohan, atau sikap sembrono staf mereka.14
Meskipun seorang dokter mungkin tidak berada dalam posisi untuk
menyelamatkan nyawa pasiennya setiap saat, mereka diharapkan untuk
menggunakan pengetahuan dan keterampilan khususnya dengan cara
yang paling tepat mengingat kepentingan pasien yang telah
mempercayakan hidupnya kepadanya. Oleh karena itu, diharapkan dokter
melakukan pemeriksaan yang diperlukan atau mencari laporan dari
pasien. Selain itu, kecuali dalam keadaan darurat, ia mendapatkan
17

persetujuan dari pasien sebelum melanjutkan dengan perawatan besar


apa pun, operasi bedah, atau bahkan penyelidikan invasif. Kegagalan
dokter dan rumah sakit untuk melaksanakan kewajiban ini pada dasarnya
merupakan kewajiban yang merugikan.14
Ketika seorang dokter melakukan konsultasi dengan seorang pasien,
dokter bertanggung jawab kepada pasiennya mengenai hal:
(a) Kehati-hatian dalam memutuskan apakah akan menangani kasus
tersebut
(b) Kehati-hatian dalam memutuskan perawatan apa yang akan diberikan
(c) Perawatan dalam administrasi tersebut.
Pelanggaran terhadap salah satu kewajiban di atas dapat
menimbulkan tindakan kelalaian dan mengenai hal tersebut, pasien
memiliki hak untuk memperoleh ganti rugi dari dokternya. Kelalaian
memiliki banyak manifestasi berupa kelalaian aktif, kelalaian tambahan,
kelalaian komparatif, kelalaian bersamaan, kelalaian lanjutan, kelalaian
pidana, kelalaian berat, kelalaian berbahaya, kelalaian aktif dan pasif,
disengaja atau kelalaian sembrono.14
Kelalaian medis adalah suatu keadaan dimana seseorang bertindak
kurang berhati-hati menurut ukuran wajar. Kelalaian mencakup 2 hal, yaitu
melakukan yang seharusnya tidak dilakukan dan tidak melakukan sesuatu
yang seharusnya dilakukan. Seorang dokter dapat dikatakan melakukan
kesalahan medis apabila dia melakukan kegiatan yang merugikan pasien,
padahal iya mengetahui bahwa hal tersebut adalah perbuatan yang
melanggar.15
Dalam praktik kebidanan, pelanggaran tugas selama persalinan dan
anestesi, karena diagnosis yang diabaikan dan operasi yang tidak
terindikasi adalah alasan untuk melibatkan istilah "kelalaian". Tugas-tugas
yang diharapkan oleh Undang-undang diukur dari segi kemampuan
seorang profesional. Keahlian atau kompetensi ahli tertinggi umumnya
tidak dijadikan patokan. Namun, kesalahan penilaian oleh profesional
tidak dipandang oleh hukum sebagai pelanggaran kewajiban. Pemilihan
satu modalitas perlakuan atas yang lain tidak dipandang oleh hukum
18

sebagai pelanggaran kewajiban. Namun, jika penilaian ini telah dibuat


oleh tindakan lalai, profesional menjadi bertanggung jawab. Misalnya,
perdarahan yang mengikuti prosedur yang dilakukan pada pasien untuk
mengelola dan memantau terapi dapat diterima, asalkan perhatian telah
diberikan pada status koagulasi pasien.2
Meskipun UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1 dan UU Kesehatan Pasal 4
menyatakan setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu dan terjangkau, namun dalam pelayanan kesehatan tidak jarang
timbul kelalaian (negligence) dan malpraktik medis yang dilakukan oleh
dokter terhadap pasien. Kemudian terhadap kelalaian (negligence) dan
malpraktik medis tersebut, pasien yang merasa dirugikan mengambil
langkah hukum dengan melaporkan dokter yang diduga melakukan
kelalaian (negligence) dan malpraktik medis tersebut ke kepolisian dengan
dugaan tindak pidana, dan bahkan mengajukan upaya hukum berupa
gugatan perbuatan melawan hukum.16
Pasal 29 UU Kesehatan menyatakan “bila dokter diduga melakukan
kelalaian dalam menjalankan profesinya, maka kelalaian tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Ketentuan tersebut
menumbuhkan persepsi bahwa pada dasarnya kelalaian yang dilakukan
oleh dokter dalam melaksanakan tugasnya memberikan pelayanan medis
adalah sengketa keperdataan yang dapat diselesaikan secara damai
melalui musyawarah untuk mufakat.16
Kelalaian medik dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu Malfeasance,
Misfeasance, dan nonfeasance.16
- Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau
tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan
medis tanpa indikasi yang memadai (Pilihan tindakan medis tersebut
sudah improper).
- Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance) misalnya
melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.
19

- Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan


kewajiban baginya.
Ada dua syarat terpenuhinya kelalaian/kealpaan, yakni:8
1. Dokter pelaku dalam penalarannya tidak berpraduga lege artis (tidak
cermat dalam memaksimalkan upaya, baik kealpaan yang
disadarinya maupun kealpaan yang tidak disadarinya.
2. Dokter pelaku tidak teliti/hati-hati dalam tindakan mediknya
sebagaimana layaknya kaum professional.
Dalam melalukan tugasnya, dokter harus benar benar mengetahui
dahulu keluhan dari pasien sehingga dapat memberikan pengobatan yang
tepat. Pasien juga harus memberikan perawatan dengan tepat,
berdasarkan hasil keterangan yang berupa anamnesis dan pemeriksaan
dokter dapat memberikan pengobatan dan pelayanan yang tepat. Dokter
juga harus memberikan keterangan kepada pasien dengan jelas sehingga
pasien mengetahui pengobatan yang dapat diambil, setelah mendapatkan
penjelasan pasien berhak mengikuti saran dokter atau menolaknya,
Chrisdiomo M. Achdiat menyatakan bahwa setiap manusia berhak untuk
berhak berperan serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut
dirinya.17
Contoh pada kasus ini pasien menjelaskan mengenai penyakit dan
riwayat operasi sebelumnya, sehingga dokter atau ahli bedah dapat
segera mengambil tindakan untuk pengobatannya yaitu laparatomi
eksplorasi.
Kelalaian medik atau medical negligence yang paling sering ditemui
yaitu gossypiboma. Gossypiboma adalah tertinggalnya kassa bedah atau
handuk setelah operasi dalam tubuh pasien secara tidak sengaja. Kasus
gossypiboma sering ditemui pada kasus pasca laparotomy. Laparotomi itu
sendiri merupakan tindakan 3 operasi pada bagian abdomen.
Gossypiboma dapat dikatakan sebagai medical negligence dikarenakan
hal tersebut merupakan sebuah bentuk kelalaian dari dokter bedah yang
seharusnya para dokter bedah tersebut menghitung setiap kasa ataupun
handuk yang mereka pakai untuk mencegah adanya kasa yang tertinggal.
20

Di luar Negeri, seperti di India, Komisi Nasional menyatakan bahwa


dokter bertanggung jawab atas kerusakan pada tubuh pasien dimana
benda asing tertinggal di tubuh setelah operasi. Gossypiboma, dalam
doktrin res ipsa loquitur , membuktikan bahwa ahli bedah lalai. Selain itu,
ia memiliki konsekuensi medikolegal termasuk penderitaan mental,
penghinaan, kompensasi uang yang sangat besar dan hukuman penjara
di pihak ahli bedah dan peningkatan morbiditas, kematian dan kerugian
finansial di pihak pasien dan meninjau aspek medikolegalnya. Hal ini
merupakan kelalaian medis yang mengakibatkan morbiditas, penderitaan
mental dan trauma.7
Di Indonesia sendiri menurut Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia, sesuai pasal 66 ayat (1) undang-undang nomor 29
tahun 2004 tentang praktek kedokteran yang menentukan bahwa “ setiap
orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran dapat
mengadu kan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia.” Kejadian yang dialami oleh Ny.N dapat diajukan
kepada Majelis Kehormatan kedokteran Indonesia karena termasuk
pelanggaran disiplin. Sebagaimana yang telah di sebutkan dalam bab II
bahwa yang dapat termasuk dalam pelanggaran disiplin adalah:17
 tidak melakukan pemeriksaan penunjang;

 lumpuh akibat imunisasi;

 pen tulang keluar/ pen patah;

 kasa tertinggal.

 komplikasi akibat operasi (menjadi buta,abses rongga perut)

 rumah sakit hanya mencari keuntungan

 tindakan medis dibawah standard

Kasa tertinggal seperti yang dialami Ny.N termasuk dalam salah satu
pelanggaran disiplin sehingga Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia dapat berbuat sesuatu dalam membantu Ny.N mendapatkan
21

haknya untuk memperoleh kesembuhan.17

Selain dapat mengajukan kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin


Kedokteran Indonesia, Ny.N dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.
Hal ini sesuai dengan pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran menentukan bahwa:”Pengaduan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan
hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada
pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke
pengadilan.” Melihat kedua pasal tersebut, maka Ny.N sebagai pasien
yang mengalami kerugian dapat mengajukan kepada Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia sekaligus mengajukan gugatan untuk
meminta ganti rugi atas kerugian yang ia alami.17

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam menindak


lanjuti laporan dari pasien, dapat memberikan sanksi kepada dokter yang
tidak disiplin tersebut. Pada pasal 69 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29
tahun 2004 tentang praktek kedokteran disebutkan bahwa

Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:


1. pemberian peringatan tertulis;
2. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin
praktik; dan/atau
3. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
Dengan adanya sanksi yang diberikan oleh Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia dapat membuat dokter semakin berhati-
hati dalam melakukan kewajibannya.
Dokter yang menangani Ny.N dapat pula mendapatkan sanksi dari
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Dokter yang
mengoperasi lalai sehingga merugikan Ny.N Seharusnya sesuai dengan
perjanjian yang di buat sebelum melakukan operasi, Ny.N mendapatkan
kesembuhan. Namun pada kenyataannya terdapat kasa yang tertinggal
dalam tubuh Ny.N.
22

2. Malpraktik
Malpraktik adalah istilah untuk dunia kedokteran yang artinya mal atau
mala artinya buruk, sedang praktik artinya pelaksanaan pekerjaan. Dari
sudut harfiah istilah malpraktik artinya praktik yang buruk. Semakin
terdidiknya masyarakat dan banyaknya buku pengetahuan tentang
kesehatan menjadikan masyarakat semakin kritis terhadap pelayanan
medis yang diterimanya. Perbuatan dalam pelayanan medis yang dapat
menjadi malpraktik medis terletak pada pemeriksaan, cara pemeriksaan,
alat yang dipakai pada pemeriksaan, menarik diagnosis atas fakta hasil
pemeriksaan, wujud perlakuan terapi, maupun perlakuan untuk
menghindari kerugian dari salah diagnosis dan salah terapi serta tidak
sesuai standar profesi.18
Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi
di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga
profesional yang bertentangan dengan standard operating procedure
(SOP), kode etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja
maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian atau kematian
pada orang lain. Aspek perlindungan hukum terhadap pasien korban
malpraktik oleh dokter berdasarkan hukum Indonesia, yaitu: (1) secara
preventif: dengan adanya peraturan-peraturan yang mengatur mengenai
tindakan malpraktik, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata), Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Praktik Kedokteran, dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (2) dan secara represif: dengan
adanya tindakan yang mengakibatkan kerugian, maka seseorang yang
melakukan tindakan tersebut dijatuhkan sanksi berupa sanksi perdata,
yaitu dengan mengganti kerugian, baik sanksi administratif dan sanksi
pidana.19
Malpraktik mempunyai pengertian yaitu perbuatan atau tindakan oleh
medis yang tidak sama dengan standar operasional prosedur (SOP)
sehingga dapat merugikan pasien secara umum. Di negara Indonesia
23

hukum yang mengatur UU No.36 tahun 2009, pasal 24 ayat 1 berbunyi


“Tenaga kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23 harus
memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan
kesehatan, standar kesehatan, dan standar prosedur operasional.20
Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran terdapat kewajiban dimana apabila dilanggar potensial
menjadi salah satu faktor penyebab kelalaian yang mengakibatkan
malpraktik kedokteran:13
1. Tidak terpenuhinya kewajiban pelayanan medis sesuai dengan
Standar Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan Kebutuhan
pasien, seorang dokter yang tidak memenuhi kewajiban ini maka
akan menimbulkan akibat yang fatal bagi seorang pasien karena
ketiga kewajiban ini sangat berperan penting.
2. Tidak memenuhi kewajiban merujuk pasien ke dokter lain yang
mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik.
3. Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai
pasien (Memegang rahasia dokter).
4. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan.

Malpraktik medis dapat dibagi menjad:16


1) “Malpraktik medik sebagai pelanggaran hubungan kontraktual;
2) Malpraktik medis sebagai pelanggaran fidusia hubungan yang
dilindungi undang-undang (tort).
Malpraktik medis dapat terjadi karena:16
1) Tidak ada kompetensi;
2) Kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan standar perawatan;
3) Perbedaan persepsi antara dokter atau profesional kesehatan dan
pasien tentang proses pemberian pelayanan kesehatan dilakukan;
4) Komunikasi yang kurang atau tidak tepat;
5) Menjanjikan sesuatu secara medis atau klinis itu bukanlah suatu hal
yang pasti.
24

Tindakan seksio cesarea atas permintaan pasien / keluarga


dibenarkan dan tidak bertentangan secara etik sesuai dengan pasal 10
dalam panduan etik dan profesionalisme Perhimpunan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia. Penjelasannya mengacu pada kode etik kedokteran
dikenal asas otonomi yang menjelaskan bahwa pasienlah yang paling
berhak atas dirinya, sehingga permintaan pasien / keluarganya untuk
melakukan tindakan seksio Cesarea dibenarkan secara etik. Demikian
pula UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran pasal 52 ayat d
membenarkan pasien untuk menolak tindakan medis tertentu (dalam hal
ini persalinan pervaginam). Alasan yang sering dikemukakan oleh pasien
untuk melakukan persalinan dengan seksio Cesarea, adalah:8
1. Tidak tahan sakit
2. Khawatir akan kerusakan jalan lahir yang juga merupakan organ
seksual.
3. Faktor kepercayaan kepada tanggal dan angka-angka

Alasan dokter untuk memenuhi permintaan pasien umumnya adalah:8


1. Menghormati dan memperhatikan hak-hak otonomi pasien dan UU
Praktek Kedokteran No. 29 tahun 2004 Pasal 52 ayat d.
2. Takut disalahkan bila terjadi sesuatu yang buruk yang menimpa ibu
dan bayinya.
3. Alasan-alasan yang tidak diperbolehkan adalah pertimbangan-
pertimbangan finansial;
3. Sengketa Medik
Medical; kata sifat yang berarti; yang berhubungan dengan
pengobatan; medis. Sengketa medik baru timbul ketika adanya tuntutan
ke rumah sakit, pengaduan ke polisi, atau gugatan ke pengadilan.
Sengketa medik berawal dari adanya perasaan tidak puas dari pihak
pasien karena adanya pihak dokter yang tidak memenuhi prestasi
sebagaimana dijanjikan, sehingga pasien atau keluarganya mencari
sebab ketidakpuasan tersebut. Penyebab terjadinya sengketa antara
dokter dan pasien adalah jika timbul ketidakpuasan pasien terhadap
25

dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan atau melaksanakan


tindakan medik.
Terjadinya ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau
rumah sakit dan tenaga kesehatan lainnya sebagai akibat dari:
1) semakin tinggi pendidikan rata-rata masyarakat, sehingga
membuat mereka lebih tahu tentang haknya dan lebih
arsetif;
2) semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan
kedokteran sebagai hasil dari luasnya arus informasi;
3) komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran,
sehingga masyarakat semakin tidak toleran terhadap
layanan yang tidak sempurna
4) provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan
sendiri.
Ketidakpuasan tersebut dikarenakan adanya pelanggaran yang
mengandung sifat perbuatan melawan hukum dalam melaksanakan
profesi kedokteran yang menyebabkan kerugian di pihak pasien, di mana
hal tersebut terjadi apabila ada anggapan bahwa isi perjanjian terapeutik
(kontrak terapeutik) tidak dipenuhi atau dilanggar dokter:21
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh dokter dalam
penyelenggaraan profesi medik dapat berupa pelanggaran etik,
pelanggaran disiplin, pelanggaran administrasi, pelanggaran hukum
(pidana dan perdata). Penyebab pelanggaran praktik kedokteran dapat
dikelompokkan ke dalam (1) faktor sistem dan (2) faktor dokter dan
masyarakat. Faktor sistem, secara umum adalah adanya sistem yang
lemah pengawasan (kontrol sosialnya), tertutup, monopolistis,
oligopoloistis, terlalu kuatnya unsur negara dibandingkan dengan
masyarakat dan liberalisme, khususnya dalam pelayanan kesehatan.
Sementara itu, faktor dokter dan masyarakat yang menyuburkan
pelanggaran adalah sifat hedonistis, munafik, dan penuh dengan KKN,
serta meghalalkan segala cara, bukan sebagai civil society. Sengketa
medik antara pasien atau keluarganya dengan tenaga kesehatan atau
26

pasien dengan rumah sakit/fasilitas kesehatan biasanya yang


dipermasalahkan adalah hasil atau hasil akhir pelayanan kesehatan
dengan tidak memperhatikan atau mengabaikan prosesnya. Padahal,
dalam hukum kesehatan diakui bahwa tenaga kesehatan atau
pelaksanaan pelayanan kesehatan saat memberikan pelayanan hanya
bertanggung jawab atas proses atau upaya yang dilakukan (inspaning
verbintenis) dan tidak menjamin/menggaransi hasil akhir (resultalte
verbintenis). Oleh karena itu, sebelum ada putusan dari peradilan profesi
maupun ketidaksesuaian logika medis antara pasien dan dokter/rumah
sakit, maka istilah yang tepat adalah sengketa medik bukan malapraktik
kedokteran. Hal itu berkaitan dengan ada atau tidaknya putusan dan
pertimbangan logika medis dan logika hukum untuk menentukan apakah
perbuatan/tindakan medik yang dilakukan dokter tersebut masuk dalam
kategori malapraktik kedokteran.
Sengketa medis dalam praktik seringkali merupakan jalinan
permasalahan etika profesi, disiplin profesi maupun hukum pada
umumnya. Secara kebetulan baik pasien/masyarakat, dokter/rumah sakit
sadar atau tidak, sering mencampuradukkan antara ketiganya. Hal ini ada
kemungkinan akibat ketidaktahuan praktis itu sendiri atau memang karena
cara kerja mereka menginginkan serba praktis, dan lagi pula memang
bukan tugas mereka untuk memilah secara akademis apakah kasus
tersebut pelanggaran etika murni, disiplin profesi, hukum administrasi,
hukum perdata, atau pun hukum pidana.
Adapun ciri-ciri dari sengketa medik yang terjadi antara dokter
dengan pasien, antara lain:
a) Sengketa terjadi dalam hubungan antara dokter dengan pasien;
b) Objek sengketa adalah upaya penyembuhan yang dilakukan oleh
dokter terhadap pasien
c) Pihak yang merasa dirugikan dalam sengketa medik adalah pasien,
baik kerugian berupa luka atau cacat maupun kematian.
Pada kasus sengketa medis antara pasien dan dokter dapat teradi
jika:
27

- Kurangnya tempat dan waktu yang kondusif untuk memungkinkan


terjadinya dialog atau komunikasi dua arah antara dokter/petugas
kesehatan dengan pasien
- Belum cukup tersedianya lembar inform consent sebagai bukti
persetujuan (bukti tertulis) bahwa pasien telah diberi informasi dan
lembar penolakan sebagai bukti pasien menolak atau tidak dapat
menerima informasi yang telah diberikan kepadanya. Tidak adanya
manajemen risiko yang selalu memantau dan mengolah risiko yang
akan muncul atau yang telah muncul.
- Risiko tidak diantisipasi dengan baik sejak dari awal, maka menjadi
melebar dan meluas, sehingga kasus sengketa medis tidak dapat
dihindarkan.
- Tidak terkualifikasikan tanggung jawab kesehatan oleh manajemen,
di mana seharusnya membuat dan menggolongkan-golongkan
macam jenis tanggung jawab di dalam dunia kedokteran, sehingga
dapat mudah diketahui pihak mana yang harus bertanggung jawab
apabila terjadi sengketa medik.
Pada umumnya sengketa dilanjutkan dengan pengajuan gugatan/
tuntutan pasien kepada dokter/rumah sakit dengan berbagai alasan
antara lain, Dokter melakukan wanprestasi (ingkar janji), dokter
diragukan kompetensinya, perilaku dokter dipermasalahkan, baik
perilaku profesional maupun perilaku pribadi, marah akibat hasil
tindakan medis tidak sesuai dengan harapan pasien/keluarga, hak-hak
pasien diabaikan atau dilanggar, biaya pengobatan yang (dianggap)
mahal, salah komunikasi, persepsi atau interprestasi; dan alasan ganti
rugi keuangan. Dalam melakukan suatu tindakan medik dalam
pelayanan kesehatan seorang dokter harus memenuhi persyaratan
antara lain; (1) adanya indikasi medik; (2) bertindak secara hati-hati; (3)
bekerja berdasarkan standar profesi dan prosedur operasional; (4) ada
persetujuan tindakan medik (informed consent).21

2.3 Tinjauan Manajemen Program


28

Sectio Caesarea dapat menjadi salah satu alternatif persalinan,


namun perlu dipahami bahwa sectio caesarea tetap merupakan tindakan
pembedahan yang dilakukan berdasarkan indikasi medis. Beberapa
penelitian membuktikan bahwa ada peningkatan kemungkinan masalah
pada kehamilan berikutnya pada ibu dan bayinya. Hal ini menjadi
pertimbangan bagi wanita yang ingin melahirkan melalui sectio caesarea.
Peningkatan sectio caesarea 2007-2017 yang terjadi di Indonesia
melatarbelakangi pentingnya mengetahui distribusi karakter ibu yang
memilih metode persalinan sectio caesarea.9
Tindakan operasi sectio caesarea dilakukan berdasarkan indikasi
medis untuk menyelamatkan ibu, janin keduanya dari ancaman kematian.
Indikasi medis dibagi menjadi tiga kategori yaitu his (kekuatan), jalan lahir
(jalan), dan janin (penumpang). Sebagian besar masalah yang dihadapi
adalah prolaps tali pusat/fetal distress, perdarahan antepartum mayor,
partus macet, preeklampsia/eklampsia tinggi, janin transversal, presentasi
bokong, dan ruptur uteri.9
Untuk mencegah penyalahgunaan sectio cesarea atas permintaan
pasien/keluarga oleh Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi perlu dibuat
rambu-rambu sebagai berikut:9
1. Pasien harus mengajukan permohonan kepada dokter untuk
melakukan Tindakan sectiio cesarea.
2. Dokter harus menjelaskan bahwa pada saat tersebut persalinan
pervaginam masih dimungkinkan.
3. Dokter harus menjelaskan bahwa persalinan melalui sectio cesarea
tidak lebih baik/aman dibandingkan persalinan pervaginam.
Rambu-rambu sebagaimana diatas harus tertera secara tegas dan
jelas di dalam lembar permohonan sectio cesarea atas permintaan
pasien / keluarga. Yang disatukan dengan lembar informed consent dan
ijin tindakan. Tindakan seksio bukanlah tindakan yang tanpa bahaya untuk
ibu dan bayinya, selain memerlukan sumber daya dan dana yang besar
pula. Bahaya yang diakibatkan oleh tindakan sectio cesarea masih terus
mengancam pada kehamilan berikutnya. Alasan ibu hamil meminta untuk
29

dilakukan seksio Cesarea sebetulnya menggambarkan kurangnya


persiapan fisik dan mental dan emosional ibu untuk menghadapi
persalinan normal, walaupun disadari alasan kepercayaan pada tanggal-
tanggal tertentu sangat menonjol. Dokter Spesialis Obstetri dan
Ginekologi perlu menyadari persiapan fisik dan mental ibu hamil dalam
suatu penyuluhan antenatal. Dokter Spesialis obstetri dan ginekologi juga
harus memberikan konseling untuk rekondisi organ seksual pasca
persalinan.13
Faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan persalinan
sectio caesarea meliputi usia ibu, paritas, dan anemia. Studi lain
menyatakan bahwa banyak wanita meminta untuk melakukan operasi
sectio caesarea, terkait dengan masalah perawatan/kecantikan,
kesehatan, ras/etnis, dan karakteristik lainnya. motif lain perempuan
memilih sectio caesarea antara lain: kecemasan persalinan pervaginam,
perubahan fungsi organ senggama, dan nyeri persalinan. Namun dengan
etika dan ketentuan dalam melakukan sectio caesarea berdasarkan
indikasi medis, dapat digunakan untuk menolak permintaan ibu untuk
melakukan sectio caesarea. Bahkan sebaliknya, terjadi peningkatan
angka sectio caesarea yang tidak dapat dihindari, dan nampaknya tidak
ada pihak yang bertanggung jawab atas kasus ini. Kecenderungan
mengapa peningkatan angka sectio caesarea tidak dapat dijelaskan dari
karakteristik ibu dan komplikasi kehamilan yang perlu dihadapi. Oleh
karena itu, perlu dikaji pengambilan keputusan melakukan sectio caesarea
berdasarkan prinsip indikasi medis dan etika kesehatan.9
Usia ibu, pendidikan ibu, dan urutan persalinan berhubungan
signifikan dengan persalinan sectio caesarea. Pendidikan yang tinggi,
tinggal di perkotaan, usia ibu dan riwayat kelahiran merupakan faktor
pencetus dilakukannya tindakan operasi sectio caesarea di Indonesia.
Kemajuan teknologi dan ilmu kedokteran (sectio caesarea) tidak hanya
menjadi harapan dalam meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan
manusia, tetapi juga tanggung jawab besar bagi profesi kedokteran untuk
memanfaatkan teknologi canggih tersebut. Tindakan operasi sectio
30

caesarea berdasarkan indikasi medis dapat menyelamatkan ibu, janin


atau keduanya, namun terdapat bukti yang menunjukkan manfaat sectio
caesarea bagi mereka yang tidak memiliki indikasi medis.9
Menurut undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun
2009 Tentang Kesehatan Pasal 29 menyebutkan dalam hal tenaga
kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya,
kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
Undang–undang tersebut menjelaskan bahwa kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan termasuk dokter tidak dapat langsung dipidana
melainkan harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.21
Di Indonesia, dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) POGI yang
terakhir di Jakarta, Juli 2011 telah disepakati untuk dilakukan perubahan
pada standar kode etik POGI yang menyatakan bahwa tindakan sectio
caesarea atas permintaan pasien bukanlah merupakan suatu bentuk
pelanggaran etik selama dilakukan suatu informed consent khusus, yaitu
adanya surat persetujuan tindakan medik bedah caesar dengan format
khusus dan dijelaskan langsung oleh dokter yang akan melakukan
tindakan, didampingi saksi dari pihak dokter, dan saksi dari pihak pasien,
yang berisi:4
1. Permintaan secara eksplisit tertulis bahwa dengan ini pasien meminta
untuk dilakukan tindakan seksio sesarea.
2. Bahwa pasien telah dijelaskan oleh dokter yang membedah tentang;
persalinan secara caesar akan dilakukan walaupun telah dilakukan
pemeriksaan oleh dokter bahwa pasien dapat melahirkan per
vaginam, persalinan melalui caesar tidak lebih baik jika dibandingkan
dengan persalinan per vaginam, adanya risiko yang dapat timbul pada
ibu dan janin berkaitan dengan tindakan bedah caesar.12
Perlu menjadi perhatian bersama jika terjadi malpraktik antara lain
bahwa rumah sakit bertanggung jawab atas kelalaian tenaga medis di
rumah sakit akibat dari perbuatan tenaga medis yang merugikan pasien
atas dasar yuridis mormatif sesuai ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata,
dan Pasal 46 UU rumah sakit, dan standar profesi dan akreditasi
31

pelayanan kesehatan secara internasional.12 Oleh karena itu, semua pihak


diharapkan dapat mengutamakan tanggung jawab profesionalisme di
bidang kesehatan, khususnya bagi tenaga medis yang berhubungan
langsung dengan pasien.4
Asosiasi Perawat Ruang Operasi menerbitkan kebijakan pada
tahun 2015 merekomendasikan poin di bawah ini yang banyak digunakan
di rumah sakit Amerika Serikat. Secara khusus, penghitungan jumlah
harus dilakukan pada titik waktu berikut selama prosedur. Pertama,
sebelum prosedur dimulai (hitungan awal); kedua, kapan saja barang-
barang tambahan baru digunakan selama operasi; ketiga, sebelum ahli
bedah menutup rongga tubuh; keempat, ketika ahli bedah mulai menutup
luka; dan terakhir, ketika dokter bedah menutup kulit (hitungan akhir).
Sistem ini dikembangkan sebagai bagian dari Proyek Keselamatan
Pasien Bedah Nasional Amerika Serikat dengan tujuan mencegah item
bedah yang tertinggal . Penelitian lain juga menunjukkan bahwa indeks
massa tubuh, komplikasi intraoperatif dan kejadian tak terduga dikaitkan
dengan peningkatan risiko untuk terjadinya perangkat bedah tertinggal
setelah prosedur bedah. Selanjutnya pada penelitian Valon dkk dari 34
kasus dengan tertinggalnya perangkat bedah, menyimpulkan bahwa
gangguan dalam komunikasi dalam tim operasi adalah faktor yang paling
penting dalam kaitannya dengan masalah tertinggalnya perangkat
bedah.10
Upaya untuk melindungi dokter dari tuntutan hukum maka setiap
tindakan kedokteran dalam sebuah rumah sakit yang akan dilakukan oleh
dokter harus mendapatkan persetujuan dari pasien, Persetujan tersebut
diberikan oleh pasien setelah mendapatkan penjelasan yang cukup dari
dokter yang akan melakukan tindakan medis tersebut. Pemberian
penjelasan oleh dokter kepada pasien sekurang-kurangnya mencakup
diagnosis dan tata cara tindakan medis; tujuan tindakan medis yang
dilakukan; alternatif tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi; dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Dalam
32

kasus ini pasien sudah dijelaskan mengenai diagnosis, tatalaksana, risiko


hingga komplikasi pasca operasi akreta itu sendiri.10
Sehingga dipahami bahwa esensi dari persetujuan tindakan medis
terletak pada proses atau tatacara dalam mencapai persetujuan yang
akan diberikan oleh pasien atau keluarganya kepada dokter. Sedangkan
berkas Persetujuan tindakan medis merupakan pengukuhan atas
persetujuan yang telah dibuat oleh pasien atau keluarganya untuk
memberi izin kepada dokter dalam melaksanakan tindakan medis.
Pengaturan mengenai persetujuan tindakan medis dalam praktek
kedokteran merupakan suatu perintah hukum , sehingga berkas
persetujuan tindakan medis (Informed consent) yang telah ditanda tangani
oleh pasien bukan hanya sekedar kelengkapan adminstratif belaka,
melainkan telah menjadi sebuah alat bukti hukum yang sah yang dapat
diajukan oleh dokter atau pihak rumah sakit ketika menghadapi gugatan
atau tuntutan hukum dari pasien atau keluarganya.22
Perlindungan hukum terhadap dokter apabila diduga melakukan
malpraktek medis yang terdiri dari dasar- dasar hukum yang memberikan
perlindungan hukum terhadap dokter dalam menjalankan profesi
kedokteran, hal-hal yang harus dilakukan dokter untuk menghindarkan diri
dari tuntutan hukum, dan alasan peniadaan hukuman terhadap dokter
yang diduga melakukan malpraktek medis, Dasar hukum meliputi dugaan
malpraktek terdapat dalam Pasal 50 Undang-Undang Praktik Kedokteran,
Pasal 24 Ayat (1), jo Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 29 UndangUndang
Kesehatan tahun 2004, dan Pasal 24 Ayat (1) PP Tentang Tenaga
Kesehatan. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dokter agak terhindar
dari tuntutan hukum hukum sesuai undang-undang:22
a. Informed Consent Dalam menjalankankan profesinya Informed
Consent merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
seorang dokter. Informed Consent terdiri dari dua kata
yaitu.”informed” yang mengandung makna penjelasan atau
keterangan (informasi), dan kata “consent” yang bermakna
persetujuan atau memberi izin. Dengan demikian Informed
33

Consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang


diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapat
informasi tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya
serta segala resikonya.
b. Rekam Medik Selain Informed Consent, dokter juga
berkewajiban membuat “Rekam Medik” dalam setiap kegiatan
pelayanan kesehatan terhadap pasiennya. Pengaturan rekam
medis terdapat dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Praktik
Kedokteran. Rekam medis merupakan berkas yang berisi
catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan dan pelayanan yang diberikan kepada
pasien. Rekam medis dibuat dengan berbagai manfaat, yaitu
untuk pengobatan pasien, peningkatan kualitas pelayanan,
pendidikan dan penelitian, pembiayaan, statistik kesehatan serta
pembuktian masalah hukum, disiplin dan etik.
Mahkamah Agung melalui Surat Edarannya (SEMA) tahun 1982
telah memberikan arahan kepada para Hakim, bahwa penanganan
terhadap kasus dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang diduga
melakukan kelalaian atau kesalahan dalam melakukan tindakan atau
pelayanan medis agar jangan langsung diproses melalui jalur hukum,
tetapi dimintakan dulu pendapat dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK).17
Saat ini MKEK fungsinya digantikan oleh Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) suatu lembaga independen yang
berada dibawah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).16 Pasal 29 Undang-
Undang Kesehatan mengatakan, bahwa dalam hal tenaga kesehatan
diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian
tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Dalam
penjelasannya tidak disebutkan dengan jelas ke badan apa mediasi itu
akan diselesaikan, namun Undang-Undang Praktik Kedokteran
mengamanatkan terbentuknya lembaga penyelesaian disiplin dokter yang
kemudian dikenal dengan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
34

Indonesia (MKDKI). MKDKI bukan lembaga mediasi, dalam konteks


mediasi penyelesaian sengketa, namun MKDKI adalah lembaga Negara
yang berwenang untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan yang
dilakukan dokter atau dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi dan menetapkan sanksi bagi dokter atau
dokter gigi yang dinyatakan bersalah.17
Tata cara penanganan kasus oleh MKDKI telah diatur dalam
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang
Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan
Dokter Gigi. Penanganan kasus dugaan pelanggaran tersebut dilakukan
setelah adanya pengaduan. Syarat pengaduan tersebut terdapat dalam
Pasal 3 Perkonsil Nomor 2 Tahun 2011. Setelah pengaduan terdaftar di
MKDKI/MKDKI-P maka pihak pengadu dapat memberikan data
pendukung pengaduan yang berupa alat bukti yang dimiliki dan
pernyataan tentang kebenaran pengaduan. Setelah itu akan dilakukan
klarifikasi oleh petugas khusus dari MKDKI/MKDKI-P. Selanjutnya masuk
pada penanganan kasus yang berupa “Pemeriksaan Awal”. Tahap
pemeriksaan awal ini dibahas pada Pasal 13-18 Peraturan Konsil Nomor 2
Tahun 2011.23
Pada tahap pemeriksaan ini pihak MKDKI memeriksa apakah
pengaduan tersebut diterima, tidak diterima atau ditolak. Jika pengaduan
diterima maka Ketua MKDKI membentuk MPD yaitu Majelis Pemeriksa
Disiplin. Anggota dari MPD ini berasal dari MKDKI. MPD dapat
memutuskan pengaduan tersebut tidak dapat diterima, ditolak atau
penghentian pemeriksaan. MPD selanjutnya melakukan investigasi.
Investigasi dilakukan untuk mengumpulkan informasi dan alat bukti yang
berkaitan dengan peristiwa yang diadukan.
Setelah investigasi, baru dilakukan sidang pemeriksaan disiplin.
Jika sidang pemeriksaan disiplin dokter atau dokter gigi selesai maka
MPD akan menetapkan keputusan terhadap teradu. Keputusan tersebut
dapat berupa:
35

1. 1 . Dinyatakan tidak melakukan pelanggaran disiplin dokter atau


dokter gigi
2. Pemberian sanksi disiplin, berupa Peringatan tertulis,Kewajiban
mengikuti pendidikan atau pelatihan, yang dapat dilakukan dalam
bentuk :
a) Reedukasi formal di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi yang terakreditasi
b) Reedukasi nonformal yang dilakukan dibawah supervise dokter
atau dokter gigi tertentu di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi yang terakreditasi, fasilitas pelayanan kesehatan
dan jejaringnya, atau fasilitas pelayanan kesehatan lain yang
ditunjuk, sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan paling lama 1
(satu) tahun
3. Rekomendasi pencabutan STR atau SIP yang bersifat :
a. Sementara paling lama 1 tahun.
b. Tetap atau selamanya.
c. Pembatasan tindakan asuhan medis tertentu pada suatu area ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi dalam pelaksanaan praktik
kedokteran.
Apabila terbukti melakukan pelanggaran disiplin, maka setelah
keputusan Dokter atau dokter gigi yang diadukan dapat mengajukan
keberatan terhadap keputusan MKDKI kepada Ketua MKDKI dalam
waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak dibacakan atau diterimanya
keputusan tersebut dengan mengajukan bukti baru yang mendukung
keberatannya.23

2.4 Tinjauan Manajemen Rumah Sakit


Persalinan sesar didefinisikan sebagai persalinan janin melalui
sayatan bedah yang dibuat melalui dinding perut (laparotomi) dan dinding
rahim (histerotomi). Operasi sesar primer sering menyebabkan operasi
sesar berulang, yang dapat menyebabkan gangguan spektrum plasenta
akreta. Terdapat berbagai kondisi dimana seorang perempuan yang
36

berniat melahirkan pervaginam pada akhirnya akan membutuhkan


persalinan sesar. Berikut menjelaskan beberapa alasan mengapa operasi
sesar mungkin diperlukan / indikasi persalinan sesar:8
 Kemajuan persalinan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dapat
terjadi jika kontraksi terlalu lemah, bayi terlalu besar, panggul terlalu kecil,
atau bayi dalam posisi abnormal. Jika persalinan seorang wanita tidak
mengalami kemajuan secara normal, dalam banyak kasus, wanita
tersebut akan diberikan obat uterotonika (oxytocin) untuk memastikan
bahwa kontraksi tetap ada. Jika persalinan masih tidak berkembang
setelah beberapa jam, persalinan sesar mungkin direkomendasikan.
 Detak jantung bayi menunjukkan perburukan dan tidak dapat menoleransi
persalinan dengan baik.
 Bayi berada dalam posisi melintang (menyamping) atau sungsang
(bokong lebih dulu) saat persalinan dimulai.
 Pendarahan pervagina yang berat. Hal ini dapat terjadi jika plasenta
terlepas dari rahim sebelum bayi dilahirkan (solusio plasenta).
 Keadaan darurat medis mengancam kehidupan ibu atau bayi.
Tindakan persalinan seksio sesarea ini harus dipersiapkan
dengan sebaik mungkin. Dibawah ini adalah beberapa tahap untuk
tindakan seksio sesarea:8
a. Pre operasi seksio sesarea8
Sebelum persalinan seksio sesarea dilakukan, dilakukan persiapan
dilakukan dengan pasien berpuasa sekitar 6-8 jam sebelum tindakan serta
sudah dilakukan informed consent yang ditandatangani oleh pasien atau
keluarga untuk menyetujui suatu tindakan tersebut. Setelah itu pasien
dilakukan pemasangan infus dengan cairan kristaloid sebagai jalur cairan
serta obat-obatan sampai pasien sudah di setujui untuk pulang. Lalu,
pasangkan juga kateter urin untuk mengosongkan kandung kemih
(supaya selama operasi tidak terjadi cedera kandung kemih) & memonitor
jumlah urin yang di produksi serta kecukupan cairan yang hilang selama
operasi serta mencukur rambut pubis serta rambut disekitar abdomen di
tempat untuk dilakukannya insisi. Periksa tanda vital dari pasien sebelum
37

operasi dimulai. Selain itu dukungan dari dokter dan keluarga juga sangat
penting untuk jalannya tindakan seksio sesarea ini.
b. Intra operasi seksio sesarea8
Sesudah pasien naik keatas meja operasi, pasien diminta untuk berbaring
dan di persiapkan untuk di lakukan anestesi. Anestesi blok spinal dapat
diberikan oleh dokter anestesi buat menghilangkan rasa sakit & gerakan
tubuh pasien. Jika anestesi sudah bekerja, lalu dokter obgin sudah
memakai apd dan siap untuk memulai operasi. Operasi tindakan seksio
sesarea dilakukan dengan menyayat dinding perut dengan scalpel
sepanjang 8-9 cm secara vertikal atau horizontal. Setelah rongga
abdomen terbuka, dicari segmen bawah uterus & dilakukan sayatan
horizontal dengan scalpel sepanjang 8-9 centimeter. Jika air ketuban
masih intak dan terlihat lakukan amniotomi dan bayi dilahirkan dengan
meluksir kepala menggunakan tangan operator, lalu setelah bayi sudah
lahir, tali pusat dipotong & untuk bayi selanjutnya ditolong oleh tenaga
perawat ahli atau dokter spesialis anak. Kemudian setelah melahirkan
bayi, dilanjutkan untuk melahirkan plasenta secara utuh. Selesainya
plasenta dilahirkan dan sudah dipastikan bersih, tutup sayatan di bagian
uterus dengan dijahit dan evaluasi perdarahan per abdomen. Jika tidak
terdapat perdarahan, dinding perut ditutup kembali dan operasi selesai.
c. Post operasi seksio sesarea8
Setelah operasi seksio sesarea telah selesai, pasien dibawah ke ruang
pemulihan setelah tindakan operasi dan diberikan obat-obatan seperti
analgesik. Lalu periksa juga tanda vital 4 jam sekali serta memonitor
kecukupan cairan dan palpasi fundus uteri setelah pasien di operasi.
Kateter dapat dilepaskan setelah 12 jam post operasi. Bising usus pada
hari pertama belum terdengar, lalu pada hari kedua bising usus lemah dan
baru aktif kembali pada hari ketiga. Luka insisi juga di cek setiap hari
apakah terjadi infeksi atau tidak. Pemberian ASI dapat langsung diberikan
setelah operasi dengan inisiasi menyusui dini terlebih dahulu.
Tenaga medis tentunya paham mengenai risiko dilakukannya
tindakan sectio caesarea, termasuk risiko medis akibat tindakan ini.
38

Namun demikian, banyak tenaga medis yang mempermudah izin tindakan


ini hanya karena kemauan pasien atau kondisi medis yang sebenarnya
dapat diatasi tanpa sectio caesarea. Hal ini terkait dengan bioetika atau
etika kesehatan yang salah satu prinsipnya adalah benifience,
mendahulukan kepentingan atau keselamatan pasien, tidak hanya pada
konteks kekinian melainkan juga pada konteks di masa depan dan
mengusahakan agar kebaikan atau manfaat dari tindakan yang diambil itu
lebih banyak dibandingkan dengan suatu keburukannya. Adanya trend
peningkatan tindakan sectio caesarea (SC) di sejumlah rumah sakit, baik
di RS swasta maupun RS pemerintah, padahal risiko klinis terhadap ibu
yang melahirkan melalui operasi SC lebih besar dibandingkan dengan
risiko persalinan normal (pervaginam). Risiko psikologis juga tidak dapat
dihindarkan karena rasa sakit pasca operasi caesarea yang lebih lama
serta adanya risiko pada bayi. Risiko akibat pasca SC yang merugikan ini
perlu dikaji lebih jauh dari segi etika kesehatan, mulai dari proses
pengambilan keputusan dokter dalam melakukan operasi sectio
caesarea.4
Dokter sebaiknya memahami aspek etika kesehatan dalam
persalinan sectio caesarea. Dokter harus mematuhi etika dalam praktek
klinis dan berhati-hati dalam mengevaluasi indikasi setiap CS dan
mengambil keputusan yang tidak bias sebelum melakukan CS atas
permintaan. Selain risiko dan manfaat, perlu pemahaman potensi risiko
jangka panjang berulang CS, termasuk histerektomi dan kematian ibu dan
janin.4
Perlu menjadi perhatian bersama jika terjadi malpraktik akibat SC
ini antara lain bahwa rumah sakit bertanggung jawab atas kelalaian
tenaga medis di rumah sakit akibat dari perbuatan tenaga medis yang
merugikan pasien atas dasar yuridis mormatif sesuai ketentuan Pasal
1367 KUH Perdata, dan Pasal 46 UU rumah sakit, dan standar profesi dan
akreditasi pelayanan kesehatan secara internasional. Akan tetapi tindakan
tenaga medis dalam bentuk criminal malpractice, maka akan tetap
dipertanggungjawabkan pada tenaga medis tersebut. Oleh karena itu,
39

semua pihak diharapkan dapat mengutamakan tanggung jawab


profesionalisme di bidang kesehatan, khususnya bagi tenaga medis yang
berhubungan langsung dengan pasien.4
Pihak rumah sakit juga turut bertanggung gugat atas perbuatan
semua orang yang bekerja di dalamnya seperti dokter. Pasal 46 Undang-
Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit menentukan bahwa:
”Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua
kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan di rumah sakit.” Dan pada pasal 1367 ayat (3) Kitab Undang-
Undang hukum perdata, disebutkan bahwa: “Majikan-majikan dan mereka
yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka,
adalah tanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-
pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan
untuk mana orang-orang ini dipakainya.22
Rumah Sakit adalah badan hukum penyelenggara pelayanan
kesehatan juga merupakan subyek hukum pengemban hak dan kewajiban
karenanya rumah sakit dapat dituntut secara hukum (yuridis). Tanggung
jawab yuridis dari sebuah rumah sakit mencakup :22
1. Tanggung jawab terhadap personalia. Hal ini berdasarkan hubungan
hukum antara “majikan - karyawan” (vicarious liability, respondeat
superior, Let the Master Answer). Tanggung jawab ini dapat dikatakan
bersifat universal dan di negara kita masih berlaku KUH Perdata Pasal
1366 jo.1365 jo. 1367. Dalam Medical Law, Kennedy dan Grubb
menggemukakan bahwa tanggung jawab rumah sakit terhadap pasien
adalah :
a. Memilih tenaga dokter yang kompeten dan berkualifikasi
b. Memberikan perintah dan melakukan pengawasan
c. Menyediakan fasilitas dan peralatan yang baik
d. Menentukan sistem-sistem yang dibutuhkan untuk jalannya
keamanan rumah sakit.
2. Tanggung jawab terhadap mutu perawatan/ pengobatan (duty of due
care). Maksud tanggungjawab ini termasuk pemberian pelayanan
40

kesehatan, baik oleh dokter, maupun perawat dan tenaga kesehatan


lainnya, asalkan harus berdasarkan ukuran standar profesi.
3. Tanggung jawab terhadap sarana dan peralatan. Ruang lingkup
tanggungjawab ini termasuk peralatan dasar perhotelan,
perumahsakitan, peralatan medik dan lain-lain. Yang dipentingkan
adalah bahwa peralatan tersebut setiap saat harus berada dalam
keadaan siappakai.
4. Tanggung jawab terhadap keamanan bangunan dan perawatannya.
Adapun maksud dari jenis tanggung jawab ini adalah misalnya
seperti bangunan yang roboh, genting jatuh sampai mencederai
orang, lantai yang licin sampai ada pengunjung atau pasien yang
jatuh dan terjadi fraktur, pasien jatuh dari tingkat atas (mengingat
rumah sakit sekatang banyak yang dibangun bertingkat).
Di Amerika masalah ini diatur di dalam Occupier’s Liability Act,
sedangkan di Indonesia diatur didalam Pasal 1369 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Keterkaitan tanggung jawab rumah sakit dengan
personalia mengandung tiga doktrin, yaitu :7
1. Vicarious Liability atau Respondent Superior Prinsip utama doktrin ini
adalah atasanlah yang bertanggungjawab atas semua kerugian yang
ditimbulkan oleh bawahan rumah sakit, tanggungjawab sebagai
atasan dari staf rumah sakit atas tindakan bawahan rumah sakit.
2. Hospital Liability. Menurut doktrin ini rumah sakit bertanggungjawab
atas semua kejadian atau peristiwa di dalam rumah sakit. Perihal
kesalahan seorang dokter, maka tanggungjawab akan diambil alih
oleh rumah sakit. Pihak rumah sakit kemudian akan menggunakan
hak regresnya untuk meminta ganti rugi kembali kepada dokter yang
melakukan kesalahan tersebut.
3. Strict Liability Doktrin ini menganut bahwa rumah sakit
bertanggungjawab atas semua kejadian terlepas dari kesalahan
rumah sakit tersebut. Disini berlaku asas “Res Ipsa Loquitor”, yaitu
fakta yang berbicara.
41

Demi terciptanya mutu dan keselamatan pasien dalam hal ini rumah
sakit, maka tercananglah pelaporan insiden keselamatan pasien di rumah
sakit. Terlaksananya pendidikan dan penelitian tentang keselamatan
pasien di berbagai institusi. Sebagai acuan pemerintah pusat dan daerah
dalam melakukan pembinaan rumah sakit serta institusi pendidikan dan
penelitian. Terbangunnya kesadaran tenaga kesehatan dan masyarakat
tentang budaya keselamatan pasien.25
Untuk menjaga dan meningkatkan mutu, rumah sakit harus
mempunyai suatu ukuran yang menjamin peningkatan mutu di semua
tingkatan. Keputusan Direktur Jendral Bina Upaya Kesehatan Nomor HK.
02.04/I/2790/11 tentang standar akreditasi rumah sakit melalui Buku
Panduan Akreditasi Rumah Sakit yang disahkan oleh Menteri Kesehatan
R.I. pada September 2011. Regulasi inilah yang seharusnya menjadi
dasar bagi setiap rumah sakit untuk melakukan assesmen terhadap
pelayanan yang dimilikinya. Selanjutnya setiap Rumah Sakit yang telah
mendapakan izin operasional harus diregistrasi dan diakreditasi.25
Sehingga dalam maraknya tuntutan masyarakat terhadap layanan
rumah sakit maka pelaksanaan kegiatan keselamatan pasien menjadi
sangatlah penting, diharapkan dapat menurunkan insiden dan
meningkatakan kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit di
Indonesia.25
Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua
kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan di rumah sakit. Sampai saat ini, belum ada peraturan
perundang-undangan secara khusus mengatur hubungan hukum antara
dokter dan rumah sakit. Status swasta tempat dimana dokter bekerja,
pertanggungjawaban hukum rumah sakit dalam hal ini badan hukum yang
memilikinya bisa dituntut atas kerugian yang terjadi secara baik secara
langsung sebagai pihak, pada suatu perjanjian bila ada wanprestasi
maupun tidak langsung sebagai majikan bila karyawannya menurut
pengertian peraturan perundang undangan melakukan perbuatan
melanggar hukum.6
42

Selain itu hubungan hukum antara seorang dokter dengan Rumah


Sakit dan hubungan hukum yang terjadi antara pasien dan rumah sakit
bisa dibedakan dalam dua jenis perjanjian, yaitu Perjanjian perawatan,
seperti kamar dengan perlengkapannya dan perjanjian pelayanan medis,
berupa tindakan medis yang dilakukan oleh dokter yang dibantu oleh para
medik.17
Dalam pasal 32 huruf q undang-undang nomor 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit secara jelas mengatakan bahwa pasien memiliki hak
untuk menggugat dan menuntut rumah sakit apabila rumah sakit tidak
dapat memberikan pelayanan secara baik. Rumah Sakit sebagai sarana
pelayanan kesehatan terhadap masyarakat melibatkan dokter sebagai
sub-ordinat ataupun mitra dalam menjalankan tugas pelayanan kesehatan
terhadap pasien, sehingga bila terjadi gugatan atau tuntutan dari pasien
akibat kegagalan dalam pelayanan medis di rumah sakit maka rumah
sakit ikut bertanggung jawab.17
Hubungan hukum antara dokter dan rumah sakit adalah hubungan
pekerjaan, yaitu dokter yang bekerja sebagai sub-ordinat dari rumah sakit
yang menerima gaji dari rumah sakit. Pada hubungan yang dijalin oleh
rumah sakit dan dokter ini apabila dokter sub-ordinat dari rumah sakit
melakukan kesalahan atau kelalaian maka dokter tersebut akan dibantu
oleh rumah sakit dalam ganti rugi, dengan catatan kesalahan atau
kelalaian tersebut dilakukan di lingkungan rumah sakit. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa rumah sakit sebagai sarana pelayanan
kesehatan menanggung kewajiban untuk ikut bertanggung jawab jika
terjadi kasus kelalaian ataupun kesalahan yang dilakukan oleh dokter di
lingkungan rumah sakitnya. Hal ini disebabkan karena hubungan
kontraktual antara rumah sakit dengan pihak dokter atau pihak kesehatan
lainnya.23
Pertanggung jawaban rumah sakit sebagai employer (pemberi kerja)
dari seorang dokter yang menjadi sub-ordinat juga disebutkan dalam 1367
KUH Perdata. Terkait dengan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Direktur Rumah Sakit ikut berbagi tanggung jawab bila ada
43

kesalahan dari dokter yang menjadi tanggung jawabnya, hal ini disebut
sebagai vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit dapat
bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan dokter dokternya (sub-
ordinat), asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu dalam rangka
melaksanakan kewajiban rumah sakit. Gugatan yang diajukan pasien
untuk dapat meminta pertanggung jawaban rumah sakit juga tertera dalam
Pasal 46 undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit yang
menyatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum apabila
kerugian yang ditimbulkan dilakukan oleh tenaga kesehatan atau
dokternya. Dalam hal ini rumah sakit yang dipimpin oleh Direktur ikut
bertanggung jawab terhadap kelalaian atau kesalahan yang dilakukan
oleh dokter kepada pasien. Apabila pasien menggunakan ranah hukum
sebagai cara penyelesaiannya maka rumah sakitjuga dapat dikatakan
melakukan perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang diatur dalam
1367 KUHPerdata, dengan alasan karena kesalahan yang dilakukan oleh
dokter adalah dalam kapasitasnya sebagai tenaga medis rumah sakit dan
dokter juga melaksanakan kewajibannya atas nama rumah sakit.17
Tanggung jawab Rumah Sakit Pemerintah terhadap kerugian yang
diderita pasien/ keluarganya dalam hubungan pelayanan medis perawatan
kesehatan oleh para tenaga kesehatan di Rumah Sakit pemerintah maka
Rumah Sakit Pemerintah tersebut cq Kanwikes/Depkes bertanggung
jawab atas kerugian tersebut berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata
(Onrechtmatige daad/ Onrechtmatige overheidsdaad).11
Pada Kasus ini rumah sakit sudah bertanggung jawab atas
kelalaian yang dilakukan pada penanganan operasi pertama yang dengan
cara memfasilitasi pasien dari masuk UGD dimana rumah sakit,
memberikan pelayanan berupa pemeriksaan penunjang, memberi
alternatif dokter spesialis kandungan yang ahli dibidangnya, dan
membentuk tim untuk operasi laparatomi seperti tim anestesi, tim dari
dokter kandungan dan kebidanan yang merupakan subspesialis, serta tim
ahli bedah divisi digestif.
44

2.5 Tinjauan Holistik Biopsikososiokultural


Dalam pemberian pelayanan medis oleh rumah sakit, dokter dan
perawat merupakan tenaga medis yang memegang peranan penting.
Dokter berwenang melakukan tindakan Medis tertentu berdasarkan ilmu
kedokteran, sedangkan perawat adalah orang yang di didik menjadi
tenaga paraMedis untuk menyelenggarakan perawatan terhadap pasien
atau secara khusus untuk mendalami bidang perawatan tertentu, seperti
ahli anestesi dan ahli perawatan ruang gawat darurat.24
Perawat dalam melaksanakan tugasnya haruslah selalu di bawah
pengawasan dokter, sebab dalam praktik keperawatan terdapat fungsi
depeden, dimana dalam fungsi ini perawat bertindak membantu dokter
dalam memberikan pelayanan Medis. Perawat membantu dokter
memberikan pelayanan dalam hal pengobatan dan tindakan khusus yang
menjadi wewenang dokter dan seharusnya dilakukan oleh dokter, seperti
pemasangan infus, pemberian obat dan melakukan suntikan.24
Akhir-akhir ini profesi yang bergerak di bidang medis terutama
profesi sebagai dokter dan perawat banyak disoroti oleh masyarakat,
khususnya setelah terjadi beberapa kasus kelalaian, kesengajaan maupun
kurangnya keahlian dalam tindakan Medis dokter dan perawat yang
merugikan pasiennya, seiring dengan keadaan tersebut maka
berkembang istilah malpraktik medik.
Dalam sengketa medik, ada dua hal mendasar. Pertama, dari pihak
pasien atau keluarga pasien yang kurang mengerti tentang tindakan atau
prosedur medik yang kadang dapat menimbulkan resiko. Kedua, dari
pihak dokter yang kurang komunikatif, tidak memberikan penjelasan yang
kuat tentang penyakit ataupun tindakan medik yang dilakukannya.
Pengertian akan hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam
hubungan dokter pasien, serta adanya komunikasi yang baik tentu dapat
menghindarkan terjadinya sengketa itu.
Hubungan antara dokter dan pasien yang menghasilkan
persetujuan karena dalam memberikan dan menerima perawatan medis
sebagai hal yang dapat dibenarkan dalam masyarakat. Hubungan
45

kepercayaan antara dokter dan pasien, yaitu penyembuh dan yang


disembuhkan. Dalam zaman modern hubungan kepercayaan tersebut
sebagai hubungan “transaksi terapeutik”. Hubungan “transaksi terapeutik”
adalah transaksi antara dokter dengan pasien untuk mencari atau
menemukan terapi sebagai upaya penyembuhan penyakit pasien oleh
dokter. Menurut Muladi,” ada beberapa elemen malpraktek, diantaranya:24
 Merupakan kesalahan professional
 Termasuk ke dalam ketiada keahlian/ keteitian
 Tidak bertindak sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang timbul dari
profesinya
 Kesalahan yang dilakukan oleh dokter yang bertindak di bawah
standar yang diharapkan secara rata-rata dan layak dilakukan oleh
dokter lain
 Kemampuan profesional tersebut dapat meliputi: kekurangan
pengetahuan, kekurangan pengalaman dan kekurangan pengertian
 Adanya hubungan antara dokter-pasien yang menimbulkan kewajiban
dari dokter untuk berbuat sesuai dengan normanorma spesifik/
standar yang diciptakan oleh profesi guna melindungi pasien dari
resiko yang tidak layak
 Adanya pembuktian bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap
kewajiban dalam bentuk kegagalan dalam bertindak sesuai dengan
norma-norma di atas dalam bentuk berbuat/ tidak berbuat yang
melanggar standar pelayanan
 Harus dapat dibuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan
dokter tersebut dengan kerugian yang terjadi.
Elemen malpraktek di atas mengemukakan hak-hal yang mirip
dengan penentuan tindak pidana seseorang dalam hal
pertanggungjawaban pidana, maka malpraktek merupakan kealpaan.
Klasifikasi tindakan Malpraktek Medik selain masuk ke dalam lingkup etika
profesi dan Hukum Pidana, juga masuk ke dalam lingkup Hukum Perdata
yaitu Perbuatan Melawan Hukum dan wanprestasi karena dilanggarnya
46

suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang Hukum


Perdata.24
Pertanggung jawaban yang di berikan kepada tenaga Medis atas
malpraktek yang terjadi akan menimbulkan dampak bagi kedua belah
pihak baik tenaga Medis maupun pasien sebagai korban. Dampak yang
dapat dirasakan oleh pasien atau keluarga pesien adalah terutama
dampak moril, lahir dan batin karena akibat terjadinya malpraktek
tersebut. Bagi tenaga Medis dampak dari malpraktek tersbut tidak jauh
beda dengan yang dirasakan pasien namun bahkan tenaga Medis akan
kehilangan pekerjaan bahkan profesinya sebagai dokter.24
Dalam kasus yang dipaparkan diatas kerugiannyang dialami pasien
dan keluarga, tidak hanya dalam hal perawatan yang lama, dan biaya
yang dikeluarkan namun kepercayaan atas tindakan medis juga
berkurang, terlebih pasien dalam hal ini menjadi keberatan jika dirawat
kembali oleh dokter yang sama.
2.6 Tinjauan Pendidikan dan Pelatihan
Dokter sebaiknya memahami aspek etika kesehatan dalam
memulai prosedur operatif. Dokter harus mematuhi etika dalam praktek
klinis dan berhati-hati dalam mengevaluasi indikasi setiap SC dan
mengambil keputusan yang tidak bias sebelum melakukan SC atas
permintaan. Selain risiko dan manfaat, perlu pemahaman potensi risiko
jangka panjang berulang SC, termasuk histerektomi dan kematian ibu dan
janin.4
Berdasarkan teori deontologi (kewajiban) maka fokus analisis etika
suatu tindakan dilakukan terhadap pelaksana tindakan tersebut. Oleh
karena itu dalam persalinan, aspek etika yang dibahas fokus pada dokter
atau tenaga medis yang melaksanakan. Persalinan melalui SC tanpa
indikasi medis dapat dikatakan etis apabila dokter telah melakukan
kewajibannya, antara lain menjelaskan kondisi janin/bayi pada orang tua,
risiko-risiko yang kemungkinan terjadi saat dan setelah melalui operasi
SC, serta hal-hal lain yang perlu diketahui calon ibu dan pasangannya
pasca operasi SC, menjalankan prosedur informed consent dan
47

melakukan operasi SC sesuai dengan prosedur medis yang berlaku,


tanpa kesalahan sedikit pun. Sebagaimana yang telah dijelaskan
mengenai kelebihan ini bahwa apabila pelaksana tindakan yang memicu
dilema etis ini telah menjalankan kewajiban sesuai peran dan
tanggungjawabnya maka tindakan ini tidak lagi menjadi pembahasan
dalam dilema etis. Namun, kekurangannya bahwa deontologi tidak peka
terhadap konsekuensi-konsekuensi tindakan, maka apabila di waktu
mendatang risiko akibat persalinan SC dirasa merugikan pasien maka
pasien tidak dapat lagi menuntut pihak tenaga medis atau dokter yang
melakukan operasi SC.4
Pola hubungan antara dokter dan pasien adalah perjanjian
terapeutik, dimana faktor perjanjian itu bukanlah hal yang utama dalam
pola hubungan dokter pasien. Kewajiban dokter dan kode etik kedokteran
adalah sumber lain dari hubungan dokter dan pasien. Hubungan dokter
dan pasien diawali dari informed consent yaitu kewajiban untuk memberi
penjelasan berkaitan dengan penyakit dan beberapa pilihan terapi kepada
pasien beserta dengan risiko medis yang mungkin terjadi pada saat terapi
dilakukan. Informed consent ini adalah kewajiban dokter yang harus
dilakukan sebelum memberikan pelayanan medis atau tindakan medis.
Persetujuan atau acceptance dari pihak pasien adalah persetujuan yang
diberikan oleh pihak pasien setelah mendapat informed consent dari
dokter. Persetujuan ini adalah dasar dari dokter untuk memberikan
pelayanan medis atau tindakan medis kepada pasien. Persetujuan
diberikan setelah pasien sadar akan risiko medis yang mungkin terjadi dan
memberi izin kepada dokter untuk melakukan tindakan terapeutik.4
Pelaksanaan doktrin medis merupakan penegadaan rekam medik
(medical record), mengadakan hak persetujuan tindakan Medis (informed
concent) dan penerbitan rahasia kedokteran (medical secrecy). Hal
tersebut dilakukan untuk menentukan kejelasan dan standarisasi bentuk
formulasi yang beranegaragam, serta dengan pengecualiannya. Kejelasan
dalam hal rekam medik diperlukan sehingga diketahui cara-cara yang
dilakukan dan akan kelihatan tindakan kelalaian yang telah terjadi ataupun
48

telah terjadi tindakan akibat adanya risiko Medis. Rumah sakit akan
bertanggungjawab terhadap kerugian yang diakibatkan kelalaian tenaga
Medis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 46 Undang-Undang Rumah
Sakit. Pasal ini dapat diterapkan apabila hubungan tenaga Medis dengan
pihak rumah sakit tersbeut merupakn pekerja dan majikan. Artinya tenaga
Medis yang bersangkutan adala pekerja/buruh di rumah sakit tersebut.
Oleh karena itu jika tenaga Medis tersebut bukan pekerja, maka pihak
rumah sakit dapat mengelak untuk tidak bertanggungjawab atas kelalaian
tenaga Medis di rumah sakit tersebut.24
Pencegahan gossypiboma dapat dilakukan dengan menjaga standar
rekomendasi. Hal ini dapat dikurangi dengan menghitung secara
menyeluruh setidaknya tiga kali (pra operasi, intra operasi dan pasca
operasi), terutama selama operasi darurat; eksplorasi lengkap rongga
perut oleh operator bedah sebelum penutupan jika ada keraguan dalam
penghitungan. Sesuai rekomendasi WHO, penghitungan harus selalu
dilakukan secara terpisah dalam urutan yang konsisten oleh dua orang
yang mirip dengan nama mereka dicatat dalam lembar penghitungan atau
catatan keperawatan. Eksplorasi insisi bedah oleh operator mengurangi
kemungkinan meninggalkan kassa. Sinar-X intraoperatif segera harus
dilakukan jika ada kecurigaan. Teknologi baru untuk pendeteksian
mencakup kode batang dua dimensi, detektor frekuensi radio, dan
identifikasi frekuensi radio. Sistem kode batang dua dimensi adalah
pendekatan teknologi pertama. Ini memasukkan kode khusus untuk setiap
spons, yang mencegah penghitungan ganda. Pendekatan teknologi kedua
adalah detektor frekuensi radio di mana spons diidentifikasi oleh beacon
frekuensi radio. Suar ini menyebabkan stasiun pangkalan mengeluarkan
bunyi bip saat berada di bawah. Identifikasi frekuensi radio merupakan
modifikasi dari detektor frekuensi radio dimana sebuah tag dipasang pada
masing-masing spons. Kassa digabungkan dengan penanda radiopak di
antara lapisan atau strip atau serat luar, tag magnetomekanis, tag
elektronik, serat berwarna. Mereka dapat diidentifikasi secara intraoperatif
dengan bantuan film sinar-X, magnet, dan warna tertentu.7
49

Di Indonesia, departemen kesehatan RI telah menerbitkan panduan


dalam melaksanakan program keselamatan pasien di rumah sakit.
Terdapat tujuh area yang menjadi pusat/fokus perhatian, khususnya
“penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan
evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien” dan dilakukan
secara berkesinambungan.10
50

BAB III
KESIMPULAN

Kelalaian pada asasnya bukan merupakan satu pelanggaran


hukum apabila itu tidak menimbulkan kerugian. Namun apabila
menimbulkan kerugian materi bahkan juga kerugian fisik seperti
kecederaan atau kematian, maka terhadap pembuat kerugian dapat
dikenai hukuman di bawah hukum pidana. Disini terdapat perbedaan
penting yaitu antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana medis.
Pada tindak pidana biasa, yang terutama diperhatikan adalah akibatnya,
sedangkan pada tindak pidana medis adalah penyebabnya. Walaupun
berakibat fatal, tetapi jika tidak terdapat unsur kelalaian atau kesalahan
maka dokternya tidak dapat dipersalahkan.
Pada dasarnya risiko medis adalah tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban kepada dokter yang telah menyebabkan terjadinya
risiko tersebut sepanjang dokter telah melakukan tindakan sesuai dengan
standar prosedur, dan sesuai dengan ketentuan pengobatan yang telah
diterima secara betul oleh khalayak dokter.
Kelalaian medis dan risiko medis adalah dua hal yang berbeda.
Kelalaian medis adalah bagian dari malpraktik dokter. Kelalaian medis
terjadi karena tidak adanya unsur hati-hati dan berjaga-jaga dari dokter
ketika memberi suatu pelayanan medis kepada pasien. Kelalaian medis
yang menimbulkan kerugian atau hilangnya nyawa dari pasien
memberikan hak kepada pasien atau keluarganya untuk mengajukan
gugatan perdata atau melaporkan kelalaian dokter kepada aparat
penegak hukum seperti kepolisian. Risiko medis adalah sesuatu hal yang
mungkin timbul pada saat diberikannya terapi medis atau pengobatan.
Risiko medis ini adalah sesuatu hal yang disadari oleh pasien
berdasarkan informed consent yang diberikan oleh dokter. Risiko medis
yang terjadi akan sangat sulit dianggap sebagai kelalaian karena pasien
sudah menyadari dan memberikan izin kepada dokter untuk dilakukannya
terapi medis.
51

Dalam hal pemberian layanan kesehatan atau terapeutik, dokter


dan pasien harus mengetahui hak dan kewajiban dari masing-masing
pihak. Pasien berkewajiban untuk memberikan keterangan dan penjelasan
terkait penyakit dan terapi atas kesehatan sebelumnya kepada dokter.
Pasien juga mempunyai hak untuk dapat menentukan pilihan terapi yang
tepat bagi dirinya itu setelah mendengarkan penjelasan tentang pilihan
terapi dan juga risiko medis yang kemungkinan timbul. Dokter sebagai
pihak yang memberi pelayanan kesehatan mempunyai kewajiban untuk
memberikan penjelasan kepada pasien terkait dengan penyakit yang telah
diderita dan kemungkinan atau alternatif terapinya (informed consent).
Kesadaran akan hak dan kewajiban para pihak dapat memberikan
layanan kesehatan yang berkualitas kepada para pengguna jasa
kesehatan.
52

DAFTAR PUSTAKA

1. Hady A El, Hameed A El, Ali W. Medicolegal Aspect Of Maternal


Deaths In Assiut Governorate. Al-Azhar Assiut Med J.
2021;19(2):225.
2. Samavedam S. Medicolegal Aspects of Obstetric Critical Care.
Indian J Crit Care Med. Published online 2021:279–282.
3. Kuralkar RA, Devraj NB, Buchade D. Medico-Legal Aspect Of
Maternal Death. Int J Res Med Sci. 2017;25(5).
4. Ayuningtyas D, Oktarina R, Misnaniarti M, Sutrisnawati D. Etika
Kesehatan pada Persalinan Melalui Sectio Caesarea Tanpa Indikasi
Medis. Media Kesehat Masy Indones. 2018;14(1).
5. ACOG. Spektrum Plasenta Akreta. Konsensus Perawatan
Kebidanan. Published online 2018:1-39.
6. Bostan H, Karakava MA, Demir M, Cagdir AS, Hanci V. A Case of
Surgical Instrument Left in The Abdomen and Taken Out of The
Transverse Colon. Hippokratia. 2014;18(1):77–79.
7. Biswas RS, Ganguly S, Saha ML, Saha S, Mukherjee S, Ayaz A.
Gossypiboma and Surgeon- Current Medicolegal Aspect - A
Review. Indian J Surg. 2012;74(4):318-322. doi:10.1007/s12262-
012-0446-3
8. Mappaware NA. Buku Ajar Etika Dan Medikolegal Prilly Astari.
Obstetri Ginekologi Universitas Hasanuddin; 2022.
9. Ashar H, Kusrini I. Determinant of the Increased Sectio Caesarea
Labor Rates of Indonesia in 2017. Published online 2020.
10. Made DI, Antara R, Aryana MBD. Laporan Serial Kasus & Kajian
Patient Safety. Pertemuan Ilmiah Tahunan Himpunan Obstetri dan
Ginekologi Sosial Indonesia ke 12. PIT HOGSI XII. Published online
2019.
11. Alit IBP. Disiplin Kedokteran Dalam Mencegah Malpraktek Medis.
Departement Forensik dan Studi Mediko-legal; 2020.
12. Kinsinger FS. Beneficence and The Professional’s Moral Imperative.
J Chiropr Humanit. 2009;16(1):44-46.
53

doi:10.1016/j.echu.2010.02.006
13. Mondong A. Pertanggungjawaban Dokter Atas Kelalaian Tindakan
Medis Yang Mengakibatkan Cacat Tubuh Pada Pasien Ditinjau Dari
Pasal 360 KUHP. Universitas Sam Ratulangi; 2018.
14. Pandit M, Pandit S. Medical Negligence: Coverage Of The
Profession, Duties, Ethics, Case Law, And Enlightened Defense - A
Legal Perspective. Indian J Urol. Published online 2009:372–378.
15. Agustin. Analisis Bioetik Dugaan Kasus Malpraktek Dokter
Terhadap Pasien di RSUD Pandan. In: Prosiding SEMNAS BIO
2022. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2022.
16. Rokayah S, Widjaja G. Kelalaian (Negligence) Dan Malpraktik
Medis. Detik. Published 2022. https://news.detik.com
17. Christi A. Tanggung Gugat Dokter dan Rumah Sakit DS di Kota
Surabaya atas Tertinggalnya Kasa dalam Tubuh MR X Berdasarkan
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek
Kedokteran dan Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit Serta Kitab Undang-undang. Calyptra. 2015;4(2):1-12.
18. Razy F, Saputera Y, Sari MU. Malpraktek Medis dalam Tinjauan
Yuridis Sistem Hukum Indonesia. J Kewarganegaraan. 2022;6(3).
19. Sibarani S. Aspek Perlindungan Hukum Pasien Korban Malpraktik
Dilihat Dari Sudut Pandang Hukum Di Indonesia. Published online
2022.
20. Hambodo T, Arismar R, Salasabila V, Kusumo FA, Mufidah F.
Negligence Of Medical Actions That Result In Presumption Of
Malpractice In Rs. Kandau Manado. In: Prociding Call For Paper
Thalamus Fakultas Kedokteran. Universitas Muhammadiyah
Surakrta; 2021.
21. Suryadi T. Prinsip-prinsip Etika dan Hukum dalam Profesi
Kedokteran. In: Workshop III Pendidikan Bioetika Dan Medikolegal. ;
2009.
22. Polii FGM, Aling DF, Doodoh M. Tanggung Gugat Rumah Sakit atas
Kelalaian Diagnosis Pada Pasien Covid Serta Standar Operasional
54

Prosedur Penanganannya. Artik Skripsi. Published online 2021:1-


15.
23. Mangkey MD. Perlindungan Hukum Terhadap Dokter dalam
Memberikan Pelayanan Medis. Lex Soc. 2014;2(3):61-70.
24. Putra GS. Implikasi Tanggungjawab Hukum Atas Tindakan
Malpraktik yang Dilakukan Oleh Tenaga Medis Di Indonesia.
Muhammadiyah Law Rev. 2020;4(2):120-131.
http://ojs.ummetro.ac.id/index.php/law

Anda mungkin juga menyukai