Anda di halaman 1dari 24

Penyakit Jantung Koroner (PJK)

1.1 Definisi penyakit jantung koroner


Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung akibat penyempitan atau
penyumbatan pembuluh darah koroner. Penyempitan atau penyumbatan ini dapat menghentikan
aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri. Dalam kondisi lebih parah
kemampuan jantung dalam memompa darah dapat hilang.1,2
Menurut WHO, penyakit jantung koroner adalah gangguan pada miokardium karena
ketidakseimbangan antara aliran darah koroner dengan kebutuhan oksigen miokardium sebagai
akibat adanya perubahan pada sirkulasi koroner yang dapat bersifat akut (mendadak) maupun
kronik (menahun).1,2

1.2 Epidemiologi
Secara global, penyakit jantung koroner adalah penyebab kematian nomor satu didunia

dengan lebih dari 7 juta orang meninggal akibat penyakit jantung koroner setiap tahunnya.

Penyakit jantung koroner menyumbang 12,8% dari seluruh kematian di dunia. Di Eropa, setiap 1

dari 6 pria dan setiap 1 dari 7 wanita akan meninggal karena penyakit jantung koroner.3,4,5

Insidensi infark miokard dengan ST elevasi bervariasi dari beberapa negara. Di Swedia

kejadian infark miokard dengan STelevasi adalah 66/100.000/tahun. Mortalitas infark miokard

dengan ST elevasi dipengaruhi oleh usia, kelas Killip, selang waktu untuk mendapat terapu,

riwayat infark miokard, diabetes mellitus, gagal ginjal, jumlah arteri koroner yang terganggu,

fraksi ejeksi jantung dan penatalaksanaan saat serangan. Angka mortalitas infark miokard dengan

ST elevasi pada pasien yang dirawat inap berkisar antara 6-14%.4,5


1.3 Etiologi dan faktor risiko

Etiologi dari sindrom koroner akut adalah 90% akibat adanya trombus yang menyumbat

pada arteri koroner yang aterosklerosis. Diyakini faktor utama pemicu terjadinya trombosis

koroner adalah plak yang ruptur dan erosi. Derajat sumbatan arteri koroner akan mempengaruhi

gejala klinis yang timbul. Infark miokard dengan ST elevasi terjadi akibat penyumbatan total

pembuluh darah koroner dalam jangka waktu yang lama.3,6,7

Etiologi lain dari sindrom koroner akut adalah emboli arteri koronaria, anomali arteri

kongenital seperti aneurisma arteri koroner, spasme koronaria terisolasi, arteritis trauma,

gangguan hematologik, diseksi aorta, oklusi arteri koroner akibat vaskulitis, ventrikel hipertrofi,

dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.3,6

Secara garis besar faktor risiko penyakit jantung koroner dapat dibagi menjadi faktor

risiko yang dapat diubah (modifiable) dan faktor risiko yang tidak dapat diubah (nonmodifiable).

Faktor risiko yang dapat diubah meliputi :

a. Hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya PJK. Perubahan hipertensi khusunya

pada jantung disebabkan karena:3,6

1. Meningkatkan tekanan darah

Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung sehingga

menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri. Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi.

2. Mempercepat timbulnya arterosklerosis

Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menambah beban pembuluh darah arteri. Arteri

mengalami proses pengerasan menjadi tebal dan kaku sehingga mengurangi elastisitasnya. Tekanan

darah yang tinggi dan menetap juga akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh

darah arteri koronaria sehingga memudahkan terjadinya pengendapan plak pada arteri koroner.
b. Hiperkolesterolemia

Kenaikan kadar kolestrol berbanding lurus dengan peningkatan terjadinya serangan PJK.

Peningkatan LDL (Low Density Lipoprotein) dan penurunan HDL (High Density Lipoprotein)

merupakan faktor resiko yang penting pada PJK. Ketika terjadi kadar LDL yang tinggi, LDL dapat

terakumulasi pada subendotel dan mengalami modifikasi yang pada akhirnya akan menyebabkan

kerusakan tunika intima dan menginisiasi terbentuknya plak aterosklerosis.

c. Merokok

Zat-zat toksik dalam rokok yang masuk ke peredaran darah akan menyebabkan penyempitan

pembuluh darah. Racun nikotin dari rokok akan menyebabkan darah menjadi kental sehingga

mendorong percepatan pembekuan darah. Platelet dan fibrinogen meningkat sehingga sewaktu-waktu

dapat menyebabkan terjadinya trombosis pada pembuluh koroner yang sudah menyempit. Selain itu,

rokok dapat meningkatkan oksidasi LDL, menurunkan kadar HDL, menyebabkan kerusakan endotel

akibat stres oksidatif dalam kandungan rokok. Nikotin dalam asap rokok dapat menstimulasi aktivitas

saraf simpatis sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah.

d. Diabetes Melitus

Pada pasien diabetes, terbentuknya plak aterosklerosis dicetuskan oleh disfungsi endotel,

terganggunya aktivitas antifibrinolitik, serta meningkatnya fagositosis LDL oleh makrofag.

e. Obesitas dan kurang akitivitas fisik

Obesitas dapat meningkatkan beban jantung, ini berhubungan dengan PJK terutama karena

pengaruhnya pada tekanan darah, kadar kolestrol darah dan juga diabetes. Melakukan aktivitas fisik

atau olah raga secara teratur dapat menurunkan berat badan sehingga lemak tubuh berkurang serta

secara bersamaan mengendalikan kadar kolesterol dan tekanan darah, aktivitas fisik dapat

meningkatkan sensitivitas insulin serta merangsang pengeluaran NO.


f. Stres

Stres dapat memicu pengeluaran hormon adrenalin dan katekolamin yang tinggi yang dapat

membuat spasme arteri koroner sehingga suplai darah ke otot jantung terganggu.

Faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi :3,4,5,6

a. Umur

Semakin bertambahnya usia, semakin tinggi risiko PJK dan pada aumumnya dimulai pada

usia 40 tahun ke atas. Menurut data yang dilaporkan American Heart Association, 1 dari 9 wanita

berusia 45-60 tahun menderita PJK dan 1 dari 3 wanita berusia diatas 60 tahun menderita PJK.

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin laki-laki lebih berisiko terkena PJK dibandingkan dengan wanita. Tetapi pada

wanita yang sudah menopause risiko PJK meningkat dan hampir tidak didapatkan perbedaan dengan

laki-laki. Hal ini berhubungan dengan penurunan kadar hormon estrogen yang berperan penting

dalam melindungi pembuluh darah dari kerusakan yang memicu terjadinya aterosklerosis.

c. Genetik

Riwayat penyakit jantung di dalam keluarga pada usia di bawah 55 tahun merupakan salah

satu faktor risiko yang perlu dipertimbangkan.

1.4 Patogenesis

Disfungsi endotel merupakan proses primer terjadinya arterosklerosis yang dapat

disebabkan baik karena bahan kimia maupun stress hemodinamik. Akibat terjadinya disfungsi

endotel maka akan menyebabkan (1) rusaknya peran endotel sebagai permeability barier, (2)

melepaskan sitokin inflamasi, (3) meningkatkan produksi molekul adhesi yang merekrut

leukosit, (4) mengganggu pelepasan substansi vasoaktif ( prostasiklin, NO), dan (5) mengganggu

antitrombus. Efek yang tidak diinginkan ini menjadi dasar terjadinya arteroslerosis.8
Disfungsi endotelium menyebabkan endotel tidak lagi memiliki barier yang dapat

menghambat masuknya lipoprotein ke dalam pembuluh darah arteri. Peningkatan permeabilitas

dari endotel membuat LDL masuk ke intima,selanjutnya LDL akan terakomodasi di ruang

subendotel dengan berikatan dengan matriks ekstraseluler yaitu proteoglikan. LDL tersebut akan

dioksidasi oleh ROS (Reactive Oxygen Species) dan pro enzym yang dihasilkan oleh makrofag

dan sel otot pembuluh darah sehingga menjadi mLDL (modified LDL). mLDL ini akan

merangsang rekrutmen dari leukosit ke ruang sub intima (terutama monosit dan limfosit T)

melalui 2 cara yaitu (1) ekspresi LAM ( leukocyte adhesion molecule) pada pada permukaan

endotel non adhesi, (2) signal kemoatraktan [MCP 1, IL 8, interferon inducible protein 10).

Masuknya monosit ke dalam ruang sub intima, monosit berdiferensiasi menjadi makrofag dan

memakan mLDL melalui reseptor scavenger (pada makrofag) dan membentuk sel busa (foam

cell). Sel busa menghasilkan beberapa faktor yang dapat merekrut sel otot. Sebagai contoh sel

busa menghasilkan platelet derived growth factor (PDGF) yang menyebabkan terjadinya migrasi

sel otot dari internal elastic lamina ke ruang sub intima, tempat dimana sel otot bereplikasi. Sel

busa juga melepaskan sitokin dan faktor pertumbuhan seperti TNF , IL-1, Fibroblast growth

factor, dan TGF yang akan menstimulasi sel otot berproliferasi dan menghasilkan protein

matriks ekstraseluler (kolagen dan elastin) dan lebih lanjut mencetuskan pelepasan sitokin yang

mendorong dan mempertahankan inflamasi pada lesi. Adanya sel otot yang menghasilkan

kolagen akan membentuk fibrous cap. Pembentukan fibrous cap dan deposisi matriks

ekstraseluler ini sebenarnya merupakan proses sintesis dan degradasi yang saling bergantian

yaitu dimana (1) sintesis yaitu sel otot merangsang kolagen melalui TGF dan PDGF, dan (2)

degradasi yaitu T- lymphocyte derived cytokine IFN menghambat sintesis kolagen dan lebih

lanjut sitokin akan merangsang sel busa untuk menghasilkan MMP (matrix metalloproteinase)
yang akan melemahkan fibrous cap sehingga mudah ruptur. Proses sintesis dan degrasi ini terus

berlanjut tanpa menyebabkan gejala. Kematian dari sel otot dan sel busa baik karena stimulasi

inflamasi yang berlebihan maupun karena apoptosis menyebabkan lemak dan debris seluler

membentuk lipid core. Ukuran dari lipid core memiliki peranan biomekanikal untuk stabilnya

plak. Selain itu deposisi dan distribusi fibrous cap merupakan hal yang penting dalam intergritas

plak, jika fibrous cap tebal maka plak tersebut akan jarang ruptur yang sering kita sebut plak

stabil, tetapi apabila fibrous cap tipis akan cenderung menyebabkan ruptur dari plak.8

Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi, dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi

terbentuknya trombus.Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan

faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin

dan fibrin. Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi pletelet dan pletelet

melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan

pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya

hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermiten, pada angina

tak stabil. Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil.

Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet

berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan meenyebabkan spasme. Spasme

yang terlokalisir seperti pada angina printzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil.

Adanya spasme seringkali terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai peran dalam

pembentukan trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan

elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan

stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.8


Adanya penyumbatan dari pembuluh darah koroner akan menyebabkan terjadinya iskemi

miokardial dimana akan (1) meningkatkan respon simpatis sehingga menyebabkan diaforesis,

peningkatan tekanan darah dan nadi, (2) disfungsi otot papillary sehingga menyebabkan mitral

regurgitasi, (3) penurunan compliance diastol yang akan menyebabkan suara jantung S4 dan

menyebabkan kongesti pulmoner sehingga timbul rales, (4) penurunan fungsi sistolik yang

menyebabkan dyskinetic apical impulse.8

Gambar 1. Patogenesis PJK8

1.5 Diagnosis
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik,

elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien dengan

keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil,

Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA.9,10

Anamnesis. Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal

(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa

tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular,
bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten

(>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis,

mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering

dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan

(indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit

diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau

usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia.

Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai

angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat

penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak

prediktif terhadap diagnosis SKA.9,10

Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan

karakteristik sebagai berikut :9,10

1. Pria

2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer / karotis)

3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard

4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia diabetes mellitus, riwayat

PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah

menurut NCEP (National Cholesterol Education Program).

Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada non

kardiak) :

1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)

2. Nyeri abdomen tengah atau bawah


3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel kiri atau

pertemuan kostokondral.

4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi

5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik

6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah

Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen sebagai keluhan SKA, maka

terminologi angina dalam dokumen ini lebih mengarah pada keluhan nyeri dada tipikal. Selain

untuk tujuan penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan untuk menapis kontra indikasi

terapi fibrinolisis seperti hipertensi, kemungkinan diseksi aorta (nyeri dada tajam dan berat yang

menjalar ke punggung disertai sesak napas atau sinkop), riwayat perdarahan, atau riwayat

penyakit serebrovaskular.9,10

Gambar 2. Lokasi nyeri dada pada serangan angina10


Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,

komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup

mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa

untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral

akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan

terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan

regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas

yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.

Pemeriksaan elektrokardiogram. Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain

yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin

sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9

sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia

dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina

yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10

menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang

setiap keluhan angina timbul kembali.

Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi,

yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi

segmen ST yang persisten (20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan

atau tanpa inversi gelombang T. Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada

2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk

pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai

ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang
elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia 40 tahun adalah 0,2 mV, pada pria usia <40

tahun adalah 0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead

V1-3, tanpa memandang usia, adalah 0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi

segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah 0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang

0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah 0,5 mV. Depresi segmen

ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi,

dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-

V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet)

baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena

itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi

sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.

Tabel 1. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG9


Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan LBBB

baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST 1 mm pada sadapan dengan

kompleks QRS positif dan depresi segmen ST 1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti

ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas

rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan

dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.

Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang

persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau
Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia

adalah sebesar 0,05 mV di sadapan V1-V3 dan 0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan

depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan

dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris 0,2 mV

mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak sesuai

dengan kriteria EKG yang diagnostic dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.

Pemeriksaan marka jantung.9 Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan

marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T

sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB.

Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat

dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner).

Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia,

trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan

nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas,

penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal.

Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap

terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I

mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T. Dalam keadaan nekrosis miokard,

pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah

awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA

tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah

pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan

kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang
singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk

mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural.

Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral. Pemeriksaan di ruang

darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care testing) pada umumnya berupa tes

kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care

testing sebagai alat diagnostic rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di

laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara point of care testing

menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.

Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:

1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya tipikal pada

saat evaluasi di ruang gawat-darurat.

2. EKG normal atau nondiagnostik

3. Marka jantung normal

Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda:

1. Angina tipikal

2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau inversi T yang

diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB baru/persangkaan baru.

3. Peningkatan marka jantung

Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka jantung normal perlu

menjalani observasi di ruang gawat-darurat. Definitif SKA dan angina tipikal dengan gambaran

EKG yang nondiagnostik sebaiknya dirawat di rumah sakit dalam ruang intensive cardiovascular

care (ICVCU/ICCU).
Pemeriksaan laboratorium.9 Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus

dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit,

koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh

menunda terapi SKA.

Pemeriksaan foto polos dada.9 Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan

ruang gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang

gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis

banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan

pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:

1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial

infarction)

2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation

myocardial infarction)

3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian

oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi

untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa

menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer.

Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen

ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak

memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung. Diagnosis NSTEMI dan angina

pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen
ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat

berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-

normalization, atau bahkan tanpa perubahan. Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan

NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan

marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila

hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis

menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial

Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara

bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal

adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of normal, ULN). Jika pemeriksaan

EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan yang nondiagnostik

sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika

ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat

sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap

terjadi angina berulang.

1.6 Penatalaksanaan
Azas kemanfaatan yang didukung oleh tingkat bukti penelitian menjadi dasar

rekomendasi dalam penyusunan pedoman tatalaksana ini.

Tabel 2. Klasifikasi rekomendasi berdasarkan Evidenbased Medicine9


Kelas I Bukti dan/atau kesepakatan bersama bahwa
pengobatan tersebut bermanfaat dan
efektif.
Kelas II Bukti dan/atau pendapat yang berbeda
tentang manfaat pengobatan tersebut.
Kelas IIa Bukti dan pendapat lebih mengarah kepada
manfaat atau kegunaan,sehingga beralasan
untuk dilakukan.
Kelas IIb Manfaat atau efektivitas kurang didukung
oleh bukti atau pendapat,namun dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan.
Kelas III Bukti atau kesepakatan bersama bahwa
pengobatan tersebut tidak berguna atau
tidak efektif, bahkan pada beberapa kasus
kemungkinan membahayakan.
Tingkat bukti A Data berasal dari beberapa penelitian klinik
acak berganda atau metaanalisi
Tingkat bukti B Data berasal dari satu penelitian acak
berganda atau beberapa penelitian tidak
acak
Tingkat bukti C Data berasal dari konsensus opini para ahli
dan/atau penelitian kecil, studi retrospektif,
atau registry

Tindakan umum dan langkah awal9

Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera menetapkan

diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya. Yang dimaksud

dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja

Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada

hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin,

Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.

1. Tirah baring (Kelas I-C)

2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri <95% atau

yang mengalami distres respirasi (Kelas I-C)

3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa

mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIa-C)

4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui intoleransinya

terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual

(di bawah lidah) yang lebih cepat (Kelas I-C)

5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)


a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2

x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen

fibrinolitik (Kelas I-B) atau

b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari

(pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik,

penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-C).

6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih

berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). jika nyeri dada tidak hilang dengan

satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin

intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual

(kelas I-C). dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai

pengganti

7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak

responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IIa-B).

Akut Koroner Sindrom

Diagnosis; 2 dari 3 dibawah ini

a. Angina (Sensitifitas 70%, Spesifitas 20%)

b. Perubahan EKG (Sensitifitas 50%, Spesifitas 100%)

c. Peningkatan Enzim Jantung (Sensitifitas dan Spesifitas mendekati 100%)

Berdasarkan triase dari pasien dengan kemungkinan SKA, langkah yang diambil pada

prinsipnya sebagai berikut :

a. Jika riwayat dan anamnesa curiga adanya SKA

1) Berikan asetil salisilat (ASA) 300 mg dikunyah, berikan nitrat sublingual


2) Rekam EKG 12 sadapan atau kirim ke fasilitas yang memungkinkan

3) Jika mungkin periksa petanda biokimia

b. Jika EKG dan petanda biokimia curiga adanya SKA: Kirim pasien ke fasilitas

kesehatan terdekat dimana terapi defenitif dapat diberikan

c. Jika EKG dan petanda biokimia tidak pasti akan SKA

1) Pasien risiko rendah ; dapat dirujuk ke fasilitas rawat jalan

2) Pasien risiko tinggi : pasien harus dirawat

Penanganan di Instalasi Gawat Darurat

Pasien-pasien yang tiba di UGD, harus segera dievaluasi karena kita berpacu dengan

waktu dan bila makin cepat tindakan reperfusi dilakukan hasilnya akan lebih baik.

Tujuannya adalah mencegah terjadinya infark miokard ataupun membatasi luasnya infark

dan mempertahankan fungsi jantung. Manajemen yang dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah:

1) Pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan,

2) Periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT,

3) Berikan segera: 02, infus NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%,

4) Pasang monitoring EKG secara kontiniu,

5) Pemberian obat:

- Nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi bila

TD sistolik < 90 mmHg, bradikardia (< 50 kpm)

- Aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti dengan dipiridamol,

tiklopidin atau klopidogrel


- Mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5 menit

sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50

mg intravena.

Prinsip Management:

STEMI : MONACO + Reperfusi

NSTEMI : MONACO + Heparin

b. Hasil penilaian EKG, bila:

1) Elevasi segmen ST > 0,1 mV pada 2 atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan

atau > 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial berdampingan atau blok

berkas (BBB) dan anamnesis dicurigai adanya IMA maka sikap yang diambil

adalah dilakukan reperfusi dengan :

Terapi trombolitik bila waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia < 75

tahun dan tidak ada kontraindikasi.

o Streptokinase: BP > 90 mmHg

o tPA: BP < 70mmHg

o Kontraindikasi: Riwayat stroke hemoragik, active internal bleeding, diseksi

aorta.

o Jika bukan kandidate reperfusi maka perlakukan sama dengan NSTEMI/UAP.

Angioplasti koroner (PTCA) primer bila fasilitas alat dan tenaga memungkinkan.

PTCA primer sebagai terapi alternatif trombolitik atau bila syok kardiogenik

atau bila ada kontraindikasi terapi trombolitik

2) Bila sangat mencurigai ada iskemia (depresi segmen ST, insersi T), diberi terapi

anti-iskemia, maka segera dirawat di ICCU; dan


3) EKG normal atau nondiagnostik, maka pemantauan dilanjutkan di UGD.

Perhatikan monitoring EKG dan ulang secara serial dalam pemantauan 12 jam

pemeriksaan enzim jantung dari mulai nyeri dada dan bila pada evaluasi selama 12

jam, bila:

EKG normal dan enzim jantung normal, pasien berobat jalan untuk evaluasi

stress test atau rawat inap di ruangan (bukan di ICCU), dan

EKG ada perubahan bermakna atau enzim jantung meningkat, pasien di rawat di

ICCU.

Gambar 3. Penanganan awal PJK9


STEMI

ASA, beta blockers, antithrombin therapy

<12 hrs >12 hrs

Eligible for Lytic C/I Not a candidate Persistent


Lytic therapy For reperfusion symptoms

Thrombolysis Primary PCI no yes

Other medical therapy Consider reperfusion


(ACEI, nitrates, beta blockers, antiplatelets, antithrombin,statins)

Gambar 4. Tatalaksana Akut Koroner Sindrom dengan ST elevasi9

Unstable angina/NSTEMI

Aspirin, antithrombin, nitrates, GP IIb-IIIa


antagonist
Betablockers(calcium channel blockers)

Assess clinical status

High risk/unstable Stable


(Recurrent ischemia, LV dysfunction
Widespread EKG changes, positive Stress test
enzyme markers)

yes
Cardiac catheterization Severe ischemia
no
Revascularization (PCI/CABG) Medical therapy

Gambar 5. Tatalaksana Akut Koroner Sindrom Non-ST elevasi/UAP9


1. Angina Pektoris Stabil (Kronis Koroner Sindrom)

Tujuan utama pengobatan adalah mencegah kematian dan terjadinya serangan

jantung (infark). Sedangkan yang lainnya adalah mengontrol serangan angina sehingga

memperbaiki kualitas hidup.

Pengobatan terdiri dari farmakologis dan non-farmakologis untuk mengontrol

angina dan memperbaiki kualitas hidup. Tindakan lain adalah terapi reperfusi

miokardium dengan cara intervensi koroner dengan balon dan pemakaian stent sampai

operasi CABG (bypass).

Berikut 10 elemen penting untuk penatalaksanaan angina stabil:

A Aspirin dan anti angina

B Beta bloker dan pengontrol tekanan darah

C Cholesterol kontrol dan berhenti merokok

D Diet dan atasi diabetes

E Edukasi dan olah raga

1.7 Prognosis

Prognosis pada penyakit jantung koroner tergantung dari beberapa hal yaitu:9

1. Wilayah yang terkena oklusi

2. Sirkulasi kolateral

3. Durasi atau waktu oklusi

4. Oklusi total atau parsial

5. Kebutuhan oksigen miokard

Berikut prognosis pada penyakit jantung koroner:


1. 25% meninggal sebelum sampai ke rumah sakit

2. Total mortalitas 15-30%

3. Mortalitas pada usia < 50 tahun 10-20%

4. Mortalitas usia > 50 tahun sekitar 20%

Tabel 3. Skor TIMI (Thrombolysis In Myocardial Infarction) untuk UAP dan NSTEMI9

Tabel 4. Stratifikasi risiko berdasarkan skor TIMI9

1.8 Komplikasi

Komplikasi tertinggi akut infark adalah aritmia, aritmia yang sering memberikan

komplikasi adalah ventrikel vibrilasi. Ventrikel vibrilasi 95% meninggal sebelum sampai rumah

sakit. Komplikasi lain meliputi disfungsi ventrikel kiri/gagal jantung dan hipotensi/syok

kardiogenik.10
Daftar Pustaka

1. Nerrida S. Karakteristik penderita Penyakit Jantung Koroner Rawat Inap di RSUP H.


Adam Malik. 2009.

2. Sri Damai. Karakteristik penderita Penyakit Jantung Koroner Rawat Inap di RSU Dr.
Pirngadi Medan. 2009.

3. Steg GP, James SK, Atar D, Bandano LP, Blomstrom-Lundqvist C, Borger MA, et.al.
ESC guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting
with ST-segment elevation. European Heart Journal (2012) 33. 2569-619.

4. Steg GP, James SK. ESC Essential Messages. European Heart Journal 2012;33(15).

5. ESC management of Stable Coronary Artery Disease. 2015.

6. Gray HH, Dawkins KD, Simpson IA, Morgan JM. Lecture Notes: Kardiologi. Edisi IV.
Jakarta:2002. Hal 107-50.

7. Farissa IP. Komplikasi pada pasien IMA STEMI yang mendapat maupun tidak mendapat
terapi reperfusi. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2012.

8. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of Medical Students


and Faculty. Edisi Keempat. Baltimore-Philadelpia. Lippincott Williams & Wilkins, 2007;
225-243.

9. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. Pedoman tatalaksana sindrom


koroner akut. Edisi ketiga. 2015

10. ACC/AHA 2007 guidelines for the management of patients with unstable angina/non
ST-elevation myocardial infarction. A report of the American College of Cardiology/
American Heart Association Task Force on Practive Guidelines. J Am Coll Cardiol.
2007; DOI:10.1016/j.jacc.2007.02.028. available at :
http://content.onlinejacc.org/cgi/content/ full/50/7/e1. Circulation.2007; DOI
:10.1161/CIRCULATIONAHA.107.185752. available at :
http://cir.ahajournals.org/cgi/reprint/CIRCULATIONAHA.107.185752.

Anda mungkin juga menyukai