DISUSUN OLEH
Kelompok VI
Sopiah (131020180508)
Verlina Maya Gita (131020180509)
Yovita Nahak (131020180517)
Yeni Komala (131020180523)
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang………………………………………………….............. 1
1.2 Tujuan………………………………………………………………......... 2
BAB II TINJAUAN TEORI………………………………………………………. 3
2.1 Hipotermia..……………………………………………….…………....... 3
2.2 Hipoglikemia…………………………………………………………….. 11
2.3 Kejang……………………………………………………………………. 20
2.4 Telaah Jurnal……….…………………………………….......................... 34
BAB III PENUTUP……………………………………………............................... 44
3.1 Simpulan…........…………...…………………………………………..... 44
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… 45
BAB I
PENDAHULUAN
1
dengan segera mengetahui timbulnya perubahan pada bayi dan bila perlu
memberikan pertolongan pertama seperti menghentikan perdarahan,
membersihkan jalan nafas, memberikan oksigen sampai bayi tersebut
mendapat perawatan yang memiliki perlengkapan yang lengkap serta
perawatan yang baik, sehingga pengawasan dan pengobatan dapat dilakukan
sebaik-baiknya.
1.2 Tujuan
Makalah ini dibuat ntuk memahami konsep hipotermi, hipoglikemia, dan
kejang serta melakukan asuhan kebidanan sesuai Evidence Based.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Hipotermi
2.1.1 Definisi Hipotermi
Hipotermia didefinisikan sebagai suhu inti tubuh di bawah 36oC. Saat
suhu tubuh berada di bawah tingkat ini, bayi beresiko mengalami stres dingin.
Hipotermia adalah suatu kondisi di mana mekanisme tubuh untuk pengaturan
suhu kesulitan mengatasi tekanan suhu dingin. Hipotermia juga dapat
didefinisikan sebagai suhu bagian dalam tubuh di bawah 35 °C. Tubuh manusia
mampu mengatur suhu pada zona termonetral, yaitu antara 36,5-37,5 °C. Di
luar suhu tersebut, respon tubuh untuk mengatur suhu akan aktif
menyeimbangkan produksi panas dan kehilangan panas dalam tubuh.
Hipotermia adalah gangguan medis yang terjadi di dalam tubuh, sehingga
mengakibatkan penurunan suhu karena tubuh tidak mampu memproduksi panas
untuk menggantikan panas tubuh yang hilang dengan cepat. Kehilangan panas
karena pengaruh dari luar seperti air, angin, dan pengaruh dari dalam seperti
kondisi fisik.2
3
2) Hipotermia berat: sama dengan hipotermia sedang, bibir dan kuku
kebiruan, pernafasan tidak teratur, bunyi jantung lambat, selanjutnya
timbul hipoglikemi dan asidosis metabolik.
4
4) Evaporasi, yaitu panas terbuang akibat penguapan, misalnya melalui
permukaaan kulit dan traktus respiratorius. Sumber kehilangan panas
dapat berupa neonatus yang basah setelah lahir, atau pada waktu
dimandikan.
2.1.5 Patofisiologis
Perubahan suhu akan mempengaruhi sel – sel yang sangat sensitif di
hipotalamus (chemosensitive cells). Pengeluaran panas dapat melalui keringat,
dimana kelenjar – kelenjar keringat dipengaruhi serat – serat kolinergik
dibawah kontrol langsung hipotalamus. Melalui aliran darah di kulit yang
meningkat akibat adanya vasodilatasi pembeluh darah dan ini dikontrol oleh
saraf simpatik. Adanya rangsangan dingin yang di bawa ke hipotalamus
sehingga akan timbul peningkatan produksi panas melalui mekanime yaitu
5
nonshivering thermogenesis dan meningkatkan aktivitas otot. Akibat adanya
perubahan suhu sekitar akan mempengaruhi kulit. Kondisi ini akan merangsang
serabut – serabut simpatik untuk mengeluarkan norepinefrin. Norepinefrin akan
menyebabkan lipolisis dan reseterifikasi lemak coklat, meningkatkan HR dan
O2 ke tempat metabolisme berlangsung, dan vasokonstriksi pembuluh darah
dengan mengalihkan darah dari kulit ke organ untuk meningkatkan
termogenesis.
Gangguan salah satu atau lebih unsur-unsur termoregulasi akan
mengakibatkan suhu tubuh berubah, menjadi tidak normal. Apabila terjadi
paparan dingin, secara fisiologis tubuh akan memberikan respon untuk
menghasilkan panas berupa rnenggigil atau gemetar secara involuner akibat
dari kontraksi otot untuk menghasilkan panas dan mengalami mekanisrne yang
dipengaruhi oleh stimulasi sistem saraf sirnpatis untuk menstimulasi proses
metabolik dengan melakukan oksidasi terhadap jaringan lemak coklat.
Peningkatan metabolisme jaringan lemak coklat akan meningkatkan produksi
panas dan dalam tubuh serta mengalamii vasokonstriksi perifer, mekanisme ini
juga distimulasi oleh sistern saraf simpatis, kemudian sistem saraf perifer akan
memicu otot sekitar arteriol kulit utuk berkontraksi sehingga terjadi
vasokontriksi. Keadaan ini efektif untuk mengurangi aliran darah ke jaringan
kulit dan mencegah hilangnya panas yang tidak berguna.2
Kegagalan termoregulasi secara umum disebabkan kegagalan
hipotalamus dalam menjalankan fungsinya dikarenakan berbagai penyebab.
Keadaan hipoksia intrauterin / saat persalinan / post partum, defek neurologik
dan paparan obat prenatal (analgesik / anestesi) dapat menekan respons
neurologik bayi dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Bayi sepsis akan
mengalami masalah dalam pengaturan suhu dapat rnenjadi hipotermi atau
hipertermi.
6
2.1.6 Kriteria Diagnosis
Pengukuran suhu yang akurat adalah dengan termometer (digital atau air
raksa) yang diletakkan di ketiak. Pengukuran suhu dengan termometer yang
dilekatkan di dahi atau dimasukkan di lubang telinga tidak dianjurkan karena
tidak akurat. Sedangkan pengukuran suhu dengan memasukkan termometer ke
dalam lubang anus juga tidak dianjurkan karena dapat mencederai anus.
Apabila tidak tersedia termometer, perabaan dapat digunakan untuk
menentukan suhu tubuh bayi. Tempat perabaan untuk mengidentifikasi
hipotermia adalah di tubuh bayi (ketiak/perut bayi), dan ekstremitas (tangan dan
kaki). Namun cara perabaan ini kurang akurat, karena tidak dapat mengetahui
suhu tubuh secara pasti.3
Dalam melakukan diagnosis identifikasi faktor risiko terjadi hipotermia
seperti premature, bblr dan hipoglikemi.
2.17 Penatalaksanaan
Rekomendasi WHO adalah memeriksa suhu setiap 30 menit sampai suhu
mencapai 36,5 º C, idealnya ini harus dilakukan, namun penilaian klinis dapat
digunakan untuk frekuensi tergantung kondisi klinis bayi. Bila suhu mencapai
36,5ºC seharusnya kemudian diukur per jam selama empat jam ke depan.
Pada saat persalinan kondisikan ruang harus hangat (24-26ºC), Infant
warmer harus dipanaskan terlebih dahulu dan dilengkapi dengan handuk
kering, bayi harus dikeringkan secara efektif dan kemudian dibungkus dengan
handuk kering kedua.
a. Jika terjadi hipotermia ringan, tata laksana yang dilakukan diantaranya:
1) Jika ibu ada maka bayi harus hanya mengenakan topi dan popok saja
menempatkan kulit ke kulit dengan ibu.
2) Selimut harus digunakan untuk menutupi area bayi yang tidak
bersentuhan dengan kulit ibu.
3) Suhu harus diperiksa kembali setelah 30 menit.
7
b. Jika terjadi hipotermia sedang, tata laksana yang dilakukan diantaranya:
1) Lepaskan baju yang dingin atau basah, jika ada.
2) Ganti pakaian yang dingin dan basah dengan pakaian yang hangat,
memakai topi dan selimuti dengan selimut hangat.
3) Bila ada ibu / pengganti ibu, anjurkan menghangatkan bayi dengan
melakukan kontak kulit dengan kulit atau Perawatan Metode Kanguru.
4) Bila ibu tidak ada, beri bayi baju hangat dan topi, dan tutupi dengan
selimut hangat.
5) Hangatkan kembali bayi dengan rnenggunakan alat pemancar panas,
gunakan inkubator dan ruangan hangat, bila perlu.
6) Menganjurkan ibu untuk menyusui lebih sering. Bila bayi tidak dapat
menyusu, berikan ASI peras menggunakan salah satu alternatif cara
pemberian minum.
7) Meminta ibu untuk mengamati tanda kegawatan (misalnya gangguan
napas, kejang, tidak sadar) dan segera mencari pertolongan bila terjadi
hal tersebut.
8) Memeriksakan kadar glukosa darah, bila < 45 mg/dL (2,6 mmol/L),
tangani hipoglikemia.
9) Memeriksakan suhu tubuh bayi setiap setenganh jam, bila suhu naik
minimal 0,5°C berarti usaha menghangatkan berhasil, lanjutkan
memeriksa suhu setiap 2 jam.
10) Bila suhu tidak naik atau naik terlalu pelan, kurang 0,5°C/jam, cari
tanda sepsis.
11) Jika setelah suhu tubuh normal maka melakukan perawatan lanjutan.
12) Pantau bayi selama 12 jam berikutnya, periksa suhu setiap 4 jam.
13) Bila suhu tetap dalam batas normal dan bayi dapat minum dengan baik
serta tidak ada masalah lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit,
bayi dapat dipulangkan. Nasihati ibu cara menghangatkan bayi di
rumah.
8
c. Jika terjadi hipotermia berat, hal yang dilaukan diantaranya:
1) Menggunakan inkubator atau ruangan hangat, bila perlu.
2) Ganti baju yang dingin dan basah bila perlu. Beri pakaian yang hangat,
pakai topi dan selimuti dengan selimut hangat.
3) Bila bayi dengan gangguan napas (frekuensi napas lebih 60 atau kurang
30 kali/menit, tarikan dinding dada, merintih saat eksipirasi), lakukan
manajemen gangguan napas.
4) Pasang jalur IV dan beri cairan IV sesuai dengan dosis rumatan, dan
infus tetap terpasang di bawah pemancar panas.
5) Periksa kadar glukosa darah, bila kadar glukosa darah kurang 45 mg/dL
(2,6 mmol/L) menangani hipoglikemia.
6) Nilai tanda kegawatan pada bayi (misalnya gangguan napas, kejang atau
tidak sadar) setiap jam dan nilai juga kemampuan minum setiap 4 jam
sampai suhu tubuh kembali dalam batas normal.
7) Mengambil sampel darah dan beri antibiotika sesuai dengan yang
disebutkan dalam penanganan kemungkinan besar sepsis.
8) Menganjurkan ibu menyusui segera setelah bayi siap, bila bayi tidak
dapat menyusu, beri ASI peras dengan menggunakan salah satu
alternatif cara pemberian minum.
9) Bila bayi tidak dapat menyusu sama sekali, pasang pipa lambung dan
beri ASI peras begitu suhu bayi mencapai 35°C.
10) Periksa suhu tubuh bayi setiap jam. Bila suhu naik paling tidak 0,5o C/
jam, berarti upaya menghangatkan berhasil, kemudian lanjutkan dengan
memeriksa suhu bayi setiap 2 jam.
11) Periksa juga suhu alat yang dipakai untuk menghangatkan dan suhu
ruangan setiap jam. Suhu kamar tidak kurang dari 25°C.
12) Setelah suhu tubuh bayi normal, lakukan perawatan lanjutan untuk bayi.
13) Pantau bayi selama 12 jam kemudian, dan ukur suhunya setiap 3 jam.
14) Pantau bayi selama 24 jam setelah penghentian antibiotika.2,3
9
2.1.8 Komplikasi
Hipotermi yang terjadi pada bayi apabila tidak tertangani dengan tepat
akan menyebabkan beberapa gangguan yang akan menyertai yakni:
a. Gangguan sistem saraf pusat: koma, menurunnya refleks mata.
b. Cardiovascular: penurunan tekanan darah secara berangsur, menghilangnya
tekanan darah sistolik.
c. Pernafasan: menurunnya masuknya oksigen.
d. Saraf dan otot: tidak adanya gerakan, menghilangnya refleks perifer.
10
2) Pada bayi lahir dengan risiko (tidak termasuk kriteria di atas), keadaan
umum bayi lemah atau bayi dengan berat lahir < 2.000 gram sebaiknya
bayi jangan dimandikan ditunda beberapa hari sampai keadaan umum
membaik yaitu bila suhu tubuh bayi stabil, bayi sudah lebih kuat dan
dapat menghisap ASI dengan baik.
3) Mempertahankan bayi tetap hangat selama dalam perjalanan pada waktu
merujuk.
4) Memberikan pendidikan kepada ibu mengenai menghangatkan bayi
melalui panas tubuh ibu. Tubuh ibu dan bayi harus berada di dalam 1
pakaian (merupakan teknologi tepat guna baru) disebut sebagai metode
Kanguru.4
2.2 Hipoglikemia
2.2.1 Pengertian Hipoglikemi
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa)
secara abnormal rendah. Dalam keadaan normal, tubuh mempertahankan kadar
gula darah antara 70-110mg/dL. Hipoglikemia pada bayi terjadi bila kadar
glukosa darah < 45mg/dl (2,6 mmol/L) baik yang memberikan gejala maupun
tidak. Kadar hipoglikemia dapat berbahaya terutama bila kadar <25mg/Dl (1,4
mmol/L). 6,7
Hipoglikemia merupakan suatu kelainan metabolik dan endokrin yang
sering terjadi pada bayi dan anak yang berakibat kerusakan otak yang menetap.
Hipoglikemia menyebabkan suplai glukosa yang rendah ke alat-alat organ vital
khususnya otak. Hipoglikemia yang berulang dan menetap menyebabkan
kerusakan otak dan kematian. Hipoglikemia adalah kadar gula plasma kurang
dari 2,6 mmol/L (< 47 mg/dl). Untuk neonatus aterm berusia kurang dari 72
jam dipakai batas kadar gula plasma 35 mg/dL. Sedangkan untuk neonatus
prematur dan KMK yang berusia kurang dari 1 minggu, disebut hipoglikemia
bila kadar gula darah plasma kurang dari 25 mg/dL.8
11
Kadar gula darah yang rendah menyebabkan berbagai system organ tubuh
mengalami kelainan fungsi. Otak merupakan organ yang sangat peka terhadap
kadar gula darah yang rendah karena glukosa merupakan sumber energy otak
yang utama. Otak memberikan respon terhadap kadar gula darah yang rendah
dan melalui system saraf, merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan
epinefrin (adrenalin). Hal ini akan merangsang hati untuk melepaskan gula agar
kadarnya dalam darah tetap terjaga. Jika kadarnya menurun, maka akan terjadi
gangguan fungsi otak. Sel otak dan saraf dapat rusak dan meyebabkan serebral
palsi, retardasi mental dan lain –lain.6
12
Etiologi hipoglikemia pada bayi sebagai berikut:9
1. Neonatus dari ibu penderita diabetes
2. Neonatus dengan makrosomia
3. Prematur
4. IUGR
5. Asupan kalori yang tidak adekuat, Penundaan pemberian asupan
6. Stress perinatal
7. Sepsis
8. Syok
9. Asfiksia
10. Hipotermi
11. Respiratory distress
12. Pasca resusitasi
13
setelah makan, peningkatan katekolamin, peningkatan GH, peningkatan FFA
(Free Fatty Acid) dan badan keton, terjadi maturasi enzim glukoneogenik, dan
pelepasan gula darah dari simpanan glikogen (biasanya cukup untuk bayi
normal bisa bertahan puasa selama 4 jam). Anak-anak yang lebih kecil
memiliki ketersediaan glikogen yang terbatas, yang bertahan kira-kira 12 jam
setelah masukan gula yang kurang, dan selanjutnya akan dipertahankan dengan
adanya glukoneogenesis. Selama puasa, tejadi pembentukkan ketosis dan
ketonuri yang cepat, hasil metabolisme lemak.
Hiperinsulinemia pada neonatus umumnya menyebabkan hipoglikemia
yang berulang dan berat pada awal kehidupan. Bentuk ini berhubungan dengan
riwayat ibu dengan DM, IUGR, asfiksia perinatal, eritroblastosis fetalis,
sindrom Beckwith-Wiedemann, penggunaan obat-obatan (misalnya
sulfonilurea) pada ibu atau setelah infus glukosa pada ibu selama persalinan.
Bayi dari ibu diabetes menunjukkan makrosomia dan organomegali karena
hiperinsulinemia fetal. Keadaan ini merupakan bentuk yang paling sering
ditemukan dalam kelompok hipoglikemia karena hiperinsulinemia sementara.
Pada umumnya, bayi-bayi ini cenderung gelisah karena hipoglikemia, namun
dapat pula menunjukkan gejala hipotonia, letargi dan malas minum yang
disebabkan oleh hipokalsemia.
14
Pemeriksaan fisis dan observasi keadaan umum bayi harus dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Untuk menunjukkan bahwa
gejala yang timbul berhubungan dengan hipoglikemia, diperlukan hal-hal
berikut:
a. Tanda klinik harus didapatkan.
b. Kadar glukosa darah rendah, diukur secara akurat.
c. Tanda klinik menghilang pada saat kadar glukosa darah normal.
Kelompok berisiko tinggi yang membutuhkan skrining untuk
hipoglikemia pada satu jam pertama kehidupan meliputi
a. Bayi yang baru lahir yang beratnya lebih dari 4 kg atau kurang dari 2 kg.
b. Besar usia kehamilan (LGA) bayi yang berada di atas persentil ke-90, kecil
untuk usia kehamilan (SGA) bayi di bawah persentil ke-10, dan bayi dengan
pembatasan pertumbuhan intrauterin.
c. Bayi yang lahir dari ibu tergantung insulin (1:1000 wanita hamil) atau ibu
dengan diabetes gestasional (terjadi pada 2% dari wanita hamil).
d. Usia kehamilan kurang dari 37 minggu.
e. Bayi yang baru lahir diduga sepsis atau lahir dari seorang ibu yang diduga
menderita korioamnionitis.
f. Bayi yang baru lahir dengan gejala sugestif hipoglikemia, termasuk
jitteriness, tachypnea, hypotonia, makan yang buruk, apnea, ketidakstabilan
temperatur, kejang, dan kelesuan.
g. Selain itu, pertimbangkan skrining hipoglikemia pada bayi dengan hipoksia
yang signifikan, gangguan perinatal, nilai Apgar 5 menit kurang dari 5,
terisolasi hepatomegali, mikrosefali, cacat garis tengah anterior, gigantisme,
makroglosia atau hemihypertrophy), atau kemungkinan kesalahan
metabolisme bawaan atau ibunya ada di terbutalin, beta blocker, atau agen
hipoglikemik oral.
h. Terjadinya hiperinsulinemia. Hiperinsulinisme neonatal transient terjadi
pada bayi makrosomia dari ibu diabetes (yang telah berkurang sekresi
15
glukagon dan siapa produksi glukosa endogen secara signifikan dihambat).
Secara klinis, bayi makrosomia dan memiliki tuntutan yang semakin
meningkat untuk makan, lesu intermiten, jitteriness, dan kejang.
Bayi dengan hiperinsulinisme neonatal berkepanjangan dapat
digambarkan sebagai berikut:
a. SGA
b. Memiliki asfiksia perinatal
c. Lahir dari ibu dengan toksemia
d. Memiliki tingkat penggunaan glukosa dan sering membutuhkan infus
dextrose untuk jangka waktu lama
e. Hipoglikemia ketotik
Anamenesis
a. Riwayat bayi menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan pernapasa
b. Riwayat bayi prematur
c. Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
d. Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
e. Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Mellitus
f. Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan
g. Bayi yang beresiko terkena hipoglikemia
h. Bayi dari ibu diabetes (IDM)
i. Bayi yang besar untuk masa kehamilan (LGA)
j. Bayi yang kecil untuk masa kehamilan (SGA)
k. Bayi prematur dan lewat bulan
l. Bayi sakit atau stress (RDS, hipotermia)
m. Bayi dengan polisitemia
n. Bayi dengan eritroblastosis
o. Obat-obat yang dikonsumsi ibu, misalnya sterorid, beta-simpatomimetik dan
beta blocker
16
Adanya gejala klinis, diantaranya: Tremor, sianosis, hipotermi, kejang,
apnea atau pernafasan tidak teratur, letargi atau apatis, berkeringat, takipnea
atau takikardi dan tidak mau minum.
2.2.6 Penatalaksanaan
Prosedur penatalaksanaan bayi dengan hipoglikemia adalah sebagai
berikut:6
a. Berikan bayi air gula 30cc setiap kali pemberian dan observasi keadaannya
b. Pertahankan suhu tubuh dengan membungkus bayi dengan kain hangat
c. Jauhkan dari hal-hal yang dapat menyerap panas bayi
d. Segera berikan ASI
e. Lakukan observasi tanda-tanda vital, warna kulit, reflex dan gejala
hipoglikemi
f. Bila dalam 24 jam tidak ada perubahan rujuk bayi ke rumah sakit.
Bayi dengan risiko hipoglikemia, harus dipantau kadar glukosa darahnya.
Glukosa yang diperlukan mungkin belum cukup hanya dengan pemberian
kolostrum saja pada umur beberapa hari, tetapi tidak ada bukti klinik yang
menyebutkan bahwa bayi dengan hipoglikemia asimtomatik mendapatkan
keuntungan dari pemberian glukosa intra vena yang diberikan. Bila bayi tidak
dapat menyusu, berikan ASI perah dengan menggunakan salah satu alternatif
cara pemberian minum. Tata laksana pemberian ASI pada bayi hipoglikemia:9
a. Asimtomatik (tanpa manifestasi klinis)
1) Pemberian ASI sedini mungkin dan sering akan menstabilkan kadar
glukosa darah. Teruskan menyusui bayi (kira-kira setiap 1-2 jam) atau
beri 3-10 ml ASI perah tiap kg berat badan bayi, atau berikan
suplementasi (ASI donor atau susu formula).
2) Periksa ulang kadar glukosa darah sebelum pemberian minum berikutnya
sampai kadarnya normal dan stabil.
17
3) Jika bayi tidak bisa menghisap atau tidak bisa mentoleransi asupannya,
hindari pemaksaan pemberian minum, dan mulailah pemberian glukosa
intra vena. Pada beberapa bayi yang tidak normal, diperlukan
pemeriksaan yang seksama dan lakukan evaluasi untuk mendapatkan
terapi yang intensif.
4) Jika kadar glukosa tetap rendah meskipun sudah diberi minum, mulailah
terapi glukosa intra vena dan sesuaikan dengan kadar glukosa darah.
5) ASI diteruskan selama terapi glukosa intra vena. Turunkan jumlah dan
konsentrasi glukosa intra vena sesuai dengan kadar glukosa darah.
6) Catat manifestasi klinis, pemeriksaan fisis, kadar skrining glukosa darah,
konfirmasi laboratorium, terapi dan perubahan kondisi klinik bayi
(misalnya respon dari terapi yang diberikan).
b. Simtomatik dengan manifestasi klinis atau kadar glukosa plasma < 20-
25 mg/dL atau < 1,1 - 1,4 mmol/L.
1) Berikan glukosa 200 mg tiap kilogram berat badan atau 2 mL tiap
kilogram berat badan cairan dekstrosa 10%. Lanjutkan terus pemberian
glukosa 10% intra vena dengan kecepatan (glucose infusion rate atau
GIR) 6-8 mg tiap kilogram berat badan tiap menit.
2) Koreksi hipoglikemia yang ekstrim atau simtomatik, tidak boleh
diberikan melalui oral atau pipa orogastrik.
3) Pertahankan kadar glukosa bayi yang simtomatik pada >45 mg/dL atau
>2.5 mmol/L.
4) Sesuaikan pemberian glukosa intravena dengan kadar glukosa darah yang
didapat.
5) Dukung pemberian ASI sesering mungkin setelah manifestasi
hipoglikemia menghilang.
6) Pantau kadar glukosa darah sebelum pemberian minum dan saat
penurunan pemberian glukosa intra vena secara bertahap (weaning),
sampai kadar glukosa darah stabil pada saat tidak mendapat cairan
18
glukosa intra vena.Kadang diperlukan waktu 24-48 jam untuk mencegah
hipoglikemia berulang.
7) Lakukan pencatatan manifasi klinis, pemeriksaan fisis, kadar skrining
glukosa darah, konfirmasi laboratorium, terapi dan perubahan kondisi
klinik (misal respon dari terapi yang diberikan).
19
2.3 Kejang Neonatorum
2.3.1 Definisi
Definisi kejang adalah depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak, yang
mengakibatkan perubahan yang bersifat paroksismal fungsi neuron (perilaku,
fungsi motorik dan otonom) dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Kejang
pada neonatus dibatasi waktu yaitu kejang yang terjadi pada 28 hari pertama
kehidupan (bayi cukup bulan) atau 44 minggu masa konsepsi (usia kronologis +
usia gestasi pada saat lahir) pada bayi prematur.14
Kejang bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari gangguan
saraf pusat, lokal atau sistemik. Kejang ini merupakan gejala gangguan syaraf
dan tanda penting akan adanya penyakit lain sebagai penyebab kejang tersebut,
yang dapat mengakibatkan gejala sisa yang menetap di kemudian hari. Bila
penyebab tersebut diketahui harus segera di obati. Hal yang paling penting dari
kejang pada bayi baru lahir adalah mengenal kejangnya, mendiagnosis penyakit
penyebabnya dan memberikan pertolongan terarah, bukan hanya mencoba
menanggulangi kejang tersebut dengan obat antikonvulsan.
Manifestasi kejang pada bayi baru lahir dapat berupa tremor, hiperaktif,
kejang- kejang, tiba-tiba menangis melengking. Tonus otot hilang disertai atau
tidak dengan kehilangan kesadaran, gerakan yang tidak menentu (involuntary
movements) nistagmus atau mata mengedip-edip proksismal, gerakan seperti
mengunyah dan menelan. Oleh karena itu Manifestasi klinik yang berbeda-beda
dan bervariasi, sering kali kejang pada bayi baru lahir tidak di kenali oleh yang
belum berpengalaman. Dalam prinsip, setiap gerakan yang tidak biasa pada bayi
baru lahir apabila berangsur berulang-ulang dan periodik, harus dipikirkan
kemungkinan Manifestasi kejang.
20
2.3.2 Etiologi
a. Ensefalopati Iskemik Hipoksik
Ensefalopati iskemik hipoksik merupakan penyebab tersering kejang pada
neonatus cukup bulan maupun kurang bulan. Pada umumnya terjadi dalam
waktu 24 jam setelah kelahiran dan sering dimulai pada 12 jam pertama
kelahiran. Bayi yang mengalami asfiksia sekitar 25% sampai 40% akan
mengalami kejang. Ketika asfiksia terjadi pada bayi baru lahir, pasukan
oksigen ke otak akan berkurang dan menyebabkan hipoksia pada sel-sel
otak, serta aliran darah ke otak juga berkurang mengakibatkan iskemik pada
jaringan otak. Keadaan tersebut dapat menimbulkan kejang pada bayi baru
lahir. Manifestasi klinis ensefalopati iskemik hipoksik terbagi dalam tiga
stadium, yaitu stadium satu atau ringan, stadium dua atau sedang, dan
stadium tiga atau berat. Kejang pada neonatus dapat terjadi pada ensefalopati
iskemik hipoksik stadium sedang dan berat.14
b. Perdarahan Intrakranial
Perdarahan intrakranial seringkali sulit dikatakan sebagai penyebab tunggal
kejang. Biasanya berhubungan dengan penyebab lain.14 Perdarahan matriks
germinal atau intraventrikel adalah penyebab tersering kejang pada neonates
kurang bulan. Scher menemukan 45% bayi kurang bulan dengan kejang
mengalami germinal matrix hemorrhage and intraventricular hemorrhage
(GMH-IVH). Penelitian yang dilakukan di Italia dari tahun 1999 sampai
2012 sebanyak 32.9% dari 76 bayi yang mengalami kejang disebabkan oleh
perdarahan intrakranial.15 Beberapa perdarahan intrakranial yang dapat
menyebabkan kejang pada neonatus yaitu:
1) Perdarahan subarachnoid
Perdarahan yang sering dijumpai pada neonatus, kemungkinan karena
robekan vena superfisial akibat proses partus yang lama, maupun
penggunaan alat bantu lahir seperti forseps dan vakum. Awalnya bayi
terlihat baik, tetapi biasanya pada hari kedua setelah lahir akan timbul
21
kejang. Pada hari pertama dan kedua setelah kelahiran, bayi mengalami
peningkatan tekanan intrakranial. Pungsi lumbal harus dikerjakan untuk
mengetahui apakah terdapat darah di dalam cairan serebrospinal. Darah
biasanya terdapat di fisura.14
2) Perdarahan subdural
Perdarahan ini umumnya terjadi akibat robekan tentorium di dekat falks
serebri. Keadaan ini berkaitan dengan trauma lahir, disproporsi
sefalopelvik, persalinan forseps, bayi besar masa kehamilan, fraktur
tengkorak, dan trauma paskanatal. Darah terkumpul di fosa posterior dan
dapat menekan batang otak. Bila terjadi penekanan batang otak terdapat
pernapasan yang tidak teratur, kesadaran menurun, tangis melengking,
ubun-ubun besar menonjol, dan kejang. Deteksi kelainan ini dengan
pemeriksaan ultrasonography (USG) atau CT-scan. Perdarahan yang kecil
tidak membutuhkan pengobatan, tetapi pada perdarahan besar dan
menekan batang otak perlu dilakukan tindakan bedah. Mortalitas tinggi
pada bayi dengan perdarahan subdural dan pada bayi yang hidup biasanya
terdapat gejala sisa neurologis.14
3) Perdarahan periventrikular dan intraventrikular
Perdarahan ini biasanya terjadi pada bayi berat lahir rendah, dan risiko
berkurang dengan meningkatnya usia gestasi. Lima puluh persen bayi
dengan berat badan kurang dari 1 500 gram memiliki bukti perdarahan
intrakranial. Pada perdarahan yang hebat, gejala timbul dalam waktu
beberapa menit sampai beberapa jam berupa gangguan napas, kejang
tonik umum, pupil terfiksasi, kuadriparesis flaksid, deserebrasi dan stupor
atau koma yang dalam. Pada perdarahan sedikit, gejala timbul dalam
beberapa hari sampai penurunan kesadaran, kurang aktif, hipotonia,
kelainan posisi dan pergerakan bola mata deviasi, serta gangguan
respirasi. Bila keadaan memburuk akan timbul kejang. Sebagian besar
perdarahan periventrikular dan intraventrikular terjadi pada tiga hari
22
pertama kehidupan. Untuk menegakkan diagnosis perdarahan
intraventrikular yang pasti dilakukan pemeriksaan darah, pungsi lumbal,
electroencephalography (EEG), dan USG.14
c. Gangguan Metabolik
Kejang pada neonatus juga dapat disebabkan karena adanya gangguan
metabolik. Penelitian di University Medical Center Groningen, Netherlands
periode Januari 2002 sampai September 2009 sebanyak 10.9% bayi dari 221
bayi baru lahir yang mengalami kejang, disebabkan oleh gangguan
metabolik.16 Penyebab kejang metabolik paling sering adalah:
1) Hipoglikemia
Bayi dengan kadar gula darah kurang dari 45 mg/dL disebut
hipoglikemia. Bayi yang berisiko menderita hipoglikemia adalah bayi
kecil pada masa kehamilan, bayi besar pada masa kehamilan dan bayi dari
ibu yang menderita diabetes mellitus. Hipoglikemia dapat menjadi
penyebab dasar pada kejang neonatus dan gejala neurologis lainnya
seperti apnu, letargi, dan jitteriness. Kejang pada hipoglikemia sering
dihubungkan dengan penyebab kejang lainnya seperti ensefalopati
iskemik hipoksik atau infeksi. Hanya 3% yang benar-benar disebabkan
oleh karena hipoglikemia. Tidak perlu ragu untuk memberikan dextrosa
secara intravena jika ditemukan kadar glukosa rendah pada bayi kejang,
untuk mengembalikan kadar gula darah normal secepatnya.14
2) Hipokalsemia/ hipomagnesemia
Hipokalsemia didefinisikan sebagai kadar kalsium total kurang dari 7.5
mg/dL pada bayi kurang bulan, dan kurang dari 8 mg/dL pada bayi cukup
bulan. Keadaan ini biasanya terjadi pada bayi dengan berat badan lahir
rendah, ibu yang menderita diabetes mellitus, asfiksia, bayi dengan
DiGeorge syndrome, dan bayi yang lahir dengan ibu yang menderita
hiperparatiroid. Kejang akibat hipokalsemia terjadi pada hari pertama atau
23
kedua setelah lahir. Kadar magnesium yang rendah sering terjadi
bersamaan dengan hipokalsemia dan perlu diberi terapi untuk
menghentikan kejang. Mekanisme terjadinya hipokalsemia bersamaan
dengan hipomagnesemia belum jelas. Bila kejang pada bayi berat lahir
rendah yang disebabkan oleh hipokalsemia diberikan kalsium glukonat
kejang masih belum berhenti harus dipikirkan adanya hipomagnesemia.14
3) Hiponatremia atau hipernatremia
Kadar natrium serum yang sangat tinggi atau rendah atau mengalami
perubahan dengan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi tertentu
seperti Syndrome of Inappropriate Anti-Diuretic Hormone (SIADH),
sindroma Bartter atau dehidrasi berat yang dapat menyebabkan kejang.
Hiponatremia dapat terjadi akibat minum air, pemberian infus intravena
yang berlebihan atau akibat pengeluaran natrium yang berlebihan lewat
urin dan feses. Hipernatremia terjadi akibat dehidrasi berat atau sekunder
oleh karena asupan natrium yang berlebihan dan dapat juga terjadi akibat
pemberian natrium yang berlebihan secara oral maupun parenteral.14
4) Kelainan yang diturunkan14
a) Gangguan metabolisme asam amino
Kejang biasanya terjadi antara lima sampai 14 hari setelah bayi lahir.
Kejang pada neonatus yang mengalami gangguan metabolisme asam
amino selalu diikuti dengan gejala neurologis lainnya.
b) Ketergantungan dan kekurangan piridoksin
Ketergantungan dan kekurangan piridoksin merupakan kasus pertama
kejang tak terkontrol yang di laporkan oleh Hunt dkk pada tahun 1954.
Kejang sering terjadi pada jam pertama kehidupan, bahkan sejak dalam
kandungan. Kejang ini bersifat resisten terhadap antikonvulsan. Dasar
dari kelainan ini kemungkinan karena kekurangan dalam pengikatan
koenzim peridoksal fosfat pada glutamik dekarboksilase, yaitu enzim
yang terlibat dalam pembentukan gamma-aminobutyric acid (GABA).
24
Kekurangan atau kehilangan GABA dapat menimbulkan kejang.
Kejang neonatus yang diduga karena gangguan metabolik, tidak
membaik dengan pemberian glukosa, kalsium, antikonvulsan dan
sebagainya dapat diberikan pirodoksin intravena dengan dosis 50
sampai 100 mg dengan monitoring EEG.
2.3.3 Patogenesis
Kejang pada neonatus seringkali tidak dikenali kerena bentuknya yang
berbeda dengan kejang orang dewasa dan anak-anak. Penyelidikan
sinemotografi dan EEG menunjukkan bahwa kelainan pada EGG sesuai dengan
twitching dari muka, kedipan muka, menguap, kaku tiba-tiba dan sebagainya.
Oleh karena itu, kejang pada bayi baru lahir tidak spesifikasi dan lebih banyak
digunakan istilah “fit” atau “seizure”.14
Manifestasi yang berbeda-beda ini disebabkan morfologi dan organisasi
dari korteks serebri yang belum terbentuk sempurna pada neonatus (Froeman,
1975). Demikian pula pembentukan dendrit, synopsis dan mielinasasi. Susunan
syarat pusat pada neonatus terutama berfungsi pada medulla spinalis dan batang
orak. Kelainan lokal pada neuron tidak disalurkan kepada jaringan berikutnya
sehingga kejang umum jarang terjadi.
Batang otak berhubungan dengan gerakan-gerakan seperti menghisap,
gerakan bola mata, pernafasan dan sebagainya, sedangkan fleksi umum atau
kekakuan secara fokal atau umum adalah gejala medula spinalis.
25
• Fokal klonik kali perdetik) salah satu
• Multifokal klonik • Gerakan pelan dan atau kedua ekstremitas
ritmik pada sisi
• + EEG unilateral dengan ada
atau tanpa
gerakan wajah
• Multifokal: gerakan
dari satu
ekstremitas kemudian
secara acak
pindah ke ekstremitas
lainnya
Tonik Ditandai dengan postur Fokal: postur tubuh
• Fokal • Fokal : + EEG asimetris
• Kejang tonik umum • Umum : biasanya tidak yang menetap dari badan
terlihat aktivitas EEG atau
ekstremitas
• Umum: fleksi tonik
atau ekstensi
leher, badan, dan
ekstremitas.
Biasanya dengan
ekstensi
ekstremitas juga.
Mioklonik Gerakan lebih cepat dari Fokal: gerakan
• Fokal kejang klonik menyentak cepat
• Multifokal • Otot fleksor ekstremitas pada otot fleksor
• Umum atas terlibat ekstremitas atas
26
• Fokal: − EEG • Umum: terdiri dari satu
• Umum: + EEG atau lebih
gerakan fleksi masif dari
kepala
dan badan serta gerakan
fleksi
atau ekstensi pada
ekstremitas
• Multifokal: gerakan
tidak sinkron
dari beberapa bagian
tubuh
Subtle • Perubahan motorik, Mata: nistagmus, deviasi
autonom maupun sikap + mata,
EEG berkedip, gerakan alis
yang bergetar
berulang-ulang
• Wajah: gerakan seperti
menghisap,
mengunyah,
mengeluarkan air liur,
menjulurkan lidah,
gerakan pada
bibir
• Ekstremitas: gerakan
seperti
berenang, mendayung,
bertinju, atau
27
bersepeda
• Apnu: hanya 2% yang
disebabkan
oleh kejang
• Perubahan autonom
atau
vasomotor: seperti
perubahan
tekanan darah atau
peningkatan
salviasi
Jitteriness adalah fenomena yang sering terjadi pada bayi baru lahir dan
harus dibedakan dengan kejang. Bentuk gerakannya adalah tremor simetris
dengan frekuensi yang cepat lima sampai enam kali perdetik. Berikut ini
merupakan perbedaan jitteriness dan kejang, diantaranya:14
Manifestasi klinis Jitteriness Kejang
28
Perubahan pada tanda Ada Tidak ada
vital dan penurunan
saturasi oksigen
2.3.5 Diagnosis
Diagnosis kejang pada neonatus dapat ditegakkan dengan anamanesis yang
lengkap, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.14
a. Anamnesa
Faktor risiko:
1) Riwayat kejang dalam keluarga
2) Riwayat kehamilan/ prenatal
- Infeksi TORCH atau infeksi lain saat hamil
- Preeklampsia, gawat janin
- Pemakaian obat golongan narkotika, metadon
3) Riwayat persalinan
- Asfiksia, episode hipoksik
- Trauma persalinan
- Ketuban pecah dini
- Anastesi lokal/blok
4) Riwayat pascanatal
- Infeksi bayi baru lahir, keadaan bayi yang tiba-tiba memburuk
- Bayi dengan badan berwarna kuning dan timbul segera setelah lahir
- Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat
- Faktor pemicu kejang oleh suara bising atau karena prosedur
perawatan
- Waktu atau awitan kejang mungkin berhubungan dengan etiologi
- Bentuk gerakan abnormal yang terjadi Pemeriksaan fisik
b. Pada neonatus yang mengalami kejang, perlu dilakukan pemeriksaan
29
fisik lengkap meliputi pemeriksaan neonatologi dan neurologis,
dilakukan secara sistematis dan berurutan:14
1) Identifikasi manifestasi kejang yang terjadi
2) Neonatus yang mengalami kejang biasanya tampak sakit. Kesadaran
yang tiba-tiba menurun berlanjut dengan hipoventilasi dan berhenti
bernapas, kejang tonik, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dapat
dicurigai adanya perdarahan intraventrikular.
3) Pantau perubahan tanda vital dengan melihat tanda seperti sianosis
dan kelainan pada jantung atau pernapasan sehingga dapat dicurigai
kemungkinan adanya iskemik otak.
4) Pemeriksaan kepala untuk mencari kemungkinan adanya fraktur
karena trauma. Ubun-ubun besar yang tegang dan menonjol
menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial yang
disebabkan oleh perdarahan subdural atau subaraknoid serta
kemungkinan adanya meningitis.
5) Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan
retina atau subhialoid yang merupakan manifestasi hematoma
subdural. Dapat ditemukan korioretinitis pada toksoplasmosis, infeksi
sitomegalovirus dan rubella.
6) Pemeriksaan tali pusat untuk mengetahui apakah ada tanda-tanda
infeksi, berbau busuk, atau aplikasi dengan bahan tidak steril pada
kasus yang dijumpai spasme atau tetanus neonatorum.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menegakkan diagnosa pasti
yang sudah ditetapkan dari anamnesis yang lengkap dan pemeriksaan
fisik. Di bawah ini merupakan pemeriksaan penunjang yang dilakukan
pada neonatus yang mengalami kejang, diantaranya:14
1) Pemeriksaan laboratorium
30
a) Darah rutin
- Hemoglobin (Hb)
- Hematokrit (Ht)
- Trombosit
- Leukosit dan hitung jenis
b) Kimia darah
- Kadar gula darah
- Kalsium
- Natrium
- Blood Urea Nitrogen (BUN)
- Magnesium
- Analisa gas darah
c) Cairan serebrospinal
Untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis.
d) Kelainan metabolic
Dengan adanya riwayat keluarga kejang neonatus, intoleransi laktosa,
asidosis, alkalosis, atau kejang yang tidak responsif dengan
antikonvulsan, harus dicari penyebab lain yang mungkin dengan
melakukan pemeriksaan diantaranya:
- Kadar amonia dalam darah
- Asam amino di plasma darah dan urin
2) Pemeriksaan Radiologis
a) USG kepala
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mencari adanya perdarahan
intraventrikular atau periventrikular.
b) CT-scan kepala
Pemeriksaan ini lebih sensitif daripada USG kepala untuk mengetahui
kelainan parenkim otak. CT-scan sangat membantu dalam menentukan
31
adanya infark, perdarahan, dan malformasi serebral.
c) MRI
Pemeriksaan paling sensitif untuk mengetahui malformasi subtle yang
kadang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan CTscan kepala.
d) Electroencephalography (EEG)
Pemeriksaan EEG pada neonatus yang mengalami kejang dapat
membantu diagnosis, dan prognosis dikemudian hari. Gambaran EEG
abnormal pada neonatus dapat berupa gangguan kontinuitas,
amplitudo, atau frekuensi; asimetris atau asinkron interhemisfer;
bentuk gelombang yang tidak normal; gangguan dari fase tidur;
aktivitas kejang mungkin dapat dijumpai.
2.3.6 Prognosis
Kejang pada neonatus dapat mengakibatkan kematian, atau jika hidup dapat
menderita gejala sisa. Adapun prognosis bayi yang mengalami kejang
yaitu:14
Etiologi Meninggal (%) Cacat (%) Normal (%)
HIE sedang dan 50 25 25
berat
Bayi kurang bulan 58 23 18
Meningitis 20 40 40
Malformasi otak 60 40 0
Hipokalsemia 0 0 100
Hipoglikemia 0 50 50
32
2) Menjaga jalan nafas tetap bebas dengan resusitasi.
3) Mencari faktor penyebab kejang.
4) Mengobati penyebab kejang (mengobati hipoglikemia, hipokalsemia
dan lain-lain).
b. Obat anti kejang
1) Diazepam
Dosis 0,1-0,3 mg/kg BB IV disuntikan perlahan-lahan sampai kejang
hilang atau berhenti. Dapat diulangi pada kejang beruang, tetapi tidak
dianjurkan untuk digunakan pada dosis pemeliharaan.
2) Fenobarbital
Dosis 5-10 mg/kg BB IV disuntikkan perlahan-lahan, jika kejang
berlanjut lagi dalam 5-10 menit. Fenitoin diberikan apabila kejang
tidak dapat di berikan 4-7 mg/kg BB IV pada hari pertama di lanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 4-7 mg/kg BB atau oral dalam 2 dosis.
c. Penanganan kejang pada bayi baru lahir
1) Bayi diletakkan dalam tempat yang hangat pastikan bahwa bayi tidak
kedinginan. Suhu dipertahankan 36,5oC - 37oC.
2) Jalan nafas bayi dibersihkan dengan tindakan penghisap lendir di
seputar mulut, hidung sampai nasofaring.
3) Bila bayi apnea dilakukan pertolongan agar bayi bernafas lagi
dengan alat bantu balon dan sungkup, diberikan oksigen dengan
kecepatan 2 liter/menit.
4) Dilakukan pemasangan infus intravena di pembuluh darah perifer di
tangan, kaki, atau kepala. Bila bayi diduga dilahirkan oleh ibu
berpenyakit diabetesmiletus dilakukan pemasangan infus melalui
vena umbilikostis.
5) Bila infus sudah terpasang di beri obat anti kejang diazepam 0,5
mg/kg supositoria IM setiap 2 menit sampai kejang teratasi,
kemudian di tambah luminal (fenobarbital 30 mg IM/IV).
33
6) Nilai kondisi bayi selama 15 menit. Perhatikan kelainan fisik yang
ada
7) Bila kejang sudah teratasi, diberi cairan dextrose 10% dengan
kecepatan 60 ml/kg BB/hari
8) Dilakukan anamnesis mengenai keadaan bayi untuk mencari faktor
penyebab kejang, seperti:
a) Apakah kemungkinan bayi dilahirkan oleh ibu yang berpenyakit
DM
b) Apakah kemungkinan bayi premature
c) Apakah kemungkinan bayi mengalami asfiksia
d) Apakah kemungkinan ibu bayi mengidap/menggunakan narkotika
9) Bila sudah teratasi di ambil bahan untuk pemeriksaan laboratorium
untuk mencari faktor penyebab kejang, misalnya :
a) Darah tepi
b) Elektrolit darah
c) Gula darah
d) Kimia darah (kalsium, magnesium)
10) Bila kecurigaan kearah pepsis dilakukan pemeriksaan fungsi lumbal
11) Obat diberikan sesuai dengan hasil penelitian ulang
12) Apabila kejang masih berulang, diazepam dapat diberikan lagi sampai
2 kali.
34
2) Peneliti
Leila Valizadeh , Majid Mahallei, Abdolrasoul Safaiyan, Fatemeh
Ghorbani, Maryam Peyghami
3) Penerbit
Journal of Caring Sciences (JCS) 2017 Volume 6, Issue 2, Halaman 163–
172 DOI: 10.15171/jcs.2017.016
4) Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan tujuan membandingkan efek plastik dan
selimut terhadap suhu tubuh bayi prematur di bawah Radiant Warmer
5) Metode
a. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain Randomized Clinical Trial. Pada
penelitian ini dilakukan Single blind randomization untuk alokasi
sampelnya.
b. Tempat penelitian
Penelitian dilakukan pada unit NICU Rumah Sakit pendidikan
Taleghani Tabriz Iran. Penelitian ini dilakukan mulai dari Desember
2015 sampai dengan April 2016
c. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
(1) Inklusi
BBL yang lahir pada usia gestasi 28-30 minggu
Berat lahir antara 800-1250 grams
Bayi usia 2 hari
Sedang menjalani NPO
Dirawat di NICU sejak lahir
Dirawat di bawah radiant warmer
Dirawat dengan N-CPAP atau HFNC
35
(2) Ekslusi
Bayi yang menderita cacat Bawaan seperti cacat sumsum tulang
belakang, penyakit kulit bawaan, penyakit jantung bawaan,
omphalocele, gastroschisis, penyakit metabolisme, sepsis
Berada di bawah ventilator
Menjalani fototerapi
d. Intervensi
Kelompok 1: Pada hari pertama bayi ditutupi dengan selembar kain
dari 08.00 sampai 09.00 selama satu jam. Pada jam 09.00, lembar
itu diambil dari bayi. Kemudian dari jam 09.00 sampai jam 08.00
pagi hari berikutnya (selama 23 jam) bayi-bayi itu ditutupi dengan
penutup plastik hingga leher mereka. Pada hari kedua intervensi,
penutup plastik dilepas pada jam 08.00 dan sampai jam 09.00
(selama 1 jam) bayi ditutup dengan kain hingga leher. Setelah itu,
tubuh bayi yang sama (kecuali kepala) ditutupi dengan selimut
selama 23 jam. Kepala bayi keluar dari penutup dan dilapisi dengan
topi.
Pada kelompok 2, prosedurnya sama dengan kelompok 1 dengan
perbedaan menutupi tubuh bayi dengan selimut selama 24 jam
pertama dan dengan penutup plastik selama 24 jam kedua.
e. Pencatatan variable
Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri. Suhu tubuh
diukur melalui aksila bayi dan diperiksa menggunakan termometer
digital Whelch Allyn. Suhu di bawah 36,5 ◦C dan lebih dari 37,5 ◦C
masing-masing dianggap sebagai hipotermia dan hipertermia.
Pecatatan suhu kulit dan warmer juga dilakukan sendiri oleh
peneliti
36
Pengukuran suhu tubuh dilakukan oleh satu orang. Suhu tubuh
semua kelompok diukur pada pukul 08.00, 09.00, 12.00, 15.00,
18.00 dan 21.00.
f. Analisis data
Data dianalisis menggunakan SPSS versi 13 dan Software MiniTab.
Analisis yang dilakukan antara lain Statistik deskriptif, (Mean (SE),
95% CI) dan statistik inferensial (Pengukuran berulang dan tes
ANCOVA)
6) Hasil
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suhu tubuh bayi yang mendapat
intervensi penutup plastik berada dalam batas normal dibandingkan
dengan bayi yang menggunakan selimut tebal.
Penelitian ini menunjukkan tidak adanya pengaruh intervensi terhadap
suhu kulit bayi dan tidak ada perbedaan suhu yang signifikan antar
kelompok.
Penelitian ini menunjukkan bahwa suhu tubuh lebih tinggi dan konsumsi
panas lebih sedikit saat menggunakan penutup plastik.
7) Keterbatasan penelitian
Keterbatasan penelitian adalah singkatnya masa observasi suhu (13 jam)
dan data pada waktu yang lain tidak dikumpulkan
8) Kesimpulan
Penggunaan penutup plastik selama beberapa hari pertama rawat inap di
NICU membantu mempertahankan suhu tubuh bayi prematur.
b. Jurnal 218
1) Judul
Moderate neonatal hypoglycemia and adverse neurological development at
2 – 6 years of age.
37
2) Peneliti
Ronny Wickstrom, Beatrice Skio, Gunnar Petersson, Olof Stephansson,
Maria Altman
3) Penerbit
European Journal of Epidemiology (Eur J Epidemiol) 2018 Volume 33
Issue 10 Halaman 1011–1020.DOI : https://doi.org/10.1007/s10654-018-
0425-5
4) Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah mengkompilasikan outcome neurologis
atau perkembangan saraf, keterlambatan perkembangan, keterlambatan
perkembangan motorik dan keterlambatan perkembangan kognitif pada
anak usia 2-6 tahun dengan riwayat hipoglikemia sedang saat bayi.
5) Metode
a. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain studi kohort dengan data yang
dikumpulkan secara prospektif.
b. Tempat penelitian
Penelitian dilakukan di daerah Stockholm-Gotland, Swedia mulai dari 1
Juli 2008 sampai dengan 31 December 2012.
c. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
(1) Inklusi
Bayi tunggal
Bayi sehat
(2) Ekslusi
Bayi kembar atau multiplet
Bayi dengan diagnosis malformasi
Bayi yang dirawat di NICU
Bayi dengan diagnosis ICD10 kelainan metabolisme bawaan
38
Bayi yang dilahirkan oleh bu dengan riwayat DM atau DM
Gestasional
d. Exposure dan Outcome
Exposure
Exposure didefinisikan sebagai bayi yang memiliki diagnosis
Transitory Neonatal Hypoglycemia (glukosa darah \ 40 mg / dL)
Outcome
Semua bayi ditindaklanjuti sampai akhir 2014, pada saat mereka
berusia 2-6 tahun. Hasil didefinisikan oleh diagnosa neurologis dan
perkembangan yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu
keterlambatan perkembangan, keterlambatan perkembangan
motorik, keterlambatan perkembangan kognitif, gangguan
spektrum autisme dan sindrom GGPH dan epilepsi atau kejang
demam.
e. Pencatatan variable
Informasi tentang ibu, kehamilan, persalinan dan bayi diperoleh
dari catatan medis elektronik antenatal, obstetri dan neonatal yang
terkomputerisasi termasuk kelahiran di daerah Stockholm-Gotland
Clinical input ditransfer ke data base setiap hari, dan informasi
terperinci tentang parameter ibu, kehamilan, persalinan dan
kesehatan bayi dikumpulkan sejak 2008 dan seterusnya.
f. Analisis data
Model regresi logistik digunakan untuk menentukan crude odd ratio
dengan interval kepercayaan 95%. Modifikasi efek diuji dengan
stratifikasi dan penyisipan variabel interaksi dalam model regresi. P
value < 0,05 dianggap signifikan secara statistik. Untuk analisis statistic
digunakan SAS versi 9.4
39
6) Hasil
Dalam analisis regresi yang disesuaikan, OR dari setiap hasil
perkembangan neurologis atau perkembangan saraf adalah 1,48 (CI
95%: 1,17-1,88) pada bayi hipoglikemik dibandingkan dengan bayi
normoglikemik.
Pada bayi dengan hipoglikemia, memiliki resiko lebih dari 2 kali lipat
untuk mengalami keterlambatan perkembangan (OR 2,53 [1,71-3,73]),
hampir 2 kali lipat beresiko mengalami keterlambatan perkembangan
motorik (OR: 1,91 [1,06-3,44]) dan 3 kali lipat beresiko mengalami
keterlambatan perkembangan kognitif (OR 2,85 [1,70-4,76]).
7) Keterbatasan penelitian
Exposure hipoglikemia yang digunakan adalah diagnosis saat pulang
yang mana dimungkinkan terdapat beberapa bayi yang pulang dengan
hipoglikemia namun tidak terdeteksi
Follow up yang dilakukan hanya dapat mendeteksi kelainan neurologis
yang mayor
Penelitian ini merupakan penelitian observasi yang tidak mampu
menjelaskan hubungan sebab akibat antara hipoglikemia sedang dan
kelainan perkembangan saraf
Peneliti tidak memiliki data riwayat keluarga tentang adanya diagnosis
neuropsychiatric, neurologis, atau neurodevelopmental pada orang tua
bayi.
8) Kesimpulan
Penelitian menunjukkan bahwa hipoglikemia neonatal berpengaruh
terhadap peningkatan risiko gangguan perkembangan saraf.
40
c. Jurnal 319
1) Judul
Long-term outcome in children with neonatal seizures: A tertiary center
experience in cohort of 168 patients.
2) Peneliti
Biljana Vucetic Tadic, Ruzica Kravljanac, Vlada Sretenovic, Vladislav
Vukomanovic
3) Penerbit
Epilepsy & Behaviour (Epilepsy Behav) Juli 2018 Volume 84 Halaman
107–113. DOI: https://doi.org/10.1016/j.yebeh.2018.05.002
4) Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi outcome jangka
panjang, mengidentifikasi prediktor lethal outcome, kecacatan neurologis
dan intelektual serta epilepsi pada anak-anak dengan riwayat kejag
neonatal yang dirawat di rumah sakit tersier.
5) Metode
a. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain studi kohort dengan data yang
dikumpulkan secara retrospektif
b. Tempat penelitian
Penelitian dilakukan di unit ICU dan atau departemen neurologi di
Institute for Mother and Child Healthcare Serbia pada periode 1 Januari
2005 sampai dengan 31 Desember 2015.
c. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
(1) Inklusi
Bayi aterm dan bayi prematur dengan kejang yang diamati
secara klinis oleh dokter di rumah sakit dalam periode neonatal
41
Bayi baru lahir tanpa manifestasi klinis kejang tetapi memiliki
pola kejang pada EEG
Bayi baru lahir dengan rekaman EEG dalam 48 jam pertama
setelah onset kejang
Durasi tindak lanjut setidaknya selama 12 bulan.
(2) Eksklusi
Anak-anak dengan riwayat Kejang neonatal yang tidak dicatat
selama rawat inap di Institut peneliti
Semua anak dengan kejang neonatal yang tindak lanjutnya
kurang dari 12 bulan
Bayi baru lahir dengan kejang neonatal tetapi tanpa rekaman
EEG dalam 48 jam pertama setelah onset kejang.
d. Predictive value dan Outcome
Predictive value
Karakteristik pasien, seperti jenis kelamin, usia kehamilan, berat
badan lahir, skor Apgar, ventilasi buatan
Etiologi
Karakteristik kejang seperti jenis, waktu onset, resistensi
terhadap pengobatan
Aktivitas latar belakang EEG dan pelepasan paroxysmal
Outcome
Lethal outcomes
kelainan neurologis
Disabilitas intelektual
Epilepsi
e. Pencatatan variable
Data dikumpulkan dari grafik medis dan database electroencephalogram
(EEG) di Institut peneliti
42
f. Analisis data
Variabel kategorik dijelaskan dalam jumlah atau persentase. Normalitas
diuji dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk variable kontinuus (berat
badan lahir dan periode tindak lanjut). Hasil tes menunjukkan distribusi
normal untuk berat badan lahir dan Skewed distribution untuk periode
tindak lanjut. Variabel kontiuus dijelaskan dalam mean dan standar
deviasi atau median dan rentang interkuartil.
6) Hasil
Penelitian ini melibatkan 168 anak-anak dengan kejang neionatal (yang
mana 109 adalah laki-laki, dan 59 adalah perempuan), responden rata-rata
berusia 5,6 (SD 3,5) tahun pada akhir masa follow up (dengan kisaran 1
hingga 12 tahun). Terdapat perkembangan neurologis normal tanpa epilepsi
pada 131 pasien (78%), kelainan neurologis pada 31 (19,0%), cacat
intelektual pada 28 (17,2%), epilepsi pada 12 (7,4%), dan hasil mematikan
pada 7 pasien (4,17%).
7) Keterbatasan penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam penggunaan perekaman EEG
video terus menerus. Dengan cara ini dimungkinkan untuk memasukkan
bayi baru lahir dengan kejadian paroksismal nonepileptik tanpa keterlibatan
mereka yang hanya dengan kejang elektrografi.
8) Kesimpulan
Hasil jangka panjang pada anak-anak dengan kejang neonatal baik pada
sebagian besar pasien, dan dimungkinkan terkait dengan variabel klinis dan
paraklinis awal. Bayi baru lahir dengan latar belakang aktivitas EEG yang
abnormal, dengan kejang yang resisten terhadap obat antiepilepsi dan atau
skor Apgar yang rendah berisiko lebih tinggi terhadap hasil yang buruk.
Wanita berisiko lebih tinggi untuk hasil yang mematikan daripada pria.
43
BAB III
SIMPULAN
2.4 Simpulan
Kasus hipotermi, hipoglikemia, dan kejang dapat terjadi pada bayi baru lahir
dan neonatus yang merupakan salah satu penyebab kematian neonatal dan
bayi. Proses adaptasi fisiologis bayi baru lahir dan neonatus terhadap
kehidupan diluar rahim merupakan masa yang rentan yang perlu diwaspadai
terjadinya hal-hal diatas sehingga perlu diadakan pemantauan pada bayi baru
lahir dan neonatus. Sebagai bidan harus mempunyai kompetensi profesional
agar dapat mengenali dan memahami serta mampu melakukan asuhan
kebidanan yang adekuat dan secara menyeluruh dalam menatalaksana kasus
hipotermi, hipoglikemia, dan kejang yang ada pada bayi baru lahir dan
neonatus sesuai Evidence Based.
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Di rakesnas 2019, dirjen kesmas paparkan strategi penurunan aki dan neonatal
[document on internet]. Tangerang: Kesmas.kemkes online; 2019 Februari 15.
[diunduh 28 Oktober 2019]. Tersedia dari : http://www.kesmas.kemkes.go.id
/portal/konten/~rilis-berita/021517-di-rakesnas-2019_-dirjen-kesmas-
paparkan -strategi-penurunan-aki-dan-neonatal
2. Worcestershire Acute Hospitals NHS Trust . Management of Thermal Care in
Newborn Babies; 2015.
3. World Health Organization. Thermal protection of the newborn: a practical
guide. French;2007.
4. Wiknjosastro, DjokoWaspodo. Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta. EGC; 2009.
5. Dogloni, et al. Total Body Polyethylene Wraps for Preventing Hypothermia in
Preterm Infants: A Randomized Trial. Journal of Pediatrics. Elsevier; 2014.
6. Marmi. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah. Edisi 1.
Yogyakarta. Perwajahan Buku. 2012 : 306-307.
7. Indonesia IDA. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. II
ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. p. 132.
8. Frederick LG, Zrebiec J, Bauchowitz A, et all. Detection of Hypoglycemia by
Children with type 1 Diabetes 6 to 11 Years of Age and Their Parents: A
Field Study, Pediatrics 2008:121. 489-95
9. Health DO. Newborn hypoglycaemia 2018. Available from:
www.health.qld.gov.au/qcg
10. Wilker RE. Hypoglycemia and Hyperglicemia. Manual of Neonatal Care.
Edisi ke- 6. Philadelphia. Lippincott William:2008
11. Wight N, Marinelli KA. ABM Clinical Protocol. Guidelines for Glucose
Monitoring and treatment of Hypoglycemia in Breastfed Neonates.
Breastfeeding Medicine Volume 1 Number 3 Mary Ann Liebert, Inc; 2006
45
12. Kuper, Spencer G. Kuper, Sima H. Baalbaki, Melissa M. Parrish, Victoria C.
Jauk, Alan T. Tita & Lorie M. Harper (Association between antenatal
13. Handryastuti S. Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosisi dan
Tata Laksana. Sari Pediatri, Vol. 9 No. 2 Agustus 2007
14. Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A. Kejang dan Spasme.
Dalam: Sarosa GI. Buku Ajar Neonatologi. Edisi pertama. Indonesia: Badan
Penerbit IDAI, 2014. h: 226-249
15. Pisani F, Facini C, Pelosi A, Mazzotta S, Spagnoli C, Pavlidis E. Neonatal
seizures in preterm newborns: A predictive model for outcome. European
Journal Of Pediatric Neurology. 2016; 20: 243-51
16. Loman AMW, ter Horst HJ, Lambrechtsen FACP, Lunsing RJ. Neonatal
seizures: Aetiology by means of a standardized work-up. European Journal Of
Pediatric Neurology. 2014; 18: 360-7
17. Valizadeh L, Mahallei M, Safaiyan A, Ghorbani F, Peyghami M. Comparison
of the Effect of Plastic Cover and Blanket on Body Temperature of Preterm
Infants Hospitalized in NICU : Randomized Clinical Trial. Tabriz Univ Med
Sci [Internet]. 2017;6(2):163–72. Available from:
http://dx.doi.org/10.15171/jcs.2017.016
18. Wickström R, Skiöld B, Petersson G, Stephansson O, Altman M. Moderate
neonatal hypoglycemia and adverse neurological development at 2–6 years of
age. Eur J Epidemiol [Internet]. 2018;33(10):1011–20. Available from:
https://doi.org/10.1007/s10654-018-0425-5
19. Tadic BV, Kravljanac R, Sretenovic V, Vukomanovic V. Long-term outcome
in children with neonatal seizures: A tertiary center experience in cohort of
168 patients. Epilepsy Behav [Internet]. 2018 Jul 1;84:107–13. Available
from: https://doi.org/10.1016/j.yebeh.2018.05.002
46