PENDAHULUAN
Kegagalan migrasi trofoblas interstitial sel dan endothelial trofoblast ke dalam arterioli miometrium
Hemolisis darah/
eritrosit
Preeklampsia/
Eklampsia HELLP sindrom
Kematian maternal:
Terminasi hamil: Impending Dekompensasiokordis, Acute
Sembuh baik ANC
eklampsia, Fetal distress, vascular accident, Kegagalan
teratur Persalinan
Solusioplasenta, Kriteria organ vital, Perdarahan,
berencana
Eden, Biofisikprofil fetal IUGR-asfiksia
buruk
ngawasan hamil ketat dan teratur, Persalinan non-traumatis, Ibu dan janin sehat optimal, Pengawasan post partum
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Plasenta merupakan organ utama yang beperan dalam pathogenesis
preeklamsia. Preeklamsia dapat terjadi hanya dengan adanya plasenta
tanpa melibatkan fetus, hal ini dibuktikan pada kasus kehamilan mola
tanpa janin, dimana resiko kejadian preeklamsia mengalami peningkatan.
Pada implantasi plasenta normal, sel sitotrofoblas embrio menginvasi
dinding rahim maternal. Setelah invasi, sitotrofoblas mencapai lapisan otot
polos dan endotel arteri desidua maternal. Interaksi ini menyebabkan
terjadinya perubahan pada pembuluh darah maternal (remodeling spiral
arteries) yang menyebabkan kapasitas pembuluh darah meningkat dan
resistensi pembuluh darah menurun, hal ini berfungsi untuk meningkatkan
akses oksigen dan nutrisi untuk pertumbuhan janin dan plasenta. Dalam
proses invasi vascular ini, sitotrofoblas berdiferensiasi dari fenotip epitel
menjadi fenotip endotel, proses ini disebut dengan pseudovaskulogenesis
atau mimikri vaskuler. Pada preeklamsia, sitotrofoblas gagal berdiferiansi
menjadi fenotip endotel invasif, invasi arteri spiralis sangat dangkal, dan
pembuluh darahnya berukuran kecil dengan resistensi tinggi (Camille E.
Powe, 2011). Hal ini meningkatkan kemungkinan terhambatnya aliran
darah dan resiko cedera akibat iskemia/reperfusi, yang merupakan stimuli
kuat terjadinya stress oksidatif (Dionne Tanneta dan Ian Sargent, 2013)
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas dan disfungsi endotel
a. Iskemia plasenta : Seperti yang dijelaskan sebelumnya, plasenta
merupakan organ utama yang berperan dalam patofisiologi preeklamsia.
Invasi trofoblast yang tidak adekuat yang menyebabkan remodeling
arteri spiralis yang tidak sempurna sehingga terjadi iskemia plasenta.
Plasenta dengan perfusi buruk dan hipoksik mensintesis dan melepaskan
faktor vasoaktif seperti solublefms-like tyrosine kinase (sFlt-1), sitokin,
dan angiotensin II (ANG II) autoantibodi reseptor tipe 1 (AT1-AA)
dalam jumlah besar. Vasoaktif yang beredar dalam jumlah besar dapat
mengganggu keseimbangan faktor relaksasi dan kontraksi lapisan sel
tunggal endotel yang terdapat pada lapisan luminal pembuluh darah yang
berfungsi menjaga hemostasis vaskuler. Saat keseimbangan ini
terganggu, terjadi vasokontriksi dan inflamasi vaskuler (Jeffrey S.
Gilbert, 2007). sFlt-1 juga ditemukan menginduksi terjadinya
peningkatan tekanan darah dan proteinuria pada hewan coba yang
digunakan untuk penelitian mengenai preeklamsia (Camille E. Powe,
2011).
b. Radikal bebas dan gangguan keseimbangan antioksidan : Radikal bebas
merupakan senyawa kimia dengan elektron yang tidak berpasangan pada
orbit terluarnya, elektron yang tidak berpasangan ini membuat senyawa
tersebut bersifat paramagnetik dan reaktif. Pada kehamilan normal,
peningkatan jumlah antioksidan dalam sistem sirkulasi ditemukan
seiring dengan peningkatan usia kehamilan. Namun pada kehamilan
dengan preeklamsia terjadi gangguan titik keseimbangan antioksidan
(Leif Matthiessen et al., 2005). Gangguan keseimbangan prooksidan-
antioksidan plasenta meningkatkan jumlah produk radikal bebas lipid
peroksidase dalam sistem sirkulasi. Kontak pembuluh darah dengan
produk peroksidase yang bersirkulasi menyebabkan disfungsi endotel
vaskuler dengan menginduksi kerusakan membrane endotel (M.
Agnihitori et al., 2013).
c. Disfungsi endotel : Invasi trofoblast yang tidak sempurna menyebabkan
gangguan remodeling arteri spiralis sehingga terjadi iskemia/reperfusi
plasenta dan proses inflamasi. Dalam sel trofoblas terjadi stress oksidatif
karena pembentukan radikal bebass yang tidak seimbang yang terbentuk
dari berbagai sumber seperti XO, eNOS tidak berpasangan, NADPH
oksidase, dan mitokondria. Selanjutnya gabungan dari berbagai proses
ini menyebabkan pembentukan peroksinitrit, lipid peroksidase,
modifikasi protein, aktivasi MMP, dan kerusakan DNA yang
berkontribusi dalam terjadinya disfungsi endotel (L.C. Sanchez-
Aranguren et al., 2014).
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Toleransi imun maternofetal penting untuk mempertahankan kehamilan.
Berbanding terbalik dengan kehamilan normal, terdapat indikasi bahwa
pada kehamilan dengan preeclampsia terdapat peningkatan respon
inflamasi dan terjadi perubahan imun Th1. Pada kehamilan normal,
terdapat dominasi sel Th2, sedangkan pada khamilan dengan preeklamsia
terdapat dominasi sel Th1.
Pada kehamilan dengan preeklamsia, ditemukan bahwa trofoblas
mengalami apoptosis yang lebih cepat dan dalam jumlah banyak (Leif
Matthiesen, 2005). Mikropartikel trofoblas dan sinsitiotrofoblas yang
mengalami apoptosis secara terlepas secara konstan dari plasenta selama
kehamilan dan masuk dalam sirkulasi maternal. Selanjutnya, partikel -
partikel yang telepas tersebut memicu respon imun ibu (Dekker dan Sibai,
1998, dalam Yvonne Jonsson, 2005), serta menyebabkan aktivasi endotel
sistemik secara berlebihan yang ditemukan dalam preeklamsia (Leif
Matthiesen, 2005).
4. Teori adaptasi kardiovaskuler
Selama kehamilan jantung mengalami remodeling, yaitu peningkatan
dimensi ventrikel dan atrium, ketebalan dinding ventrikel kiri, dan masa
jantung yang disebabkan oleh hipertropi. Gangguan dalam proses
remodeling, khususnya pada bagian ventrikel kiri dapat menjadi salah satu
penyebab preeklamsia. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang
menemukan bahwa wanita yang mengalami insufisiensi plasenta yang
disertai dengan disfungsi ventrikel kiri cenderung mengalami preeklamsia
dini, sedangkan wanita yang hanya mengalami insufisiensi plasenta tanpa
gangguan funsi jantung cenderung mengalami preeklamsia pada
kehamilan lanjut atau tidak mengalami preeklamsia (Karen Melchiorre et
al., 2014).
5. Teori genetik
Ibu, ayah atau keluarga menderita tekanan darah tinggi, saudara kandung
yang pernah pre eklamsia/eklamsia pada kehamilan, persalinan atau nifas
meningkatkan resiko terjadinya pre eklamsia berat (Bezzera P.C, 2010).
Selain itu, riwayat preeklamsia dan tekanan darah tinggi dari pihak suami
juga berpengaruh besar terhadap kejadian preeklamsia, karena preeklamsia
terjadi karena faktor genetik ibu dan janin, yang berarti juga melibatkan
genetik ayah janin. pada wanita yang mengalami preeklamsia
kemungkinan terdapat variasi gen yang mempengaruhi keseimbangan
cairan, fungsi endotel vaskuler, serta perkembangan plasenta yang
menyebabkan preeklamsia. Sejauh ini interaksi genotip maternal-fetal
yang ditemukan berpengaruh terhadap preeklamsia diantaranya adalah
IGF1, IL4R, IGF2R, GNB3, CSF1, dan THBS4. (F.J. Valenzuela et al.,
2012).
6. Teori defisiensi gizi
a. Kalsium : Kadar kalsium serum yang rendah dalam kehamilan
berpengaruh terhadap peningkatan hormon paratiroid dan rennin yang
kemudian meningkatkan kalsium intraseluler pada otot polos vaskuler.
Peningkatan kalsium dalam otot polos tersebut menyebabkan
vasokontriksi sehingga terjadi peningkatan resistensi vaskuler.
Peningkatan resistensi vaskuler ini memicu peningkatan tekanan darah
pada wanita dengan preeklamsia (Selina Akhtar et al., 2011).
b. Seng : Seng diperlukan dalam fungsi enzim antioksidan yang berperan
untuk melindungi dari kerusakan akibat radikal bebas. Kekuragan seng
dapat menyebabkan fungsi potensial antioksidan sel melemah yang
menyebabkan peningkatan tekanan darah (Selina Akhtar et al., 2011).
c. Folat : Folat merupakan penyumbang metal penting dalam tubuh, dan
oleh karena itu merupakan faktor penting dalam sintesis protein dan
DNA.peran penting metal lainnya adalah dalam konversi homosistein
menjadi methionin. Intake folat yang kurang atau gangguan metabolisme
folat genetik berhubungan dengan peningkatan homosistein serum. Pada
preeklamsia terjadi peningkatan homosistein serum, oleh karena itu
diperkirakan defisiensi folat berperan penting dalam kejadian
preeklamsia (J. M. Roberts, 2003).
7. Teori stimulus inflamasi
Kehamilan normal memicu respon inflamasi sistemik ringan. Respon
tersebut bervariasi dari satu wanita ke wanita lainnya,dapat berupa aktivasi
monosit, granulosit, maupun endotel. Endotel merupakan komponen
sistem inflamasi. Sel endotel memegang peranan penting dalam respon
inflamasi sistemik dan mediasi inflamasi lokal. Karena pada preeklamsia
terjadi gangguan endotel, maka hal ini juga mengakibatkan gangguan
respon inflamasi. Seluruh respon inflamasi yang terjadi secara fisiologis
pada kehamilan normal menjadi berlebihan pada preeklamsia (Redman
dan Sargen, 2009).
2.2.4 Faktor Resiko
1. Primigravida/nulipara : Wanita nulipara memiliki risiko lebih besar (7
sampai 10 persen) jika dibandingkan dengan wanita multipara (Leveno,
2009). Kejadian preeklamsia lebih tinggi pada kehamilan pertama sebagai
akibat dari reaksi imun maternal terhadap agen paternal yang
diekspresikan plasenta dan reaksi ini kemungkinan menyebabkan
gangguan invasi trofoblas dan disfungsi plasenta lainnya (S. Hernandez-
Diaz et al., 2009).
2. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan ganda, diabetes
melitus, hidrops fetalis, bayi besar : Menurut Roberts dan Redman, 1993
(Fraser, 2009), plasentasi abnormal dan penurunan perfusi plasenta juga
dapat terjadi pada kondisi yang berhubungan dengan penyakit
mikrovaskular, misalnya diabetes, hipertensi, atau trombofilia. Hal ini
dapat terjadi jika terdapat massa plasenta yang besar seperti pada
kehamilan kembar atau penyakit trofoblastik gestasional (mola
hidatidosa). Ibu yang menderita penyakit ini berisiko tinggi mengalami
preeklampsia.
3. Umur yang ekstrim : Wanita hamil yang berusia di atas 35 tahun memiliki
resiko yang lebih besar mengalami preeklamsia. Wanita berusia diatas 35
tahun mempunyai resiko sangat tinggi terhadap terjadinya preeklampsia.
Menurut Spellacy yang dikutip Cunningham (2007) insiden hipertensi
karena kehamilan meningkat 3 kali lipat pada wanita diatas 40 tahun
dibandingkan dengan wanita yang berusia 20 - 30 tahun.
4. Preeklamsia pada kehamilan sebelumnya : Wanita yang mengalami
preeklamsia pada kehamilan sebelumnya memiliki kemungkinan yang
lebih tinggi mengalami preeklamsia pada kehamilan berikutnyaSibai et al.,
1986 dalam L. Myatt dan L.B. carpenter 2007). Hal disebabkan karena
preeklamsia dipengaruhi oleh faktor genetik. Selain itu, disfungsi endotel
serta perubahan sistem sistemik yang disebabkan oleh preeklamsia pada
kehamilan sebelumnya menyebabkan wanita lebih rentang mengalami
preeklamsia pada kehamilan berikutnya. Caritis et al. (1998), menemukan
bahwa 19% wanita yang mengalami preeklamsia akan mengalami
preeklamsia kembali pada kehamilan berikutnya.
5. Kehamilan pertama oleh pasangan baru : Kehamilan pertama dengan
pasangan baru meningkatkan resiko mengalami preeklamsia. Hal ini
terkait dengan respon imun ibu terhadap gen ayah janin yang
diekspresikan oleh plasenta dalam kehamilan (Karen Melchiorre et al.,
2014).
6. Sosial ekonomi rendah : Sosial ekonomi rendah meruapakan salah satu
faktor resiko terjadinya preeklamsia terkait dengan teori defisiensi gizi.
Masyarakat dengan sosial ekonomi rendah umunya kurang memperhatikan
asupan gizi harian. Secara epidemiologi status ekonomi rendah, cenderung
menjadi faktor predisposisi pre eklamsia (Roberts et al., 2003).
7. In vitro fertilization (IVF) : Wanita yang hamil melalui metode IVF
mengalami 40% peningkatan resiko mengalami preeklamsia karena
menumbuhkan dan mengembangkan sel telur dan embrio di luar tubuh
mengurangi kemampuannya untuk berimplantasi dan menginvasi lapisan
uterus. Hal ini menyebabkan gangguan perfusi plasenta yang merupakan
stimuli kuat terjadinya stress oksidatif. Selain itu, pasien IVF juga
umumnya berusia lebih tua serta dengan kehamilan ganda, sehingga
kemungkinan mengalami preeklamsia menjadi lebih tinggi (Louisa
Petchey, 2011).Resiko preeklamsia pada wanita dengan IVF lebih
meningkat bila IVF menggunakan sel telur atau sperma donor.
8. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia : Adanya faktor
keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotip ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Telah terbukti bahwa
pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya akan
mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu
mengalami preeklampsia (Angsar, 2008).
9. Aktifitas berat : Aktifitas kerja yang padat dengan beban kerja tinggi,
bekerja lebih dari 6 jam sehari, shift malam, atau bekerja lebih ari lima
hari kerja berturut – turut dalam seminggu, serta bekerja berat dan lebih
banyak berdiri meningkatkan resiko terjadinya pre eklamsia (Haelterman
et al., 2007).
10. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil :
Menurut Chesley (1985) yang dikutip oleh Cunningham (2007)
preeklampsia juga terjadi pada multipara yang menderita penyakit
vaskuler, termasuk hipertensiessensialyang kronis, diabetes mellitus,
dengan penyakit ginjal.
2.2.5 Tanda dan Gejala
1. Tanda
a. Peningkatan berat badan yang pesat dapat diakibatkan oleh oedema berat
yang terjadi pada muka dan/atau tungkai. Obesitas meningkatkan resiko
pre eklamsia (Roberts et al., 2013).Peningkatan berat badan tiba – tiba
dalam kehamilan merukan salah satu indikator pre eklamsia, BMI lebih
dari 30 beresiko lebih besar mengalami pre eklamsia (Preeclampsia
Foundation, 2010).
b. Tekanan darah tinggi : Pada preeklamsia terjadi hipoksia plasenta,
sehingga plasenta melepaskan faktor vasoaktif yang mengganggu
keseimbangan sistem kerja endotel pembuluh darah. Gangguan
keseimbangan ini mengakibatkan vasokontriksi dan respon inflamasi
yang meningkatkan tekanan darah (Jeffrey S. Gilbert, 2007).
c. Output urine berkurang dan proteinuria : Penurunan output urine
(oliguria), peningkatan kreatinin serum atau plasma (>90µmol/L), dan
ekskresi protein urine >300mg/24 jam merupakan manifestasi klinis
yang menunjukkan bahwa sistem ginjal terpengaruh oleh tekanan darah
tinggi (Department of Health Northern Teritory Government Australia,
2012).
d. Perubahan reflex : Perubahan refleks serta gejala lainnya seperti nyeri
kepala dan gangguan penglihatan terjadi karena pengaruh tekanan darah
tinggi terhadap sistem neurologis (Department of Health Northern
Teritory Government Australia, 2012).
e. Bengkak pada tungkai dan/atau wajah : Bengkak tungkai pada pasien pre
eklamsia disebabkan oleh akumulasi kelebihan cairan, selain itu bengkak
persisten juga dapat menunjukkan kerusakan funsi ginjal yang
menyebabkan protein dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebih
(Shaun Cho, 2002).
2. Gejala
a. Nyeri kepala berat atau ringan dan gangguan penglihatan : Nyeri kepala
dan gangguan penglihatan sering terjadi pada pasien preeklamsia. Gejala
-gejala tersebut merupakan gejala neorologis prodromal. Gejala
neurologis tersebut mengindikasikan terbentuknya edema serebral dan
vasospasme pembuluh darah retinal dan serebral (CMCQQ, 2013).
b. Nyeri ulu hati : Merupakan gejala yang menunjukkan bahwa penyakit
mempengaruhi hepatoseluler karena nekrosis periportal atau parenkim,
peregangan kapsul hati dan/atau perdarahan (Cooray S., at al., 2011
dalam CMQQ 2013).
c. Mual muntah : Mual muntah umumnya terjadi pada kehamilan awal
sebelum usia kehamilan 16 minggu. Namun, jika mual muntah berat
mulai terjadi pada pertengahan kehamilan, hal ini dapat merupakan salah
satu gejala preeklamsia.
2.2.6 Skrining Pre Eklamsi
Skrining preeklamsia dapat mulai diakukan sejak usia kehamilan 11
sampai 13 minggu dengan menganalisis karakteristik demografi ibu, termasuk
riwayat medis dan obstetri, MAP (Mean Arterial Pressure) dan marker
biofisikal dan biokimia yang memiliki efektifitas tinggi dalam
mengidentifikasi kemungkinan terjadinya preeklamsia dini (Jonathan Lai et
al., 2012). Deteksi dini preeklamsia memberikan waktu bagi tenaga kesehatan
dan pasien melakukan perencanaan monitoring dan penatalaksanaan klinis,
serta identifikasi komplikasi secara dini (Silva Costa et al., 2011). Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan skrining preeklamsia menurut
Silva Costa et al adalah sebagai berikut:
1. Riwayat Maternal : Riwayat maternal termasuk etnis, paritas, dan riwayat
mengalami preeklamsia atau anggota keluarga mengalami preeklamsia
merupakan beberapa faktor resiko terjadinya preeklamsia dalam
kehamilan. Riwayat pasien terkait dengan preeklamsia dapat diskrining
mulai pertemuan pertama pasien dengan bidan. Penelitian menunjukkan
bahwa 25% pasien dengan resiko tinggi mengalami preeklamsia dalam
kehamilannya, dibandingkan dengan 5% pada populasi umum.
2. MAP (Mean Atrerial Pressure) : Skrining ini dilakukan pada usia
kehamilan minimal 18-24 minggu maksimal 32 minggu, dalam posisi
terlentang. Tekanan darah mencerminkan keadaan sirkulasi maternal dan
tekanan perfusi darah ke jaringan tubuh. Dalam keadaan normal MAP
(pada trimester III sedikit lebih rendah dari nilai sebelum kehamilan atau
awal kehamilan.
Pada trimester III, tekanan darah pada posisi telentang yang lebih tinggi
dibandingkan posisi miring merupakan pertanda adanya ancaman akan
terjadinya penyakit hipertensi. Dalam keadaan normal, pada posisi
telentang tekanan darah justru lebih tinggi dibandingkan posisi miring
kekiri (Widjmarko,2009).
Rumus penghitungan MAP :
S +2 D
3
Keterangan:
S: nilai Sistole
D: nilai diastole
MAP dinyatakan positif bila hasil perhitungannya ≥90mmHg.
3. ROT (Roll Over Test) : Adanya respon hipertensif yang terjadi pada
perubahan posisi ibu hamil 28 – 32 minggu dari posisi miring menjadi
telentang merupakan prediktor terjadinya Hipertensi Gravidarum.
Placental bed pada kehamilan normal dan preeklampsia. Pada
preeklampsia, perubahan fisiologi pada arteri uteroplasenta tidak melewati
“deciduomyometrial junction” sehingga terdapat segmen yang menyempit
antara arteri radialis dengan desidua Reproduksi (Brosen, 1977).
Pasien dalam posisi terlentang hasil constant, kemudian pasien tensi
miring setelah pemeriksaan Leopold ±5-10’. Penghitungan : Hasil diastole
terlentang-diastole miring, Jika hasil ≥ 15-20 mmHg makan positif
beresiko, Nilai prediktif dari Roll-Over test ini hanya 33%.
4. BMI (Body Mass Index) : Body Mass Index, yang merupakan ukuran yang
digunakan untuk menilai proporsionalitas perbandingan antara tinggi dan
berat seseorang. Rumus untuk BMI adalah berat badan (dalam kilogram)
dibagi dengan tinggi badan kuadrat (dalam meter)
BMI = BB (kg)/TB2 (m)
Jika hasil :30-34 Obesitas grade I
35-39 Obesitas grade II
≥ 40 Obesitas grade III
5. Hasil pemeriksaan yang didapat menunjukkan positif 2 dari BMI,ROT dan
MAP maka dapat terjadi dua kemungkinan yaitu Resiko Tinggi Pre
Eklamsia (dengan penatalaksanaan rujuk balik ke poli KIA untuk tindak
lanjut sesuai KSPR) dan Resiko Tinggi Pre Eklamsia (dengan
penatalaksanaan perbaiki faktor resiko monitoring melalui buku KIA,
P4K,KSPR. Pemberian Acetosal 100 mg/hari s/d usia kehamilan 36
minggu, kalsium, vit.C dan vit.E, ANC setiap 2 minggu s/d 34 minggu
usia kehamilan, kemudian 1 minggu sekali. Usia kehamilan 36 minggu
rujuk untuk persalinan oleh tenaga kesehatan kompetensi di UK 37
minggu di rumah sakit yang memiliki fasilitas memadai. Inpartu per
vaginam dengan Infus RL life line MAK III misoprostol 3tab/rectal,
observasi ketat 2 jam post partum, IMD jika dimungkinkan dan rawat
gabung) (Panduan Praktis Penanganan Pre Eklampsia/Eklampsia Dan
Perdarahan Postpartum, 2013)
6. USG
a. Doppler arteri uterine : Plasentasi yang buruk serta remodeling arteri
spiralis yang kurang optimal merupakan salah satu faktor penting yang
diperkirakan menyebabkan terjadinya preeklamsia dan eklamsia,
pertumbuhan janin terhambat, serta komplikasi terkait lainnya. Pada
kehamilan dengan kondisi tersebut, sirkulasi uteroplasenta tetap pada
keadaan resistensi tinggi, dan kondisi ini dapat diketahui dengan USG
Doppler arteri uterina. Sebagian besar penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa Doppler arteri uterina efektif dilakukan pada
trimester kedua, namun saat ini mulai semakin banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa penggunaan Doppler pada trimester pertama cukup
efektif untuk memprediksi preeklamsia dan pertumbuhan janin
terhambat.
b. Volume plasenta dan 3D Power Doppler : USG tiga dimensi
memberikan gambaran visual anatomi janin yang lebih jelas jika
dibandingkan dengan USG konvensional 2 dimensi. Dengan semakin
berkembangnya USG 3D Power Doppler serta analisis histogram 3D
Power Doppler kuantitatif, pengukuran aliran darah plasenta secara
kuantitatif dan kualitatif semakin mudah dilakukan. USG ini dapat
memberikan gambaran karakteristik pembuluh darah plasenta seperti
densitas, percabangan, perubahan caliber, serta lipatan pembuluh darah.
7. Biomarker : Marker biokimia preeklamsia merupakan faktor sirkulasi,
dimana pengukurannya dapat digunakan sebagai prediktor kejadian
preeklamsia. Beberapa marker yang diperiksa merupakan produk dari sel
trofoblas atau desidua yang berdekatan dengan plasenta yang
merefleksikan disfungsi plasenta yang merupakan aspek penting dalam
pathogenesis preeklamsia. Beberpa biomarker yang sering diperiksa untuk
skrining preeklamsia diantaranya adalah Pregnancy-associated Placental
Protein A, Placental protein 13, Cystatin C, sel janin, sel bebeas RNA dan
DNA janin, serta inhibin A dan aktivin A.
2.2.7 Penatalaksanaan
1. Perawatan Ekspektatif Pada Preeklampsia tanpa Gejala Berat
a. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia
tanpa gejala berat denganusia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan
evaluasi maternal dan janin yang lebih ketat.
b. Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus
preeklampsia tanpa gejala berat.
c. Evaluasi ketat yang dilakukan adalah:
- Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien
- Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis
- Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap mingguLevel evidence
II, Rekomendasi C
- Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2 kali
dalam seminggu)
- Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi
menggunakan dopplervelocimetry terhadap arteri umbilikal
direkomendasikan