Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU HAMIL DENGAN PRE


EKLAMSI BERAT PADA RUANG VK IGD RSUD PROVINSI NTB
TANGGAL 1 S/D 5 NOVEMBER 2021

DISUSUN OLEH :

RAEHANAH, S.Kep
NIM : 085STYJ21

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM PENDIDIKAN NERS TAHAP AKADEMIK
T.A 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU HAMIL DENGAN DIAGNOSA
MEDIS PRE EKLAMSI BERAT PADA RUANG VK IGD
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NTB
TANGGAL 1 S/D 5 NOVEMBER 2021

ASKEP ini di sahkan pada :


Hari :
Tanggal :

MENGETAHUI

Pembimbing Lahan Pembimbing Akademik


Pre Eklamsi Berat (PEB)
PRE EKLAMSI
A. Pengertian
Pre eklamsia merupakan penyakit khas akibat kehamilan yang
memperlihatkan gejala trias (hipertensi, edema, dan proteinuria), kadang-
kadang hanya hipertensi dan edema atau hipertensi dan proteinuria (dua
gejala dari trias dan satu gejala yang harus ada yaitu hipertensi).
Menurut Mansjoer (2000), pre eklamsia merupakan timbulnya
hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia
kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan.
Pre eklampsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana
hipertensi terjadi setelah minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya
memiliki tekanan darah normal dan diartikan juga sebagai penyakit
vasospastik yang melibatkan banyak sistem dan ditandai oleh
hemokonsentrasi, hipertensi dan proteinuria (Bobak, Lowdermilk, &
Jensen, 2005).
Klasifikasi pre eklamsia dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut:
1. Pre eklamsia ringan
Pre eklamsia ringan ditandai dengan:
a. Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada
posisi berbaring terlentang; kenaikan diastolik 15 mmHg
atau lebih dari tensi baseline (tensi sebelum kehamilan 20
minggu); dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara
pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan
dengan jarak periksa 1 jam, atau berada dalam interval 4-6
jam.
b. Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; kenaikan berat
badan 1 kg atau lebih dalam seminggu.
c. Proteinuria kuantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kualitatif 1
+ atau 2 + pada urin kateter atau midstream (aliran tengah).
2. Pre eklamsia berat
Pre eklamsia berat ditandai dengan:
a. Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih
b. Proteinuria 5 gr atau lebih per liter.
c. Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam .
d. Adanya gangguan serebral atau kesadaran, gangguan visus
atau penglihatan, dan rasa nyeri pada epigastrium.
e. Terdapat edema paru dan sianosis
f. Kadar enzim hati (SGOT, SGPT) meningkat disertai ikterik.
g. Perdarahan pada retina.
h. Trombosit kurang dari 100.000/mm.

B. Etiologi
Penyebab pre-eklampsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini
dianggap sebagai "maladaptation syndrome" akibat penyempitan
pembuluh darah secara umum yang mengakibatkan iskemia plasenta (ari-
ari) sehingga berakibat kurangnya pasokan darah yang membawa nutrisi
ke janin. Namun ada beberapa faktor predisposisi terjadinya pre eklamsia,
diantaranya yaitu:
1. Primigravida atau primipara mudab (85%).
2. Grand multigravida
3. Sosial ekonomi rendah.
4. Gizi buruk.
5. Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun).
6. Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya.
7. Hipertensi kronik.
8. Diabetes mellitus.
9. Mola hidatidosa.
10. Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan
ganda atau polihidramnion (14-20%).
11. Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan
saudara perempuan).
12. Hidrofetalis.
13. Penyakit ginjal kronik.
14. Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops
fetalis, bayi besar, dan diabetes mellitus.
15. Obesitas.
16. Interval antar kehamilan yang jauh.

C. Patofisiologi
Pada preeklampsia terdapat penurunan  aliran darah. Perubahan ini
menyebabkan  prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan
iskemia uterus. Keadaan iskemia pada uterus, merangsang pelepasan
bahan tropoblastik yaitu akibat hiperoksidase lemak dan pelepasan renin
uterus. Bahan tropoblastik berperan dalam proses terjadinya endotheliosis
yang menyebabkan pelepasan tromboplastin. Tromboplastin yang
dilepaskan mengakibatkan pelepasan tomboksan dan aktivasi/ agregasi
trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan akan menyebabkan
terjadinya vasospasme sedangkan aktivasi/agregasi trombosit deposisi
fibrin akan menyebabkan koagulasi intravaskular yang mengakibatkan
perfusi darah menurun dan konsumtif koagulapati. Konsumtif koagulapati
mengakibatkan trombosit dan faktor pembekuan darah menurun dan
menyebabkan gangguan faal hemostasis.  Renin uterus yang di keluarkan
akan mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama- sama
angiotensinogen menjadi angiotensin I dan selanjutnya menjadi
angiotensin II. Angiotensin II bersama tromboksan akan menyebabkan
terjadinya vasospasme. Vasospasme menyebabkan lumen arteriol
menyempit. Lumen arteriol yang menyempit menyebabkan lumen hanya
dapat dilewati oleh satu sel darah merah. Tekanan perifer akan meningkat
agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga menyebabkan terjadinya
hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin II akan
merangsang glandula suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron.
Vasospasme bersama dengan koagulasi intravaskular akan  menyebabkan
gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ.
Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh diantaranya
otak, darah, paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta. Pada otak akan
dapat menyebabkan terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi
peningkatan tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial yang meningkat
menyebabkan terjadinya gangguan perfusi serebral, nyeri dan terjadinya
kejang sehingga menimbulkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada
darah akan terjadi endotheliosis menyebabkan sel darah merah dan
pembuluh darah pecah. Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan
terjadinya pendarahan, sedangkan sel darah merah yang pecah akan
menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Pada paru-paru, LADEP akan
meningkat menyebabkan terjadinya kongesti vena pulmonal, perpindahan
cairan sehingga akan mengakibatkan terjadinya edema paru. Edema paru
akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas. Pada hati,
vasokontriksi pembuluh darah akan menyebabkan gangguan kontraktilitas
miokard sehingga menyebabkan payah jantung dan memunculkan
diagnosa keperawatan penurunan curah jantung. Pada ginjal, akibat
pengaruh aldosteron, terjadi peningkatan reabsorpsi natrium dan
menyebabkan retensi cairan dan dapat menyebabkan terjadinya edema
sehingga dapat memunculkan diagnosa keperawatan kelebihan volume
cairan. Selin itu, vasospasme arteriol pada ginjal akan meyebabkan
penurunan GFR dan permeabilitas terhadap protein akan meningkat.
Penurunan GFR tidak diimbangi dengan peningkatan reabsorpsi oleh
tubulus sehingga menyebabkan diuresis menurun sehingga menyebabkan
terjadinya oligouri dan anuri. Oligouri atau anuri akan memunculkan
diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urin. Permeabilitas terhadap
protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein akan lolos dari
filtrasi glomerulus dan menyenabkan proteinuria. Pada mata, akan terjadi
spasmus arteriola selanjutnya menyebabkan edema diskus optikus dan
retina. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya diplopia dan
memunculkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada plasenta
penurunan perfusi akan menyebabkan hipoksia/anoksia sebagai pemicu
timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga dapat berakibat
terjadinya Intra Uterin Growth Retardation serta memunculkan diagnosa
keperawatan risiko gawat janin.
Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf
parasimpatis akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi
traktus gastrointestinal dan ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat
menyebabkan terjadinya hipoksia duodenal dan penumpukan ion H
menyebabkan HCl meningkat sehingga dapat menyebabkan nyeri
epigastrik. Selanjutnya akan terjadi akumulasi gas yang meningkat,
merangsang mual dan timbulnya muntah sehingga muncul diagnosa
keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pada
ektremitas dapat terjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan ATP
diproduksi dalam jumlah yang sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam
laktat. Terbentuknya asam laktat dan sedikitnya ATP yang diproduksi
akan menimbulkan keadaan cepat lelah, lemah sehingga muncul diagnosa
keperawatan intoleransi aktivitas. Keadaan hipertensi akan mengakibatkan
seseorang kurang terpajan informasi dan memunculkan diagnosa
keperawatan kurang pengetahuan.
D. Patway

Peningkatan
Konstriksi angiostensin II
vaskuler

Kontraksisel
Retensi aliran endotel
darah

Kerusakan & kebocoran


Hipertensi sel endotel

Pengendapan
konstituen darah

TD meningkat

Transport darah ke Kerusakan & Pembuluh darah


paru menurun kebocoran sel endotel otak pecah

Paru2 bkrja lebih kras Perubahan hemodinamik Lesi


u/ mningkatkan laju
darah
Pembekuan darah Hipoperfusi
terganggu
Edema paru
Integritas ego
Transport nutrisi +
sesak
O2 jg terganggu
Ansietas

Pola napas tidak Gangguan perfusi


efektif jaringan

Pd ibu: sianosis Pd janin: kurang


nutrisi

Resiko perfusi perifer Resiko cedera


tidak efektif pada janin
E. Manifestasi Klinis
Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan urutan
pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan
akhirnya proteinuria. Pada pre eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-
gejala subyektif. Sedangkan pada pre eklampsia berat ditemukan gejala
subjektif berupa sakit kepala di daerah frontal, diplopia, penglihatan kabur,
nyeri di daerah epigastrium, dan mual atau muntah. Gejala-gejala ini
sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan merupakan
petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Penegakkan diagnosa pre
eklampsia yaitu adanya 2 gejala di antara trias tanda utama, dimana tanda
utamanya yaitu hipertensi dan 2 tanda yang lain yaitu edema atau
proteinuria. Tetapi dalam praktik medis hanya hipertensi dan proteinuria
saja yang dijadikan sebagai 2 tanda dalam penegakkan diagnosa pre
eklamsia.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre
eklamsia yaitu sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah
- Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal
hemoglobin untuk wanita hamil adalah 12-14 gr%).
- Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%).
- Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm3)
b. Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine.
1) Pemeriksaan Fungsi Hati
- Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL).
- LDH (laktat dehidrogenase) meningkat.
- Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL.
- Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT)
meningkat (N= 15-45 u/ml)
- Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT)
meningkat (N= < 31 u/ml)
- Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL)
2) Tes Kimia Darah
Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya
yaitu 2,4 – 2,7 mg/dL
c. Pemeriksaan Radiologi
1) Ultrasonografi (USG).
Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi
perteumbuhan janin intra uterus. Pernafasan intrauterus lambat,
aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban sedikit.
2) Kardiotografi
Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi
menunjukan bahwa denyut jantung janin lemah.

G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia
tergantung pada derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk
komplikasi pre eklamsia antara lain:
1. Komplikasi pada Ibu
a. Eklamsia.
b. Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak
dan gagal jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu.
c. Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated,
Liver, Enzymes and Low Plateleted) dan hemolisis yang dapat
menyebabkan ikterik. Sindrom HELLP merupakan singkatan dari
hemolisis (pecahnya sel darah merah), meningkatnya enzim hati,
serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah. HELLP syndrome
dapat secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai dengan
terjadinya hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung
trombosit rendah. Gejalanya yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan
nyeri perut bagian kanan atas.
d. Solutio plasenta.
e. Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan.
f. Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria.
g. Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan
penglihatan untuk sementara.
h. Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan.
i. Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari
tempat tidur saat serangan kejang.
j. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan
pembekuan darah.
2. Komplikasi pada Janin
a. Hipoksia karena solustio plasenta.
b. Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
c. Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme
pembuluh darah dan dapat menyebabkan kematian janin (IUFD).
d. Lahir prematur dengan risiko HMD (Hyalin Membran Disease).

H. Penatalaksanaan
1. Pencegahan atau Tindakan preventif
a. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu secara teliti,
mengenali tanda-tanda sedini mungkin (pre-eklamsi ringan), lalu
diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi
lebih berat.
b. Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklemsi
kalau ada faktor-faktor predisposisi.
c. Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan,
serta pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak, serta
karbohidrat dan tinggi protein, juga menjaga kenaikan berat badan
yang berlebihan
2. Penatalaksanaan atau Tindakan kuratif
Tujuan utama penatalaksanaan atau penanganan adalah untuk
mencegah terjadinya pre-eklamsia berlanjut dan eklamsia, sehingga
janin bisa lahir hidup dan sehat serta mencegah trauma pada janin
seminimal mungkin.
a. Penanganan pre eklamsia ringan
Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain rawat inap, maka
penderita dapat dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang
lebih sering, misalnya 2 kali seminggu. Penanganan pada penderita
rawat jalan atau rawat inap adalah dengan istirahat ditempat, diit
rendah garam, dan berikan obat-obatan seperti valium tablet 5 mg
dosis 3 kali sehari atau fenobarbital tablet 30 mg dengan dosis 3 kali
1 sehari. Diuretika dan obat antihipertensi tidak dianjurkan, karena
obat ini tidak begitu bermanfaat, bahkan bisa menutupi tanda dan
gejala pre-eklampsi berat. Bila gejala masih menetap, penderita
tetap dirawat inap.Monitor keadaan janin : kadar estriol urin,
lakukan aminoskopi, dan ultrasografi, dan sebagainya.Bila keadaan
mengizinkan, barulah dilakukan induksi partus pada usia kehamilan
minggu 37 ke atas.
b. Penanganan pre eklamsia berat
1) Pre eklamsia berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu.
Jika janin belum menunjukan tanda-tanda maturitas paru-paru
dengan uji kocok dan rasio L/S, maka penanganannya adalah
sebagai berikut:
- Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8 gr
intramuskular kemudian disusul dengan injeksi
tambahan 4 gr itramuskular selama tidak ada
kontraindikasi.
- Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas
magnesikus dapat diteruskan lagi selama 24 jam sampai
dicapai kriteria pre-eklamsia ringan kecuali ada
kontraindikasi.
- Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin
dimonitor, serta berat badan ditimbang seperti pada pre
eklamsia ringan, sambil mengawasi timbulnya lagi
gejala.
- Jika dengan terapi diatas tidak ada perbaikan dilakukan
terminasi kehamilan dengan induksi partus atau tindakan
lain tergantung keadaan.
- Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda
kematangan paru janin, maka penatalaksanaan kasus
sama seperti pada kehamilan diatas 37 minggu.
2) Pre eklamsia berat pada kehamilan lebih dari 37 minggu.
a) Penderita dirawat inap
- Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar
isolasi.
- Berikan diet rendah garam dan tinggi protein.
- Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr
intramuskular, 4 gr digluteus kanan dan 4 gr
digluteus kiri.
- Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4
jam.
- Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella
positif; diuresis 100 cc dalam 4 jam terakhir;
respirasi 16 kali per menit, dan harus tersedia
antidotumnya yaitu kalsium glukonas 10% dalam
ampul 10 cc.
- Infus dekstrosa 5% dan ringer laktat.
- Berikan obat anti hipertensif : injeksi katapres 1
ampul IM dan selanjutnya dapat diberikan tablet
katapres 3 kali ½ tablet atau 2 kali ½ tablet sehari.
- Diuretika tida diberikan kecuali bila terdapat edema
umum, edema paru dan kegagalan jantung kongestif.
Untuk itu dapat disuntikan 1 ampul IV lasix.
- Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua,
dilakukan induksi partus dengan atau tanpa
amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin (pitosin
atau sintosinon) 10 satuan dalam infus tetes.
- Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum
atau forceps, jadi ibu dilarang mengedan.
- Jangan diberikan methergin postpartum, kecuali bila
terjadi perdarahan yang disebabkan atonia uteri.
- Pemberian sulfas magnesikus, kalau tidak ada
kontraindikasi, kemudian diteruskan dengan dosis 4
gr setiap 4 jam dalam 24 jam post partum.
- Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio sesarea.
b) Perawatan Mandiri untuk Kasus Pre Eklamsia
- Aromatherapy : penelitian membuktikan bahwa
minyak tertentu dapat menimbulkan efek pada
penurunan tekanan darah dan membantu relaksasi
seperti : levender, kamomile, kenanga, neroli dan
cendana. Tetapi ada juga aromatehrapy yang dapat
meningkatkan tekanan darah diantaranya rosemary,
fenel, hyssop dan sage.
- Pijat : pijat bagian punggung, leher, bahu, kaki, bisa
memberikan ketenangan dan kenyamanan.
- Shiatsu, tai chi, yoga, dan latihan relaksasi
- Terapi nutrisi : spesialis nutrisi menganjurkan
penggunaan vitamin dan suplemen mineral,
khususnya zinc dan vitamin B6.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Data Subjektif
a. Umur biasanya sering terjadi pada primigravida , < 20 tahun atau >
35 tahun
b. Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tekanan darah,
adanya edema, pusing, nyeri epigastrium, mual, muntah, penglihatan
kabur, pertambahan berat badan yang berlebihan yaitu naik > 1
kg/minggu, pembengkakan ditungkai, muka, dan bagian tubuh
lainnya, dan urin keruh dan atau sedikit (pada pre eklamsia berat <
400 ml/24 jam).
c. Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia,
vaskuler esensial, hipertensi kronik, DM.
d. Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa,
hidramnion serta riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau
eklamsia sebelumnya
e. Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok
maupun selingan
f. Psikososial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan
kecemasan, oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi
resikonya.
2. Data Objektif
a. Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24
jam.
- Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, dan lokasi
edema.
- Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat
pemberian SM jika refleks positif.
- Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya
fetal distress. Selain itu, untuk pre eklamsia ringan tekanan
darah pasien > 140/90 mmHg atau peningkatan sistolik > 30
mmHg dan diastolik > 15 mmHg dari tekanan biasa (base line
level/tekanan darah sebelum usia kehamilan 20 minggu).
Sedangkan untuk pre eklamsia berat tekanan darah sistolik >
160 mmHg, dan atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg.
b. Pemeriksaan Penunjang
- Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur,
diukur 2 kali dengan interval 4-6 jam
- Laboratorium : proteinuria dengan kateter atau midstream
(biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau lebih dan +1 hingga
+2 pada skala kualitatif), kadar hematokrit menurun, BJ urine
meningkat, serum kreatinin meningkat, uric acid biasanya > 7
mg/100 ml.
- Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu.
- Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya
kelainan pada otak.
- USG: untuk mengetahui keadaan janin.
- NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin.
c. Analisa data
No Symtom Etiologi Problem
1. Ds : dyspnea Konstrikasi vaskuler Pola napas
Do : penggunaan tidak efektif
otot bantu Retensi aliran darah berhubungan
pernafasan, fase dengan
ekspirasi Hipertensi ditandai
memanjang, pola dengan
nafas abnormal, Transport darah ke paru dispnea
pernafasan menurun
pursed-lip,
pernafasan Paru=paru bekerja lebih
cuping hidung, keras untuk
diameter thoraks meningkatkan laju darah
anterior-posterior
meningkat, Edema paru
ventilasi semenit
menurun, Sesak
kapasitas vital
menurun, tekanan Pola nafas tidak efektif
ekspirasi
menurun,
teknanan
inspitrasi
menurun,
ekskursi dada
berubah

2. DS : Merasa Konstrikasi vaskuler Ansietas


bingung, merasa berhubungan
hawatir dengan Retensi aliran darah dengan
akibat dari kurang
kondisi yang Hipertensi terpapar
dihadapi, sulit informasi
berkonsentrasi, Pembuluh darah otak ditandai
mengeluh pusing, pecah dengan
anoreksia, merasa
palpitasi, merasa Lesi khawatir
tidak berdaya dengan
Hipoperfusi akibat dari
DO: tampak kondisi yang
gelisah, tampak Integritas ego dihadapi
tegang, sulit
tidur, frekuensi ansietas
nafas meningkat,
frekuensi nadi
meningkat,
tekanan darah
meningkat,
diaphoresis,
tremor, muka
tampak pucat,
suara bergetar,
kontak mata
buru, sering
berkemih,
berorientasi pada
masa lalu
3. DS : - Konstrikasi vaskuler Resiko
perfusi
DO: - Retensi aliran darah jaringan
perifer tidak
Hipertensi efektif
ditandai
Kerusakan dan dengan
kebocoran sel endotel hipertensi

Perubahan hemodinamik

Pembekuan darah
terganggu

Transport nutrisi-O2
terganggu

Gangguan perfusi
jaringan

Pada ibu sianosis

Resiko perfusi perifer


tidak efektif
4. DS: - Risiko cedera
DO: - Konstrikasi vaskuler pada janin
ditandai
Retensi aliran darah dengan pola
makan yang
Hipertensi tidak sehat

Kerusakan dan
kebocoran sel endotel

Perubahan hemodinamik

Pembekuan darah
terganggu

Transport nutrisi-O2
terganggu

Gangguan perfusi
jaringan

Pada janin kurang

Resiko cedera pada


janin

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ditandai dengan dispnea
2. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi ditandai dengan
merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi
3. Resiko perfusi jaringan tidak efektif ditandai dengan hipertensi
4. Risiko cedera pada janin ditandai dengan pola makan yang tidak sehat
C. Intervensi
No SDKI SLKI SIKI
.
1. Pola napas tidak Setelah dilakukan Manajemen Jalan Napas
efektif tindakan keperawatan Observasi
berhubungan dalam jangka waktu a. Monitor pola napas
dengan ditandai 2x24 jam Pola Napas b. Monitor bunyi napas
dengan dispnea membaik dengan tambahan Terapeutik
kriteria: a. Posisikan semi-
a. Dyspnea menurun Fowler atau fowler
b. Penggunaan otot b. Berikan minum
bantu napas hangat
menurun c. Lakukan fisioterapi
c. Frekuensi napas dada, jika perlu
membaik Edukasi
d. Kedalaman napas a. Anjurkan asupan
membaik cairan 2000 ml/hari
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
2. Ansietas Setelah dilakukan Reduksi Ansietas
berhubungan tindakan keperawatan Observasi
dengan kurang dalam jangka waktu a. Identifikasi tingkat
terpapar informasi 2x24 jam Tingkat ansietas
ditandai dengan Ansietas menurun b. Monitor tanda-tanda
merasa khawatir dengan kriteria: ansietas
dengan akibat dari a. Perilaku gelisah Terapeutik
kondisi yang menurun a. Ciptakan suasana
dihadapi b. Perilaku tegang terapeutik unutk
menurun menumbuhkan
c. Konsentrasi kepercayaan
membaik b. Pahami situasi yang
d. Pola tidur membuat ansietas
membaik c. Gunakan pendekatan
yang tenang dan
meyakinkan
Edukasi
a. Jelaskan prosedur,
termasuk sensasi
yang mungkin
dialami
b. Anjurkan
mengungkapkan
perasaan dan persepsi
c. Latih kegiatan
pengalihan untuk
mengurangi
ketegangan
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
obat antiansietas, jika
perlu
3. Resiko perfusi Setelah dilakukan Perawatan Sirkulasi
perifer tidak tindakan keperawatan Observasi
efektif ditandai dalam jangka waktu a. Periksa sirkulasi
dengan hipertensi 2x24 jam Perfusi perifer
Perifer meningkat b. Identifikasi factor
dengan kriteria: risiko gangguan
a. Denyut nadi sirkulasi
perifer meningkat Terapeutik
b. Warna kulit pucat a. Hindari pemasangan
menurun infus atau
c. Akral membaik pengambilan darah di
d. Turgor kulit area keterbatasan
membaik perfusi
b. Hindari pengukuran
tekanan darah pada
ekstremitas dengan
keterbatasan perfusi
c. Hindari penekanan
dan pemasangan
tourniquet pada area
yang cedera
Edukasi
a. Anjurkan
menggunakan obat
penurun tekanan
darah, antikoagulan,
dan penurun kolestrol
b. Anjurkan minum obat
pengontrol tekanan
darah secara teratur
4. Risiko cedera Setelah dilakukan Pencegahan Cedera
pada janin tindakan keperawatan Observasi
ditandai dengan dalam jangka waktu a. Identifikasi area
pola makan yang 2x24 jam Tingkat lingkungan yang
tidak sehat Cedera menurun berpotensi
dengan kriteria: menyebabkan cedera
a. Toleransi makan b. Identifikasi obat yang
meningkat mnyebabkan cedera
b. Kejadian cedera Terapeutik
menurun a. Gunakan alas kaki
antislip
b. Diskusikan Bersama
anggota keluarga
pasien yang
mendampingi
Edukasi
a. Jelaskan alasan
intervensi pencegahan
jatuh ke pasien dan
keluarga
b. Anjurkan berganti
posisi secara perlahan
dan duduk selama
beberapa menit
sebelum berdiri

D. Impelementasi
Implementasi merupakan tahap pelaksanaan dari intervensi yang
sudah di tentukan sebelumnya. Setelah melakukan intervensi keperawatan,
tahap selanjutnya adalah mencatat intervensi yang telah dilakukan dan
evaluasi respon klien ( Suhardi Mardiyanto, 2013).

E. Evaluasi keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan langkah terakhir dalam proses
keperawatan. Evaluasi adalah kegiatan yang disengaja dan terus-menerus
dengan melibatkan pasien, perawat dan anggota tim kesehatan
lainnya (Suhardi Mardiyanto, 2010).

DAFTAR PUSTAKA
Arif, M. (2002). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius.

Herdman, T. H. (2012). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-


2014. Jakarta: EGC.

Prawirohardjo, S. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo.

Sumiati & Dwi F. (2012). “Hubungan obesitas terhadap pre eklamsia pada
kehamilan di RSU Haji Surabaya”. Embrio, Jurnal Kebidanan, Vol 1,
No.2, Hal. 21-24.

Widiastuti, N. P. A. (2012). “Asuhan keperawatan pre eklamsia”.


http://nursingisbeautiful.wordpress.com/2010/12/03/askep-
preeklampsia/.
Manuaba, Chandranita.dkk. (2013).Gawat Darurat Obstetri Ginekologi &
Obstetri Ginekologi Sosial Untuk Profesi Bidan . Jakarta : EGC

Masriroh, Siti. (2013). Keperawatan Obstetri & Ginekologi. Imperium:


Yogyakarta.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : DefinisI dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1, Jakarta DPP PPNI

PPNI (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : DefinisI dan Indikator


Diagnostik Edisi 1, Jakarta DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai