OLEH
KELOMPOK 2 :
ANDRAINA WULANDARI O.
EDO FARDIANTOKO
ROIDA SAPUTRI
TAHUN 2019
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
karunia, serta hidayahNya kepada kita sehingga kita dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN BENIGNA PROSTATIC
HYPERTROPHY (BPH)” dengan sebaik – baiknya.
Terima kasih kami sampaikan kepada pihak yang telah membantu dalam proses
penyusunan laporan ini, baik yang terlibat secar langsung maupun tidak langsung.
Kami meyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena
keterbatasan yang kami miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya
membangun dari para pembaca sangat kami harapkan agar terciptanya makalah yang
lebih baik lagi
Penulis
2
DAFTAR ISI
SAMPUL ................................................................................................................ 1
3
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 42
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
peningkatan intravesikal ke seluruh bagian kandung kemih sampai pada
kedua muara ureter, sehingga akibat tekanan tinggi menimbulkan aliran
balik urin dari kandung kemih ke ureter dan menimbulkan refluk vesiko
ureter. Refluks vesiko ureter menyebabkan hidroureter, hidronefrosis dan
pada akhirnya akan menyebabkan gagal ginjal (Purnomo, 2005 Dalam
Abdul dkk, 2011).
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
2. Bagaimana Klasifikasi Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
3. Apa Etiologi Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
4. Bagaimana Patofisiologi Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
5. Bagaimana Manifestasi Klinis Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
6. Apa Pemeriksaan Penunjang Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
7. Apa Komplikasi dari Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
8. Bagaimana Penatalaksanaan Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
9. Apa Saja Tindakan Mandiri Perawat pada Pasien Benigna Prostatic
Hypertrophy (BPH)?
10. Bagaimana Asuhan keperawatan Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
1.3 TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mampu menjelaskan tentang penerapan asuhan keperawatan dengan
masalah Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH).
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan konsep dasar medis pada pasien dengan Benigna Prostatic
Hypertrophy (BPH) mulai dari definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologis,
manifestasi, pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan penatalaksanaan
medik.
b. Menganalisa data serta merumuskan diagnosa pada klien dengan
Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH).
c. Membuat kesimpulan tentang asuhan keperawatan pada klien dengan
Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH).
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Benigna Prostatic hyperplasia adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai
hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat. (Yuliana elin,
nonkanker, (Corwin, 2009). Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang
menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi
patologis yang paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002)
Pembesaran pada kelenjar prostat yang dapat menyumbat aliran urin yang sering
terjadi umumnya pada pria.
2.2 KLASIFIKASI
Menurut Rumahorbo (2000), terdapat empat derajat pembesaran kelenjar prostat yaitu
sebagai berikut :
1. Derajat Rektal
Derajat rektal dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat ke arah
rektum. Rectal toucher dikatakan normal jika batas atas teraba konsistensi elastis, dapat
7
digerakan, tidak ada nyeri bila ditekan dan permukaannya rata. Tetapi rectal toucher pada
hipertropi prostat di dapatkan batas atas teraba menonjol lebih dari 1 cm dan berat prostat
diatas 35 gram.Ukuran dari pembesaran kelenjar prostat dapat menentukan derajat rectal
yaitu sebagai berikut :
2. Derajat Klinik
Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien disuruh BAK sampai
selesai dan puas, kemudian dilakukan katerisasi. Urine yang keluar dari kateter disebut sisa
urine atau residual urine. Residual urine dibagi beberapa derajat yaitu sebagai berikut :
5). Derajat IV telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama sekali. Bila kandung
kemih telah penuh dan klien merasa kesakitan, maka urine akan keluar secara menetes dan
periodik, hal ini disebut Over Flow Incontinencia. Pada derajat ini telah terdapat sisa urine
sehingga dapat terjadi infeksi atau cystitis, nocturia semakin bertambah dan kadang-kadang
terjadi hematuria.
Derajat ini dapat ditentukan dengan mempergunakan foto rontgen atau cystogram,
panendoscopy. Bila lobus medialis melewati muara uretra, berarti telah sampai pada
stadium tida derajat intra vesikal. Gejala yang timbul pada stadium ini adalah sisa urine
sudah mencapai 50-150 ml, kemungkinan terjadi infeksi semakin hebat ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh, menggigil dan nyeri di daerah pinggang serta kemungkinan telah
terjadi pyelitis dan trabekulasi bertambah.
Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk melihat sampai
seberapa jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra. Pada stadium ini telah terjadi
retensio urine total.
8
2.3 ETIOLOGI
Etiologi atau penyebab terjadinya BPH belum diketahui secara pasti, akan tetapi
stroma dan epitel – epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel
stem dan teori inflamasi (Purnomo, 2008; Bartsch, Ritttmaster & Klocker, 2010;
inilah yang secara langsung memicu m-RNA di dalam sel – sel kelenjar prostat
reduktase dan jumlah reseptor androgen terjadi lebih banyak pada kejadian
BPH. Hal ini menyebabkan sel – sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap
DHT, sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat
9
Pada usia semakin tua, kadar testosteron semakin menurun, kadar estrogen
Estrogen di dalam prostat berperan pada terjadinya proliferasi sel – sel kelenjar
prostat dengan cara meningkatkan sensitivitas sel – sel prostat terhadap
menurunkan jumlah kematian sel – sel prostat. Hal ini mengakibatkan saat
testosteron turun, merangsang terbentuknya sel – sel baru, tetapi sel – sel
prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol
oleh sel – sel stroma melalui suatu mediator yang disebut growth factor.
Setelah sel – sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel –
sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel
– sel stroma itu sendiri, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi
ini menyebabkan terjadinya poliferasi sel – sel epitel maupun sel stroma. Basic
karena miksi, ejakulasi ataupun infeksi (Purnomo, 2008; Muttaqin & Sari,
2014).
Pada jaringan yang normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel
10
dengan kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai pada prostat
dewasa, penambahan jumlah sel – sel prostat baru dengan yang mati dalam
Sel - sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel – sel baru. Pada
kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini
sel – sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga
terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel (Purnomo, 2008;
f. Teori Inflamasi
Teori ini menyatakan BPH merupakan penyakit inflamasi yang dimediasi oleh
Terdapat 43% gambaran inflamasi pada histopatologi dari 3942 pasien BPH
dan adanya 83% prostatitis pada pasien BPH. Pasien dengan prostatitis
memiliki risiko delapan kali lebih besar untuk terjadinya BPH. Hal ini
11
lebih tinggi terhadap progresifitas BPH dan terjadinya retensi urin. Pada pasien
dengan volume prostat yang kecil, hanya yang disertai dengan proses inflamasi
volume prostat dan semakin tinggi nilai International Prostate Symptom Score
2.4 PATOFISIOLOGI
obstruksi urine, yang juga mengakibatkan hipertrofi otot-otot vesika urina sebagai
kompensasi. Hipertrofi otot membentuk kantong yang berisi urin.
Tidak semua urine yang ada dalam kantong ini dapat dikeluarkan ketika
pasien berkemih (retensi urine dalam kantong). Makin lama tonus otot-otot
urinaria dengan sempurna, maka ada statis urine, karena statis urine
menjadi alkalin dan bisa menjadi medium yang baik untuk pertumbuhan
bakteri.
dan tidak deras. Sesudah berkemih, masih ada urine yang menetes. Pasien
juga merasa bahwa vesika urinari tidak menjadi kosong setelah berkemih.
iritasi dari urine yang tertahan di dalamnya. Pasien ini juga mengalami
12
masalah ginjal seperti hidronefrosis dan piolonefritis (Baradero dkk,
2007)
13
timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan
dapat menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.
1. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
saluran kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.
2. Pencitraan/Radiologis
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat
dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter
atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit
pada buli-buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur
sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan
melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
14
2.6 KOMPLIKASI
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka
pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan mengakibatkan
tekanan intravesika meningkat.
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat
pula menibulkan s
istitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi
pasien harus mengedan.
2.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia terdiri dari
penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan keperawatan menurut (Pierce
dan Neil, 2007) antara lain :
1) Penatalaksanaan medis.
a) Pemberian obat-obatan antara lain Alfa 1-blocker seperti :
doxazosin, prazosin tamsulosindan terazosin. Obat-obat tersebut menyebabkan
pengenduran otot-otot pada kandung kemih sehingga
penderita lebih mudah berkemih.
b) Beri antiandrogen yang bekerja selektif pada tingkat selular
prostat, semisal : Finasterid, obat ini menyebabkan meningkatnya
laju aliran kemih dan mengurangi gejala. Efek samping dari obat
ini adalah berkurangnya gairah seksual. Untuk prostatitis kronis
diberikan antibiotik.
15
c) Kateterisasi jika terdapat kegagalan otot detusor.
d) Dilatasi balon dan stenting pada prostat (pada pasien yang tidak
siap operasi).
e) Ubah asupan cairan oral, kurangi konsumsi kafein, alkohol,colat.
f) Pada sebagian besar pasien dilakukan pembedahan.
g) Pengangkatan bagian adenomatosa prostat dengan pembedahan.
h) Protektomi terbuka pada ukuran yang besar dapat dilakukan secara
transversal atau retropublik(insisi abdomen mendekati kelenjar
prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa
memasuki kandung kemih).
i) Dilakukan Transuretral Resection of The Prostate (TURP)
dengan elektrokauter atau laser.
Penatalaksanaan keperawatan.
a) Mandi air hangat.
b) Segera berkemih pada saat keinginan untuk berkemih muncul.
c) Menghindari minuman beralkohol.
d) Menghindari asupan cairan yang berlebihan terutama pada malam
hari.
e) Untuk mengurangi nokturia, sebaiknya kurangi asupan cairan
beberapa jam sebelum tidur.
2.8 TINDAKAN MANDIRI PERAWAT
Pengelolaan Pasien Secara umum di Ruang Rawat
1. Pre operasi
a. Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT, BT,
AL).
b. Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia
c. Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Ronten thorax
d.Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam. Sebelum
pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen puasa
minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan masuknya
udara
2. Post operasi
a. Irigasi/Spoling dengan Nacl
16
1) Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
2) Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
3) Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
4) Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
5) Hari ke 4 post operasi diklem
6) Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah (urin
dalam kateter bening)
b. Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah (cairan
serohemoragis < 50cc)
c. Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi selama 2
hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan baik obat injeksi
bisa diganti dengan obat oral.
d. Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post operasi
e. Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi dengan
betadin
f. Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
g. DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
h. Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
i. Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
j. Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan untuk
berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih dan
perdarahan dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat melemaskan
otot polos dapat membantu mengilangkan spasme. Kompres hangat pada
pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
k. Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan tapi
tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan abdomen,
perdarahan
l. Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol
berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai
kontrol berkemih.
m. Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan kemudian
jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah pembedahan.
n. Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan sejumlah
17
bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena tampak lebih
gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan memasang traksi
pada kateter sehingga balon yang menahan kateter pada tempatnya
memberikan tekannan pada fossa prostatik.
18
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
1. Identitas
2. Keluhan Utama
Merupakan keluhan yang paling dirasakan oleh klien sehingga ia mencari pertolongan.
Keluhan yang diungkapkan klien pada umumnya yaitu adanya rasa nyeri. Disuria yaitu nyeri
pada waktu kencing. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu
beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam
uretra prostatika.
Hal- hal yang perlu dikaji adalah mulai kapan keluhan dirasakan, lokasi keluhan, intensitas,
lamanya atau frekuensi, faktor yang memperberat atau memperingan serangan, serta
keluhan- keluhan lain yang menyertai dan upaya- upaya yang telah dilakukan.
Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang pernah
menderita penyakit BPH atau tidak.
5. Riwayat Pengobatan
Apakah klien pernah menggunakan obat- obatan. Yang perlu dikaji perawat yaitu: Kapan
pengobatan dimulai, Dosis dan frekuensi,Waktu berakhirnya minum obat
6. Pemeriksaan Fisik
dapatmeningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok
pada retensi urin serta urosepsis sampai syok.
19
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya
hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi ak
an menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi.
Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.
1) Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra,
batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
20
-Ajarkan pasien pengobatan non farmakologi (Managemen Nyeri)
-Kolaborasikan pemberian analgetik (Anti nyeri)
2) Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi
proses bedah.
NOC :
-Anxiety self-Control
- Anxiety level
-Coping
Kriteria hasil
-Mampu mengidentifikasi Cemas
-Mampu mengontrol Cemas
-Vital Sign dalam batas normal
-Menunjukan berkurangnya kecemasan
NIC :
-Gunakan pendekatan yang menenangkan
-Jelaskan prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
-Pahami perspektifpasien terhadap situasi strees
-Motivasi keluarga untuk menemani
-Identifikasi tingkat kecemasan
-Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya
Intruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
3) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan factor biologi
NOC :
-Nutrisitional status
- Nutrisitional status : food and Fluid intake
- Nutrisitional status : Nutrien intake
-Weight control
Kriteria hasil
21
-Berat badan (BB) ideal sesuai tinggi badan
-Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
-tidak ada tanda-tanda malnutrisi
-Peningkatan fungsi pengecapan dan menelan
-Tidak ada penurunan BB yang berarti
NIC :
-Kaji adanya alergi makanan
-Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien
-Monitor intake dan output pasien
-informasikan pentingnya nutrisi bagi pasien
4) Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan spasme kandung kemih
NOC :
Urinary elimination
-Urinary Contiunence
Kriteria hasil
-Kandung kemih kosongkan secara penuh
-Tidak ada residu urine > 100-200 cc
-Intake cairan dalam rentang normal
-Bebas dari ISK
-Tidak ada spasme bladder
- Balance Cairan seimbang
NIC :
-Observasi output urine
-Masukan kateter kemih
-Anjurkan pasien atau keluarga merekam output urine
b. Post operasi
1) Nyeri akut berhubungan agen injuri fisik
NOC :
22
- Pain level
-Pain control
-Comfort level
Kriteria hasil
-Mampu mengontrol Nyeri
-Rasa Nyeri berkurang
-Mampu mengenal Nyeri (Skala,intensitas,frekuensi)
NIC :
-Kaji skala Nyeri
-Observasi reaksi non verbal dari ketidak nyamanan
-Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengkaji pengalaman nyeri
-Ciptakan lingkunganm yang nyaman (Suhu ruangan,Pencahayaan dan
kebisingan)
-Ajarkan pasien pengobatan non farmakologi (Managemen Nyeri)
-Kolaborasikan pemberian analgetik (Anti nyeri)
2) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasiv pembedahan
NOC :
-Immune Status
-Knowledge : Infection control
-Risk control
Kriteria hasil
-Klien bebas dari tanda-tanda infeksi
-Mampu mencegah timbulnya infeksi
-Jumlah leukosit dalam jumlah normal
-Menunjukan perilaku hidup sehat
NIC :
-Monitor kerentanan terhadap infeksi
-Batasi pengunjung
-Pertahankan teknik asepsis
23
Inspeksi kondisi luka/ insisi bedah
-Berikan perawatan luka
-Motivasi untuk istirahat
-Motivasi masukan nutrisi yang cukup
-Ajarkan Cuci tangan
-Jika terlihat tanda-tanda infeksi colaborasikan dengan dokter
3) Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan b.d kurangnya
paparan informasi.
NOC :
-Mampu menggambarkan diet yang dianjurkan
-Mengetahui makanan-makanan yang boleh dikonsumsi
-Mengetahui tujuan dari diet yang dianjurkan
-Mampu memilih makanan-makanan yang dianjurkan dalam diet
NIC :
-Kaji pengetahuan tentang diet yang dianjurkan
-Berikan penyuluhan diit pada pasien post operasi
4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi pasca operasi
NOC :
-Self Care Status
-Self Care: Dressing
-Activity Tolerance
-Fatigue level
-Mobility : physiocal impaired
Ambulation
-Activity Intolerance
Kriteria hasil
-Mampu melakukan ADLs yang paling mendasar dari aktivitas perawatan diri
-Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
-Menyatakan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan
24
berpindah
NIC :
-Monitor Vital Sign
-Ajarkan Ambulasi
-Ajarkan ROM
-Ajarkan Senam Kegel
-Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri
-Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu kebutuhan ADLs
-Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
25
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Prostat merupakan sebuah kelenjar fibromuskular yang mengelilingi urethra pars
prostatica. Semakin tua laki-laki tersebut, memiliki potensi untuk terkena pembesaran
prostat atau benign prostat hyperplasia (BPH). Pembesaran akan menyebabkan
komplikasi refluks, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal dan pionefrosis pilonefritis.
Biasanya penanganan pasti pada BPH adalah pembedahan dengan cara TURP, TUIP
dan prostatektomi terbuka.
4.2 SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis mengemukakan beberapa saran.
Saran Untuk Perawat:
1. Diharapkan seorang Perawat agar dapat lebih profesional dengan
pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki sehingga dapat melakuan
penanganan pada paseien BPH dengan cepat dan tepat
2. Diharapkan seorang perawat harus lebih terampil dan selalu siap dalam
memberikan pelayanan kesehatan khususnya dalam mendiagnosis suatu
masalah yang di hadapi pasiennya agar tindakan dan pengobatan cepat dan
tepat sesuai kebutuhan klien.
3. Diharapkan seorang perawat dalam melaksanakan tugasnya di perlukan
adanya kerjasama antar tim dan diperlukan ketersediaan prasarana yang
memadai dalam meningkatkan mutu pelayanan asuhan pada klien.
4. Diharapkan lebih teliti dalam pengkajian dan analisa data, karena yang
menjadi acuan dalam menentukan diagnosa Keperawatan adalah analisa
data sebelum menentukan rencana tindakannya.
26
DAFTAR PUSTAKA
27