Anda di halaman 1dari 22

Laporan Kasus Internsip:

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

Oleh:
dr. Ninda Afrini

Dokter Pendamping:
dr. Zulkarnaini ZA

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


KEMENTERIAN KESEHATANREPUBLIK INDONESIA
RSUDTEUKU UMAR
ACEH JAYA
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat, rahmat
dan hidayah-Nya, tugas presentasi laporan kasus telah dapat diselesaikan. Selanjutnya
shalawat beserta salam penulis haturkan kepangkuan Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Adapun judul tugas ini adalah “ Benign Prostatic Hyperplasia” Tugas ini diajukan
sebagai salah satu tugas dalam menjalani Program Dokter Intersip Indonesia di RSUD
Teuku Umar. Penulis mengucapkan terimakasih kepada dokter pendamping RSUD Teuku
Umar dr. Zulkarnaini ZA yang telah memberikan masukan dan arahan dalam
penyelesaian laporan kasus ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tuga sini masih jauh dari
kesempurnaan. Penulis tetap terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun agar
tercapai hasil yang lebih baik kelak. Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat
bermammfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan umumnya dan profesi kedokteran
khususnya. Semoga ALLAH SWT selalu Memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya basgi
kita semua.

Aceh Jaya, 18 Juli 2022

dr. Ninda Afrini

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 2
2.1 Definisi .................................................................................... 2
2.2 Struktur Anatomi Prostat ........................................................ 2
2.3 Epidemiologi............................................................................ 3
2.4 Etiologi..................................................................................... 4
2.6 Patofisiologi............................................................................. 5
2.7 Manifestasi Klinis.................................................................... 6
2.8 Pemeriksaan dan Diagnosis..................................................... 7
2.9 Tatalaksana.............................................................................. 8
BAB III LAPORAN KASUS..................................................................... 12
3.1Identitas Diri............................................................................. 12
3.2 Anamnesis................................................................................ 12
3.3 Pemeriksaan Fisik.................................................................... 12
3.4 Pemeriksaan Penunjang........................................................... 15
3.5 Diagnosis................................................................................. 16
3.6 Tatalaksana.............................................................................. 16
3.7 Prognosis.................................................................................. 16
BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................... 17
4.1Analisa Kasus ............................................................................. 17

BAB VKESIMPULAN.............................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.


Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) menjadi salah satu penyakit degeneratif di
Indonesia maupun di seluruh Dunia. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merujuk pada
sistem perkemihan yang sampai sekarang menjadi urutan kedua di Indonesia setelah
Infeksi Saluran Kemih. Hiperplasia prostat jinak BPH (Benigna prostatic Hyperplasia)
adalah pertumbuhan tak-ganas stroma dan kelenjar epitel prostat yang menyebabkan
pembesaran kelenjar prostat. Pasien dengan usia diatas 40 tahun kelenjar prostatnya
mengalami pembesaran, karena terjadi perubahan keseimbangan testoteron dan estrogen,
komplikasi yang disebabkan dari pembesaran prostat.Ketika urin keluar dari kandung
kemih, akan melewati saluran didalam kelenjar prostat yang disebut uretra prostat.2
Data WHO, 200 juta penduduk di dunia yang mengalami inkontinensia urin.
Insidensi BPH akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia, yaitu sekitar
20% pada pria usia 40 tahun, kemudian menjadi 70% pada pria usia 60 tahun dan akan
mencapai 90% pada pria usia 80 tahun (Amadea, 2019). Kasus di Amerika Serikat,
terdapat lebih dari setengah (50%) pada laki laki usia 60- 70 tahun mengalami gejala BPH
dan antara usia 70-90 tahun sebanyak 90% mengalami gejala BPH. Penduduk di 11
negara anggota WHO kawasan Asia Tenggara yang berusia diatas 60 tahun berjumlah 42
juta orang dan diperkirakan akan terus meningkat hingga 3 kali lipat di tahun 2050.
Seiring dengan meningkatnya angka harapan hidup di Dunia ini.3
Kasus di Indonesia, Benigna Prostatic Hiperplasi (BPH) merupakan urutan kedua
setelah batu saluran kemih dan diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50
tahun dengan angka harapan hidup rata-rata di Indonesia yang sudah mencapai 65 tahun.
Data Kemenkes tahun 2019 prevalensi kanker prostate tertinggi adalah di provinsi DI
Yogyakarta sebanyak 4,86 per 1.000 penduduk, diikuti Sumatera Barat 2,47 per 1.000
penduduk dan Gorontalo 2,44 per 1.000 penduduk.3
Penatalaksanaan jangka panjang pada pasien dengan BPH adalah dengan
melakukan pembedahan. Salah satu tindakan yang paling banyak dilakukan pada pasien
dengan BPH adalah tindakan pembedahan Transurethral Resection Of the Prostate
(TURP). Tindakan Pembedahan TURP merupakan tindakan operasi yang paling banyak
dikerjakan diseluruh dunia.8

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Benign prostate hyperplasia atau sering disebut pembesaran prostat jinak adalah
sebuah penyakit yang sering terjadi pada pria dewasa di Amerika dimana terjadi
pembesaran prostat. BPH terjadi pada zona transisi prostat, dimana sel stroma dan sel
epitel berinteraksi. Sel sel ini pertumbuhannya dipengaruhi oleh hormon seks dan respon
sitokin. Pada penderita BPH hormon dihidrotestosteron (DHT) sangat tinggi dalam
jaringan prostat. Sitokin dapat memicu respon inflamasi dengan menginduksi epitel.
Prostat membesar mengakibatkan penyempitan uretra sehingga terjadi gejala obstruktif
yaitu : hiperaktif kandung kemih, inflamasi, pancaran miksi lemah.2
Benign prostate hyperplasia (BPH) dikaitkan dengan gejala saluran kemih
bawah, Gejala-gejala yang biasanya dirasakan oleh penderita pembesaran prostat jinak
yaitu nookturia, inkontinensia urin, aliran urin tersendat-sendat, mengeluarkan urin
disertai darah, dan merasa tidak tuntas setelah berkemih.2

2.1 Struktur Anatomi Prostat


Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan
membungkus uretra posterior. Prostat berbentuk seperti buah kemiri dengan ukuran 4 x
32,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri atas jaringan
fibromuskuler dan glandular yang terbagi dalam beberapa daerah atau zona yaitu :
perifer, sentral, transisional, prepostatik sfingter dan anterior. Prostat menghasilkan suatu
cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini
dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian
dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Cairan ini merupakan ±
25% dari volume vomer. Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak, mengakibatkan
uretra posterior membuntu dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran
kemih .Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional.5

2
Gambar 2.1 Anatomi Dan Zona Prostate.
McNeal membagi kelenjar prostat menjadi 3 bagian.
1. Zona sentral
2. Zona perifer 75% volume prostat normal. Kanker prostat berkembang dari zona
ini.
3. Zona transisional.5-10% volume prostat normal) ini merupakan bagian dari
prostat yang membesar pada hiperplasia prostat jinak.5

Kelenjar prostat yang sehat seperti ukuran kenari, letaknya tepat di bawah blader
dan di atas rektum. dan mengelilingi uretra. Perannya untuk menghasilkan cairan kental
yang membuat sebagian besar air mani pria. Otot prostat membantu sperma bergerak
melalui saluran ejakulasi, dan juga membantu membuka kandung kemih untuk
memungkinkan urin melewati uretra. dengan demikian, kelenjar prostat yang sehat
diperlukan untuk kinerja yang memuaskan dari kedua fungsi seksual dan saluran
kencing.5

2.2 Epidemiologi
Benign prostate hyperplasia mempengaruhi sekitar 50% laki-laki antara usia 51
sampai 60 tahun, dan meningkat 90% pada pria yang berusia 80 tahun. Pada tahun 2010
di USA hampir 14 juta pria menderita gejala Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS)
yang disebabkan oleh BPH (Anonim, 2014). Survei dari Multi-national Aging Men
(MSAM) yang dilakukan di Eropa dan Amerika, menunjukkan bahwa lebih dari 14.000
pria usia 50-80 tahun mengalami masalah seksual akibat BPH. Data menunjukkan 49%

3
mengalami kesulitan ereksi, 48% mengalami gangguan ejakulasi dan 7% mengalami
nyeri saat berhubungan seksual.3
Di indonesia operasi yang sering dilakukan yaitu operasi saluran kemih dan diikuti
oleh benign prostat hyperplasia dan saluran kemih bawah.3
Meskipun sulit untuk menentukan jumlah pasien dengan benign prostate
hyperplasia, survei menunjukkan bahwa jumlah pasien pada tahun 1996 adalah 319.000,
pada tahun 1999 adalah 334.000, dan 398.000 sampai 459.000 pada tahun 2002 di
Jepang, menurut survei National Livelihood Survey (health questionnaires) pasien
dengan benign prostat hyperplasia mengalami peningkatan pertahunnya.3

2.4 Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat
kaitannya dengan adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan
estrogen pada usia lanjut, peranan faktor pertumbuhan (growth factor) sebagai pemacu
pertumbuhan stroma kelenjar prostat, meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena
berkurangnya sel-sel yang mati dan terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.1

Gambar 2.2 Peranan Growth Faktor Sebagai Pemicu Pertumbuhan Stroma Kelenjar
Prostat pada BPH

4
2.4 Patofisiologi
BPH terjadi pada zona transisi prostat, dimana sel stroma dan sel epitel
berinteraksi. Sel sel ini pertumbuhannya dipengaruhi oleh hormon seks dan respon
sitokin. Di dalam prostat, testosteron diubah menjadi dihidrotestosteron (DHT), DHT
merupakan androgen dianggap sebagai mediator utama munculnya BPH ini. Pada
penderita ini hormon DHT sangat tinggi dalam jaringan prostat. Sitokin berpengaruh
pada pembesaran prostat dengan memicu respon inflamasi dengan menginduksi epitel.
Prostat membesar karena hyperplasia sehingga terjadi penyempitan uretra yang
mengakibatkan aliran urin melemah dan gejala obstruktif yaitu : hiperaktif kandung
kemih, inflamasi, pancaran miksi lemah.2
Penyebab BPH masih belum jelas, namun mekanisme patofisiologinya diduga
kuat terkait aktivitas hormon Dihidrotestosteron (DHT).2

Gambar 2.3 Perubahan Testosteron Menjadi Dihidrotestosteron Oleh Enzim 5α-


reductase (Roehrborn C et al, 2002).

DHT merupakan suatu androgen yang berasal dari testosteron melaui kerja enzim
5α-reductase dan metabolitnya, 5α- androstanediol merupakan pemicu utama
terjadinyaa poliferase kelenjar pada pasien BPH. Pengubahan testosteron menjadi DHT
diperantai oleh enzim 5α- reductase. Ada dua tipe enzim 5α-reductase, tipe pertama

5
terdapat pada folikel rambut, kulit kepala bagian depan, liver dan kulit. Tipe kedua
terdapat pada prostat, jaringan genital, dan kulit kepala. Pada jaringan-jaringan target
DHT menyebaabkan pertumbuhan dan pembesaran kelenjar prostat.4

Gambar 2.4 : a. Prostat normal b. Benign prostate hyperplasia

2.7 Manifestasi Klinis


Gejala yang umumnya terjadi pada pasien BPH adalah gejala pada saluran kemih
bagian bawah atau lower urinary track symptoms (LUTS). Gejala pada saluran kemih
bagian bawah terdiri atas gejala iritatif (storage symptoms) dan gejala obstruksi (voiding
symptoms). Gejala Obstruktif ditimbulkan karena adanya penyempitan uretra karena
didesak oleh prostat yang membesar. Gejala yang terjadi berupa harus menunggu pada
permulaan miksi (Hesistancy), pancaran miksi yang lemah (weak stream), miksi terputus
(Intermittency), harus mengejan (straining). Gejala Iritatif disebabkan oleh pengosongan
kandung kemih yang tidak sempurna pada saat miksi atau berkemih, sehingga kandung
kemih sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala yang terjadi adalah frekuensi
miksi meningkat (Frequency), nookturia, dan miksi sulit ditahan (Urgency) (Kapoor,
2012). Gejala-gejala yang biasanya dirasakan oleh penderita pembesaran prostat jinak
yaitu nookturia, inkontinensia urin, aliran urin tersendat-sendat, mengeluarkan urin
disertai darah, dan merasa tidak tuntas setelah berkemih.6
Pola keluhan penderita hiperplasia prostat sangat berbeda-beda. Alasannya belum
diketahui, tetapi mungkin berdasarkan atas peningkatan atau penyusustan ringan dalam
volume prostat. Keluhan lain yang berkaitan akibat hiperplasia prostat jika ada infeksi
saluran kemih, maka urin menjadi keruh dan berbau busuk. Hiperplasia prostat bisa

6
mengakibatkan pembentukan batu dalam kandung kemih. Bila terjadi gangguan faal
ginjal, bisa timbul poliuria yang kadang-kadang mirip dengan diabetes insipidus, mual,
rasa tak enak di lidah, lesu, haus dan anoreksia.6

2.8 Pemeriksaan dan Diagnosis


Tidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan medik. Terkadang pasien yang
mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun, tetapi
diantara pasien yang lain akhirnya ada yang mebutuhkan terapi medikamentosa atau
tindakan medik yang lain karena keluhannya makin parah (Purnomo, 2008).
Pemeriksaan awal dapat dilakukan dengan cara melakukan anamnesis yang
cermat agar mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang diderita. Perlu juga
dilakukan pemeriksaan fisik dan pengukuran pengosongan kandung kemih yang meliputi
laju rata-rata aliran urin, laju puncak aliran urin, serta volume urin residual setelah
pengosongan. Pemeriksaan rektal dan pengukuran kadar serum PSA (Prostate Spesifik
Antigen) pemeriksaan rektal untuk memperkirakan ukuran prostat.1,7
Pemeriksaan rektal dapat disebut juga sebagai pemeriksaaan fisik. Pemeriksaan
fisik yang dilakukan pada pasien BPH adalah colok dubur atau digital rectal examination
(DRE). Pada pemeriksaan ini yang dilihat yaitu Ukuran, bentuk, simetri, kualitas,
nodularitas dan konsistensi prostat harus semua dievaluasi agar dapat digunakan sebagai
bukti menegakan diagnosa .1,7
Pada pemeriksaan digital rectal examination (DRE) dijumpai pembesaran prostat
teraba simetris dengan konsistensi kenyal dan ada pendorongan prostat kearah rektum.
Pada keadaan normal prostat teraba di garis tengah.1,7
PSA adalah cara untuk membedakan BPH dengan kanker prostat walaupun PSA
sendiri bukanlah penanda spesifik untuk kanker prostat (Kapoor, 2012). Serum PSA
digunakan untuk mendeteksi berkembangnya penyakit BPH, jika kadar PSA tinggi
berarti pertumbuhan volume prostat lebih cepat, laju urin lebih rendah, dan lebih mudah
terjadi retensi urin.1,7
Kebanyakan pasien berobat karena gejala dari BPH sendiri yang mempengaruhi
quality of life , Score International Prostate Symptom Score (IPSS) dapat digunakan
untuk mengevaluasi dan mengukur keparahan gejala pasien. Skor 0-7 menunjukkan
gejala ringan; skor 8-19 menunjukan gejala sedang dan skor 20-35 menunjukkan gejala
berat PSA adalah cara untuk membedakan BPH dengan kanker prostat walaupun PSA

7
sendiri bukanlah penanda spesifik untuk kanker prostat. Serum PSA digunakan untuk
mendeteksi berkembangnya penyakit BPH, jika kadar PSA tinggi berarti pertumbuhan
volume prostat lebih cepat, laju urin lebih rendah, dan lebih mudah terjadi retensi urin.1,7
Kebanyakan pasien berobat karena gejala dari BPH sendiri yang mempengaruhi
quality of life , Score International Prostate Symptom Score (IPSS) dapat digunakan
untuk mengevaluasi dan mengukur keparahan gejala pasien. Skor 0-7 menunjukkan
gejala ringan; skor 8-19 menunjukan gejala sedang dan skor 20-35 menunjukkan gejala
berat.1,7

2.1 Penatalaksanaan
Salah satu gejala BPH adalah LUTS, gejala ini mungkin dapat disembuhkan
dengan terapi pengobatan dan tindakan pembedahan. Penatalaksanaan BPH bertujuan
agar mengembalikan kualitas hidup pasien,. Terapi yang diberikan pada pasien
tergantung pada tingkat keluhan pasien, ukuran prostate, berat badan, tingkat antigen
prostat spesifik (PSA) pilihannya adalah mulai dari : tanpa terapi (watchful waitting),
terapi farmakologi, dan terapi intervensi atau pembedahan.8,9
1. Watchful Waitting
Watchful waitting artinya, pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi
perkembangan keadaan penyakitnya tetap diawasi dokter, pilihan watchful waitting
ini ditujukan untuk pasien BPH dengan keluhan sedang hingga berat, pancaran urin
melemah dan terdapat pembesaran prostat > 30 gram (Dhingra dkk, 2011). Setiap 6
bulan, klien diminta untuk memeriksakan diri dan memberitahukan mengenai
perubahan keluhan yang dirasakannya. Watchful waitting yang diamati adalah
perubahan gaya hidup dari pasien tersebut serta melakukan evaluasi pada pasien
dengan keluhan LUTS ringan. Perubahan gaya hidup disarankan seperti
menghindari makanan dan minuman yang mengakibatkan iritasi misalnya, kafein
atau alkohol), menghindari atau pemantauan beberapa obat (misalnya, diuretik,
dekongestan, antihistamin, antidepresan), dan memantau waktu berkemih (kandung
kemih pelatihan ulang).8,9
Modifikasi gaya hidup dapat membantu memperbaiki gejala BPH, seperti
mengurangi konsumsi alkohol dan kafein, mengurangi cairan sebelum tidur untuk
meningkatkan symptoms nokturia, dan berkemih. 8,9

8
2. Medical Therapies (Terapi Farmakologi)
Terapi medikametosa atau farmakologi dilakukan pada pasien BPH tingkat
sedang, atau dapat juga dilakukan sebagai terapi sementara pada pasien BPH
tingkat berat. Tujuan terapi medikametosa adalah 1) untuk mengurangi resistensi
leher buli-buli dengan obat-obatan golongan α- adrenergik blocker dan 2)
mengurangi volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron
atau dehidrotestosteron (DHT). 8,9
Untuk pengobatan farmakologis, pedoman AUA 2003 menyatakan bahwa
alfuzosin (Uroxatral), doxazosin (Cardura), tamsulosin (Flomax), dan terazosin
(Hytrin) merupakan pilihan pengobatan yang sesuai untuk pasien dengan LUTS
sekunder untuk BPH. Meskipun ada sedikit perbedaan dalam profil efek samping
dari obat ini, AUA menyatakan bahwa keempat agen memiliki efektivitas klinis
yang sama. Pedoman ini juga menyatakan bahwa 5α-reduktase finasteride
(Proscar) dan dutasteride (Avodart) telah terbukti merupakan pengobatan yang
tepat dan efektif untuk pasien dengan LUTS terkait dengan pembesaran prostat. 8,9
3. Alpha-Blockers
Golongan α-adrenergik bloker bekerja dengan menghalangi kontraksi
reseptor adrenergik simpatik dari otot polos prostat dan leher kandung kemih.
dengan relaksasi otot polos di bagian leher prostat, saluran kemih dibuka yang
memungkinkan aliran urin. Alpha-blocker memiliki onset cepat, dalam waktu 3
sampai 5 hari. setelah obat dihentikan, gejala biasanya kembali ke pra-pengobatan,
tingkat dasar.10

9
Gambar 2.5 Reseptor Alpha Adrenergik pada Otot Polos Prostat dan Leher
Kandung Kemih
Beberapa obat alpha-blockers yang direkomendasikan oleh CUA sebagai
pengobtan untuk pasien BPH dengan keluhan LUTS. yaitu terazosin, doksazosin
yang merupakan generasi kedua dan alfuzosin, dan tamsulosin yang merupakan
generasi 3. Efek samping dari alpha-blocker yaitu hipotensi ortostatik, pusing,
kelelahan (asthenia), masalah ejakulasi dan hidung tersumbat. Untuk generasi 3
alpha-blocker tamsulozin dan alfuzosin resiko pusing lebih rendah dibanding
alpha-blocker generasi 2. Terazosin dan doxazosin memerlukan titrasi dosis karena
sifat anti-hipertensi . tamsulosin dan alfuzosin tidak memerlukan titrasi dosis serta
mempunyai lebih sedikit efek samping kardiovaskular. 8,9
4. 5-Alpha-reductase inhibitors (5-ARIs)
Obat golongan 5α-reduktase inhibitors bekerja dengan cara menghambat
pembentukan dihidrotestosteron (DHT), sehingga terjadi penurunan kadar zat aktif
dehidrotestosteron dan mengecilnya ukuran prostat. 5-Alpha-reductase inhibitors
(5-ARIs) bekerja dengan memblok konversi testosteron menjadi dihidrotestoteron
(DHT), dimana DHT ini merupkan androgen yang dapat memicu pembesaran
prostat. Apabila kadar dihidrotestosteron mengalami penurunan mengakibatkan
penurunan ukuran prostat.10

10
Gambar 2.6 Mekanisme Kerja Finasteride (Roehborn C G,2008).

Saat ini, terdapat 2 jenis obat 5-alpha-reductase inhibitors yang dipakai


untuk mengobati BPH, yaitu finasteride dan dutasteride. Finasteride digunakan bila
volume prostat >40 ml dan dutasteride digunakan bila volume prostat >30 ml.
Finasteride menghambat kompetitif enzim 5-alpha-reductase tipe II yang aktif
secara oral, sedangkan dustasterid menghambat tipe I dan II. Kedua obat ini
menurunkan kadar DHT plasma dan protat tanpa peningkatan testosteron. Efek
samping yang terjadi pada pemberian finasteride atau dutasteride ini minimal, di
antaranya dapat terjadi disfungsi ereksi, penurunan libido, ginekomastia, atau
timbul bercak-bercak kemerahan di kulit. 8,9
5. Minimally Invasive Therapies
Prosedur invasif minimal melibatkan penempatan stent endoskopik ke
dalam uretra prostat, sehingga dapat mengatasi gejala BPH dan meminimalkan
komplikasi karena sayatan kecil dan trauma berkurang ke jaringan sekitarnya.10

11
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : Iswandi
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 61 tahun
Alamat : Mon mata
Agama : Islam
No. MR : 13 44 31
TMRS : 18 Juli 2022
Tanggal Pemeriksaan : 18 Juli 2022

3.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama : Tidak bisa buang air kecil
2. Keluhan Tambahan : Tidak lampias, menetes
3. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan keluhan tidak bisa buang air
kecil. Kurang lebih 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sulit buang
air kecil (BAK). Pasien mengaku sulit untuk memulai BAK, dan terkadang harus
disertai dengan mengedan untuk BAK, pancaran kencing lemah, kadang terhenti
kemudian lancar kembali. Pasien juga mengeluh sering berkali-kali ke kamar mandi
pada malam hari saat tidur malam karena ingin BAK namun saat BAK hanya menetes
dan merasa kurang puas. BAK tidak keluar batu, tidak berdarah, demam tidak ada,
nyeri pinggang tidak ada, buang air besar biasa.
4. Riwayat penyakit dahulu : Tidak ada
1. Riwayat Keluarga : Tidak ada keluarga mengeluhkan keluhan yang sama
2. Riwayat Pengobatan : Tidak ada

3.1 Pemeriksaan Fisik


A. Status Present
1. Keadaan umum : Sakit sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5)
3. Pengukuran Tanda vital
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 89 kali/menit, reguler

12
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu : 36,2 ° C
B. Status Generalis
1.Kulit : Warna : Sawo matang (tidak ada petekie)
Sianosis : tidak ada
Turgor : normal
Kelembaban : cukup
Pucat : tidak ada
Lain-lain : tidak ada
2.Kepala :Bentuk : normosefali
Rambut : Warna : hitam
Mata : Bentuk : Eksoftalmus (-/-)
Palpebra : edem (-/-)
Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut
Konjungtiva : pucat (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : Diameter : isokor, normal
Reflek cahaya : (+/+)
Kornea : jernih/jernih
Telinga : Bentuk: simetris
Sekret : tidak ada
Serumen : tidak ada
Nyeri : tidak ada
Hidung : Bentuk : simetris
Pernafasan : cuping hidung (-)
Epistaksis : tidak ada
Sekret : tidak ada
Mulut : Bentuk : simetris
Bibir : mukosa bibir basah
Gusi : pembengkakan tidak ada, berdarah tidak ada
Gigi-geligi : normal
Lidah : Bentuk : normal
Pucat/tidak : tidak pucat

13
Tremor/tidak : tidak tremor
Kotor/tidak : tidak kotor
Warna : kemerahan
Faring : Hiperemi : tidak ada
Edema : tidak ada
Tonsil : Warna : kemerahan
Pembesaran : tidak ada
Abses/tidak : tidak ada
Membran/pseudomembran : (-)
3.Leher :
Vena Jugularis, Pulsasi : R+2 cmH2O
Pembesaran kelenjar : pembesaran KGB (-)
Pembesaran Tiroid (-)
4. Toraks :
1. Dinding dada/paru :
Inspeksi : Bentuk : simetris
Retraksi : tidak ada
Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri normal
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi :
Suara Napas Dasar :Vesikuler (+/+)
Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
2. Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi :
Batas Atas : ICS II linea parasternal sinistra
Batas Kanan : ICS V linea parasternal dekstra
Batas Kiri : ICS VI 2 jari lateral linea axilla anterior sinistra
Auskultasi : BJ 1 > BJ 2, bising (-)
5. Abdomen :
Inspeksi : Bentuk : datar, simetris, benjolan (-)
Palpasi :Hati : tidak teraba

14
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Massa : tidak ada

Perkusi :Timpani/pekak : timpani


Asites : Tidak ada
Auskultasi :Bising usus (+) normal
6. Ekstremitas :
Akral hangat
Sianosis (-)
Edema (-)
7. Dari rectal toucher
didapatkan tonus sphincter ani kuat, mukosa rektum licin, tidak ada massa,
ampulla recti intak, serta prostat teraba membesar, batas atas teraba, konsistensi
kenyal, permukaan licin, nodul tidak ada, dan nyeri tekan tidak ada, tidak ada darah
dan feses pada handscoen. Dari rectal toucher didapatkan tonus sphincter ani kuat,
mukosa rektum licin, tidak ada massa, ampulla recti intak, serta prostat teraba
membesar, batas atas teraba, konsistensi kenyal, permukaan licin, nodul tidak ada,
dan nyeri tekan tidak ada, tidak ada darah dan feses pada handscoen.

3.2 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan 17 Juni 2022 NilaiRujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,4 12,0 – 14,5 g/dL
Hematokrit 35 37 – 47 %
Eritrosit 5,4 4,2 – 5,4 106/mm3
Trombosit 272 150 – 450 103/mm3
Leukosit 11,2 4,5 – 10,5 103/mm3
MCV 85 80 – 100 fL
MCH 29 27 – 31 pg
MCHC 34 32 – 36 %
RDW 13,5 11,5 – 14,5 %

15
Eosinofil 0 0–6 %
Basofil 0 0–2 %
NeutrofilBatang 2 2–6 %
NeutrofilSegmen 55 50 – 70 %
Limfosit 30 20 – 40 %
Monosit 2 2–8 %

3.3 Diagnosis
 Benign Prostatic Hyperplasia

3.4 Tatalaksana
1. Farmakologi
 IVFD Rl 20 gtt/i
 Inj Ceftrianoe 1 gr / 12 jam
 Inj Ranitidine 1 amp / 12 jamGentamicin 25 mg / 12 jam IV
 Dutasterid 1 x 0,5 Mg
 Paracetamol drop 3 x 500 mg

1. Planing
 Pasang keteter

3.7 Prognosis
Quo Ad Vitam : Bonam
Quo Ad Fungsionam: Dubia ad Bonam

16
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Analisa Kasus


Seorang laki-laki Tn. I berusia 61 tahun, tinggal di Mon Mata, seorang petani,
datang ke RSUD dengan keluhan utama tidak dapat buang air kecil.
Kurang lebih 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sulit buang
air kecil (BAK). Pasien mengaku sulit untuk memulai BAK, dan terkadang harus disertai
dengan mengedan untuk BAK, pancaran kencing lemah, kadang terhenti kemudian
lancar kembali. Pasien juga mengeluh sering berkali-kali ke kamar mandi pada malam
hari saat tidur malam karena ingin BAK namun saat BAK hanya menetes dan merasa
kurang puas. BAK keluar batu tidak ada, BAK berdarah tidak ada, demam tidak ada,
nyeri pinggang tidak ada, buang air besar biasa.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang dengan kesadaran
compos mentis, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 98x/menit, frekuensi pernafasan
20x/menit, dan suhu 36,2°C. Status lokalis didapatkan bahwa pada regio genitalia
eksterna terpasang kateter ukuran 16F, urin keluar, warna kuning, tidak ada darah. Dari
rectal toucher didapatkan tonus sphincter ani kuat, mukosa rektum licin, tidak ada massa,
ampulla recti intak, serta prostatteraba membesar, batas atas teraba, konsistensi kenyal,
permukaan licin, nodul tidak ada, dan nyeri tekan tidak ada, tidak ada darah dan feses
pada handscoen. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
di atas pasien diagnosa Benign Prostatic Hyperplasia

17
BAB V
KESIMPULAN

Benign prostatic hyperplasia adalah suatu keadaan dimana terjadi hiperplasia sel-
sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Benign prostatic hyperplasia ini dapat
dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga
90% pada pria berusia di atas 80 tahun.
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah untuk memperbaiki keluhan
miksi, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi intravesika, mengembalikan
fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urin setelah miksi, dan
mencegah progesifitas penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa,
pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasif.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi CF. Schwartz’s principles of surgery. Ninth edition. USA: McGraw-Hills.


2010.
2. Katzung BG, Trevor AJ, Masters SB. Benign prostatic hyperplasia. In: Katzung and
Trevor’s Pharmacology. Sixth edition. USA: McGraw-Hill. 2012. p.483-86.
3. Purnomo B. Dasar-dasar urologi Edisi Ketiga. Jakarta: Sagung Seto. 2014.
4. Reksoprodjo S. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta: Staf Pengajar Bagian Ilmu Bedah
FK UI. 2010.
5. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Saluran kemih dan alat kelamin lelaki. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Bedah. Edisi ketiga. Jakarta: EGC. 2007; hlm. 899-903.
6. Strope SA. Evidence-based guidelines in lower urinary tract symptoms secondary to
benign prostatic hyperplasia and variation in care. Wolters Kluwer Health. 2018;28(00):1-
5.
7. Abedi AR. Incidental prostate cancer: a 10-year review of a tertiary center, Tehran, Iran.
Dove Med Press. 2018;10:1-6.
8. Filipovski V. Androgen receptor expression in epithelial and stromal cells of prostatic
carcinoma and benign prostatic hsyperplasia. J Mac Med Sci. 2017; 5(5):608-612.
9. Bellucci CH, Ribeiro WO, Hemerly TS. Increased detrusor collagen is associated with
detrusor overactivity and decreased bladder compliance in men with benign prostatic
obstruction. Prostate Int. 2017;5:70-74.
10. Chung ASJ, Woo HH. Update on minimally invasive surgery and benign prostatic
hyperplasia. J As Uro. 2018;5:22-27.

19

Anda mungkin juga menyukai