Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN POST OP SC


DENGAN PREEKLAMPSIA BERAT (PEB)
E.C SOLUSIO PLASENTA

CI Akademik :
Hj. Ernawati, S.Kp, M.Kep

Nama : Syafiva Sunnahwiyah


Nim : PO71202230068

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN POLTEKKES KEMENKES JAMBI
TAHUN 2023/2024
LAPORAN PENDAHULUAN PERAWATAN POST SC DENGAN PRE EKLAMSI
BERAT (PEB)

1. Pengertian
Pre eklamsia merupakan penyakit khas akibat kehamilan yang memperlihatkan gejala
trias (hipertensi, edema, dan proteinuria), kadang-kadang hanya hipertensi dan edema atau
hipertensi dan proteinuria (dua gejala dari trias dan satu gejala yang harus ada yaitu
hipertensi).
Menurut Mansjoer (2000), pre eklamsia merupakan timbulnya hipertensi disertai
proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah
persalinan.
Pre eklampsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana hipertensi terjadi
setelah minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal dan
diartikan juga sebagai penyakit vasospastik yang melibatkan banyak sistem dan ditandai oleh
hemokonsentrasi, hipertensi dan proteinuria (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2005).
Solusio plasenta atau disebut abruption placenta / ablasia placenta adalah separasi
prematur plasenta dengan implantasi normalnya di uterus (korpus uteri) dalam masa
kehamilan lebih dari 20 minggu dan sebelum janin lahir. Dalam plasenta terdapat banyak
pembuluh darah yang memungkinkan pengantaran zat nutrisi dari ibu kejanin, jika plasenta
ini terlepas dari implantasi normalnya dalam masa kehamilan maka akan mengakibatkan
perdarahan yang hebat.
Perdarahan pada solusio plasenta sebenarnya lebih berbahaya daripada plasenta previa
oleh karena pada kejadian tertentu perdarahan yang tampak keluar melalui vagina hampir
tidak ada / tidak sebanding dengan perdarahan yang berlangsung internal yang sangat banyak
pemandangan yang menipu inilah yang sebenarnya yang membuat solusio plasenta lebih
berbahaya karena dalam keadaan demikian seringkali perkiraan jumlah, darah yang telah
keluar sukar diperhitungkan, padahal janin telah mati dan ibu berada dalam keadaan syok.
Penyebab solusio plasenta tidak diketahui dengan pasti, tetapi pada kasus-kasus berat
didapatkan korelasi dengan penyakit hipertensi vaskular menahun, 15,5% disertai pula oleh
pre eklampsia. Faktor lain diduga turut berperan sebagai penyebab terjadinya solusio plasenta
adalah tingginya tingkat paritas dan makin bertambahnya usia ibu. Gejala dan tanda solusio
plasenta sangat beragam, sehingga sulit menegakkan diagnosisnya dengan cepat.
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding
perut dan dinding uterus. Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui depan perut atau vagina. Atau disebut juga histerotomia
untuk melahirkan janin dari dalam rahim. Faktor dari ibu dilakukannya sectio caesarea adalah
plasenta previa , panggul sempit, partus lama, distosia serviks, pre eklamsi dan hipertensi.
Sedangkan faktor dari janin adalah letak lintang dan letak bokong.
Dari kasus solusio plasenta didiagnosis dengan persalinan prematur idopatik, sampai
kemudian terjadi gawat janin, perdrhan hebat, kontraksi uterus yang hebat, hipertomi uterus
yang menetap. Gejala-gejala ini dapat ditemukan sebagai gejala tunggal tetapi lebih sering
berupa gejala kombinasi.Solusio plasenta merupakan penyakit kehamilan yang relatif umum
dan dapat secara serius membahayakan keadaan ibu.
Seorang ibu yang pernah mengalami solusio plasenta, mempunyai resiko yang lebih
tinggi mengalami kekambuhan pada kehamilan berikutnya. Solusio plasenta juga cenderung
menjadikan morbiditas dan bahkan mortabilitas pada janin dan bayi baru lahir.
Klasifikasi pre eklamsia dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut:
a. Pre eklamsia ringan
Pre eklamsia ringan ditandai dengan:
1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring terlentang;
kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih dari tensi baseline (tensi sebelum kehamilan 20
minggu); dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara pengukuran sekurang-kurangnya
pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, atau berada dalam interval 4-6 jam.
2) Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam
seminggu.
3) Proteinuria kuantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kualitatif 1 + atau 2 + pada urin kateter atau
midstream (aliran tengah).

b. Pre eklamsia berat


Pre eklamsia berat ditandai dengan:
1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
2) Proteinuria 5 gr atau lebih per liter.
3) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam .
4) Adanya gangguan serebral atau kesadaran, gangguan visus atau penglihatan, dan rasa
nyeri pada epigastrium
5) Terdapat edema paru dan sianosis
6) Kadar enzim hati (SGOT, SGPT) meningkat disertai ikterik.
7) Perdarahan pada retina.
8) Trombosit kurang dari 100.000/mm.
2. Etiologi
Penyebab pre-eklampsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini dianggap
sebagai "maladaptation syndrome" akibat penyempitan pembuluh darah secara umum
yang mengakibatkan iskemia plasenta (ari-ari) sehingga berakibat kurangnya pasokan
darah yang membawa nutrisi ke janin. Namun ada beberapa faktor predisposisi terjadinya
pre eklamsia, diantaranya yaitu:
a. Primigravida atau primipara mudab (85%).
b. Grand multigravida
c. Sosial ekonomi rendah.
d. Gizi buruk.
e. Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun).
f. Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya.
g. Hipertensi kronik.
h. Diabetes mellitus.
i. Mola hidatidosa.
j. Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau
polihidramnion (14-20%).
k. Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara perempuan).
l. Hidrofetalis.
m. Penyakit ginjal kronik.
n. Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi besar, dan
diabetes mellitus.
o. Obesitas.
p. Interval antar kehamilan yang jauh.

3. Patofisiologi
Pada preeklampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini menyebabkan
prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia uterus. Keadaan iskemia
pada uterus, merangsang pelepasan bahan tropoblastik yaitu akibat
hiperoksidase lemak dan pelepasan renin uterus. Bahan tropoblastik berperan dalam
proses terjadinya endotheliosis yang menyebabkan pelepasan tromboplastin.
Tromboplastin yang dilepaskan mengakibatkan pelepasan tomboksan dan aktivasi/
agregasi trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan akan menyebabkan terjadinya
vasospasme sedangkan aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin akan menyebabkan
koagulasi intravaskular yang mengakibatkan perfusi darah menurun dan konsumtif
koagulapati. Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit dan faktor pembekuan
darah menurun dan menyebabkan gangguan faal hemostasis. Renin uterus yang di
keluarkan akan mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama- sama
angiotensinogen menjadi angiotensin I dan selanjutnya menjadi angiotensin II.
Angiotensin II bersama tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme.
Vasospasme menyebabkan lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang menyempit
menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah. Tekanan perifer
akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga menyebabkan terjadinya
hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin II akan merangsang glandula
suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron. Vasospasme bersama dengan koagulasi
intravaskular akan menyebabkan gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ.
Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh diantaranya otak, darah,
paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat menyebabkan terjadinya
edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Tekanan
intrakranial yang meningkat menyebabkan terjadinya gangguan perfusi serebral, nyeri
dan terjadinya kejang sehingga menimbulkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada
darah akan terjadi endotheliosis menyebabkan sel darah merah dan pembuluh darah
pecah. Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya pendarahan, sedangkan
sel darah merah yang pecah akan menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Pada paru-
paru, LADEP akan meningkat menyebabkan terjadinya kongesti vena pulmonal,
perpindahan cairan sehingga akan mengakibatkan terjadinya edema paru. Edema paru
akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas. Pada hati, vasokontriksi
pembuluh darah akan menyebabkan gangguan kontraktilitas miokard sehingga
menyebabkan payah jantung dan memunculkan diagnosa keperawatan penurunan curah
jantung. Pada ginjal, akibat pengaruh aldosteron, terjadi peningkatan reabsorpsi natrium
dan menyebabkan retensi cairan dan dapat menyebabkan terjadinya edema sehingga
dapat memunculkan diagnosa keperawatan kelebihan volume cairan. Selin itu,
vasospasme arteriol pada ginjal akan meyebabkan
penurunan GFR dan permeabilitas terhadap protein akan meningkat. Penurunan GFR
tidak diimbangi dengan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus sehingga menyebabkan
diuresis menurun sehingga menyebabkan terjadinya oligouri dan anuri. Oligouri atau
anuri akan memunculkan diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urin. Permeabilitas
terhadap protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein akan lolos dari
filtrasi glomerulus dan menyenabkan proteinuria. Pada mata, akan terjadi spasmus
arteriola selanjutnya menyebabkan edema diskus optikus dan retina. Keadaan ini dapat
menyebabkan terjadinya diplopia dan memunculkan diagnosa keperawatan risiko
cedera. Pada plasenta penurunan perfusi akan menyebabkan hipoksia/anoksia sebagai
pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga dapat berakibat terjadinya
Intra Uterin Growth Retardation serta memunculkan diagnosa keperawatan risiko
gawat janin.
Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf parasimpatis
akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi traktus gastrointestinal dan
ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat menyebabkan terjadinya hipoksia
duodenal dan penumpukan ion H menyebabkan HCl meningkat sehingga dapat
menyebabkan nyeri epigastrik. Selanjutnya akan terjadi akumulasi gas yang meningkat,
merangsang mual dan timbulnya muntah sehingga muncul diagnosa keperawatan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pada ektremitas dapat terjadi
metabolisme anaerob yang menyebabkan ATP diproduksi dalam jumlah yang sedikit
yaitu 2 ATP dan pembentukan asam laktat. Terbentuknya asam laktat dan sedikitnya
ATP yang diproduksi akan menimbulkan keadaan cepat lelah, lemah sehingga muncul
diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas. Keadaan hipertensi akan mengakibatkan
seseorang kurang terpajan informasi dan memunculkan diagnosa keperawatan kurang
pengetahuan.

4. Manifestasi Klinis
Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan urutan pertambahan berat
badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre
eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Sedangkan pada pre eklampsia
berat ditemukan gejala subjektif berupa sakit kepala di daerah frontal, diplopia,
penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, dan mual atau muntah. Gejala- gejala ini
sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa
eklampsia akan timbul. Penegakkan diagnosa pre eklampsia
yaitu adanya 2 gejala di antara trias tanda utama, dimana tanda utamanya yaitu hipertensi
dan 2 tanda yang lain yaitu edema atau proteinuria. Tetapi dalam praktik medis hanya
hipertensi dan proteinuria saja yang dijadikan sebagai 2 tanda dalam penegakkan
diagnosa pre eklamsia.

5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklamsia yaitu
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah
a) Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin untuk
wanita hamil adalah 12-14 gr%).
b) Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%).
c) Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm3)
2) Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine.
3) Pemeriksaan Fungsi Hati
a) Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL).
b) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat.
c) Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL.
d) Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45 u/ml)
e) Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT) meningkat (N= < 31 u/ml)
f) Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL)
4) Tes Kimia Darah
Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya yaitu 2,4 – 2,7 mg/dL
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Ultrasonografi (USG).
Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi perteumbuhan janin intra
uterus. Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan
ketuban sedikit.
2) Kardiotografi
Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi menunjukan bahwa denyut
jantung janin lemah.
6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia tergantung pada
derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi pre eklamsia antara
lain:
a. Komplikasi pada Ibu
1) Eklamsia.
2) Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak dan gagal
jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu.
3) Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated, Liver, Enzymes and
Low Plateleted) dan hemolisis yang dapat menyebabkan ikterik. Sindrom HELLP
merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel darah merah), meningkatnya
enzim hati, serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah. HELLP syndrome
dapat secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai dengan terjadinya
hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung trombosit rendah. Gejalanya
yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri perut bagian kanan atas.
4) Solutio plasenta.
5) Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan.
6) Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria.
7) Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan
untuk sementara.
8) Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan.
9) Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari tempat tidur saat
serangan kejang.
10) DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan pembekuan
darah.
b. Komplikasi pada Janin
1) Hipoksia karena solustio plasenta.
2) Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
3) Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme pembuluh darah dan
dapat menyebabkan kematian janin (IUFD).
4) Lahir prematur dengan risiko HMD (Hyalin Membran Disease).
7. Penatalaksanaan
a. Pencegahan atau Tindakan preventif
1) Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu secara teliti, mengenali tanda-
tanda sedini mungkin (pre-eklamsi ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup
supaya penyakit tidak menjadi lebih berat.
2) Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklemsi kalau ada
faktor-faktor predisposisi.
3) Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta
pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi
protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan
b. Penatalaksanaan atau Tindakan kuratif
Tujuan utama penatalaksanaan atau penanganan adalah untuk mencegah
terjadinya pre-eklamsia berlanjut dan eklamsia, sehingga janin bisa lahir hidup dan
sehat serta mencegah trauma pada janin seminimal mungkin.
1) Penanganan pre eklamsia ringan
Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain rawat inap, maka penderita dapat
dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2 kali
seminggu. Penanganan pada penderita rawat jalan atau rawat inap adalah dengan
istirahat ditempat, diit rendah garam, dan berikan obat-obatan seperti valium tablet
5 mg dosis 3 kali sehari atau fenobarbital tablet 30 mg dengan dosis 3 kali 1 sehari.
Diuretika dan obat antihipertensi tidak dianjurkan, karena obat ini tidak begitu
bermanfaat, bahkan bisa menutupi tanda dan gejala pre-eklampsi berat. Bila gejala
masih menetap, penderita tetap dirawat inap.Monitor keadaan janin : kadar estriol
urin, lakukan aminoskopi, dan ultrasografi, dan sebagainya.Bila keadaan
mengizinkan, barulah dilakukan induksi partus pada usia kehamilan minggu 37 ke
atas.
2) Penanganan pre eklamsia berat
a) Pre eklamsia berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu.
Jika janin belum menunjukan tanda-tanda maturitas paru-paru dengan uji kocok
dan rasio L/S, maka penanganannya adalah sebagai berikut:
(1) Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8 gr intramuskular
kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr itramuskular selama tidak
ada kontraindikasi.
(2) Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas magnesikus dapat
diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai kriteria pre-eklamsia ringan
kecuali ada kontraindikasi.
(3) Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin dimonitor, serta berat
badan ditimbang seperti pada pre eklamsia ringan, sambil mengawasi
timbulnya lagi gejala.
(4) Jika dengan terapi diatas tidak ada perbaikan dilakukan terminasi kehamilan
dengan induksi partus atau tindakan lain tergantung keadaan.
Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda kematangan paru janin, maka
penatalaksanaan kasus sama seperti pada kehamilan diatas 37 minggu.
b) Pre eklamsia berat pada kehamilan lebih dari 37 minggu.
(1) Penderita dirawat inap
(a) Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi.
(b) Berikan diet rendah garam dan tinggi protein.
(c) Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr intramuskular, 4 gr digluteus
kanan dan 4 gr digluteus kiri.
(d) Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam.
(e) Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella positif; diuresis 100 cc
dalam 4 jam terakhir; respirasi 16 kali per menit, dan harus tersedia
antidotumnya yaitu kalsium glukonas 10% dalam ampul 10 cc.
(f) Infus dekstrosa 5% dan ringer laktat.
(2) Berikan obat anti hipertensif : injeksi katapres 1 ampul IM dan selanjutnya
dapat diberikan tablet katapres 3 kali ½ tablet atau 2 kali ½ tablet sehari.
(3) Diuretika tida diberikan kecuali bila terdapat edema umum, edema paru dan
kegagalan jantung kongestif. Untuk itu dapat disuntikan 1 ampul IV lasix.
(4) Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan induksi
partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin
(pitosin atau sintosinon) 10 satuan dalam infus tetes.
(5) Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau forceps, jadi ibu
dilarang mengedan.
(6) Jangan diberikan methergin postpartum, kecuali bila terjadi perdarahan yang
disebabkan atonia uteri.
(7) Pemberian sulfas magnesikus, kalau tidak ada kontraindikasi, kemudian
diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam post partum.
(8) Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio sesarea.
c. Perawatan Mandiri untuk Kasus Pre Eklamsia
1) Aromatherapy : penelitian membuktikan bahwa minyak tertentu dapat
menimbulkan efek pada penurunan tekanan darah dan membantu relaksasi seperti
: levender, kamomile, kenanga, neroli dan cendana. Tetapi ada juga aromatehrapy
yang dapat meningkatkan tekanan darah diantaranya rosemary, fenel, hyssop dan
sage.
2) Pijat : pijat bagian punggung, leher, bahu, kaki, bisa memberikan ketenangan dan
kenyamanan.
3) Shiatsu, tai chi, yoga, dan latihan relaksasi
4) Terapi nutrisi : spesialis nutrisi menganjurkan penggunaan vitamin dan suplemen
mineral, khususnya zinc dan vitamin B6.
8. Pathway

Tekanan darah

Meningkat (140/90 mmHg) Normal

Hamil < 20 minggu Hamil >20 minggu

Hipertensi kronik Superimposed pre eklamsia Kejang (-) Kejang (+)

Faktor predisposisi PE : PRE EKLAMSIA EKLAMSIA


Primigravida atau primipara mudab (85%),
Grand multigravida, Sosial ekonomi rendah,
Gizi buruk., Faktor usia (remaja; < 20 tahun
Penurunan aliran darah
dan usia diatas 35 tahun), Pernah pre
eklamsia atau eklamsia sebelumnya,
Hipertensi kronik, Diabetes mellitus, Mola
hidatidosa, Pemuaian uterus yang Prostaglandin plasenta menurun
berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan
ganda atau polihidramnion (14-20%),
Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan Iskemia uterus
eklamsia (ibu dan saudara perempuan),
Hidrofetalis, Penyakit ginjal kronik,
Hiperplasentosis: mola hidatidosa,
kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi besar, Hiperoksidase lemak & pelepasan
dan diabetes mellitus, Obesitas, Interval renin uterus
antar kehamilan yang jauh.

Merangsang pengeluaran
Renin+darah → hati Proses endotheliosis
bahan tropoblastik

Renin+angiotensinogen
Merangsang pelepasan tromboplastin

Angiotensin I → Angiotensin II
Merangsang pengeluaran Aktivasi/agregasi trombosit
bahan tromboksan deposisi fibrin

Angiotensin II + tromboksan Vasospasme PD Koagulasi intravaskuler

Lumen arteriol menyempit Penurunan perfusi darah &


konsumtif koagulatif

Hanya 1 SDM yg dpt lewat


Penurunan trombosit &
Tek. Perifer meningkat → faktor pembekuan darah
kompensasi oksigen

Gangguan fisiologis
*HIPERTENSI homeostasis

Gangguan Multi Organ Gangguan perfusi darah


Gangguan Multi Organ

Otak Darah Paru Hati Mata

Endotheliosis Penumpukan darah Vasokontriksi PD Spasmus arteriola


Edema serebri
miokard

Peningkatan LAEDP Edema duktus optikus


Peningkatan PD pecah SDM pecah Gangguan kontraktilitas dan retina
tek.intrakranial miokard
Kongesti vena pulmonal
Perdarahan Anemia
hemolitik Diplopia
Risiko Kejang Payah jantung
Proses perpindahan cairan
Ketidakefektifa
karena perbedaan tekanan
n Perfusi Kelemahan Ketidakseimb Risiko Cedera
Risiko
Jaringan Otak angan suplay Penurunan Curah
Cedera
& kebutuhan Timbul edema (gangguan Jantung
O2 fungsi alveoli (ronchi,
rales, takipnea, PaCO2
menurun
Intoleransi
Aktivitas
Gangguan Pertukaran
Gas
Gangguan Multi Organ

Ginjal Plasenta Ekstremitas GI Tract

Adanya rangsangan Vasospasme Penurunan perfusi plasenta Metabolisme HCL meningkat


angiotensin II pada arteriol pada ginjal anaerob
gland.suprarenal →
aldosteron Hipoksia/anoksia Peristaltik turun
ATP diproduksi → 2 ATP
Penurunan Peningkatan
Peningkatan GFR permeabilitas Gangguan
reabsorpsi Na protein pertumbuhan Pembentukan
Peningkatan Konsti
plasenta asam laktat
akumulasi gas pasi
Retensi cairan Diuresis >> protein yg
menurun lolos dari Intra Uterine Growth Cepat lelah &
Kembung
filtrasi Retardation (IUGR) lemah
*EDEMA glomerulus
Oliguri/anuri
Kelemahan umum Mual & Muntah Nyeri
Risiko Gawat
Kelebihan Volume
*PROTEINURIA Janin
Cairan Gangguan
Intoleransi Ketidakseimba
Eliminasi
Aktivitas ngan nutrisi:
Urin
kurang dari
kebutuhan
tubuh
9. Pengkajian
a. Data Subjektif
1) Umur biasanya sering terjadi pada primigravida , < 20 tahun atau > 35 tahun
2) Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tekanan darah, adanya
edema, pusing, nyeri epigastrium, mual, muntah, penglihatan kabur, pertambahan
berat badan yang berlebihan yaitu naik > 1 kg/minggu, pembengkakan ditungkai,
muka, dan bagian tubuh lainnya, dan urin keruh dan atau sedikit (pada pre eklamsia
berat < 400 ml/24 jam).
3) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial,
hipertensi kronik, DM.
4) Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta
riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya
5) Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun
selingan
6) Psikososial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan, oleh
karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonya.

b. Data Objektif
1) Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam.
b) Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, dan lokasi edema.
c) Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian SM jika
refleks positif.
d) Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress. Selain
itu, untuk pre eklamsia ringan tekanan darah pasien > 140/90 mmHg atau
peningkatan sistolik > 30 mmHg dan diastolik > 15 mmHg dari tekanan biasa
(base line level/tekanan darah sebelum usia kehamilan 20 minggu). Sedangkan
untuk pre eklamsia berat tekanan darah sistolik > 160 mmHg, dan atau tekanan
darah diastolik > 110 mmHg.
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali dengan
interval 4-6 jam
b) Laboratorium : proteinuria dengan kateter atau midstream (biasanya
meningkat hingga 0,3 gr/lt atau lebih dan +1 hingga +2 pada skala kualitatif),
kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum kreatinin meningkat,
uric acid biasanya > 7 mg/100 ml.
c) Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu.
d) Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada otak.
e) USG: untuk mengetahui keadaan janin.
f) NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin.

10. Diagnosa Keperawatan


Menurut Herdman (2012), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu sebagai
berikut:
a. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera
b. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit
c. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan imobilitas dibuktikan dengan merasa lemah
d. Resiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan efek agen farmakologis
(anestesi) dibuktikan dengan fisik lemah
11. Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa Tujuan Intervensi


Nyeri Akut berhubungan dengan agen Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri
cedera selama 1 jam diharapkan skala nyeri Observasi :
menurun atau teratasi dengan indikator: 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
1. Frekuensi nadi normal durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
2. Pola nafas normal nyeri
3. Keluhan nyeri menurun 2. Identifikasi skala nyeri
4. Meringis menurun 3. Idenfitikasi respon nyeri non verbal
5. Gelisah menurun 4. Identifikasi faktor yang memperberat
6. Kesulitan tidur menurun dan memperingan nyeri

Terapeutik
1. Berikan Teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri (mis: TENS,
hypnosis, akupresur, terapi music,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
Teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (mis: suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
Kolaborasi : pemberian analgetik
Resiko infeksi berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan
kerusakan integritas kulit 3x24 jam, tidak tampak tanda infeksi Observasi
dengan indikator:
• Monitor tanda dan gejala infeksi
1. Demam menurun
lokal dan sistemik
2. Kemerahan menurun
3. Nyeri menurun Terapeutik
4. Bengkak menurun
5. Kadar sel darah putih membaik • Batasi jumlah pengunjung
• Berikan perawatan kulit pada area
edema
• Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
• Pertahankan teknik aseptic pada
pasien berisiko tinggi
Edukasi

• Jelaskan tanda dan gejala infeksi


• Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar
• Ajarkan etika batuk
• Ajarkan cara memeriksa kondisi
luka atau luka operasi
• Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
• Anjurkan meningkatkan asupan
cairan

Intoleransi aktifitas berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Energi
imobilitas dibuktikan dengan merasa lemah selama 3x24 jam diharapkan toleransi
aktifitas meningkat dengan indikator: Observasi
1. Keluhan Lelah menurun
• Identifikasi
gangguan fungsi tubuh
2. Dispnea saat aktivitas menurun
yang mengakibatkan kelelahan
3. Dispnea setelah aktivitas menurun
• Monitor kelelahan fisik dan
4. Frekuensi nadi membaik
emosional
• Monitor pola dan jam tidur
• Monitor lokasi dan
ketidaknyamanan selama
melakukan aktivitas
Terapeutik
• Sediakan lingkungan nyaman dan
rendah stimulus (mis: cahaya,
suara, kunjungan)
• Lakukan latihan rentang gerak pasif
dan/atau aktif
• Berikan aktivitas distraksi yang
menenangkan
• Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur,
jika tidak dapat berpindah atau
berjalan
Edukasi

• Anjurkan tirah baring


• Anjurkan melakukan aktivitas
secara bertahap
• Anjurkan menghubungi perawat
jika tanda dan gejala kelelahan
tidak berkurang
• Ajarkan strategi koping untuk
mengurangi kelelahan

Resiko ketidakseimbangan cairan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pemantauan Cairan


berhubungan dengan efek agen selama 3x24 jam, diharapkan tidak ada
farmakologis (anestesi) dibuktikan dengan tanda kehilangan cairan dengan kriteria Observasi
fisik lemah hasil:
• Monitor frekuensi dan kekuatan
1. Asupan cairan meningkat
nadi
2. Membrane mukosa lembab
• Monitor frekuensi napas
meningkat
• Monitor tekanan darah
3. Turgor kulit membaik
• Monitor berat badan
4. Output urin meningkat
• Monitor waktu pengisian kapiler
• Monitor elastisitas atau turgor kulit
• Monitor jumlah, warna, dan berat
jenis urin
• Monitor kadar albumin dan protein
total
• Monitor hasil pemeriksaan serum
(mis: osmolaritas serum,
hematokrit, natrium, kalium, dan
BUN)
• Monitor intake dan output cairan
• Identifikasi tanda-tanda
hypovolemia (mis: frekuensi
nadi meningkat, nadi teraba
lemah, tekanan darah menurun,
tekanan nadi menyempit, turgor
kulit menurun, membran mukosa
kering, volume urin menurun,
hematokrit meningkat, hasil,
lemah, konsentrasi urin
meningkat, berat badan menurun
dalam waktu singkat)
• Identifikasi tanda-tanda
hypervolemia (mis: dispnea,
edema perifer, edema anasarca,
JVP meningkat, CVP meningkat,
refleks hepatojugular positif,
berat badan menurun dalam
waktu singkat)
• Identifikasi faktor risiko
ketidakseimbagnan cairan (mis:
prosedur pembedahan mayor,
trauma/perdarahan, luka bakar,
apheresis, obstruksi intestinal,
peradangan pancreas, penyakit
ginjal dan kelenjar, disfungsi
intestinal)
Terapeutik

• Atur interval
waktu pemantauan
sesuai dengan kondisi pasien
• Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi

• Jelaskan
tujuan dan prosedur
pemantauan
• Dokumentasikan hasil pemantauan
DAFTAR PUSTAKA

Arif, M. (2016). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.
Bobak, I.M., Deitra L.L., & Margaret D. J. (2015). Buku ajar keperawatan maternitas, Edisi
4. Jakarta: EGC
Febriani, Ferra (2015). Laporan Pendahuluan Keperawatan Maternitas Peb (Pre Eklamsi
Berat) Di Ruang Anggrek Rumah Sakit Umum Daerah Banyuma. Kementerian
Pendidikan Nasional Universitas Jenderal Soedirman Fakultas Kedokteran Dan Ilmu-
Ilmu Kesehatan Jurusan Keperawatan Program Profesi Ners Purwokerto.
Herdman, T. H. (2016). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta:
EGC.
Johnson, M. M., & Sue M. (2000). Nursing outcame clasification. Philadelphia: Mosby.
McCloskey & Gloria M.B. (1996). Nursing Intervention Clasification. USA: Mosby.
Prawirohardjo, S. (2016). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Sumiati & Dwi F. (2015). “Hubungan obesitas terhadap pre eklamsia pada kehamilan di RSU
Haji Surabaya”. Embrio, Jurnal Kebidanan, Vol 1, No.2, Hal. 21-24.
Widiastuti, N. P. A. (2012). “Asuhan keperawatan pre eklamsia”.
http://nursingisbeautiful.wordpress.com/2010/12/03/askep-preeklampsia/.
Tim Pokja PPNI (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan KriteriaHasil
Keperawatan, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai