Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehamilan merupakan proses berkembangnya embrio di dalam rahim
seorang wanita. Selama masa kehamilan, ibu dan bayi yang dikandung dapat
berada resiko kesehatan yang tidak terduga. Oleh karena itu seluruh kehamilan
harus dapat terpantau oleh tenaga kesehatan yang terlatih. Setiap harinya
diseluruh dunia terdapat 800 kematian perempuan yang berkaitan dengan
kehamilan dan persalinan (WHO, 2015).
Kematian ibu 99% terdapat pada negara berkembang. Angka kematian ibu
dan angka kematian bayi di Indonesia masih terbilang tinggi, berdasarkan
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan
Angka Kematian Ibu (AKI) 359 per 100.000 kelahiran hidup sedangkan
Angka Kematian Bayi (AKB) mengalami penurunan sedikit dari tahun 2007
yaitu 32 per 1.000 kelahiran hidup. Dikutip dari Depkes 2013 bahwa jumlah
kematian ibu di Provinsi Jawa Timur mengalami penurunan yang cukup
bermakna, dari 642 kematian (tahun 2013) menjadi 291 kematian (hingga
Agustus 2014). Penyebab terbanyak kematian ibu hamil adalah preeklampsia
dan sebagian besar juga diakibatkan keterlambatan pengambilan keputusan
keluarga untuk membawa ibu hamil berisiko tinggi ke pusat rujukan (Depkes,
2014).
Peran bidan dalam upaya penurunan AKI adalah memberikan asuhan salah
satunya dengan antenatal care (ANC). ANC adalah pengupayaan observasi
berencana dan teratur terhadap ibu hamil melalui pemeriksaan, pendidikan,
pengawasan secara dini terhadap komplikasi dan penyakit ibu yang dapat
memengaruhi kehamilan (Manuaba, 2010). Salah satu fungsi dari ANC yang
rutin adalah untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya preeklampsia yang
sebagaimana telah diketahui bahwa preeklampsia merupakan penyebab
kematian ibu terbanyak. Preeklampsia merupakan suatu keadaan dimana ibu
hamil memiliki tekanan darah yang tinggi serta protein uri di usia kehamilan
lebih dari 20 minggu (Cynthia D. White, 2014). Preeklampsia merupakan
masalah yang serius dan memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Besarnya
masalah ini bukan hanya karena preeklampsia berdampak pada ibu saat hamil
dan melahirkan, namun juga menimbulkan masalah pasca persalinan akibat
disfungsi endotel di berbagai organ, seperti risiko penyakit kardiometabolik
dan komplikasi lainnya. Ibu hamil dengan preeklampsia umumnya tidak
merasakan sakit, sehingga hal inilah yang perlu mendapatkan perhatian
khusus.
Diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan
eklampsia, serta mengetahui penanganannya dengan segera akan membantu
menurunkan kejadian eklampsia atau kematian yang disebabkan oleh
preeklampsia. Bidan harus mampu melakukan penanganan yang cepat dan
tepat dalam penanganan awal dan sistem rujukan agar kematian akibat
preeklampsia berat dapat dihindari. Bidan sebagai ujung tombak pelayanan
kesegahatan ibu sudah seharusnya dapat mendeteksi serta menangani apabila
terjadi preeklampsia agar angka kematian ibu dapat ditekan. Oleh karena itu
sebagai mahasiswa bidan sebaiknya memahami dan mengerti tentang asuhan
kehamilan pada ibu dengan preeklampsia, sehingga apabila kelak mendapati
pasien dengan preeklampsia sudah dapat mengerti dan melakukan asuhan
yang tepat.
1.2 Tujuan
1.2.1 TujuanUmum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan kebidanan pada ibu bersalin
dengan pre eklampsia dengan menggunakan pendekatan manejemen
kebidanan dan dokumentasi SOAP.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mampu menjelaskan konsep dasar persalinan patologis dengan pre
eklampsia berat
2. Mampu menjelaskan konsep dasar asuhan kebidanan pada persalinan
patologis dengan pre eklampsia berat
3. Mampu mendokumentasikan asuhan kebidanan pada persalinan patologis
dengan pre eklnapsia berat menggunakan dokumentasi SOAP
4. Mahasiswa mampu melakukan pembahasan pada ibu bersalin patologis
dengan pre eklmapsia berat
1.3 Manfaat
1.3.1 Mahasiswa dapat melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan
preekalampsia sesuai dengan kebutuhan dan masalahnya secara
komprehensif sesuai dengan teori yang telah diberikan sebelumya pada
waktu kuliah
1.3.2 Menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa mengenai asuhan
kebidanan kepada ibu hamil.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi dalam kehamilan


Hipertensi dalam kehamilan di definisikan sebagai tekanan darah sistolik
sekurang-kurangnya 140 mmHg dan tekanan diastolic sekurang-kurangnya 90
mmHg. Signifikan setiap pengukuran tekanan darah berhubungan dengan usia
gestasi dalam kehamilan. Nilai tersebut diukur sekurang-kurangnya dua kali
dengan perbedaan waktu 6 jam atau lebih dalam keadaan istirahat (Manuaba,
2008).
Wanita hamil dengan tekanan darah ≥140/90 mmHg

UK < 20 minggu UK > 20 minggu

Tanpa atau Onset baru/Peningkatan Dengan Tanpa gangguan


protein uria protein uria, peningkatan gangguan organ organ
yang stabil tekanan darah, gejala
multi organ

Hipertensi HIpertensi kronis


Preeklampsia Hipertensi
Kronis Superimposed Pre
Gestasional
eklampsia

2.2 Definisi Pre Eklampsia


Preeklamsia merupakan kelainan multi sistem tubuh dengan karakteristik
tekanan darah tinggi dan adanya protein urine atau disfungsi organ pada
kehamilan di atas 20 minggu pada wanita yang sebelumnya memiliki tensi
normal (Phyllis August, 2015).
Preeklampsia dan eklampsia dianggap sebagai maladaptation syndrome
(sindrom yang muncul karena kegagalan adaptasi) akibat vasopasme
menyeluruh dengan segala akibatnya (Nugroho, 2010).
2.2.1 Klasifikasi Preeklamsia
Bukti – bukti juga menunjukkan bahwa preeklamsia merupakan proses
dinamis dan progresif sehingga diagnosa ‘preeklamsia ringan’ sudah tidak
tepat lagi (Preeclampsia Foundation, 2013). Kriteria diagnostik yang lebih
tepat digunakan adalah preeklamsia tanpa tanda gangguan berat dan
preeklampsia dengan gangguan berat (ACOG, 2013). Seperti telah disebutkan
sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru
terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya
gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak
dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan gangguan organ
spesifik akibat preeklampsia tersebut. Berikut adalahklasifikasi preeklamsia
berdasarkan rekomendasi ACOG tahun 2013 dan POGI 2016 :
1. Preeklamsia tanpa tanda gangguan berat
Kriteria minimal Preeklampsia
a. Hipertensi : Tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau
90 mmHg diastolik pada 2 kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama.
b. Dan Protein urin : Protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes
urin dipstick > positif 1
Jika tidak didapatkan protein urin, hipertensi dapat di ikuti salah satu
dibawah ini :
a. Trombositopenia : Trombosit < 100.000/microliter
b. Gangguan ginjal : Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan
penigkatan kadar kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi dimana
tidak ada kelainan ginjal lainnya.
c. Gangguan Liver : Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / region kanan atas abdomen.
d. Edema paru
e. Gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus.
f. Gangguan sirkulasi : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR),
atau di dapatkan
g. Uteroplasenta : adanya Absent or Reversed end Diastolic Velocity
(ARDV)
2. Preeklamsia dengan gangguan berat
Gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan
menjadi kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia
berat. Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan
preeklampsia atau preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini :
Kriteria Preeklampsia berat (diagnosis preeklampsia dipenuhi dan jika
didapatkan salah satu kondisi klinis dibawah ini :
a. Hipertensi : Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau
110 mmHg diastolik pada 2 kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama.
b. Dan Protein urin : Protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes
urin dipstick > positif 1
Jika tidak didapatkan protein urin, hipertensi dapat di ikuti salah satu
dibawah ini :
a. Trombositopenia : Trombosit < 100.000/microliter
b. Gangguan ginjal : Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan
penigkatan kadar kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi dimana
tidak ada kelainan ginjal lainnya.
c. Gangguan Liver : Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / region kanan atas abdomen.
d. Edema paru : Penderita preeklampsia berat mempunyai risiko besar
terjadinya edema paru. Edema paru dapat disebabkan oleh payah jantung
kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapilar, dan
menurunnya diuresis.
Edema dapat terjadi pada kehamilan normal. Edema terjadi karena
hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel kapilar. Edema yang
patologik adalah edema yang nondependent pada muka dan tangan, atau
edema generalisata. Kadang-kadang edema tidak terlihat jelas pada
pemeriksaan, tetapi termanifestasi sendiri dalam bentuk kenaikan berat
badan mendadak yang disebut sebagai occult oedema atau edema
tersamar. Kenaikan berat badan yang mendadak sebanyak 1 kg atau
lebih dalam seminggu (atau 3 kg dalam sebulan) adalah indikasi
preeklampsia.
e. Gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus.
f. Gangguan sirkulasi : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR),
atau di dapatkan
g. Uteroplasenta : adanya Absent or Reversed end Diastolic Velocity
(ARDV) Preeklampsia-eklampsia memberi pengaruh buruk pada
kesehatan janin yang disebabkan oleh menurunnya perfusi uteroplasenta,
hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah
plasenta.
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara
kuantitas protein urinterhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi protein
urin masif ( lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria pemberatan
preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi
mengkategorikan lagi preeklampsia ringan, dikarenakan setiap preeklampsia
merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat mengakibatkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam waktu singkat (PNPK,
2016).
2.2.2 Etiologi
Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Banyak teori dikemukakan para ahli yang mencoba menerangkan
penyebabnya, namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan.
Menurut Sarwono 2010, beberapa teori yang dikemukakan adalah:
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas dan disfungsi endotel
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
4. Teori adaptasi kardiovaskulargenetik
5. Teori defisiensi gizi
6. Teori inflamasi
2.2.3 Patofisiologi
Patofisiologi Preeklamsia

Kegagalan migrasi trofoblas interstitial sel dan endothelial trofoblast ke dalam arterioli miometrium

Penyakit Maternal: Faktor Imunologis, kebutuhan Faktor trofoblast


Hipertensi darah, nutrisi, dan oksigen berlebihan:hamil
Kardiovaskular Penyakit tidak terpenuhi setelah 20 ganda,mola hidatidosa,
Ginjal minggu hamil + DM

Iskemia region uteroplasenter

Terapi HDK: Bahan toksis Sitokin


Medikamentosa menurut: Perubahan terjadi: bahan Lipid Peroksid
Vasokonstriksi, Pritchard, toksis, aktivitas endothelium Kreatinin meningkat
ZuspanatauSibai. meningkat, perlu endotel
Terminasi Kehamilan

Hipertensi Permeabilitas Kapiler Meningkat Perlukaan Endotel

Iskemia organ vital Edema dan Timbunan trombosit


nekrosis Perdarahan Perlekatan fibrin
Menimbulkan gangguan fungsi, Terjadi fibrinolisis
Khusus darahnya:
Hemokonsentrasi Trombositopenia
Hipovolumia Tromboksan A2
meningkat

Hemolisis darah/
eritrosit

Preeklampsia/
Eklampsia HELLP sindrom

Kematian maternal:
Terminasi hamil: Impending Dekompensasiokordis, Acute
Sembuh baik ANC
eklampsia, Fetal distress, vascular accident, Kegagalan
teratur Persalinan
Solusioplasenta, Kriteria organ vital, Perdarahan,
berencana
Eden, Biofisikprofil fetal IUGR-asfiksia
buruk

ngawasan hamil ketat dan teratur, Persalinan non-traumatis, Ibu dan janin sehat optimal, Pengawasan post partum
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Plasenta merupakan organ utama yang beperan dalam pathogenesis
preeklamsia. Preeklamsia dapat terjadi hanya dengan adanya plasenta
tanpa melibatkan fetus, hal ini dibuktikan pada kasus kehamilan mola
tanpa janin, dimana resiko kejadian preeklamsia mengalami peningkatan.
Pada implantasi plasenta normal, sel sitotrofoblas embrio menginvasi
dinding rahim maternal. Setelah invasi, sitotrofoblas mencapai lapisan otot
polos dan endotel arteri desidua maternal. Interaksi ini menyebabkan
terjadinya perubahan pada pembuluh darah maternal (remodeling spiral
arteries) yang menyebabkan kapasitas pembuluh darah meningkat dan
resistensi pembuluh darah menurun, hal ini berfungsi untuk meningkatkan
akses oksigen dan nutrisi untuk pertumbuhan janin dan plasenta. Dalam
proses invasi vascular ini, sitotrofoblas berdiferensiasi dari fenotip epitel
menjadi fenotip endotel, proses ini disebut dengan pseudovaskulogenesis
atau mimikri vaskuler. Pada preeklamsia, sitotrofoblas gagal berdiferiansi
menjadi fenotip endotel invasif, invasi arteri spiralis sangat dangkal, dan
pembuluh darahnya berukuran kecil dengan resistensi tinggi (Camille E.
Powe, 2011). Hal ini meningkatkan kemungkinan terhambatnya aliran
darah dan resiko cedera akibat iskemia/reperfusi, yang merupakan stimuli
kuat terjadinya stress oksidatif (Dionne Tanneta dan Ian Sargent, 2013)
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas dan disfungsi endotel
a. Iskemia plasenta : Seperti yang dijelaskan sebelumnya, plasenta
merupakan organ utama yang berperan dalam patofisiologi preeklamsia.
Invasi trofoblast yang tidak adekuat yang menyebabkan remodeling
arteri spiralis yang tidak sempurna sehingga terjadi iskemia plasenta.
Plasenta dengan perfusi buruk dan hipoksik mensintesis dan melepaskan
faktor vasoaktif seperti solublefms-like tyrosine kinase (sFlt-1), sitokin,
dan angiotensin II (ANG II) autoantibodi reseptor tipe 1 (AT1-AA)
dalam jumlah besar. Vasoaktif yang beredar dalam jumlah besar dapat
mengganggu keseimbangan faktor relaksasi dan kontraksi lapisan sel
tunggal endotel yang terdapat pada lapisan luminal pembuluh darah yang
berfungsi menjaga hemostasis vaskuler. Saat keseimbangan ini
terganggu, terjadi vasokontriksi dan inflamasi vaskuler (Jeffrey S.
Gilbert, 2007). sFlt-1 juga ditemukan menginduksi terjadinya
peningkatan tekanan darah dan proteinuria pada hewan coba yang
digunakan untuk penelitian mengenai preeklamsia (Camille E. Powe,
2011).
b. Radikal bebas dan gangguan keseimbangan antioksidan : Radikal bebas
merupakan senyawa kimia dengan elektron yang tidak berpasangan pada
orbit terluarnya, elektron yang tidak berpasangan ini membuat senyawa
tersebut bersifat paramagnetik dan reaktif. Pada kehamilan normal,
peningkatan jumlah antioksidan dalam sistem sirkulasi ditemukan
seiring dengan peningkatan usia kehamilan. Namun pada kehamilan
dengan preeklamsia terjadi gangguan titik keseimbangan antioksidan
(Leif Matthiessen et al., 2005). Gangguan keseimbangan prooksidan-
antioksidan plasenta meningkatkan jumlah produk radikal bebas lipid
peroksidase dalam sistem sirkulasi. Kontak pembuluh darah dengan
produk peroksidase yang bersirkulasi menyebabkan disfungsi endotel
vaskuler dengan menginduksi kerusakan membrane endotel (M.
Agnihitori et al., 2013).
c. Disfungsi endotel : Invasi trofoblast yang tidak sempurna menyebabkan
gangguan remodeling arteri spiralis sehingga terjadi iskemia/reperfusi
plasenta dan proses inflamasi. Dalam sel trofoblas terjadi stress oksidatif
karena pembentukan radikal bebass yang tidak seimbang yang terbentuk
dari berbagai sumber seperti XO, eNOS tidak berpasangan, NADPH
oksidase, dan mitokondria. Selanjutnya gabungan dari berbagai proses
ini menyebabkan pembentukan peroksinitrit, lipid peroksidase,
modifikasi protein, aktivasi MMP, dan kerusakan DNA yang
berkontribusi dalam terjadinya disfungsi endotel (L.C. Sanchez-
Aranguren et al., 2014).
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Toleransi imun maternofetal penting untuk mempertahankan kehamilan.
Berbanding terbalik dengan kehamilan normal, terdapat indikasi bahwa
pada kehamilan dengan preeclampsia terdapat peningkatan respon
inflamasi dan terjadi perubahan imun Th1. Pada kehamilan normal,
terdapat dominasi sel Th2, sedangkan pada khamilan dengan preeklamsia
terdapat dominasi sel Th1.
Pada kehamilan dengan preeklamsia, ditemukan bahwa trofoblas
mengalami apoptosis yang lebih cepat dan dalam jumlah banyak (Leif
Matthiesen, 2005). Mikropartikel trofoblas dan sinsitiotrofoblas yang
mengalami apoptosis secara terlepas secara konstan dari plasenta selama
kehamilan dan masuk dalam sirkulasi maternal. Selanjutnya, partikel -
partikel yang telepas tersebut memicu respon imun ibu (Dekker dan Sibai,
1998, dalam Yvonne Jonsson, 2005), serta menyebabkan aktivasi endotel
sistemik secara berlebihan yang ditemukan dalam preeklamsia (Leif
Matthiesen, 2005).
4. Teori adaptasi kardiovaskuler
Selama kehamilan jantung mengalami remodeling, yaitu peningkatan
dimensi ventrikel dan atrium, ketebalan dinding ventrikel kiri, dan masa
jantung yang disebabkan oleh hipertropi. Gangguan dalam proses
remodeling, khususnya pada bagian ventrikel kiri dapat menjadi salah satu
penyebab preeklamsia. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang
menemukan bahwa wanita yang mengalami insufisiensi plasenta yang
disertai dengan disfungsi ventrikel kiri cenderung mengalami preeklamsia
dini, sedangkan wanita yang hanya mengalami insufisiensi plasenta tanpa
gangguan funsi jantung cenderung mengalami preeklamsia pada
kehamilan lanjut atau tidak mengalami preeklamsia (Karen Melchiorre et
al., 2014).
5. Teori genetik
Ibu, ayah atau keluarga menderita tekanan darah tinggi, saudara kandung
yang pernah pre eklamsia/eklamsia pada kehamilan, persalinan atau nifas
meningkatkan resiko terjadinya pre eklamsia berat (Bezzera P.C, 2010).
Selain itu, riwayat preeklamsia dan tekanan darah tinggi dari pihak suami
juga berpengaruh besar terhadap kejadian preeklamsia, karena preeklamsia
terjadi karena faktor genetik ibu dan janin, yang berarti juga melibatkan
genetik ayah janin. pada wanita yang mengalami preeklamsia
kemungkinan terdapat variasi gen yang mempengaruhi keseimbangan
cairan, fungsi endotel vaskuler, serta perkembangan plasenta yang
menyebabkan preeklamsia. Sejauh ini interaksi genotip maternal-fetal
yang ditemukan berpengaruh terhadap preeklamsia diantaranya adalah
IGF1, IL4R, IGF2R, GNB3, CSF1, dan THBS4. (F.J. Valenzuela et al.,
2012).
6. Teori defisiensi gizi
a. Kalsium : Kadar kalsium serum yang rendah dalam kehamilan
berpengaruh terhadap peningkatan hormon paratiroid dan rennin yang
kemudian meningkatkan kalsium intraseluler pada otot polos vaskuler.
Peningkatan kalsium dalam otot polos tersebut menyebabkan
vasokontriksi sehingga terjadi peningkatan resistensi vaskuler.
Peningkatan resistensi vaskuler ini memicu peningkatan tekanan darah
pada wanita dengan preeklamsia (Selina Akhtar et al., 2011).
b. Seng : Seng diperlukan dalam fungsi enzim antioksidan yang berperan
untuk melindungi dari kerusakan akibat radikal bebas. Kekuragan seng
dapat menyebabkan fungsi potensial antioksidan sel melemah yang
menyebabkan peningkatan tekanan darah (Selina Akhtar et al., 2011).
c. Folat : Folat merupakan penyumbang metal penting dalam tubuh, dan
oleh karena itu merupakan faktor penting dalam sintesis protein dan
DNA.peran penting metal lainnya adalah dalam konversi homosistein
menjadi methionin. Intake folat yang kurang atau gangguan metabolisme
folat genetik berhubungan dengan peningkatan homosistein serum. Pada
preeklamsia terjadi peningkatan homosistein serum, oleh karena itu
diperkirakan defisiensi folat berperan penting dalam kejadian
preeklamsia (J. M. Roberts, 2003).
7. Teori stimulus inflamasi
Kehamilan normal memicu respon inflamasi sistemik ringan. Respon
tersebut bervariasi dari satu wanita ke wanita lainnya,dapat berupa aktivasi
monosit, granulosit, maupun endotel. Endotel merupakan komponen
sistem inflamasi. Sel endotel memegang peranan penting dalam respon
inflamasi sistemik dan mediasi inflamasi lokal. Karena pada preeklamsia
terjadi gangguan endotel, maka hal ini juga mengakibatkan gangguan
respon inflamasi. Seluruh respon inflamasi yang terjadi secara fisiologis
pada kehamilan normal menjadi berlebihan pada preeklamsia (Redman
dan Sargen, 2009).
2.2.4 Faktor Resiko
1. Primigravida/nulipara : Wanita nulipara memiliki risiko lebih besar (7
sampai 10 persen) jika dibandingkan dengan wanita multipara (Leveno,
2009). Kejadian preeklamsia lebih tinggi pada kehamilan pertama sebagai
akibat dari reaksi imun maternal terhadap agen paternal yang
diekspresikan plasenta dan reaksi ini kemungkinan menyebabkan
gangguan invasi trofoblas dan disfungsi plasenta lainnya (S. Hernandez-
Diaz et al., 2009).
2. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan ganda, diabetes
melitus, hidrops fetalis, bayi besar : Menurut Roberts dan Redman, 1993
(Fraser, 2009), plasentasi abnormal dan penurunan perfusi plasenta juga
dapat terjadi pada kondisi yang berhubungan dengan penyakit
mikrovaskular, misalnya diabetes, hipertensi, atau trombofilia. Hal ini
dapat terjadi jika terdapat massa plasenta yang besar seperti pada
kehamilan kembar atau penyakit trofoblastik gestasional (mola
hidatidosa). Ibu yang menderita penyakit ini berisiko tinggi mengalami
preeklampsia.
3. Umur yang ekstrim : Wanita hamil yang berusia di atas 35 tahun memiliki
resiko yang lebih besar mengalami preeklamsia. Wanita berusia diatas 35
tahun mempunyai resiko sangat tinggi terhadap terjadinya preeklampsia.
Menurut Spellacy yang dikutip Cunningham (2007) insiden hipertensi
karena kehamilan meningkat 3 kali lipat pada wanita diatas 40 tahun
dibandingkan dengan wanita yang berusia 20 - 30 tahun.
4. Preeklamsia pada kehamilan sebelumnya : Wanita yang mengalami
preeklamsia pada kehamilan sebelumnya memiliki kemungkinan yang
lebih tinggi mengalami preeklamsia pada kehamilan berikutnyaSibai et al.,
1986 dalam L. Myatt dan L.B. carpenter 2007). Hal disebabkan karena
preeklamsia dipengaruhi oleh faktor genetik. Selain itu, disfungsi endotel
serta perubahan sistem sistemik yang disebabkan oleh preeklamsia pada
kehamilan sebelumnya menyebabkan wanita lebih rentang mengalami
preeklamsia pada kehamilan berikutnya. Caritis et al. (1998), menemukan
bahwa 19% wanita yang mengalami preeklamsia akan mengalami
preeklamsia kembali pada kehamilan berikutnya.
5. Kehamilan pertama oleh pasangan baru : Kehamilan pertama dengan
pasangan baru meningkatkan resiko mengalami preeklamsia. Hal ini
terkait dengan respon imun ibu terhadap gen ayah janin yang
diekspresikan oleh plasenta dalam kehamilan (Karen Melchiorre et al.,
2014).
6. Sosial ekonomi rendah : Sosial ekonomi rendah meruapakan salah satu
faktor resiko terjadinya preeklamsia terkait dengan teori defisiensi gizi.
Masyarakat dengan sosial ekonomi rendah umunya kurang memperhatikan
asupan gizi harian. Secara epidemiologi status ekonomi rendah, cenderung
menjadi faktor predisposisi pre eklamsia (Roberts et al., 2003).
7. In vitro fertilization (IVF) : Wanita yang hamil melalui metode IVF
mengalami 40% peningkatan resiko mengalami preeklamsia karena
menumbuhkan dan mengembangkan sel telur dan embrio di luar tubuh
mengurangi kemampuannya untuk berimplantasi dan menginvasi lapisan
uterus. Hal ini menyebabkan gangguan perfusi plasenta yang merupakan
stimuli kuat terjadinya stress oksidatif. Selain itu, pasien IVF juga
umumnya berusia lebih tua serta dengan kehamilan ganda, sehingga
kemungkinan mengalami preeklamsia menjadi lebih tinggi (Louisa
Petchey, 2011).Resiko preeklamsia pada wanita dengan IVF lebih
meningkat bila IVF menggunakan sel telur atau sperma donor.
8. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia : Adanya faktor
keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotip ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Telah terbukti bahwa
pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya akan
mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu
mengalami preeklampsia (Angsar, 2008).
9. Aktifitas berat : Aktifitas kerja yang padat dengan beban kerja tinggi,
bekerja lebih dari 6 jam sehari, shift malam, atau bekerja lebih ari lima
hari kerja berturut – turut dalam seminggu, serta bekerja berat dan lebih
banyak berdiri meningkatkan resiko terjadinya pre eklamsia (Haelterman
et al., 2007).
10. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil :
Menurut Chesley (1985) yang dikutip oleh Cunningham (2007)
preeklampsia juga terjadi pada multipara yang menderita penyakit
vaskuler, termasuk hipertensiessensialyang kronis, diabetes mellitus,
dengan penyakit ginjal.
2.2.5 Tanda dan Gejala
1. Tanda
a. Peningkatan berat badan yang pesat dapat diakibatkan oleh oedema berat
yang terjadi pada muka dan/atau tungkai. Obesitas meningkatkan resiko
pre eklamsia (Roberts et al., 2013).Peningkatan berat badan tiba – tiba
dalam kehamilan merukan salah satu indikator pre eklamsia, BMI lebih
dari 30 beresiko lebih besar mengalami pre eklamsia (Preeclampsia
Foundation, 2010).
b. Tekanan darah tinggi : Pada preeklamsia terjadi hipoksia plasenta,
sehingga plasenta melepaskan faktor vasoaktif yang mengganggu
keseimbangan sistem kerja endotel pembuluh darah. Gangguan
keseimbangan ini mengakibatkan vasokontriksi dan respon inflamasi
yang meningkatkan tekanan darah (Jeffrey S. Gilbert, 2007).
c. Output urine berkurang dan proteinuria : Penurunan output urine
(oliguria), peningkatan kreatinin serum atau plasma (>90µmol/L), dan
ekskresi protein urine >300mg/24 jam merupakan manifestasi klinis
yang menunjukkan bahwa sistem ginjal terpengaruh oleh tekanan darah
tinggi (Department of Health Northern Teritory Government Australia,
2012).
d. Perubahan reflex : Perubahan refleks serta gejala lainnya seperti nyeri
kepala dan gangguan penglihatan terjadi karena pengaruh tekanan darah
tinggi terhadap sistem neurologis (Department of Health Northern
Teritory Government Australia, 2012).
e. Bengkak pada tungkai dan/atau wajah : Bengkak tungkai pada pasien pre
eklamsia disebabkan oleh akumulasi kelebihan cairan, selain itu bengkak
persisten juga dapat menunjukkan kerusakan funsi ginjal yang
menyebabkan protein dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebih
(Shaun Cho, 2002).
2. Gejala
a. Nyeri kepala berat atau ringan dan gangguan penglihatan : Nyeri kepala
dan gangguan penglihatan sering terjadi pada pasien preeklamsia. Gejala
-gejala tersebut merupakan gejala neorologis prodromal. Gejala
neurologis tersebut mengindikasikan terbentuknya edema serebral dan
vasospasme pembuluh darah retinal dan serebral (CMCQQ, 2013).
b. Nyeri ulu hati : Merupakan gejala yang menunjukkan bahwa penyakit
mempengaruhi hepatoseluler karena nekrosis periportal atau parenkim,
peregangan kapsul hati dan/atau perdarahan (Cooray S., at al., 2011
dalam CMQQ 2013).
c. Mual muntah : Mual muntah umumnya terjadi pada kehamilan awal
sebelum usia kehamilan 16 minggu. Namun, jika mual muntah berat
mulai terjadi pada pertengahan kehamilan, hal ini dapat merupakan salah
satu gejala preeklamsia.
2.2.6 Skrining Pre Eklamsi
Skrining preeklamsia dapat mulai diakukan sejak usia kehamilan 11
sampai 13 minggu dengan menganalisis karakteristik demografi ibu, termasuk
riwayat medis dan obstetri, MAP (Mean Arterial Pressure) dan marker
biofisikal dan biokimia yang memiliki efektifitas tinggi dalam
mengidentifikasi kemungkinan terjadinya preeklamsia dini (Jonathan Lai et
al., 2012). Deteksi dini preeklamsia memberikan waktu bagi tenaga kesehatan
dan pasien melakukan perencanaan monitoring dan penatalaksanaan klinis,
serta identifikasi komplikasi secara dini (Silva Costa et al., 2011). Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan skrining preeklamsia menurut
Silva Costa et al adalah sebagai berikut:
1. Riwayat Maternal : Riwayat maternal termasuk etnis, paritas, dan riwayat
mengalami preeklamsia atau anggota keluarga mengalami preeklamsia
merupakan beberapa faktor resiko terjadinya preeklamsia dalam
kehamilan. Riwayat pasien terkait dengan preeklamsia dapat diskrining
mulai pertemuan pertama pasien dengan bidan. Penelitian menunjukkan
bahwa 25% pasien dengan resiko tinggi mengalami preeklamsia dalam
kehamilannya, dibandingkan dengan 5% pada populasi umum.
2. MAP (Mean Atrerial Pressure) : Skrining ini dilakukan pada usia
kehamilan minimal 18-24 minggu maksimal 32 minggu, dalam posisi
terlentang. Tekanan darah mencerminkan keadaan sirkulasi maternal dan
tekanan perfusi darah ke jaringan tubuh. Dalam keadaan normal MAP
(pada trimester III sedikit lebih rendah dari nilai sebelum kehamilan atau
awal kehamilan.
Pada trimester III, tekanan darah pada posisi telentang yang lebih tinggi
dibandingkan posisi miring merupakan pertanda adanya ancaman akan
terjadinya penyakit hipertensi. Dalam keadaan normal, pada posisi
telentang tekanan darah justru lebih tinggi dibandingkan posisi miring
kekiri (Widjmarko,2009).
Rumus penghitungan MAP :
S +2 D
3
Keterangan:
S: nilai Sistole
D: nilai diastole
MAP dinyatakan positif bila hasil perhitungannya ≥90mmHg.
3. ROT (Roll Over Test) : Adanya respon hipertensif yang terjadi pada
perubahan posisi ibu hamil 28 – 32 minggu dari posisi miring menjadi
telentang merupakan prediktor terjadinya Hipertensi Gravidarum.
Placental bed pada kehamilan normal dan preeklampsia. Pada
preeklampsia, perubahan fisiologi pada arteri uteroplasenta tidak melewati
“deciduomyometrial junction” sehingga terdapat segmen yang menyempit
antara arteri radialis dengan desidua Reproduksi (Brosen, 1977).
Pasien dalam posisi terlentang hasil constant, kemudian pasien tensi
miring setelah pemeriksaan Leopold ±5-10’. Penghitungan : Hasil diastole
terlentang-diastole miring, Jika hasil ≥ 15-20 mmHg makan positif
beresiko, Nilai prediktif dari Roll-Over test ini hanya 33%.
4. BMI (Body Mass Index) : Body Mass Index, yang merupakan ukuran yang
digunakan untuk menilai proporsionalitas perbandingan antara tinggi dan
berat seseorang. Rumus untuk BMI adalah berat badan (dalam kilogram)
dibagi dengan tinggi badan kuadrat (dalam meter)
BMI = BB (kg)/TB2 (m)
Jika hasil :30-34 Obesitas grade I
35-39 Obesitas grade II
≥ 40 Obesitas grade III
5. Hasil pemeriksaan yang didapat menunjukkan positif 2 dari BMI,ROT dan
MAP maka dapat terjadi dua kemungkinan yaitu Resiko Tinggi Pre
Eklamsia (dengan penatalaksanaan rujuk balik ke poli KIA untuk tindak
lanjut sesuai KSPR) dan Resiko Tinggi Pre Eklamsia (dengan
penatalaksanaan perbaiki faktor resiko monitoring melalui buku KIA,
P4K,KSPR. Pemberian Acetosal 100 mg/hari s/d usia kehamilan 36
minggu, kalsium, vit.C dan vit.E, ANC setiap 2 minggu s/d 34 minggu
usia kehamilan, kemudian 1 minggu sekali. Usia kehamilan 36 minggu
rujuk untuk persalinan oleh tenaga kesehatan kompetensi di UK 37
minggu di rumah sakit yang memiliki fasilitas memadai. Inpartu per
vaginam dengan Infus RL life line MAK III misoprostol 3tab/rectal,
observasi ketat 2 jam post partum, IMD jika dimungkinkan dan rawat
gabung) (Panduan Praktis Penanganan Pre Eklampsia/Eklampsia Dan
Perdarahan Postpartum, 2013)
6. USG
a. Doppler arteri uterine : Plasentasi yang buruk serta remodeling arteri
spiralis yang kurang optimal merupakan salah satu faktor penting yang
diperkirakan menyebabkan terjadinya preeklamsia dan eklamsia,
pertumbuhan janin terhambat, serta komplikasi terkait lainnya. Pada
kehamilan dengan kondisi tersebut, sirkulasi uteroplasenta tetap pada
keadaan resistensi tinggi, dan kondisi ini dapat diketahui dengan USG
Doppler arteri uterina. Sebagian besar penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa Doppler arteri uterina efektif dilakukan pada
trimester kedua, namun saat ini mulai semakin banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa penggunaan Doppler pada trimester pertama cukup
efektif untuk memprediksi preeklamsia dan pertumbuhan janin
terhambat.
b. Volume plasenta dan 3D Power Doppler : USG tiga dimensi
memberikan gambaran visual anatomi janin yang lebih jelas jika
dibandingkan dengan USG konvensional 2 dimensi. Dengan semakin
berkembangnya USG 3D Power Doppler serta analisis histogram 3D
Power Doppler kuantitatif, pengukuran aliran darah plasenta secara
kuantitatif dan kualitatif semakin mudah dilakukan. USG ini dapat
memberikan gambaran karakteristik pembuluh darah plasenta seperti
densitas, percabangan, perubahan caliber, serta lipatan pembuluh darah.
7. Biomarker : Marker biokimia preeklamsia merupakan faktor sirkulasi,
dimana pengukurannya dapat digunakan sebagai prediktor kejadian
preeklamsia. Beberapa marker yang diperiksa merupakan produk dari sel
trofoblas atau desidua yang berdekatan dengan plasenta yang
merefleksikan disfungsi plasenta yang merupakan aspek penting dalam
pathogenesis preeklamsia. Beberpa biomarker yang sering diperiksa untuk
skrining preeklamsia diantaranya adalah Pregnancy-associated Placental
Protein A, Placental protein 13, Cystatin C, sel janin, sel bebeas RNA dan
DNA janin, serta inhibin A dan aktivin A.
2.2.7 Penatalaksanaan
1. Perawatan Ekspektatif Pada Preeklampsia tanpa Gejala Berat
a. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia
tanpa gejala berat denganusia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan
evaluasi maternal dan janin yang lebih ketat.
b. Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus
preeklampsia tanpa gejala berat.
c. Evaluasi ketat yang dilakukan adalah:
- Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien
- Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis
- Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap mingguLevel evidence
II, Rekomendasi C
- Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2 kali
dalam seminggu)
- Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi
menggunakan dopplervelocimetry terhadap arteri umbilikal
direkomendasikan

Sumber : Bagan ini diadaptasi oleh Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Diagnosis dan Tata laksana Preeklampsia 2016
2. Preeklampsia berat
Penatalaksanaan preeklamsia yang dilakukan tergantung dari berbagai
faktor, termasuk berat tidaknya kondisi preeklampsia, komplikasi seperti
HELLP syndrome atau impending eklamsia, usia kehamilan, kondisi ibu
dan janin, serta fasilitas dan sumber daya yang tersedia. Disebut
impending eklampsia bila preeklamsia disertai gejala subyektif berupa
nyeri kepala hebat, gangguan visus, mual muntah, nyeri epigastrum dan
kenaikan progresif tekanan darah. Pengelolaan preeklamsia dan eklampsia
mencakup pencegahan kejang pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan,
pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat.
Sumber : Bagan ini diadaptasi oleh Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Diagnosis dan Tata laksana Preeklampsia 2016
3. Penanganan sebelum rujukan
Bila ibu dengan pre eklamsia berat ditemukan di fasilitas pelayanan
kesehatan primer, perlu dilakukan rujukan segera ke rumah sakit yang
mampu menangani dan merawat pasien pre eklamsia serta kemungkinan
komplikasi yang terjadi pada ibu dan janin. Namun sebelum dilakukan
rujukan ke rumah sakit, didahului dengan pemberian MgSO4 awal.
4. Monitoring selama di rumah sakit
Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda-
tanda klinik berupa: nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrum, dan
kenaikan cepat berat badan. Selain itu perlu dilakukan penimbangan berat
badan, pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan
leboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST.
5. Manajemen umum perawatan preeklampsia dengan gangguan berat
a. Sikap terhadap penyakit: pengobatan medikamentosa
- Penderita preeklamsia dengan gangguan berat harus segera masuk rumah
sakit untuk rawat inap dianjurkan tirah baring miring ke kiri. Perawatan
yang penting pada preeklamsia dengan gangguan berat ialah pengelolaan
cairan karena penderita preeklamsia dan eklampsia mempunyai resiko
tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya kedua
keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan
terjadinya edema paru dan oliguria ialah hipovolemia, vasospasme.
Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi.
Cairan yang diberikan dapat berupa: 5% Ringer-dextrose atau cairan
garam faali jumlah tetesan < 125 cc / jam atau Infus Dextrose 5% yang
tiap 1 liternya diselingi dengan Infus Ringer laktat (60-125 cc / jam) 500
cc. Dipasang Folley Cateter untuk mengukur pengeluaran urine. Oliguria
terjadi bila produksi urin < 30 cc / jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc / 24
jam. Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung hingga bila
mendadak kejang, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung
yang sangat asam. Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak
dan garam.
- Pemberian obat antikejang
Obat anti kejang lini pertama yang digunakan untuk pencegahan kejang
pada preeklamsia dan kejang ulangan pada eklamsia adalah MgSO4.
Syarat pemberian MgSO4 adalah menurut Prawirohardjo 2010:
●Refleks patella positif
●Pernafasan lebih dari 16 kali/menit
●Diuresis 100 cc dalam 4 jam terakhir
●Harus tersedia calcium gluconas 1 gr 10% (diberikan IV pelan pada
intoksikasi MgSO4)
Kontraindikasi:
●MgSO4 tidak boleh diberikan pada pasien dengan kerusakan
miokardial serta sumbatan pada jantung.
●Intoksikasi MgSO4: Pada beberapa kasus, jika MgSO4 diberikan
melebihi dosis aman, dapat terjadi efek toksisitas berat. Beberapa
respon intoksikasi MgSO4 terkait dosis yang dapat terjadi sebagai
berikut (Lu JF, 2000):
1) Mual muntah
2) Refleks patella hilang (konsentrasi MgSO4 plasma mencapai 3,5
sampai 5 mmol/L)
3) Depresi pernafasan (konsentrasi MgSO4 plasma mencapai 5
sampai 6,5 mmol/L)
4) Kardiak arrest (konsentrasi MgSO4 plasma mencapai lebih dari
12,5 mmol/L)
5) Penurunan kesadaran
Jika syarat pemberian MgSO4 tidak terpenuhi obat-obat lain yang
dapat dipertimbangkan untuk diberikan sebagai antikejang:
1) Diazepam
2) Fenitoin
3) Nimodipine (WHO, 2011)
Difenihidantoin obat antikejang untuk epilepsi telah banyak dicoba
pada penderita pre eklampsia.
Pemberian MgSO4 sebagai anti kejang lebih efektif dibanding
dengan fenitoin. Diberikan 4 gram MgSO4 intravena (40% dalam 10 cc)
selama 15 menit. Kemudian diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer
/ 6 jam atau diberikan 4 gram atau 5 gram IM. Selanjutnya diberikan 4
gram IM tiap 4 jam – 6 jam. Syarat pemberian MgSO4 harus tersedia
antidotum yakni Kalsium Glukonas 10% 1 g (10% dalam 10 cc) IV 3
menit, reflek patella (+) kuat, frekuensi pernapasan > 16 kali / menit.
Pemberian Magnesium Sulfat dihentikan bila ada tanda intoksinasi.
Setelah 24 jam pasca persalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir.
- Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-
paru, payah jantung kongestif atau anasarka.
- Pemberian antihepertensi
1) Antihipertensi Lini Pertama : Nifedepin: dosis 10-20 mg per oral,
diulangi setelah 30 menit; maksimum 120 mg dalam 24 jam.
2) Antihipertensi Lini Kedua : Sodium nitroprusside: 0,25 µg
IV/kg/menit, infus, ditingkatkan 0,25 µg IV/kg/5 menit.
b. Sikap terhadap kehamilannya
Berdasar Williams Obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala preeklampsia berat selama perawatan, maka sikap
terhadap kehamilannya terbagi menjadi aktif dan konservatif.
1) Perawatan aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi
bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa.
Ibu : - Umur kehamilan > 37 minggu
- Adanya tanda gejala impending eklampsia
- Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu keadaan
linik dan laboratorik memburuk
- Diduga terjadi solusio plasenta
- Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan
Janin:- Adanya tanda-tanda fetal distress
- Adanya tanda-tanda IUGR
- NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
- Terjadinya oligohodramnion
Laboratorium: Adanya tanda-tanda sindrom HELLP, khususnya
menurunnya trombosit dengan cepat
2) Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm < 37
minggu tanpa disertai tanda-tandaimpending eklampsia dengan
keadaan janin baik. Diberikan pengobatan sama dengan pengobatan
medikamentosa pada pengelolaan secara aktif(Prawirohardjo Sarwono,
2010).
c. Perawatan preeklamsia di RS dilakukan:
1) Perawatan Konservatif
Perawatan konservatif pada kehamilan premature < 32 minggu
terutama < 30 minggu memberikan prognosa yang buruk. Diperlukan
lama perawatan koservatif sekitar 7-15 hari.
Indikasi : Pada umur kehamilan < 34 minggu (estimasi berat janin <
2000 g tanpa ada tanda-tandaimpending eklampsia).
Pengobatan :
- Dikamar bersalin (selama 24 jam)
- Tirah baring, penilaian kesejahteraan janin secara kontinyu
- Infus RL yang mengandung 5% dextrose 60-125 cc/jam
- Dosis awal MgSO4 20% 4 gram IV sebagai larutan 40% selama 5
menit. Segera dilanjutkan dengann15 ml MgSO4 40% 6 gram dalam
larutan RL/ringel asetat selama 6 jam. Jika kejang berulang setelah 15
menit, berikan MgSO4 40% 2 gram IV selama 5 menit (kalau tidak
ada kontra indikasi pemberian MgSO4)
- Siapkan antidotum Ca Glukonas 1 gram (20 ml dalam larutan 10%)
IV. Jika terjadi henti nafas bantu pernapasan dengan ventilator.
- Diberikan antihipertensi : nifedipin 5-10 mg setiap 8 jam dapat
diberikan bersama dengan methyl dopa 250-500 mg setiap 8 jam.
Nifedipin dapat diberikan ulang sublingual 5-10 mg dalam waktu 30
menit pada keadaan tekanan sitolik > 180 mmHg atau diastolik > 110
mmHg. (cukup satu kali saja)
- Dilakukan pemeriksaan lab tertentu (fungsi hepar dan ginjal) dan
produksi protein urine kuantitatif 24 jam
- Konsultasi dengan bagian lain, baian mata, jantung atau bagian lain
sesuai dengan indikasi.
- Pengobatan dan evaluasi selama rawat tinggal di ruang bersalin
(setelah 24 jam)
- Tirah baring
- Obat-obat : Roboransia (multivitamin), Aspirin dosis rendah 87,5 mg
sehari satu kali, Anthipertensi, penggunaan Atenolol dan β blocker
(dosis regimen) dapat dipertimbangkan pada pemberian kombinasi
- Diet tinggi protein, rendah karbohidrat
Perawatan konservatif dianggap gagal bila :
- Ada tanda-tanda impending eklampsia
- Kenaikan progresif tekanan darah
- Ada sindroma HELLP
- Ada kelainan fungsi ginjal
- Penilaian kesejahteraan janin jelek
2) Perawatan Aktif
Indikasi: Hasil kesejahteraan janin jelek
Ada gejala impending eklampsia
Ada sindrom HELLP
Kehamilan late preterm (>34 minggu estimasi berat janin >
2000 g)
Apabila perawatan konservatif gagal
3) Pengobatan medisinal
- Segera rawat inap
- Tirah baring miring ke satu sisi
- Infus RL yang mengandung 5% dextrose dengan 60-125 cc/jam
- Pemberian anti kejang : MgSO4
- Dosis awal : MgSO4 20% 4 gram IV sebagai larutan 40% selama 5
menit. Segera dilanjutkan dengann15 ml MgSO4 40% 6 gram dalam
larutan RL/ringel asetat selama 6 jam. Jika kejang berulang setelah 15
menit, berikan MgSO4 40% 2 gram IV selama 5 menit (kalau tidak
ada kontra indikasi pemberian MgSO4)
- Dosis ulangan : MgSO4 1 gram/jam melalui infuse ringel asetat/ringel
laktat yang diberikan sampai 24 jam post partum
4) Pengobatan Obstetrik
- Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada tiap penderita
dilaksanakan pemeriksaan NST
- Seksio sesar dikerjakan bila : NST jelek, ibu belum inpartu dengan
skor pelvik jelek (skor bishop <5 ), kegagalan drip oksitosin
- Induksi dengan drip oxytocin dikerjakan bila : NST baik, ibu belum
inpartu degnan skor pelvik baik (skor bishop >5)
2.2.8 Komplikasi
1. Pada Ibu : Eklampsia, Solusio plasenta, Perdarahan subskapula hepar,
Kelainan pembekuan darah (DIC), Sindrom HELPP (hemolisis, elevated,
liver, enzymes dan low platelet count), Ablasio retina, Gagal jantung
hingga syok dan kematian.
2. Pada Janin : Terhambatnya petumbuhan dalam uterus, Prematur, Asfiksia
Neonatorum, Kematian dalam uterus.
2.3 Induksi Persalinan
b.3.1 Pengertian
Suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum inpartu, baik secara
operatif maupun medisinal, untuk merangsang timbulnya kontraksi rahim
sehingga persalinan (Saifuddin,2005).
Syarat-syarat induksi persalinan : Kehamilan aterm, Ukuran panggul
normal, Tidak ada CPD, Janin dalam presentasi kepala, Serviks telah matang
(portio lunak, mulai mendatar, dan sudah muali membuka). Bila skor bishop >
8, induksi persalinan kemungkinan berhasil (Saifuddin,2005).
Tujuan tindakan induksi persalinan ialah mencapai his 3 kali dalam 10
menit lamanya 40 detik (Saifuddin, 2010).
b.3.2 Kontra indikasi induksi
1. Malposisi dan malpresentasi
2. Insufisiensi plasenta
3. Disproporsi sefalopelvik
4. Cacat rahim seperti operasi sesar, enukleasi miom
5. Grande multipara
6. Gemelli
7. Distensi rahim yang berlebihan
8. Plasenta previa (Saifuddin,2005)
2.3.3 Indikasi

Induksi dilakukan karena :


1. Kehamilan sudah memasuki tanggal prakiraan lahir bahkan lebih dari
sembilan bulan (kehamilan lewat waktu). Dimana kehamilan yang
melebihi waktu 42 minggu, belum juga terjadi persalinan. Permasalahan
kehamilan lewat waktu adalah plasenta tidak mampu memberikan nutrisi
dan pertukaran O2 dan CO2 sehingga janin mempunyai resiko asfiksia
sampai kematian dalam rahim. Makin menurunnya sirkulasi darah menuju
sirkulasi plasenta dapat mengakibatkan:
a. Pertumbuhan janin makin melambat
b. Terjadi perubahan metabolisme janin
c. Air ketuban berkurang dan makin kental
d. Saat persalinan janin lebih mudah mengalami asfiksia
Resiko kematian perinatal kehamilan lewat waktu bisa menjadi tiga kali
dibandingkan dengan kehamilan aterm. Ada komplikasi yang lebih sering
menyertai seperti : letak defleksi, posisi oksiput posterior, distosia bahu,
dan perdarahan post partum.

2. Induksi juga dilakukan dengan alasan kesehatan ibu, misalnya si ibu


terkenainfeksi serius atau menderita diabetes.
Wanita diabetik yang hamil memiliki resiko mengalami komplikasi.
Tingkat komplikasi secara langsung berhubungan dengan kontrol glukosa
wanita sebelum dan selama masa kehamilan dan dipengaruhi oleh
komplikasi diabetik sebelumnya, meliputi :
a. Aborsi spontan (berhubungan dengan kontrol glikemia yang buruk pada
saat konsepsi pada minggu-minggu awal kehamilan)
b. Hipertensi akibat kehamilan, mengakibatkan terjadinya preeklamsia dan
eklamsia
c. Hidramnion
d. Infeksi, terutama infeksi vagina, infeksi traktus urinari.
3. Ukuran janin terlalu kecil, bila dibiarkan terlalu lama dalam kandungan di
duga akan berisiko/membahayakan hidup janin.
4. Membran ketuban pecah sebelum adanya tanda-tanda awal persalinan
(ketuban pecah dini). Ketika selaput ketuban pecah, mikroorganisme dari
vagina masuk ke dalam kantong amnion. Temperatur ibu dan lendir vagina
sering diperiksa (setiap satu sampai dua jam) untuk penemuan dini infeksi
setelah ketuban ruptur.
5. Mempunyai riwayat hipertensi : Gangguan hipertensi pada awal kehamilan
mengacu pada berbagai keadaan, dimana terjadi peningkatan tekanan
darah maternal disertai resikonyang berhubungan dengan kesehatan ibu
dan janin. Preeklamsia, eklamsia dan hiperetensi sementara merupakan
penyakit hipertensi dalam keadaan kehamilan, sering disebut dengan
pregnancy-induced hypertensio(PIH). Hipertensi kronis berkaitan dengan
penyakit yang sudah ada sebelum hamil. Preeklamsia merupakan suatu
kondisi spesifik kehamilan dimana hipertensi terjadi setelah minggu ke 20
pada wanita yang memiliki tekanan darah normal. Preeklamsia merupakan
suatu penyakit vasospastik, yang ditandai dengan hemokonsentrasi,
hipertensi, dan proteinuria. Tanda dan gejalan dari preeklamsia ini timbul
saat masa kehamilan dan hilang dengan cepat setelah janin dan plasenta
lahir. Kira-kira 85% preeklamsia ini terjadi pada kehamilan yang pertama.
Komplikasi meliputi nyeri kepala, kejang, gangguan pembuluh darah otak,
gangguan penglihatan(skotoma), perubahan kesadaran mental dan tingkat
kesadaran.
2.3.4 Klasifikasi
1. Secara medis atau kimiawi
a. Infus oksitosin
Teknik infus oksitosin berencana :
1) Semalam sebelum drip oksitosin, hendaknya klien sudah tidur pulas
2) Pagi harinya klien diberi pencahar
3) Infus oksitosin hendaknya dilakukan pagi hari dengan observasi yang
baik
4) Disiapkan cairan RL 500cc yang diisi dengan sintosinon 5 IU
5) Cairan yang sudah mengandung 5 IU sintosinon dialirkan secara
intravena melaluialiran infus dengan jarum abocath no 18 G
6) Jarum abocath dipasang pada vena bagian volar bawah
7) Tetesan dimulai dengan 8 tetes permenit dinaikkan 4 tetes permenit
setiap 30 menit. Tetsan maksimal diperbolehkan smapai kadar
oksitoson 30-40 mU. Bila sudah mencapai kadar ini kontraksi rahim
tidak muncul juga, maka berapapun kadar oksitosin yang diberikan
tidak akan menimbulkan kekuatan kontraksi. Sebaiknya infus oksitosin
dihentikan.
8) Klien dengan infus oksitosin arus diamati secara cermat untuk
kemungkinan timbulnya tetania uteri maupun tanda-tanda gawat janin.
9) Bila kontraksi rahim timbul secrara teratur dan adekuat makan kadar
tetesan oksitosin dipertahankan. Sebaiknya bila terjadi kontraksi rahim
yang sangan kuat, jumlah tetesan dikurangi atau sementara dihentikan.
10) Infus oksitosin ini hendaknya tetap dipertahankan sampai persalinan
selesai yaitu sampai 1 jam sesudah lahirnya plasenta.
11) Evaluasi kemajuan pembukaan servik dapat dilakukan dengan
periksaan dalam bila his kuat dan adekuat (Saifuddin, 2005).
b. Prostaglandin
Pada kehamilan aterm induksi persalinan dengan prostaglandin cukup
efektif. Prostaglandin dapat merangsang otot-otot polos termasuk juga
otot-otot rahim. Prostaglandin yang spesifik untuk merangsang otot-otot
rahim adalah PGE2 dan PGS2. Untuk induksi persalinan prostaglandin
dapat diberikan secara intravena, oral, vaginal, rektal dan intra amnion.
Pengaruh sampingan dari prostaglandin adalah mual, muntah, dan diare.
(Saifuddin, 2005)
c. Cairan hipertonik intra uterin
Pemberian cairan hipertonik intraamnion dipakai untuk merangsang
kontraksi rahim pada kehamilan dnegan janin mati. Cairan hipertonik
yang dipakai berupa cairan garam hipertonik 20, urea, dll. Kadang-
kadang pemakaian urea dicampur dengan prostagalndin untuk
memperkuat rangsangan pada otot-otot rahim. Cara ini dpat
menimbulkan penyakit yang cukup berbahaya misalnya hipernatremia,
infeksi, dan gangguan pembekuan darah.
Injeksi larutan hipertonik intra amnial. Cara ini biasanya dilakukan pada
kehamilan di atas 16 minggu dimana rahim sudah cukup besar. Secara
transuterin atau amniosentesis, ke dalam kantong amnion (yang
sebelumnya cairan amnionnya telah dikeluarkan dahulu) kemudian
dimasukkan larutan garam hipertonik dan larutan gula hipertonik
(larutan garam 20% atau larutan glukosa 50%) sebagai iritan pada
amnion dengan harapan akan terjadi his. Sebaiknya diberikan oksitosin
drip yaitu 10-20 satuan oksitosin dalam 500cc dekstrosa 5% dengan
tetesan 15-25 tetes per menit. Klien diobservasi baik-baik
(Saifuddin,2005)
2. Secara manipulatif atau mekanis
a. Amniotomi
Amniotomi artifisialis dilakukan dengan memecahkan ketuban baik di
bagian bawah depan (fore water) maupun di bagian belakang (hind
water) dengan suatu alat khusus (drewsmith catheter). Sampai sekarang
belum diketahui secara pasti bagaiman pengaruh amniotomi dengan
merangsang timbulnya kontrasi rahim. Beberapa teori mengemukakan
bahwa :
1) Amniotomi dapat mengurangi beban rahim sebesar 40%sehingga
tenaga kontraksi rahim dapat lebih kuat untuk membuka serviks
2) Amniotomi menyebabkan berkurangnya aliran darah di dalam rahim
kira-kira40 menit setelah amniotomi dikerjakan, sehingga
berkurangnya oksigenasi otot-otot rahim dan keadaan ini
meningkatkan kepekaan otot-otot rahim.
3) Amniotomi dapat menyebabkan kepala dapat menekan langsung
dinding serviks dimana di dalamnya terdapat banyak saraf-saraf yang
dapat merangsang kontraksi rahim.
Bila 6 jam setelah amniotomi dilakukan belumada tanda-tanda permulaan
persalinan, maka harus diikuti dengan cara-cara lain untuk merangsang
persalinan misalnya infus oksitosin. Amniotomi hendaknya dilakukan jika
memenuhi syarat-syarat :
1) Serviks sudah matang atau skor pelviks di atas 5
2) Pembukaan kira-kira 4-5cm
3) Kepala sudah memasuki pintu atas panggul. Biasanya setelah 1-2 jam
4) Pemecahan ketuban diharapkan his akan timbul dan menjadi lebih
kuat.
Dalam amniotomi ada beberapa penyulit, seperti : Infeksi, Prolaps
funikuli, Gawat janin, Tanda-tanda solusio plasenta (bila ketuban sangat
benyak dan dikeluarkan secara cepat)
b. Melepas selaput ketuban dan bagian bawah rahim (stripping of the
membrane)
Stripping of the membrane adalah melepaskan ketuban dari dinding
segmen bawah rahim seara menyeluruh setinggi mungkin dengan jari
tangan. Cara ini dianggap cukup efektif dalam merangsang timbulnya
his. Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi : Serviks yang belum
dapt dilalui oleh jari, Bila didapatkan persangkaan plasenta letak rendah,
Bila kepala belum turun dalam ronnga panggul.
c. Pemakaian rangsangan listrik
Dengan dua elektrode, yaitu yang satu diletakkan dalam serviks,
sedangkan yang lain ditempelkan pada dinding perut, kemudian
dialirkan listrik yang akan memberi rangsangan apada serviks untuk
menimbulkan kontraksi rahim. Bentuk alat ini bermacam-macam,
bahkan ada yang ukurannya cukup kecil sehingga dapt dibawa dan ibu
tidak perlu tinggal di rumah sakit. Pemakaina alat ini perlu dijelaskan
dan disetujui oleh pasien (Saifuddin,2009)
d. Rangsangan pada puting susu (breast stimulation)
Rangsangan puting susu dapat mempengaruhi hipofisis anterior untuk
mengeluarkan oksitosis sehingga terjadi kontraksi rahim. Pada salah satu
puting susu atau daerah areola mamae dilakukan masase ringan dengan
jari si ibu. Untuk menghindari lecet bisa diberi minyak pelicin. Lamanya
tiap kali melakukan masase ini dapt ½-1 jam, kemudian istirahat
beberapa jam dan kemudian dilakukan lagi, sehingga 1 hari maksimal
dilakukan 3jam. Tidak dianjurkan untuk melkaukan tindfakan ini pada
kedua payudara bersamaan, karena ditakutkan terjadi perangsangan
berlebih. Menurut penelitian di luar negeri induksi ini memberikan hasil
yang baik. Cara-cara ini baik sekali untuk pematangan serviks pada
kasus kehamilan lewat waktu.
3. Secara kombinasi kimiawi dan mekanis
Cara ini memakai cara kombinasi antara kimiawi dan mekanis diikuti
dengan pemberian oksitosin drip atau pemecahan ketuban dengan
pemberian prostaglandin per oral dan sebagainya. Pada umunya cara
kombinasi akan berhasil kalau induksi partus gagal sedangkan ketuban
sudah pecah pembukaan serviks tidak memenuhi syarat pertolongan
operatif per vaginam, satu-satunya jalan adalah mengakhiri kehamilan
dengan secsio caesarea.
Skor Pelvis Menurut Bishop
Skor Bishop 0 1 2 3
Dilatasi serviks <1 1-2 2-4 >4
Pembukaan >4 2-4 1-2 <1
Konsistensi Keras Sedang Lunak +1, +2
Posisi janin -3 -2 -1
Posisi serviks Posterior Central Anterior
Sumber : Saifudin, 2009
Keterangan :
1. Bila perhitungan pelvic score < 5, maka terminasi dengan Induksi
Misoprostol
2. Bila perhitungan pelvic score > 5, maka terminasi dengan Oxytocin
Drip
2.3.5 Komplikasi
Menurut Rustam, 1998 komplikasi induksi persalinan adalah :
1. Terhadap ibu : Kegagalan induksi, Kelelahan ibu dan krisis emosional,
Inersia uteri partus lama, Tetania uteri yang dapat menyebabkan solusio
plassenta, ruptur uteri dan laserasi jalan lahir lainnya, Infeksi intra uterin.
2. Terhadap janin : Trauma pada janin oleh tindakan, Prolaps tali pusat,
Infeksi intrapartal pada janin.
2.3.6 Induksi Persalinan Dengan Misoprostol
Misoprostol adalah suatu prostaglandin E1 sintetik. Penggunaan
misoprostol untuk pematangan serviks prainduksi dan induksi persalinan
(Cunningham,2006). Misoprostol digunakan pada : PEB/eklamsi dan servik
belum matang sedangkan SC belum dapat dilakukan atau bayi terlalu prematur
untuk dilahirkan, Kematian janin dalam rahim lebih dari 4 minggu belum
inpartu dan terdapat tanda-tanda gangguan perdarahan (Saifuddin,2010).
1. Karakteristik Misoprostol
Mempunyai struktur kimia Methyester prostaglandin El (methyl 11, 16-
dihydroxy-16methyl-9 oxoprost-13-en-1-oate), berikatan secara selektif
dengan respetr prostanoid EP2 dan EP3, dan metabolit aktifnya adalah
asam misoprostol.
Ada 2 kemasan yaitu 200mcg(Indonesia) dan 1—mcg, dipasarkan untuk
pencegahan/pengobatan tukak lambung. Absorpsi cepat dan efektif baik
secara oral, vaginal maupun rektal. Pada penggunaan pervaginam, terjadi
peningkatan bertahap 60-120 menit dan pada menit ke 240 masih 60%
kadar puncak, ada kemungkinan akumulasi pada kadar lebih dari 400 mcg
setiap 8-12 jam. Penelitian lain menyatakan bahwa konsentrasi plasma
maksimal dicapai 34 menit setelah pemberian sedangkan pada pervaginam
dicapai 80 menit, yang berbeda adalah pemberian pervaginam terjadi
perpanjangan konsentrasi dalam serum sehinga peningkatan tonus
bertahan lebih lama.
Sangat murah/ dibandingkan dengan prostin E2, mudah disimpan dan
dipindahkan tanpa (pendingin) sehingga cepat saji, merupakan obat untuk
pematangan serviks dan perangsang miometrium yang efektif.
2. Keamanan
Dibandingkan dengan kontrol, misoprostol menimbulkan takhisistole dan
hiperstimulasi dua kali lebih banyak, meskipun hal ini juga tergantung
dosis dan cara pemberian. Pemberian peroral dan dosis 25 mcg
mengurangi hiperstimulasi. Tidak ada perbedaan jumlah bayi yang dirawat
di NICU dan yang mempunyai Apgar skor yang rendah, dibandingkan
dengan kelompok kontrol.
Meningkatkan skor pelvik secara bermakna pada pemberian oral ataupun
pervaginam. Terdapat peningkatan yang bermakna jumlah pasien yang
melahirkan pervaginam dalam 12 jam dan jumlah pasien yang melahirkan
dalam 24 jam. Penggunaan misoprostol juga telah memperpendek waktu
antara pasang pertama sampai melahirkan dalam 5 jam dan interval mulai
induksi sampai melahirkan.
Induksi misoprostol dengan aman dapat menurunkan angka bedah sesar
dibanding induki denga obat lain. Angka persalinan dengan bedah sesar
secara bermakna lebih rendah pada pemberian peroral.
3. Oral atau vaginal
Pemberian misoprostol secara oral ternyata secara efektif dapat
mematangkan serviks dan menginduksi persalinan pada ketuban pecah
prematur. Bila dibandingkan pemberian pervaginam, maka jumlah pasien
yang melahirkan dalam waktu 12 dan 24 jam , lama pasang sampai
persalinan, adanya takhisistole dan hiperstimulasi, rendahnya Apgar skor
dan perawatan di NICU, tidak berbeda secara bermakna. Pemberian
pervaginam leih efektif dibanding pembeian oral dan vaginam tetapi
hiperstimulasi dan takhisistole dilaporkan lebih banyak pada pemberian
pervaginam.
Meskipun angka penyulit dengan dosis 25 mcg lebih rendah dan
efektivitasnya sama dengan penyulit yang lebih rendah tetapi secara teknis
sulit mendapatkan dosis 25 mcg. Dosis 0 mcg tiap 8 jam mungkin dapat
digunakan sebagai jalan tengah sambil menunggu masuknya misoprostol
dosis 100 mcg.
4. Prosedur penggunaan misoprostol untuk induksi persalinan :
a. Buat prosedur tetap penggunaan misoprostol, termasuk prosedur bila ada
penyulit
b. Pertindik dimengerti dan disetujui, pertindik ini juga berisi informasi
mengenai status off-labelnya.
c. Pemeriksaan kardiotokografi; sebelumnya harus normal.
d. Harus dengan syarat, indikasi dan kontraindikasi yang jelas; dan bukan
untuk akselerasi. Periksa sendiri hasil rekaman kardiotokografi dan skor
pelvis.
e. Dosis 25-50 mcg tiap 6 sampai 8 jam pervaginam maksimal 4 x
pemberian. Pemberian oral lebih dianjurkan dalam dosis yang sama.
f. Jangan melakukan manipulasi lain misalnya pemberian uterotonika lain
ataupun ekspresi kristeller.

2.4 KONSEP DASAR MANAJEMEN ASUHAN KEBIDANAN


PATOLOGIS DENGAN PRE EKLAMPSIA BERAT
2.4.1 PENGKAJIAN
Tanggal/jam pengkajian : Tempat :
Tanggal/jam :
No register :
1. Data Subjektif
a. Biodata
Umur : Wanita hamil yang berusia di bawah 20 tahun atau di atas 35
tahun memiliki resiko yang lebih besar mengalami preeklamsia
(Prawirohardjo, Sarwono 2010).
Pekerjaan : menentukan status ekonomi dan pola aktifitas pasien.
Secara epidemiologi status ekonomi rendah, cenderung menjadi faktor
predisposisi pre eklamsia (Roberts et al., 2003).
b. Keluhan utama : Keluhan utama yang dapat terjadi pada ibu dengan pre
eklamsia dengan gangguan berat (PEB) adalah: bengkak pada tungkai
dan/atau wajah, pandangan kabur, nyeri ulu hati, nyeri kepala hebat,
mual muntah berlebihan(Prawirohardjo Sarwono,2010).
c. Riwayat menstruasi
HPHT : untuk menentukan usia kehamilan. Pre eklamsia umumnya
terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu (Phyllis August, 2015).
Kenaikan tekanan darah sebelum usia kehamilan dengan disertai tanda
pre eklamsia disebut superimposed pre eklamsia.
d. Riwayat obstetris : Resiko PE meningkat pada pasien nulipara (Stehman
Breen, 2002). Pada pasien multipara resiko PE meningkat jika ada
riwayat kehamilan sebelumnya dengan hipertensi dalam kehamilan atau
PE/eklamsia (Harutyunyan, 2013).
e. Riwayat hamil ini : Riwayat kehamilan ini seperti riwayat mual muntah
hebat, kehamilan kembar, atau hamil dengan in vitro
fertilizationkhususnya IVF dengan sperma atau sel telur donor
meningkatkan resiko pre eklamsia (ACOG, 2013).
f. Riwayat KB : Riwayat penggunaan KB hormonal kombinasi
meningkatkan resiko terjadinya peningkatan tekanan darah, penyakit
jantung, tromboemboli vena, serta stroke (Chrisandra L. Shufelt, 2009)
g. Riwayat kesehatan : Menderita tekanan darah tinggi sebelum hamil,
Diabetes Mellitus, dan adanya penyakit atau gangguan pada ginjal
meningkatkan resiko terjadinya pre eklampsia (Chesley dalam
Cunningham, 2007). Pre eklamsia dalam kehamilan dapat memperberat
penyakit yang telah ada sebelumnya karena tekanan darah yang sangat
tinggi mempengaruhi fungsi organ.
h. Riwayat kesehatan keluarga : Ibu, ayah atau keluarga menderita tekanan
darah tinggi, saudara kandung yang pernah pre eklamsia / eklamsia pada
kehamilan, persalinan atau nifas meningkatkan resiko terjadinya pre
eklamsia berat (Bezzera P.C, 2010).
i. Riwayat Psikososial, sosial dan budaya
Perkawinan :Pernikahan ke dua cenderung pre eklamsia/eklamsia,
resiko sering timbul pada wanita multipara dengan suami baru, hal ini
disebabkan oleh maladaptasi imun tubuh (Tubbergen, 1999).
Psikologi : Keadaan psikologis ditanyakan untuk mengetahui apakah
kehamilan ibu diharapkan atau tidak dan apakah keluarga mendukung
kehamilan ibu saat ini atau tidak (Saifudin, 2010). Jika kehamilan tidak
diharapakan dan keluarga tidak mendukung maka ibu cenderung akan
mengalami stress dan stress merupakan salah satu factor predisposisi
dari hipertensi (Indriyani, 2013). Psikologi yang buruk akan berpengaruh
pada tekanan darah ibu.
j. Pola fungsional, Kebutuhan dasar manusia
- Nutrisi :defisiensi nutrisi, terutama kalsium, folat, dan seng dapat
meningkatkan resiko preeklamsia.
- Eliminasi : Penurunan jumlah output urine < 500 cc/24 jam merupakan
salah satu gejala klinis preeklamsia dengan gangguan berat
(Prawirohardjo Sarwono, 2010).
- Aktivitas dan istirahat : Aktifitas kerja yang padat dengan beban kerja
tinggi, bekerja lebih dari 6 jam sehari, shift malam, atau bekerja lebih ari
lima hari kerja berturut – turut dalam seminggu, serta bekerja berat dan
lebih banyak berdiri meningkatkan resiko terjadinya pre eklamsia
(Haelterman et al., 2007).
2.Data Obyektif
a. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : lemah – baik
Kesadaran : compos mentis – penurunan kesadaran.
TD :Tekanan darah sistolik 140 – 160 mmHg atau diastolik 90 – 100
mmHg (Pre eklampsia) systole ≥160 atau diastole ≥110 mmHg
(Pre eklampsia Berat) (Prawirohardjo, 2010)
Pernapasan : < 16 x/menit, 16 – 24 x/menit
BB : kenaikan >11 – 13 kg. Peningkatan berat badan yang pesat dapat
diakibatkan oleh oedema berat yang terjadi pada muka dan/atau
tungkai. Obesitas meningkatkan resiko pre eklamsia (Roberts et al.,
2013)
b. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi dan palpasi
- Muka : dapat terjadi pembengkakan pada muka (Sofian, 2011).
- Mata : identifikasi sklera, konjungtiva bisa merah muda/pucat dan
pandangan pada kasus preeklampsia berat biasa terjadi gangguan visus.
Skotomata, penglihatan kabur, atau diplopia merupakan gejala yang
lazim didapatkan pada preeklamsia berat dan eklamsia.(cunningham,
2010).
- Perut :
Leopold I : TFU bisa sesuai UK bisa > besar atau bisa lebih kecil.
Bagian yang terdapat di fundus bisa kepala, bokong atau
kosong. Kehamilan kembar dapat meingkatkan resiko pre
eklamsia karena pada kehamilan kembar ukuran plasenta
umumnya lebih besar daripada kehamilan tunggal
(Bdolah, 2007). Pre eklamsia berat dapat menyebabkan
IUGR karena perfusi plasenta yang tidak optimal (Roberts
et al., 2013).
Leopold II : bisa teraba bagian kepala, bokong atau punggung ataupun
bagian kecil janin.
Leopold III : bisa teraba bokong, kepala atau kosong. Bisa digoyangkan
ataupun tidak bisa digoyangkan
Leopold IV : bisa konvergen / divergen
- Ekstremitas atas dan bawah : dapat terjadi oedema pada kaki dan jari
tangan (Sofian, Amru. 2011)
- Auskultasi : Normal (120 – 160x/detik), takikardi atau bradikardi.
Tekanan darah tinggi pada ibu dapat mempengaruhi perfusi plasenta
yang juga mempengaruhi denyut jantung janin.
- Perkusi : Reflek patella bisa (+) atau (-). Umunyapada pasien
preeklamsia terjadi hiperrefleks. Jika refleks patella (-) pasien tidak
dapat diberikan MgSO4 sebagai antikejang. Pertimbangkan pemberian
antikejang lain seperti diazepam dan fenitoin (Prawirohardjo, 2010).
c. Pemeriksaan penunjang di puskesmas
- Proteinuria kualitatif +2 (Pre eklampsia Ringan)
- Proteinuria kualitatif > +3 (Pre eklampsia Berat)
- ROT ≥ 20 mmHg = positif
- MAP ≥ 90 mmHg = positif
d. Pemeriksaan penunjang di rumah sakit
- Pemeriksaan darah lengkap. Penurunan platelet terjadi pada pasien pre
eklamsia yang mengalami HELLP syndrome.
- Fungsi Hati (SGOT/SGPT). Peningkatan enzim hati meningkat pada
pasien pre eklamsia dengan HELLP syndrome.
- Fungsi ginjal (BUN/SC). Tekanan darah tinggi dalam waktu yang
panjang dapat mempengaruhi fungsi ginjal.
- Protein urine kuantitatif (esbach). Pemeriksaan protein urine kuantitatif
dilakukan untuk mengetahui nilai absolute protein yang dikeluarkan
dalam 24 jam. Pemeriksaan ini penting untuk menilai adanya perburukan
kondisi atau evaluasi terapi yang telah diberikan.
- Pemeriksaan ultrasonografi (USG)dan NST dilakukan untuk mengetahui
kesejahteraan janin. Pemeriksaan USG yang dicurigai mengalami IUGR,
janin memiliki ukuran yang lebih kecil dibanding usia kehamilannya.
Sedangkan, pemeriksaan NST menunjukkan kecenderungan fetal
distress. Untuk mengetahui apakah terjadi insufiensi plasenta akut atau
kronis, perlu dilakukan USG dan NST bila curiga terjadinya fetal growth
restriction (Prawirohardjo, 2010).
2.4.2 Analisa
Setelah didapatkan data subjektif dan data objektif, maka dapat
diidentifikasikan diagnosis, masalah, diagnosis/masalah potensial, dan
kebutuhannya berdasarkan hasil analisis yang sesuai sebagai berikut:
1. Diagnosa kebidanan
G... P... / UK > 20 minggu / tunggal atau gemelli / hidup atau IUFD /
intrauterin/ presentasi kepala, Presentasi bokong, atau letak lintang / kesan
jalan lahir normal / CPD, KU ibu dan janin baik sampai lemas dengan
PEB.
Atau jika bayi sudah lahir,
Papah postpartum……. jam dengan PEB
Masalah : Masalah adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman klien
yang ditemukan dari hasil pengkajian atau yang menyertai diagnosis.
Menurut Sarwono (2010) keluhan yang sering dirasakan saat pemeriksaan
yang berhubungan dengan penderitapreeklampsia adalah pusing, nyeri
kepala, lemas, gangguan penglihatan / visus atau nyeri epigastrium
Masalah : yang dapat terjadi pada ibu bersalin dengan preeklasmpsia berat
biasanya ketidaknyamanan akibat penyakitnya seperti mual.
2. Kebutuhan disesuaikan dengan masalah dan diagnosa.
Hal tersebut harus didukung oleh data dasar (subjektif ataupun objektif).
Tindakan atau asuhan apa yang akan diberikan kepada ibu bersalin dengan
preeklampsia berat sesuai dengan wewenang bidan
2.4.3 Diagnosa dan masalah potensial
Mengidentifikasi diagnosa dan masalah potensial sesuai dengan
diagnosa dan masalah yang sudah diidentifikasi.
Diagnosa potensial: Merupakan hal-hal yang berkaitan dengan
pengalaman pasien yang ditemukan dari hasil pengkajian yang menyertai
diagnosa (Varney, 2007). Komplikasi yang mungkin terjadi pada kasus
preeklamsia antara lain: Eklampsia, Distress pada janin, IUFD, HELLP
syndrome.
Dengan timbulnya preeklampia atau eklampsia, prognosis bagi ibu dan
janinnya buruk, sehingga frekuensi retardasi pertumbuhan janin dan partus
prematurus meningkat secara bermakna karena awitan penyakit yang relatif
dini pada kehamilan serta keparahan proses itu sendiri. (Cunningham, 2010).
Masalah : Masalah adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman
klien yang ditemukan dari hasil pengkajian atau yang menyertai diagnosis.
Menurut Sarwono (2010) keluhan yang sering dirasakan saat pemeriksaan
yang berhubungan dengan penderitapreeklampsia adalah pusing, nyeri
kepala, lemas, gangguan penglihatan / visus atau nyeri epigastrium
2.4.4 Identifikasi kebutuhan tindakan segera
Identifikasi Tindakan Segera Kolaborasi/Rujukan: Tindakan yang
dilakukan berdasarkan data baru yang diperoleh secara terus menerus dan
dievaluasi supaya bidan dapat melakukan tindakan segera dengan tujuan agar
dapat mengantisipasi masalah yang mungkin muncul sehubungan dengan
keadaan yang dialami ibu (Varney, 2004). Identifikasi tindakan segera untuk
mencegah kejang, perdarahan intrakranial, sesak nafas, mencegah gangguan
fungsi organ vital, dan melahirkan bayi sehat (Prawirohardjo, 2010).
2.4.5 Perencanaan asuhan yang menyeluruh
Pada langkah ini direncanakan asuahan yang menyeluruh ditentukan
oleh langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan kelanjutan
manajemen terhadap diagnosa atau masalah yang telah diidentifikasi atau
diantisipasi, pada langkah ini informasi/ data dasar yang tidak lengkap dapat
dilengkapi. Rencana asuhan yang menyeluruh tidak hanya meliputi apa yang
sudah teridentifikasi dari kondisi klien atau dari setiap masalah yang berkaitan
tetapi juga dari kerangka pedoman antisipasi terhadap wanita tersebut seperti
apa yang diperkirakan akan terjadi berikutnya apakah diberikan penyuluhan,
konseling, dan apakah merujuk klien bila ada masalah-masalah yg berkaitan
dengan sosial ekonomi,kultur atau masalah psikologis. Semua keputusan yg
dikembangkan dalam asuhan menyeluruh ini harus rasional dan benar- benar
valid berdasarkan pengetahuan dan teori yg up to date serta sesuai dengan
asumsi tentang apa yang akan atau tidak akan dilakukan oleh klien.
1. Preeklampsia
a. Jelaskan hasil pemeriksaan pada ibu dan keluarga tentang keadaan
pasien
R/: Ibu dan keluarga berhak mengetahui hasil pemeriksaan, dengan
mengerti tentang hasil pemeriksaan, diharapkan ibu dan keluarga dapat
bersikap kooperatif.
b. Anjurkan untuk banyak istirahat yaitu dengan berbaring/tidur miring
kiri.
R/: Pada umur kehamilan di atas 20 minggu, tirah baring dengan posisi
miring menghilangkan tekanan rahim pada vena cava inferior, sehingga
meningkatkan aliran darah balik dan menambah curah jantung. Hal ini
berarti pula pula meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital.
Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah rahim,
menambah oksigenasi plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam
rahim (Prawirohardjo, 2010).
c. Anjurkan diet makanan tinggi protein (telur, tempe, tahu, kacang-
kacangan), tinggi karbohidrat (nasi, kentang, ketela), cukup vitamin
(buah-buahan dan sayur-sayuran), rendah lemak ( gorengan, minyak),
rendah garam.
R/:Peroxida lemak sebagai oksidant/radikal bebas yang sangat toksis ini,
akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah, dan akan merusak
membrane sel endothel serta dengan pemakaian garam yang berlebihan
dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Garam juga
mengandung natrium yang sifatnya mengikat air. Jika terlalu banyak
natrium dalam tubuh, semakin banyak cairan dalam tubuh yang
menumpuk sehingga bisa menyebabkan oedem (Prawirohardjo, 2010).
d. Melakukan rujukan ke Rumah Sakit atau ke Dokter Spesialis Obtetri
Gynekology
R/: Ibu mendapatkan penangan yang tepat sehingga mencegah terjadinya
preeklamsia dengan gangguan berat, karena setiap preeklampsia
merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat mengakibatkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam waktu
singkat (PNPK, 2016).
2. Preeklampsia Berat
Penanganan sebelum rujukan: (Puskesmas)
a. Informasikan hasil pemeriksaan pada ibu dan keluarga
R/ Menjelaskan keadaan ibu secara jelas dengan menggunakan bahasa
yang mudah dimengerti penting agar ibu dan keluarga paham tentang
keadaannya sehingga dapat mengambil keputusan dengan cepat.
b. Lakukan pemasangan infus RL atau Dextrose 5%
R/ Perawatan yang penting pada preeklamsia dengan gangguan berat
ialah pengelolaan cairan (Prawirohardjo, 2010). Infus diperlukan untuk
memnuhi kebutuhan cairan ibu, serta memudahkan pemberian MgSO4
secara IV.
c. Lakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian MgSO4 dosis awal
yaitu MgSO4 20% 4 gram secara IV bolus pelan
R/ Obat anti kejang lini pertama yang digunakan untuk pencegahan
kejang pada preeklamsia dan kejang ulangan pada eklamsia sebelum ibu
dirujuk(Sofian, 2011).
d. Informasikan kebutuhan segera untuk dilakukan rujukan ke fasilitas
kesehatan lebih tinggi (rumah sakit) untuk pemeriksaan dan perawatan
ibu.
R/ Menjelaskan tentang kebutuhan rujukan segera serta fasilitas
kesehatan yang bisa dituju membantu ibu dan suami mendapatkan
gambaran kebutuhan pemeriksaan dan perawatan lanjutan yang
dibutuhkan serta membantu pengambilan keputusan.
e. Siapkan lembar persetujuan (informed consent) untuk dilakukan rujukan
ke rumah sakit yang ditandatangani oleh bidan yang memberikan
penjelasan,
R/ lembar persetujuan yang berisi keterangan tentang diagnosa, rencana
tindakan/rujukan, resiko yang mungkin terjadi yangdisertai dengan tanda
tangan bidan yang member keterangan, ibu dan suami penting sebagai
bukti bahwa bidan telah membrikan keterangan pada pasien dan
keluarga, terutama jika terjadi masalah hokum.
f. Siapkan surat rujukan yang menerangkan identitas ibu, rumah sakit serta
divisi yang dituju, diagnosa, dan pemeriksaan dan perawatan yang
dibutuhkan untuk dibawa ke rumah sakit tempat rujukan.
R/ surat rujukan merupakan sarana komunikasi tertulis dari perujuk pada
tempat rujukan untuk memudahkan petugas tempat rujukan
mendapatkan informasi dasar mengenai kondisi pasien dan tindaakan
yang telah dilakukan di tempat sebelumnya.
g. Antar ibu ke rumah sakit dengan ambulans
R/ ibu diantar ke rumah sakit rujukan untuk antisipasi terjadi
kegawatdaruratan selama perjalan ke tempat rujukan.
Bila kehamilan < 34 minggu dan belum menunjukkan tanda maturitas paru
(di rumah sakit):
a. Informasikan hasil pemeriksaan pada ibu dan keluarga
R/ Menjelaskan keadaan ibu secara jelas dengan menggunakan bahasa
yang mudah dimengerti penting agar ibu dan keluarga paham tentang
keadaannya sehingga dapat mengambil keputusan dengan cepat
b. Siapkan surat persetujuan (informed consent) tindakan dan rawat inap
R/ surat persetujuan yang berisi identitas pasien, diagnosa, rencana
tindakan, prognosis, serta tanda tangan bidan/dokter yang member
penjelasan, ibu, dan suami merupakan bukti tertulis bahwa tenaga
kesehatan telah memberikan penjelasan tentang tindakan serta resiko
yang telah terjadi. Lembar persetujuan tertulis penting, terutama jika
terjadi masalah menyangkut hukum.
c. Lakukan kolaborasi dengan dokter spesialis (SpOG) untuk pemberian
terapi dan perawatan :
- Infus RL dengan 5% dextrose 60-125 cc/jam
- MgSO4 20% 4 gr iv dilanjutkan MgSO4 50% 10 gr im (pada bokong
kanan/kiri masing-masing 5 gr). Dosis ulangan : MgSO4 50% 5gr im
diulangi tiap 6 jam setelah dosis awal
R/ berguna untuk anti kejang
- Nifedipin 5-10 mg setiap 8 jam dapat diberikan bersaa dengan methyl
dopa 250-500 mg setiap 8 jam. Nifedipin dapat diberikan ulang
sublingual 5-10 mg dalam waktu 30 menit pada keadaan tekanan sitolik
> 180 mmHg atau diastolik > 110 mmHg. (cukup satu kali saja)
R/ kolaborasi dilakukan dengan dokter karena penanganan hipertensi
bukan merupakan wewenang bidan. Bidan dapat melakukan tindakan
delegatif seperti memberi obat antihipertensi sesuai dengan resep dokter.
d. Kolaborasi dengan dokter spesialis disiplin ilmu lain
R/ kolaborasi dengan dokter spesialis/disiplin ilmu lain ditentukan
berdasarkan hasil penilaian dokter Sp. OG terhadap kondisi pasien.
Kolaborasi dengan dokter interna (divisi nefrologi, kardiologi) untuk
pemeriksaan fungsi organ dalam yang dipengaruhi oleh preeklamsia
berat. Kolaborasi dengan dokter mata untuk pemeriksaan kemungkinan
terjadinya hipertensive retinopati.
e. Lakukan pemasangan dower kateter
R/ dower kateter dipasang untuk memantau keseimbangan cairan masuk
dan cairan keluar pasien. Produksi output urine yang jauh di bawah
jumlah input cairan menandakan gangguan fungsi ginjal dan dapat
menyebabkan oedema paru. Urine yang ditampung selama 24 jam
digunakan untuk pemeriksaan urine esbach.
f. Lakukan observasi TTV minimal setiap 4 jam sekali terutama tekanan
darah dan tanda-tanda impending eklampsia.
R/ Observasi ketat dilakukan untuk deteksi dini tanda impending
eklamsia atau perburukan status ibu (ACOG, 2013)
g. Lakukan observasi DJJ
R/ Tekanan darah tinggi dapat mempengaruhi perfusi plasenta yang
juga berdampak pada denyut jantung janin.
h. Informasikan kepada ibu dan keluarga tentang tanda-tanda bahaya dan
gejala perburukan preeklampsia.
R/ ibu dan keluarga mengetahui tanda-tanda bahaya dan gejala
perburukan preeklampsi sehingga dapat memanggil petugas jika terjadi
tanda bahaya.
i. Anjurkan ibu untuk lebih banyak beristirahat.
R/ Patofisiologi preeklampsia adalah insufisiensi plasenta dan uterus
sehingga istirahat diperlukan untuk perbaikan kondisi janin.
Bila Kehamilan >37 minggu atau < 37 minggu namun telah
menunjukkan tanda kematangan paru atau :
a. Informasikan hasil pemeriksaan pada ibu dan keluarga
R/ Menjelaskan keadaan ibu secara jelas dengan menggunakan bahasa
yang mudah dimengerti penting agar ibu dan keluarga paham tentang
keadaannya sehingga dapat mengambil keputusan dengan cepat
b. Siapkan surat persetujuan (informed consent) tindakan dan rawat inap
R/ surat persetujuan yang berisi identitas pasien, diagnosa, rencana
tindakan, prognosis, serta tanda tangan bidan/dokter yang member
penjelasan, ibu, dan suami merupakan bukti tertulis bahwa tenaga
kesehatan telah memberikan penjelasan tentang tindakan serta resiko
yang telah terjadi. Lembar persetujuan tertulis penting, terutama jika
terjadi masalah menyangkut hukum
c. Lakukan kolaborasi dengan SpOG dalam pemberian terapi yang tepat
- Infus RL dengan 5% dextrose 60-125 cc/jam
- MgSO4 20% 4 gr iv dilanjutkan MgSO4 50% 10 gr im (pada bokong
kanan/kiri masing-masing 5 gr). Dosis ulangan : MgSO4 50% 5gr im
diulangi tiap 6 jam setelah dosis awal sampai 6 jam pasca persalinan
R/ berguna untuk anti kejang
- Nifedipin 5-10 mg setiap 8 jam dapat diberikan bersaa dengan methyl
dopa 250-500 mg setiap 8 jam. Nifedipin dapat diberikan ulang
sublingual 5-10 mg dalam waktu 30 menit pada keadaan tekanan sitolik
> 180 mmHg atau diastolik > 110 mmHg. (cukup satu kali saja)
R/ berguna untuk antihipertensi
- Induksi persalinan (jika syarat lahir per vaginam terpenuhi)dengan
oksitosin drip setelah pemberian MgSO4 kedua
R/ terminasi kehamilan dengan induksi dilakukan untuk mengakhiri
kehamilan sesegera mungkin, untuk mengurangi resiko terjadinya
perburukan keadaan ibu dan janin.
d. Kolaborasi dengan dokter spesialis disiplin ilmu lain
R/ kolaborasi dengan dokter spesialis/disiplin ilmu lain ditentukan
berdasarkan hasil penilaian dokter Sp. OG terhadap kondisi pasien.
Kolaborasi dengan dokter interna (divisi nefrologi, kardiologi) untuk
pemeriksaan fungsi organ dalam yang dipengaruhi oleh preeklamsia
berat. Kolaborasi dengan dokter mata untuk pemeriksaan kemungkinan
terjadinya hipertensive retinopati.
e. Lakukan pemasangan dower kateter
R/ dower kateter dipasang untuk memantau keseimbangan cairan
masuk dan cairan keluar pasien. Produksi output urine yang jauh di
bawah jumlah input cairan menandakan gangguan fungsi ginjal dan
dapat menyebabkan oedema paru
f. Lakukan observasi TTV minimal setiap 4 jam sekali terutama tekanan
darah dan tanda-tanda impending eklampsia.
R/ Observasi ketat dilakukan untuk deteksi dini tanda impending
eklamsia atau perburukan status ibu dan janin(ACOG, 2013)
g. Lakukan observasi DJJ
R/ Tekanan darah tinggi dapat mempengaruhi perfusi plasenta yang juga
berdampak pada denyut jantung janin.
h. Informasikan kepada ibu dan keluarga tentang tanda-tanda bahaya dan
gejala perburukan preeklampsia.
R/ ibu dan keluarga mengetahui tanda-tanda bahaya dan gejala
perburukan preeklampsi sehingga dapat memanggil petugas jika terjadi
tanda bahaya.
i. Anjurkan ibu untuk lebih banyak beristirahat.
R/ Patofisiologi preeklampsia adalah insufisiensi plasenta dan uterus
sehingga istirahat diperlukan untuk perbaikan kondisi janin.
j. Siapkan alat pertolongan persalinan, resusitasi set, dan menghubungi
dokter pediatrik
R/ pada pertolongan persalinan per vaginam pada pasien dengan pre
eklamsia dapat terjadi kegawatdaruratan pada ibu dan janin setiap saat
sehingga persiapan alat perlu dilakukan dengan cermat agar
kegawatdaruratan dapat ditangani segera. Dokter pediatri dihubungi
lebih awal untuk meginformasikan kondisi pasien agar dokter siap jika
bayi lahir dengan asfiksia.
2.4.6 Melaksanaan perencanaan
Pada langkah keenam ini rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah
diuraikan pada langkah ke 5 dilaksanakan secara efisien dan aman.
Perencanaan ini bisa dilakukan oleh bidan atau sebagian dilakukan oleh bidan
dan sebagian lagi oleh klien, atau anggota tim kesehatan yang lain. Jika bidan
tidak melakukanya sendiri ia tetap memikul tanggung jawab untuk
mengarahkan pelaksanaanya. Manajemen yang efisien akan menyingkat
waktu dan biaya serta meningkatkan mutu dari asuhan klien.
2.4.7 Evaluasi
Pada langkah ke-7 ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang
sudah diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar-
benar telah terpenuhi sesuai dengan sebagaimana telah diidentifikasi didalam
masalah dan diagnosa. Rencana tersebut dapat dianggap efektif jika memang
benar efektif dalam pelaksananya. Ada kemungkinan bahwa sebagian rencana
tersebut telah efektif sedang sebagian belum efektif.

Anda mungkin juga menyukai