Studi Cross Sectional pada Anak Usia 3-9 Tahun di Pesantren Tapak Sunan
Tahun 2011
Email: abdulla.pramudya@yahoo.com
Abstrak
Wasting adalah suatu keadaan kekurangan gizi akut yang banyak terdapat di daerah dengan sosial-
ekonomi rendah yang dapat disebabkan oleh asupan nutrisi yang inadekuat dan adanya penyakit. Di Indonesia,
prevalensi wasting pada tahun 2010 adalah 13,3%, sementara prevalensi wasting di DKI Jakarta pada tahun 2010
adalah 11,3%. Wasting dapat mengakibatkan berbagai permasalahan serius pada anak, bahkan dapat
meningkatkan risiko kematian anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi anak berisiko
wasting pada santri usia 3-9 tahun di Pesantren Tapak Sunan dan faktor-faktor yang berhubungan. Penelitian ini
menggunakan desain cross-sectional di Pesantren Tapak Sunan,Jakarta Timur yang melibatkan 28 anak laki-laki
dan 22 anak perempuan. Data diambil pada tanggal 19 Januari 2011 yaitu jenis kelamin, usia, tinggi badan, dan
berat badan. Data dianalisis dengan program SPSS menggunakan uji Fischer Exact Test. Hasilnya menunjukkan
prevalensi anak berisiko wasting di Pesantren Tapak Sunan adalah 12%. Selain itu, anak laki-laki memiliki risiko
wasting yang lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan dan anak pada kelompok usia 3-6 tahun
memiliki risiko wasting yang lebih besar dibandingkan dengan anak pada kelompok usia 7-9 tahun. Tidak
terdapat hubungan bermakna antara anak berisiko wasting dengan jenis kelamin (p = 0,160), demikian juga
dengan kelompok usia (p=0,616). Disimpulkan, prevalensi anak berisiko wasting di pesantren Tapak Sunan
tergolong cukup tinggi dan perlu mendapat perhatian.
Prevalence of Children with Wasting Risk and Its Related Factors: A Cross Sectional
Study in Children Aged 3-9 Years in Tapak Sunan Boarding School Year 2011
Abstract
Wasting is a malnutrition which can be found mostly in an area with low sosioeconomic level which can
be caused by inadequate nutrition and disease.The prevalence of wasting in Indonesia is 13,3% in 2010. In the
same year, the prevalence of wasting in DKI Jakarta is 11,3%. Wasting can caused many serious problems for
children. Moreover, it can increase the children’s death risk. The goal of this study is to know the prevalence of
wasting risk in students aged 3-9 years in Tapak Sunan boarding school and its related factors. This study uses
cross-sectional design in Tapak Sunan Boarding School,East Jakarta involving 28 boys and 22 girls. The data
was taken on 19th January 2011 by examining sex, age, height, and weight. The data was processed by SPSS
using Fischer Exact Test. The result shows that the wasting-risk prevalence in Tapak Sunan Boarding School is
12%. In addition, boys have a bigger risk for wasting than girls, while the 3-6 years old children have a bigger
risk for wasting than the 7-9 years old children. There isn’t any association between wasting-risk and sex
(P=0,160) and there isn’t any association between wasting-risk and age cluster either (P=0,616). In
conclusion,the children with wasting-risk prevalence in Tapak Sunan Boarding School is high enough and needs
a serious attention.
Di Indonesia, kekurangan gizi pada anak balita dan usia sekolah masih menjadi
masalah serius, salah satunya adalah wasting. Hasil penelitian World Health Organization
(WHO) menyebutkan prevalensi wasting di Indonesia sebesar 14,8% pada tahun 2007.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, prevalensi wasting mencapai
13,3%.1,2 Prevalensi wasting di Indonesia bervariasi antara desa dan kota, dengan prevalensi
yang lebih tinggi di desa.2
Wasting disebabkan oleh asupan gizi yang inadekuat atau adanya penyakit pada anak.
Kedaan tersebut mengakibatkan berat badan pada anak berkurang sehingga berat badan anak
tersebut tidak proporsional dengan tinggi badannya. Selain itu, usia dan jenis kelamin juga
berperan dalam mempengaruhi wasting.
Dampak wasting adalah anak mengalami penurunan daya eksplorasi terhadap
lingkungannya, peningkatan frekuensi menangis, kurang bergaul dengan sesama anak, kurang
perasaan gembira, dan cenderung menjadi apatis. Dalam jangka panjang, anak yang
mengalami wasting juga mengalami gangguan kognitif, penurunan prestasi belajar, gangguan
tingkah laku, bahkan peningkatan risiko kematian.3-6
Untuk mengatasi masalah wasting, Indonesia telah melakukan berbagai cara antara
lain membentuk program Desa Siaga. Dengan program tersebut, masyarakat pedesaan
ditingkatkan kewaspadaannya akan gizi buruk dan dampaknya yaitu wasting. Dengan
Program Desa Siaga, beberapa kabupaten di Indonesia seperti Kabupaten Purbalingga,
Lumajang, dan Karanganyar, berhasil mengatasi kekurangan gizi dengan cara pemberdayaan
ekonomi masyarakat dan perekrutan lulusan akademi keperawatan untuk memberdayakan
posyandu daerah mereka masing-masing.7
DKI Jakarta, walaupun tergolong kota metropolitan, masih banyak terdapat daerah
yang warganya mengalami kekurangan gizi dan wasting. Menurut data Riskesdas 2010,2
prevalensi wasting Di DKI Jakarta mencapai 11,3%. Keadaan tersebut bukan saja terjadi di
daerah pemukiman, tetapi juga pada sekelompok masyarakat yang tinggal bersama, misalnya
di asrama atau pesantren. Pesantren adalah institusi pendidikan Islam yang muridnya (santri)
tinggal di asrama. Umumnya, santri berasal dari daerah yang keadaan sosial ekonominya
kurang sehingga diduga mengalami masalah kekurangan gizi dan wasting.
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti prevalensi anak berisiko
wasting pada anak usia 3-9 tahun di Pesantren Tapak Sunan di Jakarta Timur dan faktor-
faktor yang berhubungan. Selain itu, peneliti juga ingin mengetahui apakah ada anak yang
Tinjauan Pustaka
2.1 Wasting
2.1.1 Definisi Wasting
Wasting
merupakan bagian dari kekurangan gizi. Menurut UNICEF, wasting adalah
kurangnya berat badan terhadap tinggi badan sehingga tubuh anak tersebut tidak
proporsional (low weight for height).8
2.1.2 Epidemiologi Wasting
Prevalensi wasting di negara berkembang berdasarkan data UNICEF tahun 2003-
2008 adalah 13 %, sementara prevalensi wasting akut adalah 5% (Gambar 1).9
Keterangan:
< 2,5%
2,5-4,9%
5-9,9%
≥ 10 %
Data tidak
tersedia
4. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik adalah cara yang paling mudah digunakan untuk mengetahui
apakah seseorang mengalami wasting atau tidak. Tanda-tanda wasting yang harus
diamati adalah: 15
1. Warna dan keadaan rambut
2. Warna dan keadaan wajah
3. Warna dan keadaan mata
4. Keadaan bibir
5. Warna dan keadaan lidah
6. Keadaan gigi
7. Warna dan keadaan gusi
8. Keadaan wajah
5. Pemeriksaan biokimia
1. Zat Besi, dengan indikator yang diuji adalah:15
1. Hb
2. Free Erytrocytes Protophophyrin (FEP)
3. Hematokrit
4. Ferritin serum (Sf)
5. Unsaturated iron-binding capacity serum
6. Transferrin Saturation (TS)
7. Besi serum
2. Protein, dengan indikator yang diuji adalah:15
1. Transferin
2. Retinol Binding Protein (RBP)
3. Albumin
4. Fibronectin
5. Insulin-Like Growth Factor 1
6. Prealbumin
3. Vitamin, dengan indikator yang diuji adalah:15
1. Vitamin A
2. Vitamin C
3. Vitamin E
4. Vitamin B6
5. Vitamin B12
6. Vitamin D
7. Vitamin B1
8. Vitamin B2
9. Niasin
4. Mineral, dengan indikator yang diuji adalah:15
1. Kalsium
6. Pemeriksaan biofisik
Tes-tes yang termasuk penilaian biofisik adalah tes sitologi, tes fungsi fisik dan
radiologi.15
7. Pendekatan ekologis
Dalam pendekatan ekologis, faktor-faktor yang dapat diamati adalah:15
1. Budaya
2. Sosial-ekonomi
3. Infeksi
4. Jumlah asupan makanan
5. Aksesibilitas layanan kesehatan dan pendidikan
6. Produksi pangan
Metode Penelitian
Karena populasi terjangkau sudah diketahui (79 santri), maka rumus yang digunakan:9
n1
n2 =
n1
1+
N
N= Jumlah sampel yang ada di lapangan
96
=
96
1+
79
96
=
175
79
79
= 96 x
175
7584
=
175
= 43 (dibulatkan) → Jumlah sampel sementara
Untuk mengantisipasi drop out, maka digunakan rumus:25
ntotal = n2 + 10% x n2
= 43 + 10% x 43
= 43 + 4 (dibulatkan)
= 47
Jadi, dalam penelitian ini, dibutuhkan sedikitnya 47 santri.
1. Usia dihitung dengan cara menghitung selisih antara tanggal penelitian dengan
tanggal lahir subjek, kemudian diklasifikasikan menjadi dua:
3. Klasifikasi anak berisiko wasting atau kurus dibuat berdasarkan klasifikasi WHZ,
dan dipresentasikan menjadi dua yaitu berisiko kurus, jika WHZ < -1 dan tidak
berisiko kurus, jika WHZ >-1.
4. Tinggi badan diukur dengan mengamati angka yang tertera pada microtoise
(meteran) dengan posisi mata lurus ke arah microtoise sebanyak dua kali. Subyek
yang diukur harus menggunakan pakaian seminim mungkin dengan keadaan
bagian belakang tubuh menyentuh tembok. Selain itu, subyek juga harus
memandang lurus ke depan.
5. Berat badan diukur dengan mengamati angka yang tertulis pada timbangan digital
SECA sebanyak dua kali, setelah memastikan bahwa angka pada timbangan digital
SECA adalah 0,00 dan subyek menggunakan pakaian yang seminim mungkin.
Jumlah (%)
Jenis Kelamin
Laki-Laki 28 (56)
Perempuan 22 (44)
Kelompok Usia
3-6 tahun 43 (86)
7-9 tahun 7 (14)
Dari Tabel 1 di atas, didapatkan bahwa mayoritas subyek di Pesantren Tapak Sunan,
didominasi oleh anak laki-laki. Berdasarkan hasil sensus yang dilakukan BPS tahun 2010 di
Kotamadya Jakarta Timur adalah 104%, yang berarti jumlah penduduk laki-laki lebih banyak
4 persen dibandingkan dengan perempuan.26
Pada tabel yang sama, didapatkan bahwa mayoritas subyek di Pesantren Tapak Sunan,
didominasi oleh anak pada kelompok usia 3-6 tahun. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh
BPS tahun 2010, anak-anak usia 0-4 tahun di DKI Jakarta lebih banyak dibandingkan dengan
anak-anak usia 5-9 tahun.27
Dari Tabel 2 di atas, diperoleh data bahwa prevalensi anak berisiko wasting pada santri
usia 3-9 tahun sebesar 12%, dengan penyebab antara lain asupan nutrisi yang inadekuat dan
penyakit.3-5 Selain itu, didapatkan pula bahwa anak laki-laki memiliki risiko wasting yang
lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena
anak laki-laki cenderung malas untuk makan dibandingkan anak perempuan. Selain itu,
4.3 Hubungan antara Anak Berisiko Wasting dengan Usia dan Jenis Kelamin
Hubungan antara anak berisiko wasting dengan usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Hubungan antara Anak Berisiko Wasting dengan Usia dan Jenis Kelamin
Dari Tabel 3, diperoleh data bahwa risiko wasting lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Proporsi anak berisiko wasting terhadap jenis kelamin laki-laki
sebesar 17,9% dan proporsi terhadap jenis kelamin perempuan sebesar 4,5% yang
menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya wasting lebih banyak pada laki-laki daripada
perempuan. Meskipun demikian, pada uji Fischer Exact Test didapatkan p = 0,160 yang
berarti tidak ada perbedaan bermakna antara prevalensi anak berisiko wasting dengan jenis
kelamin (laki-laki dan perempuan). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya asupan
di pesantren tersebut. Jadi, prevalensi anak berisiko wasting tidak berhubungan dengan jenis
kelamin.
Pada tabel yang sama, proporsi anak berisiko wasting terhadap kelompok usia 3-6
tahun sebesar 11,6% dan usia 7-9 tahun sebesar 14,3%. Ini berarti kemungkinan terjadinya
wasting lebih banyak didapatkan pada kelompok usia 3-6 tahun. Meskipun demikian, pada uji
Fischer Exact Test didapatkan p = 0,616 yang berarti tidak ada perbedaan bermakna antara
prevalensi anak berisiko wasting dengan kelompok usia (3-6 dan 7-9 tahun). Ini kemungkinan
disebabkan oleh tingginya tingkat pengetahuan santri.Jadi, prevalensi anak berisiko wasting
tidak berhubungan dengan kelompok usia.
1. Karakteristik santri di Pesantren Tapak Sunan: 56 % laki-laki dan 44% perempuan; 86%
santri pada kelompok usia 3-6 tahun dan 14% santri pada kelompok usia 7-9 tahun
2. Prevalensi anak berisiko wasting di Pesantren Tapak Sunan, Jakarta Timur adalah 12%
3. Prevalensi anak berisiko wasting di Pesantren Tapak Sunan tidak berhubungan dengan
jenis kelamin maupun kelompok usia.
Saran
1. Prevalensi anak berisiko wasting di Pesantren Tapak Sunan perlu diturunkan dengan
memberikan penyuluhan kepada orang tua santri dan pengurus pesantren mengenai gizi
khususnya dalam mencegah dan mengatasi wasting.
2. Santri yang mengalami kemungkinan risiko wasting perlu dilakukan perbaikan gizi berupa
pemberian asupan makanan tambahan dan suplemen.
Daftar Pustaka