Anda di halaman 1dari 49

REFERAT

PENGGUNAAN METOTREXATE PADA KASUS


PLASENTA AKRETA

UNIVERSITAS ANDALAS

Oleh :
dr. Wahyuridistia Marhenriyanto
PPDS OBGIN

Pembimbing :
dr. Ferdinal Ferry, Sp.OG (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2017

1
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M.DJAMIL PADANG

Lembar Pengesahan

Nama : dr. Wahyuridistia Marhenriyanto

Semester : III (Tiga)

Telah menyelesaikan Presentasi REFERAT

Judul : Penggunaan Metotrexate pada Kasus


Plasenta Akreta

Padang, Juni 2017

Mengetahui / Menyetujui Peserta PPDS


Pembimbing Obstetri dan Ginekologi

(dr. Ferdinal Ferry, Sp.OG(K)) (dr. Wahyuridistia Marhenriyanto)

Mengetahui
KPS PPDS OBGIN
FK UNAND RS. Dr. M. DJAMIL PADANG

(dr. H. Syahredi SA., Sp.OG (K))

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................ i


DAFTAR GAMBAR ....................................................................................ii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................. 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 9
A. Definisi .................................................................................................. 9
B. Epidemiologi dan Faktor Risiko .......................................................... 10
C. Patofisiologi dan Patogenesis............................................................. 11
D. Manifestasi Klinis ............................................................................... 12
E. Diagnosis ........................................................................................... 13
1. Ultrasonografi ................................................................................ 14
2. Laboratorium ................................................................................. 21
3. Patologi Anatomi ........................................................................... 21
4. Magnetic Resonance Imaging ....................................................... 21
F. Strategi Manajemen Obstetri .............................................................. 23
1. Manajemen Antenatal ................................................................... 23
2. Manajemen Antepartum ................................................................ 24
3. Manajemen Pre Operatif ............................................................... 26
4. Manajemen Operatif ...................................................................... 28
5. Manajemen Post Operatif.............................................................. 30
G. Methotrexate...................................................................................... 31
1. Cara Kerja Methotrexate ............................................................... 32
2. Syarat Pemilihan Manajemen Methotrexate .................................. 33
3. Dosis dan Cara Pemakaian........................................................... 33
4. Efek Samping ................................................................................ 36
5. Methotrexate VS non-Methotrexate .............................................. 37
6. Methotrexate pada Plasenta Perkreta Invasif ................................ 38
7. Meninggalkan Plasenta Insitu ....................................................... 39
8. Rekomendasi ................................................................................ 40
9. Komplikasi ..................................................................................... 40
i
BAB III. PENUTUP .................................................................................. 41
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 43

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sindrom plasenta akreta .......................................................... 8


Gambar 2. Perluasan vascular segmen bawah rahim ............................. 13
Gambar 3. Lobus plasenta meluas ke VU tanpa intervensi miometrium .. 13
Gambar 4. Implantasi GS pada scar bekas SC ....................................... 14
Gambar 5. Vaskularisasi lacuna multiple di dalam plasenta .................... 15
Gambar 6. Skor Plasenta Accreta Index (PAI) ......................................... 17
Gambar 7. MRI Plasenta Akreta .............................................................. 22

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Frekwensi plasenta akreta pada bekas SC dan plasenta previa 10


Tabel 2. Hubungan riwayat SC dan risiko akreta, previa & histerektomi .. 10
Tabel 3. Temuan USG plasenta akreta.................................................... 13
Tabel 4. Parameter skor PAI .................................................................... 19
Tabel 5. Sensitifitas, spesifitas, negative dan positif skor PAI ................. 19
Tabel 6. Temuan plasenta akreta dari MRI .............................................. 22

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Plasenta Akreta (PA) didefinisikan sebagai sebuah


implantasi abnormal dari villi plasenta yang menginvasi miometrium
dengan ketiadaan desidua basalis.1,2 Terdapat 3 grade perlekatan
abnormal plasenta yang didefnisikan berdasarkan kedalaman
invasi : 3,5
 Plasenta Akreta : Villi korionik menempel ke endometrium
melebih batas desidua basalis
 Plasenta Inkreta : Villi korionik menginvasi seluruh
miometrium
 Plasenta Parkreta : Vill korionik menembus miometrium
hingga serosa dan organ abdomen
Di antara pasien dengan diagnosis invasi abnormal
plasenta secara histologis, 81,6% adalah plasenta akreta, 11,8%
adalah plasenta inkreta, dan 6,6% plasenta perkreta. PA
merupakan tipe plasentasi abnormal dimana villi korionik
menempel langsung menembus miometrium. Hasilnya, sebagian
dari plasenta tidak bisa terlepas setelah persalinan dan dapat
menyebabkan perdarahan hebat sehingga perlu dilakukan
histerektomi cesarean emergensi.4.6
PA merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas
maternal yang akhir- akhir ini menjadi alasan paling umum untuk
histerektomi emergensi postpartum. Insiden PA meningkat empat
kali lipat dari tahun 1994 ke 2002 sehubungan dengan peningkatan
angka Sectio Cesarean (SC). Plasenta Previa dan riwayat SC
merupakan faktor penting terjadinya PA, dimana prevalensinya
meningkat hingga sepuluh kali lipat di Amerika Serikat terhitung 50
tahun belakangan, terutama karena peningkatan persentase

5
pasien hamil yang menjalani Section Cesarean primer dan bekas
SC. 2,3
Kebanyakan PA terlihat sebagai plaseta previa di
trimester ketiga dengan insiden 9,3% dibandingkan dengan
plasenta insersi normal. Diantaranya wanita dengan plasenta
previa, usia ≥ 35 tahun dan bekas SC adalah faktor risiko yang
terkait. Dengan insiden 2% pada wanita <35 tahun dan tidak ada
riwayat SC sebelumnya dan meningkat 38% pada wanita usia ≥ 35
tahun dan ≥ 2x bekas SC.4
Contoh komplikasi yang dihubungkan dengan PA
diantaranya; (i) kerusakan organ lokal (usus, vesica urinaria, ureter)
dan struktur neurovascular di retroperitonium dan dinding lateral
pelvis dari implantasi dan pelepasan plasenta (ii) Perdarahan post
operatif yang membutuhkan operasi ulang; (iii) emboli cairan
amnion; (iv) dan (v) thrombo emboli post operatif, infeksi, kegagalan
multi organ dan kematian ibu. Insiden pasti dari kematian maternal
yang berhubungan dengan PA dan komplikasinya dilaporkan tinggi
kira-kira 6-7% dari kasus yang diteliti.5
Selain untuk menentukan faktor risiko secara klinis,
ultrasound juga sering digunakan dalam antenatal untuk
memperkirakan risiko terjadinya PA.3 Akurasi dari ultrasound untuk
memprediksi PA secara umum dilaporkan baik dengan sensitivitas
77-97%. MRI dapat dipertimbangkan jika dengan USG belum dapat
menyimpulkan PA.2 Peningkatan serum alpha fetoprotein
dihubungkaan dengan PA dan ini diduga mempunyai hubungan
langsung antara perluasan invasi dan peningkatan serum.. Namun,
tak satupun dari tanda tersebut yang telah dievaluasi secara
prospektif menentukan screening yang optimal atau sebagai
ambang diagnostik.5

6
Waktu optimal untuk persalinan elektif akan tergantung
pada keadaan klinis dan luasnya invasi plasenta.5 Rata-rata jumlah
kehilangan darah pada wanita dengan PA pada saat persalinan
adalah 3.000-5.000 ml. Sekitar 90% pasien dengan PA
membutuhkan tranfusi darah dan 40% memerlukan lebih dari 10
unit PRC. Kematian ibu dengan PA dilaporkan lebih dari 7%. 8
Identifikasi prenatal yang akurat memungkinkan
dilakukannya manajemen yang optimal yang berhubungan dengan
waktu, tempat persalinan, ketersediaan produk darah, skill
operator, anestesi, dan tim operasi sehingga angka terjadinya risiko
dan komplikasi yang timbul pada pasien dengan kecurigaan PA
dapat menurun.5
Secara umum, manajemen operatif yang
direkomendasikan untuk kasus yang dicurigai plasenta akreta
adalah cesarean histerektomi dengan plasenta ditinggalkan insitu,
karena usaha pelepasan plasenta dikaitkan dengan morbiditas
akibat perdarahan yang signifikan. Namun, pendekatan ini tidak
dapat dipakai sebagai penatalaksanaan lini pertama terutama
untuk wanita dengan keinginan yang kuat untuk reproduksi di masa
depan. Oleh karena itu, manajemen operasi plasenta akreta dapat
individual tergantung kasus masing-masing. Meminimalkan
perdarahan intraoperatif sangat penting. Pilihan sayatan dibuat
berdasarkan habitus tubuh pasien dan sejarah operasi pasien.
Penggunaan sayatan vertikal linea mediana mungkin diperlukan
untuk memberikan daerah yang cukup jika histerektomi diperlukan.
Insisi uterus klasik atau transfundal mungkin diperlukan untuk
menghindari plasenta dan memungkinkan pengeluaran bayi.
Ultrasound pemetaan lokasi plasenta dapat membantu. Saat
intraoperatif, operator dapat memutuskan untuk menunggu
pelepasan plasenta spontan untuk mengkonfirmasi plasenta akreta
secara klinis. Pada umumnya tindakan manual plasenta harus

7
dihindari. Jika histerektomi diperlukan, pendekatan standar
dilakukan yakni meninggalkan plasenta insitu, dengan cepat
menggunakan whip stitch untuk menutup insisi histerektomi dan
dilanjutkan dengan histerektomi.
Penatalaksanaan lain dari plasenta akreta untuk kasus
pasien dengan keinginan reproduksi di masa depan adalah dengan
pengikatan tali pusat pada fetal surface, mengambil tali pusatnya,
meninggalkan plasenta insitu dan pemberian preparat metotrexate
untuk mereduksi ukuran plasenta hingga menghilangkan sisa
plasenta. Pasien harus mempunyai hemodinamik yang stabil,
status koagulasi normal dan bersedia menerima risiko akibat
manajemen ini. Manajemen ini menjadi penting karena mempunyai
kemungkinan untuk mencegah terjadinya histerektomi terutama
pada kasus wanita yang belum mempunyai keturunan.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Plasenta Akreta (PA) didefnisikan sebagai sebuah implantasi
abnormal dari villi plasenta yang menginvasi miometrium dengan ketiadaan
desidua basalis. Sindrom PA adalah sindrom yang menggambarkan
implantasi abnormal dari plasenta, plasenta invasif atau adhesif. Termasuk
berbagai implantasi plasenta dengan perlengkengketan abnormal ke
miometrium yang disebabkan oleh ketiadaan desidua basalis baik parsial
atau total dan tidak sempurnanya pembentukan fibrinoid dan Nitabuch
Layer.1.2
Normalnya pada penanaman plasenta terdapat lapisan desidua
basalis yang memisahkan vili korionik dari miometrium. Dengan demikin
bila terjadi kontraksi dari miometrium maka akan terjadi pemisahan lengkap
plasenta dari uterus.7 Namun pada PA terdapat kontak langsung antara vili
korionik dengan miometrium tanpa terhalang oleh desidua basalis.7

Gambar 1 Sindrom Plasenta Akreta

A. Placenta Accreta. B. Placenta Increta. C. Placenta Percreta. (Williams, 2014)

9
B. Epidemiologi dan Faktor Risiko
Peningkatan frekuensi sindroma akreta sejak 50 tahun terakhir
berawal dari meluasnya persalinan SC. Pada tahun 1924, Polak dan
Phelan mempresentasikan data mereka dari Long Island College
Hospital, dimana terjadi 1 kasus PA dengan komplikasi dari 6000
persalinan. Sebuah review tahun 1951, angka kematian maternal
tercatat meningkat 65% (McKeogh, 1951). Breen dan Cowokers (1977)
mencatat insiden rata- rata dilaporkan 1 dari 7000 persalinan. Sejak
dilaporkan, terjadi penngkatan sindrom akreta, berhubungan langsung
dengan peningkatan angka persalinan SC.1
Insiden PA tercatat 1 dari 2500 pada tahun 1980an, dan
sekarang, the American College of Obstetricians and Gynecologists
mencatat sebagai tertinggi 1 dari 533 persalinan. Penyebab
meningkatnya frekuensi PA sekarang merupakan masalah serius
dalam bidang Obstetrik. Hal ini berkontribusi signifikan terhadap
morbiditas dan mortalitas maternal, PA sebagai penyebab utama
perdarahan postpartum yang sulit teratasi dan berpotensi besar untuk
dilakukan histerektomi emergensi peripartum.1
Dilaporkan insiden PA meningkat yang pada awalnya 0,8 per
1000 persalinan pada tahun 1980an menjadi 3 per 1000 persalinan
selama 10 tahun belakangan. Dalam sebuah studi pengamatan
prospektif mempertimbangkan jumlah persalinan pertama secara SC
dan ada atau tidaknya plasenta previa, risiko PA adalah 0,03% untuk
pasien yang SC pertama kali jika tidak ditemukan plasenta previa, 1%
untuk wanita yang telah menjalani SC ke 5, dan meningkat hingga 4,7%
bagi yang menjalani SC ke 6 (Tabel 1). Jika terdapat plasenta previa ,
risiko PA adalah 3% pada yang telah menjalani SC pertama kali dan
meningkat hingga 40% atau lebih pada yang telah menjalani persalinan
dengan SC 3x.5

10
Wanita dengan plasenta previa baik
Tabel 1: Frekuensi
plasenta previa anterior atau posterior yang Plasenta Akreta
dihubungkan dengan
melintasi parut uterus meningkatkan risiko riwayat SC dan Plasenta
Previa (Williams, 2014)
PA. Faktor risiko terjadinya PA dilaporkan
berhubungan dengan usia maternal dan
multipara, riwayat operasi uterus, riwayat
kuret sebelumnya, radiasi uterus, ablasi
endometrium, sindrom Asherman,
leiomyoma uteri, anomali uteri, hipertensi
kehamilan, dan merokok namun frekuensi
masing- masingnya terhadap insiden PA
belum diketahui.5

Dari tabel terlihat bahwa peningkatan persalinan dengan bekas SC akan


meningkatkan risiko plasenta previa dan Akreta sehingga akan
berpengaruh terhadap angka tindakan histerektomi.15

Tabel 2: Hubungan Antara Angka Riwayat SC sebelumnya dan Risiko dari


Plasenta Akreta, Plasenta Previa dan Histerektomi (Green-Top Guideline, 2011)

Tabel 2: Hubungan Antara Angka Riwayat SC sebelumnya dan Risiko dari Plasenta
Akreta, Plasenta Previa dan Histerektomi (Green-Top Guidline, 2011)

C. Patofisiologi dan Patogenesis


Istilah plasenta adherent menyiratkan implantasi abnormal
plasenta ke dinding rahim dan terbagi menjadi plasenta akreta, inkreta,
dan perkreta. Plasenta akreta adalah plasenta dimana vili dari plasenta
menginvasi langsung ke miometrium; plasenta inkreta adalah plasenta

11
dimana vili plasenta menginvasi ke dalam miometrium; dan plasenta
perkreta adalah plasenta dimana vili plasenta menginvasi lebih dalam
dari miometrium hingga ke serosa bahkan sampai ke organ
intraabdomen lainnya misalkan kandung kemih. Sekitar 75% dari
plasenta adherent adalah plasenta akreta, 18% inkreta, dan 7% adalah
plasenta perkreta. Kedalaman dari invasi plasenta merupakan hal yang
penting secara klinis karena managemen intervensi bergantung
padanya. Plasenta akreta dapat dibagi lagi menjadi plasenta akreta total,
plasenta akreta parsial, dan plasenta akreta fokal berdasarkan jumlah
jaringan plasenta yang terlibat dalam invasi ke miometrium.9
Patogenesis plasenta akreta tidak jelas, namun ada beberapa
teori yang diusulkan; Abnormal vaskularisasi yang dihasilkan dari proses
jaringan parut setelah operasi dengan sekunder hipoksia lokal yang
mengarah ke rusaknya desidualisasi dan invasi trofoblas yang
berlebihan tampaknya menjadi hal yang paling menonjol, atau
setidaknya merupakan teori yang paling didukung sampai saat ini,
menjelaskan patogenesis plasenta akreta pada tahap ini.9.12

D. Manifestasi Klinis
Kebanyakan pasien dengan plasenta akreta tidak menunjukkan
gejala. Gejala yang berhubungan dengan plasenta akreta mungkin
termasuk perdarahan vaginal dan kram. Temuan ini sebagian besar
terlihat pada kasus dengan plasenta previa, yang merupakan faktor risiko
terkuat untuk plasenta akreta. Meskipun jarang, kasus dengan nyeri akut
abdomen dan hipotensi karena syok hipovolemik dari ruptur uteri
sekunder bisa karena plasenta perkreta. Abnormal dari implantasi
plasenta hingga menimbulkan invasif plasenta yang menembus dinding
uterus dapat menyebabkan atonia uteri karena pelepasan inkomplit atau
perdarahan pada placental bed.10 Skenario kritis ini dapat terjadi setiap
saat selama kehamilan dari trimester pertama hingga kehamilan aterm
dengan tidak adanya tanda-tanda persalinan.9

12
Komplikasi plasenta akreta banyak dan mencakup kerusakan
pada organ-organ lokal, perdarahan pasca operasi, emboli air ketuban,
DIC, transfusi darah, sindrom gangguan pernapasan akut, tromboemboli
pasca operasi, morbiditas karena infeksi, kegagalan multisistem organ,
dan kematian. Komplikasi genital, saluran kemih yang umum dan
termasuk cystotomy pada sekitar 15% kasus dan cidera ureter sekitar
2% kasus. Oleh karena itu diagnosis prenatal yang akurat sangat penting
untuk meminimalkan risiko ini.9

E. Diagnosis
Keberhasilan dalam penegakkan diagnosis PA sebelum
persalinan adalah melibatkan perencanaan multidisiplin dalam
meminimalkan potensial morbiditi dan mortaliti maternal.8 Diagnosis bisa
ditegakkan dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan kadang
memerlukan tambahan pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging
(MRI). Bila telah dilakukan histerektomi, pemeriksaan Patologi Anatomi
dapat dibuat.8,9

1. Ultrasonografi
Keutamaan ultrasonografi adalah non invasif, tersedia dimana-
mana dan biaya modalitas terjangkau sebagai plihan pertama dalam
mendiagnosis plasenta akreta.10 Ultrasonografi transvaginal dan
transabdominal adalah teknik diagnostik pelengkap dan digunakan
sesuai kebutuhan. Keterbatasan USG transabdominal adalah
dipengaruhi oleh habitus dari postur wanita hamil sehingga suboptimal
dalam visualisasi uterus bagian bawah, serviks atau area invasi
plasenta. USG transvaginal aman untuk pasien dengan plasenta
previa dan memungkinkan lebih lengkap dalam hal pemeriksaan
segmen bawah rahim sehingga meningkatkan keakuratan diagnosis
plasenta previa dan akreta.10

13
Secara keseluruhan, ultrasonografi greyscale cukup untuk
mendiagnosis plasenta akreta, dengan sensitivitas 77-87%,
spesifisitas 96-98%, nilai prediksi positif 65-93%, dan nilai prediksi
negatif 98%. Penggunaan daya Doppler, warna Doppler, atau
pencitraan tiga dimensi tidak secara signifikan meningkatkan
sensitivitas diagnostik dibandingkan dengan yang dicapai oleh
ultrasonografi grayscale saja.8,9
Plasenta normal terlihat sebagai massa fokal yang lebih
hiperekhoik daripada miometrium dibawahnya. Miometrum jaringan
hipoekhoik tipis. Pada kehamilan trimester ketiga tampak kalsifikasi
dan multipel vaskuler. Pola aliran darah plasenta terdiri dari aliran
darah ukuran besar retroplasental.3
Gambar USG dengan Plasenta Akreta 3

Gambar
Gambar 2 US2 Doppler
US Doppler PA transvaginal
transabdominal potongan
potongan
sagital sagttal
Perluasan dengan
Vaskular Peningkatan
bagian anterior
Vaskularisasi
Segmen Bawah disekeliling
Rahim meluasuterus dengan
hingga lakuna
sekeliling
vesica

Tabel 3 : Temuan Plasenta


Akreta dari USG :

Gambar 3 PA. USG abdominal posisi transversal


memperlihatkan sebuah lobus placenta meluas ke
VU tanpa intervensi miometrum. (panah)
14
Ultrasonografi pada plasenta akreta

Pemeriksaan Ultrasonografi pada PA dapat kita lihat seperti berikut ini:


First Trimester
1) Sebuah kantung kehamilan yang terletak di segmen bawah uterus telah
berkorelasi dengan peningkatan insiden plasenta akreta pada trimester
ketiga.
2) Beberapa ruang pembuluh darah yang tidak teratur pada placental bed
pada trimester pertama berkorelasi dengan plasenta akreta.

Gambar 4: Segmen bawah uterus dengan implantasi GS pada scar bekas SC.
Vaskularisasi irreguler yang multipel dibawah placental bed dibatasi oleh arrows. Diagnosa
akhrnya adalah Plasenta Perkreta.

3) Implantasi GS pada parut bekas luka caesar merupakan temuan yang


penting. Temuan sonografi implantasi bekas luka caesar termasuk GS
tertanam ke bekas luka kelahiran sesar pada daerah dari OUI pada
dasar kandung kemih (Gambar 7). Jika tidak ditangani, implantasi
bekas luka caesar dapat menyebabkan kelainan utama pada plasenta
seperti plasenta akreta, perkreta, dan inkreta. Penanganan implantasi
pada bekas luka caesar termasuk injeksi langsung pada kantung
kehamilan dengan methotrexate di bawah bimbingan USG. 9

Meskipun ada laporan kasus terisolasi dari plasenta akreta


didiagnosis pada trimester pertama atau pada saat abortus usia kehamilan
< 20 minggu, nilai prediktif trimester pertama USG untuk diagnosis ini masih

15
belum diketahui. USG pada trimester pertama tidak boleh digunakan secara
rutin untuk menegakkan atau mengecualikan diagnosis plasenta akreta.
Atau, karena asosiasi mereka dengan plasenta akreta, wanita dengan
plasenta previa atau "plasenta letak rendah " yang melintas pada bekas
luka uterus pada awal kehamilan harus menjalani follow up pencitraan pada
trimester ketiga dengan memperhatikan adanya potensi untuk plasenta
akreta.5.8

Gambar 5: Vaskularisasi lakuna multpel (arrows) didalam plasenta pada


kehamilan 18 minggu.

Trimester kedua dan ketiga

1) Beberapa vascular lacunae dalam plasenta telah memiliki korelasi


dengan sensitivitas yang tinggi (80% -90%) dan tingkat positif palsu
rendah untuk plasenta akreta (Gambar 8). Placenta lacunae pada
trimester kedua tampaknya memiliki sensitivitas dan positive predictive
value sangat tinggi dibanding marker lain untuk plasenta akreta. 7.9
2) Penempelan plasenta normal ditandai dengan daerah hipoekhoik
antara plasenta dan vesica. Kehilangan zona hipoekhoik retroplasenta
yang normal, juga disebut sebagai hilangnya ruang tersebut, adalah
salah satu penanda. Temuan sonografi ini telah dilaporkan memiliki
tingkat deteksi sekitar 93% dengan sensitivitas rendah 52% dan
spesifisitas 57%. Nilai rerata false positive, bagaimanapun, telah
berada di kisaran 21% atau lebih tinggi. Penanda ini tidak boleh
digunakan sendiri, karena hal ini sangat tergantung pada sudut

16
pengambilan saat USG dan dapat absen pada plasenta anterior yang
normal. 7. 9.10
3) Kelainan pada permukaan antara serosa uterus dengan kandung kemih
termasuk gangguan garis, penebalan garis, ketidakteraturan garis dan
peningkatan vaskularisasi pada pencitraan warna Doppler. Normal
permukaan antara serosa uterus dengan kandung kemih adalah garis
tipis lebar yang halus tanpa ireguleritas atau vaskular yang meningkat.
Kelainan permukaan antara uterus serosa-kandung kemih ini meliputi,
penebalan, ireguleritas, peningkatan vaskularisasi, seperti varises dan
bulging plasenta ke dalam dinding posterior kandung kemih.7.9
4) Ekstension dari vili ke dalam miometrium, serosa, atau kandung kemih
mengarahkan ke plasenta akreta.
5) Ketebalan miometrium retroplasenta kurang dari 1 mm merupakan
temuan yang karakteristik. Jika dikombinasikan dengan gambaran
lakuna yang luas, senstvitas mendekati 100% dan spesifisitas 72-79%
dengan tingkat keberhasilan prediksi 73% 10
6) Aliran darah turbulen melalui lacunae pada Doppler sonografi terkait
dengan plasenta akreta.

Multipel vascular lacunae dalam plasenta, atau Swiss cheese


appearance, adalah salah satu yang paling penting sonografi plasenta
akreta di trimester ketiga, sensitivitas 79% dengan tingkat deteksi 92%.
Patogenesis temuan ini mungkin terkait dengan perubahan jaringan
plasenta akibat paparan jangka panjang dari pulsatile blood flow. Ketika
multipel, terutama 4 atau lebih lacunae, temuan ini telah berkorelasi dengan
tingkat deteksi 100% untuk plasenta akreta. Gambaran lacuna juga
berhubungan erat dengan risiko Disseminated Intravascular koagulopati,
transfusi masif dan perawatan intensif.10 Penanda ini juga memiliki tingkat
positif palsu rendah, tetapi harus dicatat bahwa plasenta akreta telah
dilaporkan dengan tidak adanya multipel vascular lacunae pada
plasenta.7.9.12

17
Dilakukan prosedur skrining untuk PA menggunakan USG TV pada
pasien dengan kehamilan 11-14 minggu dengan riwayat LSCS, dimana
adanya hubungan antara scar uterus dan letak trophoblast dimana ketika
scar pada rongga rahim mengenai bagian terbawah dari GS yang meliputi
serviks dan bagian inferior pada plasenta letak rendah. Kelompok ini
didefinisikan sebagai kelompok risiko tinggi. 4

Gambar 6: Penilaian terhadap Score Plasenta Accreta Index (PAI)16

18
19
Setiap parameter diberi
skor PAI (Placenta Accreta Index)
0-9, dengan plasenta adherent
mempunyai skor indeks yang lebih
tinggi. Sensitivitas, spesifisitas,
nilai prediksi positif (PPV), dan nilai
prediksi negatif (NPV) dihitung
untuk setiap skor indeks, dengan
interval kepercayaan 95% (CI),
menggunakan metode standar
untuk menghitung rata- rata dan
proporsi. Menghitung PAI dengan
memberikan skor untuk setiap
parameter sesuai dengan tabel
dan menjumlahkannya, lalu
mengkonversikan total skor
tersebut ke tabel untuk
mengetahui nilai sensitivitas, spesifisitas, postif dan negatif nya nilai
prediksi pada skor PAI. 16

20
2. Laboratorium
Saat ini, tidak ada analisis yang mempertimbangkan komponen
penting yang bekerja pada wanita dengan kecurigaan PA. Peningkatan
Serum Alpha-fetoproten dihubungkan dengan PA dan ini dicuriga ada
hubungan langsung antara perluasan invasi dan peningkatan serum
tersebut. Hung et al menemukan sebuah serum alpha-fetoproten > 2,5
kali dari nilai rerata dan sebuah serum maternal beta-human chorionic
gonadotropin bebas >2,5 kali lipat dari rerata jadi dihubungkan dengan
PA. Peningkatan level serum maternal dari kreatinin kinase juga
dihubungkan dengan Plasenta Inkreta dan Perkreta. Namun, tidak ada
marker yang telah dievaluasi prospektif menentukan screening yang
optimal atau sebagai ambang diagnostik. 5

3. Patologi Anatomi
Penegakan diagnosis plasenta akreta secara pasti dibuat
berdasarkan hasil dari patologi anatomi yang diperoleh setelah
dilakukan histerektomi. Diagnosis definitif tergantung pada visualisasi
dari villi chorialis yang menginvasi atau tertanam pada miometrium
dengan tidak adanya desidua di lapisan antara mereka.9

4. Magnetic resonance imaging (MRI)


Peran MRI dalam mendiagnosis plasenta akreta masih
diperdebatkan. Studi retrospektif mengevaluasi 453 wanita dengan
diagnosis plasenta previa,plasenta letak rendah dengan riwayat SC
atau miomektomi dimana plasentasi abnormal terdapat pada 39
orang. USG pada studi ini menghasilkan sensitvitas 77%, spesifisitas
96% dan PPV 65% dan NPV 98% dan MRI mempunya sensitivitas
88%, spesifstas 100%, PPV 100% dan NPV 82%.7
Dua studi banding terakhir telah menampilkan sonografi dan
MRI sebanding: dalam studi pertama 15 dari 32 wanita terdiagnosis
akreta (sensitivitas 93% dibandingkan 80% dan spesifisitas 71%
dibandingkan 65% untuk USG dibandingkan MRI); di studi kedua 12

21
dari 50 wanita akhirnya memiliki akreta dan MRI dan Doppler
menunjukkan tidak ada perbedaan dalam hal mendeteksi plasenta
akreta (P = 0,74), meskipun MRI lebih baik dalam mendeteksi
kedalaman infiltrasi di kasus plasenta akreta (P <0,001).7 Beberapa
peneliti melaporkan bahwa tingkat sensitivitas MRI 80%-85% dengan
spesifisitas 65%-100% dalam hal mendiagnosis plasenta akreta.3
Akhirnya, Masseli et al membandingkan Color Doppler
Ultrasound dengan MRI pada 50 wanita dengan plasenta previa sejak
trimester ketiga dan menemukan sensitivitas 100% dan spesifisitas
100% untuk MRI dan senstifitas 91% dan spesifisitas 100% untuk
USG dalam memprediksi plasentasi yang abnormal. Meskipun
kebanyakan studi telah menyarankan akurasi diagnostik yang
sebanding MRI dan USG untuk plasenta akreta, MRI dianggap
sebagai modalitas tambahan dan menambahkan sedikit dengan
akurasi diagnostik ultrasonografi. Namun, ketika ada temuan USG
ambigu atau kecurigaan dari akreta plasenta posterior, dengan atau
tanpa plasenta previa, ultrasonografi mungkin tidak cukup.8.9
Sebuah studi prospektif seri dari 300 kasus yang
dipublikasikan pada tahun 2005 menunjukkan bahwa MRI mampu
menguraikan anatomi invasi dan menghubungkannya dengan sistem
vaskular anastomosis daerah sekitar. Selain itu, penelitian ini
menunjukkan bahwa menggunakan MRI irisan aksial dapat
mengkonfirmasi invasi dari parametrium dan kemungkinan
keterlibatan ureter. 8
Dalam review sistematik sekarang ini, kemampuan diagnosis
dari MRI adalah menilai kedalaman dan topografi dari invasi plasenta.
Meskipun faktanya USG akurat dalam mendiagnosis plasenta invasif,
hanya MRI lah yang bisa menggambarkan topografinya yang
merupakan komponen penting ketika direncanakan histerektomi.
sebagai contoh, perbedaan antara akreta dan inkreta tidak relevan
dalam kenyataannya. Pengetahuan tentang batas lateral invasi

22
plasenta dapat membantu operator dalam menyesuaikan manajemen
dengan menyediakan informasi tingkat kesulitan operasi seperti
adanya metode hemostatik spesifk dan usaha menghindari kerusakan
ureter.11 Banyak penulis telah menganjurkan MRI bagi perempuan
yang pada temuan USGnya inconclusive. 9.13

Gambar 7 : PA. Coronal T2-weighted half-Fourier


RARE MR image memperlihatkan discontiunitas dari
lapisan dalam miometrium pada segmen bawah uterus

Karena nilai sensitivitas dan prediksi MRI tidak


memperlihatkan superior dari pada USG dan MRI lebih mahal
daripada USG maka MRI lebih dicadangkan ketika hasil USG masih
samar untuk menentukan plasentasi abnormal atau menilai bagian
rahim yang tidak dapat diakses oleh pemeriksaan USG pada pasien
dengan faktor risiko atau direkomendasikan ketika modalitas USG
belum dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan.7.8.10 .13

F. Strategi Manajemen Obstetri

1. Manajemen Antenatal
Antisipasi dan mengidentifkasi faktor risiko adalah strategi
manajemen yang aman. Hal ini direkomendasikan pada wanita
dengan riwayat SC mengenai lokasi plasenta termasuk plasenta

23
previa dan dicurigai PA.10 Penerapan PAI score dapat membantu
untuk konseling pasien dan perencanaan persalinan.16 Manajemen
dari plasenta adhesive yang tidak baik adalah tantangan obstetrik dan
seharusnya dilakukan oleh konsultan multidisiplin dirumah sakit
tersier. Persalinan dibawah perencanaan yang ideal dan dilakukan
elektif dengan ahli bedah dan fasilitas hematologi. 10
Waktu yang optimal dari rencana persalinan tergantung dari
klinis. Persalinan preterm elektif sering diperlukan karena komplikasi
persalinan, seperti perdarahan antepartum. SC basanya
direncanakan kehamilan 36 minggu untuk meminimalkan risiko
persalinan spontan. Keuntungan maternal dari persalinan preterm
secara elektif harus seimbang dengan morbiditi neonatal yang
dihubungkan dengan kelahiran preterm. Persalinan elektif pada late-
preterm saat tidak adanya perdarahan antepartum atau komplikasi
selama kehamilan dapat diterima untuk menurunkan kemungkinan
persalinan emergensi pada saat aterm.10
Konseling maternal yang rinci menyangkut fertiliti kemudian
hari dapat dipertimbangkan selama perencanaan persalinan.
Dibeberapa pusat, manajemen konservatif dengan sisa plasenta
masih tertanam involusi secara spontan telah berhasil. Diagnosis
prenatal PA memungkinkan keluarga melakukan persiapan yang lebih
baik untuk penanganan komplikasi persalinan nanti. 10

2. Manajemen Antepartum
Karena perdarahan yang signifikan umum terjadi dan ada
kemungkinan sesarean histerektomi diperlukan bila plasenta akreta
tegak didiagnosis, wanita dengan dicurigai plasenta akreta harus
dijadwalkan untuk ditangani oleh RS dengan fasilitas bedah yang
lengkap dan memiliki bank darah yang dapat memfasilitasi transfusi
jumlah besar berbagai produk darah. Suplementasi dengan besi oral

24
dianjurkan untuk memaksimalkan simpanan zat besi dan daya dukung
oksigenasi.5
Perencanaan persalinan mungkin melibatkan ahli anestesi,
dokter kandungan, dokter bedah panggul seperti ahli onkologi
ginekologi, ahli bedah intensif, neonatologis, bedah urologi, ahli
hematologi dan ahli radiologi intervensi untuk mengoptimalkan
outcome pasien. Untuk meningkatkan keselamatan pasien, adalah
penting bahwa persalinan dilakukan oleh tim obstetri berpengalaman
yang termasuk ahli bedah kebidanan dengan spesialis bedah lainnya,
seperti urolog, dokter bedah umum, dan ahli ginekologi-onkologi,
tersedia jika diperlukan. Karena risiko kehilangan darah yang besar,
perhatian harus diberikan untuk kadar hemoglobin ibu sebelum
operasi, jika mungkin. Banyak pasien dengan plasenta akreta
membutuhkan kelahiran prematur darurat karena perdarahan banyak
yang tiba-tiba.10
Timing of delivery pada kasus dugaan plasenta akreta harus
individual. Keputusan ini harus dibuat bersama-sama dengan pasien,
dokter kandungan dan neonatologis. Konseling pasien harus
mencakup diskusi kebutuhan potensial untuk histerektomi, risiko
perdarahan yang besar dan kemungkinan kematian ibu. Meskipun
persalinan telah direncanakan, rencana kemungkinan persalinan
darurat harus dikembangkan untuk masing-masing pasien, yang
mungkin termasuk managemen perdarahan maternal.5.8
Timing of delivery tergantung pada keadaan dan preferensi
pasien. Salah satu pilihan adalah dengan melakukan terminasi setelah
paru janin matang yang dibuktikan dengan amniosentesis. Namun,
hasil analisis keputusan baru-baru ini menyarankan untuk
mengkombinasikan outcome ibu dan bayi dioptimalkan pada pasien
stabil dengan terminasi pada 34 minggu kehamilan tanpa
amniosintesis. Keputusan untuk pemberian kortikosteroid antenatal
dan waktu pemberiannya harus individual.8 Pada sebuah studi yang

25
melibatkan 99 kasus plasenta akreta yang didiagnosis sebelum
persalinan, 4 dari 9 dengan persalinan >36 minggu diperlukan
terminasi emergensi karena perdarahan. Jika tidak ada perdarahan
antepartum atau komplikasi lainnya, direncanakan terminasi saat
akhir prematur dapat diterima untuk mengurangi kemungkinan
persalinan darurat yang terjadi dengan segala komplikasinya.1.4
Persalinan elektif pada plasenta previa dengan PA dapat
direncanakan 36-37 minggu masa gestasi (dengan dicover
kortokosteroid) namun bila plasenta previa tanpa komplikasi bisa
diundur hingga 38-39 minggu masa gestasi. 14

3. Manajemen Preoperatif
Persalinan harus dilakukan dalam ruangan operasi dengan
personil dan dukungan pelayanan yang diperlukan untuk mengelola
komplikasi potensial. Penilaian oleh anestesi harus dilakukan sedini
mungkin sebelum operasi. Kedua teknik anestesi baik umum dan
regional telah terbukti aman dalam situasi klinis ini. Antibiotik profilaksis
diberikan, dengan dosis ulangan 2-3 jam setelah operasi atau
kehilangan darah 1.500 mL yang diperkirakan. Preoperatif Cystoscopy
dengan penempatan stent ureter dapat membantu mencegah cedera
saluran kemih. Beberapa menyarankan bahwa kateter Foley three way
ditempatkan di kandung kemih melalui uretra untuk memungkinkan
irigasi, drainase, dan distensi kandung kemih, yang diperlukan, selama
diseksi. Kebutuhan jumlah produk darah sult diprediksi. Wanta yang
menjalan histerektomi akan kehilangan darah kira- kira 2000-5000 cc,
dibeberapa kasus pernah dilaporkan kehilangan darah >10L. 5 Sebelum
operasi, bank darah harus dipersiapkan terhadap potensi perdarahan
masif. Rekomendasi saat ini untuk penggantian darah dalam situasi
trauma menunjukkan rasio 1:1 PRC : fresh frozen plasma. PRC dan
fresh frozen plasma harus tersedia dalam kamar operasi. Tambahan

26
faktor koagulasi darah dan unit darah lainnya harus diberikan dengan
cepat sesuai dengan kondisi tanda-tanda vital pasien dan stabilitas
hemodinamik pasien.1
USG segera pra operasi untuk pemetaan lokasi plasenta dapat
membantu dalam menentukan pendekatan optimal ke dinding perut
dan incisi rahim untuk memberikan visualisasi yang memadai dan
menghindari mengganggu plasenta sebelum pengeluaran janin.4
Ketika gambaran prenatal teridentifikasi pada segmen bawah
rahim, beberapa menyarankan menempatkan sten ureter preoperatif
yang memfasilitasi palpasi ureter intraoperatif untuk mengidentifikasi
adanya trauma uterer lebih awal. Oklusi arteri pelvic preoperative
bertujuan mengurangi kehilangan perdarahan, namun strategi ini
belum dikonfirmasi meningkatkan outcomes, dan penempatan kateter
bisa menghasilkan komplikasi disekitar insersi berupa hematoma,
abses dan nekrosis. Seiring jalan, penggunaan rutin modalitas ini tidak
direkomendasikan. Jika dianggap penting, balon kateter seharusnya
tidak digembungkan sebelum bayi dilahirkan karena ini diantisipasi
dapat menurunkan perfusi plasenta. Oklusi ureter iliaka intraoperative
umumnya dilakukan ketika terjadi perdarahan signifikan, dan dialihkan
menjadi anestesi umum untuk pemeriksaan radiologi yang selektif
terhadap vaskularisasi uterus mensuplai embolisasi sebelum
histerektomi ketika tidak ada perdarahan signifikan.5
Ketika butuh dilakukan histerektom antisipasi, antibiotik
profilaksis seharusnya diberikan sejam sebelum operasi. Antibiotik
profilaksis dapat diulang jika operasi lama (≥3 jam) atau jika perdarahan
banyak. Ringkasan preoperative atau checklist membantu
mengkonfirmasi persiapan membuat atau mengidentifikasi nama dan
nomor yang bisa dihubungi untuk mengkonsultasikan kepada keluarga
tentang intraoperatif atau perioperatif.5

27
4. Manajemen Operatif
Pada banyak kasus , SC histerektomi akan diperlukaan ketika
PA dicurigai sejak antenatal. Ketika pasien meminta konservatif untuk
mempertahankan fertilitas atau alasan lainnya, pasien sudah diberitahu
tentang risiko atau keuntungan pilihan ini dan kritera untuk memutuskan
operasi konservatif seharusnya sudah didiskusikan. Jika diagnosis PA
masih samar hingga preoperatif, dilakukan observasi pelepasan
plasenta tanpa perdarahan berlebihan. Jika merasa telah memiliki
jumlah anak yang cukup dan didiagnosa PA, sebaiknya dilakukan
histerektomi.5
Secara umum, manajemen yang direkomendasikan untuk
kasus yang dicurigai plasenta akreta yakni direncanakan histerektomi
sesarea prematur dengan plasenta ditinggalkan in situ karena
pengeluaran plasenta dikaitkan dengan morbiditas akibat perdarahan
yang signifikan. Namun, pendekatan ini tidak dapat dianggap sebagai
pengobatan lini pertama untuk wanita yang memiliki keinginan yang
kuat untuk kesuburan di masa depan. Oleh karena itu, manajemen
operasi plasenta akreta dapat individual tergantung kasusnya masing
masing.8
Pasien ditempatkan di meja operasi dengan posisi modifikasi
dorsal litotomi dengan kemiringan lateral yang kiri untuk memungkinkan
penilaian langsung dari perdarahan vagina, menyediakan akses untuk
penempatan paket vagina, dan memungkinkan tambahan ruang untuk
asisten bedah. Karena prosedur ini diantisipasi akan berkepanjangan,
padding dan posisi untuk mencegah kompresi saraf dan pencegahan
dan pengobatan hipotermia adalah penting. Meminimalkan kehilangan
darah sangat penting. Pilihan sayatan harus dibuat berdasarkan
habitus tubuh pasien dan sejarah operasi pasien. Penggunaan sayatan
vertikal linea mediana mungkin dilakukan karena memberikan daerah
cukup jika histerektomi diperlukan. Insisi uterus klasik, sering
transfundal, mungkin diperlukan untuk menghindari plasenta dan

28
memungkinkan pengeluaran bayi. Ultrasound pemetaan lokasi
plasenta, baik sebelum operasi atau intraoperatif, mungkin dapat
membantu. Karena positive predictive value ultrasonografi untuk
plasenta akreta berkisar dari 65% hingga 93%, adalah wajar untuk
menunggu pelepasan plasenta spontan untuk mengkonfirmasi plasenta
akreta secara klinis.5.8
Pada umumnya, tindakan manual plasenta harus dihindari. Jika
histerektomi diperlukan, pendekatan standar yakni untuk meninggalkan
plasenta in situ, dengan cepat menggunakan "whip stitch" untuk
menutup incisi histerotomi, dan lanjutkan dengan histerektomi.
Sedangkan histerektomi dilakukan dengan cara biasa, diseksi flap
kandung kemih dapat dilakukan relatif lambat, setelah kontrol jaringan
pembuluh arteri uterus tercapai, dalam kasus akreta anterior,
tergantung pada temuan intraoperatif. Kadang-kadang, histerektomi
subtotal dapat dipertimbangkan, namun perdarahan terus-menerus dari
leher rahim mungkin menghalangi managemen ini dan membuat
histerektomi total tetap diperlukan.
Ada laporan dari pendekatan alternatif untuk pengelolaan
plasenta akreta yang meliputi pengikatan tali pusat pada fetal surface,
mengambil tali pusatnya, dan meninggalkan plasenta in situ, dengan
pemberian preparat methotrexate sesudahnya. Namun, hal ini harus
dipertimbangkan hanya bila pasien memiliki keinginan yang kuat untuk
kesuburan masa depan serta stabilitas hemodinamik yang baik, status
koagulasi normal, dan bersedia menerima risiko akibat managemen ini.
Pasien harus diberi konseling bahwa hasilnya ini tidak dapat diprediksi
dan ada peningkatan risiko komplikasi yang signifikan termasuk
histerektomi.1 Kasus yang dilaporkan dari kehamilan yang sukses pada
pasien yang diobati dengan pendekatan ini jarang terjadi. Pendekatan
ini harus ditinggalkan dan histerektomi dilakukan jika perdarahan yang
berlebihan.

29
Dari 26 pasien yang diobati dengan pendekatan ini, 21 (80,7%)
berhasil terhindar dari histerektomi, sedangkan 5 (19,3%) pada
akhirnya dilakukan histerektomi. Namun, sebagian besar dari 21 pasien
yang terhindar dari histerektomi tidak memerlukan pengobatan
tambahan, termasuk ligasi arteri hipogastrik, embolisasi arteri,
methotrexate, transfusi produk darah, antibiotik, atau kuretase. Kecuali
dalam kasus-kasus tertentu, histerektomi tetap managemen pilihan
untuk pasien dengan plasenta akreta.5.8
Pada kasus dimana perdarahan masih terus berlangsung saat
operasi, prosedur yang dapat kita lakukan yakni:
 Pelvic artery ligation and ambolization
 Pelvic pressure packing
 Aortic compresion and clamping.5

5. Manajemen Post Operatif


Pasien yang menjalani histerektomi untuk plasenta akreta
berisiko untuk mengalami komplikasi pasca operasi yang berhubungan
dengan intraoperatif seperti hipotensi, koagulopati persisten dan
anemia, dan operasi berkepanjangan. Disfungsi ginjal, jantung, dan
organ lainnya sering terjadi dan harus dipikirkan. Sindrom Sheehan
(baik transien dan permanen) telah dilaporkan terjadi akibat perdarahan
postpartum yang massif, dan hiponatremia mungkin merupakan tanda
awal. Jika volume besar kristaloid dan produk darah diberikan saat
intraoperatif, pasien juga berisiko untuk terjadi edema paru, cedera paru
akut terkait transfusi, dan / atau sindrom gangguan pernapasan akut.5
Perhatian khusus harus diberikan, kolaborasi dengan dokter ahli
intensif care untuk sering mengevaluasi tanda-tanda vital (tekanan
darah, denyut jantung dan laju pernapasan). Output urin harus diukur
melalui kateter urin. Pemantauan vena sentral dan penilaian perifer
oksigenasi dengan pulse oksimetri dapat membantu dalam beberapa
kasus. Koreksi koagulopati dan anemia berat dengan produk darah

30
harus dilakukan. Pasien harus dievaluasi secara klinis untuk potensi
kehilangan darah dari luka sayatan perut dan vagina, serta
kemungkinan pendarahan intra abdominal berulang atau retro
peritoneal. Fungsi ginjal harus dievaluasi dan kelainan serum elektrolit
harus dikoreksi. Jika ada hematuria persisten atau anuria, kemungkinan
cedera saluran kemih yang tidak diketahui harus dipertimbangkan.
Mobilisasi awal dan kompresi intermiten untuk mereka yang
membutuhkan bedrest dapat mengurangi risiko komplikasi
tromboemboli.5
Infeksi sekunder, sepsis, perdarahan post partum dan DIC
adalah klinis utama yang diperhatikan setelah meninggalkan plasenta
in situ. Antibiotik profilaksis spektrum luas dan agen uterotonik sering
direkomendasikan, meskipun panduan konsensual belum ada. Apakah
plasenta seharusnya dilepaskan pada periode post partum atau
ditinggalkan untuk diserab atau dikeluarkan spontan, hal ini masih
kontroversi. Serum HCG atau USG Doppler mungkin digunakan untuk
menilai penghentian vaskularisasi plasenta untuk pertimbangan
pelepasan, tetapi korelasi klinis belum dapat ditentukan.10

G. Metotrexate
Metotrexate ditujukan sebagai terapi konservatif untuk retensi
plasenta karena perlengketan. Metotrexate merupakan antagonis folat
yang merupakan salah satu grup obat-obatan antimetabolit.17
Obat antimetabolit dibagi menjadi 3 grup yaitu :
1. Antagonis folat : Methotrexate (Folex, Mexate)
2. Antagonis purin : Mercaptopurine dan Thioguanine
3. Antagonis pirimidin : Cytarabine dan Fluorouracil
Metotrexate mempunyai waktu paruh 12-24 jam dan bekerja
dengan cara menginhibisi reduktasi asam dihidrofolic, menginterupsi
sintesis DNA, perbaikan sel dan replikasi seluler termasuk sel
trofoblastik. Metotrexate sering digunakan untuk terapi berbagai jenis

31
neoplasma, diantaranya leukemia, lymphoma, tumor trofoblastik,
kehamilan ektopik, ca mamae, cervix, vesica urinary, ovarium, ginjal,
prostat, paru-paru dan testis. Metotrexate terutama bersifat toksik pada
sel trofoblast dan sangat sering digunakan sebagai agen abortifacient
(untuk menggugurkan kandungan).17
Metotrexate adalah antagonis folat yang tidak ada efek samping
dan kontraindikasi pada masa ibu menyusui. Hal ini efektif pada
proliferasi trofoblast, tetapi aksinya pada degeneratif plasenta setelah
persalinan dipertanyakan dengan hasil beragam dalam setiap
penelitian. Pada umumnya, outcome tidak berbeda secara signifikan
dengan atau tanpa metrotrexate. Pada beberapa kasus ditemukan
keberhasilan setelah 4 bulan, pada kasus lain tetap terjadi perdarahan
sehingga dilakukan histerektomi pada hari ke 3 post SC, bahkan
terdapat kasus yang berujung dengan sepsis berat pada hari ke 33.
10,14

a. Cara Kerja Methotrexate


Cara kerja Methotrexate hanya sebagian diketahui dan
dimengerti. Methotrexate merupakan antimetabolit dan antagonis
asam folat yang didesain untuk berkompetisi mengambil alih
reseptor folat. Methotrexate memasuki sel melalui mekanisme
transport aktif dan difusi, ketika memasuki sel methotrexate
dikonversi menjadi polyglutamat methotrexate yang berperan dalam
inhibisi dihidrofolat reductase (DHFR) dan enzim lain seperti
thymidylate sinthase dan 5-aminoimidazole-4-carboxamide
ribonucleotide (AICAR) transformylase. Methotrexate yang berikatan
dengan dihidrofolat reduktase dan menghalangi reduksi dihidrofolat
reduktase menjadi tetrahidrofolat (bentuk aktif asam folat).
Tetrahidrofolat (THF) berperan dalam sintesis purin dan pirimidin
yang dihalangi oleh methotrexate dan menyebabkan gangguan pada
sintesis DNA, RNA dan protein. Methotrexate sangat efektif pada sel

32
yang aktif membelah contohnya trofoblast plasenta. Methotrexate
dapat menginhibisi proliferasi dan atau membuat apoptosis sel
neoplasma sehingga pertama kali digunakan hematologis tahun
1940 sebagai obat kanker. Methotrexate juga mempunyai efek
antiinflamasi pada pemberian dosis rendah sehingga sering
diresepkan oleh rheumatologis. 17

b. Syarat Pemilihan Manajemen Methotrexate


Pasien yang dipertimbangkan untuk menjalani manajemen
methotrexate mempunyai beberapa syarat diantaranya :
1) Telah mendapatkan informasi yang cukup mengenai metode ini,
peluang keberhasilan yang tidak pasti, alternatif, risiko, efek
samping dan tatalaksana histerektomi jika terjadi perdarahan
tidak terkontrol/kegagalan dalam metode ini.
2) Informed consent/persetujuan tertulis dari pasien dan saksi
3) Pasien dalam kondisi hemodinamik yang stabil
4) Tidak ada perdarahan pervaginam aktif
5) Pasien setuju dengan monitoring dan follow up yang ketat
6) Pasien harus dirawat di rumah sakit dengan kemampuan baik
peralatan dan tenaga ahli multidisiplin yang dapat melakukan
histerektomi sewaktu-waktu serta melakukan tatalaksana saat
terjadi komplikasi intraoperatif.

c. Dosis dan Cara Pemakaian


Dikarenakan belum adanya konsensus dan penelitian yang
adekuat mengenai penggunaan methotrexate pada manajemen
plasenta akreta, maka hingga saat ini belum ada standar yang pasti
mengenai dosis dan cara pemakaian methotrexate.
Dari sejumlah laporan kasus yang telah dipublikasikan, dosis
Methotrexate tersering yang dipakai adalah 1 mg/kgBB/pemberian,
seperti dilaporkan oleh Mahendru Rajiv dkk. Mahendru melaporkan

33
1 kasus pasien usia 32 tahun dengan perdarahan pervaginam post
partum anak kedua, pasien telah coba dilakukan manual plasenta
dan kuretase namun gagal dan masih terjadi perdarahan
pervaginam. Pasien kemudian distabilkan dan diberikan injeksi
methotrexate 1 mg/kgBB sebanyak 3x pemberian dengan interval 3-
4 hari. Pemeriksaan darah, USG dan doppler dilakukan secara
berkala dan didapatkan ukuran uterus, plasenta dan perdarahan
pervaginam secara bertahap berkurang. 9 hari setelah selesainya
pemberian methotrexate, ukuran uterus telah kembali normal dan tak
teraba saat palpasi abdomen.30
Manoj Kumar Tangli dkk (2015) melaporkan satu kasus
pasien 21 tahun post partum anak pertama dengan retensio
plasenta, usaha manual plasenta telah dilakukan dengan hasil
terlepasnya sebagian plasenta. USG dan MRI kemudian dilakukan
dan mengindikasikan plasenta akreta. Pasien kemudian diberikan
transfusi, antibiotik dan injeksi methotrexate 1 mg/kgBB. 1 minggu
kemudian pasien dievaluasi dengan hasil ukuran plasenta dan kadar
beta hCG yang tetap sama. Pasien diberi injeksi kedua kemudian
seminggu setelahnya dievaluasi kembali. Hasilnya kadar beta hCG
menurun drastis dari 5.010 menjadi 36. Pada hari ke-25 pasien
merasa nyeri perut yang diikuti dengan pengeluaran massa
plasenta. 20
Methotrexate dapat diberikan secara injeksi intravaskular,
intramuscular dan intraumbilical. Saat ini pemberian injeksi
intramuscular paling banyak digunakan karena minimal dalam
toksisitas jaringan. Injeksi intraumbilical sebaiknya dihindari karena
menyebabkan risiko akumulasi toksik dari methotrexate. Akumulasi
toksik methotrexate dapat mengakibatkan kematian dan efek
samping yang berat pada pasien. 21
Charlotte dkk (2011) melakukan sistematik review dimana dari
15 artikel dengan 17 pasien plasenta akreta yang dilakukan

34
pemberian methotrexate, 1 pasien akhirnya menjalani histerektomi
karena perdarahan (6%). Jalur pemberian dari intramuscular dan
intravena, dengan dosis berbeda-beda antara kasus satu dengan
yang lain. Arulkumaran dkk (1986) menggunakan 50mg
methotrexate pemberian 6 kali diselingi pemberian asam folinic 6mg
diantara pemberian methotrexate dengan hasil sukses ditandai
dengan tidak terlihatnya plasenta pada usg setelah 2 minggu selesai
terapi. Legro dkk (1992) sukses memberikan terapi injeksi
methotrexate 1mg/kgBB/minggu selama 10 kali pemberian dengan
hasil berhentinya perdarahan dan reduksi ukuran sisa plasenta, hasil
patologi anatomi menunjukkan jaringan hyalin dan kalsifikasi pada
sisa plasenta.
Musalli GM, dkk (2000) melaporkan 3 kasus plasenta akreta,
kasus pertama pasien post sc dengan diagnosis antenatal plasenta
perkreta, plasenta ditinggalkan insitu kemudian pasien diberikan
methotrexate. Pada nifas hari ke-16 berhasil dilakukan manual
plasenta dalam anastesi general. Kasus kedua pasien retensio
plasenta post partum suspek plasenta akreta. Pasien diberikan
injeksi methotrexate, pada nifas hari ke-37 berhasil dilakukan dilatasi
dan kuretase untuk mengeluarkan plasenta. Ketiga pasien
mendapatkan injeksi intramuskular 1 mg/kgBB dengan jarak 1
minggu. Dari 3 kasus tersebut 2 diantaranya berhasil sedang 1 kasus
berakhir histerektomi.
Frekwensi pemberian saat ini masih beragam dari 2-9 kali
pemberian. Interval pemberian methotrexate pun beragam antara 3-
7 hari.
Yoginder dkk (2015) melaporkan 2 kasus plasenta akreta,
dimana pada kasus pertama pasien post partus pervaginam anak
pertama dengan retensio plasenta curiga plasenta perkreta
dilakukan manual plasenta yang berakhir gagal. Pasien
dimanajemen konservatif dengan pemberian injeksi metotrexate 1

35
mg/kgBB/minggu sebanyak 4 dosis. Pasien difollow up dengan cek
beta hCG, leukosit, USG dan doppler setiap minggunya, didapatkan
penurunan ukuran plasenta dan vaskularisasi. 6 bulan setelah terapi
pasien dinyatakan sembuh dan tak terlihat lagi jaringan plasenta.
Kasus kedua pasien 23 tahun dengan retensio plasenta post partus
pervaginam, tidak terdapat perdarahan aktif dan plasenta tidak
dicoba untuk dilepaskan. Hasil USG dan MRI menunjukkan
kemungkinan plasenta akreta. Pasien setuju manajemen konservatif
dengan injeksi methotrexate 1 mg/kgBB/minggu sebanyak 3 dosis.
Pasien dievaluasi setiap minggunya. Terjadi perdarahan ringan saat
pemberian kedua methotrexate namun tidak membutuhkan
transfusi. 2 bulan setelah terapi, pasien dinyatakan sembuh dengan
hasil usg resolusi total dari plasenta.31

d. Efek Samping
1) Buang air besar hitam
2) Buang air kecil darah
3) Muntah darah
4) Diare
5) Nyeri sendi
6) Kulit kemerahan
7) Sariawan
8) Nyeri perut
9) Bengkak di kaki
10) Nyeri punggung
11) Mata kabur
12) Kebingungan
13) Kejang
14) Batuk
15) Pusing
16) Berliur

36
17) Demam
18) Sulit buang air kecil
19) Bintik-bintik merah pada kulit
20) Badan mudah lelah 18

e. Manajemen Konservatif dengan Methotrexate dibandingkan


tanpa Methotrexate
Terdapat banyak perdebatan mengenai fungsi methotrexate
dalam manajemen konservatif plasenta akreta karena berdasarkan
efektifitasnya, methotrexate efektif bekerja hanya pada sel yang aktif
membelah seperti sel neoplasma, proliferasi trofoblastik atau
jaringan yang sedang tumbuh misalnya pada kasus kehamilan
ektopik.
Setelah bayi lahir, plasenta akreta/inkreta dan perkreta sudah
tidak dalam kondisi aktif membelah, sehingga percuma jika diberikan
methotrexate. Sebagian pakar menganggap bahwa manajemen
konservatif plasenta akreta tanpa diberikan methotrexate sama
hasilnya dengan diberikan methotrexate karena jaringan plasenta
yang tertinggal akan terserap dan mengecil dengan sendirinya.
S. Peiffer dkk (2012) melaporkan 3 kasus plasenta akreta dan
inkreta post partum yang berhasil ditangani dengan manajemen
konservatif tanpa pemberian methotrexate. 32

S. Timmermans, dkk (2007) melakukan studi retrospektif 60


kasus plasenta akreta, ditemukan hasil yang sama antara
manajemen konservatif dengan terapi methotrexate maupun tidak
dengan terapi methotrexate. Grup tanpa methotrexate, dari 26
kasus, 22 pasien (85%) berhasil sedang 4 kasus gagal
(histerektomi). Pada grup dengan methotrexate, dari 22 kasus, 17
pasien (77%) berhasil dan 5 kasus gagal (histerektomi).26

37
f. Methotrexate pada Plasenta Perkreta suspek Invasif
Methotrexate tidak disarankan untuk diberikan pada kasus
plasenta perkreta dengan kecurigaan kearah invasif organ sekitar.
Banyak laporan kasus manajemen konservatif dengan methotrexate
terhadap plasenta perkreta suspek invasif yang berakhir dengan
perdarahan dan histerektomi. Meningkatnya morbiditas selama
manajemen konservatif ini perlu dipertimbangkan dalam kasus
perkreta invasif.
Musalli GM dkk (2000) melaporkan pasien dengan diagnosis
antenatal plasenta previa perkreta ditambah invasi ke vesica urinari,
post SC plasenta ditinggalkan insitu. Pasien diterapi dengan injeksi
methotrexate 1mg/kgBB/minggu, namun karena perdarahan masih
tetap berlangsung, dilakukan histerektomi post SC hari ke-46.
Angela Ramoni dkk (2013) melaporkan 4 kasus plasenta
perkreta dengan invasi ke vesica urinari diterapi konservatif
ditambah methotrexate 1mg/kgBB/minggu. 1 kasus berhasil dengan
plasenta menghilang di bulan ke-9. 1 kasus terjadi perdarahan hebat
kemudian di tampon Bakri, membaik dan akhirnya berhasil. 2 kasus
sisanya berakhir dengan histerektomi.
Hays AM dkk (2008) melaporkan 2 kasus plasenta perkreta
dengan invasi ke vesica urinari diterapi konservatif, plasenta
ditinggalkan insitu dan diberikan methotrexate. Pasien mengalami
perdarahan berulang yang membutuhkan transfusi dan pada
akhirnya dilakukan histerektomi.
Jaffe dkk (1994) melaporkan kasus plasenta perkreta dengan
invasi kandung kencing. Pasien dilakukan sc, plasenta ditinggalkan
insitu, kemudian pasien diberikan injeksi methotrexate 50mg/minggu
selama 6 kali. Pada minggu ketujuh terjadi perdarahan dan koagulasi
intravaskular, dilakukan kuretase untuk mengeluarkan plasenta
namun terjadi perdarahan masif. Pada akhirnya dilakukan
histerektomi, cystectomy partial dan reimplantasi ureter.

38
g. Meninggalkan Plasenta Insitu
Pasien yang datang dengan retensio plasenta tanpa
perdarahan aktif dan hemodinamik stabil disarankan untuk dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk memastikan plasenta
akreta/inkreta/perkreta sebelum dilakukannya manual plasenta.
Pasien yang didiagnosis plasenta akreta/inkreta/perkreta, sebaiknya
plasenta tidak coba dilepaskan dan ditinggalkan insitu.
Kayem dkk (2004) membandingkan 2 strategi manajemen
konservatif antara melepaskan plasenta (13 kasus) dengan
meninggalkan plasenta insitu (20 kasus) terhadap kemungkinan
histerektomi. Didapatkan angka histerektomi lebih tinggi pada
plasenta yang coba dilepas (85%) dibandingkan plasenta yang
ditinggalkan insitu (15%).
Kayem dkk (2004) menjelaskan bahwa kemungkinan untuk
terjadinya DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) menurun
pada pasien dengan plasenta yang ditinggalkan insitu (5%)
dibandingkan pasien yang dicoba untuk melepaskan plasenta (39%).
Jennifer C. Hunt (2010) melaporkan satu kasus wanita 32
tahun P7 post partum dengan retensio plasenta. Pasien gagal
dilakukan manual plasenta dengan tertinggalnya sebagian besar
plasenta. Perdarahan dihentikan dengan masase, uterotonik dan
packing intrauterin. Transfusi dilakukan kemudian pemeriksaan USG
mengindikasikan adanya plasenta akreta. Pasien diberikan dosis
tunggal methotrexate 75mg intramuscular dan antibiotik intravena.
Pada nifas hari-16 kadar beta hCG turun dari 16.320 menjadi 1.447.
perdarahan pervaginam ringan masih terjadi hingga nifas hari 26 dan
muncul tanda-tanda sepsis, kadar beta hCG 479. Pada hari ke 29
dilakukan dilatasi dan kuretase pada pasien. Intraoperatif terjadi
perforasi, kemudian operasi dilanjutkkan laparotomi, intraoperatif
didapatkan nekrosis dan cairan purulen di fundus serta adhesi uterus

39
ke usus kecil. Diputuskan melakukan histerektomi, reseksi dan
reanastomosis usus.

h. Rekomendasi
Manajemen konservatif kasus plasenta akreta merupakan
sebuah pilihan pasien yang mempunyai kemungkinan sukses untuk
mempertahankan uterus. Sentilheis (2010), manajemen konservatif
dengan adjuvan methotrexate tingkat kegagalannya adalah 22%
yang berakhir dengan histerektomi. 21
Fungsi methotrexate pada plasenta akreta masih
diperdebatkan. Methotrexate dapat menjadi pilihan namun tidak
dapat dijadikan standar prosedur terapi.

i. Komplikasi
Demam merupakan komplikasi tersering yang terjadi,
kebanyakan terjadi karena adanya endomyometritis atau sepsis,
meskipun begitu demam juga merupakan tanda respon inflamasi
dari nekrosis jaringan plasenta jika kecurigaan infeksi tidak terbukti.22
antibiotik profilaksis diberikan untuk menurunkan morbiditas akibat
infeksi. Perdarahan pervaginam juga merupakan komplikasi yang
sering terjadi dalam beberapa bulan setelah melahirkan. Demam
dan perdarahan pervaginam masing-masing terjadi dalam 35%
kasus dan muncul pada 92% kasus dengan kegagalan dan berakhir
histerektomi.26

40
BAB III
PENUTUP

 Plasenta Akreta (PA) telah berkembang menjadi komplikasi yang


umum dalam obstetri modern. Meningkatnya insiden sebagian
disebabkan oleh meningkatnya angka kelahiran Sectio Cesarean
(SC). 10 Wanita yang memilki risiko tinggi PA adalah mereka yang
mempunyai kerusakan miometrium yang disebabkan oleh SC
sebelumnya dengan Plasenta Previa di anterior atau Posterior dari
scar uterus.8
 Manajemen konservatif dapat dlakukan terutama untuk ibu-ibu
dengan keinginan untuk mempertahankan kesuburan, meskipun
histerektomi tertunda. Namun secara umum telah direkomendasikan
manajemen persalinan dengan perencanaan cesarean histerektomi
pada usia preterm, hal ini dihubungkan dengan perdarahan hebat
yang mungkin terjadi.8.10
 Manajemen optimal dari plasenta dengan perlekatan invasif masih
belum tetap dan jelas. Pada umumnya, cesarean histerektomi
adalah tatalaksana yang paling sering terjadi, namun tindakan ini
berkaitan erat dengan tingkat morbiditas (56%) dan mortalitas (3%)
yang tinggi. Penelitian membuktikan bahwa cesarean histerektomi
yang direncanakan mempunyai risiko komplikasi yang lebih rendah
dibandingkan kasus emergensi. 27, 28
 Methotrexate merupakan terapi adjuvan untuk manajemen
konservatif plasenta akreta. Secara teori methotrexate mempunyai
efek untuk menginduksi nekrosis jaringan plasenta dan
mempercepat proses involusi plasenta. Masih terdapat kontroversi
mengenai efektifitas methotrexate sebagai terapi adjuvan serta
belum adanya konsensus terkait dosis, cara dan frekwensi
pemberian yang optimal. 21.27.28

41
 Dosis yang tersering digunakan adalah 1mg/kgBB yang diberikan
setiap minggu selama 3-9 dosis/bergantung hasil terapi. Pemberian
yang aman dapat melalui injeksi intramuskular (pilihan pertama) dan
intravaskular (pilihan kedua).
 Evaluasi keberhasilan terapi dilakukan dengan tes kadar beta hCG,
USG dan Doppler. Untuk menilai penurunan kadar hCG, ukuran
plasenta dan vaskularisasi plasenta.
 Pasien retensio plasenta dengan hemodinamik stabil dianjurkan
untuk dilakukan pemeriksaan USG dan doppler terlebih dahulu
sebelum melakukan manual plasenta untuk memastikan kecurigaan
plasenta akreta, inkreta ataupun perkreta. Pilihan tatalaksana baik
histerektomi maupun konservatif mempunyai tingkat morbiditas yang
lebih rendah jika dilakukan saat kondisi stabil dan tidak ada
perdarahan/minimal.
 Dari beberapa laporan kasus yang telah ada, pasien plasenta
perkreta dengan kecurigaan invasif ke organ lain, mempunyai tingkat
keberhasilan yang kecil saat mendapatkan manajemen konservatif
dengan methotrexate. Pasien mempunyai kemungkinan besar untuk
perdarahan ulang selama terapi, infeksi dan histerektomi.
 Manajemen konservatif dengan methotrexate hanya dapat dilakukan
jika syarat dari pasien, fasilitas dan tenaga ahli terpenuhi. Informed
consent yang jelas, lengkap dan pemantauan ketat mutlak
diperlukan.
 Plasenta sebaiknya ditinggalkan insitu untuk meminimalkan
morbiditas ibu.
 Pasien dan klinisi harus menyadari bahwa tidak ada jaminan
berhasilnya terapi dengan methotrexate, sehingga seluruh rencana
untuk kemungkinan terburuk telah dipersiapkan.
 Terapi konservatif dengan pemberian methotrexate merupakan
sebuah pilihan walau belum mempunyai rekomendasi dan penelitian
yang kuat.

42
 Terapi adjuvan methotrexate belum dapat dijadikan standar terapi
plasenta akreta/inkreta/perkreta.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, Leveno KJ, Blum SL, er al. Williams Obstetrics 24th
ed, Chapter 41: Obstetrics Haemorrhage, pp 804-808, 2014.
2. Bowman, Zachary S. Eller, Alexandra G.et al.American Journal of
Obstetrics and Gynecology : Accuracy of Ultrasound for Prediction of
Placenta Accreta, pp 177.ei – 177.e7, August. 2014.
3. Baughman W Christopher. Corteville,Jane E. Et al. RadioGraphics
Journal from The Departement Of Radology and Obstetrics and
Gynecology : Placenta Accreta Spectrum Of US and MR Imaging
Findings. Vol 28. Pp 1905-1917. Ohio : Nov-Dec. 2008.
4. Stirnemann, Julien J. Mousty, Eve.et al.American Journal of Obstetrics
and Gynecology : Screening for Plasenta Accreta at 11-14 Weeks of
Gestation, pp 547.ei – 547.e5, Washington : Juni. 2011.
5. Belfort, Mchael A. Publication Committee, Society for Maternal-Fetal
Medicine. American Journal of Obstetrics and Gynecology : Placenta
Accreta, pp 430 – 437. Wshngton : November. 2010.
6. Afzal, Shaita. Masroor, Imrana. Et al Pakistan Journal Radiology :
Ultrasonographic Diagnosis of Placenta Accreta.pp 165-167. Pakistan:
December 2010
7. Leyendecker, John R, Dubose,Melinda. Et al. AJR, Women’s Imaging :
MRI of Pregnancy- Related Issues : Abnormal Placentation. pp 311-
320. American: October 2011.
8. Committee opinion, Placenta Accreta, The American College of
Obstetricans and Gynecologists, July 2012.
9. Berkley, Eliza and Abuhamad, Alfred. Prenatal Diagnosis of Placenta
Accreta, The American Institute of Ultrasound in Medicine. 1345- 1349.
USA: 2013.
10. Sze-yan, Charleen. Interational Journal ofWomen’s Health. The
Sonographic Appearance and Obstetric Management of Placenta
Accreta. Pp 587- 594. Hong Kong- 2012.

44
11. D’Antonio,F. Iacovella,C. et al. Ultrasound Obstet Gynecol. Published
in Wiley Online Library. Prenatal Identification of Invasive Placentation
Usng Magnetic Resonance Imaging : Systematic Review and Meta-
analysis. Vol 44 pp. 8-16. Italy : 2014
12. Guleria, Kiran, Gupta, Bindiya, Agarwal, Shuchi. et al. ACTA Obstetricia
et Gynecologica Scandinavica. Vol 92. pp. 461-464. India :2013.
13. Srisajjakul,S. Prapaisilp, P. Bangchokdee,S. The British Institute of
Radiology. MRI of Placental Adhesve Disorder. Vol. 84. Thailand : 2014
14. Riteau, Anne. Tassin, Mikael. et al. Plosone. Accuracy of
Ultrasonography and Magnetic Resonance Imaging n Diagnosis of
Plasenta Accreta. Vol 9. Issue 4. France :2014
15. Green – top Guideline No 27, Placenta praevia, placenta praevia
accreta and vasa praevia: diagnosis and management, Royal College
of Obstetricans and Gynaecologists. Vol 27. pp 1-16. London: January
2011.
16. F, Martha. Dashe, Jodi S.et al.American Journal of Obstetrics and
Gynecology : Ultrasound Predictors of Placental Invasion: The Placenta
Accreta Index. pp 343.ei – 343.e7, March. 2015.
17. Internasional Journal of Rheumatology. Role and place of methotrexate
in vasculitis management : mechanism of action, metabolism and
pharmacology of methotrexate. Medscape. 2009.
18. Methotrexate. In MIMS annual 2014. Pp 175-178. Australia. 2014.
19. Mussalli GM, Shah J, Berck DJ, Elimian A, Tejani N, Manning FA.
Placenta accreta and methotrexate therapy: three case reports. J
Perinatol 2000;20:331–4
20. Manoj Kumar Tangri, Prasad Lele, Harish, et al. Conservative
Management of Placenta Accreta : a Case Report. Internasional Journal
of Biomedical and Advance Research. 2015.
21. Sentilheis Loic, Ambroselli, Clemence, et al. Maternal Outcome After
Conservative Treatment of Placenta Accreta. Obstetrics and
Gynecology Journal. Wolters & Kluwer. 2010.

45
22. Arulkumaran S, Ng CS, Ingemasson I, Ratnam SS. Medical treatment
of placenta accreta with methotrexate. Acta Obstet Gynecol
Scand 1986; 65: 285–286.
23. Legro RS, Price FV, Caritis SN. Nonsurgical management of placenta
percreta: a case report. Obstet Gynecol1994; 83: 847–849.
24. Jaffe R, DuBeshter B, Sherer DM, Thompson EA, Woods JR
Jr. Failure of methotrexate treatment for term placenta percreta. Am J
Obstet Gynecol 1994; 171: 558–559.
25. Jennifer C. Hunt. Conservative Mangement of Placenta Accreta in a
Multiparous Woman. Journal of Pregnancy. Canada 2010.
26. S. Timmermans, A. C. Van Hof, and J. J. Duvekot, “Conservative
management of abnormally invasive placentation,” Obstetrical and
Gynecological Survey, vol. 62, no. 8, pp. 529–539, 2007
27. A. C. Rossi, R. H. Lee, and R. H. Chmait, “Emergency postpartum
hysterectomy for uncontrolled postpartum bleeding: a systematic
review,” Obstetrics and Gynecology, vol. 115, no. 3, pp. 637–644, 2010.
28. Y. Oyelese and J. C. Smulian, “Placenta previa, placenta accreta, and
vasa previa,” Obstetrics and Gynecology, vol. 107, no. 4, pp. 927–941,
2006.
29. G. Kayem, C. Davy, F. Goffinet, C. Thomas, D. Clément, and D. Cabrol,
“Conservative versus extirpative management in cases of placenta
accreta,” Obstetrics and Gynecology, vol. 104, no. 3, pp. 531–536,
2004.
30. Mahendru Rajiv, Savita Malik, Amit Mittal. Methotrexate Theraphy for
Placenta Accreta : A Rare Case Report. Departement of Obstetrics and
Gynecology. MMIMSR. India. 2010.
31. Yoginder Singh, Vinod Raghav, A. Kapur. Medical Management of
Placenta Accreta with Methotrexate : Review of two cases. Journal of
South Asian Federation of Obstetrics nd Gynecology. 2015.
32. Peiffer, J. Reindhart, A. Reitter. Conservative Management of Placenta
Accreta and Increta after Vaginal Birth : Case report. NCBI. US. 2012.

46
33. Angela Ramoni, Stroble Em, Tiechl. Conservative Management of
Abnormal Invasive Placenta : Four Case Report. PUBMED. 2013.
34. Hays AM, Worley KC, Roberts KS. Conservative Management of
Placenta Percreta : Experience in two cases. PUBMED. 2008

47

Anda mungkin juga menyukai