Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejadian distosia bahu semakin menjadi ketakutan sendiri bagi dokter,
perawat, bidan, dan tenaga medis lainnya karena seringkali merupakan peristiwa
kegawatan obstetri yang tidak bisa diprediksi dan dicegah. Distosia bahu
didefinisikan sebagai kelahiran yang membutuhkan manuver obstetri tambahan
untuk mengeluarkan bahu setelah traksi bawah gagal. Distosia bahu terjadi ketika
terdapat impaksi bahu bayi anterior jarang terjadi, posterior dengan simfisis atau
promontorium sakralis ibu. Biasanya distosia bahu didahului dengan tanda
klasik ―turtle sign‖ yaitu setelah kepala bayi dikeluarkan, akan terjadi
retraksi kuat kembali ke perineum ibu. Spong mendefinisikan distosia bahu sebagai
persalinan kepala-badan yang lama, yaitu lebih dari 60 detik) dan atau
mengharuskan manuver obstetri tambahan. Lama persalinan 60 detik dijadikan batas
interval karena waktu tersebut terletak antara dua standar deviasi di atas nilai rerata
persalinan normal pada penelitiannya. Walaupun terdapat rekomendasi tersebut,
distosia bahu tetap belum memiliki definisi yang jelas.
Perbedaan laporan kasus sebagian disebabkan oleh variasi definisi distosia
bahu, populasi pasien yang dipelajari, dan bentuk kasus over-diagnosed atau under-
diagnosed. Insidensi yang dilaporkan adalah 0,6% sampai 3% kelahiran pervaginam
dengan presentasi vertex, walaupun distosia bahu dapat dikelola dengan tepat tetapi
tetap dapat meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas perinatal. Kegagalan
bahu untuk lahir dengan spontan dapat menjadikan ibu hamil dan bayi memiliki
risiko cidera persalinan permanen. Cidera pleksus brakhialis adalah komplikasi
distosia bahu yang paling ser terjadi, yaitu pada 4-16% persalinan. Kejadian ini
ing
tergantung dari pengalaman operator persalinan. Kebanyakan kasus diatasi tanpa

1
adanya kecacatan.

1.2 Tujuan

1.3 Rumusan Masalah

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Distosia bahu termasuk dalam kedaruratan obsetri, sehingga dibutuhkan
tindakan segera, ketrampilan dan kemampuan teknik persalinan yang tepat untuk
menghidari morbiditas dan mortalitas perinatal. Hal ini terjadi ketika bahu depan
terjepit oleh simpisis pubis atau bahu belakang terjepit oleh sacral promontorium
sehingga terjadi kegagalan dalam pengeluaran bahu. (arulkumaran, 2003).
Persalinan kepala umumnya diikuti oleh persalinan bahu dalam waktu 24 detik,
sedangkan jika persalinan bahu lebih dari 60 detik dianggap sebagai distosia bahu
(Manuaba, 2011).

2.2 Insidensi
Insidensi distosia bahu dilaporkan meningkat dalam beberapa dekade
terakhir ini. Kejadian dengan distosia bahu terjadi 1:200 kelahiran (arulkumaran et
al., 2003). Hal itu menyebabkan morbiditas dan mortalitas perinatal yang tinggi dan
yang sering dihubungkan dengan komplikasi meskipun sudah dikelola dengan tepat.
Akibat dari itu Royal Collage of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) and The
Royal Collage of Midwives (RCM) bersama-sama merekomendasi untuk melakukan
pelatihan terhadap manajemen persalinan dengan distosia bahu (RCOG, 2012)

1. Komplikasi distosia bahu


Persalinan distosia bahu mempunyai komplikasi yang cukup se (tabel rius
2.1). Dalam menghadapi kemungkinan distosia bahu, sulit diduga sebelumnya
oleh karena :

3
a. Tidak terdapat gejala yang mendahului. Persalinan kepala dapat berlangsung
normal, tetapi persalinan bahunya menghadapi kesulitan yang sangat
membahayakan
b. Ketepatan perkiraan berat janin intra uterin dengan menggunakan USG sulit
dipastikan
c. Sectio caesarea yang dilakukan hanya dengan dugaan janin makrosomia janin saja
sulit dibenarkan. Namun, jika berat janin diduga sekitar 5000 gram, ibu hamil
dengan diabetes mellitus, atau dugaan berat janin 4500 gram pada ibu hamil dengan
diabetes mellitus, seksio sesarea dapat dibenarkan. (Manuaba, 2011)
Tabel 2.1. Komplikasi pada Maternal dan Perinatal

Komplikasi Maternal Komplikasi Perinatal


Trias komplikasi : Trauma persendian:
 Trauma jalan lahir  Leher: dislokasi, fraktur tulang leher
 Perdarahan postpartum  Bahu : dislokasi persendian
 Infeksi bahu, fraktur tulang humerus

trauma pleksus brakialis :


 Erb paralisis, yaitu C5-C7
dengan ciri :
- Humerus abduksi, rotasi internal
- Siku ekstensi
 Paralisis klumpke atau ikut serta
C8 dan TI
- Siku fleksi
- Tangan terlempang dan jadi mencengkram

4
 Sindrom horner
- Jika saraf simfatikus ikut serta

2. Manifestasi Klinis
Tanda klinis terjadinya distosia bahu meliputi:
1. Tubuh bayi tidak muncul setelah ibu meneran dengan baik dan traksi yang cukup
untuk melahirkan tubuh setelah kepala bayi lahir
2. Turtle sign adalah ketika kepala bayi tiba-tiba tertarik kembali ke perineum ibu
setelah keluar dari vagina. Pipi bayi menonjol keluar, seperti seokor kura- kura yang
menarik kepala kembali ke cangkangnya. Penarikan kepala bayi ini dikarenakan
bahu depan bayi terperangkap di tulang pubis ibu, sehingga menghambat lahirnya
tubuh bayi.

Gambar 2.1. Turtle Sign

3. Diagnosis
1. Kepala janin telah lahir namun masih erat berada di vulva
2. Tidak terjadi gerakan/ restitusi spontan
3. Dagu tertarik dan menekan perineum
4. Adanya tanda khas yang disebut sebagai Turtle Sign, yaitu penarikan kembali kepala

5
terhadap perineum sehingga tampak masuk kembali ke dalam vagina

6
5. Penarikan kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang terperangkap di belakang
symphisis. (RCOG, 2012)

6. Penatalaksanaan
Karena distosia bahu tidak dapat diramalkan, pelaku praktek obstetrik harus
mengetahui betul prinsip-prinsip penatalaksanaan penyulit yang terkadang dapat
sangat melumpuhkan ini. Pengurangan interval waktu antara pelahiran kepala
sampai pelahiran badan amat penting untuk bertahan hidup. Usaha untuk melakukan
traksi ringan pada awal pelahiran, yang dibantu dengan gaya dorong ibu, amat
dianjurkan. Traksi yang terlalu keras pada kepala atau leher, atau rotasi tubuh
berlebihan, dapat menyebabkan cedera serius pada bayi (Cunningham, 2012).
Beberapa ahli menyarankan untuk melakukan episiotomi luas dan idealnya
diberikan analgesi yang adekuat. Tahap selanjutnya adalah membersihkan mulut dan
hidung bayi. Setelah menyelesaikan tahap-tahap ini, dapat diterapkan berbagai
teknik untuk membebaskan bahu depan dari posisinya yang terjepit di bawah
simfisis pubis ibu (RCOG, 2012; Cunningham, 2012; Rayburn, William F,. Carey, J
Christopher, 2010):
1. Penekanan suprapubik sedang dilakukan oleh seorang asisten sementara dilakukan
traksi ke bawah terhadap kepala bayi.

Gambar 2.2. Manuver Massanti

7
2. Manuver McRoberts yang ditemukan oleh Gonik dan rekan (1983) dan dinamai
sesuai nama William A. McRoberts, Jr., yang mempopulerkan penggunaannya di
University of Texas di Houston. Manuver ini terdiri atas mengangkat tungkai dari
pijakan kaki pada kursi obstetris dan memfleksikannya sejauh mungkin ke abdomen.
Gherman dan rekan (2000) menganalisa manuver McRoberts dengan pelvimetri
radiologik. Mereka mendapati bahwa prosedur yang menyebabkan pelurusan relatif
sakrum terhadap vertebra lumbal, bersama dengan rotasi simfisis pubis ke arah
kepala ibu yang menyertainya serta pengurangan sudut kemiringan panggul. Meski
manuver ini tidak memperbesar ukuran panggul, rotasi panggul ke arah kepala
cenderung membebaskan bahu depan yang terjepit. Gonik dan rekan (1989) menguji
posisi McRoberts secara obyektif pada model di laboratorium dan menemukan
bahwa manuver ini mampu mengurangi tekanan ekstraksi pada bahu janin.

Gambar 2.3. Manuver McRoberts

8
3. Woods (1943) melaporkan bahwa, dengan memutar bahu belakang secara progresif
sebesar 180 derajat dengan gerakan seperti membuka tutup botol, bahu depan yang
terjepit dapat dibebaskan. Tindakan ini sering disebut sebagai manuver corkscrew
Woods.

Gambar 2.4. Corkscrew-Woods Manuver

4. Pelahiran bahu belakang meliputi penyusuran lengan belakang janin secara hati-hati
hingga mencapai dada, yang diikuti dengan pelahiran lengan tersebut. Cingulum
pektorale kemudian diputar ke arah salah satu diameter oblik panggul yang diikuti
pelahiran bahu depan. Tindakan ini disebut sebagai maneuver Jacquimer.

Gambar 2.5. Manuver Jacquimer

9
5. Rubin (1964) merekomendasikan dua manuver. Pertama, kedua bahu janin diayun
dari satu sisi ke sisi lain dengan memberikan tekanan pada abdomen. Bila hal ini
tidak berhasil, tangan yang berada di panggul meraih bahu yang paling mudah
diakses, yang kemudian didorong ke permukaan anterior bahu. Hal ini biasanya
akan menyebabkan abduksi kedua bahu, yang kemudian akan menghasilkan
diameter antar-bahu dan pergeseran bahu depan dari belakang simfisis pubis.

Gambar 2.6. Manuver Rubin

6. Hibbard (1982) menganjurkan untuk menekan dagu dan leher janin ke arah rektum
ibu, dan seorang asisten menekan kuat fundus saat bahu depan dibebaskan.
Penekanan kuat pada fundus yang dilakukan pada saat yang salah akan

10
mengakibatkan semakin terjepitnya bahu depan. Gross dan rekan (1987)
melaporkan bahwa penekanan fundus tanpa disertai manuver

11
lain akan "menyebabkan angka komplikasi sebesar 77 persen dan erat dihubungkan
dengan kerusakan ortopedik dan neurologik (janin)."
7. Sandberg (1985) melaporkan penggunaan manuver Zavanelli untuk mengembalikan
kepala ke dalam rongga panggul dan kemudian melahirkan secara sesar. Bagian
pertama dari manuver ini adalah mengembalikan kepala ke posisi oksiput anterior
atau oksiput posterior bila kepala janin telah berputar dari posisi tersebut. Langkah
kedua adalah memfleksikan kepala dan secara perlahan mendorongnya masuk
kembali ke vagina, yang diikuti dengan pelahiran secara sesar. Terbutaline (250 m g,
subkutan) diberikan untuk menghasilkan relaksasi uterus. Sandberg (1999)
kemudian meninjau 103 laporan kasus yang menerapkan manuver Zavanelli.
Manuver ini berhasil pada 91 persen kasus presentasi kepala dan pada semua kasus
terjepitnya kepala pada presentasi bokong. Cedera pada janin biasa terjadi pada
keadaan-keadaan sulit yang menerapkan manuver Zavanelli; terdapat delapan kasus
kematian neonatal, enam kasus lahir mati, dan 10 neonatus menderita kerusakan
otak. Ruptur uteri juga pernah dilaporkan.

Gambar 2.7. Manuver Zavanelli

12
8. Fraktur klavikula yang dilakukan secara sengaja dengan cara menekan klavikula
anterior terhadap ramus pubis dapat dilakukan untuk membebaskan bahu yang
terjepit. Namun, pada praktiknya, sulit mematahkan klavikula secara sengaja pada
bayi besar. Fraktur klavikula biasanya akan sembuh dengan cepat, dan tidak seserius
cedera nervus brakhialis, asfiksia atau kematian.
9. Kleidotomi, yaitu memotong klavikula dengan gunting atau benda tajam lain, dan
biasanya dilakukan pada janin mati (Schramm, 1983).
10. Simfisiotomi tampaknya juga dapat diterapkan dengan sukses, seperti dijelaskan
oleh Hartfield (1986). Goodwin dan rekan (1997) melaporkan tiga kasus yang
mengerjakan simfisiotomi setelah manuver Zavanelli gagal— ketiga bayi mati dan
terdapat morbiditas ibu yang signifikan akibat cedera traktus urinarius.
Beberapa literatur meengungkapkan beberapa cara dalam mengatasi distosia
bahu yaitu Manajemen ALARMER dan 4 P.
1. Manajemen ALARMER
a. Ask for help (Minta bantuan)
b. Lift/hyperflex Legs
Hiperfleksi kedua kaki (Manuver McRobert), distosia bahu pada umumnya akan
teratasi dengan manuver ini pada 70% kasus.
c. Anterior shoulder disimpaction (disimpaksi bahu depan)
Penekanan suprapubik (Manuver Mazzanti) dan pendekatan pervaginam dengan
adduksi bahu depan dengan tekanan untuk mempermudah aspek bahu belakang
(yaitu dengan mendorong ke arah dada) sehingga akan menghasilkan diameter
terkecil (Manuver Rubin)
d. Rotation of the posterior shoulder (Pemutaran bahu belakang)
Manuver ini dilakukan dengan memutar 1800 bahu belakang sehingga menjadi bahu
depan (Manuver Woodscrew)
e. Manual removal posterior arm (mengeluarkan bahu belakang secara manual/
Manuver Jacquemier)

13
f. Episiotomi
g. Roll over onto ‘all fours’ (knee-chest position/ Manuver Gaskin)

2. Hindari empat ―P‖


a. Panic (Panik)
b. Pulling (Menarik)
c. Pushing (Mendorong)
d. Pivot
Jika cara tersebut sudah dilakukan dan distosia bahu tetap belum teratasi maka dapat
dilakukan:
1. Manuver Zavanelli
2. Kleidotomi
3. Simfisiotomi

7. Perkiraan dan pencegahan


Terjadi evolusi pemikiran yang cukup besar di bidang obstetrik mengenai
kemampuan untuk mencegah distosia bahu selama dua dekade terakhir. Selama
tahun 1970an, saat praktek seksio sesarea meningkat dengan cepat, diharapkan
sejumlah faktor risiko pada kehamilan dapat digunakan untuk mengidentifikasi
wanita yang membutuhkan seksio sesarea untuk mengatasi distosia bahunya.
Namun, selama tahun 1980an, tampak jelas bahwa angka persalinan sesar cenderung
berlebihan. Juga menjadi jelas bahwa memperkirakan untuk kemudian mencegah
distosia bahu tidaklah mudah. Meski tampaknya beberapa faktor risiko jelas
berhubungan dengan distosia bahu, tidak mungkin dilakukan identifikasi aktual
terhadap contoh-contoh individual sebelum faktanya dibuktikan (Cuningham, 2012).

14
Distosia bahu lebih sering terjadi pada bayi yang lahir dari ibu dengan
riwayat diabetes. Diabetes melitus menaikan resiko terjadinya distosia bahu sebesar
6 kali dari populasi normal dan adanya riwayat diabetes pada ibu akan menaikan
resiko terjadinya distosia bahu. McFarland dan rekannya melaporkan bayi
makrosomia yang lahir dari ibu dengan riwayat diabetes memiliki karakteristik
seperti bahu yang lebih lebar, peningkatan lingkar yang ekstrim, penurunan rasio
kepala-bahu, berat badan yang tinggi dan pemanjangan ekstrimitas atas jika
dibandingkan bayi dari ibu tanpa riwayat diabetes dengan umur kehamilan yang
sama dan berat badan lahir yang sama. Apapun hal yang mengakibatkan
meningkatnya risiko terjadinya distosia bahu, penanganan diabetes yang intensif
akan menurunkan risiko terjadinya makrosomia dan distosia bahu.
Obesitas pada wanita juga dihubungkan dengan makrosomia dan wanita
dengan obesitas merupakan salah satu faktor resiko terjadinya distosia bahu.
Kehamilan serotinus juga meningkatkan risiko terjadinya makrosomia dan distosia
bahu. Ibu lanjut usia sangat berkaitan erat dengan insidensi kelainan dalam dunia
medis seperti obesitas dan diabetes. Rata-rata, wanita dengan multiparitas berumur
lebih tua dan memiliki bobot badan yang lebih dibandingkan dengan ibu
primigravida karena itu mereka memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk
melahirkan bayi dengan bobot badan yang berat dan menderita diabetes. Selain itu,
ibu dengan multiparitas lebih mungkin mengalami partus presipitatus (kala II < 15
menit) yang mengakibatkan meningkatnya risiko terjadinya distosia bahu.
Banyak penelitian berbeda menyebutkan riwayat distosia bahu merupakan
salah satu variabel yang menjadi predisposisi terjadinya kekambuhan pada
kehamilan selanjutnya. Studi terbaru menyatakan, hampir 12% persalinan dengan
riwayat distosia bahu akan mengakibatkan kejadian distosia bahu pada persalinan
berikutnya dengan tingkat risiko 1 dari 8 persalinan (OR 8.25;95% Cl). Overland
dan Co. melaporkan, dibandingkan risiko 7,3% pada persalinan dengan riwayat
distosia bahu, berat badan bayi yang besar merupakan faktor resiko terbesar

15
terjadinya distosia bahu pada persalinan. Persalinan normal maupun dengan sectio
caesarea dapat dilakukan pada ibu dengan riwayat distosia bahu, keputusan harus
dilakukan oleh ibu dan

16
suaminya. Bagaimanapun, insidensi distosia bahu sepertinya akan tetap menjadi
misteri sebab dokter maupun pasien tidak mau menjadi objek penelitian walaupun
memiliki riwayat persalinan yang kompleks atau riwayat cedera pada persalinan.
Dapat diambil kesimpulan bahwa tidak diketahui secara pasti apakah
hubungan antara distosia bahu dengan berat bayi, kehamilan serotinus, ibu dengan
usia tua, jenis kelamin bayi, aumentasi dengan oksitosin, multipara dan epidural
anestesi dapat terjadi karena salah satu faktor tersebut ataukah merupakan akumulasi
dari faktor tersebut. Dalam setiap kasus, faktor-faktor risiko dapat diidentifikasi tapi
nilai prediksinya tidak cukup tinggi untuk memprediksi terjadinya distosia bahu oleh
karena itu distosia bahu tidak dapat diprediksi secara universal.

Tabel 3.1. Faktor Risiko Distosia Bahu

Faktor Antepartum (Ibu-Janin) Faktor Intrapartum


Makrosomia Kala 1 Lama
IMT Maternal > 30 kg/m2 Kala 2 Lama
Tubuh pendek Persalinan dengan alat (forcep atau vacuum)
Riwayat distosia bahu Penggunaan oksitosin
Anatomi pelvis abnormal Tindakan fundal pressure
Serotinus Anestesi epidural
Usia ibu tua
Jenis kelamin janin laki-laki
Induksi persalinan

Komplikasi pada Bayi dan pada Ibu


Kegagalan melahirkan bahu secara spontan dapat mengakibatkan cacat
permanen baik pada ibu maupun pada janin dengan resiko tinggi (tabel 3.2). angka
kecacatan ibu dan bayi berbanding lurus dengan banyaknya manuver yang
dilakukan untuk melahirkan bayi dengan distosia bahu. Komplikasi tersering yang

17
terjadi adalah perdarahan dan laserasi derajat IV perineum. Komplikasi lain yang
pernah terjadi adalah laserasi vagina dan serviks beserta atonia uteri. Harus
diperhatikan bahwa

18
manuver heroik seperti Zavanelli manuver dan simpisiotomi sering mengakibatkan
kecacatan pada ibu.
Cedera pleksus brachialis (BPI : Erb-Duschenne’s : cedera pada saraf tepi
C5-C6; klumpke pulsy : cedera pada saraf tepi C8-T1) adalah satu dari sekian
banyak komplikasi distosia bahu yang terpenting dan berbahaya. Banyak kasus
distosia bahu dapat diselesaikan tanpa terjadinya cedera pleksus brachialis dan
kurang lebih 10% kasus distosia bahu menyebabkan kecacatan permanen pleksus
brachialis. Angka kejadian yang ditemukan dari berbagai penelitian bervariasi antara
4-40%. Berbeda dengan penelitian lain, Suneet P Chauhan & Co membandingkan
antara SD dengan BPI dan SD tanpa BPI menunjukan hasil diantara objek penelitian
yang pernah ataupun tidak pernah mengalami fraktur yang berulang terdapat nilai
yang signifikan terhadap terjadinya BPI jika dilakukan 3 atau lebih manuver dalam
penatalaksanaan distosia bahu. Dapat ditarik kesimpulan bahwa penatalaksanaan
distosia bahu sangat berhubungan dengan terjadinya cedera pleksus brachialis.
Penggunaan 3 manuver akan menaikkan risiko terjadinya cedera pleksus brachialis
jika dibandingkan dengan penggunaan 2 manuver atau kurang.
Walaupun distosia bahu dan penggunaan manuver dalam penatalaksanaan
distosia bahu sering duhubungkan dengan kelemahan otot di atas, BPI juga dapat
terjadi pada persalinan pervaginam. Mekanisme yang mungkin terjadi pada cedera
akibat persalinan intrauterin adalah akibat tekanan endogeneous propulsive dari
uterus ketika bayi berada pada OUE, kegagalan bahu untuk berputar, kelainan
tekanan intrauterin akibat kelainan pada uterus (fibroid, septum intrauterin, uterus
bikornuate). Semua kondisi ini dapat menyebabkan BPI. Selain itu, tekanan
berlebihan saat traksi juga dapat menyebabkan PBI. Cedera tidak hanya disebabkan
oleh karena traksi namun juga bisa diakibatkan oleh karena tenaga pendorong ibu.
Data lebih lanjut menunjukan bahwa sebagian kecil kejadian BPI tidak berhubungan
dengan distosia bahu dimana 4% dari kejadian BPI terjadi selepas persalinan per-
abdominam. Penggunaan elektromielografi sesaat setelah persalinan (24-48 jam

19
sesudah persalinan) dapat membantu mengetahui kapan terjadi BPI. Hasil
elektromielografi dari denervasi otot normalnya membutuhkan 10 sampai 14 hari

20
untuk berkembang. Jika ditemukan dalam periode neonatal dini, sangat disarankan
untuk dilakukan persalinan secepatnya.
Pada akhirnya kecacatan akibat distosia bahu seperti fraktur klavikula dan
humerus dapat sembuh tanpa cacat. Beberapa komplikasi lain yang fatal dari
distosia bahu dapat menyebabkan hipoksia-iskemik enselofati dan bahkan kematian.

Tabel 3.2. Komplikasi distosia bahu

Ibu Janin
Perdarahan post partum Brachial Plexus Palsy
Laserasi derajat III – IV Fetal Death
Diatesis simfisis dengan atau tanpa Hipoksia janin, dengan atau tanpa
neuropati femoralis transient kerusakan neurologis permanen
Fistula rekto-vagina Fraktur humerus dan klavikula
Ruptur uteri

2.3 Pencegahan Antepartum


Distosia bahu merupakan kejadian yang tidak dapat diduga dan tidak dapat
dicegah (Evidence Level III, RCOG). Pada pasien dengan riwayat distosia bahu
harus diperkirakan berat badan janin, usia, kehamilan, intoksikasi glukosa ibu dan
tingkat keparahan cedera neonatal pada persalinan sebelumnya harus dievaluasi
lebih lanjut dan resiko serta manfaat dari sectio cesaria (rekomendasi level C,
ACOG).
Studi tentang induksi kehamilan (IOL) dibagi menjadi tiga kategori: IOL
untuk pasien makrosomia nondiabetes, IOL untuk makrosomia pada pasien diabetes,
dan IOL untuk pencegahan makrosomia pada penderita diabetes.
Tidak ada bukti yang mendukung induksi persalinan pada wanita tanpa
diabetes pada keadaan dimana janin dianggap makrosomia (Rekomendasi Grade A,
RCOG). RCOG juga menegaskan bahwa operasi cesar elektif tidak dianjurkan jika

21
bertujuan untuk mengurangi angka kecacatan kelahiran pada kehamilan yang diduga
makrosomia pada ibu tanpa riwayat diabetes. Sebuah studi yang dilakukan
berdasarkan decision analysis model memperkirakan sekitar 2.345 sectio caesaria

22
akan menghabiskan biaya 4.9 juta dollar hanya untuk mencegah BPI non-permanen
akibat distosia bahu jika semua janin yang diperkirakan berberat 4000 gram atau
lebih dilahirkan per-abdominam. Walaupun diagnosa bayi makrosomia tidak tepat,
pertimbangan untuk dilakukan sectio caesarea diperbolehkan untuk mencegah
distosia bahu pada suspect janin makrosomia dengan estimasi berat janin 5000 gram
atau lebih pada wanita hamil tanpa riwayat diabetes atau pada estimasi berat janin
4500 gram pada ibu hamil dengan riwayat diabetes (Rekomendasi Level C, ACOG).
Induksi persalinan tidak meningkatkan hasil akhir persalinan pada ibu tanpa
riwayat diabetes sebagai indikasi tunggal dari suspect makrosemia dan tidak efektif
dalam mengurangi angka kejadian distosia bahu dan mempercepat durante sectio
cesarea.
Rekomendasi Level B, ACOG mengatakan ―ïnduksi persalinan elektif
atau sectio cesaria elektif tidak sesuai pada semua wanita yang dicurigai mempunyai
bayi makrosemia‖. Hal ini disebabkan akibat ketidaksesuaian antara hasil ultra
sound sebagai prediktor dari makrosomia. Herbst & Co dalam studi analisis
efektivitas dana pada management janin dengan estimasi berat 4500 gram
menganjurkan pemantauan kehamilan yang baik sebagai penanganan paling murah
bagi ibu hamil tanpa riwayat diabetes. Pada ibu dengan riwayat diabetes, kontrol
kadar glukosa yang adekuat harus dilakukan dan dijaga agar kadar glukosa ibu
hamil dan sesudah melahirkan tidak mengalami peningkatan yang signifikan jika
dibandingkan dengan kadar glukosa sebelum kehamilan untuk mengurangi resiko
abortus spontan, malformasi janin, makrosomia, kematian intrauterine dan kecacatan
pada bayi (Rekomendasi Level B, ACOG). Abortus mungkin menjadi pertanda
adanya vaskulopati, nefropati, kadar glukosa yang tidak terkontrol atau stillbirth
pada sebagian pasien. Berbanding terbalik dengan ibu dengan kadar glukosa tidak
terkontrol, ibu dengan kadar glukosa terkontrol dapat mempertahankan kehamilan
hingga saat umur kehamilan yang cukup (aterm) selama Ante Natal Care yang baik
dilakukan. Bagaimanapun, persalinan sebelum kehamian aterm tidak

23
direkomendasikan‖ dan sectio cesaria bisa menjadi langkah yang tepat untuk
menghindari cedera pada bayi dimana perkiraan berat janin lebih dari 4500 gram
pada wanita dengan riwayat diabetes (Rekomendasi Level B).

24
2.4 Penanganan Intrapartum
Penanganan distosia bahu yang tepat membutuhkan pengenalan dini yang
tepat. Penggunaan kekuatan yang berlebihan tidak boleh dilakukan pada kepala
janin atau leher serta penekanan pada fundus harus dihindari sebab tindakan ini
tidak memiliki manfaat dalam membebaskan impaksi, bahkan memiliki risiko untuk
mencederai ibu dan janin.
Petugas kesehatan secara rutin harus melakukan observasi terhadap : (Bukti
Level IV, RCOG)
- Kesulitan yang mungkin terjadi pada persalinan terutama kepala dan dagu.
- Kepala terjepit diantara vulva atau mungkin terjadinya re-traksi (turtle sign)
- Kegagalan dalam pengeluaran kepala bayi
- Kegagalan menarik bahu ke bawah pada kala II
Jika hal tersebut terjadi, hal utama yang harus diperhatikan adalah
menghindari atau mengurangi resiko terjadinya hipoksia. Distosia bahu berpotensial
menimbulkan kegawatan akibat kompresi tali plasenta antara badan janin dan pelvis
ibu. Stressor pada janin akibat hipoksia dapat terjadi akibat kompresi leher dengan
kongesti vena central, kompresi plasenta, penurunan tekanan intervili yang
disebabkan oleh kenaikan tekanan intrauterine yang lama dan brakikardi janin yang
kedua. Banyak penelitian dilakukan untuk mencari hubungan antara distosia bahu,
cedera pleksus brachialis dan cedera otak pada bayi dengan derajat asam-basa arteri
umbilikalis, rasio kepala janin dan pelvis dengan keseimbangan asam basa janin,
rasio kepala janin dan pelvis dengan rendahnya APGAR skor. Laporan CESDI yang
ke-5 mengidentifikasikan bahwa 47% dari kelahiran dengan distosia bahu akan
menyebabkan kematian pada bayi 5 menit setelah kepala bayi dilahirkan. Karena itu,
sangat penting untuk menangani masalah secara efisien dan secepatnya namun tetap
secara berhati-hati untuk menghindari terjadinya asidosis hipoksia juga menghindari
terjadinya trauma yang tidak perlu (Evidence Level III, RCOG). Untuk alasan inilah
distosia bahu harus ditangani dengan sistematis. Standart klinis yang digunakan

25
sebagai panduan dalam penanganan distosia bahu adalah HELPERR mnemonic dari
Advanced Life Support in Obstetrics.

26
H : call for help (mencari pertolongan)
E : Evaluate episiotomy (melakukan evaluasi akan perlunya
episiotomi) L : Legs (the McRoberts’manouvere)
P : Suprapubic pressure (tekanan
suprapubik) E : Enter Manouvres (internal
rotation)
R : Remove the posterior arm (memindahkan lengan bagian
posterior) R : Roll the patient (all-fours position)
Penanganan distosia bahu akan memberikan hasil yang baik jika sudah
diantisipasi dengen persiapan yang baik sebelumnya (Evidence Level IV, RCOG).
Pemimpin persalinan dapat mencurigai adanya kemungkinan distosia bahu dan
harus memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien tentang sulitnya
persalinan dan resiko yang mungkin terjadi. Kandung kemih pasien harus
dikosongkan dan ruang persalinan harus cukup luas sebagai tempat jika dibutuhkan
personil dan peralatan tambahan. Beberapa tenaga medis dipersiapkan sebagai
tenaga bantuan jika terjadi distosia bahu. Studi Cochrane menunjukan bahwa tidak
ada temuan yang jelas untuk mendukung penggunaan profilaksis untuk mencegah
terjadinya distosia bahu (karena tidak tebukti dapat mengubah keadaan panggul ibu
atau memberikan tekanan eksternal ke panggul ibu sebelum kelahiran dapat
membantu bahu bayi dapat melewati jalan lahir). Selain itu, jika dibandingkan
penggunaan manuver McRoberts pada posisi litotomi dengan tempat tidur ―broken
down‖ sehingga bokong ibu dapat menempel pada tempat tidur sebelum didiagosis
distosia bahu untuk mengurangi traksi kepala janin pada persalinan normal untuk
wanita multipara. Oleh karena itu penggunaan tempat tidur ―break down‖ tidak
direkomendasikan untuk mencegah distosia bahu (Evidence Level Ib, RCOG).
Pendekatan sestematis dalam penanganan distosia bahu seperti HELPERR
mnemonic bertujuan untuk memberikan hasil salah satu dari :
1. Meningkatkan fungsional dari tulang panggul secara merata dari lordosis lumbal dan

27
rotasi kepala pada simfisis (melalui manuver McRoberts’)
2. Mengurangi diameter bisacromial (luasnya bahu) janin melalui
penekanan suprapubik (yaitu tekanan intrernal pada bagian posterior bahu)

28
3. Mengubah hubungan diameter bisacromial dalam tulang panggul melalui rotasi
manuver internal.
Penilaian klinis harus selalu memantau kemajuan dari prosedur yang
digunakan. Dalam semua kasus, penekanan pada fundus tidak boleh digunakan
dalam penanganan distosia bahu sebab dapat memperburuk impaksi yang terjadi
dengan resiko kecacatan pada bayi dan ibu. (Rekomendasi Grade C, RCOG)

H : meminta pertolongan ahli harus dilakukan setelah didiagnosis distosia bahu,


seorang dokter ahli kandungan, bidan yang sudah berpengalaman, tim resusitasi
pediatrik dan dokter ahli anestesi. Ibu diminta untuk tidak mengejan sebab dapat
menyebabkan impaksi bahu yang lebih berat dan dapat menyebabkan masalah yang
lebih besar. Ibu diminta untuk tetap tertidur dengan panggul menyentuh meja
bersalin.
E : masalah utama pada distosia bahu adalah impaksi tulang jadi episiotomi
tidak dapat mejadi solusi tunggal pada distosia bahu. Untuk menunjang keberhasilan
manuver McRoberts’ dan penekanan suprapubik dalam menanggulangi distosia
bahu, Managing Obstetric Emergencies and Trauma (MOET) Group menyarankan
pendekatan selektif, episiotomi dilakukan hanya untuk mempermudah melahirkan
lengan bagian posterior atau putaran dalam bahu. Episiotomi tidak harus dilakukan
pada semua kasus distosia bahu. (Recommendation Grade B, RCOG)
L : manuver McRoberts’adalah satu-satunya manuver intervensi yang efektif
dan harus dilakukan pertama kali dalam penanganan distosia bahu
(Recommendation Grade B, RCOG). Manuver ini dilakukan dengan melakukan
hiperfleksi paha ibu ke abdomen. Pada saat ini, jangan mengubah dimensi awal dari
panggul ibu. Gerakan ini memungkinkan sakrum menjadi lebih lurus dengan
vertebrae bagian lumbal sehingga memudahkan rotasi kepala janin pada simphisis
pubis sehingga bahu bayi dapat masuk ke dalam pintu atas panggul. Gerakan ini
menyebabkan dorongan pada bahu posterior diatas promontorium sacral,

29
menyebabkan bahu posterior terdorong masuk

30
ke dalam sakrum dan dan memutar simfisis sehingga berada di atas bahu yang
terimpaksi. Posisi ini menurunkan tekanan mengejan (kekuatan ibu) dan tekanan
dari luar (dorongan dari dokter penolong persalinan) dan meningkatkan tekanan
uterin dan amplitudo kontraksi. Kesuksesan manuver McRoberts’ dalam menangani
distosia bahu (sebagai tindakan tunggal atau dikombinasikan dengan tekanan
suprapubik) dilaporkan sebesar 42 sampai 90%. Manuver McRoberts dipilih sebagai
penatalaksanaan utama dalam penanganan distosia bahu sebab memiliki resiko
rendah untuk menimbulkan komplikasi lebih lanjut (Recommendation Level C,
ACOG). Walaupun begitu, para ahli kandungan masih merekomendasikan
kewaspadaan terhadap hiperflexi yang berlebihan dan agresif serta abduksi dari paha
ibu terhadap abdomen sebab hal ini sering dikaitkan dengan meningkatnya traksi
yang berakibat pada meningkatnya resiko BPI.
P : Tekanan suprapubik dilakukan bersama-sama dengan manuver McRoberts’
dapat menaikan angka kesuksesan penanganan distosia bahu (Recommendation
Grade C, RCOG). Tekanan suprapubik mengurangi diameter bisacromal dan
memutar bahu anterior kedalam diameter oblik pelvis, bahu kemudian menjadi
bebas untuk berpisah dibawah simphisis pubis ketika traksi rutin berlangsung.
Penekanan suprapubik (manuver Rubin
I) harus dilakukan ke bawah dan sedikit di lateral ibu sehingga
bagian posterior dari bahu anterior akan mendekat ke dada janin (Recommendation
Grade C, RCOG). pada awalnya, penekanan dapat dilakukan secara terus- menerus
namun jika persalinan masih tidak dapat dilakukan, direkomendasikan untuk
melakukan guncangan ringan untuk membebaskan bahu dari belakang simphisis
pubis namun tidak ada perbedaan signifikan dari kedua gerakan ini.
Jika manuver simpel ini gagal, ada pilihan lain yang dapat dilakukan seperti all-
faour postion dan manipulasi internal, seperti kelahiran tangan bagian posterior dan
rotasi internal (Evidence Level III, RCOG) dalam kasus tertentu, pedoman klinis

31
dan pengalaman sangat membantu ahli kandungan dalam menentukan langkah yang
akan diambil.
Melanjutkan penjelasan HELPERR mnemonic dari ALSO menyarankan langkah-
langkah selanjutnya yaitu :
E : seperti sudah dikatakan sebelumnya, keputusan untuk melakukan episiotomi
atau procto-episiotomi harus dilakukan dengen mempertimbangkan keadaan klinis
seperti sempitnya dinding vagina pada primigravida untuk dilakukan fourchette atau
kebutuhan untuk melakukan manipulasi pada janin. Kelahiran bahu bayi dapat
dipermudah dengan rotasi kedalam diameter oblique atau putaran 180 derajat dari
sumbu janin (Evidence Level III, RCOG). pada saat tertentu, perlu dilakukan
dorongan ke atas pada janin agar naik ke sedikit ke pelvis untuk dapat melakukan
manuver ini.
Pada manuver Rubin II, tangan penolong persalinan dimasukan ke dalam vagina dan
dengan dua jari digitalis melakukan penekanan pada bagian posterior dari bahu
anterior agar mendekat ke arah dada janin. Hal ini menyebabkan bahu janin
bergerak ke arah diameter oblique. Gerakan ini akan mengadduksi bahu janin,
memutarnya ke depan sehingga semakin sesuai dengan diameter oblique. Jika
manuver Rubin II tidak berhasil, manuver Woods-Corkscrew dapat dilakukan.
Sementara kedua jari yang digunakan dalam manuver Rubin II tetap memberikan
tekanan, dokter ahli kandungan menggunakan tangan kedua untuk menggunakan 2
jari dan diletakan pada bagian anterior dari bahu posterior, melakukan dorongan ke
atas secara perlahan untuk memindahkan bahu posterior ke lingkaran oblique.
Gerakan ini menghasilkan banyak rotasi yang efektif dan dorongan ke arah bawah
harus tetap dilakukan selama dilakukan manuver ini. Jika manuver ini tetap gagal,
lakukan rotasi 180 derajat dan teruskan persalinan.
Jika manuver Rubin II dan Woods Corkscrew gagal, manuver woods corkscrew
reverse dapat dilakukan. Pada manuver ini, jari dokter ahli kandungan yang menjadi
penolong persalinan diletakan pada bagian belakang dari bahu posterior janin lalu

32
dilakukan putaran berlawanan dengan putaran pada manuver Rubin II atau manuver
Woods Corkscrew. Manuver ini menyebabkan adduksi dari bahu posterior

33
janin, bertujuan untuk melakukan putaran pada bahu agar menjauh dari posisi
impaksi dan mengarah pada jalur oblique dan siap untuk persalinan.
R : persalinan juga dapat dipermudah dengan cara melahirkan bahu posterior
(Evidence Level III,RCOG). manuver jacquimier secara efektif menurunkan 20%
dari diameter bisacromial), memudahkan janin bergerak ke celah sacrum,
membebaskan impaksi pada bahu anterior dibawah simphisis pubis. Untuk
melakukan manuver ini, penekanan harus diakukan oleh penolong persalinan pada
fossa ante-kubiti untuk melenturkan lengan janin. Lengan janin secara perlahan
bergerak menjauh dari dada janin dan lahir mengikuti perineum. Badan janin akan
ikut lahir atau lengan yang sudah lahir dapat digunakan untuk melakukan putaran
pada badan janin untuk mempermudah proses persalinan. Manuver ini hanya dapat
dilakukan pada ibu yang besar (Evidence Level III, RCOG), genggaman dan tarikan
langsung pada lengan bayi dan memberikan tekanan langsung pada pertengahan
batang tulang humerus dapat menyebabkan fraktur humeri namun dapat sembuh
dengan sendirinya tanpa kecacatan dalam waktu lama.
R : posisi ‖all-fours‖ adalah posisi yang memanfaatkan gaya gravitasi dan
meningkatkan ruangan pada celah sacrum untuk memfasilitasi persalinan bahu dan
tangan posterior. Mengubah penopang menjadi tangan dan lutut akan memberikan
celah yang cukup untuk persalinan. Saat pasien sudah di reposisi, dokter
memberikan traksi ringan kebawah untuk melahirkan bahu posterior dengan
bantuan gravitasi. Posisi ―all-fours‖ dapat digunakan pada semua manipulasi
persalina intravaginal untuk distosia bahu. Untuk wanita dengan postur kecil tanpa
anestesi epidural dan hanya ada satu penolong persalinan, posisi äll-fours‖adalah
posisi yang paling tepat untuk persalinan (Evidence Level III,RCOG)
Jika semua manuver yang dijelaskan dalam HELPERR mnemonic tidak berhasil,
beberapa teknik lain dipertimbangkan sebagai percobaan terakhir atau manuver
garis ke tiga, seperti :

34
1. Kleidotomi (mematahkan klavikula secara sengaja): memberikan tekanan ke atas
dengan 2 jadi pada bagian tengah klavikula janin menyebabkan penurunan
lingkar bisacromial namun secara signifikan meningkatkan resiko BPI dan cidera
pembuluh darah paru.
2. Manuver Zavanelli (penggantian kepala yang diikuti dengan secsio cesaria)
mungkin merupakan tindakan yang paling tepat untuk distosia pada kedua bahu
(Evidence Level III, RCOG) digunakan jika tidak ada manuver yang memberikan
hasil yang baik, tindakan ini sering dihubungkan dengan meningkatnya resiko
kecacatan dan kematian bayi serta kecacatan ibu.
3. Simpisiotomi (pemotongan kartilago fibrosa simfisis secara sengaja dengan
penggunaan lokal anestesi) sering mengakibatkan kecacatan pada ibu dan hasil
simfisiotomi akan melahirkan bayi yang tidak sehat (Evidence Level III, RCOG).
4. Histerotomi (sectio cesaria dalam pengaruh general anestesi) pemutaran bahu
janin trans-abdominal dengean persalinan pervaginam atau penggantian kepala
janin dan dilakukan persalinan perabdominal
5. General anestesi (pelemasan sistem muskulo-skeletal atau pelemasan uterine)

2.5 Penanganan post-partum


Sesudah persalinan, penolong persalinan harus mewaspadai perdarahan post
partum dan derajat 3 atau 4 dari laserasi perineum. Pada kasus BPI, terlepas dari
etiologinya, penatalaksanaan dari bayi harus dari berbagai aspek klinis meliputi
dokter spesialis anak, dokter spesialis neurologi anak, fisioterapis dan harus segera
dirujuk ke center trauma pleksus brachialis. Rencana penatalaksanaan harus
didiskusikan dengan baik pada orang tua bayi. Insiden distosia bahu cukup rendah
namun merupakan salah satu penyebab kegawatan medis, oleh karena itu sangat
penting untuk mendokumentasikan secara akurat kesulitan yag ditemui dan
kemungkinan adanya trauma pasca persalinan. Setelah semua komplikasi persalinan

35
tertangani dengan baik, analisis gas darah pada tali pusat harus dilakukan, inform
consent pada keluarga pasien harus dilakukan dan semua kejadian yang terjadi pada

36
proses persalinan harus didokumentasikan oleh setiap bagian yang terlibat dalam
persalinan. Orang tua biasanya akan mengalami trauma akibat persalinan dan
mereka berhak untuk mendapatkan keterangan yang lengkap dan akurat tentang
persalinan sesat setelah persalinan tentang manuver yang digunakan dan alasan dari
tindakan medis yang diambil. Laporan CESDI yang ke enam memberikan gambaran
laporan obstetrik yang adekuat dengan resiko mediko-legalnya.
Sangat penting untuk mencatat :
1. Waktu kelahiran kepala
2. arah kepala bayi setelah restitusi
3. manuver yang dilakukan, kapan dilakukan dan urutan dilakukan manuver dalam
persalinan
4. waktu kelahiran badan bayi
5. staf yang datang saat persalinan dan waktu staf tiba di tempat persalinan
6. kondisi bayi sesaat sesudah lahir (APGAR skor)
7. pengukuran kadar asam basa tali pusat

37
BAB V

KESIMPULAN

1. Distosia bahu termasuk dalam kedaruratan obsetri, sehingga dibutuhkan tindakan


segera.
2. Distosia bahu menyebabkan komplikasi serius pada ibu dan janin.
3. Faktor risiko distosia bahu dapat terjadi pada saat antepartum maupun intrapartum.
4. Manajemen penanganan distosia bahu disebut ALARMER, yaitu:
a. Ask for help (Minta bantuan)
b. Lift/hyperflex Legs
c. Anterior shoulder disimpaction (disimpaksi bahu depan)
d. Rotation of the posterior shoulder (Pemutaran bahu belakang)
e. Manual removal posterior arm (mengeluarkan bahu belakang secara manual/
Manuver Jacquemier)
f. Episiotomi
g. Roll over onto ‘all fours’ (knee-chest position/ Manuver Gaskin)

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Cuningham, F Gary. 2012. Bab 19 Distosia: kelaianan presentasi, posisi, dan


perkembangan janin. Dalam: Obstetri William Edisi 21 Vol 1. Jakarta : EGC: 506-
10
2. Manuaba, Chandradinata. Manuaba, Fajar. dan Manuaba, I.B.G. 2011. Pengantar
Kuliah Obsetri. Jakarta:EGC.
3. Rayburn, William F,. Carey, J Christopher, 2010. Bab 9 : Komplikasi-komplikasi
Intrapartum. Dalam: Obsetri dan Ginekologi. Jakarta : Widya Medika: 193-4
4. Hoffman, Matthew K., Bailit, Jennifer K., Branch, Ware., et al. 2011. A Comparison
of Obsetric Manuevers for the Acute Management of Sholder Dystocia. American
College of Obstricians and Gynecologist. Vol. 117, No. 6, June 2011.
5. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. 2009. Shoulder
dystocia.Guideline No. 42. London: RCOG
6. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. 2012. Shoulder dystocia. Green-
top Guideline No. 42 2nd Edition. London: RCOG
7. Saifuddin, AB. 2011. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo
8. Sarwono Prawirohardjo . 2014. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

39

Anda mungkin juga menyukai