Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN

BENIGNA PROSTATIC HYPERTROPHY (BPH)

OLEH
KELOMPOK 2 :
ANDRAINA WULANDARI O.
EDO FARDIANTOKO
ROIDA SAPUTRI

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KENDEDES MALANG

TAHUN 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
karunia, serta hidayahNya kepada kita sehingga kita dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN BENIGNA PROSTATIC
HYPERTROPHY (BPH)” dengan sebaik – baiknya.

Terima kasih kami sampaikan kepada pihak yang telah membantu dalam proses
penyusunan laporan ini, baik yang terlibat secar langsung maupun tidak langsung.

Kami meyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena
keterbatasan yang kami miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya
membangun dari para pembaca sangat kami harapkan agar terciptanya makalah yang
lebih baik lagi

Malang, 1 November 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

SAMPUL ................................................................................................................ 1

KATA PENGANTAR .............................................................................................. 2

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 5

1.1 Latar Belakang ..................................................................................


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................
1.3 Tujuan ...............................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 7

2.1 Pengertian Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH) ............................ 7


2.2 Klasifikasi Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH) .............................. 7
2.3 Etiologi Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH) ................................... 11
2.4 Patofisiologi Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH) .......................... 14
2.5 Manifestasi Klinis Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH) ................... 18
2.6 Pemeriksaan Penunjang Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH) ........
2.7 Komplikasi Combustio .......................................................................
2.8 Penatalaksanaan Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH) ................... 19
2.9 Tindaakan Mandiri Pada Pasien Benigna Prostatic Hypertrophy
(BPH) ................................................................................................ 24

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN....................................................................... 27

3.1 Pengkajian ........................................................................................ 32


3.2 Diagnosa Keperawatan ..................................................................... 38
3.3 Intevensi Keperawatan ......................................................................

BAB IV PENUTUP ................................................................................................ 41

4.1 Kesimpulan ...................................................................................... 41

4.2 Saran ............................................................................................... 41

3
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 42

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH) adalah pembesaran prostat
yang jinak, pembesaran prostat menyebabkan penyempitan saluran
kencing dan tekanan dibawah kandung kemih (Mary, dkk 2014). Menurut
Schwartz (2009), BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami
pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.
Kelainan kelenjar prostate merupakan penyakit yang sering
ditemukan khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Kelainan kelenjar prostate dikenal Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
yaitu berupa pembesaran prostat atau hiperplasia prostat (Abdul dkk,
2011).
Prevalensi BPH di dunia menurut data WHO, memperkirakan terdapat
sekitar 70 juta kasus degeneratif. Salah satunya adalah BPH, dengan
insidensi di negara maju sebanyak 19%, sedangkan di negara berkembang
sebanyak 5,35% kasus, yang ditemukan pada pria dengan usia lebih dari
65 tahun dan dilakukan pembedahan setiap tahunnya. (WHO, 2013)
Tingginya kejadian BPH di Indonesia telah menempatkan BPH
sebagai penyebab angka kesakitan nomor 2 terbanyak setelah penyakit batu
pada saluran kemih. Tahun 2013 di Indonesia terdapat 9,2 juta kasus BPH,
diantaranya diderita pada pria berusia di atas 60 tahun (Riskesdas,
2013).
Menurut Mary dkk (2013), pada laki-laki, kelenjar prostat berada di
bawah kandung kemih, mengelilingi saluran uretra. Ketika pria bertambah
umur, prostat melebar, menimbulkan tekanan di sekeliling dan
menyebabkan gejala seperti sering kencing dan resitensi urin.
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra
prostatika sehingga menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan

5
peningkatan intravesikal ke seluruh bagian kandung kemih sampai pada
kedua muara ureter, sehingga akibat tekanan tinggi menimbulkan aliran
balik urin dari kandung kemih ke ureter dan menimbulkan refluk vesiko
ureter. Refluks vesiko ureter menyebabkan hidroureter, hidronefrosis dan
pada akhirnya akan menyebabkan gagal ginjal (Purnomo, 2005 Dalam
Abdul dkk, 2011).
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
2. Bagaimana Klasifikasi Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
3. Apa Etiologi Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
4. Bagaimana Patofisiologi Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
5. Bagaimana Manifestasi Klinis Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
6. Apa Pemeriksaan Penunjang Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
7. Apa Komplikasi dari Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
8. Bagaimana Penatalaksanaan Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
9. Apa Saja Tindakan Mandiri Perawat pada Pasien Benigna Prostatic
Hypertrophy (BPH)?
10. Bagaimana Asuhan keperawatan Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)?
1.3 TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mampu menjelaskan tentang penerapan asuhan keperawatan dengan
masalah Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH).
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan konsep dasar medis pada pasien dengan Benigna Prostatic
Hypertrophy (BPH) mulai dari definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologis,
manifestasi, pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan penatalaksanaan
medik.
b. Menganalisa data serta merumuskan diagnosa pada klien dengan
Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH).
c. Membuat kesimpulan tentang asuhan keperawatan pada klien dengan
Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH).

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Benigna Prostatic hyperplasia adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai
hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat. (Yuliana elin,

2011). Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat

nonkanker, (Corwin, 2009). Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang

disebabkan oleh penuaan. (Price&Wilson, 2005). Hiperplasia prostat jinak (BPH)

adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar

atauhiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan

hipertropi prostat namun secara histologi yang dominan adalah hyperplasia

(Sabiston, David C, 2005)

BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar

prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan

menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi

patologis yang paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002)

Dapat disimpulkan bahwa BPH (Benigna Prostatic hyperplasia) merupakan

Pembesaran pada kelenjar prostat yang dapat menyumbat aliran urin yang sering
terjadi umumnya pada pria.

2.2 KLASIFIKASI

Menurut Rumahorbo (2000), terdapat empat derajat pembesaran kelenjar prostat yaitu
sebagai berikut :

1. Derajat Rektal

Derajat rektal dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat ke arah
rektum. Rectal toucher dikatakan normal jika batas atas teraba konsistensi elastis, dapat

7
digerakan, tidak ada nyeri bila ditekan dan permukaannya rata. Tetapi rectal toucher pada
hipertropi prostat di dapatkan batas atas teraba menonjol lebih dari 1 cm dan berat prostat
diatas 35 gram.Ukuran dari pembesaran kelenjar prostat dapat menentukan derajat rectal
yaitu sebagai berikut :

1). Derajat O : Ukuran pembesaran prostat 0-1 cm

2). Derajat I : Ukuran pembesaran prostat 1-2 cm

3). Derajat II : Ukuran pembesaran prostat 2-3 cm

4). Derajat III : Ukuran pembesaran prostat 3-4 cm

5). Derajat IV : Ukuran pembesaran prostat lebih dari 4 cm

2. Derajat Klinik

Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien disuruh BAK sampai
selesai dan puas, kemudian dilakukan katerisasi. Urine yang keluar dari kateter disebut sisa
urine atau residual urine. Residual urine dibagi beberapa derajat yaitu sebagai berikut :

1). Normal sisa urine adalah nol

2). Derajat I sisa urine 0-50 ml

3). Derajat II sisa urine 50-100 ml

4). Derajat III sisa urine 100-150 ml

5). Derajat IV telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama sekali. Bila kandung
kemih telah penuh dan klien merasa kesakitan, maka urine akan keluar secara menetes dan
periodik, hal ini disebut Over Flow Incontinencia. Pada derajat ini telah terdapat sisa urine
sehingga dapat terjadi infeksi atau cystitis, nocturia semakin bertambah dan kadang-kadang
terjadi hematuria.

3. Derajat Intra Vesikal

Derajat ini dapat ditentukan dengan mempergunakan foto rontgen atau cystogram,
panendoscopy. Bila lobus medialis melewati muara uretra, berarti telah sampai pada
stadium tida derajat intra vesikal. Gejala yang timbul pada stadium ini adalah sisa urine
sudah mencapai 50-150 ml, kemungkinan terjadi infeksi semakin hebat ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh, menggigil dan nyeri di daerah pinggang serta kemungkinan telah
terjadi pyelitis dan trabekulasi bertambah.

4. Derajat Intra Uretral

Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk melihat sampai
seberapa jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra. Pada stadium ini telah terjadi
retensio urine total.

8
2.3 ETIOLOGI

Etiologi atau penyebab terjadinya BPH belum diketahui secara pasti, akan tetapi

ada hipotesis yang menyebutkan bahwa BPH sangat berkaitan dengan

peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Etiologi atau

penyebab yang belum jelas menyebabkan munculnya beberapa hipotesa yang

diduga menjadi penyebab timbulnya BPH, yaitu teori dehidrotestosteron (DHT),

teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi

stroma dan epitel – epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel

stem dan teori inflamasi (Purnomo, 2008; Bartsch, Ritttmaster & Klocker, 2010;

Boyle & Gould, 2011; Muttaqin & Sari, 2014).

a. Teori Dihidrotestosteron (DHT)

Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon testosteron. Pada

kelenjar prostat, hormon ini akan dirubah menjadi metabolit aktif

dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5 alfa – reduktase. DHT

inilah yang secara langsung memicu m-RNA di dalam sel – sel kelenjar prostat

untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar

prostat. Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa aktivitas enzim 5 alfa –

reduktase dan jumlah reseptor androgen terjadi lebih banyak pada kejadian

BPH. Hal ini menyebabkan sel – sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap

DHT, sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat

yang normal (Bartsch, Ritttmaster & Klocker, 2010).

b. Teori Hormon (Ketidakseimbangan antara Estrogen dan Testosteron)

9
Pada usia semakin tua, kadar testosteron semakin menurun, kadar estrogen

relatif tetap, sehingga perbandingan estrogen dan testosteron relatif meningkat.

Estrogen di dalam prostat berperan pada terjadinya proliferasi sel – sel kelenjar
prostat dengan cara meningkatkan sensitivitas sel – sel prostat terhadap

rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan

menurunkan jumlah kematian sel – sel prostat. Hal ini mengakibatkan saat

testosteron turun, merangsang terbentuknya sel – sel baru, tetapi sel – sel

prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa

prostat menjadi lebih besar (Muttaqin & Sari, 2014).

c. Faktor Interaksi Stroma dan Epitel – Epitel

Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol

oleh sel – sel stroma melalui suatu mediator yang disebut growth factor.

Setelah sel – sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel –

sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel

– sel stroma itu sendiri, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi

ini menyebabkan terjadinya poliferasi sel – sel epitel maupun sel stroma. Basic

Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan

ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan

pembesaran prostat jinak. bFGF muncul diakibatkan adanya mikrotrauma

karena miksi, ejakulasi ataupun infeksi (Purnomo, 2008; Muttaqin & Sari,

2014).

d. Teori Berkurangnya Kematian Sel (Apoptosis)

Pada jaringan yang normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel

10
dengan kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai pada prostat

dewasa, penambahan jumlah sel – sel prostat baru dengan yang mati dalam

keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel – sel prostat yang mengalami

apoptosis menyebabkan jumlah sel – sel prostat secara keseluruhan menjadi

meningkat sehingga menyebabkan pertambahan masa prostat (Purnomo, 2008;

Muttaqin & Sari, 2014).

e. Teori Sel Stem

Sel - sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel – sel baru. Pada

kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini

sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika kadar

hormon androgen menurun, maka akan terjadi apoptosis. Terjadinya proliferasi

sel – sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga

terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel (Purnomo, 2008;

Muttaqin & Sari, 2014).

f. Teori Inflamasi

Teori ini menyatakan BPH merupakan penyakit inflamasi yang dimediasi oleh

proses imunologi. Uji klinis menunjukkan adanya hubungan antara proses

inflamasi pada prostat dengan Lower Urinary Tract Syndrome (LUTS).

Terdapat 43% gambaran inflamasi pada histopatologi dari 3942 pasien BPH

dan adanya 83% prostatitis pada pasien BPH. Pasien dengan prostatitis

memiliki risiko delapan kali lebih besar untuk terjadinya BPH. Hal ini

menunjukkan pasien dengan inflamasi kronik pada prostat memiliki risiko

11
lebih tinggi terhadap progresifitas BPH dan terjadinya retensi urin. Pada pasien

dengan volume prostat yang kecil, hanya yang disertai dengan proses inflamasi

yang mengalami gejala obstruksi. Inflamasi prostat juga dikaitkan dengan

pembesaran volume prostat, semakin berat derajat inflamasi, semakin besar

volume prostat dan semakin tinggi nilai International Prostate Symptom Score

(IPSS) (Boyle & Gould, 2011).

2.4 PATOFISIOLOGI

Saat keadaan prostat membesar akan menekan uretra sehingga timbul

obstruksi urine, yang juga mengakibatkan hipertrofi otot-otot vesika urina sebagai
kompensasi. Hipertrofi otot membentuk kantong yang berisi urin.

Tidak semua urine yang ada dalam kantong ini dapat dikeluarkan ketika

pasien berkemih (retensi urine dalam kantong). Makin lama tonus otot-otot

vesika urinaria menjadi jelek. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika

urinaria dengan sempurna, maka ada statis urine, karena statis urine

menjadi alkalin dan bisa menjadi medium yang baik untuk pertumbuhan

bakteri.

Obstruksi urin berkembang secara perlahan. Aliran urin tidak banyak

dan tidak deras. Sesudah berkemih, masih ada urine yang menetes. Pasien

juga merasa bahwa vesika urinari tidak menjadi kosong setelah berkemih.

Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urine. Vesika urinaria mengalami

iritasi dari urine yang tertahan di dalamnya. Pasien ini juga mengalami

nokturia, disuria, urgensi, dan sering berkemih. Hematuria bisa timbul

karena ruptur pembuluh darah. Refluks dari urine bisa menyebabkan

12
masalah ginjal seperti hidronefrosis dan piolonefritis (Baradero dkk,

2007)

2.5 MANIFESTASI KLINIS

Menurut Arora P.Et al 2006


1. Gejala iritatif meliputi :
a. Peningkatan frekuensi berkemih
b. Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
d. Nyeri pada saat miksi (disuria)
2. Gejala obstruktif meliputi :
a. Pancaran urin melemah
b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
c. Kalau mau miksi harus menunggu lama
d. Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
f. Urin terus menetes setelah berkemih
g. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan
inkontinensia karena penumpukan berlebih.
h. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk
sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume
residu yang besar.
3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan
rasa tidak nyaman pada epigastrik.
Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005)
a. Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak
puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
b. Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan
mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam
bertambah hebat.
c. Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa

13
timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan
dapat menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan
pada pasien dengan BPH adalah :

1. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
saluran kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.
2. Pencitraan/Radiologis
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat
dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter
atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit
pada buli-buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur
sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan
melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

14
2.6 KOMPLIKASI
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :

1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi

2. Infeksi saluran kemih

3. Involusi kontraksi kandung kemih

4. Refluk kandung kemih.

5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka
pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan mengakibatkan
tekanan intravesika meningkat.

6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi

7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat
pula menibulkan s
istitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.

8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi
pasien harus mengedan.

2.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia terdiri dari
penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan keperawatan menurut (Pierce
dan Neil, 2007) antara lain :
1) Penatalaksanaan medis.
a) Pemberian obat-obatan antara lain Alfa 1-blocker seperti :
doxazosin, prazosin tamsulosindan terazosin. Obat-obat tersebut menyebabkan
pengenduran otot-otot pada kandung kemih sehingga
penderita lebih mudah berkemih.
b) Beri antiandrogen yang bekerja selektif pada tingkat selular
prostat, semisal : Finasterid, obat ini menyebabkan meningkatnya
laju aliran kemih dan mengurangi gejala. Efek samping dari obat
ini adalah berkurangnya gairah seksual. Untuk prostatitis kronis
diberikan antibiotik.

15
c) Kateterisasi jika terdapat kegagalan otot detusor.
d) Dilatasi balon dan stenting pada prostat (pada pasien yang tidak
siap operasi).
e) Ubah asupan cairan oral, kurangi konsumsi kafein, alkohol,colat.
f) Pada sebagian besar pasien dilakukan pembedahan.
g) Pengangkatan bagian adenomatosa prostat dengan pembedahan.
h) Protektomi terbuka pada ukuran yang besar dapat dilakukan secara
transversal atau retropublik(insisi abdomen mendekati kelenjar
prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa
memasuki kandung kemih).
i) Dilakukan Transuretral Resection of The Prostate (TURP)
dengan elektrokauter atau laser.
Penatalaksanaan keperawatan.
a) Mandi air hangat.
b) Segera berkemih pada saat keinginan untuk berkemih muncul.
c) Menghindari minuman beralkohol.
d) Menghindari asupan cairan yang berlebihan terutama pada malam
hari.
e) Untuk mengurangi nokturia, sebaiknya kurangi asupan cairan
beberapa jam sebelum tidur.
2.8 TINDAKAN MANDIRI PERAWAT
Pengelolaan Pasien Secara umum di Ruang Rawat
1. Pre operasi
a. Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT, BT,
AL).
b. Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia
c. Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Ronten thorax
d.Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam. Sebelum
pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen puasa
minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan masuknya
udara
2. Post operasi
a. Irigasi/Spoling dengan Nacl

16
1) Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
2) Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
3) Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
4) Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
5) Hari ke 4 post operasi diklem
6) Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah (urin
dalam kateter bening)
b. Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah (cairan
serohemoragis < 50cc)
c. Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi selama 2
hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan baik obat injeksi
bisa diganti dengan obat oral.
d. Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post operasi
e. Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi dengan
betadin
f. Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
g. DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
h. Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
i. Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
j. Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan untuk
berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih dan
perdarahan dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat melemaskan
otot polos dapat membantu mengilangkan spasme. Kompres hangat pada
pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
k. Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan tapi
tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan abdomen,
perdarahan
l. Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol
berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai
kontrol berkemih.
m. Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan kemudian
jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah pembedahan.
n. Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan sejumlah

17
bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena tampak lebih
gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan memasang traksi
pada kateter sehingga balon yang menahan kateter pada tempatnya
memberikan tekannan pada fossa prostatik.

18
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN
1. Identitas

BPH merupakan pembesaran progresif dari kelenjar prostat (


secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obs
truksi uretral dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 ). Hiperplasia
prostat atau BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak
disebabkan oleh hyperplasia beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan
penyumbatan uretra pars prostatika (Muttaqin : 2012).

2. Keluhan Utama

Merupakan keluhan yang paling dirasakan oleh klien sehingga ia mencari pertolongan.
Keluhan yang diungkapkan klien pada umumnya yaitu adanya rasa nyeri. Disuria yaitu nyeri
pada waktu kencing. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu
beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam
uretra prostatika.

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Hal- hal yang perlu dikaji adalah mulai kapan keluhan dirasakan, lokasi keluhan, intensitas,
lamanya atau frekuensi, faktor yang memperberat atau memperingan serangan, serta
keluhan- keluhan lain yang menyertai dan upaya- upaya yang telah dilakukan.

4. Riwayat Personal dan Keluarga

Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang pernah
menderita penyakit BPH atau tidak.

5. Riwayat Pengobatan

Apakah klien pernah menggunakan obat- obatan. Yang perlu dikaji perawat yaitu: Kapan
pengobatan dimulai, Dosis dan frekuensi,Waktu berakhirnya minum obat

6. Pemeriksaan Fisik

a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi

dapatmeningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok
pada retensi urin serta urosepsis sampai syok.

19
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya
hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi ak
an menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi.
Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.

1) Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra,
batu uretra, karsinoma maupun fimosis.

2) Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis.

3) Rectal touch/pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi si


stim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat
diketahui derajat dari BPH, yaitu :

Derajat I = beratnya ± 20 gram.

Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.

Derajat III = beratnya > 40 gram.

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


a. Pre operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi
NOC :
- Pain level
- Pain control
- Comfort level
Kriteria hasil
- Mampu mengontrol Nyeri
- Rasa Nyeri berkurang
- Mampu mengenal Nyeri (Skala,intensitas,frekuensi)
NIC :
- Kaji skala Nyeri
- Observasi reaksi non verbal dari ketidak nyamanan
- Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengkaji pengalaman nyeri
Ciptakan lingkunganm yang nyaman (Suhu ruangan,Pencahayaan dan
kebisingan)

20
-Ajarkan pasien pengobatan non farmakologi (Managemen Nyeri)
-Kolaborasikan pemberian analgetik (Anti nyeri)
2) Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi
proses bedah.
NOC :
-Anxiety self-Control
- Anxiety level
-Coping
Kriteria hasil
-Mampu mengidentifikasi Cemas
-Mampu mengontrol Cemas
-Vital Sign dalam batas normal
-Menunjukan berkurangnya kecemasan
NIC :
-Gunakan pendekatan yang menenangkan
-Jelaskan prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
-Pahami perspektifpasien terhadap situasi strees
-Motivasi keluarga untuk menemani
-Identifikasi tingkat kecemasan
-Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya
Intruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
3) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan factor biologi
NOC :
-Nutrisitional status
- Nutrisitional status : food and Fluid intake
- Nutrisitional status : Nutrien intake
-Weight control
Kriteria hasil

21
-Berat badan (BB) ideal sesuai tinggi badan
-Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
-tidak ada tanda-tanda malnutrisi
-Peningkatan fungsi pengecapan dan menelan
-Tidak ada penurunan BB yang berarti
NIC :
-Kaji adanya alergi makanan
-Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien
-Monitor intake dan output pasien
-informasikan pentingnya nutrisi bagi pasien
4) Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan spasme kandung kemih
NOC :
Urinary elimination
-Urinary Contiunence
Kriteria hasil
-Kandung kemih kosongkan secara penuh
-Tidak ada residu urine > 100-200 cc
-Intake cairan dalam rentang normal
-Bebas dari ISK
-Tidak ada spasme bladder
- Balance Cairan seimbang
NIC :
-Observasi output urine
-Masukan kateter kemih
-Anjurkan pasien atau keluarga merekam output urine
b. Post operasi
1) Nyeri akut berhubungan agen injuri fisik
NOC :

22
- Pain level
-Pain control
-Comfort level
Kriteria hasil
-Mampu mengontrol Nyeri
-Rasa Nyeri berkurang
-Mampu mengenal Nyeri (Skala,intensitas,frekuensi)
NIC :
-Kaji skala Nyeri
-Observasi reaksi non verbal dari ketidak nyamanan
-Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengkaji pengalaman nyeri
-Ciptakan lingkunganm yang nyaman (Suhu ruangan,Pencahayaan dan
kebisingan)
-Ajarkan pasien pengobatan non farmakologi (Managemen Nyeri)
-Kolaborasikan pemberian analgetik (Anti nyeri)
2) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasiv pembedahan
NOC :
-Immune Status
-Knowledge : Infection control
-Risk control
Kriteria hasil
-Klien bebas dari tanda-tanda infeksi
-Mampu mencegah timbulnya infeksi
-Jumlah leukosit dalam jumlah normal
-Menunjukan perilaku hidup sehat
NIC :
-Monitor kerentanan terhadap infeksi
-Batasi pengunjung
-Pertahankan teknik asepsis

23
Inspeksi kondisi luka/ insisi bedah
-Berikan perawatan luka
-Motivasi untuk istirahat
-Motivasi masukan nutrisi yang cukup
-Ajarkan Cuci tangan
-Jika terlihat tanda-tanda infeksi colaborasikan dengan dokter
3) Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan b.d kurangnya
paparan informasi.
NOC :
-Mampu menggambarkan diet yang dianjurkan
-Mengetahui makanan-makanan yang boleh dikonsumsi
-Mengetahui tujuan dari diet yang dianjurkan
-Mampu memilih makanan-makanan yang dianjurkan dalam diet
NIC :
-Kaji pengetahuan tentang diet yang dianjurkan
-Berikan penyuluhan diit pada pasien post operasi
4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi pasca operasi
NOC :
-Self Care Status
-Self Care: Dressing
-Activity Tolerance
-Fatigue level
-Mobility : physiocal impaired
Ambulation
-Activity Intolerance
Kriteria hasil
-Mampu melakukan ADLs yang paling mendasar dari aktivitas perawatan diri
-Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
-Menyatakan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan

24
berpindah
NIC :
-Monitor Vital Sign
-Ajarkan Ambulasi
-Ajarkan ROM
-Ajarkan Senam Kegel
-Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri
-Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu kebutuhan ADLs
-Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan

25
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Prostat merupakan sebuah kelenjar fibromuskular yang mengelilingi urethra pars
prostatica. Semakin tua laki-laki tersebut, memiliki potensi untuk terkena pembesaran
prostat atau benign prostat hyperplasia (BPH). Pembesaran akan menyebabkan
komplikasi refluks, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal dan pionefrosis pilonefritis.
Biasanya penanganan pasti pada BPH adalah pembedahan dengan cara TURP, TUIP
dan prostatektomi terbuka.

4.2 SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis mengemukakan beberapa saran.
Saran Untuk Perawat:
1. Diharapkan seorang Perawat agar dapat lebih profesional dengan
pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki sehingga dapat melakuan
penanganan pada paseien BPH dengan cepat dan tepat
2. Diharapkan seorang perawat harus lebih terampil dan selalu siap dalam
memberikan pelayanan kesehatan khususnya dalam mendiagnosis suatu
masalah yang di hadapi pasiennya agar tindakan dan pengobatan cepat dan
tepat sesuai kebutuhan klien.
3. Diharapkan seorang perawat dalam melaksanakan tugasnya di perlukan
adanya kerjasama antar tim dan diperlukan ketersediaan prasarana yang
memadai dalam meningkatkan mutu pelayanan asuhan pada klien.
4. Diharapkan lebih teliti dalam pengkajian dan analisa data, karena yang
menjadi acuan dalam menentukan diagnosa Keperawatan adalah analisa
data sebelum menentukan rencana tindakannya.

26
DAFTAR PUSTAKA

Engram Barbara, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Vol 3.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Brunner dan Suddarth. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Nurarif, Amin Huda, dkk. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Media Action Publishing.
Wijaya Andra Saferi, dkk. 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Penerbit Nuha Medika.

27

Anda mungkin juga menyukai