Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu penyebab kematian ibu yaitu terjadinya eklamsi dalam
persalinan, eklamsi diawali dengan pre-eklamsi pada kehamilan lanjut
terutama pada trimester III. Kehamilan dengan pre eklamsia adalah keadaan
dimana hipertensi dengan protein urine, edema atau keduanya yang terjadi
akibat kehamilan setelah 20 minggu atau kadang timbul lebih awal. Meskipun
secara tradisional diagnosis pre eklamsia memerlukan adanya hipertensi
karena kehamilan disertai protein urine atau edema, ada yang mengatakan
bahwa edema pada tangan dan muka sangat sering ditemukan pada wanita
hamil sehingga diagnosa preeklamsia tidak dapat disingkirkan dengan tidak
adanya edema. Insiden preeklamsia pada wanita dengan hipertensi kronik
bervariasi karena belum ada definisi yang pasti.
Karena dampak Pre-klamsia ringan sangat signifikan untuk itu ibu harus
mampu mengenali dan mengobati Pre-eklamsia ringan agar tidak berlanjut
pada Pre-eklamsi berat lalu ke eklamsi, pemeriksaan antenatal yang teratur
dan bermutu serta teliti, serta melakukan diet makanan tinggi protein,
karbohidrat, cukup vitamin dan rendah lemak. Untuk itu dalam mengurangi
kejadian dan menurunkan angka kejadian pre-eklamsiringan dapat
menyebabkan kematian. Mengingat kejadian komplikasi pada ibu dan BBL
sebagian besar terjadi pada masa sekitar persalinan, pemeriksaan kesehatan
saat hamil dan kehadiran tenaga kesehatan yang terampil pada masa
kehamilan menjadi sangat penting. Pengetahuan masyarakat tentang gejala
komplikasi dan tindakan cepat untuk segera meminta pertolongan ke fasilitas
kesehatan terdekat menjadi kunci utama dalam menurunkan AKI dan AKB.
Secara umum tingginya kematian ibu dan bayi berkaitan erat dengan 3
terlambat, yaitu terlambat mengenal tanda bahaya dan mengambil keputusan,
terlambat sampai ke fasilitas kesehatan serta terlambat mendpatkan pelayanan
yang optimal (Depkes : 2004 : 24). Untuk mengetahui permasalahan tersebut
di perlukan upaya bagi seluruh pihak yang mau bersama-sama menyelamatkan
ibu dan bayi.

B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian preeclampsia dan eklampsi
2. Untuk mengetahui etiologi preeclampsia dan eklampsi
3. Untuk mengetahui faktor resiko preeclampsia dan eklampsi
4. Untuk mengetahui gambaran klinis preeclampsia dan eklampsi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Preeklampsia dan Eklampsi


Pre-eklampsia dalam kehamilan adalah apabila dijumpai tekanan darah
140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu (akhir triwulan kedua sampai
triwulan ketiga) atau bisa lebih awal terjadi.
Pre-eklampsia adalah salah satu kasus gangguan kehamilan yang bisa
menjadi penyebab kematian ibu. Kelainan ini terjadi selama masa kehamilan,
persalinan, dan masa nifas yang akan berdampak pada ibu dan bayi.
Hipertensi (tekanan darah tinggi) di dalam kehamilan terbagi atas pre-
eklampsia ringan, preklampsia berat, eklampsia, serta superimposed hipertensi
(ibu hamil yang sebelum kehamilannya sudah memiliki hipertensi dan
hipertensi berlanjut selama kehamilan). Tanda dan gejala yang terjadi serta
tatalaksana yang dilakukan masing-masing penyakit di atas tidak sama.
Eklamsia adalah komplikasi kehamilan yang ditandai dengan tekanan
darah tinggi dan kejang sebelum, selama, atau setelah persalinan. Kondisi
gawat darurat ini bisa terjadi setelah penderitanya mengalami preeklamsia.

B. Etiologi Preeklampsia dan Eklampsi


Etiologi penyakit ini sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Secara teoritik urutan urutan gejala yang timbul pada preeklamsi ialah edema,
hipertensi, dan terakhir proteinuri. Sehingga bila gejala-gejala ini timbul tidak
dalam urutan diatas dapat dianggap bukan preeklamsi.
Dari gejala tersebut timbur hipertensi dan proteinuria merupakan gejala
yang paling penting. Namun, penderita serinhkali tidak merasakan perubahan
ini. Bila penderita sudah mengeluh adanya gangguan nyeri kepala, gangguan
penglihatan atau nyeri epigastrium, maka penyakit ini sudah cukup lanjut.

C. Faktor Risiko Preeklamsia dan Eklampsi


1. Kehamilan pertama
2. Riwayat keluarga dengan pre-eklampsia atau eklampsia
3. Pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnya
4. Ibu hamil dengan usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
5. Wanita dengan gangguan fungsi organ (diabetes, penyakit ginjal,
migraine, dan tekanan darah tinggi)
6. Kehamilan kembar

D. Gambaran Klinis Preeklampsia dan Eklampsi


1. Gejala subjektif
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau
muntah-muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia
yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul.
Tekanan darah pun akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria
bertambah meningkat.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan meliputi; peningkatan
tekanan sistolik 30mmHg dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah
meningkat lebih dari 140/90mmHg. Tekanan darah pada preeklampsia
berat meningkat lebih dari 160/110 mmHg dan disertai kerusakan
beberapa organ. Selain itu kita juga akan menemukan takikardia, takipnu,
edema paru, perubahan kesadaran, hipertensi ensefalopati, hiperefleksia,
pendarahan otak.

E. Patofisiologi Preeklampsia dan eklampsi


Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan
patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh
vasospasme dan iskemia. Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat
mengalami peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti
prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi
platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem
saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan
kejang. Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus
dan proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan
nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap
kardiovaskuler meliputi penurunan volume intravaskular, meningkatnya
cardiac output dan peningkatan tahanan pembuluh perifer. Peningkatan
hemolisis microangiopati menyebabkan anemia dan trombositopeni. Infark
plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat
bahkan kematian janin dalam rahim. Perubahan pada organ-organ:
1) Perubahan kardiovaskuler.
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada
preeklampsia dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya
berkaitan dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload
jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis
hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh
larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai
ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru.

2) Metabolisme air dan elektrolit


Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklampsia tidak
diketahui penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak
pada penderita preeklampsia dan eklampsia daripada pada wanita hamil
biasa atau penderita dengan hipertensi kronik. Penderita preeklampsia
tidak dapat mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan.
Hal ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan
penyerapan kembali tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan
protein tidak menunjukkan perubahan yang nyata pada preeklampsia.
Konsentrasi kalium, natrium, dan klorida dalam serum biasanya dalam
batas normal
3) Mata
Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah. Selain
itu dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler
dan merupakan salah satu indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan.
Gejala lain yang menunjukan tanda preeklampsia berat yang mengarah
pada eklampsia adalah adanya skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini
disebabkan oleh adanya perubahan preedaran darah dalam pusat
penglihatan di korteks serebri atau di dalam retina.
4) Otak
Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia
pada korteks serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan
perdarahan.
5) Uterus
Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada
plasenta, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena
kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada preeklampsia dan eklampsia
sering terjadi peningkatan tonus rahim dan kepekaan terhadap rangsangan,
sehingga terjadi partus prematur.
6) Paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya disebabkan oleh
edema paru yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena
terjadinya aspirasi pneumonia, atau abses paru.

F. Diagnosis Preeklampsia dan eklampsi


Diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan dari gambaran klinik dan
pemeriksaan laboratorium yaitu;
1 Preeklampsia
1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
• Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau
lebih, atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu
kehamilan dengan riwayat tekanan darah normal.
• Proteinuria kuantitatif ≥ 0,3 gr perliter atau kualitatif 1+ atau 2+ pada
urine kateter atau midstream.
2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:
• Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
• Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau
4+.
• Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.
• Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di
epigastrium.
• Terdapat edema paru dan sianosis
• Trombositopeni
• Gangguan fungsi hati
• Pertumbuhan janin terhambat
2 Eklampsia
• Tes darah, untuk memeriksa jumlah trombosit darah
• Tes urine, untuk mengetahui kadar protein dalam urine
• Tes fungsi hati, untuk memeriksa kerusakan di organ hati
• Tes fungsi ginjal, termasuk ureum dan kreatin, untuk mengetahui
kadar kreatin di ginjal dan mendeteksi kerusakan ginjal
• Ultrasonografi (USG), untuk memeriksa kondisi janin

G. Penatalaksanaan Preeklampsia dan eklampsi


Diagnosis dini, supervisi medikal yang ketat, waktu persalinan
merupakan persyaratan yang mutlak dalam penatalaksanaan preeklamsi.
Persalinan merupakan pengobatan yang utama. Setelah diagnosis ditegakkan,
penatalaksanaan selanjutnya harus berdasarkan evaluasi awal terhadap
kesejahteraan ibu dan janin. Berdasarkan hal ini, keputusan dalam
penatalaksanaan dapat ditegakkan, yaitu apakah hospitalisasi, ekspektatif atau
terminasi kehamilan serta harus memperhitungkan beratnya penyakit, keadaan
ibu dan janin, dan usia kehamilan. Tujuan utama pengambilan strategi
penatalaksanaan adalah keselamatan ibu dan kelahiran janin hidup yang tidak
memerlukan perawatan neonatal lebih lanjut dan lama.
1 Penatalaksanaa pada preeklamsi dibagi berdasarkan beratnya preeklamsi,
yaitu :
1. Preeklamsi ringan
Pada preeklamsi ringan, observasi ketat harus dilakukan untuk
mengawasi perjalanan penyakit karena penyakit ini dapat memburuk
sewaktu-waktu. Adanya gejala seperti sakit kepala, nyeri ulu hati,
gangguan penglihatan dan proteinuri meningkatkan risiko terjadinya
eklamsi dan solusio plasenta. Pasien-pasien dengan gejala seperti ini
memerlukan observasi ketat yang dilakukan di rumah sakit. Pasien harus
diobservasi tekanan darahnya setiap 4 jam, pemeriksaan klirens kreatinin
dan protein total seminggu 2 kali, tes fungsi hati, asam urat, elektrolit, dan
serum albumin setiap minggu. Pada pasien preeklamsi berat, pemeriksaan
fungsi pembekuan seperti protrombin time, partial tromboplastin time,
fibrinogen, dan hitung trombosit. Perkiraan berat badan janin diperoleh
melalui USG saat masuk rumah sakit dan setiap 2 minggu. Perawatan
jalan dipertimbangkan bila ketaatan pasien baik, hipertensi ringan, dan
keadaan janin baik. Penatalaksanaan terhadap ibu meliputi observasi ketat
tekanan darah, berat badan, ekskresi protein pada urin 24 jam, dan hitung
trombosit begitu pula keadaan janin (pemeriksaan denyut jantung janin 2x
seminggu). Sebagai tambahan, ibu harus diberitahu mengenai gejala
pemburukan penyakit, seperti nyeri kepala, nyeri epigastrium, dan
gangguan penglihatan. Bila ada tanda-tanda progresi penyakit,
hospitalisasi diperlukan. Pasien yang dirawat di rumah sakit dibuat
senyaman mungkin. Ada persetujuan umum tentang induksi persalinan
pada preeklamsi ringan dan keadaan servik yang matang (skor Bishop >6)
untuk menghindari komplikasi maternal dan janin. Akan tetapi ada pula
yang tidak menganjurkan penatalaksanaan preeklamsi ringan pada
kehamilan muda. Saat ini tidak ada ketentuan mengenai tirah baring,
hospitalisasi yang lama, penggunaan obat anti hipertensi dan profilaksis
anti konvulsan. Tirah baring umumnya direkomendasikan terhadap
preeklamsi ringan. Keuntungan dari tirah baring adalah mengurangi
edema, peningkatan pertumbuhan janin, pencegahan ke arah preeklamsi
berat, dan meningkatkan outcome janin. Medikasi anti hipertensi tidak
diperlukan kecuali tekanan darah melonjak dan usia kehamilan 30 minggu
atau kurang. Pemakaian sedatif dahulu digunakan, tatapi sekarang tidak
dipakai lagi karena mempengaruhi denyut jantung istirahat janin dan
karena salah satunya yaitu fenobarbital mengganggu faktor pembekuan
yang tergantung vitamin K dalam janin. Sebanyak 3 penelitian acak
menunjukkan bahwa tidak ada keuntungan tirah baring baik di rumah
maupun di rumah sakit walaupun tirah baring di rumah menurunkan
lamanya waktu di rumah sakit.
Sebuah penelitian menyatakan adanya progresi penyakit ke arah
eklamsi dan persalinan prematur pada pasien yang tirah baring di rumah.
Namun, tidak ada penelitian yang mengevaluasi eklamsi, solusio plasenta,
dan kematian janin. Pada 10 penelitian acak yang mengevaluasi
pengobatan pada wanita dengan preeklamsi ringan menunjukkan bahwa
efek pengobatan terhadap lamanya kehamilan, pertumbuhan janin, dan
insidensi persalinan preterm bervariasi antar penelitian. Oleh karena itu
tidak terdapat keuntungan yang jelas terhadap pengobatan preeklamsi
ringan.
Pengamatan terhadap keadaan janin dilakukan seminggu 2 kali
dengan NST dan USG terhadap volume cairan amnion. Hasil NST non
reaktif memerlukan konfirmasi lebih lanjut dengan profil biofisik dan
oksitosin challenge test. Amniosentesis untuk mengetahui rasio
lesitin:sfingomielin (L:S ratio) tidak umum dilakukan karena persalinan
awal akibat indikasi ibu, tetapi dapat berguna untuk mengetahui tingkat
kematangan janin. Pemberian kortikosteroid dilakukan untuk
mematangkan paru janin jika persalinan diperkirakan berlangsung 2-7
hari lagi. Jika terdapat pemburukan penyakit preeklamsi, maka monitor
terhadap janin dilakukan secara berkelanjutan karena adanya bahaya
solusio plasenta dan insufisiensi uteroplasenter.
2. Preeklamsi berat
Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah
konvulsi, mengontrol tekanan darah maternal, dan menentukan
persalinan. Persalinan merupakan terapi definitif jika preeklamsi berat
terjadi di atas 36 minggu atau terdapat tanda paru janin sudah matang atau
terjadi bahaya terhadap janin. Jika terjadi persalinan sebelum usia
kehamilan 36 minggu, ibu dikirim ke rumah sakit besar untuk
mendapatkan NICU yang baik.
Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat memburuk dengan
progresif sehingga menyebabkan pemburukan pada ibu dan janin. Oleh
karena itu persalinan segera direkomendasikan tanpa memperhatikan usia
kehamilan. Persalinan segera diindikasikan bila terdapat gejala impending
eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat janin atau ketika preeklamsi
terjadi sesudah usia kehamilan 34 minggu. Pada kehamilan muda,
bagaimana pun juga, penundaan terminasi kehamilan dengan pengawasan
ketat dilakukan untuk meningkatkan keselamatan neonatal dan
menurunkan morbiditas neonatal jangka pendek dan jangka panjang.
Pada 3 penelitian klinis baru-baru ini, penatalaksanaan secara
konservatif pada wanita dengan preeklamsi berat yang belum aterm dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatal. Namun, karena hanya
116 wanita yang menjalani terapi konservatif pada penelitian ini dan
karena terapi seperti itu mengundang risiko bagi ibu dan janin,
penatalaksanaan konservatif hanya dikerjakan pada pusat neonatal kelas 3
dan melaksanakan observasi bagi ibu dan janin. Semua wanita dengan
usia kehamilan 40 minggu yang menderita preeklamsi ringan harus
memulai persalinan. Pada usia kehamilan 38 minggu, wanita dengan
preeklamsi ringan dan keadaan serviks yang sesuai harus diinduksi. Setiap
wanita dengan usia kehamilan 32-34 minggu dengan preeklamsi berat
harus dipertimbangkan persalinan dan janin sebaiknya diberi
kortikosteroid. Pada pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu yang
menderita preeklamsi berat, persalinan dapat ditunda dalam usaha untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika usia kehamilan < 23
minggu, pasien harus diinduksi persalinan untuk terminasi kehamilan.
Tujuan obyektif utama penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi
berat adalah mencegah terjadinya komplikasi serebral seperti ensefalopati
dan perdarahan. Ibu hamil harus diberikan magnesium sulfat dalam waktu
24 jam setelah diagnosis dibuat. Tekanan darah dikontrol dengan
medikasi dan pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru janin.
Batasan terapi biasanya bertumpu pada tekanan diastolik 110 mmHg atau
lebih tinggi. Beberapa ahli menganjurkan mulai terapi pada tekanan
diastolik 105 mmHg , sedangkan yang lainnya menggunakan batasan
tekanan arteri rata-rata > 125 mmHg. Tujuan dari terapi adalah menjaga
tekanan arteri rata-rata dibawah 126 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari
105 mmHg) dan tekanan diastolik < 105 mmHg (tetapi tidak lebih rendah
dari 90 mmHg). Terapi inisial pilihan pada wanita dengan preeklamsi
berat selama peripartum adalah hidralazin secara IV dosis 5 mg bolus.
Dosis tersebut dapat diulangi bila perlu setiap 20 menit sampai total 20
mg. Bila dengan dosis tersebut hidralazin tidak menghasilkan perbaikan
yang diinginkan, atau jika ibu mengalami efek samping seperti takikardi,
sakit kepala, atau mual, labetalol (20 mg IV) atau nifedipin (10 mg oral)
dapat diberikan. Akan tetapi adanya efek fetal distres terhadap terapi
dengan hidralazin, beberapa peneliti merekomendasikan penggunaan obat
lain dalam terapi preeklamsi berat. Pada 9 penelitian acak yang
membandingkan hidralazin dengan obat lain, hanya satu penelitian yang
menyebutkan efek samping dan kegagalan terapi lebih sering didapatkan
pada hidralazin.
Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol
hipertensi berat dan jika hidralazin intra vena telah diberikan berulang kali
pada awal puerperium, maka regimen obat lain dapat digunakan. Setelah
pengukuran tekanan darah mendekati normal, maka pemberian hidralazin
dihentikan. Jika hipertensi kembali muncul pada wanita post partum,
labetalol oral atau diuretik thiazide dapat diberikan selama masih
diperlukan.
Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125 ml
perjam kecuali terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare, diaforesis,
atau kehilangan darah selama persalinan. Oliguri merupakan hal yang
biasa terjadi pada preeklamsi dan eklamsi dikarenakan pembuluh darah
maternal mengalami konstriksi (vasospasme) sehingga pemberian cairan
dapat lebih banyak. Pengontrolan perlu dilakukan secara rasional karena
pada wanita eklamsi telah ada cairan ekstraselular yang banyak yang tidak
terbagi dengan benar antara cairan intravaskular dan ekstravaskular. Infus
dengan cairan yang banyak dapat menambah hebat maldistribusi cairan
tersebut sehingga meninggikan risiko terjadinya edema pulmonal atau
edema otak.
Pada masa lalu, anestesi dengan cara epidural dan spinal dihindarkan
pada wanita dengan preeklamsi dan eklamsi. Pertimbangan utama karena
adanya hipotensi yang ditimbulkan akibat blokade simpatis. Ada juga
pertimbangan lain yaitu pada keamanan janin karena blokade simpatis
dapat menimbulkan ipotensi dan menurunkan perfusi plasenta. Ketika
teknik analgesi telah mengalami kemajuan beberapa dekade ini, analgesi
epidural digunakan untuk memperbaiki vasospasme dan menurunkan
tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Selain itu, klinisi
yang lebih menyenangi anestesi epidural menyatakan bahwa pada anestesi
umum dapat terjadi penigkatan tekanan darah tiba-tiba akibat stimulasi
oleh intubasi trakea dan dapat menyebabkan edema pulmonal, edema
serebral dan perdarahan intrakranial. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Wallace dan kawan-kawan menunjukkan bahwa penggunaan anestesi baik
metode anestesi umum maupun regional dapat digunakan pada persalinan
dengan cara seksio sesarea pada wanita preeklamsi berat jika langkah-
langkah dilakukan dengan pertimbangan yang hati-hati. Walaupun
anestesi epidural dapat menurunkan tekanan darah, telah dibuktikan
bahwa tidak ada keuntungan signifikan dalam mencegah hipertensi
setelah persalinan. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah anestesi epidural
aman digunakan selama persalinan pada wanita dengan hipertensi dalam
kehamilan, tetapi bukan merupakan terapi terhadap hipertensi.
2 Penatalaksaan Eklampsia
Eklamsia merupakan kegawatdaruratan medis yang memerlukan
penatalaksanaan segera untuk mencegah mortalitas ibu dan janin.
Terminasi kehamilan merupakan tata laksana definitif pada penyakit ini.
Terapi suportif yang mencakup airway, breathing, dan circulation harus
dipastikan. Magnesium sulfat dapat digunakan untuk mengobati dan
mencegah eklamsia.
• Terapi Suportif

Terapi suportif pada eklamsia yang perlu diperhatikan adalah:


1 Jaga patensi jalan napas dan pastikan oksigenasi baik. Pada pasien dengan
penurunan kesadaran, peralatan intubasi perlu dipersiapkan
2 Posisikan pasien dalam posisi left lateral decubitus. Posisi ini dapat
mencegah aspirasi dan obstruksi atau penekanan pada vena kava oleh janin
yang dapat meningkatkan uterine blood flow
3 Pasang monitor untuk memantau tanda-tanda vital, yakni tekanan darah,
nadi, laju napas, hingga saturasi oksigen. Lakukan monitor pada janin juga
dengan memeriksa denyut jantung janin secara berkala
4 Lakukan pemasangan jalur intravena dengan jarum berukuran 16–
18 gauge untuk mempermudah proses administrasi obat dan cairan serta
mengantisipasi kebutuhan transfusi darah
5 Lakukan pemasangan kateter untuk memonitor urine output

• Medikamentosa

Berikut ini adalah jenis medikamentosa yang diberikan pada eklamsia:


1 Antikonvulsan
- Magnesium sulfat merupakan obat lini pertama sebagai antikonvulsan
pada kejang eklamsia. Dosis inisial sebesar 4–6 gram diberikan dalam 15–
20 menit. Selanjutnya, dosis rumatan 1–2 gram per jam diberikan secara
kontinu. Pemberian magnesium sulfat harus dilanjutkan setidaknya hingga
24 jam setelah kejang terakhir atau setelah persalinan.
- Obat ini harus diberikan dengan perhatian khusus karena dapat
menyebabkan toksisitas, kelumpuhan saluran napas, depresi sistem saraf
pusat, dan henti jantung. Pemantauan refleks, kadar kreatinin, dan urine
output penting dilakukan selama pemberian magnesium sulfat.
- Pada kejang refrakter yang tidak merespons terhadap magnesium sulfat,
dapat digunakan lorazepam 2–4 mg melalui intravena dalam 2–5 menit
atau diazepam 5–10 mg melalui intravena secara perlahan untuk
menangani kejang.
- Pada kondisi yang merupakan kontraindikasi terhadap magnesium sulfat,
seperti myasthenia gravis, levetiracetam atau asam valproat dapat menjadi
alternatif.
2 Antihipertensi
- Tekanan darah sistolik >160 mmHg atau diastolik >110 mmHg harus
segera ditangani dengan obat-obat antihipertensi. Pilihan antihipertensi
yang direkomendasikan pada eklamsia adalah labetalol, nifedipine,  dan
hydralazine. Dosis awal labetalol adalah 20 mg intravena, kemudian dapat
ditingkatkan menjadi 40–80 mg dengan interval 10 menit, sampai target
penurunan tekanan darah tercapai.
- Dosis awal hydralazine adalah 5–10 mg dalam 2 menit melalui intravena,
kemudian dapat ditingkatkan menjadi 10 mg setelah 20 menit dari dosis
awal apabila tekanan darah sistolik masih di atas 160 mmHg atau diastolik
masih di atas 110 mmHg.
- Dosis awal nifedipine adalah 10 mg peroral, dapat ditingkatkan menjadi
20 mg. Nifedipine dapat diulangi hingga 2 kali pemberian dengan jeda 30
menit apabila tekanan darah sistolik masih di atash 160 mmHg atau
diastolik masih di atas 110 mmHg.
- Tekanan darah sistolik harus di bawah 150 mmHg dan diastolik harus di
bawah 100 mmHg dalam 2 kali pemeriksaan dengan jeda 4 jam.
Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu drastis karena dapat
menyebabkan perfusi uteroplasental yang inadekuat dan gangguan pada
fetus. Kontrol tekanan darah postpartum juga penting  karena risiko
eklamsia masih tinggi selama 48 jam setelah persalinan.
3 Kortikosteroid

Kortikosteroid diberikan untuk mengantisipasi persalinan darurat,


terutama ketika usia kehamilan <32 minggu, untuk pematangan paru
janin. Dexamethasone 6 mg intramuskular setiap 12 jam diberikan sebanyak 4
dosis atau betamethasone 12 mg intramuskular setiap 24 jam diberikan sebanyak
2 dosis.
• Obat Lainnya
Jika terdapat edema paru, diuretik (furosemide) dapat diberikan.
• Pemantauan Maternal

Pemantauan berkala pada status neurologis pasien perlu dilakukan untuk


mendeteksi peningkatan tekanan intrakranial atau perdarahan
intrakranial. Intake cairan dan urine output, laju pernapasan, dan oksigenasi juga
perlu diperiksa secara berkala. Pada pasien yang mengalami edema paru atau
oliguria/anuria, pemantauan tekanan arteri pulmonal dapat dibutuhkan.
Pemeriksaan untuk mendeteksi kemungkinan penyebab lain juga diperlukan
setelah kejang teratasi dan pasien stabil.
Terminasi kehamilan merupakan tata laksana definitif untuk kasus eklamsia.
Namun,  pastikan bahwa pasien sudah dalam kondisi stabil, yakni tidak dalam
kondisi kejang atau koma dan hemodinamik sudah stabil. Apabila tidak
ada malpresentasi  dan gawat janin, maka induksi persalinan dapat dilakukan.
Namun, jika persalinan normal tidak memungkinkan (kondisi serviks tidak
mendukung, usia kehamilan ≤30 minggu, terdapat kontraindikasi induksi)
maka sectio caesarea dapat dipilih.
Indikasi persalinan pada preeklamsi dan eklampsi dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Indikasi ibu
- Usia kehamilan ≥ 38 minggu
- Hitung trombosit < 100.000 sel/mm3
- Kerusakan progresif fungsi hepar
- Kerusakan progresif fungsi ginjal
- Suspek solusio plasenta
- Nyeri kepala hebat persisten atau gangguan penglihatan
- Nyeri epigastrium hebat persisiten, nausea atau muntah
b. Indikasi janin
- IUGR berat
- Hasil tes kesejahteraan janin yang non reassuring
- Oligohidramnion.
BAB III
KESIMPULAN

Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu faktor
risiko maternal, faktor risiko medikal maternal, dan faktor risiko plasental atau
fetal.
Sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah invasi
trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus, intoleransi imunologis antara
jaringan plasenta ibu dan janin, maladaptasi maternal pada perubahan
kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan normal, faktor nutrisi, dan pengaruh
genetik.
Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110 mmHg.
Tujuan utama pemberian obat anti hipertensi adalah menurunkan tekanan diastolik
menjadi 90-100 mmHg.
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K,


Hypertensive Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi
ke-22, New York: McGraw-Hill, 2005 : 761-808

Gopar adul, pdf.Preeklampsi, 12 mey 2012, diakses tanggal 27 juni 2013 dari,
http://adulgopar.files.wordpress.com/preeklampsia.pdf

Prawirohardjo S, Pre-eklampsia dan Eklampsia, dalam Ilmu Kebidanan, edisi ke-


3, Wiknjosastro H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, penyunting, Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005: 281-301

Manuaba Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan
Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC

Prawirohardjo, Sarwono, Prof. Dr. SPOG. 1997. Ilmu Kebidanan Edisi III.
Yayasan Bina Pustaka : Jakarta.

Mansjoer, Arif, Triyanto, Kuspuji, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I.
Jakarta : Media Aesculapius.

Mariam siti, Makalah pre-eklampsia, 14 april 2013, diakses tanggal 27 juni 20013
dari, http://sitimaryamhsb.makalah-pre-eklamsia.html
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini.
Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam proses penyelesaian makalah ini.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan. Jika ada penulisan yang salah kami
mohon maaf dan diharapkan pula kritik serta sarannya demi membantu
terciptanya kesempurnaan dalam makalah ini. Atas perhatiannya saya ucapkan
terima kasih.

Kendari 10 Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................


A. Latar Belakang ...............................................................................
B. Tujuan ............................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
A. Pengertian Preeklamsia dan eklampsi ...........................................
B. Etiologi Preeklamsia dan eklampsi ................................................
C. Faktor Risiko Preeklamsia dan eklampsi .......................................
D. Gambaran Klinis Preeklampsia dan eklampsi ...............................
E. Patofisiologi Preeklampsia dan eklampsi ......................................
F. Diagnosis Preeklampsia dan eklampsi ...........................................
G. Penatalaksanaan Preeklampsia dan eklampsi ................................

BAB III KESIMPULAN ...............................................................................

DAFTAR PUSTAKA

ii
ASUHAN KEBIDANAN KEGAWATDARURATAN
PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSI

DISUSUN OLEH :

IRNA SEPTIANA
PBd19.005

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


STIKES PELITA IBU
KENDARI
2022
Soal
Pilihan ganda

1 Bidan merujuk pasien berusia 28 th G1P0A0 umur kehamilan 36 minggu


ke RS dengan kondisi tidak sadar, mengalami kejang-kejang. Hasil
pemeriksaan TD 160/110 mmHg, ND 100x/m, R 16x/m, Djj ireguler,
terdapat oedema pada wajah tangan dan kaki.
Apakah diagnosa yang sesuai dengan kasus di atas?
a. Eklampsia
b. Pre eklampsia berat
c. Pre eklampsia ringan
d. Pre eklampsia sedang
e. Superimpose pre eklampsia

2 Seorang ibu 38 tahun di antar suaminya ke ugd bersalin dengan keluhan


pusing. Pandangan kabur, kaki bengkak. Dari anamnesa didapatkan data
status obsestri G4P3A0 dengan usia kehamilan 36 minggu. Hasil
pemeriksaan fisik didapatkan data telanan darah 150/90 mmHg,
pemeriksaan protein urin ++, edema pada kaki dan palpebral?
a. Hipertensi dalam kehamilan
b. Pre eklampsia
c. Eklampsia
d. Edema anasarka
e. Anemia

3 Ny. A berusia 40 tahun G3P2A0 dengan kehamilan 30 minggu, datang ke


UGD dengan keluhan nyeri kepala disertai dengan keluhan tangan
kesemutan dan penglihatan kabur, riwayat abortus tidak ada, pemeriksaan
fisik TD : 170/110 mmHg N : 80x/m R: 18x/m S : 37,5˚, nyeri abdomen
tidak ada. Pada kedua eksremintas interior ada edema diagnosisnya
adalah?
a. Eklampsia
b. Hipertensi
c. Hipertiroid
d. Sindrom nefrotik
e. Preeklampsia berat

4 Seorang perempuan usia 28 tahun hamil 36 minggu datang ke ugd dengan


suaminya dengan tidak sadarkan diri dan mengalami kejang-kejang. Hasil
pemeriksaan dilakukan TD : 180/110 mmHg N: 100x/m P: 15x/m Djj
irreguler, terdapat edema pada wajah dan kaki klien.
Apakah pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada kasus di atas?
a. Aceton urine
b. ACG urine
c. Protein urine
d. Reduksi urine
e. Glukosa urine

5 Ny. A datang ke IGD dengan keluhan sakit kepala, pusing, dan


penglihatan kabur setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter ibu
mengalami PEB dan akan diberikan obat anti hipertensi apabila?
a. Tekanan sistole ≥ 180 mmHg
b. Tekanan diastole ≥ 100 mmHg
c. Tekanan sistole ≥ 140 mmHg
d. Tekanan diastole ≥ 90 mmHg
e. Tekanan sistol dan diastol dalam batas normal

Kunci jawaban
1 A. eklampsia
2 B. eklampsia
3 E. preeklampsia berat
4 D. reduksi urine
5 A. tekanan sistole ≥ 180 mmHg

Anda mungkin juga menyukai