Anda di halaman 1dari 38

Diskusi Topik

PENYAKIT JANTUNG KORONER

Oleh :

Anggi Aprillia Maharani, S.Ked


M. Rafiq Ramaputra, S.Ked
Tri Azki Qara Muliani, S.Ked
Zulfa Nurhanifah, S.Ked

Pembimbing :

dr. Lia Valentina Astari, Sp.JP-FIHA

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN KARDIOVASKULAR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2022
I. Definisi

Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit jantung yang berkembang

ketika arteri jantung tidak dapat memberikan suplai oksigen ke otot-otot jantung.

Kondisi ini disebabkan oleh penyempitan atau sumbatan oleh plak di pembuluh darah

koroner yang diketahui sebagai aterosklerosis arteri koronaria.1,2 Plak berupa

campuran lemak, kolesterol dan timbunan kalsium akan menumpuk di arteri selama

bertahun-tahun. Seiring waktu, plak akan menyebabkan penyempitan/stenosis dan

pengerasan arteri koroner dengan akibat penurunan suplai darah. 3 Plak dapat

terbentuk melalui suatu proses inflmasi kronik yang melibatkan peran lipid,

thrombosis, sel-sel imun dan dinding vaskuler dalam patofisiologinya. 1 Iskemia yang

berkepanjang dapat menyebabkan terjadinya infark pada otot jantung.4

Arteri koroner adalah arteri yang mensuplai nutrisi dan oksigen ke otot

jantung (miokard).3 enyakit ini bersifat asimptomatik pada awal pembentukannya dan

merupakan gangguan kronis yang berkembang diam-diam di sepanjang hidup Pada

proses ini terjadi perlemakan pada dinding arteri coroner yang dimulai sejak usia

muda hingga usia lanjut.5

II. Epidemiologi

Berdasarkan data American Heart Association (AHA) pada tahun 2018,

prevalensi penyakit jantung koroner pada usia di atas 20 tahun berjumlah 16,5 juta

dan 55% diantaranya adalah laki-laki.3 World Health Organization (WHO)

melaporkan setiap 1 tahun terdapat 17,9 juta orang yang meninggal akibat penyakit

kardiovaskular atau sekitar 32% dari semua kematian global, dengan estimasi laki-
laki lebih banyak dibading perempuan. Penyakit kardiovaskuler yang menyebabkan

kematian terbanyak adalah Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan stroke. Kedua

penyakit ini menyebabkan 15,2 juta kematian dari total 56,9 juta kematian di dunia

pada tahun 2016.6

Di indonesia, data Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018 angka kejadian

penyakit kardivaskular semakin meningkat setiap tahunnya setidaknya 15 dari 1000

orang, atau sekitar 2.784.064 orang di Indonesia menderita penyakit jantung dengan

estimasi laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Berdasarkan usia, penyakit

jantung coroner paling banyak pada populasi usia 65-74 tahun.7

Data dari Riskesdas (2018), prevalensi penyakit jantung di Indonesia

berdasarkan diagnosis dokter sebesar 1,5%. Berdasarkan prevalensi tersebut, angka

tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan utara (2,2%) dan terendah di provinsi Nusa

tenggara timur (0,7%).7

III. Etiologi dan Faktor Risiko

Penyakit jantung koroner disebabkan oleh adanya kelainan miokardium akibat

insufisiensi aliran darah koroner karena proses arterosklerosis. Penyakit jantung

koroner diakibatkan oleh adanya penyempitan atau sumbatan di pembuluh darah

koroner oleh lemak, kolesterol dan timbunan kalsium (plak) yang akan menumpuk di

arteri sehingga mengakibatkan suplai darah ke otot jantung menjadi terganggu dan

otot-otot jantung kekurangan suplai oksigen, di samping itu banyak faktor lain juga

bisa mempengaruhi penyakit jantung koroner.1,8 Faktor risiko PJK terbagi menjadi

dua kelompok besar, yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi atau tidak dapat

dicegah dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi atau dapat dicegah. Faktor risiko
PJK yang tidak dapat dicegah terdiri dari usia, riwayat keluarga dan jenis kelamin.

Faktor risiko yang dapat dicegah adalah hipertensi, merokok, hiperlipidemia, diabetes

mellitus, aktivitas fisik pasif dan obesitas. 9,10

Faktor Risiko Tidak Dapat Dimodifikasi

a. Usia

Usia >45 tahun berisiko 32 kali untuk menderita penyakit jantung. Usia lansia

akhir yaitu >50 tahun adalah pasien yang paling banyak mengalami PJK. Semakin

tua seseorang maka semakin tinggi risiko terkena karena ketahanan dinding vaskuler

atau pembuluh darah semakin melemah sehingga memudahkan plak yang sudah ada

bertambah parah. Proses degeneratif dan meningkatnya paparan agen berbahaya

seperti kolesterol serta proses terjadinya aterosklerosis juga berperan penting seiring

dengan bertambahnya usia.10 

b. Riwayat Keluarga

PJK kadang-kadang bisa merupakan manifestasi kelainan gen tunggal spesifik

yang berhubungan dengan mekanisme terjadinya aterosklerotik. Riwayat keluarga

PJK pada keluarga yang langsung berhubungan darah yang berusia kurang dari 70

tahun merupakan faktor risiko independent untuk terjadinya PJK.11

c. Jenis Kelamin

Penyakit Jantung Koroner dua kali lebih berisiko pada laki-laki dibandingkan

perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki dipengaruhi oleh gaya hidup yang buruk

seperti merokok. Kebiasaan merokok berakibat rusak (nekrosis) jaringan dan

pembuluh darah karena adanya plak yang dapat menekan sistem kerja jantung. Pada

laki-laki juga tidak dapat mengontrol stres karena banyak bekerja diluar rumah. Pada
perempuan usia produktif memiliki hormon estrogen yang bersifat protektif terhadap

kejadian kardiovaskular serta berperan dalam menjaga tingkat HDL tetap tinggi dan

LDL rendah, setelah wanita mengalami menopause insiden PJK pada perempuan

meningkat dengan cepat dan sebanding dengan insiden PJK pada laki- laki.10 

Faktor Risiko Dapat Dimodifikasi

a. Hipertensi

Hiperetensi akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh

darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner.

Ketika berkontraksi untuk membuka katup semilunar, ventrikel harus menghasilkan

tekanan yang melebihi tekanan darah di arteri besar. Jika tekanan arteri terus-menerus

tinggi dapat menyebabkan pengerasan dinding arteri. Jika katup menyempit ventrikel

harus menghasilkan tekanan lebih besar untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Hal

ini menyebabkan penebalan otot jantung dan hilangnya elastisitas. Otot jantung yang

menebal pada akhirnya akan mengalami penurunan fungsi terutama fungsi pompa

jantung. Penurunan fungsi ini akan menyebabkan angina.12

b. Merokok

Merokok merupakan salah satu faktor risiko pemicu kejadian PJK. Pemicu

tersebut disebabkan oleh jenis bahan kimia yang terkandung dalam rokok, mulai dari

proses pembuatan hingga pembakaran saat dihisap oleh perokok aktif. Jenis bahan

kimia yang menjadi penyebab terjadinya PJK adalah nikotin, karbon monoksida dan

zat oksidan. Zat oksidan terdiri beberapa bahan kimia seperti nitrogen, tar, dan bahan

radikal lainnya. Banyaknya zat oksidan tersebut dapat menyebabkan pengurangan zat
antioksidan yang ada di dalam tubuh secara drastis dan menyebabkan peningkatan

produksi LDL (Low Density Lipoproterin).13

c. Hiperlipidemia

Hiperlipidemia merupakan peningkatan kolesterol, fosfolipid, trigliserida, dan

asam lemak. Dalam ikatan bersama protein, lemak membentuk kilomikron,

lipoprotein densitas sangat rendah, rendah dan tinggi (VLDL, LDL, HDL).

Konsekuensi hiperlipidemia yang paling penting adalah peningkatan kolesterol

serum, terutama peningkatan LDL yang merupakan predisposisi terjadinya

aterosklerosis serta meningkatnya risiko terjadinya PJK, sedangkan HDL bersifat

protektif terhadap kemungkinan pengendapan aterosklerosis. Kolesterol LDL adalah

kolesterol yang terkandung dalam lipoprotein berdensitas rendah dengan kombinasi

sedikit trigliserida, fosfolipid sedang dan kolesterol tinggi. LDL berperan dalam

proses penimbunan kolesterol dalam makrofag, sel otot polos serta matriks ekstra

seluler dalam pembuluh darah sehingga bersifat aterogenik.  Bila LDL diatas normal

maka akan membawa kolesterol ke jaringan tubuh dan menyebabkan aterosklerosis.

Diantara seluruh jenis lipoprotein yang ada, LDL memiliki porsi pengikatan

kolesterol terbanyak, yakni sekitar 70-75%, karena itu kolesterol LDL lebih tepat

sebagai petunjuk untuk mengetahui risiko PJK daripada kadar kolesterol total.10,12

d. Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus (DM) meyebabkan disfungsi endotel dan menimbulkan

aterosklerosis. Beberapa penyebab DM yang dapat menimbulkan disfungsi endotel

antara lain yaitu hiperglikemia, peningkatan Free Fatty Acid (FFA), dan resistensi

insulin. Hiperglikemia akan merusak ekstrasel dan intrasel jaringan kardiovaskuler


yang tidak mampu membatasi pemasukan glukosa ke dalam sel. Hiperglikemia juga

dapat meningkatkan autooksidasi dan radikal bebas melalui proses stres oksidatif

yang dapat menyebabkan disfungsi endotel sebagai awal proses aterosklerosis.

Peningkatan FFA pada penderita DM disebabkan proses lipolisis yang berlebihan dan

penurunan uptake oleh sel jaringan terutama otot skeletal. FFA dapat mengganggu

fungsi endotel melalui beberapa mekanisme yaitu peningkatan produksi radikal

bebas, aktivasi protein kinase C, dan eksaserbasi dislipidemia. Resistensi insulin yang

menyertai DM meningkatkan terjadinya disfungsi endotel. Hubungan antara

hiperinsulinemia, resistensi insulin sampai disfungsi endotel merupakan hubungan

yang berkelanjutan dalam terjadinya aterosklerosis.10 

e. Aktivitas fisik pasif 

Tidak melakukan aktivitas fisik secara teratur merupakan faktor risiko tekanan

darah tinggi, kolesterol tinggi, dan diabetes.8 Aktivitas fisik dapat menurunkan

konsentrasi plasma fibrinogen. Semakin rendah konsentrasi plasma fibrinogen,

semakin rendah pula risiko pembentukan trombus yang diikuti dengan peningkatan

aktivator plasminogen jaringan (t-PA) dan penurunan plasminogen activator

inhibitor-1 (PAI-1), serta penurunan adhesi atau agregasi platelet yang akan

berdampak pada penurunan risiko kemungkinan terjadinya PJK. Jika dibandingkan

dengan orang yang menjalani keseharian dengan aktivitas sedenter, mereka yang

memiliki aktivitas fisik secara regular memiliki profil fibrinolitik yang lebih efektif

dan penurunan risiko pembentukan trombus. Pada pemilik gaya hidup sedenter,

kapasitas fibrinolitik menurun ketika konsentrasi plasma plasminogen aktivator

inhibitor-1 (PAI-1) meningkat sehingga memicu koagulasi darah yang lebih luas.4,7
f. Obesitas

Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah,

memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan

dislipidemia.11

IV. Klasifikasi

Penyakit jantung coroner terdiri dari Stable Ischemic Heart Disease (SIDH)

dan Acute Coronary Syndrome (ACS) atau juga dikenal sebagai Sidroma Koroner

Akut.2

a. Stable Ischemic Heart Disease (SIDH)

SIDH muncul sebagai Angina Pectoris Stabil (APS). APS biasanya muncul

sebagai nyeri dada substernal atau tekanan yang memburuk dengan pengerahan

tenaga atau stres emosional dan berkurang dengan istirahat atau nitrogliserin dan

berlangsung dalam durasi 2 bulan.14 Keluhan utama APS adalah nyeri dada stabil,

karakteristik nyeri dada pada APS dibagi atas angina tipikal, angina atipikal dan

nyeri dada non-angina. Angina tipikal didefinisikan sebagai nyeri dada yang

memenuhi ketiga karakteristik berikut:

 Rasa tidak nyaman pada substernal dada dengan kualitas dan durasi tertentu

 Diprovokasi oleh aktivitas fisik dan stres emosional

 Hilang setelah beberapa menit istirahat dan atau dengan nitrat

Angina atipikal memiliki dua dari tiga karakter di atas, nyeri dada non-anginal

hanya memiliki satu atau tidak memiliki satu pun dari ketiganya. Angina atipikal

dapat memiliki karakteristik dan lokasi yang sama dengan angina tipikal, juga
responsif terhadap nitrat, namun tidak memiliki faktor pencetus. Nyeri seringkali

dimulai saat istirahat dari intensitas rendah, meningkat secara gradual, menetap

maksimal hingga 15 menit, kemudian berkurang intensitasnya. Gambaran

karakteristik ini harus mengingatkan klinisi pada kemungkinan vasospasme koroner.

Gejala angina atipikal lainnya adalah nyeri dada dengan lokasi dan kualitas angina,

yang dicetuskan oleh aktivitas dan tidak berpengaruh terhadap nitrat. Gejala ini

seringkali timbul pada pasien dengan angina mikrovaskular.14,15

Nyeri dada non-angina memiliki karakteristik kualitas yang rendah, meliputi

sebagian kecil hemithorax kanan atau kiri, bertahan selama beberapa jam atau bahkan

hari. Nyeri non - angina ini biasanya tidak hilang dengan nitrat. Penyebab non-

kardiak harus dievaluasi pada kasus-kasus ini.15

Klasifikasi yang dibuat oleh Canadian Cardiovascular Society (CCS) dapat

digunakan untuk menilai derajat severitas angina stabil.

Tabel 1. Klasifikasi Berdasarkan Canadian Crdiovaskular Society (CCS)

Kelas I Aktivitas biasa tidak menyebabkan angina, seperti berjalan

atau naik tangga. Angina muncul dengan mengejan atau

aktivitas cepat dan lama saat bekerja atau olahraga.

Kelas II Sedikit pembatasan pada aktivitas biasa. Angina saat

berjalan cepat atau naik tangga, berjalan atau naik tangga

setelah makan atau pada cuaca dingin, angina pada stress

emosional, atau hanya beberapa jam setelah bangun tidur.


Berjalan lebih dari dua blok atau menanjak lebih dari satu

tangga pada kecepatan dan kondisi normal.

Kelas III Pembatasan yang jelas pada aktivitas fisik biasa. Angina

muncul saat berjalan satu atau dua blok, naik satu lantai

pada kondisi dan kecepatan normal.

Kelas IV Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas fisik tanpa

rasa tidak nyaman, angina dapat timbul saat istirahat.

Penting untuk diingat bahwa sistem nilai ini secara eksplisit memperlihatkan

bahwa nyeri pada saat istirahat (rest pain) dapat muncul pada semua kelas sebagai

manifestasi vasospasme koroner. Kriteria berdasarkan CCS ini digunakan untuk

menunjukkan keterbatasan aktivitas maksimum harian pasien.14,15

b. Sindroma Koroner Akut (SKA)

Sindroma koroner akut (SKA) adalah manifestasi akut dari plak atheroma

pembuluh darah koroner yang pecah akibat perubahan komposisi plak dan penipisan

tudung fibrosa yang menutupi plak tersebut. SKA dibagi menjadi angina pektoris

tidak stabil/ APTS (unstable angina pectoris (UAP), infark miokard akut non-elevasi

segmen ST (IMA-NEST) atau Acute Non ST Elevated Myocardial Infarction

(NSTEMI), dan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) atau

Acute ST Elevated Myocardial Infarction (STEMI).8

NSTEMI dan APTS ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut

tanpa elevasi segmen ST yang menetap di 2 sadapan yang bersebelahan. Rekaman

EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T,
gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalisasi, atau bahkan tanpa

perubahan. Kedua jenis ini dibedakan berdasarkan hasil pemeriksaan biomarka

jantung. Bila hasil pemeriksaan biomarka jantung menunjukkan peningkatan yang

bermakna maka diagnosisnya adalah NSTEMI tetapi jika tidak meningkat secara

bermakna maka diagnosisnya menjadi APTS.8

STEMI adalah indikator terjadinya oklusi total dari pembuluh darah koroner.

Keadaan ini membutuhkan revaskularisasi segera untuk mengembalikan aliran darah

dan reperfusi miokard yang dapat dilakukan dengan terapi fibrinolitik (menggunakan

medikamentosa) atau melalui Primary PCI (Percutaneous Coronary Intervention).

Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan keluhan angina pektoris akut disertai

elevasi segmen ST yang persisten di 2 sadapan bersebelahan. Berbeda dengan

NSTEMI dan APTS, tatalaksana revaskularisasinya tidak perlu menunggu hasil

peningkatan biomarka jantung.8

V. Patogenesis

Aterosklerosis adalah etiopatogenik utama yang menyebabkan penyakit

jantung koroner dan progresifitasnya tergantung pada faktor lingkungan maupun

faktor genetik.16 Proses aterosklerosis ini tidak hanya terjadi pada pembuluh darah

koroner tetapi dapat mengenai berbagai arteri di tubuh dan akan bermanifestasi sesuai

dengan organ yang diperdarahinya.17 Aterosklerosis adalah proses kronis yang

ditandai dengan akumulasi progresif daripada lemak, fibrin, dan molekul-molekul

inflamasi di dalam lumen arteri.14

Proses ini dimulai dengan disfungsi endodotel akibat bahan kimia ataupun

stress hemodinamik yang menyebabkan rusaknya peran endotel sebagai permeability


barrier. Hal ini memudahkan masuknya kolesterol low density lipoprotein (LDL) ke

dalam tunika intima dan selanjutnya LDL akan terakomodasi di ruang subendotel

dengan berikatan dengan matriks ekstraseluler yaitu proteoglikan. LDL tersebut akan

dioksidasi oleh ROS (Reactive Oxygen Species) dan pro enzym yang dihasilkan oleh

makrofag dan sel otot pembuluh darah sehingga menjadi mLDL (modified LDL).

LDL yang teroksidasi adalah molekul kemotaktik kuat yang dapat memicu adhesi sel-

sel vascular pada permukaan endotel, serta menstimulasi adhesi leukosit (terutama

monosit dan limfosit) dan migrasi ke ruang subendotel. Monosit berubah menjadi

makrofag di dalam tunika intima memakan mLDL melalui reseptor scavenger (pada

makrofag) dan membentuk sel busa (foam cell) yang akan melepaskan sitokin pro

inflamasi termasuk di dalamnya interleukin (IL) dan tumor necrosis factor (TNF).16

Foam cell akan menghasilkan beberapa faktor yang dapat merekrut sel otot.

Sebagai contoh dihasilkannya platelet derived growth factor (PDGF) yang

menyebabkan terjadinya migrasi sel otot dari internal elastik lamina ke ruang sub

intima, tempat dimana sel otot bereplikasi. Foam cell juga melepaskan sitokin dan

faktor pertumbuhan seperti TNF α, IL-1, Fibroblast growth factor, dan TGF β yang

akan menstimulasi sel otot berproliferasi dan menghasilkan protein matriks

ekstraseluler (kolagen dan elastin) dan lebih lanjut mencetuskan pelepasan sitokin

yang mendorong dan mempertahankan inflamasi pada lesi. Adanya sel otot yang

menghasilkan kolagen akan membentuk fibrous cap. Pembentukan fibrous cap dan

deposisi matriks ekstraseluler ini sebenarnya merupakan proses sintesis dan degradasi

yang saling bergantian yaitu dimana (1) sintesis yaitu sel otot merangsang kolagen

melalui TGF β dan PDGF, dan (2) degradasi yaitu T-lymphocyte derived cytokine
IFN – γ menghambat sintesis kolagen dan lebih lanjut sitokin akan merangsang foam

cell untuk menghasilkan MMP (matrix metalloproteinase) yang akan melemahkan

fibrous cap sehingga mudah ruptur. Proses sintesis dan degrasi ini terus berlanjut

tanpa menyebabkan gejala. Kematian dari sel otot dan foam cell baik karena stimulasi

inflamasi yang berlebihan maupun karena apoptosis menyebabkan lemak dan debris

seluler membentuk lipid core. Ukuran dari lipid core memiliki peranan biomekanikal

untuk stabilnya plak. Selain itu deposisi dan distribusi fibrous cap merupakan hal

yang penting dalam intergritas plak, jika fibrous cap tebal maka plak tersebut akan

jarang ruptur yang sering kita sebut plak stabil, tetapi apabila fibrous cap tipis akan

cenderung menyebabkan ruptur dari plak.16

Gambar 1 Atherosklerosis

Ruptur plak akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur

koagulasi sehingga terbentuk thrombus yang kaya trombosit (white thrombus).


Trombus ini akan menyumbat lubang pembuluh darah koroner baik secara total

maupun parsial, atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang

lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan

vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya

aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Suplai oksigen yang

berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami

nekrosis (infark miokard/IM).14

Selain disebabkan oleh aterosklerosis, penyakit jantung koroner dapat

disebabkan beberapa hal antara lain penurunan perfusi akibat hipotensi (misal

hipovolemia atau syok septik), penurunan pengangkut oksigen darah yang cukup

berat (misal anemia, kelainan paru), perdarahan masif (perdarahan berat

meyebabkan berkurangnya hemoglobin atau hipotensi). Namun beberapa kondisi

dapat menyebabkan iskemia mendadak tanpa harus didahului aterosklerosis seperti

takikardi cepat, hipertensi akut atau stenosis aorta berat.18

VI. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan secara cepat, tepat dan terarah.

a. Anamnesis

Gambaran klinis angina pektoris stabil nyeri dada seperti tertekan yang

muncul setelah aktivitas, terkadang menjalar ke bagian leher, rahang bahu, dan

lengan. Nyeri segera hilang dengan istirahat atau penghentian aktivitas. Durasi nyeri

3-15 menit dan angina tidak berubah dalam waktu 6 bulan.14


Sedangkan pada infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum yang

terasa berat, menekan, seperti diremas-remas, terbakar dan terkadang dijalarkan ke

leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di dada.

IMA sering didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun,

nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada

hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan

pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah. Pada sebagian kecil pasien

(20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama

terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia

lanjut.14

Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:14

i. Lokasi: substernal, retrosternal, dan precordial

ii. Sifat nyeri: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti

ditusuk, rasa diperas dan dipelintir.

iii. Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga keleher, rahang bawah, gigi,

punggung, perut dan dapat juga ke lengan kanan.

iv. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau pemberian nitrat.

v. Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah makan.

vi. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas

dan lemas.

a. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan tetapi

pasien tampak cemas, tidak dapat istirahat (gelisah), sering kali ekstremitas pucat
disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak

keringat merupakan kecurigaan kuat adanya IMA-EST. Umumnya dalam batas

normal, kecuali jika terdapat komplikasi atau komorbid.4

b. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu :

i. Elektrokardiogram (EKG)

Semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada

iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin

sesampainya di ruang gawat darurat. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat

dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat dan sebaiknya

diulang setiap keluhan angina timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai

pada pasien dengan keluhan angina dapat bervariasi, yaitu: normal, non-

diagnostik, left bundle branch block (LBBB) baru/persangkaan baru, elevasi

segmen ST yang persisten (≥ 20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi

segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. Penilaian elevasi ST

dilakukan pada titik J dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Berikut

adalah nilai ambang diagnostik elevasi segmen ST dan lokasi infark berdasasrkan

sadapan EKG.14

Tabel 2. Nilai ambang diagnostik elevasi segmen ST14


Tabel 3. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG14

ii.

Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tanpa elevasi segmen ST

yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard non-elevasi segmen ST

(IMA-NEST) atau angina pektoris tidak stabil (APTS). Setelah perekaman EKG

awal dan penatalaksanaan, perlu dilakukan perekaman EKG serial atau

pemantauan terus-menerus.14

i. Pemeriksaan Laboratorium

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan biomarka

nekrosis miosit jantung dan menjadi biomarka untuk diagnosis infark miokard,

dimana troponin I/T memiliki sensitivitas dan spesivisitas lebih tinggi dari CK-

MB. Beberapa biomarka enzim jantung dapat dilihat pada tabel 3.14

Tabel 3. Biomarka Jantung

Emzim First Duration of Sensitivity Spesificity Puncak

Jantung Detection Detection

Myoglobin 1,5-2 jam 8-12 jam +++ + 4-12 jam

CK-MB 2-3 jam 1-2 hari +++ +++ 12-24 jam


Troponin I 3-4 jam 7-10 hari ++++ ++++ 14-18 jam

Troponin 3-4 jam 7-14 hari ++++ ++++ 14-18 jam

Selain biomarka jantung, pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan

adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes

fungsi ginjal dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda

terapi SKA.14

iii. Pemeriksaan Foto Polos Dada

Tujuan pemeriksaan foto polos dada adalah untuk membuat diagnosis

banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta. Kemungkinan terjadinya

SKA dapat diketahui melalui gejala dan tanda berikut:14

- Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak

seluruhnya tipikal pada saat di evaluasi di ruang gawat darurat.

- EKG normal atau non-diagnostik, dan

- Biomarka jantung normal

Gejala dan tanda definitf SKA adalah sebagai berikut:

- Angina tipikal

- EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk IMA-EST, depresi

ST atau inversi T yag diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau

LBBB baru/persangkaan baru.

- Peningkatan biomarka jantung.


iv. Ekokardiografi

Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis angina

stabil secara langsung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri,

adanya insufisiensi mitral dan abnormalitas gerakan dinding regional jantung,

menandakan prognosis kurang baik.14

Terdapat beberapa perbedaan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang pada angina pektoris stabil dan sindroma koroner akut. Dapat

dilihat pada gambar berikut.

VII. Tatalaksana Penyakit Jantung Koroner

Tujuan tatalaksana awal di IGD pada pasien yang dicurigai SKA mencakup

mengurangi atau menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang


merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan

yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan IMA-

EST. 2,14

Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja

Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat,

sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang

dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak

harus diberikan semua atau bersamaan.14

1) Tirah baring

2) Pada semua pasien IMA-EST direkomendasikan untuk mengukur saturasi

oksigen perifer. Oksigen diindikasikan pada pasien hipoksemia SaO2 ,90%

atau paO2 <60% mmHg

3) Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui

intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat

absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat.

4) Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)

 Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan

dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien IMA-EST yang

direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik atau

 Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis

pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi


reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang

dianjurkan adalah clopidogrel).

5) Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada

yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. jika nyeri dada tidak

hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai

maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak

responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. dalam keadaan tidak

tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti

6) Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien

yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IIa-B).

Pada APTS dan IMA-NEST terdapat stratifikasi untuk menentukan strategi

penanganan selanjutnya (konservatif atau invasif). Beberapa stratifikasi risiko yang

digunakan adalah TIMI (Thrombolysis In Myocardial Infarction), dan GRACE

(Global Registry of Acute Coronary Events), sedangkan CRUSADE (Can Rapid risk

stratification of Unstable angina patients Suppress Adverse outcomes with Early

implementation of the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk menstratifikasi risiko

terjadinya perdarahan.

Tabel 4. Stratifikasi risiko berdasarkan skor TIMI14


Tabel 5. Skor TIMI untuk APTS dan IMA-NEST14

Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan

strategi invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasif melibatkan

dilakukannya angiografi, dan ditujukan pada pasien dengan tingkat risiko tinggi

hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan angiografi ditentukan berdasarkan beberapa

parameter dan dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:14

1. Strategi invasif segera (<2 jam). Pasien risiko sangat tinggi direkomendasikan

untuk menjalani revaskularisasi tanpa menghiraukan hasil EKG maupun

Biomarka jantung.

2. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam. Dilakukan bila pasien memiliki

skor GRACE >140 atau dengan salah satu kriteria risiko tinggi (high risk)

primer

3. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam Dilakukan bila pasien memenuhi

salah satu kriteria risiko tinggi (high risk) atau dengan gejala berulang

4. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif.

Dalam strategi konservatif, evaluasi invasif awal tidak dilakukan secara rutin.
Tatalaksana lanjut:14

Obat-obat yang diperlukan untuk penanganan SKA14

● Anti iskemik: nitrat, B-bloker, Ca antagonis.

Table 6. Jenis dan dosis nitrat

Tabel 7. Jenis dan dosis obat penyekat beta

Tabel 7. Jenis dan dosis obat penyekat kanal kalsium

● Anti platelet oral: aspirin, clopidogrel.


Tabel 7. Jenis dan dosis obat antiplatelet

● Anti koagulan: heparin (UFH, LMWH).

Tabel 9. Jenis dan dosis obat antikoagulan

● Terapi tambahan: Ace inhibitor/ ARB, Statin.

Tabel 10. Jenis dan dosis obat penghambat ACE

Tabel 11. Jenis dan dosis obat statin


Apabila menemukan kasus kemungkinan SKA dengan gambaran EKG non-

diagnostik dan biomarka jantung normal, maka diperlukan untuk menjalani observasi

di ruang gawat darurat sesuai dengan algoritma berikut.

Gambar 2 Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA14

Terapi Fibrinolitik

Dianjurkan pada:14

1. Presentasi <3 jam

2. Tindakan invasif tidak mungkin dilakukan atau akan terlambat


3. Tidak ada kontraindikasi fibrinolitik.

Kontraindikasi Fibrinolitik:2

Kontraindikasi absolut:

● Riwayat perdarahan intrakranial apapun.

● Lesi structural cerebrovaskular.

● Tumor intracranial (primer ataupun metastasis).

● Stroke iskemik dalam 3 bulan atau dalam 3 jam terakhir.

● Dicurigai adanya suatu diseksi aorta.

● Adanya trauma/ pembedahan/ truma kepala dalam 3 bulan terakhir.

● Adanya perdarahan aktif (termasuk menstruasi).

Kontraindikasi relatif

● Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol.

● Riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia, atau kelainan

intracranial selain yang disebutkan pada kontraindikasi absolute.

● Resusitasi jantung paru traumatik atau lama > 10 menit atau operasi

besar < 3 minggu.

● Perdarahan internal dalam 2-4 minggu terakhir.

● Terapi antikoagulan oral.

● Kehamilan.

● Non compressible punctures.

● Ulkus peptikum aktif.

● Khusus untuk streptokinase/ anistreplase: riwayat pemaparan

sebelumnya (>5hari) atau riwayat alergi terhadap zat-zat tersebut.


Tabel 12. Regimen fibrinolitik untuk IMA14
Langkah pemberian fibrinolitik untuk IMA14

Percutaneous coronary intervention (PCI)

1) PCI primer, dianjurkan pada:14

● Presentasi ≥3 jam

● Tersedia fasilitas PCI.

● Waktu kontak antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon < 90 menit.

● (Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi) dikurangi (waktu

antara pasien tiba sampai dengan proses fibrinolitik) < 1jam.

● Terdapat kontraindikasi fibrinolitik.

● Risiko tinggi (gagal jantung kongestif, Killip 3).

● Diagnosis infark miokard dengan elevasi ST masih diragukan.


2) PCI kombinasi dengan fibrinolitik

Dapat dilakukan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi jika tindakan PCI

tidak dapat dilakukan dengan segera dan pada pasien dengan risiko

perdarahan rendah. Pada tindakan ini tidak dianjurkan menggunakan

penghambat reseptor GPIIb/ IIIa dengan dosis penuh.14

3) Rescue PCI

Dilakukan bila terdapat kegagalan trombolitik pada pasien dengan infark luas

dengan:18

● Hemodinamik tidak stabil atau dengan aritmia.

● Keluhan iskemik yang berkepanjangan.

● Syok kardiogenik.

Pada pasien-pasien dengan kegagalan reperfusi atau terjadi reoklusi dimana

rescue PCI tidak dapat dilakukan segera, reperfusi secara medikamentosa harus

dipertimbangkan dengan fibrinolitik ulang atau tirofiban. Pemilihan stent pada PCI

primer atau rescue PCI adalah Bare metal stent (BMS).14

Penatalaksaan pada Angina Pektoris Stabil

Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi gejala dan mengurangi risiko

morbiditas dan mortalitas (memperbaiki prognosis). Secara umum penatalaksanaan

PJK meliputi modifikasi pola hidup, kontrol faktor risiko PJK, dan terapi

farmakologis berdasarkan bukti-bukti yang telah ada, dan edukasi pasien. Non

farmakologi mencakup perubahan pola hidup seperti berhenti merokok, konsumsi

diet yang sehat, kurangi konsumsi makanan tinggi karbohidrat dan garam, aktivitas

fisik, mengatur berat badan dalam batas ideal , kontrol kadar lipid dengan target
LDL<70mg/dl dan mengontrol tekanan darah dengan target <140/90mmHg serta

pada pasien dengan diabetes, gula darah harus selalu terkontrol dengan target HbA1c

<7%.14

Gambar 2 Tatalaksana farmakologis dan non farmakologis pasien

Angina Pectoris Stabil (APS)14

VIII. Komplikasi

Komplikasi dari penyakit jantung koroner tergantung dari tingkat keparahan

PJK pada pasien.

1. Disfungsi Ventrikular

Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan

ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut

remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal jantung secara

klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Pembesaran ruang jantung

secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark, dengan

dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan
penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis

lebih buruk.14

2. Gangguan Hemodinamik

a. Gagal Jantung

Dalam fase akut dan sub aktut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi

miokardium. Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai konsekuensi dari

aritmia yang berkelanjutan atau sebagai komplikasi mekanis. Diagnosis gagal

jantung secara klinis pada fase akut dan subakut STEMI didasari oleh gejala-

gejala khas seperti dispnea, tanda seperti sinus takikardi, suara jantung ketiga

atau ronkhi pulmonal, dan bukti-bukti objektif disfungsi kardiak seperti

dilatasi ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi ejeksi. Penilaian hemodinamik

dilakukan berdasarkan pemeriksaan fisik lengkap, pemantauan EKG, saturasi

oksigen, tekanan darah dan pengukuran urine output setiap jam. Pasien

dengan jejas miokardium luas dalam fase akut dapat menunjukkan tanda dan

gejala gagal jantung kronik, dan diagnosis ini memerlukan penatalaksanaan

sesuai panduan gagal jantung kronik.14

b. Hipotensi

Hipotensi ditandai dengan tekanan darah sistolik menetap di bawah 90

mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga

disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis.

Hipotensi bila berlanjut akan menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular

necrosis dan berkurangnya urine output.14

c. Kongesti paru
Ditandai dengan dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal,

berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada rontgen dada dan

perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator.14

d. Keadaan output rendah

Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang buruk

dengan hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi urin.14

e. Syok kardiogenik

Tanda dan gejala klinis syok kardiogenik yang dapat ditemukan beragam dan

menentukan berat tidaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka pendek.

Pasien biasanya datang dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah

(takikardia saat istirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas

dingin) dan kongesti paru. Syok kardiogenik biasanya dikaitkan dengan

kerusakan ventrikel kiri luas, namun juga dapat terjadi pada infark ventrikel

kanan, baik mortalitas jangka pendek maupun jangka panjang tampaknya

berkaitan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri awal dan beratnya regurgitasi

mitral.14

3. Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut

Keadaan ini sering ditemukan dalam beberapa jam pertama setelah infark

miokard. Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa manifestasi dari

kondisi berat yang mendasarinya, seperti iskemia miokard, kegagalan pompa,

perubahan tonus otonom, hipoksia dan gangguan elektrolit seperti hipokalemia dan

gangguan asam basa.14

a. Aritmia supraventrikular
Fibrilasi atrium sering dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat dan

gagal jantung. Fibrilasi atrium dapat terjadi selama beberapa menit hingga jam

dan sering kali berulang.14

b. Aritmia ventricular

Takikardi ventrikel perlu dibedakan dengan irama idioventrikular yang

terakselerasi. Irama tersebut terjadi akibat reperfusi, dimana laju ventrikel

<120 detak permenit dan biasanya tidak berbahaya. VT yang tidak berlanjut

(<30 detik) bukan prediktor yang baik untuk VF awal dan dapat ditoleransi

dengan baik, biasanya tidak memerlukan pengobatan. Kejadian yang lebih

lama dapat menyebabkan hipotensi dan gagal jantung serta dapat memburuk

menjadi VF. VT yang berlanjut atau disertai keadaan hemodinamik yang tidak

satbil memerlukan terapi supresif. VF yang berlanjut atau VF yang terjadi

melewati fase akut awal dapat berulang dan dikaitkan dengan risiko kematian

yang tinggi. Meskipun kemungkinan iskemia miokard perlu selalu

disingkirkan dalam kasus aritmia ventrikel, perlu ditekankan bahwa

revaskularisasi tidak dapat mencegah henti jantung berulang pada pasien

dengan fungsi ventrikel kiri abnormal yang berat atau dengan VT monomorf

yang berlanjut, bahkan bila aritmia terjadi awalnya merupakan akibat dari

iskemia transien.14

4. Komplikasi kardiak

a. Regurgitasi katup mitral

Keadaan ini dapat terjadi selama fase subakut akibat dilatasi ventrikel kiri,

gangguan m. Papilaris, atau pecahnya ujung m. Papilaris atau chordae


tendinae. Keadaan ini biasanya ditandai dengan perburukan hemodinamis

dengan dispnea akut, kongesti paru dan murmur sistolik baru, biasanya tidak

terlalu diperhatikan dalam konteks ini. Diagnosis ini dicurigai dengan

pemeriksaan klinis dan perlu segera dikonfirmasi dengan ekokardiografi

darurat. Edema paru dan syok kardiogenik dapat terjadi dengan cepat.14

b. Ruptur jantung

Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase subakut setelah

infark transmural, dan muncul sebagai nyeri tiba-tiba dan kolaps

kardiovaskular dengan disosiasi elektromekanis. Diagnosis dikonfirmasi

dengan ekokardiografi. Apabila tersumbat oleh formasi trombus, ruptur

dinding subakut yang terdeteksi dengan cepat dapat dilakukan

perikardiosintesis dan operasi segera.14

c. Ruptur septum ventrikel

Keadaan ini biasanya ditandai perburukan klinis yang terjadi dengan cepat

dengan gagal jantung akut dan murmur sistolik yang kencang yang terjadi

pada fase subakut.14

d. Infark ventrikel kanan

Keadaan ini dapat terjadi sendiri atau lebih jarang lagi terkait dengan STEMI

dinding inferior. Biasanya gejalanya muncul sebagai triad hipotensi, lapangan

paru yang bersih serta peningkatan tekanan vena jugularis.14

e. Perikarditis

Gejala perikarditis antara lain nyeri dada berulang, biasanya khas yaitu tajam

dan bertentangan dengan iskemia rekuren, terkait dengan postur dan


pernapasan. Perikarditis dapat muncul sebagai re-elevasi segmen ST dan

biasanya ringan dan progresif, yang membedakannya dengan re-elevasi

segmen ST yang tiba-tiba seperti pada re-oklusi koroner akibat trombosis

stent.14

f. Aneurisma ventrikel kiri

Pasien dengan infark transmural besar, terutama di dinding anterolateral,

dapat mengalami perluasan infark yang diikuti dengan pembentukan

aneurisma ventrikel kiri. Proses remodelling ini terjadi akibat kombinasi

gangguan sistolik dan diastolik dan seringkali regurgitasi mitral.

Ekokardiografi Doppler dapat menilai volume ventrikel kiri, fraksi ejeksi,

derajat dan luasnya abnormalitas gerakan dinding, dan mendeteksi trombus

yang memerlukan antikoagulasi.14

g. Trombus ventrikel kiri

Frekuensi terjadinya trombus ventrikel kiri telah berkurang terutama karena

kemajuan dari terapi reperfusi, penggunaan obat-obatan antitrombotik dalam

STEMI, dan berkurangnya ukuran infark miokardium akibat reperfusi

miokardium yang segera dan efektif. Meskipun beberapa penelitian

menunjukkan bahwa hampir seperempat infark miokard anterior memiliki

trombus ventrikel kiri yang dapat terdeteksi, keadaan ini dikaitkan dengan

prognosis yang buruk karena berhubungan dengan infark yang luas, terutama

bagian anterior dengan keterlibatan apikal dan risiko embolisme sistemik.14

IX. Prognosis
Prognosis pada penyakit jantung koroner juga tergantung dari beberapa hal

yaitu:14

1. Wilayah yang terkena oklusi

2. Sirkulasi kolateral

3. Durasi atau waktu oklusi

4. Oklusi total atau parsial

5. Kebutuhan oksigen miokard

Terdapat sistem untuk menentukan prognosis pasca infark miokard akut salah

satunya adalah Klasifikasi Killip, yaitu sebagai berikut :14,19

Tabel 13. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Aku14,19

Kelas Definisi Mortalitas (%)

I Tak ada tanda gagal jantung 6

kongestif

II + S3 dan/atau ronki basah 17

III Edema paru 30-40

IV Syok kardiogenik 60-80

DAFTAR PUSTAKA
1. Sianturi ET, Kurniawaty E. Pengaruh Pektin terhadap Penurunan Risiko Penyakit
Jantung Koroner. Majority. 2019;8:162-167.

2. Shahjehan RD, Bhutta BS. Coronary Artery Disease. [Updated 2021 Nov 14]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK564304/

3. Roger VL, Go AS, Lloyd-Jones DM, et al. Heart disease and stroke statistics-
2012 update: A report from the American Heart Association. Circulation.
2012;123(4):1-8.

4. Setyaji DY, Prabandari YS, Gunawan IMA. Aktivitas fisik dengan penyakit
jantung koroner di Indonesia. J Gizi Klin Indones. 2018;14(3):115.

5. Rebbi SP, Susi Irawati, Diana Arianti. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Prnyakit Jantung Koroner Di Poliklinik Jantung Rst. Dr. Reksodiwiryo. Padang
Tahun 2018. Jik- J Ilmu Kesehat. 2018;2(2):143-154.

6. World Health Organitation (WHO) 2021. Cardiovascular diseases (CVDs). 2021.


Available at : https://www.who.int/news-room/fact- sheets/detail/cardiovascular-
diseases-(cvds)

7. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil utama riset kesehatan dasar.


2018.

8. Santosa WN, Baharuddin B. Penyakit Jantung Koroner dan Antioksidan.


KELUWIH J Kesehat dan Kedokt. 2020;1(2):98-103.

9. Rebbi SP, Susi Irawati, Diana Arianti. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Prnyakit Jantung Koroner Di Poliklinik Jantung Rst. Dr. Reksodiwiryo. Padang
Tahun 2018. Jik- J Ilmu Kesehat. 2018;2(2):143-154.

10. Sari YA, Widiastuti W, Fitriyasti B. Gambaran Faktor Risiko Kejadian Penyakit
Jantung Koroner di Poliklinik Jantung RSI Siti Rahmah Padang Tahun 2017-
2018. Heal Med J. 2020;3(1):20-28. 

11. Mandagi IV, Sudirman S, Yani A. Penyakit Jantung Koroner. J Kesehat Masy.
2019.

12. Roger VL, Go AS, Lloyd-Jones DM, et al. Heart disease and stroke statistics-
2012 update: A report from the American Heart Association. Circulation.
2012;123(4):1-8.

13. Diastutik D. Proporsi karakteristik penyakit jantung koroner pada perokok aktif
berdasarkan karakteristik merokok. J Berk Epidemiol. 2016;4(3):326-337.

14. PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut 2018. Perhimpunan dokter
spesialis kardiovaskular Indonesia. 2018.

15. PERKI. Pedoman Tata Laksana Angina Pektoris Stabil. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2019.

16. Themistocleous I, Stefanakis M, Douda HT. Coronary Heart Disease Part I :
Pathophysiology and Risk Factors. J Phys Act Nutr Rehabil. 2017;(April):167-
175.

17. Braunwald, E. et al., Harrison’s principle of internal medicine, 15th Edition.


McGraw-Hill. 2001

18. Satoto HH. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner. JAI (Jurnal Anestesiologi
Indonesia) [Online]. 2014 Nov;6(3):209-225

19. Kursus Bantuan Hidup Lanjut ACLS INDONESIA. Jakarta:2011. Hal 60-76

Anda mungkin juga menyukai