Penyebab hipertensi dalam kehamilan termasuk preeklampsia hingga kini belum diketahui dengan
jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada
satupun teori tersebut yang dianggap mutlak benar (Angsar, 2008). Berikut teori yang dikemukakan
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-cabang arteri
uterina dan ovarika. Kedua pembulih darah tersebut menembus miometrium berupa arteri arcuarta dan
arteri arcuarta memberi cabang ateria radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri
basalis, dan arteri basalis memberi cabang arteri spiralis. Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil
normal : 500 mikron, sedang pada preeklampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasi
lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke utero plasenta.
Pada hamil normal dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblast (sel-sel dari janin) ke
dalam lapisan otot arteri srteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut, sehingga terjadi
dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblast juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan
matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi
dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini, memberi dampak penurunan desakan darah, penurunan resistensi
vaskuler, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup
banyak dan perfusi jaringan juga meningkat sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik.
Proses ini dinamakan “remodelling arteri spiralis”
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblast pada lapisan otot arteri
spiralis dan jaringan matriks di sekitarnya. Lapisan otot ini arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras,
sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya arteri
spiralis relatif mengalami vasokonstriksi dan terjadi kegagalan ‘remodelling arteri spiralis’, sehingga aliran
darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan
menimbulkan perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis HDK selanjutnya.
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
a. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/ radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblast, pada hipertensi dalam kehamilan terjadi
kegagalan ‘remodelling arteri spiralis’, dengan akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang
mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidant (desebut juga radikal bebas). Oksidant atau
radikal bebas adalah senyawa penerima elektron atau atom / molekul yang mempunyai elektron yang tidak
berpasangan. Salah satu oksidant penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang
sangat toksis, khusunya terhadap membrane sel endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidant
pada manusia adalah suatu proses normal, karena oksidant memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh.
Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai bahan toxin yang beredar
dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut ‘toxaemia’ gravidarum. Radikal hidroksil akan
merusak membrane sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroxida lemak.
Peroxida lemak selain akan merusak membrane sel juga akan merusak nukleus, dan protein sel endotel.
Produksi oksidant (radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toxis, selalu diimbangi dengan produksi
antioksidant ( Roberts dan Redman, 1993 (Fraser, 2009),
b. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti, bahwa kadar oksidant khususnya peroksida lemak
meningkat, sedang antioksidant, misalnya vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan menurun sehingga
terjadi dominasi kadar oksidant peroksida lemak yang relative tinggi. Peroxida lemak sebagai
oksidant/radikal bebas yang sangat toksis ini, akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah, dan akan
merusak membrane sel endothel. Membrane sel endothel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroxida
lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak
tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidant radikal dihidroksil, yang akan
merubah menjadi peroksida lemak (Angsar,2008)
c. Disfungsi sel endotel
Akibat sel endothel terpapar terhadap peroxida lemak, maka terjadi kerusakan sel endothel yang
kerusakannya dimulai dari membrane sel endothel. Kerusakan membrane sel endothel mengakibatkan
terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endothel, bahkan rusaknya seluruh
struktur sel endothel. Keadaan ini disebut ‘disfungsi endothel’ (endothelial disfunction). Pada waktu terjadi
kerusakan sel endothel yang mengakibatkan disfungsi sel endothel, maka akan terjadi :
1) Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endothel, adalah memproduksi
prostaglandin, yaitu :menurunkan produksi prostacycline (PGE2) : suatu vasodilator kuat.
2) Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi sel-sel trombosit
ini adalah untuk menutup tempat-tempat di lapisan endothel yang mengalami kerusakan. Agregasi
trombosit memproduksi thromboxane (TXA2) suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal
perbandingan kadar prostacycline / thromboxane lebih tinggi kadar prostacycline (vasodilator). Pada
preeklampsia kadar thromboxane lebih tinggi dari kadar prostacycline sehingga terjadi vasokonstriksi,
dengan terjadi kenaikan desakan darah.
3) Perubahan khas pada sel endothel kapiler glomerulus ginjal (Glomerular endotheliosis).
4) Meningkatnya permeabilitas kapiler.
5) Meningkatnya produksi bahan-bahan vassopressor yaitu endothelin. Kadar NO (vasodilator) sedangkan
endothelin (vasikonstriktor) meningkat.
6) Faktor peningkatan faktor koagulasi darah.
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Janin sebenarnya merupakan benda asing bagi ibunya karena janin adalah hasil dari pertemuan 2
gamet yg berlainan. Dari segi imunologi, benda asing harus ditolak dan dikeluarkan dari dalam tubuh
karena sistem Imunitas Seluler akan bangkit terhadap janin. Namun ternyata janin dapat diterima sistem
imunitas tubuh kita. Hal ini merupakan keajaiban alam dan belum ada gambaran yang jelas tentang
mekanisme sebenarnya yang berlangsung pada tubuh ibu hamil tersebut. Sistem imunitas seluler terhadap
antigen plasenta mulai bangkit pada TM II yang makin lama makin meningkat sesuai usia kehamilan. Pada
bumil timbul “Mekanisme imun depresion” yaitu suatu mekanisme tubuh yg menekan sistem imun atau
menahan respon yang telah bangkit seperti pada HCG dapat menekan proses transformasi sel limfosit T.
Imunologi dalam janin merupakan IgG dr ibu ke janin mulai sekitar 16 minggu kehamilan dan terus
meningkat ketika kehamilan bertambah, tetapi sebagian besar lg diterima janin selama 4 minggu terakhir
kehamilan.
Etiologi PIH tidak diketahui tetapi semakin banyak bukti bahwa gangguan ini disebabkan oleh
gangguan imunologik dimana produksi antibodi penghambat berkurang. Hal ini dapat menghambat invasi
arteri spiralis ibu oleh trofoblas sampai batas tertentu hingga mengganggu fungsi plasenta. Ketika
kehamilan berlanjut, hipoksia plasenta menginduksi proliferasi sitotrofoblas dan penebalan membran
basalis trofoblas yang mungkin mengganggu fungsi metabolik plasenta. Sekresi vasodilator prostasiklin
oleh sel-sel endotelial plasenta berkurang dan sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah, sehingga
timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini terjadilah
pengurangan perfusi placenta sebanyak 50%, hipertensi ibu dan penurunan volume plasma ibu. Jika
spasmenya menetap, mungkin akan terjadi cidera sel epitel trofoblas dan fragmen-fragmen trofoblas di
bawa ke paru-paru dan mengalami destruksi sehingga melepaskan tromboplastin. Selanjutnya
tromboplastin menyebabkan koagulasi intravaskular dan deposisi fibrin di dalam glomeruli ginjal
(endoteliosis glomerular) yang menurunkan laju filtrasi glomerulus dan secara tidak langsung
meningkatkan vasokonstriksi. Pada kasus berat dan lanjut, deposit fibrin ini terdapat di pembuluh darah,
sistem saraf pusat sehingga menyebabkan konvulsi.
4. Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan gizi berperan dalam terjadinya
hipertensi dalam kehamilan. Penelitian penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah penelitian tentang
pengaruh diet pada preeklampsia beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit
mendapatkan gizi yang cukup menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam kehamilan (Angsar, 2008).
Pada penelitiannya Aditiawarman (2009) menyebutkan adanya kenaikan insiden preeklamsia di RSU Dr.
Soetomo saat krisis ekonomi di Indonesia. Dilaporkan bahwa insiden preeklamsia meningkat pada daerah
dengan insiden tinggi kasus beri-beri, pelagra dan gangguan nutrisi. Beberapa zat yang diduga berhubungan
dengan angka kejadian pre eklampsia, antara lain antioksidan, vitamin D, kalsium, dan kalium.
5. Teori Inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta, bahwa lepasnya debris trofoblast di dalam sirkulasi darah merupakan
rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, plasenta juga melepaskan debris
trofoblast, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblast, akibat reaksi stress oksidative. Bahan-
bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan
normal, jumlah debris trofoblast masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam
batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, dimana pada preeklampsia terjadi
peningkatan stress oksidative, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblast yang meningkat.
Makin banyak sel trofoblast plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stress
oksidative akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblast juga akan sangat meningkat.
Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibumenjadi jauh lebih besar, dibanding
reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respon inflamasi ini akan mengaktivasi sel endothel dan sel-sel
makrofag/ sel granulosit yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang
menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu.
6. Teori defisiensi genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gene-single. Genotype ibu lebih menetukan
terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial dibanding dengan genotype janin. Telah terbukti
bahwa pada ibu yang mengalami preeclampsia, 26 % anak wanitanya akan mengalami preeclampsia pula,
sedangkankan hanya 8 % anak menantu mengalami preeclampsia.
Patofisiologi Preeklamsia
Kegagalan migrasi trofoblas interstitial sel dan endothelial trofoblast ke dalam arterioli miometrium
Hemolisis darah/
eritrosit
Preeklampsia/
Eklampsia HELLP sindrom
Kematian maternal:
Dekompensasiokordis
Sembuh baik ANC Terminasi hamil:
Acute vascular accident
teratur Persalinan Impending eklampsia
Kegagalan organ vital
berencana Fetal distress
Perdarahan
Solusioplasenta
IUGR-asfiksia
Kriteria Eden
Biofisikprofil fetal buruk
Pengobatan Berhasil
Pengawasan hamil ketat dan teratur
Persalinan non-traumatis
Ibu dan janin sehat optimal
Pengawasan post partum
Sumber : Muh. Dikman Angsar, 2008