Oleh :
Pembimbing :
ketika arteri jantung tidak dapat memberikan suplai oksigen ke otot-otot jantung.
Kondisi ini disebabkan oleh penyempitan atau sumbatan oleh plak di pembuluh darah
campuran lemak, kolesterol dan timbunan kalsium akan menumpuk di arteri selama
pengerasan arteri koroner dengan akibat penurunan suplai darah. 3 Plak dapat
terbentuk melalui suatu proses inflmasi kronik yang melibatkan peran lipid,
thrombosis, sel-sel imun dan dinding vaskuler dalam patofisiologinya. 1 Iskemia yang
Arteri koroner adalah arteri yang mensuplai nutrisi dan oksigen ke otot
jantung (miokard).3 enyakit ini bersifat asimptomatik pada awal pembentukannya dan
proses ini terjadi perlemakan pada dinding arteri coroner yang dimulai sejak usia
II. Epidemiologi
prevalensi penyakit jantung koroner pada usia di atas 20 tahun berjumlah 16,5 juta
melaporkan setiap 1 tahun terdapat 17,9 juta orang yang meninggal akibat penyakit
kardiovaskular atau sekitar 32% dari semua kematian global, dengan estimasi laki-
laki lebih banyak dibading perempuan. Penyakit kardiovaskuler yang menyebabkan
kematian terbanyak adalah Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan stroke. Kedua
penyakit ini menyebabkan 15,2 juta kematian dari total 56,9 juta kematian di dunia
Di indonesia, data Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018 angka kejadian
orang, atau sekitar 2.784.064 orang di Indonesia menderita penyakit jantung dengan
tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan utara (2,2%) dan terendah di provinsi Nusa
koroner oleh lemak, kolesterol dan timbunan kalsium (plak) yang akan menumpuk di
arteri sehingga mengakibatkan suplai darah ke otot jantung menjadi terganggu dan
otot-otot jantung kekurangan suplai oksigen, di samping itu banyak faktor lain juga
bisa mempengaruhi penyakit jantung koroner.1,8 Faktor risiko PJK terbagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi atau tidak dapat
dicegah dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi atau dapat dicegah. Faktor risiko
PJK yang tidak dapat dicegah terdiri dari usia, riwayat keluarga dan jenis kelamin.
Faktor risiko yang dapat dicegah adalah hipertensi, merokok, hiperlipidemia, diabetes
a. Usia
Usia >45 tahun berisiko 32 kali untuk menderita penyakit jantung. Usia lansia
akhir yaitu >50 tahun adalah pasien yang paling banyak mengalami PJK. Semakin
tua seseorang maka semakin tinggi risiko terkena karena ketahanan dinding vaskuler
atau pembuluh darah semakin melemah sehingga memudahkan plak yang sudah ada
seperti kolesterol serta proses terjadinya aterosklerosis juga berperan penting seiring
b. Riwayat Keluarga
PJK pada keluarga yang langsung berhubungan darah yang berusia kurang dari 70
c. Jenis Kelamin
Penyakit Jantung Koroner dua kali lebih berisiko pada laki-laki dibandingkan
perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki dipengaruhi oleh gaya hidup yang buruk
pembuluh darah karena adanya plak yang dapat menekan sistem kerja jantung. Pada
laki-laki juga tidak dapat mengontrol stres karena banyak bekerja diluar rumah. Pada
perempuan usia produktif memiliki hormon estrogen yang bersifat protektif terhadap
kejadian kardiovaskular serta berperan dalam menjaga tingkat HDL tetap tinggi dan
LDL rendah, setelah wanita mengalami menopause insiden PJK pada perempuan
meningkat dengan cepat dan sebanding dengan insiden PJK pada laki- laki.10
a. Hipertensi
tekanan yang melebihi tekanan darah di arteri besar. Jika tekanan arteri terus-menerus
tinggi dapat menyebabkan pengerasan dinding arteri. Jika katup menyempit ventrikel
harus menghasilkan tekanan lebih besar untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Hal
ini menyebabkan penebalan otot jantung dan hilangnya elastisitas. Otot jantung yang
menebal pada akhirnya akan mengalami penurunan fungsi terutama fungsi pompa
b. Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor risiko pemicu kejadian PJK. Pemicu
tersebut disebabkan oleh jenis bahan kimia yang terkandung dalam rokok, mulai dari
proses pembuatan hingga pembakaran saat dihisap oleh perokok aktif. Jenis bahan
kimia yang menjadi penyebab terjadinya PJK adalah nikotin, karbon monoksida dan
zat oksidan. Zat oksidan terdiri beberapa bahan kimia seperti nitrogen, tar, dan bahan
radikal lainnya. Banyaknya zat oksidan tersebut dapat menyebabkan pengurangan zat
antioksidan yang ada di dalam tubuh secara drastis dan menyebabkan peningkatan
c. Hiperlipidemia
lipoprotein densitas sangat rendah, rendah dan tinggi (VLDL, LDL, HDL).
sedikit trigliserida, fosfolipid sedang dan kolesterol tinggi. LDL berperan dalam
proses penimbunan kolesterol dalam makrofag, sel otot polos serta matriks ekstra
seluler dalam pembuluh darah sehingga bersifat aterogenik. Bila LDL diatas normal
Diantara seluruh jenis lipoprotein yang ada, LDL memiliki porsi pengikatan
kolesterol terbanyak, yakni sekitar 70-75%, karena itu kolesterol LDL lebih tepat
sebagai petunjuk untuk mengetahui risiko PJK daripada kadar kolesterol total.10,12
d. Diabetes Mellitus
antara lain yaitu hiperglikemia, peningkatan Free Fatty Acid (FFA), dan resistensi
dapat meningkatkan autooksidasi dan radikal bebas melalui proses stres oksidatif
Peningkatan FFA pada penderita DM disebabkan proses lipolisis yang berlebihan dan
penurunan uptake oleh sel jaringan terutama otot skeletal. FFA dapat mengganggu
bebas, aktivasi protein kinase C, dan eksaserbasi dislipidemia. Resistensi insulin yang
Tidak melakukan aktivitas fisik secara teratur merupakan faktor risiko tekanan
darah tinggi, kolesterol tinggi, dan diabetes.8 Aktivitas fisik dapat menurunkan
semakin rendah pula risiko pembentukan trombus yang diikuti dengan peningkatan
inhibitor-1 (PAI-1), serta penurunan adhesi atau agregasi platelet yang akan
dengan orang yang menjalani keseharian dengan aktivitas sedenter, mereka yang
memiliki aktivitas fisik secara regular memiliki profil fibrinolitik yang lebih efektif
dan penurunan risiko pembentukan trombus. Pada pemilik gaya hidup sedenter,
inhibitor-1 (PAI-1) meningkat sehingga memicu koagulasi darah yang lebih luas.4,7
f. Obesitas
dislipidemia.11
IV. Klasifikasi
Penyakit jantung coroner terdiri dari Stable Ischemic Heart Disease (SIDH)
dan Acute Coronary Syndrome (ACS) atau juga dikenal sebagai Sidroma Koroner
Akut.2
SIDH muncul sebagai Angina Pectoris Stabil (APS). APS biasanya muncul
sebagai nyeri dada substernal atau tekanan yang memburuk dengan pengerahan
tenaga atau stres emosional dan berkurang dengan istirahat atau nitrogliserin dan
berlangsung dalam durasi 2 bulan.14 Keluhan utama APS adalah nyeri dada stabil,
karakteristik nyeri dada pada APS dibagi atas angina tipikal, angina atipikal dan
nyeri dada non-angina. Angina tipikal didefinisikan sebagai nyeri dada yang
Rasa tidak nyaman pada substernal dada dengan kualitas dan durasi tertentu
Angina atipikal memiliki dua dari tiga karakter di atas, nyeri dada non-anginal
hanya memiliki satu atau tidak memiliki satu pun dari ketiganya. Angina atipikal
dapat memiliki karakteristik dan lokasi yang sama dengan angina tipikal, juga
responsif terhadap nitrat, namun tidak memiliki faktor pencetus. Nyeri seringkali
dimulai saat istirahat dari intensitas rendah, meningkat secara gradual, menetap
Gejala angina atipikal lainnya adalah nyeri dada dengan lokasi dan kualitas angina,
yang dicetuskan oleh aktivitas dan tidak berpengaruh terhadap nitrat. Gejala ini
sebagian kecil hemithorax kanan atau kiri, bertahan selama beberapa jam atau bahkan
hari. Nyeri non - angina ini biasanya tidak hilang dengan nitrat. Penyebab non-
Kelas III Pembatasan yang jelas pada aktivitas fisik biasa. Angina
muncul saat berjalan satu atau dua blok, naik satu lantai
Penting untuk diingat bahwa sistem nilai ini secara eksplisit memperlihatkan
bahwa nyeri pada saat istirahat (rest pain) dapat muncul pada semua kelas sebagai
Sindroma koroner akut (SKA) adalah manifestasi akut dari plak atheroma
pembuluh darah koroner yang pecah akibat perubahan komposisi plak dan penipisan
tudung fibrosa yang menutupi plak tersebut. SKA dibagi menjadi angina pektoris
tidak stabil/ APTS (unstable angina pectoris (UAP), infark miokard akut non-elevasi
(NSTEMI), dan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) atau
NSTEMI dan APTS ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T,
gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalisasi, atau bahkan tanpa
bermakna maka diagnosisnya adalah NSTEMI tetapi jika tidak meningkat secara
STEMI adalah indikator terjadinya oklusi total dari pembuluh darah koroner.
dan reperfusi miokard yang dapat dilakukan dengan terapi fibrinolitik (menggunakan
V. Patogenesis
faktor genetik.16 Proses aterosklerosis ini tidak hanya terjadi pada pembuluh darah
koroner tetapi dapat mengenai berbagai arteri di tubuh dan akan bermanifestasi sesuai
Proses ini dimulai dengan disfungsi endodotel akibat bahan kimia ataupun
dalam tunika intima dan selanjutnya LDL akan terakomodasi di ruang subendotel
dengan berikatan dengan matriks ekstraseluler yaitu proteoglikan. LDL tersebut akan
dioksidasi oleh ROS (Reactive Oxygen Species) dan pro enzym yang dihasilkan oleh
makrofag dan sel otot pembuluh darah sehingga menjadi mLDL (modified LDL).
LDL yang teroksidasi adalah molekul kemotaktik kuat yang dapat memicu adhesi sel-
sel vascular pada permukaan endotel, serta menstimulasi adhesi leukosit (terutama
monosit dan limfosit) dan migrasi ke ruang subendotel. Monosit berubah menjadi
makrofag di dalam tunika intima memakan mLDL melalui reseptor scavenger (pada
makrofag) dan membentuk sel busa (foam cell) yang akan melepaskan sitokin pro
inflamasi termasuk di dalamnya interleukin (IL) dan tumor necrosis factor (TNF).16
Foam cell akan menghasilkan beberapa faktor yang dapat merekrut sel otot.
menyebabkan terjadinya migrasi sel otot dari internal elastik lamina ke ruang sub
intima, tempat dimana sel otot bereplikasi. Foam cell juga melepaskan sitokin dan
faktor pertumbuhan seperti TNF α, IL-1, Fibroblast growth factor, dan TGF β yang
ekstraseluler (kolagen dan elastin) dan lebih lanjut mencetuskan pelepasan sitokin
yang mendorong dan mempertahankan inflamasi pada lesi. Adanya sel otot yang
menghasilkan kolagen akan membentuk fibrous cap. Pembentukan fibrous cap dan
deposisi matriks ekstraseluler ini sebenarnya merupakan proses sintesis dan degradasi
yang saling bergantian yaitu dimana (1) sintesis yaitu sel otot merangsang kolagen
melalui TGF β dan PDGF, dan (2) degradasi yaitu T-lymphocyte derived cytokine
IFN – γ menghambat sintesis kolagen dan lebih lanjut sitokin akan merangsang foam
fibrous cap sehingga mudah ruptur. Proses sintesis dan degrasi ini terus berlanjut
tanpa menyebabkan gejala. Kematian dari sel otot dan foam cell baik karena stimulasi
inflamasi yang berlebihan maupun karena apoptosis menyebabkan lemak dan debris
seluler membentuk lipid core. Ukuran dari lipid core memiliki peranan biomekanikal
untuk stabilnya plak. Selain itu deposisi dan distribusi fibrous cap merupakan hal
yang penting dalam intergritas plak, jika fibrous cap tebal maka plak tersebut akan
jarang ruptur yang sering kita sebut plak stabil, tetapi apabila fibrous cap tipis akan
Gambar 1 Atherosklerosis
Ruptur plak akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur
maupun parsial, atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang
lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan
disebabkan beberapa hal antara lain penurunan perfusi akibat hipotensi (misal
hipovolemia atau syok septik), penurunan pengangkut oksigen darah yang cukup
VI. Diagnosis
pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan secara cepat, tepat dan terarah.
a. Anamnesis
Gambaran klinis angina pektoris stabil nyeri dada seperti tertekan yang
muncul setelah aktivitas, terkadang menjalar ke bagian leher, rahang bahu, dan
lengan. Nyeri segera hilang dengan istirahat atau penghentian aktivitas. Durasi nyeri
leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di dada.
IMA sering didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun,
nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada
hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan
pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah. Pada sebagian kecil pasien
(20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama
terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia
lanjut.14
ii. Sifat nyeri: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti
iii. Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga keleher, rahang bawah, gigi,
iv. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau pemberian nitrat.
v. Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
vi. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas
dan lemas.
a. Pemeriksaan Fisik
pasien tampak cemas, tidak dapat istirahat (gelisah), sering kali ekstremitas pucat
disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak
b. Pemeriksaan Penunjang
i. Elektrokardiogram (EKG)
Semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada
dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat dan sebaiknya
diulang setiap keluhan angina timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai
pada pasien dengan keluhan angina dapat bervariasi, yaitu: normal, non-
dilakukan pada titik J dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Berikut
adalah nilai ambang diagnostik elevasi segmen ST dan lokasi infark berdasasrkan
sadapan EKG.14
ii.
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tanpa elevasi segmen ST
(IMA-NEST) atau angina pektoris tidak stabil (APTS). Setelah perekaman EKG
pemantauan terus-menerus.14
i. Pemeriksaan Laboratorium
nekrosis miosit jantung dan menjadi biomarka untuk diagnosis infark miokard,
dimana troponin I/T memiliki sensitivitas dan spesivisitas lebih tinggi dari CK-
MB. Beberapa biomarka enzim jantung dapat dilihat pada tabel 3.14
adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes
fungsi ginjal dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda
terapi SKA.14
- Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak
- Angina tipikal
stabil secara langsung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri,
pemeriksaan penunjang pada angina pektoris stabil dan sindroma koroner akut. Dapat
Tujuan tatalaksana awal di IGD pada pasien yang dicurigai SKA mencakup
yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan IMA-
EST. 2,14
Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat,
sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang
dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak
1) Tirah baring
3) Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. jika nyeri dada tidak
hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai
maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak
responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. dalam keadaan tidak
6) Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IIa-B).
(Global Registry of Acute Coronary Events), sedangkan CRUSADE (Can Rapid risk
terjadinya perdarahan.
dilakukannya angiografi, dan ditujukan pada pasien dengan tingkat risiko tinggi
1. Strategi invasif segera (<2 jam). Pasien risiko sangat tinggi direkomendasikan
Biomarka jantung.
2. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam. Dilakukan bila pasien memiliki
skor GRACE >140 atau dengan salah satu kriteria risiko tinggi (high risk)
primer
3. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam Dilakukan bila pasien memenuhi
salah satu kriteria risiko tinggi (high risk) atau dengan gejala berulang
Dalam strategi konservatif, evaluasi invasif awal tidak dilakukan secara rutin.
Tatalaksana lanjut:14
diagnostik dan biomarka jantung normal, maka diperlukan untuk menjalani observasi
Terapi Fibrinolitik
Dianjurkan pada:14
Kontraindikasi Fibrinolitik:2
Kontraindikasi absolut:
Kontraindikasi relatif
● Resusitasi jantung paru traumatik atau lama > 10 menit atau operasi
● Kehamilan.
● Presentasi ≥3 jam
● Waktu kontak antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon < 90 menit.
Dapat dilakukan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi jika tindakan PCI
tidak dapat dilakukan dengan segera dan pada pasien dengan risiko
3) Rescue PCI
Dilakukan bila terdapat kegagalan trombolitik pada pasien dengan infark luas
dengan:18
● Syok kardiogenik.
rescue PCI tidak dapat dilakukan segera, reperfusi secara medikamentosa harus
dipertimbangkan dengan fibrinolitik ulang atau tirofiban. Pemilihan stent pada PCI
PJK meliputi modifikasi pola hidup, kontrol faktor risiko PJK, dan terapi
farmakologis berdasarkan bukti-bukti yang telah ada, dan edukasi pasien. Non
diet yang sehat, kurangi konsumsi makanan tinggi karbohidrat dan garam, aktivitas
fisik, mengatur berat badan dalam batas ideal , kontrol kadar lipid dengan target
LDL<70mg/dl dan mengontrol tekanan darah dengan target <140/90mmHg serta
pada pasien dengan diabetes, gula darah harus selalu terkontrol dengan target HbA1c
<7%.14
VIII. Komplikasi
1. Disfungsi Ventrikular
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Pembesaran ruang jantung
secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark, dengan
dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan
penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis
lebih buruk.14
2. Gangguan Hemodinamik
a. Gagal Jantung
Dalam fase akut dan sub aktut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi
jantung secara klinis pada fase akut dan subakut STEMI didasari oleh gejala-
gejala khas seperti dispnea, tanda seperti sinus takikardi, suara jantung ketiga
oksigen, tekanan darah dan pengukuran urine output setiap jam. Pasien
dengan jejas miokardium luas dalam fase akut dapat menunjukkan tanda dan
b. Hipotensi
mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga
c. Kongesti paru
Ditandai dengan dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal,
berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada rontgen dada dan
e. Syok kardiogenik
Tanda dan gejala klinis syok kardiogenik yang dapat ditemukan beragam dan
menentukan berat tidaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka pendek.
Pasien biasanya datang dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah
kerusakan ventrikel kiri luas, namun juga dapat terjadi pada infark ventrikel
berkaitan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri awal dan beratnya regurgitasi
mitral.14
Keadaan ini sering ditemukan dalam beberapa jam pertama setelah infark
miokard. Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa manifestasi dari
perubahan tonus otonom, hipoksia dan gangguan elektrolit seperti hipokalemia dan
a. Aritmia supraventrikular
Fibrilasi atrium sering dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat dan
gagal jantung. Fibrilasi atrium dapat terjadi selama beberapa menit hingga jam
b. Aritmia ventricular
<120 detak permenit dan biasanya tidak berbahaya. VT yang tidak berlanjut
(<30 detik) bukan prediktor yang baik untuk VF awal dan dapat ditoleransi
lama dapat menyebabkan hipotensi dan gagal jantung serta dapat memburuk
menjadi VF. VT yang berlanjut atau disertai keadaan hemodinamik yang tidak
melewati fase akut awal dapat berulang dan dikaitkan dengan risiko kematian
dengan fungsi ventrikel kiri abnormal yang berat atau dengan VT monomorf
yang berlanjut, bahkan bila aritmia terjadi awalnya merupakan akibat dari
iskemia transien.14
4. Komplikasi kardiak
Keadaan ini dapat terjadi selama fase subakut akibat dilatasi ventrikel kiri,
dengan dispnea akut, kongesti paru dan murmur sistolik baru, biasanya tidak
darurat. Edema paru dan syok kardiogenik dapat terjadi dengan cepat.14
b. Ruptur jantung
Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase subakut setelah
Keadaan ini biasanya ditandai perburukan klinis yang terjadi dengan cepat
dengan gagal jantung akut dan murmur sistolik yang kencang yang terjadi
Keadaan ini dapat terjadi sendiri atau lebih jarang lagi terkait dengan STEMI
e. Perikarditis
Gejala perikarditis antara lain nyeri dada berulang, biasanya khas yaitu tajam
stent.14
trombus ventrikel kiri yang dapat terdeteksi, keadaan ini dikaitkan dengan
prognosis yang buruk karena berhubungan dengan infark yang luas, terutama
IX. Prognosis
Prognosis pada penyakit jantung koroner juga tergantung dari beberapa hal
yaitu:14
2. Sirkulasi kolateral
Terdapat sistem untuk menentukan prognosis pasca infark miokard akut salah
kongestif
DAFTAR PUSTAKA
1. Sianturi ET, Kurniawaty E. Pengaruh Pektin terhadap Penurunan Risiko Penyakit
Jantung Koroner. Majority. 2019;8:162-167.
2. Shahjehan RD, Bhutta BS. Coronary Artery Disease. [Updated 2021 Nov 14]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK564304/
3. Roger VL, Go AS, Lloyd-Jones DM, et al. Heart disease and stroke statistics-
2012 update: A report from the American Heart Association. Circulation.
2012;123(4):1-8.
4. Setyaji DY, Prabandari YS, Gunawan IMA. Aktivitas fisik dengan penyakit
jantung koroner di Indonesia. J Gizi Klin Indones. 2018;14(3):115.
5. Rebbi SP, Susi Irawati, Diana Arianti. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Prnyakit Jantung Koroner Di Poliklinik Jantung Rst. Dr. Reksodiwiryo. Padang
Tahun 2018. Jik- J Ilmu Kesehat. 2018;2(2):143-154.
9. Rebbi SP, Susi Irawati, Diana Arianti. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Prnyakit Jantung Koroner Di Poliklinik Jantung Rst. Dr. Reksodiwiryo. Padang
Tahun 2018. Jik- J Ilmu Kesehat. 2018;2(2):143-154.
10. Sari YA, Widiastuti W, Fitriyasti B. Gambaran Faktor Risiko Kejadian Penyakit
Jantung Koroner di Poliklinik Jantung RSI Siti Rahmah Padang Tahun 2017-
2018. Heal Med J. 2020;3(1):20-28.
11. Mandagi IV, Sudirman S, Yani A. Penyakit Jantung Koroner. J Kesehat Masy.
2019.
12. Roger VL, Go AS, Lloyd-Jones DM, et al. Heart disease and stroke statistics-
2012 update: A report from the American Heart Association. Circulation.
2012;123(4):1-8.
13. Diastutik D. Proporsi karakteristik penyakit jantung koroner pada perokok aktif
berdasarkan karakteristik merokok. J Berk Epidemiol. 2016;4(3):326-337.
14. PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut 2018. Perhimpunan dokter
spesialis kardiovaskular Indonesia. 2018.
15. PERKI. Pedoman Tata Laksana Angina Pektoris Stabil. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2019.
16. Themistocleous I, Stefanakis M, Douda HT. Coronary Heart Disease Part I :
Pathophysiology and Risk Factors. J Phys Act Nutr Rehabil. 2017;(April):167-
175.
18. Satoto HH. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner. JAI (Jurnal Anestesiologi
Indonesia) [Online]. 2014 Nov;6(3):209-225
19. Kursus Bantuan Hidup Lanjut ACLS INDONESIA. Jakarta:2011. Hal 60-76