Anda di halaman 1dari 25

UJI AKTIVITAS PENGHAMBATAN ENZIM

α-GLUKOSIDASE SENYAWA ꞵ-SITOSTEROL PADA SPONS


(Petrosia sp.) ASAL PERAIRAN LOMBOK

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:

SITI MASRUROH
NIM: G1C018073

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MATARAM
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : UJI AKTIVITAS PENGHAMBATAN ENZIM


α-GLUKOSIDASE SENYAWA ꞵ-SITOSTEROL PADA
SPONS (Petrosia sp.) ASAL PERAIRAN LOMBOK

Penyusun : SITI MASRUROH

NIM : G1C018073

Disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ni Komang Tri Dharmayani, S.Si., M.Si Dr. Emmy Yuanita S.Si., M.Si.,
NIP. 19820411 200912 2 002 NIP. 19810524 200801 2 013

Mengetahui:
Ketua Program Studi Kimia
Fakultas MIPA Universitas Mataram,

Dr. Maria Ulfa, S.Si., M.Si.


NIP. 1982022420160101

i
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................i


DAFTAR ISI .......................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................iii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................iv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................v
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................4
2.1Tinjauan Umum Spons ...........................................................................4
2.2 Metabolit Sekunder Spons Petrosia sp ..................................................4
2.3 Senyawa Golongan Steroid Sebagai Inhibitor α-Glukosidase ...............5
2.4 Enzim .....................................................................................................7
2.5 Aktivitas Penghambatan Enzim α-glukosidase ......................................10
BAB III. METODE PENELITIAN.....................................................................13
3.1 Jenis Penelitian.......................................................................................13
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................13
3.3 Persiapan Penelitian ...............................................................................13
3.4 Pelaksanaan Penelitian ...........................................................................14
3.5 Analisis Data ..........................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................20
LAMPIRAN ........................................................................................................28

ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Spons Petrosia sp……………………………………………….. 4
2.2 Struktur ꞵ-Sitosterol………………………………………. 5
2.3 Struktur Senyawa Steroid Sebagai Inhibitor Α-Glukosidase 6
2.4 Plot Lineweaver-Burk…………………………………….. 9
2.5 Reaksi Enzimatis α-glukosidase dan p-nitrofenil
α-D-glukopiranosa………………………………………… 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.


Diabetes Melitus (DM) merupakan gangguan metabolit kronis dan
tidak menular yang ditandai dengan hiperglikemia yang dapat dilihat dengan
jelas dari tingginya angka gula darah (ADA, 2013). Prevalensi diabetes
melitus diperkirakan menyerang 415 juta jiwa di seluruh dunia dan angka
ini akan terus meningkat hingga 642 juta pada tahun 2040 (Munhaz, et al.,
2018 & Kahn, et al., 2014). Lebih dari 90 persen dari semua populasi
diabetes adalah diabetes melitus tipe 2 yang ditandai dengan penurunan
sekresi insulin karena kurangnya fungsi sel beta pankreas secara progresif
yang disebabkan oleh resistensi insulin (Nolan, 2002).
Meningkatnya prevalensi penyakit diabetes melitus dari tahun ke
tahun menunjukkan perlunya perhatian serius dalam terapi penyakit diabetes
melitus. Terapi dengan obat-obat sintetis sering menemui kegagalan
disebabkan efek samping obat, resistensi insulin, dan biaya yang tinggi
akibat pengobatan jangka panjang (Marianne, et al., 2011) sehingga
penggunaan obat alam sebagai terapi alternatif lebih dipertimbangkan
karena potensi dan minimalnya efek samping yang diberikan (Xie, et.al.,
2021). Alternatif pengobatan diabetes tipe 2 adalah dengan memanfaatkan
senyawa-senyawa yang dapat menghambat pencernaan karbohidrat komplek
(amilum) menjadi glukosa (Shinde, et al., 2008). Salah satunya adalah
menggunakan Inhibitor α-glukosidase (AGI) (Dong, et al., 2021). AGI
secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan
absorbsinya, sehingga mengurangi peningkatan kadar glukosa postprandial
pada penderita diabetes (Shinde, et al., 2008).
Inhibitor α-glukosidase (AGI) adalah kelas obat yang digunakan
untuk pengobatan diabetes melitus (Melo, 2006). Studi klinis terbaru
menunjukkan bahwa AGI dapat mengontrol lonjakan glukosa darah
postpandrial, mengurangi kadar glukosa dalam organ, dan menunda transisi
dari gangguan toleransi ke diabetes melitus. AGI juga mengatasi berbagai
kelemahan obat hiperglikemik lainnya sehingga AGI menjanjikan dalam
pengobatan diabetes. Namun, beberapa AGI (akarbose, voglibose, dan

1
miglitol) yang tersedia di klinik pemanfaatannya terbatas karena
efektifitasnya dan efek sampingnya yang tidak memuaskan (Stefano, et al.,
2018). Sebagai syarat pemenuhan persyaratan klinis, perlu dicari sumber
AGI baru dari sumber daya alam (Hanefel, 2008).
AGI telah diisolasi dari berbagai tanaman, khususnya golongan
senyawa steroid, diantaranya senyawa (25S)-5A-Furastan-3β,22,26-triol,
dan gitogenin, diisolasi dari seluruh tubuh tumbuhan T. longipetalus,
ditemukan sebagai penghambat yang baik dari α-glukosidase (IC50= 33,5 ±
0,22 dan 37,2 ± 0,18 -mol/L, masing-masing) dibandingkan dengan
akarbose (IC50= 38,3 ± 0,12 -mol/L) (Naveed, et al., 2014). Senyawa
Ergosterol dan ganodero B diisolasi dari tubuh buah Ganoderma lucidum
dengan aktivitas penghambatan α-glukosidase lebih kuat (IC50= 119,8 -
mol/L) daripada akarbose (IC50 = 3521,5 -mol/L) (Tabussum, et al., 2013).
Salah satu biota laut yang berpotensi sebagai sumber bahan kimia
bioaktif untuk mengatasi DM dengan kandungan metabolit sekunder yang
beragam dan jumlahnya relatif besar adalah spons Petrosia sp. Spons adalah
biota laut yang merupakan sumber senyawa steroid salah satunnya adalah ꞵ-
sitosterol. Belum ada penelitian sebelumnya yang menerangkan tentang
potensi spons sebagai inhibitor enzim α-glukosidase. Oleh karena itulah
dilakukan penelitian mengenai “Uji Aktivitas Enzim α-Glukosidase Dari
Senyawa ꞵ-Sitosterol Sponge Petrosia sp”, sehingga dari penelitian ini
didapatkan alternatif senyawa obat baru dari tumbuhan laut sebagai inhibitor
enzim α-glukosidase bagi penderita diabetes melitus tipe 2.
1.2 Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase dari ekstrak dan
senyawa ꞵ-sitosterol hasil isolasi dari spons Petrosia sp. asal perairan
Lombok?.
1.3 Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas
penghambatan enzim α-glukosidase dari ekstrak dan senyawa ꞵ-sitosterol
yang diisolasi dari spons Petrosia sp. asal perairan Lombok.

2
1.4 Manfaat penelitian
1. Memberikan informasi tentang aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase
pada ekstrak dan ꞵ-sitosterol hasil isolasi spons Petrosia sp asal perairan
lombok.
2. Memberikan informasi mengenai biota laut yang berpotensi sebagai obat
diabetes melitus.
3. Memberikan informasi tentang manfaat spons Petrosia sp.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Spons


Spons merupakan binatang berongga rapat tergolong sebagai filum
Porifera yang ditemukan dikarang-karang di perairan yang dangkal. Biota
laut ini menghasilkan berbagai senyawa kimia metabolit sekunder yang
bersifat bioaktif. Senyawa kimia tertentu dihasilkan untuk
mempertahankan diri dari serangan predator, mengingat struktur tubuhnya
yang lunak dan menetap (Muniarsih, et al., 2005)
Spons laut memiliki potensi bioaktif yang sangat besar. Kandungan
bioaktif tersebut dikelompokkan menjadi beberapa kelompok besar yaitu
antiflamasi, antitumor, antivirus, antijamur, antikanker, antibakteri, enzim
inhibitor dan lain sebagainya (Joseph dan Sujatha, 2011). Salah satu jenis
spons yang telah banyak diteliti dan diketahui memiliki berbagai macam
bioaktif yang telah berhasil diisolasi yakni dari spons Petrosia sp. yang
bisa dilihat pada Gambar 2.1. Klasifikasi spons laut Petrosia sp. adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Porifera
Kelas : Demospongia
Ordo : Haplosclerida
Sub Ordo : Petrosina
Famili : Petrosiidae
Genus : Petrosia

Gambar 2.1 Spons Petrosia sp.

4
2.2 Metabolit Sekunder Spons Petrosia sp
Penelitian yang dilakukan oleh Voogd dan Van Soest (2002) yang
tersebar di kawasan perairan Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan
ditemukan spesies baru yaitu Petrosia alfiani,. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa senyawa bioaktif dari genus Petrosia juga
mengandung asam kortikatat sebagai antijamur dari spons Petrosia
cortikata (Soediro, 1999), sedangkan data dari Van Soest dan Braekman
(1999) menemukan beberapa senyawa bioaktif dari famili petrosidae
diantaranya polihidroksilat asetilin, siklik 3-alkilpiperidin, dan
siklopropenasterol.
Beberapa senyawa aktif yang telah ditemukan dari genus Petrosia
adalah alkaloid manzamine-A bersifat sitotoksik (El sayed et al., 2001).
Pada Petrosia sp. ditemukan senyawa poliasetilen, dideoksipetrosinol A
yang menunjukkan aktivitas antitumor pada sel melanoma kulit manusia
(Cho, et al.,2004). Aktivitas antibakteri juga ditemukan pada hasil isolasi
dari spons laut Petrosia contignata, yaitu, Tarakseron dan D-
homoandrostan (Sutedja, et al., 2005). Senyawa antibakteri epidoksi sterol
dari spons laut Petrosia nigrans juga telah diisolasi dan dikarakterisasi
dengan nama 5,8-epidioksi-24-etilkolest-6-en-3-ol (Handayani, et al.,
2008). Serta senyawa β-sitosterol (gambar 2.2) dari spons Petrosia alifani
asal pulau Barrang Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan yang aktif sebagai
agen antijamur (Rahmayanti dan Ahyar, 2020).

Gambar 2.2 struktur ꞵ-Sitosterol

2.3 Senyawa Golongan Steroid sebagai inhibitor α-glukosidase


Delapan senyawa aktif telah ditemukan dari golongan senyawa
steroid. Guggulsterone (1), dengan IC50 nilai 132,14 ± 0,08 -mol/L,

5
diisolasi dari guggul, resin oleogum dari C.wightii yang berarti kurang
kuat daripada akarbose (IC50 = 92,94 ± 0,01 -mol/L).(El-Mekkawy, et al.,
2012). Senyawa (25S)-5A-Furastan-3β,22,26-triol (2), dan gitogenin (3),
diisolasi dari seluruh tubuh tumbuhan T. longipetalus, ditemukan sebagai
penghambat yang baik dari α-glukosidase (IC50= 33,5 ± 0,22 dan 37,2 ±
0,18 -mol/L, masing-masing) dibandingkan dengan akarbose (IC50= 38,3 ±
0,12 -mol/L) (Naveed, et.al., 2014)
Ergosterol (4) dan ganodero B (5) diisolasi dari tubuh buahnya
Ganoderma lucidum. Senyawa (5) aktivitas penghambatannya lebih kuat
glukosidase (IC50= 119,8 -mol/L) daripada akarbose (IC50 = 3521,5 -
mol/L), sedangkan senyawa (4) memiliki aktivitas penghambatan yang
lebih lemah daripada akarbose (IC50 > 839,5 -mol/L) (Fatmawati, et.al.,
2011). β-Sitosterol (6) dan β-sitosterol-3-HAI-β-D-glucopyranoside (7)
diisolasi dari C. plicata menunjukkan ragi α-glukosidase dengan aktivitas
penghambatan (IC50 = 277,7 ± 0,003 dan 258,71 ± 0,07 -mol/L), tetapi
aktivitas penghambatannya lebih rendah daripada akarbose (IC50 = 38,25 ±
0,12 -mol/L) (Tabussum, et.al., 2013). Senyawa (8) (kondrillasterol)
adalah (IC50 = 138 ± 2,01 mg/mL) daripada akarbose (Ezzat, et.al., 2014).

1 2

3 4

6
5 6

7 8

Gambar 2.3 struktur senyawa steroid sebagai inhibitor α-glukosidase

2.4 Enzim
Enzim adalah biokatalisator yang berfungsi untuk meningkatkan
laju reaksi kimia yang setidaknya 106 kali dibandingkan jika tidak
dikatalisis dan tidak ikut bereaksi serta tidak mengalami perubahan selama
berlangsungnya reaksi tersebut. Enzim yang bersifat spesifik untuk tipe
reaksi yang dikatalisis maupun substrat, atau substrat-substrat yang
berhubungan erat (Murray, et al., 2009).
Molekul enzim memliki kantung khusus yang disebut sebagai sisi
aktif. Sisi aktif tersebut mengandung rantai samping asam amino yang
membentuk permukaan tiga dimensi yang bersifat komplementer pada
substrat. Pengikatan substrat pada sisi aktif membentuk kompleks enzim-
substrat (ES) yang selanjutnya dikonversi menjadi enzim-produk (EP)
yang terpisah (Champe, et al., 2010)
E+S ES E+P
Keterangan:
E = enzim, S = substrat, ES = kompleks enzim-substrat, P = produk/hasil reaksi

7
Molekul enzim memliki kantung khusus yang disebut sebagai sisi aktif.
Sisi aktif tersebut mengandung rantai samping asam amin.

2.4.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi enzim


a. Suhu
Peningkatan suhu akan meningkatkan laju reaksi karena
meningkatnya energi kinetik dan frekuensi tumbukan molekul-molekul
yang bereaksi. Namun, peningkatan suhu yang terlalu tinggi dapat
menurunkan laju reaksi yang disebabkan denaturasi enzim (Champe, et
al., 2010)
b. Konsentrasi substrat
Laju reaksi (v) adalah jumlah molekul substrat yang dikonversi
menjadi produk per satuan waktu. Laju reaksi yang dikatalisis oleh
enzim meningkat dengan meningkatnya konsentrasi substrat hingga
dicapai kecepatan maksimum (Vmax). Pada konsentrasi substrat yang
tinggi, menyebabkan saturasi enzim terhadap substrat karena seluruh
sisi aktif enzim telah berikatan dengan subsrat (Champe, et al., 2010).
c. pH
Hubungan aktivitas dengan konsentrasi ion hidrogen
memperlihatkan keseimbangan antara denaturasi enzim pada pH tinggi
atau rendah dan efek pada keadaan bermuatan dari enzim, substrat,
atau keduanya (Murray, et al., 2009). Pada kondisi pH yang ekstrim,
dapat terjadi denaturasi enzim karena struktur dari sisi aktif molekul
protein bergantung pada karakter ionik rantai samping asam amino
(Champe, et al.,2010).

2.4.2 Kinetika Penghambatan Enzim


Kinetika penghambatan aktivitas enzim diukur dengan
meningkatkan konsentrasi substrat, baik dengan maupun tanpa adanya
inhibitor pada beberapa konsentrasi yang berbeda. Selanjutnya dilakukan
analisis data menggunakan metode Lineweaver-Burk untuk memperoleh
tetapan kinetika Michhaelis-Menten. Bentuk regresi linier dari persamaan
Michaelis-Menten, (Murray, et al., 2009):

8
(2.1)

( ) (2.2)

Persamaan diatas adalah persamaan dalam suatu garis lurus, y = ax


+b, di mana y = 1/Vi dan x = 1/[S]. 1/Vi sebagai fungsi y (absorbansi
sampel) sebidang dengan 1/[S] sebagai fungsi dari x (jumlah substrat)
sehingga memberikan garis lurus yang memotong sumbu y adalah 1/Vmax
dan dengan kemiringan Km/Vmax. Plot tersebut disebut plot Lineweaver-
Burk (gambar 2.4)

Gambar 2.4 plot Lineweaver-Burk


Plot Lineweaver-Burk digunakan untuk mengetahui nilai Km dan
Vmax yang dapat digunakan untuk membedakan antara inhibisi kompetitif
dan non kompetitif berdasarkan pada menghilang atau tidak
menghilangnya inhibisi pada saat konsentrasi substrat ditingkatkan.
Kinetika inhibisi enzim ditentukan dengan meningkatnya konsentrasi
substrat baik ada atau tidaknya adanya inhibitor.
a. Inhibisi kompetitif
Suatu inhibitor kompetitif berlomba dengan substrat untuk
berikatan dengan sisi aktif enzim, sekali terikat tidak dapat diubah
oleh enzim tersebut. Ciri penghambat kompetitif adalah
penghambatan bersifat reversibel atau dapat diatasi hanya dengan
meningkatkan konsentrasi substrat. Penghambat kompetiitif biasanya
menyerupai substrat normal atau biasa disebut analog substrat.
Inhibitor kompetitif [I] hanya berikatan secara reversibel dengan
enzim membentuk suatu kompleks EI. Namun, inhibitor [I] tidak

9
dapat dikatalisa oleh enzim untuk menghasilkan produk reaksi yang
baru (Lehninger, 1988).
Plot Lineweaver-Burk, inhibisi kompetitif memperlihatkan adanya
perpotongan pada sumbu y pada 1/Vmax (Vmax tidak berubah)
dengan penghambat dan tanpa penghambat. Pola ini menunjukkan
bahwa pada saat 1/[S] = 0, Vi akan sama seperti keadaan tanpa
penghambat. Sedangkan, pada sumbu x, keadaan dengan penghambat
atau tanpa penghambat terdapat pada intersep yang berbeda. Hal
tersebut menandakan adanya peningkatan nilai Km dengan adanya
penghambat kompetitif.
b. Inhibisi non kompetitif
Penghambatan non kompetitif, inhibitor berikatan pada sisi enzim
selain sisi aktif tempat berikatan, mengubah konfirmasi molekul
enzim, sehingga mengakibatkan inaktifasi reversible sisi katalitik.
Inhibitor non kompetitif dapat berikatan secara reversible pada
molekul enzimbebas membentuk kompleks EI (Enzim-Inhibitor)
ataupun berikatan secara reversible dengan kompleks ES (Enzim-
Substrat) membentuk kompleks ESI (Enzim-Inhibitor-Substrat)
(Lehninger, 1988). Namun, sementara kompleks EI masih bisa
mengikat substrat, maka akan diubah menjadi produk. Untuk inhibisi
non kompetitif sederhana, E dan EI memiliki afinitas yang sama
terhadap substrat (S). inhibisi non kompetitif yang lebih kompleks
terjadi ketika pengikatan inhibitor (I) tidak mempengaruhi afinitas
enzim terhadap substrat. Pada inhibisi non kkompetitif, plot
Lineweaver-Burk menunjukkan penuunan Vmax dengan adanya
penghambat non kompetitif, sedangkan nilai Km tetap.

2.5 Aktivitas Penghambatan enzim α-glukosidase


Aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase bermanfaat dalam
mengatasi hiperglikemia pada pasien diabetes melitus dengan cara
mengurangi jumlah monosakarida yang dapat diserap oleh usus (Febrinda,
et al., 2013). Alfa glukosidase merupakan suatu enzim yang mengkatalisis

10
pemotongan ikatan glikosidik pada oligosakarida. Beberapa glukosidase
yang bekerja spesifik dalam memotong ikatan glikosidik bergantung pada
posisi, jumlah, atau konfigurasi ikatan hidroksil di dalam molekul gula
(Melo, et al., 2006). Pada kondisi hiperglikemia, penghambatan kerja
enzim α-glukosidase dapat membantu mengatasi kondisi hiperglikemia
disebabkan jumlah monosakarida diserap oleh usus menjadi sedikit dan
berkurang (Irwan, et al., 2019).
Dalam penelitian ini, kemampuan hipoglikemik potensial dari
ekstrak spons Petrosia sp dan senyawa ꞵ-Sitosterol diuji secara in vitro
melalui penghambatan aktivitas enzim α-glukosidase. Akarbose digunakan
sebagai pembanding yang merupakan agen antidiabetik yang bekerja
dengan cara menghambat kerja enzim α-glukosidase. Banyak Penelitian
membuktikan bahwa senyawa yang terkandung didalam suatu tanaman
memiliki kemampuan untuk menghambat kerja enzim α-glukosidase,
seperti senyawa dari golongan flavonoid (Wang, et al., 2010), triterpenoid
(Lai, et al., 2012), alkaloid (Patel, et al., 2012), steroid (Naveed, et al.,
2013), dan Penghambatan aktivitas enzim α-glukosidase oleh berbagai
senyawa fenolik juga sangat banyak di temukan dalam berbagai penelitian,
antara lain luteolin, myricetin, quercetin (Tadera, et al., 2006), dan
flavonol (Lee, et al., 2008).
Pengujian penghambatan aktivitas enzim α-glukosidase dilakukan
dengan reaksi enzimatis menggunakan p-nitrofenil-α-D-glukopiranosa
(pNPG) sebagai substrat. Pada uji ini, enzim α-glukosidase menghidrolisis
p-nitrofenil-α-D-glukopiranosa menjadi D-glukopiranosida dan
p-nitrofenol yang berwarna kuning. Mekanisme reaksi yang terjadi dapat
dilihat pada gambar 2.5

11
(Sumber: Wang, 2010)
Gambar 2.5 Reaksi Enzimatis α-glukosidase dan p-nitrofenil
α-D-glukopiranosa

Intensitas warna kuning yang terbentuk dari p-nitrofenol


ditentukan absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada
panjang gelombang 400 nm. aktivitas enzim ditentukan berdasarkan
absorbandi p-nitrofenol yang terbentuk. Semakin tinggi kemampuan
ekstrak tanaman menghambat aktivitas α-glukosidase, maka akan semakin
berkurang p-nitrofenol yang terbentuk (Lorenza, 2012).

12
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah eksprimental dengan judul “Uji Aktivitas
Penghambatan Enzim α-Glukosidase Senyawa ꞵ-Sitosterol Pada Spons
(Petrosia sp.) Asal Perairan Lombok” dengan tahapan uji dimulai dengan
penyiapan larutan uji, uji pendahuluan, uji penghambatan aktivitas enzim
α-glukosidase, dan uji kinetika penghambatannya.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2022 sampai Maret
2022 di Laboratorium Kimia Dasar dan Laboratorium Kimia Lanjut
(C.1.2), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Mataram.

3.3 Persiapan Penelitian


3.3.1 Alat penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan
analitik, oven, set alat gelas dan kaca, wraping clean, pipet tetes, pipet
kapiler, pipet mikro, kuvet, lampu UV, rotary vacuum evaporator (Buchi,
IKA), pH meter (Eutech Instrument), vortex, freezer -20℃, shaker
inkubator, dan vacum pump.
3.3.2 Bahan penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstrak
spons Petrosia sp yang didapat dari perairan laut Tanjung Kelor, Sekotong
Tengah, Nusa Tenggara Barat. Bahan kimia yang digunakan adalah aseton,
n-heksana, etil asetat, metanol, kloroform, kertas saring biasa, plat
kromatografi lapis tipis (KLT), silika gel 7733 (merck), es batu, tisu,
aquades, aluminium foil, kapas, Muller Hinton Agar (MHA),
ciprofloxacin, dan dimetil sulfoksida (DMSO). Bahan yang digunakan
untuk uji aktivitas enzim yaitu enzim α-glukosidase yang berasal dari
Saccharomyces cerevisiae recombi- nant (Sigma Aldrich, USA), substrat

13
p-nitrofenil-α-D-glukopiranosida (PNPG) (Sigma Aldrich, USA), bovine
serum albumin (BSA), akarbose, natrium karbonat, dan larutan dapar.

3.4 Pelaksanaan penelitian


3.4.1 Preparasi sampel
Sampel ekstrak dan fraksi steroid ꞵ-Sitosterol spons Petrosia sp.
hasil isolasi ditimbang sebanyak 100 mg dan dilarutkan dengan dimetil
sulfoksida kemudian dicukupkan volumenya hingga 10 mL dengan dapar
fosfat pH 6,8 ke dalam labu ukur hingga diperoleh konsentrasi ekstrak 1%.
Larutan ekstrak 1% diencerkan sehingga diperoleh konsentrasi ekstrak 0,5;
0,25; 0,125; 0,0625; 0,03125; dan 0,01563%.

3.4.2 Proses Uji


Uji aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase diadaptasi dari
metode Lorenza (2012). Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui
aktivitas penghambatan senyawa β-sitosterol dari spons Petrosia sp. Asal
perairan Lombok terhadap enzim α-glukosidase dengan prosedur standar.
3.4.2.1 Penyiapan larutan Uji Penghambatan Aktivitas α-glukosidase
a. Larutan Dapar Fosfat
Larutan dapar fosfat pH 6,6; 6,8; 7,0; 7,2 dibuat dengan
mencampurkan 50,0 mL kalium dihidrogenfosfat 0,1 M sedikit demi
sedikit (hingga kurang lebih 16,4; 22,4; 29,1; 34,7 mL) Natrium
Hidroksida 0,1 N, disertai pengecekan menggunkan pH meter setiap
kali penambahan natrium hidroksida 0,1 N. Campuran tersebut
kemudian ditambahkan dengan air bebas CO2 secukupnya hingga 200
mL.
b. Larutan Bovin Serum Albumin (BSA)
Larutan BSA dibuat dengan melarutkan 200 mg BSA dengan dapar
fosfat (pH 6,6; 6,8; 7,0; 7,2) hingga 100 mL.
c. Larutan Enzim
Larutan enzim dibuat dengan melarutkan 10,1 mg enzim
α-glukosidase dengan dapar fosfat (pH 6,6; 6,8; 7,0; 7,2) yang
mengandung gliserol 50% hingga 10,0 mL. Pembuatan larutan enzim

14
dilakukan pada ice box suhu -2 hingga -8℃. Sebelum digunakan,
larutan enzim tersebut diencerkan hingga 0,15 U/mL (Sigma-Aldrich,
1996) dengan menggunakan dapar fosfat yang mengandung bovine
serum albumin (BSA). Larutan induk enzim disimpan dalam bentuk
aliquot di dalam freezer -20℃ agar tetap stabil selama beberapa bulan.
Sedangkan, larutan enzim 0,15 U/mL disimpan di dalam kulkas -2
hingga -8℃ agar tetap stabil selama beberapa minggu.
d. Larutan Substrat p-Nitrofenil α-D-glukopiranosida (pNPG)
Larutan substrat dibuat dengan melarutkan 60,3 mg pNPG dan
dicukupkan volumenya dengan aqua demineralisat hingga 10,0 mL
sehingga diperoleh konsentrasi 20 mM. Larutan substrat 20 mM
diencerkan hingga didapatkan larutan substrat 15; 10; 5; 2,5; 1,25; dan
0,625 mM.
e. Larutan Na2CO3 200 mM
Larutan Na2CO3 200 mM dibuat dengan melarutkan 21,2 g
Natrium karbonat dengan aquades hingga 1000,0 mL.
f. Larutan Akarbose
Akarbose ditimbang sebanyak 200 mg dan dilarutkan dalam dapar
fosfat pH 6,8 hingga diperoleh konsentrasi larutan standar 2%. Larutan
induk 2% diencerkan sehingga diperoleh konsentrasi larutan standar 1;
0,5; 0,25. 0,125; dan 0,0625%.
g. Larutan Sampel
Ekstrak ditimbang sebanyak 100 mg dan dilarutkan dengan dimetil
sulfoksida kemudian dicukupkan volumenya hingga 10,0 mL dengan
dapar fosfat pH 6,8 ke dalam labu ukur hingga diperoleh konsentrasi
ekstrak 1%. Larutan ekstrak 1% diencerkan sehingga diperoleh
konsentrasi ekstrak 0,5; 0,25; 0,125; 0,0625; 0,03125; 0,01563%.
3.4.2.2 Uji Pendahuluan Aktivitas α-glukosidase
Sebelum uji penghambatan enzim α-glukosidase, terlebih dahulu
dilakukan uji pendahuluan aktivitas α-glukosidase yang terdiri dari
penentuan panjang gelombang p-nitrofenol dan optimasi aktivitas enzim
α-glukosidase untuk mengetahui kondisi yang optimal agar enzim bekerja

15
secara optimal. Optimasi aktivitas enzim meliputi optimasi konsentrasi
substrat dan optimasi pH. Setelah didapatkan kondisi yang optimum, uji
aktivitas penghambatan α-glukosidase dilakukan berdasarkan kondisi
tersebut.
a. Penentuan panjang gelombang p-nitrofenol
Masing-masing campuran reaksi terdiri dari 5 μL
dimetilsulfoksida (DMSO), 245 μL 100 mM dapar fosfat pH 6,8
(sigma-Aldrich) dan 125 μL 10 mM p-nitrofenil-α-D-glukopiranosida
(pNPG), diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37°C. Ditambahkan 125
μL larutan enzim 0,15 U/mL (sigma-aldrich) dan diinkubasi selama 15
menit. Reaksi enzim dihentikan dengan penambahan 1000 μL 200 mM
Natrium Karbonat.
b. Penentuan konsentrasi optimum Substrat
Larutan 5 μL DMSO dan dapar fosfat pH 6,8 sebanyak 245 μL
dicampur, kemudian ditambahkan 125 μL pNPG dari masing-masing
konsentrasi (30; 20; 15; 10; 5; 2,5; 2; dan 1 mM) dan diinkubasi selama
5 menit pada suhu 37°C. Kedalam sampel ditambahkan 125 μL enzim
α-glukosidase 0,15 U/mL dalam dapar fosfat pH 6,8. Campuran
diinkubasi selamat 15 menit pada suhu 37°C. Setelah masa inkubasi
selesai, ditambahkan 1000 μL Natrium Karbonat 200 mM. Sampel
diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 400 nm.
c. Penentuan pH Optimum
Masing-masing campuan reaksi terdiri dari 5 μL DMSO, 245 μL
100 mM dapar fosfat (pH 6,6; 6,8; 7,0), dan 125 μL pNPG konsentrasi
5 mM, lalu diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37°C. Kedalam sampel
ditambahkan 125 μL enzim α-glukosidase 0,15 U/mL dalam dapar
fosfat pH (6,6; 6,8; 7,0). Campuran diinkubasi selama 15 menit pada
suhu 37°C. Setelah masa inkubasi selesai, ditambahkan 1000 μL
Natrium Karbonat 200 mM. Sampel diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 400 nm.
d. Penentuan suhu optimum

16
Masing-masing campuran reaksi terdiri dari 5 μL DMSO, 245 μL
100 mM dapar fosfat (pH 6,6; 6,8; 7,0) dan 125 μL PNPG konsentrasi 5
mM, lalu diinkubasi selama 5 menit pada suhu 30, 37, dan 40°C.
Kedalam sampel ditambahkan 125 μL enzim α-glukosidase 0,15 U/mL
dalam dapar fosfat pH 6,8. Campuran diinkubasi selama 15 menit pada
suhu 30, 37, dan 40°C. Setelah masa inkubasi selesai, ditambahkan
1000 μL Natrium Karbonat 200 mM. sampel diukur absorbansinya
dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 400 nm.
e. Perhitungan Aktivitas Enzim
( )
⁄ (3.1)

⁄ ⁄ (3.2)

Keterangan :
V = Volume total
Df = faktor pengenceran
18,1 = Ekstinsi milimolar p-nitrofenol pada 400 nm
Ve = Volume enzim (mL)
t = waktu inkubasi (menit)
C = Banyaknya α-glukosidase dalam larutan (mg/mL)
Definisi Unit:
Satu unit melepaskan 1,0 μmol D-glukosa dari p-nitrofenil-α-D-glukosa
per menit pada pH 6,8 dan suhu 37°C.
3.4.2.3 Uji Penghambatan Aktivitas enzim α-glukosidase
Setelah diperoleh kondisi optimasi, selanjutnya dilakukan uji
penghambatan aktivitas α-glukosidase. Prosedur penentuan aktivitas
penghambatan α-glukosidase adalah (Elya, et al., 2012):
a. Pengujian Blanko (B)
Lima μL larutan DMSO ditambah dengan 245 μL dapar fosfat pH
6,8 dan 125 μL pNPG dengan konsentrasi 5 mM, diinkubasi selama 5
menit pada suhu 37°C. Kedalam sampel ditambahkan 125 μL enzim α-
glukosidase 0,15 U/mL dalam dapar fosfat pH 6,8. Sampel diinkubasi
selama 15 menit pada suhu 37°C. Setelah masa inkubasi selesai,
ditambahkan 1000 μL Natrium Karbonat 200 mM. Sampel diukur

17
absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 400 nm. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali.
b. Pengujian Kontrol (K)
Lima μL larutan DMSO ditambah dengan 245 μL dapar fosfat pH
6,8 dan 125 μL pNPG dengan konsentrasi 5 mM, diinkubasi selama 5
menit pada suhu 37°C. Kedalam larutan ditambahkan 1000 μL Natrium
Karbonat 200 mM. Sampel diinkubasi kembali selama 15 menit pada
suhu 37°C. Setelah masa inkubasi selesai, ditambahkan 125 μL enzim
α-glukosidase 0,15 U/mL. Sampel diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 400 nm. Pengujian
dilakukan sebanyak 3 kali.
c. Pengujian Blanko Sampel (BS)
Larutan sampel (pembanding/ekstrak) 5 μL dengan berbagai
konsentrasi ditambahkan dengan 245 μL dapar fosfat 6,8 dan 125 μL
pNPG dengan konsentrasi 5 mM, diinkubasi selama 5 menit pada suhu
37°C. Kedalam sampel ditambahkan 125 μL enzim α-glukosidase 0,15
U/mL dalam dapar fosfat pH 6,8. Sampel diinkubasi selama 15 menit
pada suhu 37°C. Setelah masa inkubasi selesai, ditambahkan 1000 μL
Natrium Karbonat 200 mM. Sampel diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 400 nm. Pengujian
dilakukan sebanyak 3 kali.
d. Pengujian Kontrol Sampel (KS)
Lima μL larutan sampel (pembanding/ekstrak) dengan berbagai
konsentrasi ditambahkan dengan 245 μL dapar fosfat pH 6,8 dan 125
μL p-Nitrofenil α-D-glukopiranosida (pNPG) dengan konsentrasi 5
mM, diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37°C. Campuran kemudian
ditambahkan 1000 μL Natrium Karbonat 200 mM dan diinkubasi
kembali selama 15 menit pada suhu 37°C. setalah selesai diinkubasi,
ditambahkan 125 μL larutan enzim. Sampel diukur absorbansinya
dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 400 nm.
Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali. Persentase penghambatan enzim
α-glukosidase dapat dihitung melalui rumus:

18
* + (3.3)

Keterangan:
A0 = absorbansi blanko (DMSO)
A1 = absorbansi sampel (pembanding/ekstrak)
Melalui persamaan linear, y = a + bx, dimana sumbu x adalah
konsentrasi sampel dan sumbu y adalah % inhibisi, maka nilai IC50
dapat dihitung menggunakan persamaan:
50-a
IC50 (3.4)
b

3.4.2.4 Uji Kinetika Penghambatan Enzim


Pada uji kinetika penghambatan α-glukosidase, ekstrak yang
digunakan adalah fraksi hasil partisi cair-cair yang memiliki aktivitas
penghambatan enzim paling tinggi. Pengukuran dilakukan dengan
meningkatkan konsentrasi substrat, konsentrasi p-Nitrofenil
α-D-glukopiranosida dengan ada maupun tanpa adanya ekstrak dengan
berbagai konsentrasi substrat. Penentuan jenis penghambatan dilakukan
dengan analisis data melalui plot Lineweaver-Burk (gambar 2.4) untuk
memperoleh tetapan kinetika Michaelis-Menten (Elya, et al., 2012) yang
dihitung berdasarkan persamaan regresi y = a + bx, 1/[S] sebagai sumbu y
(Murray, et al., 2009).

3.4.3 Analisis Data


Data aktivitas enzim diolah secara statistik menggunakan program
Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) 20. Uji normalitas
menggunakan Kolmogorov Smirnov dan uji nonparametric menggunakan
uji Kruskal Wallis dan MannWhitney U dengan tingkat kebermaknaan
p < 0,10 terhadap kontrol dan p < 0,05 terhadap pembanding (akarbose),
guna mengetahui adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok
kontrol, perlakuan dan pembanding.

19
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Asociation (ADA), (2013), Standars of Medical Care in


Diabetes.
Aqa’id, M. S., Usman, H., & Nasir H. (2015). Isolasi, Identifikasi, dan Uji
Bioaktivitas Metabolit Sekunder Ekstrak n-heksana Spons Petrosia alfian
dari Kepulauan Barrang Lompo. Jurnal Kimia Organik, 1(1), 1-7.
Borges, M. E., Silveira G.A., Carvalho, I., (2006). α-and β-Glucosidase inhibitors
Chemical Structure and Biological Activity. Tetrahedron, 62(44), 10277-
10302.
Bosenberg, L.H., (2008), The Mechanism of Action of Oral Antidiabetic Drugs: A
Review Of Recent Literature. The Journal of Endocrinology, Metabolism
and Diabetes of South Africa, 13(3), 80-8.
Ezzat, S.D., (2014) A New α-Glucosidase Inhibitor from Achillea fragrantissima
(Forssk.) Sch. Bip. growing in Egypt. Natural Product Research, 812-818.
Fatmawati, S.K., (2014) Ganoderol B: A Potent α-glucosidase Inhibitor Isolated
from the Fruiting Body of Ganoderma lucidum. Phytomedicine, 1053
1055.
Handayani, D., Yulia, M., Allen, Y., Voogd, N. J. d. (2012). Isolasi Senyawa
Sitotoksik dari Spons Laut Petrosia sp. JPB Perikanan, 7(1), 69-76.
Heyne, K., (1987), The Genera of Flowering Plants (Angiospermae), Vol. II,
Oxford, University Press: London.
Irwan, M., Alam, G., Rante, H., (2019), Skrining Fitokimia dan Uji Penghambatan
Enzim α-Glukosidase Daun Sukun (Artocarpus Altilis (Parkinson)
Fosberg), LPPM UIT, 2(1), 34-39.
Kemenkes, RI, (2020), Tetap Produktif, Cegah, dan Atasi Diabetes Melitus,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Lai, Y.C., Chen, C.K., Tsai, S.F., Lee, S.S., (2012), Triterpenes As α- glucosidase
Inhibitors From Fagus hayatae, Phytochemistry,74: 206-211.
Lee, S.S., Lin, H.C., Chen, C.K., 2008, Acylated flavonol onorhamnoside s, α
Glucosidase Inhibitors, from Machilus phillippinensis, Phytochemistry,
69: 2347-2353.
Lorenza, (2012), Uji Penghambatan Aktivitas Enzim Alfa-Glukosidase dan
Identifikasi golongan senyawa kimia dari fraksi teraktif daun buni
(antidesma bunius L.), Universitas Indonesia.
Naveed, N.R., (2014) Ongipetalosides A–C, New Steroidal Saponins from
Tribulus longipetalus. Steroids, 45-51.
Nolan, J.J., (2002), What is Type 2 Diabetes, Medicine International, 6-10.

20
Mekkawy, S., Messelhy, M.R., Nkobole, N., (2012) Three New α-glucosidase
Inhibitors From Guggul, The Oleogum Resin of Commiphora wightii.
Natural Product Research, 146-154.
Muniarsih T., Rahmaniar, R., (2005) Isolasi Substansi Bioaktif Antimikroba dari
Spons Asal Pulau Pari Kepulauan Seribu . prosiding Seminar
Bioteknologi, 152-158.
Patel, M.B., Mishra, S.M., (2012), Magnoflorine from Tinospora cordifolia Stem
Inhibits α-Glucosidase and is Antiglycemic In Rats, J Funct Foods, 4: 79.
Song, J., Kwon, O., Chen, S., Daruwala, R., Eck, P., Park, J.B., Levine, M..
(2002), Flavonoid Inhibition of SVCT1 and GLUT2, Intestinal Trasporters
for Vitamin C and Glucose. J. Biol. Chem, 2(1), 32-41.
Soumyanath A., (2006), Traditional medicines for modern antidiabetic plants.
Boca Raton: CRC Press.
Tabussum, A. R, Riaz, N., Saleem, M., Ashraaf, M., Ahmad, M., Alam, U.,
Jabeeb, B., Malik, A., Jabbar, A., (2013). α-Glucosidase Inhibitory
Constituents from Chrozophora Plicata. Phytochemistry Letters, 614-619.
Tadera, K., Minami, Y., Takamatsu, K., Matsuoka, T., (2006), Inhibition of
α-Glucosidase and α-Amylase by Flavonoids, J Nutr Sci Vitaminol, 52:
149-153.
Triplitt, C. L., Reasner, C. A., Isley, W. L., Diabetes Melitus, 1333 dalam Dipiro
J.T., (2005), Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, edisi
keenam, McGraw-Hill Companies, USA.
Yin, Z., Zhang, W., Feng, F., Zhang, Y., Kang, W., (2021), α-Glucosidase
Inhibitors Isolated from Medicinal Plants, Beijing Academy of Food
Science, 3(1), 136-174.
Xie, H., Zhang, J., Li, Y., Zhang, J., Zhang, J, Zhang, H., Hao, G.Z., Zhu, K.K.,
Jiang, C.S., (2021), Novel Tetrahydrobenzo[b]thiophen-2-yl)urea
Derivatives as Novel α-Glucosidase Inhibitors: Synthesis, Kinetics
Study, Molecular Docking, and in Vivo Anti-Hyperglycemic
Evaluation, Bioorganic Chemistry, 115 (105236). 1-17.
Wang H., Du, Y.J., Song ,H.C., (2010), α-Glucosidase and α- amylase Inhibitory
Activities of Guava Leaves, Food Chem, 123: 6-13.
WHO, (2009), Diet, nutrition and the prevention of chronic diseases.
Geneva,World Health Organization.

21

Anda mungkin juga menyukai