Anda di halaman 1dari 29

BAB II

KONSEP DASAR

A. KONSEP DASAR MEDIS


2.1. Definisi Pre Eklamsi Berat (PEB)
Pre eklamsia merupakan penyakit khas akibat kehamilan yang
memperlihatkan gejala trias (hipertensi, edema, dan proteinuria), kadang-
kadang hanya hipertensi dan edema atau hipertensi dan proteinuria (dua
gejala dari trias dan satu gejala yang harus ada yaitu hipertensi).
Menurut Mansjoer (2000), pre eklamsia merupakan timbulnya
hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia
kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan.
Pre eklampsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana
hipertensi terjadi setelah minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya
memiliki tekanan darah normal dan diartikan juga sebagai penyakit
vasospastik yang melibatkan banyak sistem dan ditandai oleh
hemokonsentrasi, hipertensi dan proteinuria (Bobak, Lowdermilk, &
Jensen, 2005).

2.2. Etiologi
Penyebab pre-eklampsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini
dianggap sebagai "maladaptation syndrome" akibat penyempitan
pembuluh darah secara umum yang mengakibatkan iskemia plasenta (ari-
ari) sehingga berakibat kurangnya pasokan darah yang membawa nutrisi
ke janin. Namun ada beberapa faktor predisposisi terjadinya pre
eklamsia, diantaranya yaitu:
a. Primigravida atau primipara mudab (85%).
b. Grand multigravida
c. Sosial ekonomi rendah.
d. Gizi buruk.

4
e. Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun).
f. Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya.
g. Hipertensi kronik.
h. Diabetes mellitus.
i. Mola hidatidosa.
j. Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan
ganda atau polihidramnion (14-20%).
k. Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan
saudara perempuan).
l. Hidrofetalis.
m. Penyakit ginjal kronik.
n. Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis,
bayi besar, dan diabetes mellitus.
o. Obesitas.
p. Interval antar kehamilan yang jauh.

2.3. Klasifikasi
Klasifikasi pre eklamsia dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut:
a. Pre eklamsia ringan
Pre eklamsia ringan ditandai dengan:
1. Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada
posisi berbaring terlentang; kenaikan diastolik 15 mmHg atau
lebih dari tensi baseline (tensi sebelum kehamilan 20 minggu);
dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara pengukuran
sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak
periksa 1 jam, atau berada dalam interval 4-6 jam.
2. Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; kenaikan berat
badan 1 kg atau lebih dalam seminggu.
3. Proteinuria kuantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kualitatif 1 +
atau 2 + pada urin kateter atau midstream (aliran tengah).
b. Pre eklamsia berat

5
Pre eklamsia berat ditandai dengan:
1. Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
2. Proteinuria 5 gr atau lebih per liter.
3. Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam .
4. Adanya gangguan serebral atau kesadaran, gangguan visus atau
penglihatan, dan rasa nyeri pada epigastrium.
5. Terdapat edema paru dan sianosis
6. Kadar enzim hati (SGOT, SGPT) meningkat disertai ikterik.
7. Perdarahan pada retina.
8. Trombosit kurang dari 100.000/mm.

2.4. Tanda dan Gejala


Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan urutan
pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema,
hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre eklampsia ringan
tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Sedangkan pada pre
eklampsia berat ditemukan gejala subjektif berupa sakit kepala di
daerah frontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah
epigastrium, dan mual atau muntah. Gejala-gejala ini sering
ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan merupakan
petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Penegakkan diagnosa pre
eklampsia yaitu adanya 2 gejala di antara trias tanda utama, dimana
tanda utamanya yaitu hipertensi dan 2 tanda yang lain yaitu edema
atau proteinuria. Tetapi dalam praktik medis hanya hipertensi dan
proteinuria saja yang dijadikan sebagai 2 tanda dalam penegakkan
diagnosa pre eklamsia.

2.5. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien
dengan pre eklamsia yaitu sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium

6
1. Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah
Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal
hemoglobin untuk wanita hamil adalah 12-14 gr%).
2. Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%).
3. Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm3).

b. Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine.

c. Pemeriksaan Fungsi Hati


1. 1Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL).
2. LDH (laktat dehidrogenase) meningkat.
3. Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL.
4. Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat
(N= 15-45 u/ml)
5. Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT)
meningkat (N= < 31 u/ml)
6. Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL)

d. Tes Kimia Darah


Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya
yaitu 2,4 – 2,7 mg/dL

2. Pemeriksaan Radiologi
a. Ultrasonografi (USG).
Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi
perteumbuhan janin intra uterus. Pernafasan intrauterus lambat,
aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban sedikit.
b. Kardiotografi
Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi
menunjukan bahwa denyut jantung janin lemah.

7
2.6. Patofisiologi
Pada preeklampsia terdapat penurunan  aliran darah.
Perubahan ini menyebabkan  prostaglandin plasenta menurun dan
mengakibatkan iskemia uterus. Keadaan iskemia pada uterus,
merangsang pelepasan bahan tropoblastik yaitu akibat
hiperoksidase lemak dan pelepasan renin uterus. Bahan tropoblastik
berperan dalam proses terjadinya endotheliosis yang menyebabkan
pelepasan tromboplastin. Tromboplastin yang dilepaskan
mengakibatkan pelepasan tomboksan dan aktivasi/ agregasi
trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan akan
menyebabkan terjadinya vasospasme sedangkan aktivasi/agregasi
trombosit deposisi fibrin akan menyebabkan koagulasi
intravaskular yang mengakibatkan perfusi darah menurun dan
konsumtif koagulapati. Konsumtif koagulapati mengakibatkan
trombosit dan faktor pembekuan darah menurun dan menyebabkan
gangguan faal hemostasis.  Renin uterus yang di keluarkan akan
mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama- sama
angiotensinogen menjadi angiotensin I dan selanjutnya menjadi
angiotensin II. Angiotensin II bersama tromboksan akan
menyebabkan terjadinya vasospasme. Vasospasme menyebabkan
lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang menyempit
menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah
merah. Tekanan perifer akan meningkat agar oksigen mencukupi
kebutuhan sehingga menyebabkan terjadinya hipertensi. Selain
menyebabkan vasospasme, angiotensin II akan merangsang
glandula suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron. Vasospasme
bersama dengan koagulasi intravaskular akan  menyebabkan
gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ.
Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh
diantaranya otak, darah, paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta.
Pada otak akan dapat menyebabkan terjadinya edema serebri dan

8
selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Tekanan
intrakranial yang meningkat menyebabkan terjadinya gangguan
perfusi serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga menimbulkan
diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada darah akan terjadi
endotheliosis menyebabkan sel darah merah dan pembuluh darah
pecah. Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya
pendarahan, sedangkan sel darah merah yang pecah akan
menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Pada paru-paru,
LADEP akan meningkat menyebabkan terjadinya kongesti vena
pulmonal, perpindahan cairan sehingga akan mengakibatkan
terjadinya edema paru. Edema paru akan menyebabkan terjadinya
gangguan pertukaran gas. Pada hati, vasokontriksi pembuluh darah
akan menyebabkan gangguan kontraktilitas miokard sehingga
menyebabkan payah jantung dan memunculkan diagnosa
keperawatan penurunan curah jantung. Pada ginjal, akibat pengaruh
aldosteron, terjadi peningkatan reabsorpsi natrium dan
menyebabkan retensi cairan dan dapat menyebabkan terjadinya
edema sehingga dapat memunculkan diagnosa keperawatan
kelebihan volume cairan. Selin itu, vasospasme arteriol pada ginjal
akan meyebabkan penurunan GFR dan permeabilitas terhadap
protein akan meningkat. Penurunan GFR tidak diimbangi dengan
peningkatan reabsorpsi oleh tubulus sehingga menyebabkan
diuresis menurun sehingga menyebabkan terjadinya oligouri dan
anuri. Oligouri atau anuri akan memunculkan diagnosa
keperawatan gangguan eliminasi urin. Permeabilitas terhadap
protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein akan
lolos dari filtrasi glomerulus dan menyenabkan proteinuria. Pada
mata, akan terjadi spasmus arteriola selanjutnya menyebabkan
edema diskus optikus dan retina. Keadaan ini dapat menyebabkan
terjadinya diplopia dan memunculkan diagnosa keperawatan risiko
cedera. Pada plasenta penurunan perfusi akan menyebabkan

9
hipoksia/anoksia sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan
plasenta sehinga dapat berakibat terjadinya Intra Uterin Growth
Retardation serta memunculkan diagnosa keperawatan risiko gawat
janin.
Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem
saraf parasimpatis akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis
mempengaruhi traktus gastrointestinal dan ekstrimitas. Pada traktus
gastrointestinal dapat menyebabkan terjadinya hipoksia duodenal
dan penumpukan ion H menyebabkan HCl meningkat sehingga
dapat menyebabkan nyeri epigastrik. Selanjutnya akan terjadi
akumulasi gas yang meningkat, merangsang mual dan timbulnya
muntah sehingga muncul diagnosa keperawatan ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pada ektremitas dapat terjadi
metabolisme anaerob yang menyebabkan ATP diproduksi dalam
jumlah yang sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam laktat.
Terbentuknya asam laktat dan sedikitnya ATP yang diproduksi
akan menimbulkan keadaan cepat lelah, lemah sehingga muncul
diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas. Keadaan hipertensi
akan mengakibatkan seseorang kurang terpajan informasi dan
memunculkan diagnosa keperawatan kurang pengetahuan.

2.7. Penatalaksanaan
a. Pencegahan atau Tindakan preventif
1. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu secara
teliti, mengenali tanda-tanda sedini mungkin (pre-eklamsi
ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya
penyakit tidak menjadi lebih berat.
2. Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-
eklemsi kalau ada faktor-faktor predisposisi.
3. Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur,
ketenangan, serta pentingnya mengatur diet rendah garam,

10
lemak, serta karbohidrat dan tinggi protein, juga menjaga
kenaikan berat badan yang berlebihan.

b. Penatalaksanaan atau Tindakan kuratif


Tujuan utama penatalaksanaan atau penanganan adalah untuk
mencegah terjadinya pre-eklamsia berlanjut dan eklamsia,
sehingga janin bisa lahir hidup dan sehat serta mencegah trauma
pada janin seminimal mungkin.
1. Penanganan pre eklamsia ringan
Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain
rawat inap, maka penderita dapat dirawat jalan dengan
skema periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2 kali
seminggu. Penanganan pada penderita rawat jalan atau
rawat inap adalah dengan istirahat ditempat, diit rendah
garam, dan berikan obat-obatan seperti valium tablet 5 mg
dosis 3 kali sehari atau fenobarbital tablet 30 mg dengan
dosis 3 kali 1 sehari. Diuretika dan obat antihipertensi tidak
dianjurkan, karena obat ini tidak begitu bermanfaat, bahkan
bisa menutupi tanda dan gejala pre-eklampsi berat. Bila
gejala masih menetap, penderita tetap dirawat inap.Monitor
keadaan janin : kadar estriol urin, lakukan aminoskopi, dan
ultrasografi, dan sebagainya.Bila keadaan mengizinkan,
barulah dilakukan induksi partus pada usia kehamilan
minggu 37 ke atas.

2. Penanganan pre eklamsia berat


1. Pre eklamsia berat pada kehamilan kurang dari 37
minggu.
Jika janin belum menunjukan tanda-tanda maturitas
paru-paru dengan uji kocok dan rasio L/S, maka
penanganannya adalah sebagai berikut:

11
a. Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8
gr intramuskular kemudian disusul dengan injeksi
tambahan 4 gr itramuskular selama tidak ada
kontraindikasi.
b. Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian
sulfas magnesikus dapat diteruskan lagi selama 24
jam sampai dicapai kriteria pre-eklamsia ringan
kecuali ada kontraindikasi.
c. Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan
janin dimonitor, serta berat badan ditimbang seperti
pada pre eklamsia ringan, sambil mengawasi
timbulnya lagi gejala.
d. Jika dengan terapi diatas tidak ada perbaikan
dilakukan terminasi kehamilan dengan induksi
partus atau tindakan lain tergantung keadaan.
Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda
kematangan paru janin, maka penatalaksanaan kasus
sama seperti pada kehamilan diatas 37 minggu.
2. Pre eklamsia berat pada kehamilan lebih dari 37
minggu.
a. Penderita dirawat inap
1. Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar
isolasi.
2. Berikan diet rendah garam dan tinggi protein.
3. Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr
intramuskular, 4 gr digluteus kanan dan 4 gr
digluteus kiri.
4. Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap
4 jam.
5. Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella
positif; diuresis 100 cc dalam 4 jam terakhir;

12
respirasi 16 kali per menit, dan harus tersedia
antidotumnya yaitu kalsium glukonas 10%
dalam ampul 10 cc.
6. Infus dekstrosa 5% dan ringer laktat.
7. Berikan obat anti hipertensif : injeksi katapres 1
ampul IM dan selanjutnya dapat diberikan tablet
katapres 3 kali ½ tablet atau 2 kali ½ tablet
sehari.
8. Diuretika tida diberikan kecuali bila terdapat
edema umum, edema paru dan kegagalan
jantung kongestif. Untuk itu dapat disuntikan 1
ampul IV lasix.
9. Segera setelah pemberian sulfas magnesikus
kedua, dilakukan induksi partus dengan atau
tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai
oksitosin (pitosin atau sintosinon) 10 satuan
dalam infus tetes.
10. Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi
vakum atau forceps, jadi ibu dilarang
mengedan.
11. Jangan diberikan methergin postpartum, kecuali
bila terjadi perdarahan yang disebabkan atonia
uteri.
12. Pemberian sulfas magnesikus, kalau tidak ada
kontraindikasi, kemudian diteruskan dengan
dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam post
partum.
13. Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio
sesarea.

b. Perawatan Mandiri untuk Kasus Pre Eklamsia

13
1. Aromatherapy : penelitian membuktikan bahwa
minyak tertentu dapat menimbulkan efek pada
penurunan tekanan darah dan membantu
relaksasi seperti : levender, kamomile, kenanga,
neroli dan cendana. Tetapi ada juga
aromatehrapy yang dapat meningkatkan tekanan
darah diantaranya rosemary, fenel, hyssop dan
sage.
2. Pijat : pijat bagian punggung, leher, bahu, kaki,
bisa memberikan ketenangan dan kenyamanan.
3. Shiatsu, tai chi, yoga, dan latihan relaksasi
4. Terapi nutrisi : spesialis nutrisi menganjurkan
penggunaan vitamin dan suplemen mineral,
khususnya zinc dan vitamin B6.

2.8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre
eklamsia tergantung pada derajat pre eklamsia yang dialami.
Namun yang termasuk komplikasi pre eklamsia antara lain:
a. Komplikasi pada Ibu
1. Eklamsia.
2. Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan
perdarahan otak dan gagal jantung mendadak yang
berakibat pada kematian ibu.
3. Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP (Hemolisis,
Elevated, Liver, Enzymes and Low Plateleted) dan
hemolisis yang dapat menyebabkan ikterik. Sindrom
HELLP merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel
darah merah), meningkatnya enzim hati, serta rendahnya
jumlah platelet/trombosit darah. HELLP syndrome dapat
secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai dengan

14
terjadinya hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan
hitung trombosit rendah. Gejalanya yaitu mual, muntah,
nyeri kepala, dan nyeri perut bagian kanan atas.
4. Solutio plasenta.
5. Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan.
6. Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria.
7. Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan
kehilangan penglihatan untuk sementara.
8. Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu
pernafasan.
9. Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh
dari tempat tidur saat serangan kejang.
10. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) atau
kelainan pembekuan darah.

b. Komplikasi pada Janin


1. Hipoksia karena solustio plasenta.
2. Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga
terjadi peningkatan angka morbiditas dan mortalitas
perinatal.
3. Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena
spasme pembuluh darah dan dapat menyebabkan kematian
janin (IUFD).
4. Lahir prematur dengan risiko HMD (Hyalin Membran
Disease).

2.9. Sectio caesaria


a. Pengertian
Seksio sesarea merupakan pembedahan obstetik untuk melahirkan
janin yang viabel melalui abdomen. Tindakan yang dilakukan

15
tersebut bertujuan untuk melahirkan bayi dengan membuka dinding
rahim ( Hellen Farrer, 2011 ).
Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin
dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding abdomen dan dinding
rahim dengan saraf rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di
atas 500 gr (Prawihardjo, 2012). Seksio sesarea didefinisikan sebagai
lahirnya janin melalui insisi di dindidng abdomen (laparotomi) dan
dindidng uterus (Cunningham, at al., 2010).
Operasi seksio saesarea (SC) merupakan tindakan melahirkan janin
yang sudah mampu hidup beserta plasenta dan selaput ketuban
secara trans abdominal melalui insisi uterus. Operasi seksio sesarea
dilakukan jika persalinan pervaginam mengandung risiko yang lebih
besar bagi ibu maupun janin. Indikasi operasi seksio sesarea dapat
bersifat mutlak maupun relatif (Benson & Pernoll, 2010).
Sectio caesria adalah persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahi
dengan syarat rahim dalam keadaan utuh sertacberat janin di atas
500 gram (Sarwono, 2009).
Dari beberapa pengertian tentang sectio caesaria dapat diambil
kesimpulan bahwa sectio caesaria adalah suatu tindakan
pembedahan yang tujuannya untuk mengeluarkan janin dengan cara
melakukan sayatan pada dinding anbdomen dan dinding uterus.
Jenis-jenis
Ada dua jenis sayatan yang dikenal yaitu:
1) Sayatan melintang
Sayatan pembedahan dilakukan di bagian bawah rahim
(SBR). Sayatan melintang dimulai dari ujung atau pinggir
selangkangan (simphysis) di atas batas rambut kemaluan
sepanjang sekitar 10-14 cm. Keuntungannya adalah parut pada
rahim kuat sehingga cukup kecil resiko menderita ruptur uteri
(robek rahim) di kemudian hari. Hal ini karena pada nifas,

16
segmen bawah rahim tidak banyak mengalami kontraksi
sehingga luka operasi dapat sembuh lebih sempurna (Kasdu,
2013).
2) Sayatan memanjang (bedah besar klasik)
Meliputi sebuah pengirisan memanjang bagian tengah yang
memberikan suatu ruang yang lebih besar untuk mengeluarkan
bayi. Namun, jenis ini kini jarang dilakukan karena jenis ini
labil, rentan terhadap komplikasi (Dewi Y, 2010).

b. Teknik Sectio caesarea (SC)


1) Teknik Seksio Sesarea Transperitonealis Profunda
Daver Catheter di pasang dan wanita berbaring dalam letak
tredelenburg ringan. Diadakan insisi pada dinding perut pada
garis tengah dari simfisis sampai beberapa cm di bawah pusat.
Setelah peritorium dibuka, dipasang spekulum perut dan lapangan
operasi dipisahkan dari rongga perut dengan satu kasa panjang
atau lebih. Peritoneum pada dinding uterus depan dan bawah
dipegang dengan piset, plikovesitas. Uterina dibuka dan insisi
diteruskan melintang jauh ke lateral. Kemudian kandung kencing
depan uterus didorong ke bawah dengan jari. Pada segmen bawah
uterus yang sudah tidak ditutup lagi oleh peritoneum serta
kandung kencing yang biasanya sudah menipis, diadakan insisi
melintang selebar 10 cm dengan ujung kanan dan kiri agak
melengkung ke atas untuk menghindari terbukanya cabang-
cabang arteria uterine. Karena uterus dalam kehamilan tidak
jarang memutar ke kanan, sebelum membuat insisi, posisi uterus
diperiksa dahulu dengan memperhatikan ligamenta rocundo
kanan dan kiri, di tengah-tengah insisi diteruskan sampai dinding
uterus terbuka dan ketuban tampak, kemudian luka yang terakhir
ini dilebarkan dengan gunting berujung tumpul mengikuti sayatan
yang telah dibuat terlebih dahulu. Sekarang ketuban dipecahkan

17
dan air ketuban yang keluar diisap. Kemudian spekulum perut
diangkat dan lengan dimasukkan ke dalam uterus di belakang
kepala janin dan dengan memegang kepala dari belakang dengan
jari-jari tangan penolong. Diusahakan lahirnya kepala melalui
lubang insisi. Jika dialami kesulitan untuk melahirkan kepala
janin lubang insisi. Jika dialami ksulitan untuk melahirkan kepala
janin dengan tangan, dapat dipasang dengan cunan boerma.
Sesudah kepala janin badan terus dilahirkan muka dan mulut terus
dibersihkan. Tali pusat dipotong dan bayi diserahkan pada orang
lain untuk diurus. Diberikan suntikan 10 satuan oksitosin dalam
dinding uterus/ intravena, pinggir luka insisi dipegang dengan
beberapa Cunam ovum dan plasenta serta selaput ketuban
dikeluarkan secara manual. Tangan untuk sementara dimasukkan
ke dalam rongga uterus untuk mempermudah jahitan luka, tangan
ini diangkat sebelum luka uterus ditutp sama seklai. Jahitan otot
uterus dilakukan dalam dua lapisan yaitu lapisan pertama terdiri
atas kahitan simpul dengan cagut dan dimulai dari ujung yang
satu ke ujung yang lain (jangan mengikutsertakan desidua),
lapisan kedua terdiri atas jahitan menerus sehingga luka pada
miomtrium tertutup rapi.
Keuntungan pembedahan ini:
1. Perdarahan luka insisi tidak seberapa banyak
2. Bahaya peritonitis tidak besar
3. Parut pada uterus umumnya kuat, sehingga bahaya
ruptura uteri dikemudian hari tidak besar, karena dalam
masa nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak
mengalami konraksi seperti korpus uteri sehingga luka
dapat sembuh lebih sempurna.

2) Teknik Seksio Sesarea Korporal

18
Setelah dinding perut dan peritoneum pariatale terbuka pada gari
lengan dipasang beberapa kain kasa panjang antara dinding perut dan
dinding uterus untuk mencegah masuknya air ketuban dan darah ke
rongga perut. Diadakan insisi pada bagian tengah korpus uteri
sepanjang 10-12 cm dengan ujung bawah di atas batas plika vegika
uterine. Diadakan lubang kecil pada batang kantong ketuban untuk
menghisap air ketuban sebanyak mungkin, lubang ini kemudian
dilebarkan dan janin dilahirkan dengan tarikan pada kakinya. Setelah
anak lahir korpus uteri dapat dilahirkan dari rongga perut untuk
memudahkan tindakan tindakan selanjutnya. Sekarang diberikan
suntikan 10 satuan oksitosin dalam dinding uterus intravena dan
plasenta serta selaput ketuban dikeluarkan secara manual kemudian
dinding uterus ditutup dengan jahitan catgut yang kuat dalam dua
lapisan, lapisan pertama terdiri atas jahitan simpul dan kedua jahitan
menerus. Selanjutnya diadakan jahitan menerus dengan catgut lebih
tipis yang mengikutsertakan peritoneum serta bagian luar miomtrium
dan yang menutupi jahitan yang terlebih dahulu dengan rapi.
Akhirnya dinding perut ditutup secara biasa.

3) Teknik seksio sesarea klasik


a. Mula-mula dilakukan desinfeksi pada dinding perut dan lapangan
operasi dipersempit dengan duk.
b. Pada dinding perut dibuat insisi mediana mulai dari atas simfisis
sepanjang kurang lebih12 cm sampai di bawah umbilikus lapis
demi lapis sehingga kavum peritonial terbuka.
c. Dalam rongga perut di sekitar rahim dilingkari dengan kasa
laparotomi
d. Dibuat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen atasa rahim
(SAR) kemudian diperlebar secara sagital dengan gunting.
e. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipecahkan. Janin
dilahirkan dengan meluksir kepala dan mendorong fundus utri.

19
Setelah janin lahir eluruhnya, tali pusat dijepit dan dipotong
diantara kedua penjepit.
f. Plasenta dilahirkan secara manual. Disuntikkan 10 U oksitosin ke
dalam rahim secara intra mural.
g. Luka insisi SAR dijahit kembali:
Lapisan I : Endometrium bersama miometrium dijahit secara
jelujur dengan benang cat gut kronik
Lapisan II : hanya miometrium dijahit secara simpul dengan cat
kromik
Lapisan III : Peritonium dijahit secara simpul dengan benang cat
gut biasa
h. Setelah dinding selesai dijahit, kedua adneksa dieksplorasi
i. Rongga perut dibersihkan dari sisa-sisa darah dan akhirnya luka
dinding perut dijahit.

4) Teknik seksio histerektomi


a. Setelah janin dan plasenta dilahirkan dari rongga rahim, dilakukan
hemostasis pada insisi dinding rahim, cukup dengan jahitan jelujur
atau simpul.
b. Untuk memudahkan histerektomi, rahim boleh dikeluarkan dari
rongga pelvis
c. Mula-mula ligamentum rotundum dijepit dengan cunam kocher dan
cunam oschner kemudian dipotong sedekat mungkin dengan rahim,
dan jaringan yang sudah dipotong diligasi dengan benang catgut
kronik no.0 bladder flap yang telah dibuat pada waktu seksio
sesarea transperitoneal profunda dibebaskan lebih jauh ke bawah
dan lateral. Pada ligamentum latum belakang lubang dngan jari
telunjuk tangan kiri di bawah adneksa dari arah belakang. Dengan
cara ini ureter akan terhindar dari kemungkinan terpotong.
d. Melalui lubang pada ligamentum ini, tuba faloppi, ligamnetum
utero ovarika, dan pembuluh darah dalam jaringan terebut dijepit

20
dengan 2 cunam oscher lengkung dan di sisi rahim dengan cunam
kocher. Jaringan diantaranya kemudian digunting dengan gunting
Mayo. Jaringan yang terpotong diikat dengan jahitan transfiks
untuk hemotasis dengan catgut no. 0
e. Jaringan ligamentum latum yang sebagian besar adalah avaskuler
dipotong secara tajam ke arah serviks. Setelah pemotongan
ligamentum latum sampai di daerah serviks, kandung kencing
disisihkan jauh ke bawah dan samping
f. Pada ligamentum kardinale dan jaringan paraservikal dilakukan
panjepitan dengan cunam oscher lengkung secara ganda, dan pada
tempat yang ama di sisi rahim dijepit dengan cunam kocher luurs.
Kemudian jaringan diantaranya digunting dengan gunting Mayo.
Tindakan ini dilakukan dalam beberapa tahap sehingga ligamentum
kardinale terpotong seluruhnya. Puntung ligamentum kardinale
dijahit transfiks secara ganda dengan benang catgut khronik no. 0
g. Demikian juga ligamentum sakro-uterine kiri dan kanan dipotong
dengan cara yang sama, dan iligasi secara transfiks dengan benang
catgut khronik no.0
h. Setelah mencapai di atas dinding vagina serviks, pada sisi depan
serviks dibuat irisan sagital dengan pisau, kemudian melalui insisi
tersebut dinding vagina dijepit engan cunam oscher melingkari
serviks dan dinding vagina dipotong tahap demi tahap. Pemotongan
dinding vagina dapat dilakukan dengan gunting atau pisau. Rahim
akhirnya dapat diangkat.
i. Setelah rongga perut dibersihkan dari sisa darah, luka perut ditutup
kembali lapis demi lapisan (Winkjosastro,2005).

c. Komplikasi
Yang sering terjadi pada ibu dengan persalinan secara SC:
1. Infeksi puerperial: kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa
nifas, dibagi menjadi:

21
- Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
- Sedang, suhu meningkat lebih tinggi diseratai dengan dehidrasi
dan perut sedikit kembung
- Berat, peritonelis, sepsis dan usus paralitik
2. Perdarahan: perdarahan bisa terjadi jika pada saat pembedahan cabang-
cabang arteri uterin ikut terbuka atau karena atonia uteri
3. Komplikasi-komplikasi lainnya antara lain luka kandung kencing,
embolisme paru yang sangat jarang terjadi reperitonalisasi terlalu
tinggi
4. Kurang kuatnya parut pada dinding uteus sehingga pada kehamilan
berikutnya bisa terjadi ruptur uteri.
5. Yang sering terjadi pada bayi: kematian perinatal.

22
- Plasenta previa - kelainan uterus
- Hidrosefalus - panggul sempit
- Hidramnion - Multiparitas
- PEB

Sectio Caesarea

Kurang Tindakan Post Operatif


informasi pembedahan

Kebutuhan posisi Terdapat luka insisi Post Anestesi


Kurang Prosedur pembedsahan,
pengetahuan pembedahan pemasangan alat
tentang elektromedik, Insisi di bagian
pembedahan abdomen Bedrest Imobilisasi
pengaruh anestesi
Ansietas

Terputusnya Kelemahan Kehilangan


Kehilangan
kontinuitas fisik pasca sensori
sensori protektif
jaringan operasi
sekunder terhadap
anestesi
Kelemahan
Nyeri Keterbatasan pada organ
aktifitas
Resiko cidera
intra operatif Resiko injury
Defisit
23
perawatan
diri
B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar atau proses keperawatan yang
bertujuan untuk mngumpulkan informasi atau data tentang pasien agar
dapat mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah, kebutuhan kesehatan
dan keperawatan pasien baik fisik, mental, social dan lingkungan.
b) Identitas Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama,
umur, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa
yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien dan suaminya.
c) Keluhan utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien
mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit.
d) Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Mulai kapan klien merasakan adanya keluhan, dan usaha apa saja
yang telah dilakukan untuk mengatasi keadaan ini.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Tujuannya untuk mengetahui riwayat kesehatan yang lalu: apakah
klien pernah dirawat dengan penyakit yang sama pada persalinan
sebelumnya.
2.1) Riwayat kesehatan keluarga
Meliputi pengkajian komposisi keluarga, lingkungan rumah
dan komunitas, pendidikan dan pekerjaan anggota keluarga,
fungsi dan hubungan angota keluarga, kultur dan
kepercayaan, perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan,
persepsi keluarga tentang penyakit klien dan lain-lain.
2.2) Riwayat obstetri
Riwayat kesehatan klien Menarche pada usia berapa, haid
teratur atau tidak, siklus haid berapa hari, lama haid, warna

24
darah haid, HPHT kapan, terdapat sakit waktu haid atau
tidak.
2.3) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu hamil
dan persalinan berapa kali, anak hidup atau mati, usia, sehat
atau tidak, penolong siapa, nifas normal atau tidak.
2.4) Riwayat pemakaian alat kontrasepsi untuk mengetahui jenis
KB yang digunakan oleh klien
e) Pemeriksaan fisik dan pengkajian fungsional
1. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran dibuktikan melalui pertanyaan sederhana
yang harus dijawab oleh klien atau di suruh untuk melakukan
perintah. Variasi tingkat kesadaran dimulai dari siuman sampai
ngantuk, harus di observasi dan penurunan tingkat kesadaran
merupakan gejala syok.
2. Sistem pernafasan
Respirasi bias meningkat atau menurun . Pernafasan yang ribut
dapat terdengar tanpa stetoskop. Bunyi pernafasan akibat lidah
jatuh kebelakang atau akibat terdapat secret. Suara paru yang
kasar merupakan gejala terdapat secret pada saluran nafas .
Usaha batuk dan bernafas dalam dilaksalanakan segera pada
klien yang memakai anaestesi general.
3. Sistem pencernaan
Fungsi gastrointestinal biasanya pulih pada 24-74 jam setelah
pembedahan, tergantung pada kekuatan efek narkose pada
penekanan intestinal. Ambulatori perlu diberikan untuk
menghilangkan gas dalam usus.
4. Integritas ego
Dapat menunjukkan labilitas emosional, dari kegembiraan,
sampai ketakutan, marah atau menarik diri. Klien/ pasangan
dapat memiliki pertanyaan atau salah terima peran dalam

25
pengalaman kelahiran, mungkin mengekspresikan
ketidakmampuan untuk menghadapi situasi baru.
5. Eliminasi
Kateter urinaris indweiling mungkin terpasang: urine jernih
pucat. Bising usus tidak ada, samar atau jelas.
6. Nutrisi
Abdomen lunak dengan tidak ada distensi pada awal.
7. Nyeri/ ketidaknyamanan
Mungkin mengeluh ketidaknyamanan dari berbagai sumber.
Misal: trauma bedah/ insisi, nyeri penyerta, distensi kandung
kemih/ abdomen, efek-efek anestesia, mulut mungkin kering.
8. Keamanan
Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda kering dan utuh.
Jalur parental bila digunakan paten can sisi bebas eritema,
bengkok, nyeri tekan.
9. Seksualitas
Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilicus. Aliran lokhia
sedang dan bebas bekuan berlebihan/banyak.

3. Diagnosa Keperawatan
Diagnose keperawatan merupakan suatu pernytaan masalah yang
nyata dan potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan
pemecahannya dilakukan dalam batas-batas kewenangan perawat untuk
melakukan diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada klien
dengan sectio caesarea disusun berdasarkan tanda dan gejala tindakan
serta efek dari pengobatan.
i. Diagnosa pre operatif
a. Kurang pengetahuan pasien dan keluarga tentang prosedur
pembedahan berhubungan dengan kurangnya informasi
b. Ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan
ii. Intra Operatif

26
a. Resiko cedera intra operatif berhubungan dengan kebutuhan
posisi, pemasangan elektromedik, kehilangan sensori sekunder
akibat anestesi.
b. Risiko Perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
c. Risiko Infeksi berhubungan dengan tindakan invasive

iii. Post Operatif


a. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
efek insisi pembedahan
b. Resti jatuh berhubungan dengan kelemahan fisik pasca anestesi
dan pembedahan
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan
aktifitas fisik pasca operasi
d. Gangguan Mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pasca
bedah.

4. Intervensi keperawatan
Semua tindakan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu
klien beralih dari status kesehatan saat ini kestatus kesehatan yang di
uraikan dalam hasil yang di harapkan (Gordon,1994). Merupakan
pedoman tertulis untuk perawatan klien. Rencana perawatan terorganisasi
sehingga setiap perawat dapat dengan cepat mengidentifikasi tindakan
perawatan yang diberikan. Rencana asuhan keperawatan yang di rumuskan
dengan tepat memfasilitasi konyinuitas asuhan perawatan dari satu
perawat ke perawat lainnya. Sebagai hasil, semua perawat mempunyai
kesempatan untuk memberikan asuhan yang berkualitas tinggi dan
konsisten.
Rencana asuhan keperawatan tertulis mengatur pertukaran
informasi oleh perawat dalam laporan pertukaran dinas. Rencana
perawatan tertulis juga mencakup kebutuhan klien jangka panjang
(potter,1997)

27
a. Resiko cedera intra operatif berhubungan dengan kebutuhan posisi,
pemasangan elektromedik, kehilangan sensori sekunder akibat
anestesi
Tujuan: kurang pengetahuan pasien dan keluarga teratasi setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama waktu yang telah
direncanakan
Kriteria hasil: pasien dan keluarga memahami tindakan
pembedahan, pasien kooperatif, pasien dapat menjelaskan prosedur
pembedahan, pasien tampak tenang
Intervensi:
1) Kaji tingkat pengetahuan pasien avau orang terdekat tentang
persiapan pembedahan
2) Jelaskan tentang persiapan operasi yang akan dilakukan
3) Libatkan keluarga saat diberi penjelasan oleh dokter dan
perawat
4) Berikan waktu pasien untuk mengulang penjelasan yang sudah
diberikan
5) Berikan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga tentang
proses persiapan pembedahan
6) Kolaorasi dengan dokter saat penjelasan proses operasi
7) Observasi respon pasien terhadap penjelasan yang diberikan
b. Ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawavan selama 1x 30
menit kecemasan klien berkurang
Kriteria hasil: postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat
aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan klien
Inervensi:
1) Gunakan pendekatan yang menenangkan
2) Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama
prosedur
3) Dorong keluarga untuk menemani

28
4) Dengarkan dengan penuh perhatian
5) Intruksi pasien menggunakan teknik relaksasi
c. Resiko cedera intra operatif berhubungan dengan kebutuhan posisi,
pemasangan elektromedik, kehilangan sensori sekunder akibat
anestesi
Tujuan: selama proses pembedahan tidak terjadi cedera pada pasien
Kriteria hasil:
Intervensi:
1) Kaji apakah pasien mempunya faktor risiko sebelumnya
2) Observasi selama operasi berlangsung apakah ada penekanan
pada anggota tubuh pasien
3) Kaji ulang kondisi dan keluhan post operasi
4) Berikan pendkes pada pasien akan dilakukan pemasangan alat-
alat elektromedik
5) Kolaborasi dengan dokter anestesi untuk perubahan posisi dan
pemindahan pasien ke RR
d. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan efek
insisi pembedahan
Tujuan: nyeri teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria hasil: pasien mengatakan neyeri berkurang atau hilang,
pasien tidak tampak kesakitan, skala nyeri 1-3, sikap tubuh rileks,
tidak memegang daerah operasi, tanda-tanda vital dalam batas
normal
Intervensi:
1) Kaji skala nyeri
2) Kaji keluhan nyeri
3) Observasi tanda-tanda vital pasien
4) Bantu pasien untuk melakukan ambulasi dini sesuai kondisi
5) Ajarkan tekhnik relaksasi dan distraksi (pengalihan nyeri)
6) Jelaskan penyebab nyeri pasca pembedahan

29
7) Berikan pendidikan kesehatan tentang pentingnya tekhnik
relaksasi nafas dalam
8) Libatkan keluarga saat mengajarkan tekhnik relaksasi dan
distraksi
9) Kolaborasi pemberian analgetik
e. Resti jatuh berhubungan dengan kelemahan fisik pasca anestesi dan
pembedahan
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi cedera
Kriteria hasil: klien terbebas dari cedera, keadaan umum pasien baik,
pasien sadar penuh, linkungan pasien aman
Intervensi:
1) Kaji tingkat kemampuan aktivitas pasien
2) Observasi ttv tiap dua sampai empat jam
3) Bantu pasien dalam melakukan aktivitas
4) Pasang penghalang tempat tidur
5) Beritahu pasien dan keluarga tentang efek pembiusan
6) Jelaskan hal-hal yang tidak boleh dilakukan selama bedrest
7) Libatkan keluarga saat memberikan informasi tentang pembatasan
aktivitas pasien
8) Kolaborasi pemberian sedative bila pasien gelisah
f. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan aktifitas
fisik pasca operasi
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan kebutuhan personal
hiegine pasien terpenuhi
Kriteria hasil: kebutuhan perawatan diri pasien terpenuhi
Intervensi:
1) Kaji aktivitas ekstermitas bawah pasien
2) Anjurkan pasien untuk menggerakkan kaki
3) Bantu pasien untuk melakukan aktivitas ADL di tempat tidur
4) Jaga privasi pasien selama memberikan tindakan perawatan
5) Berikan pendidikan kesehatan pada pasien tentang perawatan diri

30
6) Libatkan keluarga saat pemberian pendidikan kesehatan
perawatan diri
7) Kolaborasi dengan dokter dalam memotivasi pasien untuk
melakukan mobilisasi dini

4. Pelaksanaan
Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai dimulai setelah rencana
tindakan disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu
klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana
tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi masalah kesehatan klien. Adapun tahap-tahap
dalam tindakan keperawatan adalah sebagai berikut :
Tahap 1 : persiapan
Tahap awal tindakan keperawatan ini menuntut perawat
untuk mengevaluasi yang diindentifikasi pada tahap
perencanaan.
Tahap 2 : intervensi
Focus tahap pelaksanaan tindakan perawatan adalah kegiatan
dan pelaksanaan tindakan dari perencanaan untuk memenuhi
kebutuhan fisik dan emosional. Pendekatan tindakan
keperawatan meliputi tindakan : independen,dependen,dan
interdependen.
Tahap 3 : dokumentasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh
pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian
dalam proses keperawatan.
5. Evaluasi
Perencanaan evaluasi memuat criteria keberhasilan proses dan
keberhasilan tindakan keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat
dengan jalan membandingkan antara proses dengan pedoman/rencana

31
proses tersebut. Sedangkan keberhasilan tindakan dapat dilihat dengan
membandingkan antara tingkat kemandirian pasien dalam kehidupan
sehari-hari dan tingkat kemajuan kesehatan pasien dengan tujuan yang
telah di rumuskan sebelumnya. Sasaran evaluasi adalah sebagai berikut:
1. Proses asuhan keperawatan, berdasarkan criteria/ rencana yang telah
disusun.
2. Hasil tindakan keperawatan ,berdasarkan criteria keberhasilan yang
telah di rumuskan dalam rencana evaluasi.
Hasil evaluasi: Terdapat 3 kemungkinan hasil evaluasi yaitu :
a. Tujuan tercapai,apabila pasien telah menunjukan
perbaikan/kemajuan sesuai dengan criteria yang telah di tetapkan.
b. Tujuan tercapai sebagian,apabila tujuan itu tidak tercapai secara
maksimal, sehingga perlu di cari penyebab dan cara mengatasinya.
c. Tujuan tidak tercapai,apabila pasien tidak menunjukan
perubahan/kemajuan sama sekali bahkan timbul masalah baru.dalam
hal ini perawat perlu untuk mengkaji secara lebih mendalam apakah
terdapat data, analisis, diagnosa, tindakan, dan faktor-faktor lain
yang tidak sesuai yang menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan.
Setelah seorang perawat melakukan seluruh proses keperawatan dari
pengkajian sampai dengan evaluasi kepada pasien,seluruh
tindakannya harus di dokumentasikan dengan benar dalam
dokumentasi keperawatan.

32

Anda mungkin juga menyukai