Anda di halaman 1dari 29

HUBUNGAN HIPERTENSI DENGAN STROKE

Hipertensi dan stroke Hipertensi mengakibatkan perubahan patologi pada pembuluh darah otak berupa proses aterosklerosis/arteriolosklerosis. Aterosklerosis dapat menyebabkan gangguan peredaran darah otak melalui pembentukan trombus dan embolus. Hipertensi juga menyebabkan gangguan kemampuan autoregulasi

pembuluh darah otak sehingga pada tekanan darah yang sama, aliran darah ke otak penderita hipertensi telah berkurang dibandingkan penderita normotensi. Proses aterosklerosis dimulai pada kehidupan dini, lesi pertama dari aterosklerosis adalah fatty streak (lapisan lemak) yang sudah ditemukan pada bayi dan masa kanak-kanak. Tempat pertama dari fatty streak adalah terutama di aorta dan arteri karotis. Pada perkembangan selanjutnya pada lesi tersebut terjadi perubahan fungsi dan morfologi endotel atau kerusakan endotel. a. Fungsi endotel normal Sel endotel membetuk lapisan tunggal yang melapisi seluruh sistem vaskuler. Integritas struktural dan fungsional SE merupakan hal mendasar bagi pemeliharaan homeostasis dinding pembuluh darah dan fungsi sirkulasi. Sel ini memiliki Weibel-Palade body, yaitu organel berlapis membran dengan panjang 0,3 um dan lebar 0,1 um untuk menyimpan daktor von Willebrand. Sel endotel dapat diidentifikasi secara imunohistokimiawi dengan antibodi terhadap faktor von Willebrand dan CD31. Jejas endotel mungkin merupakan penyebab dimulainya pembentukan trombus, ATH dan lesi vaskular pada hipertensi, dan penyakit lain. Kehilangan nyata sel endotel memicu trombosis dan proliferasi sel otot polos. Namun, sel endotel yang secara struktural utuh dapat berespons abnormal Sifat dan Fungsi Sel Endotel 1. Mempertahankan sawar permeabilitas 2. Mengeluarkan molekul antikoagulan dan antitrombotik

a. Prostasiklin b. Aktivator plasminogen c. Heparin-like molekul d. trombomodulin 3. Mengeluarkan molekul protrombotik a. Faktor von Willebrand b. Faktor jaringan c. Inhibitor aktivator plasminogen 4. Membentuk matriks ekstrasel (kolagen, proteoglikan) 5. Memodulasi aliran darah dan reaktivitas vaskular a. Vasokonstriktor: endotelin, ACE b. Vasodilator: NO, prostasiklin 6. Mengendalikan peradangan dan imunitas a. IL-1, IL-6, IL-8 b. Molekul perekat c. Antigen histokompatibilitas 7. Mengendalikan pertumbuhan sel a. Stimulator pertumbuhan: PDGF, CSF, FGF b. Inhibitor pertumbuhan: heparin, TGF- 8. Mengoksidasi lipoprotein densitas rendah b. Patogenesis aterosklerosis Karena aterosklerosis memiliki dampak klinis yang sangat luas, banyak dilakukan upaya untuk mengungkapkan kausanya, secara historis, terdapat dua hipotesis tentang aterogenesis yang dominan: satu menekankan proliferasi sel di intima, sedangkan yang lain menekankan organisasi dan pertumbuhan repetitif trombus. Pandangan kontemporer tentang patogensis ATH menyertakan elemen kedua teori lama terebut serta mengakomodasi faktor risiko yang dibahas di atas. Konsep ini yang disebut respons terhadap hipotesis jejas, menganggap ATH sebagai respons peradangan kronis dinding arteri yang dipicu oleh jejas endotel. Titik sentral tesis ini sebagai berikut:

- Jejas endotel kronis, biasanya samar, yang menyebabkan disfungsi endotel, menimbulkan peningkatan permeabilitas, perlekatan leukosit dan kemungkinan trombosis - Merembesnya lipoprotein ke dalam dinding pembuluh, terutama LDL dengan kandungan kolesterolnya yang tinggi - Modifikasi lipoprotein di lesi oleh oksidasi - Melekatnya monosit darah (dan leukosit lain) ke endotel, diikuti oleh migrasi ke dalam intima dan transformasi menjadi makrofag dan sel busa - Melekatnya trombosit - Pengeluaran faktor dari trombosit, makrofag, atau sel vaskular yang menyebabkan migrasi sel otot polos dari media ke dalam intima - Proliferasi sel otot polos di intima, dan pengeluaran matriks ekstrasel sehingga terjadi akumulasi kolagen dan proteoglikan - Peningkatan penimbunan lemak di dalam sel (makrofag dan sel otot polos) dan luar sel. Peran jejas endotel. Jejas endotel kronis atau berulang merupakan hal pokok dalam respons terhadap hipotesis jejas. Jejas endotel yang pada hewan percobaan) dipicu oleh pengelupasan mekanis, gaya hemodinamik, pengendapan kompleks imun, iradiasi, dan zat kimia menyebabkan penebalan intima dan, apabila diet banyak mengandung lemak, pembentukan ateroma tipikal. Namun, pada manusia lesi dini dimulai di tempat yang endotelnya secara morfologis utuh. Oleh karena itu, disfungsi endotel tanpa terlepas yang menyebabkan peningkatan permeabilitas endotel, peningkatan perlekatan leukosit, dan perubahan ekspresi produk gen sel endotel merupakan hal penting dalam penyakit manusia. Penyebab spesifik disfungsi endotel pada awal ATH tidak diketahui: yang diduga berperan adalah turunan asap rokok yang beredar dalam darah, homosistein, dan mungkin virus atau agen infeksi lainnya. Namun, dua determinan terpenting perubahan endotel, yang mungkin bekerja sama, diperkirakan adalah gagguan hemodinamik yang menyertai fungsi sirkulasi normal dan efek negatif hiperkolesterolemia. Yang menyokong peran adanya efek hemodinamik adalah kecenderungan terbentuknya plak di ostium pembuluh cabang, titik percabangan, dan di

sepanjang dinding poeterior aorta abdomen, tempat terjadinya gagguan pola aliran. Selain itu, penelitian in vitro mengisyaratkan bahwa aliran laminar normal yang biasanya ditemukan di daerah bebas-plak pada pembuluh arteri memicu gen endotel yang produknya (misal, antioksidan superoksida dismutase) melindungi pembuluh dari terbentuknya lesi. Gen ateroprotektif ini dapat menjelaskan mengapa lokalisasi lesi aterosklerotik dini tidak bersifat acak. Peran lemak. Perlu diingat bahwa berbagai kelas lipid darah dapat diangkut sebagai lipoprotein yang membentuk kompleks dengan apoprotein spesifik. Dislipoproteinemia terjadi akibat mutasi yang menghasilkan apolipoprotein cacat atau akibat penyakit lain, seperti sindrom nefrotik, alkohiolisme, hipotiroidisme, atau diabetes melitus. Contoh kelainan lipoprotein yang sering ditemukan dalam populasi (dan, memang terdapat pada banyak orang yang selamat dari serangan infark miokardium) adalah : 1. Peningkatan kadar kolesterol LDL 2. Penurunan kadar kolesterol HDL 3. Peningkatan kadar Lp (a) abnormal Bukti utama yang membukti peran hiperkolesterolemia dalam pembentukan ATH adalah sebagai berikut: Defek genetik pada metabolisme lipoprotein yang menyebabkan hiperlipoproteinemia menyebabkan kecepatan terbentuknya ATH. Sebagai contoh, hiperkolesterolemia familial homozigot, yang sering menyebabkan infark miokardium pada usia kurang dari 20 tahun, disebabkan oleh defek dari reseptor LDL sehingga terjadi gangguan penyerapan LDL oleh hati dan peningkatan mencolok LDL dalam darah. Penyakit genetik atau didapat lainnya (misal, diabetes melitus, hipotiroidisme) yang menyebabkan hiperkolestrolemia menimbulkan ATH prematur yang berat. Lipid utama dalam ateroma (plak) adalah kolesterol dan ester kolesterol yang berasal dari plasma. Analisis epidemiologik menunjukkan adanya keterkaitan bermakna antara keparahan ATH dan kadar kolesterol total atau kolesterol LDL.

Penurunan kadar kolesterol serum melalui diet atau obat memperlambat perkembangan ATH, mengurangi risiko serangan kardiovaskular. Memang penurunan kolesterol meningkatkan kesintasan keseluruhan dan mengurangi risiko penyakit terkait ATH pada pasien yang memamng mengidap penyakit jantung koroner dengan kadar kolesterol meningkat atau normal, serta pada pasien dengan hiperkolestrolemia, tetapi tanpa jelas mengidap penyakit terkait ATH.

Mekanisme bagaimana hiperlipidemia berperan pada aterogenesis adalah sebagai berikut: Hiperlipidemia kronis, terutama hiperkolesterolemia, dapat secara langsung mengganggu fungsi endotel melalui peningkatan pembentukan radikal bebas oksigen yang mendeaktivasi nitrat oksida, faktor pelemas endotel utama. Pada hiperlipidemia kronis terjadi penimbunan lipoprotein di dalam intima di tempat yang permeabilitas endotelnya meningkat. Perubahan kimiawi lemak yang dipicu oleh radikal bebas yang dihasilkan dalam makrofag atau sel endotel dinding arteri akan menghasilkan LDL teroksidasi (termodifikasi). LDL teroksidasi (1) ditelan oleh makrofag melalui scavenger receptor (reseptor penyapu), yang berbeda dengan reseptor LDL, sehingga terbentuk sel busa; (2) meningkatkan akumulasi monosit di lesi; (3) merangsang pengeluaran faktor pertumbuhan dan sitokin; (4) bersifat sitotoksik pada sel endotel dan sel otot polos; dan (5) dapat menyebabkan disfungsi sel endotel. Yang konsisten dengan peran stres oksidatif adalah temuan bahwa ATH arteria koronaria dapat dikurangi dengan vitamin-vitamin antioksidan (-karoten dan vitamin E). Namun, perlu dicatat bahwa data yang ada belum memadai untuk menganjurkan suplementasi makanan dengan antioksidan untuk mencegah ATH. Peran makrofag. Monosit dan makrofag berperan penting dalam ATH. Sel ini Melekat ke endotel pada awal pembentukan ATH melalui molekul perekat endotel spesifik yang terbentuk di permukaan sel endotel disfungsional.

Bermigrasi di antara sel endotel untuk masuk ke intima. Berubah menjadi makrofag dan memfagosit lipoprotein, terutama LDL terosidasi, sehingga menjadi sel busa.

Makrofag juga mengahsilkan interleukin 1, dan TNF, yang meningkatkan perlekatan leukosit; beberapa kemokin yang dihasilkan makrofag (misal, monocyte chemoattractant protein 1) dapat semakin merekrut leukosit ke dalam plak. Makrofag menghasil spesies oksigen toksik yang juga menyebabkan oksidasi LDL di lesi, dan sel ini juga mengeluarkan faktor pertumbuhan yang mungkin berperan menyebakan proliferasi sel otot polos. Limfosit T juga terdapat di ateroma tapi perannya belum jelas. Peran prolifersi sel otot polos. Proliferasi sel otot polos dan pengendapan matriks ekstrasel oleh sel otot polos di intima mengubah bercak perlemakan menjadi ateroma fibrofatty matang dan berperan menyebabkan pertumbuhan progresif lesi aterosklerotik. Beberapa faktor pertumbuhan diperkirakan berperan dalam proliferasi sel otot polos, termasuk platelet derived growth factor (dikeluarkan oleh trombosit yang melekat di fokus jejas endotel, dan makrofag, sel endotel, dan sel otot polos), faktor pertumbuhan fibroblas, dan transforming growth factor . Terbentuknya plak ateromatosa juga dapat dijelaskan apabila ploriferasi sel otot polos memang merupakan kejadian primer. Hipotesis monoklonal pada aterogenesis, yang diajukan pada tahun 1977, didasarkan pada pengamatan bahwa beberapa plak manusia bersifat monoklonal atau, paling banyak, oligoklonal. Salah satu intepretasi tentang oligoklonalitas adalah bahwa plak mungkin ekuivalen dengan pertumbuhan neoplastik jinak, mungkin dipicu oleh zat kimia eksogen (misal, kolesterol atau sebagian produk oksidasinya) atau suatu virus onkogenik. Infeksi. Proses infeksi dapat berperan pada ATH, tetapi tesis ini belum dibuktikan. Organisme mikrobiologik, termasuk virus herpes, sitomegalovirus, dan Chlamidia pneumoniae, pernah ditemukan di plak aterosklerotik,tetapi tidak di arteri normal. Diperkirakan organisme infeksiosa memicu proses peradangan kronis yang ikut berperan dalam pembentukan ateroma. Bukti keikutsertaan C.pneumoniae merupakan yang paling kuat,; penelitian mengisyaratkan bahwa

terapi antibiotik yang sesuai untuk organisme ini mengurangi kekambuhan klinis pada pasien IHD. Pembahasan sebelumnya menekankan bahwa ateroma yang sedang tumbuh adalah suatu lesi dinamik yang kompleks yang mengandung sel radang kronis (makrofag, limfosit), sel endotel, dan sel otot polos, yang mengeluarkan atau membantu mengeluarkan beragam faktor yang mungkin berperan dalam patogenesis lesi ini. Pada tahap awal, plak intima adalah suatu kumpulan sel busa yang berasal dari makrofag dan sel otot polos, yang sebagian diantaranya telah mati dan mengeluarkan lemak dan debris, dikelilingi oleh sel otot polos. Seiring dengan perkembangannya, ateroma mengalami modifikasi oleh kolagen dan proteoglikan yang dibentuk oleh sel otot polos. Jaringan ikat sangat menonjol di aspek intimal, menghasilkan lapisan penutup fibrosa, tetapi banyak lesi tetap mempertahankan inti sentral berisi sel penuh-lemak dan debris lemak. Kerusakan lapisan penutup disertai pembentukan trombus sering menyebabkan serangan yang parah. c. Pembentukan aterosklerosis pada hipertensi dan hubungannya dengan stroke Hipertensi dapat mempermudah terjadinya kerusakan pada endotel dan peningkatan permeabilitas endotel oleh LDL. Jika endotel rusak maka terjadi infiltrasi dan akumulasi partikel lipoprotein pada tunika intima. Kemudian partikel lipoprotein (LDL) ini teroksidasi atau dimodifikasi yang kemudian merangsang endotel mengeluarkan intercellular adhesion molecule(ICAM), vascular adhesion molecule (VCAM) yang diaktivasi oleh sitokin melalui interleukin 1 (IL-1), tumor necrosis factor (TNF). Sehingga terjadi migrasi dari monosit dan T-limfosit dan melekat pada endotel juga melalui aktivasi monosit oleh monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1). Oleh faktor monocyte colony stimulating factor (MCSF) monosit berubah menjadi makrofag yang teraktivasi dan berdiferensiasi kemudian melalui reseptor scavenger menangkap oksidasi LDL dan terbentuk foam cell. Dengan pengaruh dari growth factors dan sitokin terbentuk basic fibroblast growth factor dan tissue growth beta-1yang menyebabkan migrasi sel otot polos dari tunika media ke tunika intima dan perubahan fungsi sel otot polos dari kontraktil ke sekresi, sehingga sel otot polos berproliferasi dan penambahan

matriks protein (serabut protein elastik, kolagen, proteoglikan) sehingga menjadi penambahan ukuran lesi. Kemudian foam cell mati dan ruptur. LDL dilepas ke ekstrasel

(extracellular lipid core). Dengan pengaruh faktor platelet derived growth factor (PDGF), transforming growth factor beta (TGF), acidic fibroblast growth factor (acidic FGF), basic FGF terjadi adhesi platelet dan fibrin. Kemudian terjadi maturasi dari plak dengan penimbunan kalsium pada sel nekrotik dan lipid ekstrasel. Kalsium merupakan komponen plak yang dominan selanjutnya terbentuk lesi fibrotik yang mengandung lipid minimal. Pembentukan plak fibrosa ini terjadi terutama pada tempat percabangan arteri (bifucartio). Hal ini disebabkan oleh adanya hemodinamik stress sehingga menyebabkan kerusakan endotel tunika intima. Disamping itu secara struktur dan fungsional tempat tersebut berbeda yaitu: glikokaliks endotelnya lebih tipis (13nm, normal 44nm), turnover sel endotelnya cepat, secara morfologi sel endotel lebih besar dan lebih bulat, ruang subendotel lebih besar dan luas. Plak fibrosa ini selanjutnya mengalami perubahan dan membesar ke dalam lumen sampai menimbulkan keluhan atau gejala klinis. Seperti yang telah disebutkan di awalaAterosklerosis dapat menyebabkan gangguan peredaran darah otak melalui pembentukan trombus dan embolus. - Thrombus Terjadinya penyempitan atau oklusi lumen pembuluh darah akibat perubahan pada dinding pembuluh darah. Umumnya tipe patologi vaskulernya adalah aterosklerotik. Berdasarkan patologinya dibedakan 3 macam tipe thrombi, yaitu: Thrombi merah, terdiri dari sel darah merah dan fibrin dan terbentuk pada aliran darah yang lambat. Tipe ini tidak berhubungan dengan dinding pembuluh darah yang abnormal Thrombi putih, terdiri dari platelet dan fibrin dan sedikit sel darah merah. Terbentuk pada dinding atau permukaan endotel yang abnormal dengan aliran darah yang cepat.

Deposit fibrin diesminata pada pembuluh darah kecil

Pada sebagian besar kasus thrombus dimulai dengan thrombus putih baru kemudian thrombus merah. Thrombus biasanya terjadi karena ketidakseimbangan antara faktor-faktor trombogenik dan mekanisme protektif. Faktor-faktor trombogenik yaitu : Kerusakan dinding pembuluh darah Stimulasi platelet agregasi Aktivasi koagulasi darah Zona statis

Sedangkan mekanisme protektif adalah endotel yang utuh, netralisasi dari faktorfaktor pembekuan, adanya sistim fibrinolisis. Yang paling penting untuk terjadinya thrombosis adalah kerusakan dinding pembuluh darah dan aliran yang turbulensi. - Embolus Emboli terdiri dari kombinasi kolesterol debris, agregasi platelet dan fibrin. Tergantung pada ukuran, komposisi, konsistensi dan umurnya, emboli dapat lisis, fragmentasi atau tetap menyumbat arteri bagian distal. Insidensi stroke emboli diperkirakan lebih dari 30%. Emboli biasanya bersumber dari : jantung, arteri besar, dan pembuluh vena. Sangat jarang berasal dari udara lemak. Partikel obat injeksi, bakteri dan sel tumor. Stroke emboli umumnya terjadi tiba-tiba dalam beberapa detik atau menit, terjadi saat aktivitas dan defisit neurologisnya maksimal d. Patogenesis arteriolosklerosis pada hipertensi dan hubungannnya dengan stroke Pada arteri penetrans yang kecil terjadi arteriosklerosis yang terjadi pada arteriol dan pembuluh darah dengan diameter luar < 50m. Pembuluh darah kecil ini pada tunika medianya tidak mempunyai lamina elastika interna. Penyebab utama kelainan pada pembuluh darah kecil ini adalah hipertensi, diabetes melitus, dan umur. Tekanan darah yang kronis menyebabkan perubahan degeneratif

berupa lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid pada pembuluh darah perforating. Pembuluh darah perforating ini bila tersumbat akan menyebabkan infark lakuner. Lipohialinosis adalah kombinasi dari hialin dan lipid yang di deposit pada tempat dan pembuluh darah yang sama. Nekrosis fibrinoid adalah deposit dari granula halus dari protein plasma dan nekrotik sel otot polos yang terlihat pada tunika media pembuluh darah arteriol dan kapiler di otak. Secara histopatologis berupa granula halus dan homogen yang berwarna eosinofilik yang di deposit pada jaringan ikat pembuluh darah tersebut. Secara epidemiologi 70-80% pasien perdarahan intraserebral menderita hipertensi terutama hipertensi tidak terkontrol. Tekanan darah yang tinggi menyebabkan peninggian tekanan hidrostatik pada arteriol dan kapiler sehingga teregang secara berlebihan. Hipertensi yang lama akan menimbulkan perubahan degeneratif berupa lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid sehingga dinding pembuluh darah menjadi lemah karena kerusakan pada tunika intima dan menimbulkan mikroaneurisma Carchot Bouchard. Perdarahan intraserebral terjadi melalui ruptur mikroaneurisma,

aterosklerotik, nekrosis pembuluh darah, ruptura vena, atau disekting aneurisma. Umunya PIS merupakan akibat dari ruptur arteri kecil, kapiler atau aneurisma arteriola Carchot Bouchard. Di dalam klinik yang penting adalah komplikasi yang dapat membatasi aliran darah atau mempengaruhi integritas dinding pembuluh darah seperti: Kalsifikasi, pada keadaan ini terjadi kekakuan dinding pembuluh darah. Trombosis/emboli dengan terjadi penyumbatan lumen pembuluh darah sehingga menyebabkan infark otak Pendarahan plak, ruptur plak ke dalam lumen pembuluh sehingga beberapa hematom dapat mempersempit lumen pembuluh darah Aneurisma/mikroaneurisma bisa terjadi ruptur aneurisma/mikroaneurisma atau terbentuk tromboemboli.

HUBUNGAN DIABETES MELITUS DENGAN STROKE

Diabetes melitus terbukti sebagai faktor risiko yang kuat untuk semua manifestasi klinik penyakit vaskuler aterosklerotik. Mekanisme peningkatan aterogenesis pada penderita DM meliputi gangguan pada profil lipid, gangguan metabolisme asam arakhidonat, peningkatan agregasi trombosit, peningkatan kadar fibrinogen, gangguan fibrinolisis, disfungsi endotel, glikosilasi protein dan adanya resistensi insulin (hiperinsulinemi). Glikosilasi (glukosa melekat ke asama amino bebas tanpa bantuan enzim) Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, diabetes melitus akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Perubahan dasar/disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kesintasan sel, yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya komplikasi vaskular diabetes. disamping itu juga terjadi hambatan pada aliran pembuluh darah dan kemudian terjadi penyumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan menyebabkan kelainan mikrovaskular berupa lokus iskemik dan hipoksia lokal. Terjadinya plak aterosklerosis pada daerah subintimal pembuluh darah yang kemudian berlanjut pada terbentuknya penyumbatan pembuluh darah. Jaringan kardiovaskular, demikian juga jaringan lain yang rentan terhadap terjadinya komplikasi kronik diabetes (jaringan saraf, sel endotel pembuluh darah dan sel retina serta lensa) mempunyai kemampuan untuk memasukkan glukosa dari lingungan sekitar ke dalam sel tanpa harus memerlukan insulin (insulin dependent) agar dengan demikian jaringan yang sangat penting tersebut mendapat pasokan cukup glukosa sebelum glukosa tersebut dipakai untuk energi di otot maupun untuk kemudian disimpan sebagai cadangan lemmak. Tetapi pada keadaan hiperglikemia kronik, tidak cukup terjadi down regulation dari sistem transportasi glukosa yang non-insulin dependen ini, sehingga sel akan kebanjiran masuknya glukosa; suatu keadaan yang disebut sebagai hiperglisolia.

Hiperglisolia kronik akan mengubah homeostastis biokimiawi sel tersebut yang kemudian berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik diabetes, yang meliputi beberapa jalur biokimiawi. - Jalur reduktase aldosa Pada jalur reduktase aldosa ini, oleh enzim reduktase aldosa dengan adanya koenzim NADPH, glukosa akan diubah menjadi sorbitol. Kemudian oleh sorbitol dehidrogenase dengan memanfaatkan NAD+, sorbitol akan dioksidasi menjadi fruktosa. Sorbitol dan fruktosa keduanya tidak terfosforilasi tetapi bersifat sangat hidrofilik sehingga lamban penetrasinya melalui membran lipid bilayer. Akibatnya terjadi akumulasi poliol intraseluler dan sel akan kembang, bengkak akibat masuknya air ke dalam sel karena proses osmotik. Sebagai akibat lain keadaan tersebut, akan terjadi pula imbalans ionik dan imbalans metabolit yng secara keseluruhan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan sel terkait. Aktivasi jalur poliol akan menyebabkan meningkatnya turn over NADPH diikuti dengan menurunnya rasio NADPH sitosol bebas terhadap NADP+ ini sangat penting untuk fungsi pembuluh darah. Menurunnya rasio NADPH sitosol terhadap NADP+ ini dikenal sebagai keadaan pseudohipoksia. Hal lain yang penting pula bahwa sitosolik NADPH juga sangat penting dan diperlukan untuk proses defens antioksidans dengan demikian pada keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang lebih besar. - Jalur pembentukan produk akhir glikasi lanjut Proses glikasi protein non-enzimatik terjadi baik intra maupun ekstraseluler. Proses glikasi ini dipercepat oleh adanya stres oksidatif yang meningkat akibat berbagai keadaan dan juga oleh peningkatan aldosa. Modifikasi protein oleh karena proses glikasi ini akan menyebabkan terjadinya cross linking protein yang terglikosilasi tersebut. Perubahan ini akan menyebabkan perubahan fungsi sel secara langsung, dapat juga secara tidak langsung melalui perubahan pengenalan oleh reseptornya atau perubahan pada tempat pengenalannya sendiri. Pengenalan produk glikasi lanjut yang berubah oleh reseptor AGE (Advanced Glycation End Product) mungkin merupakan hal yang penting

untuk kemudian terjadinya komplikasi kronik diabetes. segera setelah perikatan antara RAGE dan ligandnya akan terjadi aktivasi mitogen activated protein kinase dan transformasi inti dari faktor transkripsi NF-kB sehingga terjadi perubahan transkripsi gen terkait dengan mekanisme proinflamatori dan molekul perusak jaringan. - Jalur protein kinase Hiperglikemia intraseluler (hiperglisolia) akan menyebabkan

meningkatnya diasilgliserol (DAG) intraseluler dan kemudian selanjutnya peningkatan protein kinase C. Perubahan tersebut akan berpengaruh pada sel endotel, menyebabkan terjadinya perubahan vasoreaktivitas melalui keadaan meningkatnya endotelin 1 dan menurunnya e-NOS. Peningkatan PKC akan menyebabkan proliferasi sel otot polos dan juga menyebabkan proliferasi sel otot polos dan juga menyebabkan terbentuknya sitokin serta berbagai faktor pertumbuhan seperti TGF beta dan VEGF. PKC juga akan berpengaruh menurunkan aktivitas fibrinolisis. Semua keadaan tersebut akan menyebabkan perubahan-perubahan yang selanjutnya akan mengarah pada proses angiopati diabetik. - Jalur stres oksidatif Stres oksidatif terjadi jika ada peningkatan pembentukan radikal bebas dan menurunnya sistem penetralan dan pembuangan radikal bebas tersebut. Adanya peningkatan stres oksidatif pada penyandang diabetes akan menyebabkan terjadinya proses autooksidasi glukosa dan berbagai substrat lain seperti asam amino dan lipid. Peningkatan stres oksiatif juga akan menyebabkan terjadinya peningkatan proses glikasi protein yang kemudian berlanjut dengan meningkatnya produk glikasi lanjut. Peningkatan stres oksidatif pada gilirannya akan menyebabkan pengaruh langsung maupun tak langsung terhadap sel endotel pembuluh darah yaitu dengan terjadinya peroksidasi membran lipid, aktivasi faktor transkripsi, peningkatan oksidasi LDL dan kemudian juga pembentukan produk glikasi lanjut. Produk glikasi lajut akan memfasilitasi pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS) dan sebaliknya. ROS akan merusak lipid dan protein melalui proses oksidasi, cross linking dan fragmentasi yang kemudian memfasilitasi

meningkatnya produksi AGE. Sebaliknya produksi AGE juga akan memfasilitasi pembentukan ROS, melalui perubahan struktural dan perubahan fungsi protein (pembuluh darah, membran sel). - Inflamasi Dari pembicaraan di atas tampak bahwa berbagai mekanisme dasar mungkin berperan dalam terbetuknya komplikasi kronik DM, yaitu antara lain jalur reduktase aldosa, stres oksidatif, terbentuknya AGE atau prekursornya serta aktivasi PKC yang semuanya itu akan menyebabkan terjadinya disfungsi endotel, mengganggu dan mengubah sifat berbagai protein penting dan kemudian akan memacu terbentuknya sitokin proinflamasi serta faktor pertumbuhan eperti TGF dan VEGF. Berbagai macam sitokin seperti molekul adhesi denga jelas sudah terbukti menigkat jumlahnya pada penyandang DM. - Peptida vasoaktif Berbagai peptida berpengaruh pada pengaturan pembuluh darah, dan disangka mungkin berperan pada terjadinya komplikasi kronik DM. Insulin merupakan peptida pengatur yang terutama mengatur kadar glukosa darah. Insulin juga mempunyai peran pengatur mitogenik. Pada kadar yang biasa didapatkan pada penyandang DM dan hipertensi, insulin dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi sel seperti otot polos embuluh darah. Insulin juga mempunyai penggaruh lain yaitu sebagai hormon vasoaktif, insulin secara fisiologis melalui NO dari endotel mempunyai pengaruh terhadap terjadinya vasodilatasi pembuluh darah. Pada keadaan resistensi insulin dengan adanya hiperinsulinemia pengaruh insilin untuk terjadinya vasodilatasi akan menurun. - Prokoagulan Segera setelah teradi aktivasi PKC akan terjadi penurunan fungsi fibrinolisis dan kemudian akan menyebabkan meningkatnya keadaan prokoagulasi yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan kemungkinan penyumbatan pembuluh darah. Pada penyandang DM dengan adanya hiperglikemia melalui berbagai mekanisme akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap pengaturan berbagai macam fungsi trombosit, yang kemudian juga akan menambah kemungkinan terjadinya keadaan prokoagulasi pada penyandang DM.

Hiperglikemia kronis akan menimbulkan glikosilasi protein-protein di dalam tubuh. Bila hal ini berlangsung hingga berminggu-minggu adakan terjadi AGE (advanced glcosylated end products) yang toksik untuk semua protein. AGE protein yang terjadi diantaranya terdapat pada reseptor makrofag dan reseptor endotel. AGE reseptor di makrofag dan reseptor endotel. AGE reseptor di makrofag akan meningkatkan produksi TNF, IL-1. IGF-1. Produk ini akan memudahkan proliferasi sel dan matriks pembuluh darah. AGE reseptor yang terjadi di endotel menaikkan produksi faktor jaringan endotel-1, yang dapat menyebabkan konstriksi pembuluh darah dan kerusakan pembuluh darah.

HUBUNGAN INFLAMASI, INFEKSI DENGAN STROKE

Inflamasi dan infeksi berkaitan dengan aterogenesis, khusunya melalui aktivasi dan proliferasi makrofag, sel endotel, dan sel otot pembuluh darah. Inflamasi dan infeksi ditandai dengan dikeluarkannya, berbagai macam protein plasma ke dalam darah antara lain CRP (C-reactive protein) yang

melipatgandakan sinyal sitokin. Kadar CRP berkorelasi langsung dengan tingkat keparahan aterosklerosis koroner, serebral, dan arteri perifer. Dari 2 penelitian yang independen, disimpulkan bahwa kadar CRP dapat memprediksikan risiko infark miokard dan stroke di kemudian hari. Selain CRP, zat lain yang meningkat pada inflamasi adalah molekul adhesi seperti ICAM-1, VCAM-1, s-selektin. Zat-zat ini merangsang penempelan monosit pada dinding endotel dimana hal ini merupakan tahap awal dari proses aterogenesis. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa molekul adhesi ini dapat menjadi faktor risiko yang berdiri sendiri untuk penyakit kardiovaskuler dan stroke, dan yang secara statistik paling bermakna menunjukkan hubungan dengan derajat aterosklerosis adalah kadar VCAM-1. Infeksi kronis dari beberapa virus dan bakteri diduga berhubungan dengan proses aterosklerosis. Hal ini ditunjang dengan ditemukannya beberapa virus dan bakteri seperti Cytomegalovirus, Chlamydia pneumonia, dan Helicobacter pylori pada plak aterosklerosis. a. Malaria dan stroke

Malaria Definisi: adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemmukannya bentuk aseksual di dalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia, dan splenomegali. Dapat berlangsung akut ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. Patogenesis dan patologi Setelah melalui jaringan hati P.falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk ke dalam sel RES di limpa dan mengalami fagositosis serta filtrasi merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang biak secara aseksual dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit (EP) inilah yang bertanggung jawab dalam patogenesa terjadinya malaria pada manusia. Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor penjamu (host). Yag termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit. Sedagkan yang masuk dalam faktor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi, dan status imunologi. Parasit dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu pada 24 jam I dan stadium matur pada 24 jam ke II. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring-erithrocyte surface antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membran EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan Histidin Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya.

Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, aka dilepaskan toksin malaria berupa GPI yaitu glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF- dan interleukin (IL-1) dari makrofag. Sitoadherensi. Sitoadherensi adalah perlekatan antara EP stadium matur pada permukaan endotel vaskuler. Perlekatan terjadi dengan cara molekul adhesif yang terletak di permukaan knob EP melekat dengan molekul-molekul adhesif yang terletak di permukaan endotel vaskuler.

Sekuestrasi. Sitoadheren menyebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut EP matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P.falciparum yang mengalami sekuestrasi karena pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi teradi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti dengan hepar dan ginjal, paru, jantung, usus, dan kulit. Sekuestrasi ini diduga memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat. Rosetting. Rosetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang non-parasit. Plasmodium yang dapat melakuakn sitoadherensi juga yang dapat melakukkan rosetting. Rosetting menyebabkan obstruksi aliran darah lokal/dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya sitoadheren.

Sitokin. Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit, dan makrofag setelah mendapat stimulasi dari malaria toksin (LPS, GPI). Sitokin ini antara lain TNF-, IL-1, IL-6, IL-3, limfotoksin, INF-. Dari beberapa penelitian penderita malaria serebral yang meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNF- yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa kompikasi kadar TNF-, IL-1, IL-6 lebih rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karena juga dijumpi penderita malaria yang mati dengan TNF normal/rendah atau pada malaria serebral yang hidup degan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga adanya peran dari neurotransmitter yang lain sebagai free radikal dalam kaskade ini seperti nitrit-oxide sevagai faktor yang penting dalam patogenesa malaria berat.

Nitrit oksida. Akhir-akhir ini banyak diteliti peran mediator nitrit oksid (NO) baik dalam menumbuhkan malaria berat terutama malaria serebral, maupun sebaliknya NO justru memberikan efek protektif karena membatasi perkembangan parasit dan menurunkan ekspresi molekul adhesi. Diduga produksi NO lokal di organ terutama otak yang berlebihan dapat mengganggu fungsi organ tersebut. Masalah peran sitokin proinflamasi dan NO pada patogenesis malaria berat masih kontroversial. Gambaran patologi Studi patologi malaria hanya dapat dilakukan pada malaria falsiparum karena kematian biasanya disebabkan oleh P.falciparum. selain perubahan jaringan dalam patologi malaria yang penting ialah keadaan mikrovaskular dimana parasit malaria berada. Beberapa organ yang terlibat antara lain otak, jantung-paru, hati-limpa, ginjal, usus dan sumsum tulang. Pada otopsi dijumpai otak yang membenekak dan pedarahan petekie yang multipel pada jaringan putih (white matter). Perdarahan jarang pada substansi abu-abu. Tidak dijumpai herniasi. Hampir seluruh pembuluh kapiler dan vena penuh dengan parasit. b. Meningitis tuberkulosis dan stroke

Patogenesis dan patologi Meningitis tuberkulosis biasanya merupakan reaktivai dari infeksi laten Mycobacterium tuberculosis. Infeksi primer,biasanya didapatkan dari inhalasi

droplet yang mengandung basil, yang mungkin diasosiasikan dengan diseminasi metastase melalui darah dari basil yang berasal dari paru- paru ke meningens dan permukaan otak. Disini organisme tetap dalam keadaan dorman dalam tuberkel yang dapat ruptur ke ruang subarakhnoid di lain waktu, yang mengakibatkan meningitis tuberkulosis. Penemuan utama pada eksudat di basal meningens yag mengandung sel mononuklear. Tuberkel dapat dilihat di meningens dan permukaan otak. Ventrikel dapat membesar sebagai akibat dari hydrocephalus dan permukaannya menunjukkan eksudat ependymal atau ependymitis granular. Arteritis dapat menimbulkan infark serebral dan inflamasi basal dn fibrosis dan mengkompresi saraf kranial. Infeksi awal dari tuberkulosis mulai dari masuknya basil ke dalam paruparu melalui inhalasi droplet yang infeksius. Kemudian bakteri berkolonisasi di makrofag pada alveoli. Selama perkembangan aktif penyakit paru, bakteri dapat berdiseminasi ke nodus limfatikus lokal dan pembuluh darah yang akan diedarkan ke sirkulasi sistemik. Bakteriemi ekstensif yang menyertai diseminata dari paru dapat meningkatkan kemungkinan timbulnya fokus subkortikal pada SSP. Oleh karena itu, semakin tinggi basil dalam sistem sirkulasi meningkatkan kemungkinan invasi SSP dan meningitis TB. SSP dilindungi dari sirkulasi sistemik oleh sawar darah otak. Sawar ini terdiri dari sel endotel mikrovaskular otak manusia yang berhubungan secara tight junction. Bagian basal dari sel endotelial ini disokong oleh prosesus astrosit yang menyeingi matriks ekstraseluler. Transport paraseluler dibatasi oleh adanya tight junction endotelial. Sawar tersebut membuat molekul hidrofilik yang terlalu besar dan patogen yang bersirkulasi tidak dapat masuk. SSP juga dilindungi oleh LCS yang menyediakan pemisahan ruang antara sistem sirukulasi dan LCS dari pleksus koroideus. Sel yang melapisi sawar darah-LCS mempunyai sifa yn sama dengan sel yang melapisi BBB tetpi dengan tight junction yang lebih baik. Meskipun terdapat sawar terdapat beberapa patogen bakteri dan virus yang dapat melewati BBB dan menimbulkan meningitis dan ensefalitis. Pengertian terkini tentang patogenesis meningitis TB berasal dari Arnold Rich dan Howard McCordock yang melakukan otopsi dan menyatakan bahwa mayoritas pasien meningitis TB

terdapat

fokus

kaseosa

di

parenkim

otak

atau

meningensnya.

Rich

mengumumkkan bahwa fokus tersebut dinamakan fokus Rich, terbentuk di sekeliling bakteri yang didepositkan di meningens dan parenkim otak selama fase awal bakteriemi. Kemudian fokus tersebut dapat ruptur dan menimbulkan diseminasi bakteri ke ruang subarakhnoid yang menyebabkan meningitis inflamasi dan difus. Karena meningens dan parenkim otak secara anatomi dan fisiologi terlindung dari sirkulasi sistemilk oleh BBB, mekanisme invasi awal basil ke sawar harus diuraikan secara teori M. tuberculosis dapat melewati BBB sebagai organisme yang bebas atau via monisit/neutrofil yang terinfeksi. Sedangkan hipotesis selanjutnya menyatakan bahwa pengangkutan seluler tersebut itu sangatlah terbatas di SSP sebelun invasi oleh patogen. Inokulasi intravena dari M. tuberculosis bebas atau M.bovis di babi guinea dan kelinci telah menunjukkan adanya produksi invasi SSP dengan bukti pembentukan tuberkuloma di parenkim otak. Vaskulitis yang signifikan yang diasosiaikan dengan tuberkulosis SSP menyarankan bahwa M. tuberculosis bersemayam, sedikitnya pada awalnya di sel endotel yang melapisi mikrovaskular. Penyebaran M. tuberculosis ruang subarakhnoid melalui pecahhnya fokus Rich memacu respons inflamasi yang kuat pada sel T. Penelitian dari level sitokin di LCS pada pasien dengan meningitis TB menemukan level yang meningkat dari TNF- dan IFN-. Manifestasi klinis dari tuberkulosis SSP secara primer merupakan konsekuensi dari inflamasi yang berkembang terhadap respons dari M. tuberculosis di SSP. Obstruksi LCS oleh infiltrat inflamasi menimbulkan

hydrocephalus dan vaskulitis berkontribusi terhadap terjadinya infark yang menyebabkan potensial kerusakan saraf yang tidak dapat diperbaiki.

Jadi dapat disimpulkan bahwa infeksi dimuli dengan TB paru bakteriemia jika daya tahan tubuh jelek menyebar ke otak dan selaput otak.

Droplet Infection

Primary Focus

Bacteriemia

Meninges and brain parenchym Focus Rich

Rupture into SA Space

Adhesi

Vasikutis

Encephalitis

Basal Cistern

Interpendicular Fosa

Stroke

Cerebral edema

Hidrosefalus

Cranial Nerve Palsy

ICP

c. Vaskulitis Peradangan dinding pembuluh darah yang disebut vaskulitis ditemukan dalam berbagai keadaan klinis. Semua jenis pembuluh darah di hampir semua organ dapat terkena. Gambaran klinis sering mencakup gejala dan tanda konstitusi seperti demam, myalgia, atralgia, dan malaise. Dua mekanisme tersering vaskulitis adalah peradangan imunologik dan invasi langsung dinding pembuluh darah oleh patogen infeksi. Infeksi dapat secara tidak langsung memicu vaskulitis noninfeksi dengan menyebabkan pembentukan kompleks imun dan memicu reaksi-silang. Perlu diketahuinya perbedaan antara mekanisme infeksi dan mekanisme imunologik untuk memilih terapi yang tepat. a. Kompleks imun Lesi vaskular mirip yang ditemukan pada penyakit eksperimental yang diperantarai oleh kompleks imun seperti fenomena arthus lokal dan serum sickness. Reaktan imun dan komplemen dapat ditemukan di serum atau pembuluh pasien dengan vaskulitis. Hipersensitivitas terhadap obat menyebabkan sekitar 10% lesi kulit vaskulitik akkibat pengendapaan kompleks imun di pembuluh darah. Sebagian, misalnya penisilin adalah protein serum konjugat, sementara yang lain (streptokinase) adalah protein asing. Pada keduanya terjadi pengendapat

kompleks antigen-antibodi pada dinding pembuluh darah. Bukti paling meyakinkan datang dari vaskulitis yang terkait dengan infeksi virus, terutama hepatitits. Pada sebagian pasien dengan vaskulitis, terutama poliarteritis nodosa, sering ditemukan antigen hepatitis B (HbsAg) dan kompleks imun HbsAg dalam serum dan dengan komplemen di lesi vaskular. Infeksi Hepatittis C kronis dapat menyebabkan glomerulonefritis dan antibodi imunoglobulin anti HCV dapat ditemuan di glomerulus. b. Antibodi antisistoplasma Neutrofil Serum dari banyak pasien dengan vaskulitis bereaksi dengan antigen sitoplasma pada neutrofil yang menunjukan adanya autoantibodi antisitoplasma neuttrofil (ANCA). ANCA terdiri atas sekelompok heterogen autoantibodi yang ditujukan pada enzim yang terutama ditemukan di dalam granula azurofil

atau primer di neutrofil lisososm monosit dan sel endotel. Salah satunya memperlihatkan lokalisasi pewarnaan (c-ANCA) dalam sitoplasma, antigen yang paling sering menjadi sasaran adalah proteinase-3 (PR-3), suatu konstitiuen granula neutrofil. ANCA berfungsi sebagai penanda diagnostik kuantitatif yang bermanfaat untuk penyakit ini, dan ditemukannya autoantibodi ini mendorong

dipisahkaknnya sekelompok penyakit ini menjadi ANCA dependent vasculitis. c. Antibodi antisel endotel Antibodi terhadap sel endotel yang mungkin dipicu oleh defek dalam pengendalian imun, dapat mempermudah timbulnya vaskulitis, seperti vaskulitis yang terjadi pada SLE dan Kawasakis Disease Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan stroke Lupus eritematosus sistemik (LES) atau systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan prototipe penyakit autoimun yag ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Patogenesis Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap se T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Sebagai akibat muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas sebagian dari yang diduga termask di daamnya ialah hormon seks, sinar UV, dan berbagai macam infeksi. Pada LES, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap atigen yang terutama terletak pada nukleoplasma, antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks autoantigen ini ialah meraka tidak tissue-speific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA akan membentuk kompleks imun yang

beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompeks imun pada LES terganggu. Dapat berupa gangguan kirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ terebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi kompleen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan, seperti ginjal, sendi pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya. SLE merupakan penyakit autoimun tersering sebagai penyebab

ensefalopati. SLE terjadi 9 kali lebih sering pada wanita dibanding pria, onset mulai dari usia 10 dan 40 tahun. Keterlibatan neurologis dilaporkan pada 37-75% pasien. manifestasi klinis yang terkait dengan sistem saraf adalah vasulitis visceral dan trombositopeni. Penemuan neuropatologis berupa degenerasi fibrinoid, degenerasi arteriol dan kapiler, mikroinfark dan perdarahan intraserebral. True vasculitis pada pembuluh darah otak jarang. SLE dihubungkan dengan vaskulopati yang mengenai pembuluh darah otak yang kecil dan menyebabkan terjadinya multiple mikroinfark. Arteritis takayasu dan stroke Vaskulitis granulomatosa pada arteri sedang sampai besar ini

dilaporkanoleh Takayasu pada tahun 1908 dan ditandai terutama oleh gangguan mata dan melemahnya secara mencolok nadi di ekstremitas atas (pulseless disease), akibat penebalan fibrosa aorta, terutama arkus aorta dan cabangnya, disertai penyempitan atau obliterasi total bagian pangkal atau distal. Penyakit tampaknya lebih sering terjadi pada perempuan berusia kurang dari 40 tahun. Penyebab dan patogenesis tidak diketahui walaupun dicurigai adanya mekanisme imun. Gambaran klinis. Pada awal perjalanan penyakit, gejala bersifat nonspesifik, termasuk rasa lelah, penurunan berat badan, dan demam. Seiring dengan perkembangan, muncul gejala vaskular yang mendominasi gambaran

klinis. Gejala tersebut mencakup penurunan mencolok tekanan darah dan nadi lebih lemah di ekstremitas atas dan ekstremitas bawah disertai rasa dingin atau kebas jari tangan; gangguan mata, termasuk gangguan penglihatan, perdarahan retina, kebutaan total; serta defisit neurologik. Keterlibatan aorta yang lebih distal dapat menyebabkan klaudikasio tungkai; keterlibatan arteris pulmonalis dapat menyebatkan hipertensi pulmonal. Penyempitan arteria renalis dapat

menyebabkan hipertensi sistemik pada sekitar 50% kasus. Perjalan penyakit bervariasi. Pada sebagian orang perkembangan berlangsung pesat, tetapi [ada yang lain tahapan berlangsung lebih lambat selama 1 sampai 2 tahun sehingga kesintasan jangka panjang dapat tercapai walaupun kadang-kadang dengan sisa defisit penglihatan dan neurologik. Morfologi. Arteritis Takayasu biasanya mengenai arkus aorta, tapi ada sepertiga kasus penyakit ini juga mengenai bagian aorta lain dan cabangnya (sering sampai jarak tertentu), dan pada sebagian kasus arteria pumonalis juga terlibat. Perubahan morfologi makroskopik adalah pada sebagian besar kasus, penebalan iregular dinding aorta atau pembuluh pembuluh cabang disertai pengeriputan intima. Apabila arkus aorta terkena, orifisium arteri besar yang mengaliri bagian atas tubuh dapat sangat menyempit atau bahkan mengalami obliterasi oleh penebalan intima. Lesi ini yang menyebabkan melemahnya nadi sehingga dahulu penyakit ini disebut pulseless disease. Arteria koronaria dan renalis juga dapat terkena. Secara histologis, perubahan berkisar dari serbukan sel mononukleus di tunika adventisia disertai perselubungan perivaskular vasa vasorum, sampai peradangan sel mononukleus intens di tunika media, sampai peradangan granulamatosa, penuh dengan sel raksasa dan nekrosis bebercak di tunika media. Beberapa kasus mungkin tidak dapat diberdakan dengan arteritis raksasa (temporalis). Oleh karena itu, perbedaan di antara berbagai lesi sel raksasa aktis di aorta terutama didasarkan pada usia pasien, dan sebagian besar lesi sel raksasa di aorta pada pasien muda disebut arteritis Takayasu. Kemudian sering dengan perjalanan penyakit atau terapi kortikosteroid, terjadi fibrosis kolagenosa yang menganai seluruh lapisan dinding pembuluh, tetapi terutama intima, disertai sebukan limfosit. Keterlibatan pangkal aorta dapat menyebabkan dilatasi,

menimbulkan insufisiensi katup aorta. Penyempitan ostium koroner dapata menyebabkan infark miokardium.

DESEREBRASI

Postur deserebrasi adalah postur tubuh yang abnormal yang melibatkan lengan dan tungkai menjadi lurus, ibu jari kaki menjadi ke bawah, dan kepala dan leher melengkung ke belakang. Otot mernjadi keras dan rigid. Postur ini terjadi pada kerusakan yang parah di otak. Baik formasi retikuler pontine dan nukleus vestibular lateral tetapi di bawah otak tengah, menyebabkan peningkatan dramatis dari tonus ekstensor, yang disebut rigiditas deserebrasi. Lesi di atas otak tengah tidak menyebabkan rigiditas deserebrasi. Dekortikasi

Pasien dengan dekortikasi mengalami fleksi lengan atau menekuk kedalam pada dada, tangan mengepal, dan ekstensi tungkai dan kaki berputar ke dalam. Terdapat dua bagian pada postur dekortikasi Pertama disinhibisi dari red nucleus dengan fasilitasi dari traktus rubrospinal. Traktus rubrosipnal memfasilitasi motor neurons di medula spinalis cervical yang menyuplai otot-otot fleksor pada ekstremitas atas. Traktus rubrospinal dan traktus retikulospinal medullar yang

menyebabkan fleksi lebih berat dari vestibulospinal medial dan lateral dan traktus retikulospinal pontine menyebabkan ekstensi pada ekstremitas atas.

Komponen kedua postur dekortikasi adalah disrupsi dari traktus kortikospinalis lateral yang memfasilitasi motor neurons di medullla spinalis bawah yang menyuplai otot-otot fleksor pada ekstremitas bawah. Karena traktus kortikospinal terinterupsi, retikulospinal pontine dan vestibulospinal lateral dan medial yang menyebabkan ekstensi secara hebat menghalangi retikulospinal medullar yang menyebabkan fleksi. Efek pada kedua traktus (kortikospinal dan rubrospinal) yang terkena lesi

diatas red nucleus-lah yang menyebabkan karakteristik postur fleksi pada ekstremitas atas dan postur ekstensor pada ekstremitas bawah. Postur dekortikasi mengindikasikan bahwa ada kerusakan di area termasuk hemisfer serebral, kapsula interna dan thalamus. Ini juga dapat mengindikasikan kerusakan pada otak tengah. Saat postur dekortikasi masih merupakan tanda adaya kerusakan parah pada otak, postur deserebrasi biasanya mengindikasikan kerusakan yang lebih parah lagi pada traktus rubrospinal dan oleh sebab itu, red nucleus juga terlibat dan mengindikasikan lesi lebih bawah pada batang otak. Deserebrasi

Pada postur deserebrasi kepala melengkung ke belakang, lengan terekstensi pada kedua sisi, dan tungkai terekstensi. Tanda khas adalah siku yang ekstensi. Lengan dan tungkai terekstensi dan terotasi kedalam. Pasien kaku dengan gigi dikatupkan. Postur deserebrasi mengindikasikan kerusakan batang otak, terutama di bawah level dari red nucleus. Ini terjadi pada orang dengan lesi atau kompresi pada otak tengah dan lesi di cerebellum. Progresi dari postur dekortikasi ke deserebrasi merupakan indikasi dari herniasi otak uncal atau tonsilar.

KLASIFIKASI HUNT AND HESS PADA PERDARAHAN SUBARAKHNOID Klasifikasi Hunt dan Hess

Sistem skoring Hunt dan Hess meliputi: Grade 1: asimtomatik atau dengan nyeri kepala ringan, kuduk kaku (stiff neck) Grade 2: nyeri kepala sedang sampai berat, kaku kuduk (nuchal rigidity), tanpa tanda neurologis fokal atau lateralisasi Grade 3: drowsiness, confusion dan defisit neurologis fokal ringan Grade 4: persisten stupor, rigiditas deserebrasi awal dan gangguan vegetatif Grade 5: koma dan atau rigiditas deserebrasi

(sumber: Principles of neurology, 6th edition)

Sistem skoring WFNS meliputi:


Grade 1 - Glasgow Coma Score (GCS) of 15, tanpa gangguan motorik Grade 2 - GCS of 13-14, tanpa gangguan motorik Grade 3 - GCS of 13-14, terdapat gangguan motorik Grade 4 - GCS of 7-12, tanpa / terdapat gangguan motorik Grade 5 - GCS of 3-6, tanpa / teradapat gangguan motorik

Sistem skoring Fischer (gambaran CT scan) meliputi:


Group 1 Tidak ditemukan gambaran perdarahan Group 2 Terdapat gambaran perdarahan subarakhnoid yang difus, tanpa bekuan darah, tanpa lapisan darah lebih dari 1mm Group 3 bekuan darah yang terlokalisasi dan/atau lapisan darah yang vertikal setebal 1 mm atau lebih Group 4 tanpa gambaran perdarahan subarakhnoid, tetapi terapat bekuan darah intraserebral atau intraventrikular. Sistem skoring Hunt and Hess dan WFNS dapat menentukan prognosis

pasien. klasifikasi Fischer telah digunakan untuk memprediksi gejala seperti vasospasme serebral yang merupakan komplikasi terberat dari SAH. Semua sistem skoring tersebut dapat digunakan untuk menentukan indikasi dan waktu yang tepat untuk tindakan operasi. Untuk penilaian derajat keparahan dari SAH, sistem skoring terebut harus diperhatikan kondisi medis secara keseluruhan dan lokasi serta ukuran dari aneurisma yang mengalami ruptur.

Anda mungkin juga menyukai