Anda di halaman 1dari 30

BAB II

LANDASAN TEORI

1.1 Definisi

Preeklampsia biasanya terjadi pada bu hamil yang memiliki usia remaja atau
berusia >35 tahun. Definisi preeklampsia menurut para ahli akan dijabarkan sebagai
berikut.

1. Rustam (2008) menyatakan bahwa preeklampsia adalah kumpulan gejala yang


timbul pada ibu hamil, melahirkan, dan nifas yang terdiri dari atas
hipertensi,edema tetapi sebelumnya tidak menunjukkan tanda kelainan vaskular
atau hipertensi. Gejala preeklampsia biasanya muncul setelah usia gestasi
mencapai 28 minggu lebih.
2. Mansjoer (1999) menyatakan bahwa preeklampsia adalah timbulnya hipertensi
yang disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah gestasi mencapai
20 minggu atau segera setelah persalinan.
3. Prawirohardjo (2002) berpendapat bahwa preeklampsia terjadi jika ibu memiliki
tekanan darah 140/90 mmHg setelah usia gestasi 20 minggu yang disertai kadar
proteinuria 300 mg/24jam atau pemeriksaan dipstik
4. Manuaba (1998) mendefinisikan bahwa preeclampsia adalah tekanan darah
tinggi yang disertai dengan proinuria (protein dalam air kemih) atau edema
(penimbunan cairan) yang terjadi pada kehamilan 20 minggu sampai akhir
minggu pertama setelah persalinan

Definisi yang telah dijelaskan sebelumnya dapat digunakan sebagai acuan dalam
menegakkan diagnosis preeklampsia. Penatalaksanaan preeklampsia harus
dilakukan secara cepat dan tepat. Berdasarkan penatalaksanaannya, preeklampsia
dibagi menjadi tiga, yaitu :

1. Preeklampsia ringan
Ibu yag mengalami preeklampsia ringan biasanya memiliki tekanan darah
>140/90 mmHg, tetapi <160/110 mmHg. Kadar proteinuria yang terjadi
>300mg/24 jam menggunakan pemeriksaan dipstik.
2. Preeklampsia berat
Diagnosis preeklampsia berat ditegakkan jika tekanan darah sistolik ibu dalam
keadaan istirahat >160 mmHg dan tekanan darah siastolik >110 mmHg
3. Preeklampsia yang akan datang
Preeklampsia yang akan datang biasanya terjadi jika ibu mengeluh nyeri
epigastrium; nyeri kepala frontal, skotoma, dan pandangan kabur akibat
gangguan pada saraf pusat; gangguan fungsi hati yang ditandai dengan
peningkatan alanin , terdapat tanda hemolisis mikro angiopati; trombositopenia
dengan kadar trombosit <100.000/mm

1.2 Etiologi

Penyebab preeklampsia belum diketahui dengan pasti. Meskipun demikian, kondisi


ini lebih sering dialami oleh ibu hamil primigavida; ibu yang mengalami
hiperplasentosis, seperti pada kehamilan kembar, janin besar, dan hidrops fealis;
ibu hamil yang mengalami gangguan vaskular, seperti hipertensi atau diabetes
melitus; dan ibu hamil yang memiliki riwayat preeklampsia atau eklampsia dalam
keluarga. Manifestasi preeklampsia dalam kehamilan, tidak dapat diterangkan
hanya dengan satu faktor atau teori. Preeklampsia bersifat multifaktor dan ditandai
dengan manifestasi kinis yang kompleks, anatara lain :

1. Hipertensi
Gejala preeklampsia yang paling dahulu timbul adalah hiertensi yang tiba tiba.
Batas yang digunakan untuk menentukan hipertensi adalah tekanan darah
sisitolik 140 mmHg dan diastolik 90 mmHg. Akan tetapi, kenaikan tekanan
darah sistolik 30 mmhg atau tekanan darah distolik 15 mmHg diatas tekanan
biasanya juga digunakan sebagai indikator hipertensi. Biasanya, tekanan darah
sistolik mencapai 180 mmHg dan tekanan darah distolik 110 mmHg. Tekanan
darah sistolik melebihi 200 mmHg, hiperetensi kronis terjadi.
2. Edema dan kenaikan berat badan berlebihan
Terjadinay edema didahului dengan kenaikan berat badan yang berlebihan.
Kenaikan berat badan 0.5 kg dalam waktu seminggu pada ibu hamil merupakan
hal yang normal. Akan tetapi, kenaikan berat badan 1 kg dalam waktu seminggu
atau 3 kg dalam waktu sebulan harus menimbulkan kecurigaan adanya
preeklampsia. Kenaikan berat badan yang tiba tiba disebabkan oleh retensi air
dalam jaringan, yan selanjutnya menyebabkan edema. Edema tersebut tidak
hilang walaupun ibu beristirahat.
3. Proteinuria
Kondisi ini sering dijumpai pada kondisi preeklampsia. Proteinuria terjadi
karena vasospasme pembuluh darah ginjal. Proteinuria biasanya timbul lebih
lambat dari hipertensi dan edema.
Etiologi preeklampsia hingga kini belum diketahui dengan pasti. Oleh sebab itu,
patofisiologi preeklampsia tidak lebih dari mengumpulakan berbagai temuan
fakta yang ada. Meskipun demikian, pengetahuan tentang berbagai fakta ini
merupakan kunci utama keberhasilan penanganan preeklampsia. Preeklampsia
dan eklampsia sering disebut sebagai penyakit dari berbagai teori dalam
kebidanan.
Beberapa teori yang mengatakan bahwa perkiraan etiologi dari kelainan
tersebut sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai The Diseases of Theory.
Adapun teori-teori tersebut antara lain: Peran Prostasiklin dan Tromboksan.
1. Peran factor imunologis
Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada
preeclampsia – eklampsia.
2. Peran factor genetic atau familial. Terdapatnya kecenderungan
meningkatnya frekuensi preeclampsia atau eklampsia pada anak-anak dari
ibu yang menderita preeclampsia atau eklampsia dan anak dan cucu ibu
hamil dengan riwayat preeklampsi atau eklampsi dan bukan pada adik ipar
mereka. Peran renin-angitensin-aldosteron sistem (RAAS)
1. Factor Predisposisi
1) Molahidatidosa
2) Diabetus Melitus
3) Kehamilan Ganda
4) Hipoks fetalis
5) Obesitas
6) Umur yang lebih dari 35 tahun

1.3 Patofisiologi

Pada preeclampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini menyebabkan


prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia uterus. Keadaan
iskemia pada uterus, merangsang pelepasan bahan tropoblastik yaitu akibat
hiperoksidase lemak dan pelepasan renin uterus. Bahan tropoblastik menyebabkan
terjadinya endotheliosis menyebabkan pelepasan tromboplastin. Tromboplastin
yang dilepaskan mengakibatkan pelepasan tomboksan dan aktivasi agregasi
trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan akan menyebabkan terjadinya
vasospasme sedangkan aktivasi/ agregasi trombosit deposisi fibrin akan
menyebabkan koagulasi intravascular yang mengakibatkan perfusi darah menurun
dan konsumtif koagulapati.

Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit dan factor pembekuan darah


menurun dan menyebabkan gangguan faal hemostatis. Renin uterus yang
dikeluarkan akan mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama-sama
angiotensinogen menjadi angiotensin I dan selanjutnya menjadi angiotensin II.
Angiotensin II bersama tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme.
Vasospasme menyebabkan lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang
menyempit menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah.
tekanan perifer akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga
menyebabkan terjadinya hipertensi.

1.4 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya dua dari empat gejala klinis


preeklampsia, yaitu kenaikan berat badan yang berlebihan; edema; proteinuria yang
signifikan; dan tekanan darah yang lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg
atau peningkatan tekanan darah sistolik >30 mmHg dan tekanna darah diastolik >15
mmHg atau peningkatan mean arterial pressure >20 mmHg.

Pemeriksaan diagnostik juga dilakukan dalam menegakkan diagnosis


preeklampsia. Pemeriksaan diagnostik yang lazim digunakan antara lain:
1. Pemeriksaan hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht)
Peningkatan Hb dan Ht mengindikasikan adanya hemokonsentrasi yang
mendukung diagnosis preeklampsia. Selain itu, peningkatan Hb dan Ht juga
menjelaskan tingkat keparahan hipovolemia yang dialami ibu. Kadar Hb dan Ht
akan mengalami penurunan jika terjadi hemolisis.
2. Morfologi sel darah merah pada apusan darah tepi.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan adanya anemia hemolitik
mikroangiopatik dan morfologi eritrosit yang abnormal
3. Pemeriksaan trombosit
Trombositopenia mengindikasikan preeklampsia berat
4. Pemeriksaan kreatinin, serum, asam urat, dan nitrogen urea darah.
Peningkatan hasil pemeriksaan kreatinin serum, sam urat dan BUN
mengindikasikan tingkat keparahan hipovolemia;penurunan aliran darah ke
ginjal, oliguria, dana preelampsi berat.
5. Pemeriksaan transaminase serum
Peningkatan transaminase serum mengindikasikan preeklampsi berat disertai
gangguan fngsi hati.
6. Lactate dehydrogenase (LDH)
Pemeriksaan ini menunjukkan danya hemolisis
7. Pemeriksaan albumin serum dan faktor koagulasi
Pemeriksaan serum dan faktor koagulasi menunjukkan adanya kebocoran
endotel dan kemungkinan koagulopati.

1.5 Pencegahan

Upaya pencegahan preeklampsia sudah lama dilakukan. Banyak penelitian


dilakukan untuk menilai manfaat berbaai agens farmakologis dan non-
farmakologis. Secara umum, pencegahan preeklampsia dibagi menjadi tiga
kelompok antara lain:

1. Pencegahan primer dengan mencegah terjadinya preeklampsia


2. Pencegahan sekunder dengan memutus proses penyakit sebelum muncul
penyakit yang dikenal secara klinis
3. Pencegahan tersier dengan menegah komplikasi yang mungkin timbul akibat
preeklampsia . pencegaha tersier hampir serupa dengan mengobati preeklamsia.

Pencegahan primer

Invasi sitotrofoblas endovasklar dalam arteri spiralis dan disfungsi sel endotel
adalah dua kunci utama dalam patofisiologi preeklampsia. Meskipun demikian,
mekanisme terjadinya preeklampsia akibat keduanya masih belum diketahui. Oleh
sebab itusatu satu nya cara untuk menceah preeklampsia adalah dengan mencegah
kehamilan.

Dekker dan Van Geijin (1996) melakukan tinjauan mengenai pencegahan primer
preeklampsia dalam dekade mendatang yang dikaitan dengan tiga hipotesis utama
etiologi preeklampsia yaitu :

1. Hipotesis iskemia plasenta


Hipotesis ini menyatakan bahwa plasenta yang mengalami iskemia
menyebabkan peningkatan pelepasan membran mikrovilisinsitiotrofoblas, yang
dapat menjadi penyebab disfungsi sel endotel.
2. Hipotesis maladaptasi imun
hipotesis ini menyatakan bahwa mekanisme imun terlibat dalam patogenesis
preeklampsia. Hipotesis maladaptasi imunmemberi penjelasan yang menarik
tentang gangguan invasi trofoblas endovaskular.
3. Preeklampsia sebagai penyakit genetik
Preeklampsia berat memiliki kecenderungan yang bersifat hereditas.
Perekembangan preeklampsia dapat didasarkan pada gen resesif tunggal atau
gen dominan dengan penetrasi yang tidak komplet. Penetrasi dapat bergantung
pada genotip janin. Keterkaitan multifaktori merupakan kemungkinan lainnya

Terapi yang dapat dilakukan untuk mencegah iskemia plasenta hingga kini belum
diketahui. Potensi imunoterapi dalam pencegahan preeklampsia juga masih
kontroversial. Akan tetapi studi epidemiologi dengan kuat mendukung hipotesis
bahwa paparan sperma memberi minimal separuh perlindungan terhadap
perkembangan preeklampsia. Kesimpulan dari studi tersebut meskipun tidak dapat
digunakan secara langsung dalam penerapan praktik sehari-hari dapat memberi
konsekuensi praktis bagi dokter praktik, antara lain :

1. Berdasarkan konsep primipaterniatas, pendekatan yang digunakan pada ibu


multipara yang memiliki pasangan baru adalah pendekatan yang digunakan pada
ibu primigravida
2. Inseminasi donor artifisial dan donor oosit berkaitan dengan peningkatan risiko
terjadinya hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan.
3. Periode paparan sperma yang lebih atau kurang lama memberi proteksi parsial
terhadap hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan. Periode yang pasti dari
paparan sperma dalam hubungan yang stabil, ketika pasangan bertujuan untuk
hamil, berkaitan dengan proteksi parsial terhadap preeklampsia.

Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder merupakan tindakan pemutusan proses penyakit sebelum


muncul penyakit yang dikenal secara klinis, pencegahan sekunder hanya dapat
dilakukan jika terdapat tiga hal dasar yang diperlukan, antara lain:

1. Pengetahuan tentang mekanisme patofisiologi penyakit


2. Ketersediaan metode deteksi dini
3. Intevesi dan koreksi perubahan patofisiologi yang terjadi

Ketersediaan metode deteksi dini

Penanda biokimia dan biofisika yang secara logis terlibat dalam patologi dan
patofisiologi hipertensi pada kehamilan diharapkan dapat digunakan untuk
memperkirakan terjadinya preeklampsia pada kehamilan tahap lanjut. Para peneliti
berusahan mengidentifikasi penanda awal gangguan plasenta, penurunan fungsi
plasenta, disfungsi endotel, dan aktivasi koagulasi. Hampir semua upaya tersebut
menghasilkan strategi pemeriksaan yang memiliki sensitivitas renda dalam
mengidentifikasi preeklampsia.

Ketersediaan Metode Deteksi Dini

Penanda biokimia dan biofisika yang secara logis terlibat dalam patologi dan
patofisiologi hipertensi pada kehamilan diharapkan dapat digunakan untuk
memperkirakan terjadinya preeklampsia pada kehamilan tahap lanjut. Para peneliti
berusaha mengidentifikasi penanda awal gangguan plasenta, penurunan fungsi
plasenta, disfungsi endotel, dan aktifitas koagulasi. Hampir semua upaya tersebut
menghasilkan strategi pemeriksaan yang memiliki sensitivitas rendah dalam
mengidentifikasi preeklampsia. Friedman dan Lindheimer (1999) menyatakan
bahwa saat ini belum ada ujia skrining yang terpercaya, reliabel, dan ekonomis.

Tanda dan gejala preeklampsia secara umum tampak jelas pada stadium lanjut
kehamilan, biasanya pada trimester III. Walaupun demikian, abnormalitas biasanya
terjadi akibat interaksi abnormal antara ibu dan trofoblas endovaskular yang
muncul lebih dini pada kehamilan. Oleh sebab itu, usulan untuk menemukan
indikator preeklampsia yang lebih dini untuk memprediksi perkembangan lanjutan
penyakit, khususnya dalam dua dekade terakhir, merupakan hal yang masuk akal.
Berbagai metode deteksi dini preeklampsia saat ini tersedia atau dapat dilakukan di
rumah sakit negara maju. Berikut ini akan dibahas lebih lanjut mengenai deteksi
dini preeklampsia.

1. Penilaian klinis
a. Pemberian infusi angiotensin II. Deteksi dini preeklampsia dapat dilakukan
dengan uji infusi angiotensin II. Pada uji ini, infusi angiotensin II diberikan
secara bertahap hingga terjadi peningkatan tekanan darah diastolik sebesar
20 mmHg. Ibu yang memerlukan angiotensin II dalam jumlah kurang dari 8
ng/kg/mnt memiliki nilai prediksi positif mengalami preeklampsia sebesar
20-40% (Friedman dan Lindheimer, 1999). Kendati uji ini memberi hasil
yang cukup baik dibandingkan dengan deteksi preeklampsia lainnya, uji
infusi angiotensin II sulit dilakukan sehingga tidak diterapkan secara klinis.
b. Uji berguling. Gant et al. (1974) membuktikan adanya respons hipertensi
yang dipicu oleh posisi telentang setelah berbaring miring pada sebagian ibu
hamil. Sebagian besar ibu nulipara pada usia gestasi 28 hingga 32 minggu
yang menunjukkan peningkatan tekanan darah diastolik minimal 20 mmHg
ketika uji berguling dilakukan berisiko mengalami preeklampsia.
Sebaliknya, sebagian besar ibu hamil yang tidak mengalami peningkatan
tekanan darah setelah mengalami uji berguling akan tetap memiliki tekanan
darang yang normal. Ibu hamil yang menunjukkan hasil positif pada uji
berguling juga akan menunjukkan hasil yang sama saat menjalni uji
pemberian infusi angiotensin II. Hipotesis menyatakan bahwa hasil uji
positif merupakan manifestasi peningkatan sensitivitas vaskular ibu yanga
akan mengalami hipertensi pada tahap kehamilan lanjut. Nilai prediksi
positif berdasarkan preeklampsia sebagai titik akhir, dan bukan hipertensi
gestasional, adalah 33%. Nilai tersebut serupa dengan hasil positif pada uji
infusi angiotensin II.
c. Tekanan darah. Hipertensi adalah manifestasi klinis kelainan hipertensi
yang diinduksi oleh kehamilan yang paling umum dan potensial
menimbulkan bahaya. Peningkatan tekanan darah terjadi akibat peningkatan
resistensi perifer sistemik dan merupakan ciri preeklampsia yang cukup
dini. Pemeriksaan tekanan darah atau pengukuran MAP pada trimester II
kehamilan tidak dapat digunakan untuk mendeteksi preeklampsia secara
dini. Peningkatan tekanan darah diastolik atau MAP pada trimester II
kehamilan dapat tidak memiliki makna apapun. Kondisi ini merupakan
hipertensi sesaat dan bukab preeklampsia atau eklampsia yang sebenarnya.
Evaluasi perubahan peningkatan tekanan darah merupakan metode yang
tidak berguna dalam skrining preeklampsia dan eklampsia yang akan datang
pada ibu hamil yang menjalani rawat jalan.
d. Edema dan peningkatan berat badan yang berlebihan. Salah satu tanda yang
tampak pada kelainan hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan adalah
edema. Akan tetapi, edema bukan tanda pasti preeklampsia. Edema sedang
dapat ditemukan pada 60-80% ibu hamil yang memiliki tekanan darah
normal. Selain itu, edema pedis yang meluas ke tibia bagian bawah
merupakan kondisi yang lazim ditemukan pada ibu hamil normal. Edema
terjadi pada 85% ibu yang mengalami kelainan hipertensi yang diinduksi
oleh kehamilan. Tanda diagnostik kelainan hipertensi yang diinduksi oleh
kehamilan biasanya muncul mendahului gejala. Edema dan kenaikan berat
badan yang berlebihan merupakan tanda klasik preeklampsia, tetapi bukan
hal yang sangat diperlukan dalam menegakkan diagnosis kelainan hipertensi
yang diinduksi oleh kehamilan. Selain itu, hanya kenaikan berat badan yang
berlebihan tidak mengindikasikan prognosis yang buruk terhadap hasil
perinatal.
Penanda biokimia. Hal yang harus diingat dan diperhatikan adalah sebagian besar
ibu yang mengalami kelainan hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan tidak
menunjukkan gejala apapun sebelumnya. Kondisi ini menunjukkan pentingnya
kunjungan antenatal yang sering pada kehamilan lanjut. Pemeriksaan laboratorium
dilakukan untuk memprediksi, mendiagnosis, dan memantau perkembangan
preeklampsia. Diagnosis preeklampsia sering kali ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium.
a. Asam urat. Preeklampsia hiperurisemia dapat terjadi akibat penurunan bersihan
asam urat oleh ginjal. Pada preeklampsia, bersihan asam urat mengalami
penurunan secara tidak proporsional dibandingkan dengan bersihan kreatinin
dan urea. Penjelasan patofisiologi penurunan bersihan asam urat yang spesifik
didasarkan pada pola bifasik keterlibatan ginjal dalam preeklamsia.

Kerusakan fisiologis tubular, salah satu awal keterlibatan ginjal dalam


preeklampsia, menyebabkan berkurangnya bersihan ginjal terhadap asam urat.
Kondisi ini mengakibatkan peningkatan kadar asam urat plasma. Selanjutnya,
dalam perkembangan preeklampsia, kerusakan fungsi glomerular bersama
dengan bersihan urea dan kreatinin terjadi saat proteinuria muncul.

Preeklampsia hiperurisemia sedikit banyak berkaitan dengan penurunan


volume plasma dan aktivitas plasma renin. Preeklampsia hiperurisemia
kemungkinan terjadi akibat kombinasi antara vasokontriksi intrarenak
(peritubular) dan hipovolemia. Peningkatan kadar asam usat berkaitan dengan
lesi preeklampsia yang berat pada biopsi ginjal, derajat patologi uteroplasenta
vaskular, dan keadaan janin yang buruk.

Hiperurisemia dilaporkan menjadi predikator yang lebih baik terkait hasil


perinatal yang buruk dibandingkan dengan tekanan darah. Pada kebanyakan
ibu, peningkatan kadar asam urat terjadi bersamaan dengan peningkatan
tekanan darah dan terjadi sebelum prekembangan stadium proteinuria dari
preeklampsia. Kadar asam urat digunakan untuk mendeteksi preeklampsia
secara dini, tetapi tidak untuk hipertensi itu sendiri.
Pengukuran serial kadar asam urat yang dimulai pada trimester I kehamilan
pada ibu yang beresiko tinggi mengalami preeklampsia, seperti ibu yang
mengalami hipertensi kronis, berguna untuk menegakkan diagnosis
preeklampsia secara dini, mengidentifikasi ibu yang mengalami hipertensi dan
berisiko tinggi mengalami hasil perinatal yang buruk. Selain itu, asam urat
dapat digunakan sebagai indikator untuk meperkirakan tingkat keparahan
penyakit dalam menyebabkan terjadinya preeklampsia. Weerasekera dan Peiris
(2003) menyatakan bahwa kadar asam urat serum tidak berbeda secara
bermakna sebelum hipertensi terjadi. Kadar asam urat tidak bermanfaat dalam
membedakan antara hipertensi gestasional preeklampsia.

b. Proteinuria. Proteinuria merupakan salah satu tanda klasik preeklampsia yang


diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Sindrom HELLP dan eklampsia,
yang didahului dengan kejang, dapat terjadi tanpa proteinuria. Proteinuria
merupakan ekspresi dari disfungsi glomerular dan biasanya terjadi bersamaan
dengan penurunan bersihan kreatinin. Hipertensi dan proteinuria berkaitan
dengan peningkatan risiko kematian perinatal jika dibandingkan dengan
kehamilan normotensi dan hipertensi tanpa preoteinuria.

Pemeriksaan dipstick urine pada populasi risiko rendah, yaitu ibu hamil yang
memiliki tekanan darah normal, yang mengalami kenaikan berat badan
merupakan pemeriksaan yang tidak efektif karena proteinuria merupakan ciri
lanjut dari preeklampsia.

Pemeriksaan mikroalbuminuria dengan tujuan memprediksi preeklampsia


telah dicoba. Secara keseluruhan, pemeriksaan ini tidak dapat digunakan untuk
mendeteksi proteinuria guna menegakkan diagnosis dini preeklampsia. Tanda
lain, seperti peningkatan tekanan darah, penurunan jumlah trombosit, dan
peningkatan kadar asam urat plasma, tampaknya mendahului terjadinya
mikroalbuminuria yang dapat dideteksi.

c. Ekskresi kalsium urine. Hipokalsiuria terjadi pada kebanyakan ibu hamil yang
mengalami preeklampsia stadium lanjut. Preeklampsia hipokalsiuria, seperti
halanya penurunan bersihan asam urat, merupakan ekspresi dari disfungsi
tubular. Sanchez-Ramos et al. (1991) melakukan penelitian terhadap nilai
kalsium urine sebagai penanda dini preeklampsia pada 103 ibu nulipara. Pada
usia gestasi 10-24 minggu, ibu yang mengalami preeklampsia
mengekskresikan kalsium urine yang lebih sedikit secara signifikan daripada
ibu yang memiliki tekanan darah normal. Penurunan ini terus terjadi selama
kehamilan. Perbedaan insiden preeklampsia antara ibu hamil yang memiliki
nilai ekskresi kalsium pada atau dibawah nilai ambang 195 mg/24 jam dan ibu
yang memiliki nilai ekskresi kalsium yang bermakna adalah 87%.

Fungsi tubular mengalami kerusakan pada stadium preeklampsia yang lebih


dini daripada fungsi glomerular. Oleh sebab itu, rasio urine dan kreatinin urine
(Uca/Ucr) digunakan untuk mendeteksi preeklampsia secara dini. Rodriguez et
al. (1988) menghitung nilai rasio Uca/Ucr antara usia gestasi 24-34 minggu.
Rasio Uca/Ucr 0,04 atau lebih rendah dilaporkan memiliki sensitivitas 70%,
kekhususan 95%, nilai duga positif 64%, dan nilai duga negatif 96% dengan
11,4% insiden preeklampsia.

Hutchesson et al. (1990) dan beberapa peneliti lainnya tidak mampu


menunjukkan penurunan ekskresi kalsium urine pada ibu preeklampsia yang
terjadi sebelum awitan hipertensi dan keteelibatan ginjal. Masse et al. (1993)
juga tidak menemukan perbedaan ekskresi kalsium urine antara ibu yang
mengalami preeklampsia dan ibu yang nemiliki tekanan darah normal. Secara
keseluruhan, pengukuran ekskresi kalsium uribe tidak bermakna dalam
mendeteksi atau memprediksi preeklampsia secara dini.

d. Human chorionic gonadotropin (hCG). Beberapa penelitian menemukan


peningkatan kadar B-hCG pada kelainan hipertensi yang diinduksi oleh
kehamilan. Hal ini mendukung asumsi bahwa penentuan kadar B-hCG dapat
bermakna dalam deteksi dini preeklampsia. Hasil dari penelitian besar
dipublikasikan oleh Muller et al. (1989) sebuah program skrining prospektif
trisomi 21 hCG mengambil data dari 5.776 ibu untuk menilai hubungan antara
kadar hCG dan hipertensi yang diinduksikan oleh kehamilan (n=234),
preeklampsia (n=34), neonatus kecip masa kehamilan (KMK) (n=236)

Kadar hCG, dengan median multipel, lebih tinggi pada tiga populasi yang
mengalami kelainan patologis. Perbedaan ini secara statistik bermakna pada
populasi neonatus KMK dan preeklampsia, tetaoi tidak pada hipertensi yang
diinduksi oleh kehamilan. Penulis tidakenyediakan data untuk menghitung
nilai duga positif, tetapi data mereka menunjukkan bahwa dengan nilai cut-off
hCG 2 median multipel, 10% populasi dipertimbangkan berisiko mengalami
preeklampsia dan 30% kasus preeklampsia teridentifikasi. Dengan nilai cut-off
hCG 1 median multipel, 50% populasi dipertimbangkan berisiko mengalami
preeklampsia dan 100% kasus preeklampsia akan teridentifikasi.

Sebagian besar penelitian secara umum menemukan bias yang besar dan
cenderung tumpang-tindih antara kadar B-hCG pada ibu yang memiliki
tekanan darah normal dan ibu yang mengalami hipertrnsi. Dengan demikian,
nilai klinis pengukuran B-hCG untuk memprediksi atau memantau kelainan
hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan tampaknya sangat terbatas.

3. Penanda hematologi

a. Antigen terkait faktor VIII/faktor VIIIc. Rasio antigen terkait faktor VIII
dan faktor VIIIc (fVIIIrag/fVIIIc) pada individu yang sehat adalah 1,0.
Peningkatan pembilang pada rasio ini, yaitu fVIIIrag, berkaitan dengan
pelepasan endotelial terhadap antigen ini. Beberapa penulis menunjukkan
peningkatan dini rasio fVIIIrag/FVIIIc pada kondisi hipertensi yang
diinduksi oleh kehamilan dan hubungan positif antara derajat peningkatan
rasio dan tingkat penyakit, derajat hiperurisemia, infark plasenta, Hasil
perinatal yang buruk, serta hubungan negatif yang kuat antara rasio ini dan
masa hidup trombosit. Peningkatan rasio, seiring dengan peningkatan
fVIIIrag, lebih mudah dicatat dalam preeklampsia yang berkaitan dengan
hambatan pertumbuhan janin. Pelepasan endoteliel terhadap fVIIIrag tidak
meningkat pada kondisi hipertensi kronis.

Pengukuran rasio fVIIIrag/fVIIIc merupakan indikator yang berguna dan


lebih sensitif untuk mendeteksi tingkat dan derajat kerusakan sel endotelial
serta perluasan insufisiensi plasenta pada kelainan hipertensi yang diinduksi
oleh kehamilan. Rasio tersebut berkaitan dengan hambatan pertumbuham
janin dan morbiditas serta mortilitas perinatal. Pada akhirnya, peningkatan
fVIIIrag seiring dengan peningkatan kadar asam urat serum dan
peningkatan tekanan darah.

b. Fibronektin. Fibronektin adalah glikoprotein permukaan sel yang utama.


Fibronektin yang larut dalam plasma, terutama disintesis oleh sel
endotelialdan hepatosit. Ibu hamil yang memiliki tekanan darah normal
memiliki kadar fibronektin plasma yang sama atau hanya memiliki kadar
fibronektin plasma yang sama atau hanya mengalami sedikit peningkatan
dibandingkan dengan ibu yang tidak hamil. Peningkatan fibronektin plasma
bukan meruoakan konsekuensi yang sederhana dari hipertensi karena ibu
hamil yang mengalami hipertensi kronis memiliki kadar fibronektin yang
normal.

Sebagian besar studi secara konsisten menunjukkan peningkatan sekitar dua


hingga tiga lekukan pada kadar fibronektin plasma, yang menyebabkan
preeklampsia. Sumber peningkatan kadar fibronektin hingga kini tidsk
diketahui dengan pasti. Peningkatan fibronektin dapat terjadi akibat
kerusakan sel endotelial, aktivasi dalam sirkulasi uteroplasenta atau
sistemik, atau keduanya, atau peningkatan produksi hepatosit.

Ballegeer et al. (1989) melakukan perbandingan antara kadar fibronektin


plasma, plasminogen activator inhibitor (PAI-1), fVIIIrag, dan kadar asam
urat. Mereka menyimpulkan bahwa fibronektin adalah predikator
preeklampsia yanf terbaik. Evaluasi peningkatan kadar fibronektin pada
deteksi dini preeklampsia si usia gestasi 25-32 minggu menemukan tingkat
sensutivitas 96% dan kekhususan 94%.

Ballegeer menyatakan bahwa peningkatan fibronektin plasma mendahukui


peningkatan tekanan darah pada usia gestasi rata-rata 4-6 minggu.
Sebelumnya, peningkatan fibronektin diketahui mendahului peningkatan
tekanan darah sekitar 4 minggu pada ibu yang mengalami hipertensi
gestasional dan sekitar 12 minggu pada ibu yang memiliki riwayat
preeklampsia.
Pengukuran kadar fibronektin dapat dilakukan dengan menggunakan teknik
imunokimia yang tersedia di sebagian besar rumah sakit dan dapat
menolong dalam deteksi dini preeklampsia, khususnya preeklampsia tipe
berat dengan awitan dini.

c. Hitung trombosit. Masa hidup trombosit lebih singkat secara signifikan


pada kelainam hipertensi yang diinduksikan oleh kehamilan, khususnya
ketika terjadi komplikasi hambatan pertumbuhan janin, dibandingkan
dengan kehamilan tanpa komplikasi. Pada ibu yang mengalami
preeklampsia, penurunan nilai hitung trombosit terjadi kurang lebih
bersamaan dengan peningakatan kadar asam urat dan keduanya mendahului
insiden proteinuria sekutar 3 minggu. Standar deviasi jumlah sirkulasi
trombosit ibu hamil yang memiliki tekanan darah normal dan ibu hamil
yang mengalami hipertensi menghalangi penggunaan hitung trombosit
sebagai metode yang efeltifuntuk deteksi dini preeklampsia pada ibu
nulipara beresiko rendah.
d. Kadar hemoglobin, hematokrit, dan mean corpuscular volume
Peningkatan kadar hemoglobin dan hematokrit (Hb/Ht) yang abnormal
merupakan prediktor yang lebih baik terhadap hasil perinatal yang buruk
daripada kadar estriol atau human plancental lactogen (hPL) rendah yang
abnormal. Kadae Hb/Ht ibu yang tinggi berkaitan dengan berat badan lahir
rendah dan berat plasenta rendah; peningkatan insiden prematuris dan
mortalitas perinatal; peningkatan resistensi vaakular perifer; dan bentuk
hipertensi maternal.

Pengukuran serial Hb/Ht sangat berguna dalam memantau kehamilan yang


berisiko tinggi mengalami insufisiensi uteroplasenta. Selain itu,
pemeriksaan ini juga berguna dalam memantai bentuk penyakit yang
menyebabkan kelainan hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan atau
komplikasi kehamilan akibat hambatan pertumbuhan janin, atau keduanya.
Peningkatan kadar penanda hemoglobin pada trimester II mendahului
insiden kelainan hipertensi yang diindukasi oleh kehamilan dan berguna
sebagai prediktor dalam deteksi dini preeklampsia.
4. Penilaian ultrasonografi Doppler pada siekulasi uteroplasenta. Perubahan
fisiologi pembuluh darah uteroplasenta merupakan dasar patofisiologi
penggunaan pemeriksaan aliran Doppler pada deteksi dini preeklampsia.
Peningkatan resistensi gelombang velositas aliran darah uteroplasenta berlaitan
dengan hasil pemeriksaan patologi bantalan plasenta dan plasenta. Perubahan
vaskular patologis ini terdapat dalam proporsi yang bermakna pada ibu hamil
yang memiliki tekanan darah normal dengan komplikasi hambatan
pertumbuhan janin.

Penilaian ultrasonografi Doppler pada sirkulasi uteroplasenta.

Perubahan fisiologi pembuluh darah uteroplasenta merupakan dasar


patofisiologi penggunaan pemeriksaan aliran Doppler pada deteksi dini
preeclampsia. Peningkatan resistansi gelombang velositas aliran darah
uteroplasenta berkaitan dengan hasil pemeriksaan patologi bantalan plasenta
dan plasenta. Perubahan vascular patologis ini terdapat dalam proporsi yang
bermakna pada ibu hamil yang memiliki tekanan darah normal dengan
komplikasi hambatan pertumbuhan janin.

Indeks resistansi (resistance index, RI) gelombang velositas aliran darah


uteroplasenta (flow velocity waveform, FVW) menurun pada kehamilan awal
hingga usai gestasi 20-26 minggu. Selanjutnya, indeks resistansi FVW menjadi
stabil hingga mencapai usia gestasi aterm. Velositas aliran darah diastolik akhir
yang tinggi dan rasio yang rendah selama separuh akhir kehamilan
menunjukkan resistensi perifer yang rendah pada bantalan vascular
uteroplasenta.

Tidak ada metode standar yang mendukung pemeriksaan FVW


uteroplasenta. Pearce dan McParland (1991) menyatakan bahwa pemeriksaan
sebaiknya dilakukan di kedua sisi uterus dan FVW dilaporkan sebagai berikut.

a. Resistansi rendah seragam, yaitu FVW dari kedua sisi uterus memiliki RI <
0,58.
b. Resistansi tinggi seragam, yaitu FVW dari kedua sisi uterus memiliki RI <
0,58.
c. Bentuk resistansi campuran, yaitu salah satu gelombang dari salah satu sisi
plasenta memiliki resistensi rendah (RI < 0,58) dan gelombang sisi lainnya
memiliki resistansi tinggi (RI < 0,58).

Informasi terkait bentuk gelombang, selain indeks FVW, banyak tersedia.


Keberadaan dan ketiadaan noktah sangat penting dalam pemeriksaan ini.
Noktah diastolic dini pada FVW uteroplasenta ditemukan pada kehamilan
normal hingga usai gestasi sekitar 26 minggu.

Campbell et al. (1986) pertama kali melaporkan penggunaan velosimetri


Dopller uteroplasenta sebagai tes skrining pada kehamilan awal untuk
mendeteksi hipertensi, hambatan pertumbuhan janin, dan asfiksia janin. Studi
pertama ini memberikan hasil yang sangat menjanjikan. Nilai prediksi yang
sempurna ditemukan pada studi ini akibat angka komplikasi 25% pada
kelompok studi.

Penelitian baru-baru ini melaporkan nilai klinis evaluasi ultrasonografi


Doppler terhadap sirkulasi uteroplasenta yang sangat bervariasi. Variasi
tersebut dapat berkaitan dengan perbedaan teknik yang luas, seperti halnya
perbedaan definisi kelainan hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan,
hambatan pertumbuhan janin, gawat janin, dan hasil perinatal yang buruk.
Walaupun demikian, alasan utama kesimpulan nilai FVW Doppler pembuluh
darah uteroplasenta yang bervariasi adalah kemungkinan peneliti
menggunakan proses seleksi yang berbeda dalam membagi populasi dengan
bentuk aliran Doppler uteroplasenta yang normal atau abnormal.

Abnormalitas terkadang didasarkan pada FVW yang sangat buruk, rata-rata


RI empat sisi, atau terkadang FVW terbaik. Bias terjadi pada “lesi
preeklampsia” dalam arteri spiralis. Kondisi tersebut mendukung pencarian
bentuk aliran Doppler terburuk dalam mendeteksi preeclampsia. Peneliti yang
menggunakan FVW terburuk secara konsisten melaporkan hasil Doppler
uteroplasenta yang terbaik dalam deteksi dini preeclampsia.

Hasil pemeriksaan ultrasonografi Doppler terhadap sirkulasi uteroplasenta


sebagai tes skrining untuk berbagai derajat hipertensi mengecewakan. Akan
tetapi, Doppler ultrasonoplasenta memiliki sensitivitas yang tinggi dalam
deteksi dini preeclampsia berat yang berkaitan dengan hasil perinatal yang
buruk. Keuntungan lainnya adalah pemeriksaan ini relatif mudah digunakan,
murah dan tidak invasif. Penggunaan aliran Doppler dapat dilakukan pada
kehamilan awal dan sesuai untuk intervensi terapeutik dengan upaya untuk
mengurangi insiden preeclampsia dan komplikasinya.

Beberapa studi menunjukkan hasil yang menjanjikan terkait velosimetri


aliran Doppler berwarna dalam deteksi dini preeclampsia. Harrington et al.
(1996) menemukan bahwa noktah bilateral pada usia gestasi 19-21 minggu
memiliki sensitivitas lebih dari 70% dan nilai duga positif 27%, 31,2%, dan
37,5%, masing-masing untuk preeclampsia, bayi KMK, dan beberapa
komplikasi.

Harrington et al. (1996) melakukan studi lain pada 652 ibu yang menjalani
kehamilan tunggal. Studi tersebut menunjukkan bahwa adanya noktah bilateral
pada akhir trimester I (usia gestasi 12-16 minggu) berkaitan dengan typical
adds ratio 42 dan CI 95% untuk selanjutnya berkembang menjadi
preeclampsia dalam kehamilan.

Penjelasan sebelumnya menunjukkan bahwa hingga kini pemeriksaan


terbaik untuk mendeteksi preeclampsia secara dini belum ditemukan. Evaluasi
ultrasonografi Doppler terhadap sirkulasi uteroplasenta sebagai metode
skrining secara keseluruhan dan pengukuran serial kadar fibronektin pada ibu
yang berisiko tinggi dapat menjadi metode deteksi dini terbaik yang ada saat
ini.

Intervensi dan koreksi perubahan patofisiologi

Strategi pencegahan sekunder kelainan hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan


yang tersedia saat ini berfokus pada mekanisme yang terlibat dalam proses
penyakit.

1. Pembatasan natrium dan penggunaan diuretic. Upaya pembatasan natrium atau


penggunaan diuretic, atau keduanya, untuk mencegah kelainan hipertensi yang
diinduksi oleh kehamilan didasarkan pada hipotesis bahwa retensi natrium
merupakan factor etiologi preeclampsia. Individu yang sangat antusias
menunjukkan bahwa garam berperan penting dalam eklampsia adalah De Snoo
(1877-1949), seorang ahli kandungan dari Belanda.
Pada akhir tahun 1940-an, De Snoo menganjurkan ibu hamil untuk menjalani
diet pembatasan garam, terutama ibu hamil yang mengalami toksemia.
Meskipun terdapat banyak laporan klinik yang antusias, tidak ada bukti nyata
yang menyatakan bahwa pembatasan garam membantu mencegah hipertensi
selama kehamilan.
Pembatasan natrium yang ketat tidak hanya menurunkan tekanan darah,
kemungkinan dengan penurunan kalsium bebas intraseluler dalam sel otot polos
vascular, tetapi juga menyebabkan penurunan sirkulasi volume plasma. Secara
actual, tidak ada upaya pembatasan diet terhadap kenaikan berat badan, seperti
diet rendah kalori, dan rendah garam, pernah menunjukkan manfaat dalam
mencegah preeklampsia.
Collin et al. (1985) menganalisis 10 uji acak prospektif terkait pemberian
terapi diuretic secara primer untuk edema atau kenaikan berat badan yang cepat
atau keduanya. Analisis terhadap studi ini, yang melibatkan 7.000 ibu,
tampaknya menunjukkan reduksi insiden preeklampsia yang bermakna.
Collin et al. menggunakan lebih banyak metode langsung dalam menilai
manfaat potensial terapi diuretic dengan menganalisis hasil janin dan insiden
preeklampsia. Angka kematian perinatal pada kelompok kontrol adalah 1,9%
dan 1,7% pada ibu yang menjalani terapi diuretik.
Pemberian diuretic tidak berpengaruh terhadap insiden preeclampsia.
Evaluasi lebih lanjut terhadap efek potensial obat yang negative tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna antara subjek yang mendapat terapi
dan kontrol. Pada kelompok yang mendapat terapi diuretic, dilaporkan beberapa
kasus trombositopenia neonatal dan ikterus akibat ketidakseimbangan elektrolit
dan pankreatitis maternal, termasuk empat kasus fatal. Oleh sebab itu, perlu
pertimbangan terapi diuretic profilaksis selama kehamilan.

2. Suplementasi magnesium. Penggunaan magnesium sulfat dalam pencegahan


atau pengobatan kejang pada preeclampsia berat dan eklampsia menimbulkan
hipotensi bahwa suplementasi magnesium antepartum dapat memberi dampak
yang menguntungkan dalam insiden preeclampsia. Walaupun demikian, asupan
magnesium tidak terlihat mempengaruhi insiden preeclampsia atau hambatan
pertumbuhan janin. Selain itu, uji acak kontrol menggunakan plasebo tidak
menunjukkan adanya penurunan insiden preeklampsia.

3. Suplementasi zink. Zink merupakan elemen esensial dalam metabolisme


oksidatif, sintetis deoxyribonucleic acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA),
imunokompeten, dan stabilisasi membrane. Kadar zink plasma maternal
dilaporkan berkaitan erat dengan berat badan lahir. Kadar zink plasenta dan
plasma pada kondisi preeclampsia dilaporkan mengalami penurunan, tetapi tidak
pada ibu hamil yang mengalami hipertensi kronis. Penelitian lainnya
menemukan bahwa tidak ada perubahan yang bermakna dalam serum dan
konsentrasi zink eritroisit pada ibu yang mengalami kelainan hipertensi yang
diinduksi oleh kehamilan.
Dua percobaan yang dilakukan terkait pemberian suplementasi zink untuk
mencegah kelainan hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan menunjukkan hasil
yang tidak konsisten. Tidak ada pebedaan yang bermakna dalam insiden
kelainan hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan antara ibu yang memperoleh
suplementasi zink (4,6%) dan ibu yang mendapat placebo (1,3%). Meskipun
studi selanjutnya memberi bukti yang jelas bahwa preeklampsia berkaitan
dengan kadar zink plasma yang lebih rendah, penurunan ini dapat terjadi hanya
karena hipoalbuminemia.
Suplementasi zink tampaknya tidak dapat digunakan dalam mencegah
kelainan hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan. Defisiensi zink sangat jarang
terjadi pada ibu hamil di negara maju. Oleh karena itu, suplementasi zink 5
mg/hari secara rutin tidak dianjurkan untuk saat ini.

4. Suplementasi protein. Diet protein yang ketat lazim dianjurkan pada ibu yang
mengalami toksemia hingga tahun 1930-an. Diet dilakukan dengan tujuan
menghindari “toksin” metabolic. Setelah tahun 1930-an, muncul hipotensi baru
yang menyatakan bahwa asupan protein yang tidak adekuat bertanggung jawab
dalam menyebabkan kelainan hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan. Konsep
ini tampaknya muncul dari observasi hipoproteinemia pada ibu yang mengalami
preeclampsia. Walaupun demikian, beberapa survei menemukan bahwa tidak
terdapat hubungan antara asupan protein sehari-hari dan insiden kelainan
hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan. Studi terkontrol belum menemukan
manfaat pasti dari suplementasi protein dalam mencegah kelainan hipertensi
yang diinduksi oleh kehamilan.

5. Suplementasi kalsium. Theobald, pada tahun 1930-an, menyatakan bahwa


toksemia terjadi akibat insufisiensi absolut atau relative dari beberapa substansi
dalam diet, terutama kalsium. Studi epidemiolohi mendukung bahwa insiden
eklampsia berbanding terbalik dengan asupan kalsium. Walaupun demikian,
studi pada ibu hamil yang mengalami defisiensi kalsium sebagian besar
dilakukan di Negara berkembang. Secara keseluruhan, Negara berkembang
memiliki presentase asupan nutrisi yang tidak adekuat secara signifikan. Selain
itu, mayoritas Negara berkembang tidak memiliki sistem asuhan prenatal yang
optimal. Hal tersebut dapat menjadi factor pengacau dalam analisis epidemologi
terkait dampak asupan kalsium terhadap insiden preeclampsia.

Beberapa studi memberikan data yang berlawanan dengan hipotesis


defisiensi nutrisi sebagai etiologi spesifik atau factor patogenik preeclampsia,
termasuk defisiensi asupan kalsium. Survei tentang diet yang lebih jelas tidak
menunjukkan perbedaan yang konsisten dalam jumlah vitamin atau mineral
antara diet pada ibu yang mengalami preeclampsia dan ibu yang sehat.

Thompson (1959) menemukan bahwa diet pada ibu yang mengalami


preeclampsia cenderung mengandung lebih sedikit vitamin C dibandingkan
dengan diet pada ibu yang memiliki tekanan darah normal atau ibu yang
mengalami hipertensi. Thompson juga menyatakan bahwa ibu yang mengalami
preeclampsia lebih banyak mengonsumsi kalsium dan vitamin lainnya. Insiden
eklampsia di Belanda pada tahun 1994-1995 mengalami penurunan pada saat
terjadi “hunger winter”, yaitu ketika asupan nutrisi dan asupan kalsium secara
keseluruhan kurang dari kebutuhan tubuh minimal.
Tinjauan terkait suplementasi kalsium yang terbaru dipublikasikan oleh
Cochrane Library yang membahas tentang efek pencegahan preeclampsia dengan
suplementasi kalsium, yang meliputi sembilan studi dan melibatkan lebih dari
6.000 ibu. Data menunjukkan bahwa terjadi penurunan sedang risiko
preeclampsia (RR 0,72; 95% CI 0,60-0,86).

Efek suplementasi kalsium lebih besar pada ibu yang berisiko tinggi
mengalami hipertensi (RR 0,22;95% CI 0,11-0,43) dan ibu yang memilki asupan
kalsium pada garis dasar yang rendah (RR 0,32; 95% CI 0,21-0,49). Hasil yang
diperoleh pada subjek yang berisiko tinggi masih samar karena analis sejauh ini
hanya dilakukan pada 225 ribu.

Konsep yang ada menyatakan bahwa asupan kalsium merupakan pengacau


yang paling penting dalam penilaian efek suplementasi kalsium. Hal ini didukung
oleh efek protektif suplementasi kalsium yang bermakana di Negara maju yang
memiliki asupan kalsium rendah, seperti Australia, dibandingkan dengan
ketiadaan manfaat yang diperoleh dari suplementasi kalsium di Negara maju
yang memiliki asupan kalsium tinggi.

Dua fakta penting yang berhubungan dan menjadi perhatian, antara lain :

a. Negara yang memiliki asupan kalsium tinggi, seperti Amerika Serikat dan
Belanda, masih memiliki masalah preeclampsia tersendiri, khususnya
preeclampsia yang membunuh bayi dan ibu.
b. Pencegahan preeclampsia secara definitive, yaitu hipertensi dan proteinuria,
tidak sama dengan memperbaiki hasil perinatal.

Tinjauan Cochrane menunjukkan bahwa suplementasi kalsium tidak


memperbaiki hasil perinatal. Suplementasi kalsium tidak memperbaiki hasil
perinatal, tetapi efisiensi biaya dengan penurunan prevalensi preeclampsia
dapat menjadi manfaat yang relevan di Negara yang memiliki dana pelayanan
kesehatan terbatas.

Pencegahan tersier
Pencegahan tersier merupakan tindakan pencegahan komplikasi yang mungkin
timbul akibat preeclampsia dan eklampsia. Pencegahan tersier hampir serupa
dengan mengobati preeclampsia dan eklampsia.

Obat antihipertensi

Efek obat antihipertensi dinilai dengan mempelajari efeknya pada preeclampsia


yang berkembang dari ringan hingga berat pada ibu yang memiliki kondisi
hipertensi ringan atau sedang. Pendekatan ini didasarkan pada kenyataan bahwa
pengobatan dini hipertensi dapat mencegah munculnya manifestasi preeclampsia
lainnya. Walaupun demikian, ciri preeclampsia pada plasenta, ginjal, hati dan
homeostatic tampaknya tidak menjadi konsekuensi langsung dan peningkatan
tekanan darah. Meskipun pemberian obat antihipertensi pada ibu yang mengalami
hipertensi ringan hingga sedang mengurangi insiden hipertensi berat, obat ini tidak
memiliki efek yang menguntungkan terhadap insiden preeclampsia atau kematian
perinatal.

Antikoagulan

Kerja thrombin yang berlebihan dan penumpukan fibrin intravaskular merupakan


salah satu mekanisme primer pathogenesis preeklampsia. Ibu yang mengalami
kelaianan hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan ditangani dengan pemberian
antikoagulan untuk memperbaiki keadaan klinis dan hasil perinatal. Heparin
digunakan dalam sebuah studi tanpa kontrol, yang melibatkan kasus tunggal atau
pasien dengan seri yang kecil. Hasil studi menunjukkan bahwa pemberian heparin
tidak bermanfaat dalam pencegahan sekunder atau tersier preeklampsia.

Laporan sebelumnya terkait penggunaan koumarin untuk mencegah preeklampsia


berulang pada ibu multipara tidak menunjukkan efek yang menguntungkan
terhadap hasil maternal atau perinatal. Selain itu, penggunaan antikoagulan dapat
membahayakan pada kasus hipertensi berat, khususnya jika berkaitan dengan
trombositopenia.

Aspirin
Friedman (1988) menyatakan bahwa preeklampsia merupakan proses pada
trofoblas yang dimediasi oleh disfungsi trombosit dan dicegah minimal sebagian
oleh agens antitrombosit. Aktivasi trombosit yang dimediasi oleh lapisan non-
endotelialisasiyang tampak pada arteri spiralis dapat terjadi akibat ketiadaan
produksi anti-agregasi prostasiklin atau nitrat oksida yang adekuat oleh
vaskularisasi uteroplasenta atau endovaskular trofoblas.

Aspirin menyebabkan defek fungsional jangka panjang pada trombosit, terutama


yang berkaitan dengan inaktivitas permanen aktivitas siklooksigenase trombosit
dan menghambat reaksi sekretori trombosit resultan. Aspirin menyebabkan asetilasi
pada gugus hidroksil residu serin tunggal pada sisi aktif enzim siklooksigenase.
Karena gugus asetil dari aspirin terikat secara kovalen pada sisi aktif
siklooksigenase, hambatan terhadap enzim ini bersifat permanen.

Metabolit aspirin mengikat secara reversibel pada atau dekat sisi aktif jalur yang
mencegah asetilasi enzim oleh aspirin. Walaupun demikian, laporan efek
konsentrasi aspirin dan salisilat in vivo mendukung bahwa proteksi salisilat
terhadap siklooksigenase merupakan interkasi farmakodinamik yang tampaknya
tidak benar diikuti oleh aspirin oral pada manusia

Trombosit tanpa inti merupakan target selular yang unik untuk kerja aspirin.
Trombosit tidak dapat melakukan sintesis ulang siklooksigenase karena mereka
kekurangan inti. Dengan demikian, dosis yang menyebabkan inhibisi tidak komplet
TXA2 karena bentuk inhibisi enzim yang diinduksi aspirin bersifat permanen, akan
berakumulasi membentuk inhibisi komplet jika diberikan secara ekstrem selama
pemberian obat yang berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut, pemberian aspirin
harian sebanyak 30 hingga 50 mg menghasilkan supresi komplet pada biosintesis
trombosit TXA2 setelah 7 hingga 10 hari pada ibu yang tidak hamil.

Aspirin mempunyai lebih banyak efek potensial dalam terapi pencegahan


preeklampsia. Dalam suatu studi klinis terhadap ibu hamil yang berisiko mengalami
preeklampsia, Walsh et al. (1992) membuktikan bahwa dosis rendah aspirin
menghasilkan penurunan yang signifikan dalam konsentrasi plasma maternal
Efek inhibitor yang lebih besar terdapat pada kadar TXA2 dibandingkan dengan
kadar lipid peroksida. Hal tersebut terjadi karena terdapat sumber lain selain
siklooksigenase yang berkontribusi terhadap pembentukan lipid peroksida. Studi
ini menunjukkan bahwa pembentukan lipid peroksida kurang berkaitan dengan
produksi TXA oleh enzim siklooksigenase. Terapi aspirin dosis rendah untuk
preeklampsia dapat memberi efek yang menguntungkan karena aksi inhibitor ini.

Efek lain aspirin dalam pelepasan IL-8 endotelial yang diinduksi oleh trombosit
memerlukan perhatian khusus dengan mempertimbangkan keterlibatan interkasi
abnormal antara leukosit dan endotelial dlaam patogenesis preeklampsia. Kaplansi
et al (1993) membuktikan bahwa trombosit menginduksi sekresi IL-8 oleh sel
endotel melalui aktivitas membran IL-1. Aspirin dapat menghambat pelepasan IL-
8 endotelial yang diinduksi oleh trombosit sebesar 90%.

Aspirin mengandung asam asetil salisilat yang berkhasiat sebagai analgesik jika
diberikan pada dosis tinggi. Pada dosis rendah, aspirin berkhasiat merintangi
penggumpalan trombosit sehingga digunakan sebagai pencegahan sekunder infark
otak dan jantung.

Mekanisme kerja aspirin secara umum adalah sebagai antitrombotik, yaitu


menghambat sintesis prostaglandin di vena. Aspirin dosis rendah dapat mencegah
trombosis dengan cara menghambat sintesis PGHS dan TXA2 secara selektif.
Aspirin bekerja dengan melakukan asetilasi enzim prostaglandin H2 endoperoxide
synthase (PGHS) dan menghambat kerja enzim COX secara permanen. COX-1
umumnya ditemukan disemua sel, termasuk trombosit.

Aspirin tersedia dalam bentuk tablet salut tahan asam 80 mg, 100 mg, dan 160 mg
serta tablet biasa dengan dosis 500mg. dosis rumatan aspirin yang lazim diberikan
adalah 80-100 mg/kg BB/hari. Dosis tersebut dapat ditingkatkan hingga 130 mk/kg
BB/hari sesuai dengan respons ibu, toleransi, dan konsentrasi salisilat dalam serum.
Aspirin dikonsumsi setelah makan.

Aspek yang aman dari aspirin dideskripsikan dalam rangkuman yang lebih detail.
Secara keseluruhan, uji berskala besar membuktikan bahwa aspirin aman untuk
janin dan bayi baru lahir. Tidak ditemukan bukti adanya peningkatan perdarahan
neonatal. Aspirin dosis rendah aman untuk ibu. Selain itu, anestesi epidural aman
diberian pada ibu hamil yang mengonsumsi aspirin dosis rendah.

Terapi antioksidan

Sebuah studi dilakukan pada ibu hamil yang memiliki usis gestasi antara 12 dan 19
minggu serta didiagnosis mengalami hipertensi kronis atau memiliki riwayat
preeklampsia. Ibu hamil tersebut secara acak diberi terapi harian antara vitamin C
1000 mg dan vitamin E 400 IU atau plasebo. Analisis disesuaikan dengan lokasi
klinis dan kelompok risiko, yaitu preeklampsia sebelumnya, hipertensi kronis atau
keduanya.

ASUHAN KEPERAWATAN

Asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan gangguan preeclampsia sebagai


berikut :

a. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal proses keperawatan. Suatu proses
kolaborasi melibatkan perawat, ibu dan tim kesehatan lainnya. Pengkajian
dilakukan melalui wawancara dan pemeriksaan fisik. Dalam pengkajian
dibutuhkan kecermatan dan ketelitian agar data yang terkumpul lebih akurat,
sehingga dapat dikelompokkan dan dianalisis untuk mengetahui masalah dan
kebutuhan ibu terhadap perawatan . Adapun pengkajian yang dilakukan pada
ibu preeclampsia sebagai berikut :
1) Identitas umum ibu
2) Riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan dahulu
Data riwayat kesehatan dahulu antara lain :
i. Kemungkinan ibu menderita penyakit hipertensi sebelum
hamil.
ii. Kemungkinan ibu mempunyai riwayat preeclampsia pada
kehamilan terdahulu.
iii. Biasanya mudah terjadi pada ibu dengan obesitas.
iv. Ibu diduga pernah menderita penyakit ginjal kronis.
b) Riwayat kesehtan sekarang
Data riwayat kesehatan sekarang antara lain :
i. Ibu merasa sakit di kepala daerah frontal.
ii. Terasa sakit di ulu hati atau nyeri epigastrium.
iii. Gangguan virus : penglihatan kabur, skotoma, dan diplopia.
Mual dan muntah, tidak ada nafsu makan
iv. Gangguan serebral lainnya : terhuyung-huyung, refleks tinggi,
dan tidak tenang
v. Edema dan ekstremitas
vi. Tengkuk terasa berat
vii. Kenaikan berat badan mencapai 1 kg seminggu.

c) Riwayat kesehatan keluarga


Kemungkinan mempunyai riwayat preeclampsia dan eklamsi pada
keluarga.

d) Riwayat perkawinan
Biasanya terjadi pada wanita yang menikah dibawah usia 20 tahun
atau diatas 35 tahun.

3) Pemeriksaan fisik
Beberapa pemeriksaan fisik meliputi :
i. Keadaan umum : lemah
ii. Kepala : sakit kepala, wajah edema
iii. Mata : konjungtiva sedikit anemis, edema pada retina
iv. Pencernaan abdomen : nyeri daerah epigastrium, anoreksia, mual
dan muntah
v. Ekstremitas : edema pada kaki, tangan dan jari-jari
vi. Sistem persarafan : hiper refleksia, klonus pada kaki
vii. Genitourinaria : oliguria, proteinuria
viii. Pemeriksaan janin : bunyi jantung janin tidak teratur, gerakan janin
melemah

4) Pemeriksaan penunjang Commented [A1]:

a) Pemeriksaan laboratorium
i. Pemeriksaan darah lengkap dengan hapusan darah
- Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal
hemoglobin untuk wanita hamil adalah 12-14 gr%)
- Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%)
- Trombosit menurun (nilai rujukan 150-450 ribu/mm
ii. Urinalis
Ditemukan protein dalam urine
iii. Pemeriksaan fungsi hati
- Bilirubin meningkat (N = ≤ 1 mg/dl)
- LDH (laktat dehydrogenase) meningkat
- Aspartate aminomtransferase (AST) ≥ 60 ul
- Serum glutamate pirufat transaminase (SGPT) meningkat (N =
15-45 u/ml
- Serum glutamate oxaloacetic transaminase (SGOT) meningkat
(N = < 31 u/l)
- Total protein serum menurun (N = 6,7-8,7 g/dl)
iv. Tes kimia darah
Asam urat meningkat (N = 2,4-2,7 mg/dl)
b) Radiologi
i. Ultrasonografi
Ditemukan retardasi pertumbuhan janin intrauterus. Pernafasan
intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan
ketuban sedikit.
ii. Kardiotografi
Diketahui denyut jantung bayi lemah
c) Data social ekonomi
Preeclampsia banyak terjadi pada wanita dan golongan ekonomi
rendah, karena mereka kurang mengonsumsi makanan yang
mengandung protein dan juga kurang melakukan perawatan antenatal
yang teratur.
d) Data psikologis
Secara umum ibu yang mengalami preeclampsia dalam kondisi yang
labil dan mudah marah, ibu merasa khawatir akan keadaan dirinya dan
keadaan janin dalam kandungannya. Ibu takut jika nanti anaknya lahir
cacat atau meninggal dunia, sehingga ia takut untuk melahirkan.

b. Diagnosis Keperawatan
Setelah data terkumpul dan kemudian di analisis, kemungkinan diagnosis
yang ditemukan pada ibu preeclampsia yaitu :
1) Kelebihan volume cairan interstisial yang berhubungan dengan
penurunan tekanan osmotic, perubahan permeabilitas pembuluh darah.
2) Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan hypovolemia atau
penurunan aliran balik vena
3) Risiko cidera pada janin yang berhubungan dengan tidak adekuatnya
perfusi darah ke plasenta
4) Risiko tinggi intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya masalah
sirkulasi dan peningkatan tekanan darah.
5) Risiko cedera pada ibu yang berhubungan dengan edema atau hipoksia
jaringan, kejang tonik klonik
6) Nyeri epigastric yang berhubungan dengan peregangan kapsula hepar.
c. Perencanaan
Perencanaan keperawatan merupakan tugas lanjut dari perawat setelah
mengumpulkan data yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ibu sesuai
dengan pengkajian yang telah dilakukan. Adapn perencanaan tindakan yang
dilakukan pada ibu preeclampsia yaitu :

Anda mungkin juga menyukai