Anda di halaman 1dari 6

FAKTOR PENYEBAB POST PARTUM HEMORAGE & PRE-EKLAMSI BERAT

1. Post Partum Haemorrhage


Perdarahan postpartum (PPP) didefinisikan sebagai kehilangan 500 ml atau lebih
darah setelah persalinan pervaginam atau 1000 ml atau lebih setelah seksio sesaria
(Leveno, 2009).

Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir yang
melewati batas fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan akan
mengeluarkan darah secara fisiologis sampai jumlah 500 ml tanpa menyebabkan
gangguan homeostasis. Dengan demikian secara konvensional dikatakan bahwa
perdarahan yang melebihi 500 ml dapat dikategorikan sebagai perdarahan pasca
persalinan dan perdarahan yang secara kasat mata mencapai 1000 ml harus segera
ditangani secara serius (Saifudin, 2001)

Berikut adalah faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan post partum:


a. Atonia Uteri
Atonia uteri adalah ketidakmampuan uterus khususnya miometrium untuk
berkontraksi setelah plasenta lahir. Perdarahan postpartum secara fisiologis
dikontrol oleh kontraksi serat-serat miometrium terutama yang berada di sekitar
pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta
(Wiknjosastro, 2006).
Kegagalan kontraksi dan retraksi dari serat miometrium dapat menyebabkan
perdarahan yang cepat dan parah serta syok hipovolemik. Kontraksi miometrium
yang lemah dapat diakibatkan oleh kelelahan karena persalinan lama atau
persalinan yang terlalu cepat, terutama jika dirangsang. Selain itu, obat-obatan
seperti obat anti-inflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik,
dan nifedipin juga dapat menghambat kontraksi miometrium. Penyebab lain
adalah situs implantasi plasenta di segmen bawah rahim, korioamnionitis,
endomiometritis, septikemia, hipoksia pada solusio plasenta, dan hipotermia
karena resusitasi massif

b. Laserasi jalan lahir


Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan
memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan
pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat
episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forsep atau vakum ekstraksi, atau
karena versi ekstraksi (Prawirohardjo, 2010).
c. Retensio plasenta
Retensio plasenta adalah plasenta belum lahir hingga atau melebihi waktu 30
menit setelah bayi lahir. Hal ini disebabkan karena plasenta belum lepas dari
dinding uterus atau plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan. Retensio
plasenta merupakan etiologi tersering kedua dari perdarahan postpartum (20% -
30% kasus). Kejadian ini harus didiagnosis secara dini karena retensio plasenta
sering dikaitkan dengan atonia uteri untuk diagnosis utama sehingga dapat
membuat kesalahan diagnosis. Pada retensio plasenta, resiko untuk mengalami
PPP 6 kali lipat pada persalinan normal (Ramadhani, 2011).
d. Koagulopati
Perdarahan postpartum juga dapat terjadi karena kelainan pada pembekuan darah.
Penyebab tersering PPP adalah atonia uteri, yang disusul dengan tertinggalnya
sebagian plasenta. Namun, gangguan pembekuan darah dapat pula menyebabkan
PPP. Hal ini disebabkan karena defisiensi faktor pembekuan dan penghancuran
fibrin yang berlebihan. Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa
penyakit keturunan ataupun didapat. Kelainan pembekuan darah dapat berupa
hipofibrinogenemia, trombositopenia, Idiopathic Thrombocytopenic Purpura
(ITP), HELLP syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet
count), Disseminated Intravaskuler Coagulation (DIC), dan Dilutional
coagulopathy (Wiknjosastro, 2006; Prawirohardjo, 2010).

Kejadian gangguan koagulasi ini berkaitan dengan beberapa kondisi kehamilan


lain seperti solusio plasenta, preeklampsia, septikemia dan sepsis intrauteri,
kematian janin lama, emboli air ketuban, transfusi darah inkompatibel, aborsi
dengan NaCl hipertonik dan gangguan koagulasi yang sudah diderita sebelumnya.
Penyebab yang potensial menimbulkan gangguan koagulasi sudah dapat
diantisipasi sebelumnya sehingga persiapan untuk mencegah terjadinya PPP dapat
dilakukan sebelumnya.

2. Pre Eklamsi Berat (PEB)


Pre-eklampsia merupakan gangguan dengan etiologi yang tidak diketahui secara
khusus pada perempuan hamil. Bentuk sindrom ini ditandai oleh hipertensi, dan
proteinuria yang terjadi setelah minggu ke-20 kehamilan. Eklampsia yang tidak
dikendalikan dengan baik akan dapat mengakibatkan kecacatan menetap atau bahkan
dapat menyebabkan kematian ibu dan bayi (Pernoll’s, 2009)
Pre-eklampsia adalah keadaan dimana terjadinya hipoperfusi ke organ akibat
vasospasme dan aktivasi endotel yang ditandai dengan hipertensi, proteinuria dan
edema. Hipertensi terjadi ketika tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90 mmHg
dengan pengukuran tekanan darah sekurangkurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam.
Kemudian, dinyatakan terjadi proteinuria apabila terdapat 300 mg protein dalam urin
selama 24 jam atau sama dengan ≥ 1+ dipstick. Preeklampsia dengan tekanan darah
sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria
lebih 5 g/24 jam disebut sebagai preeklampsia berat (Cunningham, 2006).

Faktor penyebab pre eklamsi belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa teori
yang meyakini tentang penyebab pre eklamsi yaitu (Prawirohardjo & Wiknjosastro,
2014)
a. Teori kelainan vaskularisasi
Pada kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke
dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot
tersebut sehingga terjadi dilatasi arterialis. Invasi trofoblas juga memasuki
jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan
memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Hal ini
memberi dampak penururnan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan
peningkatan aliran darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya aliran darah ke
janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat sehingga dapat menjamin
pertumbuhan janin dengan baik. Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi
invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks
sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga
lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi.
Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokontriksi, sehingga aliran darah
uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan
(radikal bebas). Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia
adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel
endotel pembuluh darah. Radikal ini akan merusak membran sel yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida
lemak selain dapat merusak membran sel, juga akan merusak nukleus dan protein
sel endotel. Jika sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak maka akan terjadi
disfungsi endotel, yang akan berakibat:
1) Gangguan metabolisme prostaglandin
2) Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi trombosit memproduksi tromboksan suatu vasokonstriktor kuat. Pada
hipertensi kehamilan kadar tromboksan lebih tinggi sehingga terjadi
vasokontriksi, dan terjadi kenaikan tekanan darah
3) Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus
4) Peningkatan permeabilitas kapilar
5) Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin
6) Peningkatan faktor koagulasi
c. Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin
Pada perempuan hamil normal, terdapat Human Leucocyte Antigen Protein G
(HLA-G) yang berfungsi melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural
Killer (NK) ibu.Namun, pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi
penurunan ekspresi HLA-G. Penurunan HLA-G akan menghambat invasi
trofoblas ke dalam desidua. Padahal Invasi trofoblas penting agar jaringan desidua
lunak dan gembur sehingga memudahkan dilatasi arteri spiralis.
d. Teori Adaptasi Kardiovaskuler
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan vasopressor.
Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan bahan
vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk
menimbulkan respon vasokontriksi. Terjadinya refrakter pembuluh darah karena
adanya sintesis PG pada sel endotel pembuluh darah. Akan tetapi, pada hipertensi
dalam kehamilan terjadi kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor
dan terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan vasopresor.
e. Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familiar dengan model gen tunggal. Telah terbukti
bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26 % anak perempuan akan
mengalami preeklampsia pula dan 8% anak menantu mengalami preeklampsia.
f. Teori Defisiensi Gizi
Beberapa hasil penetilian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi
berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan, seperti defisiensi kalsium
pada wanita hamil dapat mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia.
g. Teori Stimulus Inflamasi
Pada kehamilan normal plasenta akan melepkaskan debris trofoblas, sebagai sisa
proses apoptosis dan nektrotik trofoblas, akibat reaksi stress oksidatif. Bahan-
bahan ini selanjutnya akan merangsang proses inflamasi. Pada kehamilan normal,
jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga
masih dalam batas normal. Hal tersebut berbeda dengan proses apoptosis pada
preeklampsia, dimana terjadi peningkatan stress oksidatif dan peningkatan
produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas. Sehingga menjadi bebas reaksi
inflamasi dalam darah ibu sampai menimbulkan gejala-gejala preeklampsia padai
ibu.
DAFTAR PUSTAKA

Benson R, Pernoll’s (2009). Obstetri ginekologi. Jakarta: EGC


Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD (2006).
Obstetri Williams, Edisi ke-21, Vol.1, Jakarta: EGC

Prawirohardjo S, Wiknjosastro H (2014). Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo;

Saifudin, Abdul Bari. 2001. Buku Acuan Nasional, Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. Yayasan Bina Pustaka-Sarwono Prawirohardjo. Jakarta

Wiknjosastro H (2009). Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4 Cetakan ke-2. Jakarta: Yayaan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Leveno, Kenneth J. (2009). Obstetric Williams Panduan Ringkas. Jakarta : EGC


Prawirohardjo, Sarwono (2010). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Ramadhani NP, Sukarya WS. 2011. Hubungan antara karakteristik pasien dengan kejadian
retensio plasenta pada pasien yang dirawat di rumah sakit Al – Ihsan Bandung periode
1 Januari 2010 – 31 Desember 2010. Prosiding SnaPP2011 Sains, Teknologi, dan
Kesehatan. 2(1): 25-32.

Anda mungkin juga menyukai