Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN KASUS

LAMPIRAN

1. Triase IGD

Triase berasal dari bahasa Prancis trier bahasa Inggris triage dan
diturunkan dalam bahasa Indonesia triase yang berarti sortir yaitu proses
khusus memilah pasien berdasarkan beratnya cedera atau penyakit untuk
menentukan jenis perawatan gawat darurat.

Triase merupakan upaya pengelompokkan pasien secara cepat dengan


memperhatikan gejala berupa berat atau ringannya cedera yang dialami
pasien ada atau tidaknya gangguan Airway, Breathing, dan Circulation.

Tujuan Triase adalah memberikan petolongan secara cepat, tepat


terutama pada korban dalam keadaan kritis atau emergensi yang memerlukan
tindakan segera sehingga nyawa korban dapat diselamatkan.

Prinsip pelaksanaan triase:

 Triase seharusnya dilakukan segera dan tepat waktu kemampuan


berespon dengan cepat terhadap kemungkinan penyakit yang mengancam
kehidupan atau injuri adalah hal yang terpenting di departemen
kegawatdaruratan.
 Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat Intinya, ketelitian dan
keakuratan adalah elemen yang terpenting dalam proses interview.
 Keputusan dibuat berdasarkan pengkajian Keselamatan dan perawatan
pasien yang efektif hanya dapat direncanakan bila terdapat informasi
yang adekuat serta data yang akurat
 Melakukan intervensi berdasarkan keakutan dari kondisi Tanggung jawab
utama seorang perawat triase adalah mengkaji secara akurat seorang
pasien dan menetapkan prioritas tindakan untuk pasien tersebut. Hal
tersebut termasuk intervensi terapeutik, prosedur diagnostic dan tugas
terhadap suatu tempat yang dapat diterima untuk suatu pengobatan.
 Tercapainya kepuasan pasien

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 41


LAPORAN KASUS

 Pengambilan keputusan dalam proses triage dilakukan berdasarkan :


Ancaman jiwa mematikan dalam hitungan menit. , dapat mati dalam
hitungan jam, trauma ringan, sudah meninggal
Klasifikasi Triase :
 Prioritas 1/Merah (Emergency/Immadiate)
Pasien yang mengalami cedera yang mengancam jiwa yang dapat diobati
dengan waktu, personel, dan persediaan yang minimal. bahwa pasien
juga memiliki kesempatan yang baik untuk sembuh.
Warna merah menandakan bahwa pasien dalam keadaan mengancam
jiwa, prioritas pertama (warna merah) diantaranya adalah frekuensi
nafas>32x/menit, suara nafas mengi, nadi terasa lemah, nadi 150x/menit,
pucat, akral dingin, CRT > 2 detik, dan GCS 9-12.
 Prioritas 2/Kuning (Urgent)
Menunjukkan bahwa pengobatan dapat ditunda untuk jangka waktu
terbatas tanpa kematian yang signifikan atau pasien yang dirawat di ICU
yang bantuan hidupnya mungkin atau mungkin tidak memberikan hasil
yang diharapkan mengingat tingkat keparahan penyakit mereka.
Prioritas pertama (warna kuning) diantaranya adalah frekuensi nafas >24-
32 x/ menit, suara nafas mengi, tekanan darah sistol > 160mmHg, diastol
>100mmHg dan GCS>12.
 Prioritas 3/Hijau (Delayed)
Pasien dengan cedera ringan yang pengobatannya mungkin tertunda
sampai pasien dalam kategori lain telah ditangani atau pasien yang tidak
memerlukan perawatan icu untuk pemberian bantuan hidup.
Prioritas pertama (warna hijau) diantaranya adalah frekuensi nafas 16-
29x/menit, nadi 8-120x/menit, tekanan darah sistol 120-160 mmHg,
diastole 80-100 mmHg dan GSC 15. Contoh luka superfisial. Penyakit
atau luka yang masuk ke prioritas hijau adalah fraktur ringan disertai
perdarahan, benturan ringan atau laserasi, histeris, dan luka bakar ringan.
 Prioritas 4/Biru (expectant)

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 42


LAPORAN KASUS

Pasien yang mengalami cedera yang memerlukan perawatan ekstensif


yang melebihi sumber daya medis yang tersedia dalam situasi tersebut
atau yang bantuan hidupnya dianggap sia-sia.
prioritas pertama (warna biru) diantaranya adalah sumbatan, henti nafas.
 Hitam (Dead)
Pasien yang berada dalam serangan jantung dan yang upaya resusitasi
tidak akan diberikan.

Gambar 1. Klasifikasi Triase

2. Indikasi ICU
Pasien yang dirawat di ICU adalah pasien dengan gangguan akut
yang masih diharapkan reversible (pulih kembali seperti semula)
mengingat ICU adalah tempat perawatan yang memerlukan biaya tinggi
dilihat dari segi peralatan dan tenaga (yang khusus). Indikasi pasien yang
layak dirawat di ICU adalah:
 Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh Tim intensive
care
 Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh
secara terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan
pengawasan yang konstan terus menerus dan metode terapi titrasi

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 43


LAPORAN KASUS

 Pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan


tindakan segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis

Setiap dokter primer dapat mengusulkan agar pasiennya bisa dirawat


di ICU asalkan sesuai dengan indikasi masuk yang benar. Mengingat
keterbatasan ketersediaan fasilitasi di ICU, maka berlaku asas prioritas
dan keputusan akhir merupakan kewenangan penuh kepala ICU.

Kriteria pasien masuk berdasarkan diagnosis menggunakan kondisi


atau penyakit yang spesifik untuk menentukan kelayakan masuk ICU.

 Sistem Kardiovaskuler
Kondisi atau penyakit spesifik dari sistem kardiovaskuler yang
mengindikasikan pasien untuk masuk ICU adalah sebagai berikut:
a. Infark miokard akut dengan komplikasi
b. Syok kardiogenik
c. Aritmia kompleks yang membutuhkan monitoring ketat dan
intervensi
d. Gagal jantung kongestif dengan gagal napas dan/atau
membutuhkan support hemodinamik
e. Hipertensi emergensi
f. Angina tidak stabil, terutama dengan disritmia, hemodinamik
tidak stabil, atau nyeri dada menetap
g. S/P cardiac arrest
h. Tamponade jantung atau konstriksi dengan hemodinamik tidak
stabil
i. Diseksi aneurisma aorta
j. Blokade jantung komplit
 Sistem Pernafasan
Kondisi atau penyakit spesifik dari sistem kardiovaskuler yang
mengindikasikan pasien untuk masuk ICU adalah sebagai berikut:
a. Gagal napas akut yang membutuhkan bantuan ventilator
b. Emboli paru dengan hemodinamik tidak stabil

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 44


LAPORAN KASUS

c. Pasien dalam perawatan Intermediate Care Unit yang mengalami


perburukan fungsi pernapasan
d. Membutuhkan perawat/perawatan pernapasan yang tidak tersedia
di unit perawatan yang lebih rendah tingkatnya misalnya
Intermediate Care Unit
e. Hemoptisis massif
f. Gagal napas dengan ancaman intubasi

 Penyakit Neurologis
Kondisi atau penyakit spesifik dari sistem kardiovaskuler yang
mengindikasikan pasien untuk masuk ICU adalah sebagai berikut:
a. Stroke akut dengan penurunan kesadaran
b. Koma: metabolik, toksis, atau anoksia
c. Perdarahan intracranial dengan potensi herniasi
d. Perdarahan subarachnoid akut
e. Meningitis dengan penurunan kesadaran atau gangguan
pernapasan
f. Penyakit sistem saraf pusat atau neuromuskuler dengan penurunan
fungsi neurologis atau pernapasan (misalnya: Myastenia Gravis,
Syndroma Guillaine-Barre)
g. Status epileptikus
h. Mati batang otak atau berpotensi mati batang otak yang
direncanakan untuk dirawat secara agresif untuk keperluan donor
organ
i. Vasospasme
j. Cedera kepala berat
 Overdosis obat atau keracunan obat
Kondisi atau penyakit spesifik akibat overdosis obat atau
keracunan obat yang mengindikasikan pasien untuk masuk ICU
adalah sebagai berikut:
a. racunan obat dengan hemodinamik tidak stabil

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 45


LAPORAN KASUS

b. Keracunan obat dengan penurunan kesadaran signifikan dengan


ketidakmampuan proteksi jalan napas
c. Kejang setelah keracunan obat
 Penyakit Gastrointestinal
Kondisi atau penyakit spesifik dari sistem gastrointestinal yang
mengindikasikan pasien untuk masuk ICU adalah sebagai berikut:
a. Perdarahan gastrointestinal yang mengancam nyawa termasuk
hipotensi, angina, perdarahan yang masih berlangsung, atau
dengan penyakit komorbid
b. Gagal hati fulminant
c. Pankreatitis berat
d. Perforasi esophagus dengan atau tanpa mediastinitis
 Endokrin
Kondisi atau penyakit spesifik dari sistem endokrin yang
mengindikasikan pasien untuk masuk ICU adalah sebagai berikut:
a. Ketoasidosis diabetikum dengan komplikasi hemodinamik tidak
stabil, penurunan kesadaran, pernapasan tidak adekuat atau
asidosis berat
b. Badai tiroid atau koma miksedema dengan hemodinamik tidak
stabil
c. Kondisi hiperosmolar dengan koma dan/atau hemodinamik tidak
stabil
d. Penyakit endokrin lain seperti krisis adrenal dengan hemodinamik
tidak stabil
e. Hiperkalsemia berat dengan penurunan kesadaran, membutuhkan
monitoring hemodinamik
f. Hipo atau hypernatremia dengan kejang, penurunan kesadaran
g. Hipo atau hipermagnesemia dengan hemodinamik terganggu atau
disritmia
h. Hipo atau hyperkalemia dengan disritmia atau kelemahan otot
i. Hipofosfatemia dengan kelemahan otot
 Bedah

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 46


LAPORAN KASUS

Kondisi khusus yang mengindikasikan pasien bedah untuk masuk


ICU adalah pasien pasca operasi yang membutuhkan monitoring
hemodinamik/bantuan ventilator atau perawatan yang ekstensif
 Lain-lain
a. Syok sepsis dengan hemodinamik tidak stabil
b. Monitoring ketat hemodinamik
c. Trauma faktor lingkungan (petir, tenggelam, hipo /
hypernatremia)
d. Terapi baru / dalam percobaan dengan potensi terjadi komplikasi
e. Kondisi klinis lain yang memerlukan perawatan setingkat ICU

Kriteria pasien masuk berdasarkan parameter objektif untuk


menentukan kelayakan masuk ICU diantaranya :

 Tanda vital
Dilihat dari parameter objektif, pasien yang layak untuk masuk
ICU adalah pasien dengan tanda vital sebagai berikut:
a. Nadi 140 kali/menit
b. Tekanan darah sistolik arteri <80 mmHg atau 20 mmHg
dibawah tekanan darah pasien sehari-hari
c. MAP <60 mmHg
d. Tekanan darah diatolik >120 mmhg
e. Frekuensi napas >35 kali/menit
 Nilai laboratorium
Dilihat dari parameter objektif, pasien yang layak untuk masuk
ICU adalah pasien dengan nilai laboratorium sebagai berikut:
a. Natrium serum >110 mEq/L atau >170 mEq/L
b. Kalium serum <2,0 mEq/L atau >7,0 mEq/L
c. PaO2 <7,1 atau >7,7
d. Glukosa serum >800 mg/dl
e. Kalsium serum >15 mg/dl
f. Kadar toksik obat atau bahan kimia lain dengan gangguan
hemodinamik dan neurologi

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 47


LAPORAN KASUS

 Radiografi/Ultrasonografi/Tomografi
Dilihat dari parameter objektif, pasien yang layak untuk masuk
ICU adalah pasien dengan gambaran radiografi / tomografi sebagai
berikut:
a. Perdarahan vascular otak, kontusio atau perdarahan subarachnoid
dengan penurunan kesadaran atau tanda deficit neurologis fokal
b. Ruptur organ dalam, kandung kemih, hepar, varises esophagus
atau uterus dengan hemodinamik tidak stabil
c. Diseksi aneurisma aorta

 Elektrokardiogram
Dilihat dari parameter objektif, pasien yang layak untuk masuk
ICU adalah pasien dengan gambaran elektrokardiogram sebagai
berikut:
a. Infark miokard dengan aritmia kompleks, hemodinamik tidak
stabil atau gagal jantung kongestif
b. Ventrikel takikardi menetap atau fibrilasi
c. Blokade jantung komplit dengan hemodinamik tidak stabil
 Pemeriksaan fisik (onset akut)
Dilihat dari parameter objektif, pasien yang layak untuk masuk
ICU adalah pasien dengan hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut:
a. Pupil anisokor pada pasien tidak sadar
b. Luka bakar >10% BSA
c. Anuria
d. Obstruksi jalan napas
e. Koma
f. Kejang berlanjut
g. Sianosis
h. Tamponade jantung

Apabila sarana dan prasarana ICU di suatu rumah sakit terbatas


sedangkan kebutuhan pelayanan ICU yang lebih tinggi banyak, maka

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 48


LAPORAN KASUS

diperlukan mekanisme untuk membuat prioritas. Dalam keadaan yang


terbatas, pasien yang memerlukan terapi intensif (prioritas 1) lebih
didahulukan disbanding dengan pasien yang hanya memerlukan
pemantauan intensif (prioritas 3). Penilaian objektif atas berat dan
prognosis penyakit hendaknya digunakan sebagai dasar pertimbangan
dalam menentukan prioritas masuk ke ICU.

 Priotitas 1
Pasien yang termasuk dalam prioritas ini adalah pasien sakit
kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan tertitrasi,
seperti: dukungan / bantuan ventilasi, alat penunjang fungsi organ /
sistem yang lain, infus obat - obat vasoaktif / inotropik, obat anti
aritmia, serta pengobatan lain – lainnya secara kontinyu dan
tertitrasi. Pasien yang termasuk prioritas 1 adalah pasien pasca bedah
kardiotorasik, sepsis berat, gangguan keseimbangan asam basa dan
elektrolit yang mengancam jiwa.
 Prioritas 2
Kriteria pasien ini memerlukan pelayanan canggih di ICU, sebab
sangat beresiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera,
misalnya pemantauan intensif menggunakan pulmonary arterial
catheter. Pasien yang tergolong dalam prioritas 2 adalah pasien yang
menderita penyakit dasar jantung – paru, gagal ginjal akut dan berat,
dan pasien yang telah mengalami pembedahan mayor.
 Prioritas 3
Pasien yang termasuk kriteria ini adalah pasien sakit kritis, yang
tidak stabil status kesehatan sebelumnya, yang disebabkan oleh
penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, secara sendirian
atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan atau manfaat terapi di
ICU pada kriteria ini sangat kecil, sebagai contoh adalah pasien
dengan keganasan metastatic disertai penyulit infeksi, pericardial
tamponade, sumbatan jalan napas, dan pasien penyakit jantung dan
penyakit paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 49


LAPORAN KASUS

Pengelolaan pada pasien kriteria ini hanya untuk mengatasi


kegawatan akutnya saja, dan usaha terapi mungkin tidak sampai
melakukan intubasi atau resusitasi jantung paru.
 Prioritas 4
Pasien dalam prioritas ini bukan merupakan indikasi masuk ICU.
Pasien yang termasuk kriteria ini adalah pasien dengan keadaan yang
“terlalu baik” ataupun “terlalu buruk” untuk masuk ICU.
3. Tumor lisis sindrom
Tumor lisis sindrom adalah kondisi klinis yang dapat terjadi
secara spontan atau setelah memulai kemoterapi yang terkait dengan
gangguan metabolisme berikut: hiperkalemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, dan hiperurisemia yang menyebabkan kerusakan organ
akhir. Hal ini paling sering terjadi pada pasien dengan tumor padat.
Tumor lisis sindrom adalah keadaan darurat metabolik dan
onkologis yang sering ditemui dalam praktik klinis. Kondisi ini lazim
pada pasien onkologi dewasa dan anak-anak yang menjalani kemoterapi.
Sebagian besar gejala yang terlihat pada pasien dengan tumor lisis
sindrom terkait dengan pelepasan zat kimia intraseluler yang
menyebabkan gangguan fungsi organ target. Hal ini dapat menyebabkan
cedera ginjal akut (AKI), aritmia fatal, dan kematian.
Etiologi
Tumor lisis sindrom paling sering terjadi pada pasien yang
didiagnosis dengan leukemia yang memiliki jumlah leukosit yang sangat
tinggi.  Dapat dilihat pada limfoma tingkat tinggi, terutama setelah
inisiasi kemoterapi agresif. Tumor padat lainnya yang dapat
menyebabkan tumor lisis sindrom adalah hepatoblastoma atau
neuroblastoma.  Ada laporan tumor lisis sindrom yang terjadi secara
spontan sebelum memulai kemoterapi.
Klasifikasi tumor berdasarkan risiko pengembangan tumor lisis sindrom:
a. Risiko tinggi
 Limfoma Burkitt stadium lanjut
 Leukemia stadium lanjut

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 50


LAPORAN KASUS

 Leukemia stadium awal atau limfoma Burkitt dengan peningkatan


laktat dehidrogenase
 Leukemia limfositik akut dengan jumlah leukosit lebih dari
100.000/mcg, atau jika peningkatan laktat dehidrogenase dari
baseline dua kali batas atas normal
 Limfoma sel B besar difus (DLBCL) dan penyakit besar dengan
dehidrogenase laktat dasar dua kali batas atas normal
 Leukemia mieloid akut (AML) dengan jumlah leukosit lebih dari
atau sama dengan 10.000/mcg
b. Risiko sedang
 AML dengan jumlah leukosit antara 25.000 dan 100.000/mcg
 Leukemia limfositik akut (ALL) dengan jumlah leukosit kurang
dari 100.000/mikroL dan LDH kurang dari dua kali batas atas
normal
 DLBCL dengan peningkatan awal laktat dehidrogenase dua kali
batas atas normal tetapi penyakit tidak besar
 Leukemia stadium awal dan limfoma Burkitt dengan laktat
dehidrogenase kurang dari dua kali batas atas normal
c. Risiko ringan
 Kanker padat
 Multiple myeloma
 Limfoma indolen
 Leukemia limfositik kronis
 Leukemia mieloid kronis 
 AML dengan jumlah WBC kurang dari 25.000/mcg dan laktat
dehidrogenase meningkat menjadi kurang dari dua kali batas atas
normal
d. Jarang
Jarang, tumor lisis sindrom dikaitkan dengan pemberian steroid,
imunomodulator biologis, dan antibodi monoklonal. Agen yang terkait
dengan perkembangan tumor lisis sindrom meliputi:

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 51


LAPORAN KASUS

 Talidomid

 Bortezomib

 Hidroksiurea

 paclitaxel

 fludarabin

 Etoposida

 Asam zoledronat

Tumor lisis sindrom paling sering dikaitkan dengan inisiasi


kemoterapi sitotoksik. Namun, ada laporan kasus tumor lisis sindrom
yang dipicu oleh terapi radiasi, termasuk penggunaan thalidomide, terapi
deksametason, dan penggunaan agen kemoterapi yang lebih baru seperti
rituximab dan bortezomib.
Patofisiologi

Patofisiologi tumor lisis sindrom rumit. Tumor lisis sindrom


disebabkan oleh pelepasan masif ion intraseluler seperti kalium, fosfor,
dan asam nukleat yang telah dimetabolisme menjadi asam urat. Organ
utama yang bertanggung jawab untuk ekskresi zat-zat ini adalah
ginjal. Ketika respon kompensasi ginjal habis sebagai akibat dari
pelepasan besar ion intraseluler, uropati obstruktif asam urat
berkembang, yang kemudian dapat berkembang menjadi cedera ginjal
akut.

Molekul yang disebut nukleotida terdiri dari DNA. Nukleotida ini


adalah unit yang terbuat dari gugus fosfat, gugus gula, dan basa
nitrogen. Basa nitrogen adalah adenin, timin, guanin, atau sitosin. Adenin
dan guanin adalah purin, sedangkan timin dan sitosin adalah pirimidin.
Asam ribonukleat, bagaimanapun, terdiri dari gula ribosa dan basa
nitrogen adenin, timin, dan urasil.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 52


LAPORAN KASUS

Metabolisme purin adenin dan guanin dalam proses bertahap


mengarah pada produksi xantin. Adenin dimetabolisme menjadi
hipoksantin, sedangkan guanin dimetabolisme menjadi xantin. Xanthine
kemudian dimetabolisme lebih lanjut menjadi asam urat dalam reaksi
yang dikatalisis oleh xanthine oxidase. Kebanyakan mamalia memiliki
enzim urat oksidase yang dapat mengubah asam urat menjadi allantoin,
yang merupakan zat yang lebih larut yang dapat dengan mudah
diekskresikan oleh ginjal. Manusia kekurangan enzim ini.

Karena pergantian sel tumor yang cepat, ada produksi asam urat
yang berlebihan, yang kemudian mengkristal di tubulus ginjal
menyebabkan uropati obstruktif dari dan penurunan laju filtrasi
glomerulus. Pada model tikus, nefropati urat menyebabkan peningkatan
tekanan tubulus proksimal dan distal. Tekanan kapiler peritubulus dan
resistensi vaskular juga meningkat. Asam urat mengais oksida nitrat,
yang merupakan vasodilator kuat. Pemulungan oksida nitrat
menghasilkan vasokonstriksi dan iskemia ginjal. Asam urat juga
merupakan agen pro-inflamasi potensial dan dapat menyebabkan
pelepasan sitokin lain seperti tumor necrosis faktor-alpha, protein I.
Sitokin ini menarik leukosit dan memfasilitasi cedera lebih lanjut pada
ginjal.
Konsentrasi kalium di dalam sel adalah sekitar 120 sampai 130
meq/L. Lisis sel tumor menyebabkan pelepasan besar kalium
intraseluler. Kelebihan kalium biasanya diambil oleh hati dan otot
rangka. Sisanya diekskresikan melalui sistem gastrointestinal atau
ginjal. Uropati obstruktif dari garam asam urat dapat membatasi ekskresi
kalium. Terkadang hiperkalemia dari tumor padat dapat mencapai tingkat
yang berpotensi mengancam jiwa. Risiko hiperkalemia adalah henti
jantung akibat aritmia.
Hiperfosfatemia adalah ketidakseimbangan elektrolit lain yang
terkait dengan tumor lisis sindrom. Asam nukleat memiliki gugus fosfat,
dan pemecahan sel tumor akan menyebabkan pelepasan sejumlah besar
fosfor ke dalam aliran darah. Sebagian besar fosfor diekskresikan melalui

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 53


LAPORAN KASUS

ginjal. Kemampuan ginjal untuk menangani beban fosfor yang tinggi ini


dihambat oleh cedera ginjal akut atau penyakit ginjal kronis.
Hiperfosfatemia lebih jarang terjadi pada tumor lisis sindrom
spontan dibandingkan dengan yang diinduksi oleh kemoterapi. Ini
menyebabkan khelasi kalsium, menyebabkan hipokalsemia. Pengendapan
garam kalsium dan fosfor di ginjal dan jaringan lunak juga dapat terjadi.
Hipokalsemia pada tumor lisis sindrom sebagian besar sekunder
untuk khelasi fosfor. Kondisi ini lebih berpotensi mengancam jiwa
daripada hiperfosfatemia. Kemungkinan komplikasi dari hipokalsemia
termasuk aritmia, tetani, kejang, dan kematian. Tingkat kalsium mungkin
masih relatif rendah bahkan setelah normalisasi tingkat fosfor karena
kekurangan 1,25 Vitamin D.

Gambar 2. Patofisiologi dan manifestasi klinis

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 54


LAPORAN KASUS

Gambar 3. Patofisiologi Tumor lisis sindrom

Diagnosis
Anamnesis
Waktu timbulnya keganasan harus dimunculkan dengan
memperhatikan adanya gejala konstitusional seperti penurunan berat
badan atau anoreksia. Adanya gejala pernapasan dispnea, ortopnea, dan
takipnea dapat menjadi tanda kompresi jalan napas dari tumor primer.
Gejala saluran kemih seperti disuria, nyeri pinggang, dan hematuria.
Tanda dan gejala yang dapat dikaitkan dengan hipokalsemia termasuk
mual, muntah, kejang, kejang tetanik, dan perubahan status mental.
Manifestasi klinis lain dari tumor lisis sindrom termasuk, tetapi
tidak terbatas pada, serangan sinkop, lesu palpitasi, pitting edema, edema
wajah, distensi abdomen, dan tanda kelebihan cairan lainnya.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus fokus pada kelainan elektrolit yang
berhubungan dengan tumor lisis sindrom. Temuan fisik yang terkait
dengan kelainan ini tercantum di bawah ini.
Hipokalsemia

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 55


LAPORAN KASUS

1. Spasme karpal
2. Kejang pedal
3. tetani
4. Tanda Chvostek
5. Tanda Trousseau
6. Mengi terkait dengan bronkospasme
7. Kejang
Uremia untuk hiperurisemia dan uropati obstruktif
1. Kelemahan
2. Kelesuan
3. Rasa tidak enak
4. Mual
5. muntah
6. Rasa logam di mulut
7. Sifat lekas marah
8. pruritus umum
9. Rales dan Ronchi dari kelebihan volume
10. Suara jantung teredam akibat perikarditis sekunder akibat uremia
11. Nyeri sendi
12. Sakit kolik ginjal
13. Deposit kristal kalsium fosfat di kulit
14. pruritus
15. Ganggren

Tanda dan gejala tumor lisis sindrom dapat berkembang secara


spontan atau sekitar 72 jam setelah dimulainya kemoterapi.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 56


LAPORAN KASUS

Gambar 4. Faktor risiko dan diagnosis tumor lisis sindrom

Kriteria Cairo-Bishop juga memfaktorkan tingkat keparahan


tumor lisis sindrom berdasarkan tingkat keparahan penyakit dari grade 0
(asimptomatik) hingga 4 (kematian).

Gambar 5. Kriteria Cairo-Bishop

Diagnosis Laboratorium Tumor lisis sindrom


Membutuhkan 2 atau lebih dari kriteria berikut yang dicapai
dalam periode 24 jam yang sama dari 3 hari sebelum hingga 7 hari
setelah inisiasi kemoterapi:

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 57


LAPORAN KASUS

 Asam urat meningkat 25% dari baseline atau lebih besar atau sama
dengan 8,0 mg/dL
 Kalium 25% meningkat dari baseline atau lebih besar dari atau sama
dengan 6,0 mEq/L
 Fosfor 25% meningkat dari awal atau lebih besar dari atau sama
dengan 0,5 mg/dL (lebih besar dari atau sama dengan 6,5 mg/dL
pada anak-anak)
 Kalsium 25% menurun dari baseline atau kurang dari atau sama
dengan 7,0 mg/dL
Diagnosis Klinis Tumor lisis sindrom
Tumor lisis sindrom laboratorium ditambah 1 atau lebih dari berikut ini:
 Kreatinin lebih besar dari 1,5 kali batas atas normal dari rentang
referensi yang disesuaikan dengan usia
 Kejang
 Aritmia jantung atau kematian mendadak
 Asal-usul AKI lainnya harus disingkirkan.

Gambar 5. Tanda dan gejala tumor lisis sindrom

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 58


LAPORAN KASUS

Dalam evaluasi tumor lisis sindrom, studi berikut diperlukan:


Pencitraan
X-ray dan CT scan dada untuk mengevaluasi adanya massa
mediastinum dan adanya efusi pleura yang menyertai. CT scan dan USG
abdomen dan struktur retroperitoneal jika lesi massa terletak di abdomen
atau retroperitoneum. Perawatan harus dilakukan dengan kontras
intravena (IV) karena adanya AKI pada tumor lisis sindrom.
Elektrokardiografi (EKG)
EKG adalah bagian dari pemeriksaan untuk pasien dengan tumor
lisis sindrom untuk memeriksa temuan yang terkait dengan hiperkalemia
dan hipokalsemia. Hiperkalemia adalah penyebab potensial aritmia fatal
pada tumor lisis sindrom.
Hitung Darah Lengkap (CBC)
CBC membantu dalam diagnosis keganasan yang terkait dengan
tumor lisis sindrom. Ciri dari kebanyakan keganasan adalah leukositosis
dengan anemia dan trombositopenia.
Panel Metabolik Komprehensif (CMP)
Gangguan metabolik yang terkait dengan tumor lisis sindrom
adalah hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia, dan
hiperurisemia. Nitrogen urea darah (BUN), kreatinin, dan laktat
dehidrogenase juga meningkat pada tumor lisis sindrom. CMP harus
dipantau antara dua sampai tiga kali sehari sebelum dan sesudah memulai
terapi. Peningkatan nilai laboratorium mungkin merupakan indikasi awal
dari tumor lisis sindrom.
Analisa urin
Pengendapan garam asam urat dapat menyebabkan uropati
obstruktif. Dalam pengobatan tumor lisis sindrom, alkalinisasi urin
dengan natrium bikarbonat adalah standar perawatan. Analisis urin yang
sering dengan penilaian pH urin, berat jenis, dan keluaran adalah wajib.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 59


LAPORAN KASUS

Tatalaksana
Ekspansi Cepat Volume Intravaskular
Pengobatan tumor lisis sindrom dimulai dengan ekspansi volume
yang cepat. Disarankan untuk menggunakan kristaloid dalam ekspansi
volume karena ini akan membantu meningkatkan laju filtrasi glomerulus
(GFR) dengan cepat. Peningkatan GFR membantu ekskresi zat terlarut
yang terkait dengan tumor lisis sindrom. Kekurangannya adalah fungsi
ginjal harus tetap utuh. Cairan intravena harus dimulai 48 jam sebelum
dimulainya kemoterapi dan harus dilanjutkan selama 48 jam setelah
kemoterapi. Hidrasi dengan sekitar 3 hingga 3,5 liter/m2 per hari atau 4
hingga 5 liter per hari mungkin diperlukan untuk memberikan hidrasi
yang memadai. Ini akan memberikan output urin sekitar 3 liter per hari. 
Allopurinol
Allopurinol merupakan isomer struktural hipoksantin. Xanthine
oxidase mengubah allopurinol menjadi oxypurinol. Ini adalah metabolit
aktif, dan diekskresikan terutama oleh ginjal. CKD atau AKI
mengganggu eliminasi oxypurinol. Tingkat xantin dalam urin dan serum
dapat meningkat setelah pemberian allopurinol karena penghambatan
konversi xantin menjadi asam urat. Xanthine dengan sendirinya memiliki
kelarutan yang terbatas dan dapat mengkristal di tubulus ginjal membuat
uropati obstruktif yang terkait dengan tumor lisis sindrom menjadi lebih
buruk.
Allopurinol dapat menurunkan produksi asam urat pada tumor
lisis sindrom tetapi tidak efektif dalam pengobatan hiperurisemia yang
berhubungan dengan tumor lisis sindrom. Allopurinol adalah agen yang
sangat berguna untuk mencegah perkembangan tumor lisis sindrom.
Penggunaan allopurinol dikaitkan dengan perkembangan ruam
kulit, eosinofilia, dan hepatitis akut. Kombinasi gejala ini disebut
sindrom hipersensitivitas allopurinol.
Dalam pengobatan tumor lisis sindrom, dokter harus menyadari
potensi interaksi obat-ke-obat dengan azathioprine, penggunaan obat

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 60


LAPORAN KASUS

imunosupresif pada pasien dengan transplantasi organ padat, dan


gangguan autoimun.
Oksidase Urat Rekombinan
Versi rekombinan dari urat oksidase adalah obat yang digunakan
untuk mengobati hiperurisemia pada pasien dengan leukemia, limfoma,
dan tumor padat yang menjalani kemoterapi, berasal dari
Aspergillus dengan teknologi rekombinan. Mekanisme kerja obat ini
adalah mengkatalisis asam urat menjadi allantoin, karbon dioksida, dan
hidrogen peroksida.
Hidrogen peroksida adalah agen pengoksidasi kuat dan dapat
menyebabkan methemoglobinemia berat atau anemia hemolitik pada
pasien dengan defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase G6PD. Obat ini
dapat diberikan secara intramuskular. Ini juga dapat diberikan secara
intravena dengan dosis antara 50 hingga 100 U/kg per hari.
Natrium Bikarbonat untuk Alkalinisasi Urin
Urin normal bersifat asam dengan pH sekitar 5. Kelarutan asam
urat dalam urin meningkat sekitar 10 kali lipat dengan alkalinisasi
urin. Hal ini dapat dicapai dengan menambahkan sekitar 40 hingga 50
mEq/liter natrium bikarbonat ke dalam cairan yang digunakan untuk
hidrasi pada tumor lisis sindrom.
Risiko alkalinisasi urin adalah penurunan tingkat kalsium
terionisasi karena ikatan kalsium dengan albumin lebih sedikit. Hal ini
dapat memperburuk hipokalsemia yang terkait dengan tumor lisis
sindrom yang menyebabkan aritmia atau tetani. Selain itu, alkalinisasi
urin dapat mendukung pengendapan garam kalsium dan fosfat di tubulus
ginjal sehingga memperburuk AKI pada tumor lisis sindrom.
Oleh karena itu, alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat
hanya dianjurkan jika rasburicase tidak tersedia. Bahkan dengan itu,
tingkat kalsium harus dipantau secara berkala.
Kalsium
Kalsium klorida dan kalsium glukonat dapat diberikan secara
parenteral untuk mengobati hipokalsemia. Pada tumor lisis sindrom,

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 61


LAPORAN KASUS

hipokalsemia merupakan akibat sekunder dari hiperfosfatemia; oleh


karena itu, pemberian kalsium dapat mempotensiasi pengendapan kristal
kalsium fosfat di jaringan lunak dan ginjal yang memperburuk AKI. Ini
kadang-kadang mungkin memerlukan penggunaan hemodialisis.
Hemodialisis
Hemodialisa merupakan pilihan yang digunakan dalam situasi
jika tingkat kalium dan fosfor terlalu tinggi dalam menghadapi tumor
lisis sindrom terkait AKI. Pada tumor lisis sindrom, ada pembebasan ion
intraseluler yang sedang berlangsung. Jika hemodialisis intermiten
digunakan untuk pembersihan ekstrakorporeal, hiperkalemia rebound
atau hiperfosfatemia dapat terjadi. Karena itu, terapi penggantian ginjal
terus menerus adalah modalitas terbaik untuk menghilangkan zat
terlarut. Hal ini dilakukan dengan laju aliran tinggi untuk dialisat atau
cairan pengganti. Untuk hiperkalemia yang mengancam jiwa,
hemodialisis dini dianjurkan. Untuk hiperfosfatemia berat, terapi
penggantian ginjal terus menerus mungkin juga merupakan modalitas
pengobatan terbaik.
Febuxostat
Obat ini juga merupakan inhibitor xanthine oxidase yang relatif
baru di pasaran. Ini lebih mahal daripada allopurinol. Itu tidak
menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang berhubungan dengan
allopurinol.
Dalam uji klinis, Febuxostat for Tumor Lisis Sindrom Prevention
in Hematologic Malignancies (FLORENCE), febuxostat memberikan
kontrol yang lebih baik terhadap hiperurisemia dari tumor lisis sindrom
dengan profil keamanan yang baik dan pelestarian fungsi ginjal.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 62


LAPORAN KASUS

Gambar 6. Tatalaksana TLS

4. Syok hipovolemik
Definisi
Syok hipovolemik terjadi karena volume intravaskuler berkurang
akibat perdarahan, kehilangan cairan akibat diare, luka bakar, dan
muntah, sehingga menyebabkan pengiriman oksigen dan nutrisi ke sel
tidak adekuat. Beberapa perubahan hemodinamik yang terjadi pada
kondisi syok hipovolemik adalah penurunan CO (cardiac output),
penurunan BP (blood pressure), peningkatan SVR (sistemic vascular
resistance), dan penurunan CVP (central venous pressure).
Etiologi
Syok hipovolemik terjadi akibat terganggunya sistem sirkulasi
akibat dari volume darah dalam pembuluh darah berkurang. Syok
hipovolemik dapat disebabkan oleh perdarahan yang masif atau
kehilangan plasma darah.
Syok hipovolemik akibat perdarahan seperti :
 Hematom supkapsular hepar
 Aneurisma aorta pecah
 Perdarahan gastroimtestinal

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 63


LAPORAN KASUS

 Perlukaan berganda
Syok hipovolemik akibat kehilangan plasma diantaranya:
 Luka bakar yang luas
 Pankreatitis
 Deskuamasi kulit
 Sindrom dumping
Syok hipovolemik akibat kehilangan cairan ekstraselular seperti:
 Muntah
 Diare
 Terapi diuretik yang sangat agresif
 Diabetes insipidus
 Insufisiensi adrenal
Patofisiologi
Patofisiologi pada syok hipovolemik sangat tergantung dari
penyakit primer yangmenyebabkannya. Namun secara umum, prinsipnya
sama. Jika terjadi penurunan tekanandarah yang cepat akibat kehilangan
cairan, kebocoran atau sebab lain, maka tubuh akanmengadakan respon
fisiologis untuk mempertahankan sirkulasi dan perfusi yang adekuatke
seluruh tubuh. Secara umum, tubuh melakukan kontrol terhadap tekanan
darah melaluisuatu sistem respon neurohumoral yang melibatkan
beberapa reseptor di tubuh. Reseptor tersebut diantaranya adalah:
 Baroreseptor
Reseptor ini peka terhadap rangsang yaitu perubahan tekanan di
dalam pembuluh darah. Reseptor ini masih peka terhadap penurunan hin
gga 60 mmHg. Reseptor ini terletak di sinus karotikus, arkus aorta,
atrium kiri dan kanan, ventrikel kiri dan kanan serta arteri dan vena
pulmonalis. Jika terjadi penurunan tekanan darah maka terjadi 2
mekanisme oleh baroreseptor yaitu :
1) Perangsangan terhadap fungsi jantung untuk meningkatkan
kemampuan sirkulasi, heart rate dan kekuatan pompa dinaikkan
2) Perangsangan fungsi pembuluh darah untuk meningkatkanresistensi
perifer (vasokonstriksi) untuk meningkatkan tekanan darah

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 64


LAPORAN KASUS

 Kemoreseptor
Reseptor ini bekerjasama dengan baroreseptor untuk mengatur
sirkulasi. Kemoreseptor dirangsang oleh perubahan pH darah. Jika
mencapai kondisiasidosis, kemoreseptor memberikan rangsangan untuk
mempercepat sirkulasi dan laju pernafasan. Dan sebaliknya apabila
terjadi alkalosis, responnya adalah memperlambat sirkulasi dan
pernafasan
 Serebral ischemic reseptor
Reseptor di otak ini mulai bekerja ketika aliran darah di otak turun
<40mmHg. Akan terjadi respon massive sympathetic discharge  untuk
merangsangsistem sirkulasi jauh lebih kuat
 Humoral respons
Saat kondisi hipovolemik, sistem hormonal tubuh mengeluarkan
hormon stress untuk membantu memacu sirkulasi. Hormon tersebut
diantaranya adrenalin,glukagon dan kortisol. Hormon-hormon tersebut
juga membantu terjadinya respon kardiologis yaitu takikardi,
vasokonstriksi namun terdapat efek hiperglikemia. Pada kondisi tubuh
yang stress, hormon ADH juga dikeluarkan sehingga restriksi cairan
makin kuat. Produksi urin turun.
 Sistem kompensasi ginjal
RAA Sistem ini sangat membantu dalam kondisi syok. Jika terjadi
hipoperfusi ke ginjal maka akan terjadi pengeluaran hormon renin oleh
aparatus juxtaglomerolus untuk mengubah angiotensinogen menjadi angi
otensin I. Angiotensin I kemudian diubah menjadi Angiotensin II oleh
ACE (angiotensin converting enzyme). Angiotensin II memiliki fungsi
yaitu vasokonstriktor kuat, kemudian juga merangsang aldosteron untuk
meningkatkan absorpsi Natrium di Tubulus Ginjal.
 Autoperfusi
Saat terjadi syok, dapat terjadi mekanisme autoperfusi untuk
memindahkancairan intraselular ke dalam vaskular. Pada keadaan
hipovolemik, maka tekanan hidrostatik intravaskular menurun sehingga
memungkinkan untuk terjadi perpindahan dari intrasel ke vaskular

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 65


LAPORAN KASUS

sampai terjadi keseimbangan antara keduanya. Hal ini ditunjukkan


dengan klinis yaitu turgor yang menurun.
Keseluruhan proses ini bekerja secara stimulan, dan hampir
bersamaan sehinggamenciptakan suatu respon yang adekuat untuk
mengatasi kondisi hipovolemik. Akibatdari semua proses ini adalah
vasokonstriksi yang luas, sebagai akibatnya maka tekanandiastolik akan
meningkat pada fase awal sehingga tekanan nadi menyempit.
Proses kompensasi ini juga menyebabkan kondisi metabolisme
anaerob, terjadiasidosis metabolik. Proses hipovolemia akan
menyebabkan pertukaran O2 dan CO2 melambat. Maka lama-kelamaan
akan terjadi metabolisme anaerobik. Hal inilah yang menjadi cikal bakal
kegagalan sirkulasi pada syok hipovolemia.
Akibat dari hipoksia dan berkurangnya nutrisi ke jaringan maka
metabolismelama-lama menjadi anaerob dan tidak efektif. Metabolisme
anaerobik hanya menghasilkan 2 ATP dari setiap molekul glukosa.
Sedangkan pada metabolisme aerob menghasilkan ATP sebanyak 36
molekul. Akibat dari metabolisme anaerobik adalah 
penumpukan asam laktat yang bisa menyebabkan kondisi asidosis. Lama
-kelamaan metabolisme ini tidak mampu menyediakan energi yang
cukup untuk mempertahankan homeostasis seluler. Terjadi kerusakan
pompa ionik, permeabilitas kapiler jugaterganggu, sehingga terjadi
influx dan eflux elektrolit yang tidak seimbang, dan pada akhirnya
terjadi kematian sel. Jika kematian sel meluas, maka terjadi banyak
kerusakan jaringan, kemudian terjadi multiple organ failure atau
kegagalan organ multipel dan kejang yang irreversibel.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 66


LAPORAN KASUS

Gambar 7. Patogenesis Syok Hipovolemik


Diagnosis
Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa
ketidakstabilan hemodinamik da ditemukan adanya sumber perdarahan.
Gejala klinis syok hipovolemik akibat perdarahan dan non-perdarahan
sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok.
Respons fisiologi yang normal adalah mempertahankan perfusi terhadap
otak dan jantung sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi yang
efektif. Maka akan terjadi peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi,
pembuluh darah vena yang kolaps, pelepasan hormone stress serta
ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan
menggunakan cairan intersisial, intraselular dan menurunkan produksi
urin.
Hipovolemia ringan (<20% volume darah) akan menunjukan gejala
klinis berupa:
 Ekstremitas dingin
 CRT meningkat
 Diaphoresis

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 67


LAPORAN KASUS

 Vena kolaps
 Cemas
Hipovolemia sedang (20-40% volume darah) akan menunjukan gejala
sama dengan hipovolemia ringan ditambah dengan:
 Takikardi
 Takipnea
 Oligouria
 Hipotensi ortostatik
Hipovolemia berat (>40% volume darah) memiliki gejala sama dengan
hipovolemia sedang ditambah dengan:
 Hemodinamik tidak stabil
 Takikardi bergejala
 Hipotensi
 Perubahan kesadaran

Gambar 8. Gejala dan Tanda Hipovolemia

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 68


LAPORAN KASUS

Tatalaksana
Resusitasi/optimalisasi sirkulasi
1) Pasang 2 line dengan kateter IV yang besar
2) Jumlah cairan dan kecepatan pemberian disesuaikan dengan
derajat syok dan etiologi
3) Khusus untuk syok hemoragik jumlah cairan kristaloid:darah
yang hilang adalah 3-4:1, sedangkan dengan pemberian koloid
1:1
4) Koloid sintetik (HES, dextran) hanya diindikasikan pada syok
hemoragik dan DSS
Small volume resuscitation
Resusitasi dengan hypertonic saline dextran / saline 7,5% dalam
6% dextran 70 telah digunakan untuk resusitasi volume kecil pada syok
hemoragik dengan dosis 4 ml/kgbb.
Transfusi darah
Transfusi darah diberikan pada pasien jika tidak mengalami
perbaikan hemodinamik minimal atau sedang setelah infus cepat 2-3 liter
kristaloid. American society of anesthesiologists mendapatkan bahwak
kadar haemoglobin (Hb) >10 mg/dl dan hematokrit >30% jarang
memerlukan transfusi darah. Kadar Hb <6mg/dl dan hemtokrit <18%
selalu memerlukan transfuse, sedangan kan kadar Hb diantara 6-10 mg/dl
kebutuhan transfusi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penyakit
dasar yang berpengaruh terhadap penurunan hantaran oksigen dan laju
kehilangan darah terus berlanjut.
Keberhasilan terapi syok hipovolemik bias dinilai dari parameter-
parameter berikut :
 CRT <2 detik
 MAP 65-70 mmHg
 Saturasi O2 >95%
 Urin output >0.5 ml/kgbb/jam
 Shock index (pada syok hemoragik) :HR/SBP (normal 0,5-0,7)
 CVP 8-12 mmHg

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 69


LAPORAN KASUS

 ScvO2 > 70%


5. Syok Kardiogenik
Definisi
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh
penurunan curah jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular
yang cukup, dan dapat mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok
kardiogenik disebabkan oleh gangguan kinerja miokard yang
mengakibatkan penurunan curah jantung, hipoperfusi organ, dan
hipoksia. Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian utama pada
pasien yang dirawat dengan infark miokard akut.
Syok kardiogenik didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik < 90
mmHg selama lebih dari 30 menit di mana:
 Tidak responsif dengan pemberian cairan saja.
 Sekunder terhadap disfungsi jantung.
 Berkaitan dengan tanda-tanda hipoperfusi.
Termasuk yang dipertimbangkan dalam definisi ini adalah:
 Pasien dengan tekanan darah > 90 mmHg dalam 1 jam setelah
pemberian obat inotropik.
 Pasien yang meninggal dalam 1 jam hipotensi, tetapi memenuhi
kriteria lain syok kardiogenik.
Etiologi
Terdapat banyak proses yang dapat menyebabkan syok
kardiogenik. Syok kardiogenik bisa terjadi secara akut pada pasien tanpa
riwayat penyakit jantung sebelumnya atau secara progresif pada pasien
dengan gagal jantung kronis. Yang paling sering menjadi etiologi syok
kardiogenik adalah sindrom koroner akut (termasuk infark miokard
dengan elevasi segmen ST dan non-elevasi segmen ST) yang
menyumbang hampir dari 80% kasus.
Hal tersering yang menyebabkan syok kardiogenik adalah
komplikasi mekanik akibat infark miokard akut. Diantara komplikasi
tersebut adalah: rupture septal ventrikel, ruptur atau disfungsi otot
papilaris, ruptur miokar, dan disfungsi ventrikel kiri. Takiaritmia atau

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 70


LAPORAN KASUS

bradiaritmia yang rekuren juga dapat menyebabkan syok kardiogenik


yang terjadi akibat disfungsi ventrikel kiri
Patofisiologi
Gangguan patofisiologi sentral pada syok kardiogenik adalah
terjadinya penurunan curah jantung, di mana hal ini menyebabkan
hipoperfusi sistemik dan siklus maladaptif dari iskemia, inflamasi,
vasokonstriksi, dan kelebihan volume, sering berujung pada kegagalan
sistem multiorgan dan kematian. Gangguan jantung awal mungkin
berasal dari berbagai etiologi. Penurunan curah jantung dan disfungsi
diastolik yang progresif meningkatkan tekanan akhir diastolik ventrikel,
yang mengurangi tekanan perfusi koroner, kontraktilitas miokard, dan
stroke volume.
Sebagai respon terhadap iskemia dan nekrosis jaringan, pelepasan
mediator inflamasi selanjutnya merusak metabolisme jaringan dan
menginduksi produksi oksida nitrat, yang menyebabkan vasodilatasi
sistemik dan memperburuk hipotensi, menekan miokardium yang sudah
disfungsi. Respon maladaptif ini mungkin akut, seperti yang terjadi pada
infark miokard akut, atau disebabkan oleh aktivasi neurohormonal kronis
yang menyertai acute decompendated heart failure (ADHF).
Hipoksia dan inflamasi paru menginduksi vasokonstriksi paru,
meningkatkan afterload biventrikular dan kebutuhan oksigen miokard.
Respon ginjal terhadap gangguan perfusi glomerulus meningkatkan
reabsorbsi natrium tubulus dan aktivasi aksis renin-
angiotensinaldosteron, yang mengakibatkan kelebihan volume lebih
lanjut dan mengurangi efektivitas diuretik. Vasokonstriksi splanknik
yang diperantarai secara simpatik semakin memperburuk kelebihan
volume dengan mendistribusikan 50% dari total volume darah kembali
ke sirkulasi. Peningkatan tekanan pengisian ventrikel semakin
memperburuk efisiensi miokard dan iskemia, terutama di dalam ventrikel
kanan. Jika dibiarkan, siklus maladaptif ini sering berkembang menjadi
kematian.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 71


LAPORAN KASUS

Gambar 9. Pathogenesis syok kardiogenik

Diagnosis
Manifestasi Klinis
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi terjadinya syok
kardiogenik. Pasien umumnya datang dengan keluhan nyeri dada tipikal
yang akut dan kemungkinan sudah mempunyai riwayat penyakit jantung
koroner sebelumnya.
Pada keadaan syok akibat komplikasi mekanik infark miokard
akut, biasanya terjadi dalam beberapa hari sampai seminggu setelah onset
infark tersebut. Umumnya pasien mengeluhkan nyeri dada dan biasanya
disertai gejala tibatiba yang menunjukkan adanya edema paru akut
bahkan henti jantung.
Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya palpitasi,
presinkop, sinkop, atau merasakan irama jantung yang berhenti sejenak.
Kemudian pasien akan merasakan letargi akibat berkurangnya perfusi ke
sistem saraf pusat.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 72


LAPORAN KASUS

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal hemodinamik akan ditemukan tekanan
darah sistolik yang menurun hingga < 90 mmHg. Denyut jantung
biasanya cenderung meningkat akibat dari stimulasi simpatis, demikian
pula dengan frekuensi pernapasan yang biasanya meningkat.
Pada pemeriksaan vena-vena di leher sering kali terjadi
peningkatan distensinya. Pada pemeriksaan dada dapat menunjukkan
adanya ronki. Irama gallop dapat terdengar, yang menunjukkan adanya
disfungsi ventrikel kiri yang bermakna. Sedangkan pada regurgitasi
mitral atau defek septal ventrikel, bunyi murmur dapat muncul.
Pada pasien dengan gagal jantung kanan akan menunjukkan
beberapa tandatanda antara lain: perbesaran hati, pulsasi di hati akibat
regurgitasi tricuspid atau terjadinya asites akibat gagal jantung kanan.
Pulsasi arteri di ekstremitas perifer akan menurun intensitasnya dan
edema perifer dapat timbul pada gagal jantung kanan. Sianosis dan
ekstremitas yang teraba dingin, menunjukkan terjadinya penurunan
perfusi ke jaringan.
Pasien dengan syok kardiogenik paling sering datang dengan
gejala ekstremitas dingin dan tanda-tanda kongesti paru. Kondisi ini ini
disebut “cold and wet” atau "dingin dan basah" dan mencerminkan
penurunan indeks curah jantung, peningkatan resistensi pembuluh darah
sistemik, dan peningkatan PCWP.
Pasien juga dapat menunjukkan tampilan euvolemik atau “dry and
cold” atau "kering dan dingin", yang menunjukkan penurunan indeks
curah jantung, peningkatan resistensi vaskular sistemik dan PCWP
normal. Tampilan euvolemik lebih sering pada pasien yang pernah
mengalami infark miokard sebelumnya atau memiliki penyakit ginjal
kronis. Tampilan lain dari syok kardiogenik yang jarang ditemui adalah
“wet and warm” atau “basah dan hangat”. Tampilan ini merupakan
respon inflamasi yang berhubungan dengan infar miokard dan dikaitkan
dengan insidensi sepsis dan kematian yang lebih tinggi.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 73


LAPORAN KASUS

Pemeriksaan Penunjang
Gambaran ekokardiografi (EKG) dapat membantu menentukan
etiologi syok kardiogenik. Misalnya pada infark miokard akut akan
terlihat dari gambaran EKG tersebut. Begitu pula gangguan irama atau
aritmia sebagai etiologi terjadinya syok kardiogenik dapat terlihat dari
EKG. EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak munculnya keluhan.
Pada Sindrom Korener Akut (SKA) penemuan dalam EKG dibagi
menjadi tiga yakni ST-Elevasi, ST-Depresi, dan Non-ST Deviasi.
Perubahan awal EKG pada oklusi koroner termasuk gelobang T yang
hiperakut yang akan secara secpat berubah menjadi elevasi segmen ST.
Jika terdapat ST Elevasi di lebih dari 2 lead merupakan indikasi reperfusi
uregnsi. Adanya ST-elevasi, ST depresi, dan atau inversi gelombag T
harus dipertimbangkan kecurigaan SKA.
Pasien-pasien ini harus diberikan terapi dan evaluasi segera untuk
dilakukan early coronary angiography. Penemuan lain pada EKG yang
dapat mengarah ke SKA termasuk ventricular tachycardia, ventricular
fibrillation, atrial fibrillation, new bunle branch block, dan
atrioventricular block.
Foto Rontgen Dada Pada foto polos dada akan terlihat
kardiomegali dan tanda-tanda kongesti paru atau edema paru pada gagal
ventrikel kiri yang berat. Bila terjadi komplikasi defek septal ventrikel
atau regurgitasi mitral akibat infark miokard akut, akan tampak gambaran
kongesti paru yang tidak disertai kardiomegali, terutama pada onset
infark yang pertama kali. Gambaran kongesti paru menunjukkan kecil
kemungkinan terdapat gagal ventrikel kanan yang dominan atau keadaan
hipovolemia.
Pemeriksaan darah rutin dan penanda metabolik harus dilakukan
setiap 12-24 jam dikarenakan dapat memberikan informasi mengenai
oksigenasi, status elektrolit dan endorgan damage. Infark miokard
disebabkan oleh atherothrombosis akut sebagai hasil dari rupture plak.
Monitoring terhadap kadar troponin dapat menentukan keparahan dari
injuri yang bergantung dengan waktu atau time-dependent.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 74


LAPORAN KASUS

Pada keadaan syok kardiogenik contohnya terdapat ST Elevasi,


tidak direkomendasikan untuk menunggu peningkatan enzim jantung
sebelum dilakukan katerisasi emergensi. Kadar troponin idealnya dinilai
setiap 6 jam sejak muncul kecurigaan klinis. N-terminal pro-B-type
natriuretic peptide (NT-proBNP) dapat meningkat pada keadaan
dekompensasi akut gagal jantung. Pada syok kardiogenik yang
disebabkan SKA, peningkatan peptide natriuretic dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas.
Syok kardiogenik menyebabkan berkurangnya oksigenasi ke
jaringan perifer yang menyebabkan penurunan kadar pO2 dan
peningkatan kadar pCO2. Serta adanya peningkatan kadar asam laktat
dapat dihubungkan dengan peningkatan mortalitas. Sehingga Analisa gas
darah dan kadar asam laktat harus dilakukan setiap 1-6 jam untuk menilai
respon dari resusitasi.
Ekokardiografi Pemeriksaan ekokardiografi dapat membantu
dalam membuat diagnosis dan mencari etiologi syok kardiogenik.
Pemeriksaan ini relative cepat aman dan dapat dilakukan secara langsung
di tempat tidur pasien (bedside). Keterangan yang diharapkan dapat
diperoleh dari pemeriksaan ini antara lain: penilaian fusngsi ventrikel
kanan dan kiri, fusngsi katup-katup jantung (stenosis atau regurgitasi),
tekanan ventrikel kanan dan deteksi adanya shunt (misalnya pada defek
septal ventrikel dengan shunt dari kiri ke kanan), efusi perikardial atau
tamponade.
Pemantauan Hemodinamik Penggunaan kateter Swan-Ganz
untuk mengukur tekanan arteri pulminal dan tekanan baju pembuluh
kapiler paru sangat berguna, khususnya untuk memastikan diagnosis dan
etiologi syok kardiogenik, serta sebagai indicator evaluasi terapi yang
diberikan. Pasien syok kardiogenik akubat gagal ventrikel kiri yang berat,
akan terjadi peningkatan baji paru. Bila pada pengukuran ditemukan
tekanan baji pembuluh darah paru lebih dari 18 mmHg pada pasien infark
miokard akut menunjukan bahwa volume intravascular pasien tersebut
cukup adekuat. Pasien dengan gagal ventrikel kanan atau hypovolemia

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 75


LAPORAN KASUS

yang bermakna, akan menunjukkan tekanan baji pembuluh paru yang


normal atau lebih rendah.
Pemantauan parameter hemodinamik juga membutuhkan
perhitungan afterload (resistensi vascular sistemik). Minimalisasi
afterload sangat diperlukan, karena bila terjadi peningkatan afterload
akan menimbulkan efek penurunan kontraktilitas yang akan
menghasilkan penurunan curah jantung.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk syok kardiogenik adalah mengoptimalkan
pengisian ventrikel kiri dan apabila tidak terdapat bendungan paru, dapat
diberikan cairan sekurang-kurangnya 250 ml dalam 10 menit. Apabila
ditemukan abnormalitas difusi oksigen, dapat diberikan oksigenasi
adekuat, intubasi, atau ventilasi. Terjadinya hipotensi yang terus
berlangsung dapat memicu terjadinya kegagalan otot pernapasan yang
dapat dicegah dengan pemberian ventilasi mekanis. Terdapat penurunan
mortalitas syok kardiogenik dengan melakukan revaskularisasi awal.
Strategi revaskularisai dini yang dilakukan yaitu Should We Emergently
Revascularize Occluded Coronary for Cardiogenic Shock (SHOCK) trial.
Dilaporkan terdapat peningkatan survival pada revaskularisasi awal.
Langkah I. Tindakan Resusitasi Segera
Tindakan resusitasi segera harus dilakukan dengan tujuan untuk
mencegah kerusakan organ sewaktu pasien dibawa untuk terapi definitif.
Hal vital yang juga harus dilakukan adalah upaya mempertahankan
tekanan arteri rata-rata yang adekuat untuk mencegah sekuele neurologi
dan ginjal. Pemberian dopamine atau noradrenalin (norepinefrin) harus
diberikan secepatnya untuk meningkatkan tekanan arteri rata-rata dan
dipertahankan pada dosis minimal yang dibutuhkan, di mana
pemberiannya bergantung pada derajat hipotensi. Dobutamin dapat
dikombinasikan dengan dopamine dalam dosis sedang atau digunakan
tanpa kombinasi pada keadaan low output tanpa hipotensi.
Apabila terdapat fasilitas yang tersedia dapat dilakukan Intra-
aortic balloon counterpulsation (IABP). Analisa gas darah dan saturasi

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 76


LAPORAN KASUS

oksigen harus dimonitor dengan memberikan continuous positive airway


pressure atau ventilasi mekanis jika terdapat indikasi. Monitoring EKG
harus dilakukan secara terus menerus, dan peralatan defibrilator, obat
antiaritmia amiodaron atau lidokain harus tersedia.
Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan elevasi
segmen ST jika diantisipasi keterlambatan angiografi lebih dari 2 jam.
Mortalitas 35 hari pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 100
mmHg yang mendapatkan trombolitik pada metaanalisis terapi
fibrinolitik adalah 28,9%.
Meningkatkan tekanan darah dengan IABP pada keadaan ini
dapat memfasilitasi trombolisis dengan meningkatkan tekanan perfusi
koroner. Sedangkan pada syok kardiogenik non elevasi segmen ST yang
menunggu katerisasi dapat diberikan terapi dengan heparin. Pada syok
kardiogenik perlu dinilai masalah utamanya, volume, pompa atau irama.
Pada keadaan syok yang berhasil diatasi, tatalaksana lanjutan dapat
mencakup:
 Identifikasi dan tatalaksana penyebab yang reversible
 Katerisasi arteri pulmonalis bila diperlukan
 Pompa balon intra-aorta bila diperlukan
 Angiografi dan Intervensi kardiovaskular perkutan
 Intervensi bedah
 Pemeriksaan penunjang tambahan
 Terapi obat tambahan

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 77


LAPORAN KASUS

Gambar 10. Skema penatalaksanaan syok kardiogenik


Langkah II. Menentukan Secara Dini
Anatomi Koroner Penentuan awal anatomi koroner merupakan
langkah penting dalam penatalaksanaan tatalaksana syok kardiogenik
yang berasal dari kegagalan pompa (pump failure) iskemik yang
predominan. Apabila syok kardiogenik terjadi di fasilitas kesehatan
tingkat pertama harus segera dikiri ke fasilitas pelayanan tersier yang
berpengalaman. Serta hipotensi diatasi segera dengan IABP.
Syok mempunyai ciri penyakit 2 pembuluh darah di daerah
proksimal (LAD dan LCX proksimal), penyakit left main, dan penurunan
fungsi ventrikel kiri. Tingkat disfungsi ventrikel dan instabilitas
hemodinamik mempunyai korelasi dengan anatomi koroner. Suatu lesi
circumflex atau lesi koroner kanan jarang mempunyai manifestasi syok
keadaan tanpa infark ventrikel kanan, underfilling ventrikel kiri,
bradiaritmia, infark miokard sebelumnya atau kardiomiopati.
Langkah III. Melakukan Revaskularisasi Dini
Setelah menentukan anatomi koroner, harus diikuti dengan
pemilihan modalitas terapi secepatnya. Tidak ada penelitian yang
membandingkan PCI dengan CABG pada syok kardiogenik. Trial
SHOCK merekomdasikan CABG emergensi pada pasien left main atau
penyakit 3 pembuluh besar.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 78


LAPORAN KASUS

Gambar 11. Rekomendasi terapi perfusi dini


6. Syok anafilaktik
Definisi
Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik yang berat dan dapat
menyebabkan kematian, terjadi secara tiba-tiba segera setelah terpapar
oleh allergen atau pencetus lainnya. Reaksi anafilaksis termasuk ke
dalam reaksi Hipersensitivitas Tipe 1 menurut klasifikasi Gell dan
Coombs. Reaksi ini harus dibedakan dengan reaksi anafilaktoid yang
memiliki gejala, terapi dan risiko kematian yang sama tetapi degranulasi
sel mast atau basofil terjadi tanpa keterlibatan atau mediasi dari IgE.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari
anafilaksis dan merupakan bagian dari syok distributifyang ditandai oleh
adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada
pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang
menyebabkan terjadinya sinkop dan kematian pada beberapa pasien.
Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk
menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang
berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran
napas merupakan gejala utamanya.
Etiologi dan faktor risiko
Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis
adalah sifat alergen, jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 79


LAPORAN KASUS

alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis


adalah makanan, obat-obatan, sengatan seranga dan lateks. Udang,
kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur
dan susu adalah makanan yang biasanya menyebakan suatu reaksi
anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafilaksis seperti
antibiotik khusunya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot,
aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media
kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga
bisa menyebabkan anafilaksis.

Gambar 12. Etiologi dan Faktor Risiko Syok Anafilaktik


Patofisiologi
Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE
pada sel mast, yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator
inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui 3 fase mekanisme:
 Fase sensitisasi
Fase sensitisasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 80


LAPORAN KASUS

permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit,


mukosa saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh makrofag.
Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit
T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang
menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma
(Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (IgE)
spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat pada
receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basophil.
 Fase aktivasi
Merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan
antigen yang sama. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang
berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada
kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen
yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya
reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain
histamine, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktof lain
dari granula yang disebut dengan istilah preformed mediators.
Histamin adalah dianggap sebagai mediator utama syok anafilaksis.
Banyak tanda dan gejala anafilaksis yang disebabkan pengikatan
histamine pada reseptor tersebut: mengikat reseptor, H1
menyebabkan pruritus, rhinorrhea, takikardia dan bronkospasme. Di
sisi lain, baik H1 dan H2 reseptor berpartisipasi dalam memproduksi
sakit kepala dan hipotensi. Ikatan antigen-antibodi merangsang
degradasi asam arakidonat dari membrane sel yang akan
menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin D2 (PG2) yang
terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly
formed mediators. PGD2 menyebabkan bronkospasme dan dilatasi
pembuluh darah.
 Fase efektor
Merupakan waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmokologik pada organorgan tertentu. Histamin

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 81


LAPORAN KASUS

memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas


kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi, mucus dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating
faktor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor
kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi, demikian juga dengan
Leukotrien.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau
saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera
mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia
akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit
B berproliferasi menjadi sel plasma (Plasmosit). Sel plasma
memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat
pada reseptor pemukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain
masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi
akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera
yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamine, serotonin,
bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di
sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat
dari membrane sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan
prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi
yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu
terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator
yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik
pada organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos. Platelet activating faktor (PAF) berefek

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 82


LAPORAN KASUS

bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi


dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil
dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak
menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan
aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik
sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang
berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi
pada keadaan syok yang membahayakan penderita.
Diagnosis
Riwayat anafilaksis dicurigai jika dijumpai riwayat paparan
allergen yang mencetuskan terjadinya perubahan mukosa dan kulit serta
terjadi gangguan jalan napas atau kesulitan berdapas dan atau gangguan
sirkulasi yang mengancam jiwa.
World allergy organization (WAO) telah membuat kriteria klinis untuk
membantu menegakkan diagnosis anfilaksis.
1) Onset gejala akut (beberapa menit hingga beberapa jam) yang
melibatkan kulit, jaringan mukosa atau keduanya (urtikaria
generalisata, pruritus atau ruamhiperemis, pembengkakan bibir, lidah
atau uvula) dan sedikitna diikuti oleh:
a) Gangguan respirasi tiba-tiba (seperti sesak napas, mengi, stridor,
batuk, hipoksemia)
b) Penurunan tekanan darah atau disfungsi organ target secara tiba-tiba
(hipotonia, kolaps vascular, sinkop)
2) Dua atau lebih klinis yang di bawah ini yang muncul segera
(beberapa menit hingga jam) setelah terpapar allergen yang mungkin
atau pencetus lain:
a) Gejala dan tanda pada mukosa atau kulit yang tiba-tiba
b) Gejala dan tanda gangguan respirasi yang tiba-tiba

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 83


LAPORAN KASUS

c) Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan


kegagalan organ target secara tiba-tiba
d) Gejala gastrointestinal yang segera (seperti kram perut, muntah)
3) Penurunan tekanan darah segera setelah terpapar allergen yang telah
diketahui, sesuai kriteria:
a) Bayi dan anak : tekanan darah sistolik rendah (menurut umur) atau
terjadi penurunan >30% dari tekanan darah sistolik semula.
b) Dewasa : tekanan darah sistolik <90 mmHg atau terjadi penurunan
>30% dari tekanan darah sistolik semula.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 84


LAPORAN KASUS

Gambar 13. Kriteria diagnostic anafilaktik

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 85


LAPORAN KASUS

Tatalaksana
Tatalaksana anafilaksis akut ditujukan untuk mengatasi keadaan
gawat darurat (mengancam jiwa) yang terjadi akibat lepasnya mediator
dari sel mast atau basophil dalam rangkaian reaksi anafilaksis.
Tatalaksana awal yang harus dilakukan adalah memutus hubungan
dengan allergen pencetus.
Epenefrin (adrenalin) merupakan terapi utama dalam
penatalaksanaan anafilaksis yang diberikan segera setelah anafilaksis
diperkirakan terjadi. Epinefrin digunakan dalam konsentrasi 1:1000
dengan dosis dewasa 0,3-0,5 ml/kali pemberian dan dosis anak 0,3
ml/kali pemberian secara intramuskuler pada otot vastus lateralis (mid
anterolateral thigh). Dapat dilakukan pemberian ulang dengan interval 5-
10 menit. Jika pemberian ulang epinefrin tidak efektif maka dapat
diberikan adrenalin 1-10 µg/menit dengan infus pump.
Posisi trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai
ditinggikan untuk menaikan venous return sehingga tekanan darah ikut
meningkat.
Pemberian oksigen dengan aliran tinggi sesuai keadaan, biasanya
6-8 lpm dengan sungkup. Jika terdapat edema saluran nafas dapat
dilakukan intubasi atau trakeostomi.
Resusitasi cairan kristaloid ataupun koloid dapat diberikan untuk
memperbaiki volume intravascular.
Antihistamin dan kortikosteroid merupakan lini kedua setelah
adrenalin, diberikan setelah kondisi kliniis yang mmengancam nyawa
teratasi.
Jika terjadi henti jantung makan resusitasi kardipulmoner harus
segera dilakukan. Dianjurkan dengan memulai kompresi dinding dada
sebelum memberikan bantuan napas.
Hal penting yang harus dilakukan adalah mencari penyebab
anafilaksis dan memberitahu pasien untuk menghindari faktor penyebab
tersebut.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 86


LAPORAN KASUS

Gambar 14. Tatalaksana Syok Anfilaktik


7. Syok Obstruktif
Definisi
Syok obstruktif adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh
penyumbatan pembuluh darah besar atau jantung itu sendiri. Meskipun
gejalanya mirip dengan syok kardiogenik, syok obstruktif perlu dibedakan
dengan jelas dari yang terakhir karena pengobatannya sangat berbeda.
Syok obstruktif mengacu pada obstruksi anatomi pembuluh darah
besar jantung (misalnya, vena cava superior, vena cava inferior, dan
pembuluh paru) yang menyebabkan penurunan aliran balik vena dan/atau
afterload yang berlebihan (yaitu, kekuatan yang dimiliki ventrikel kiri).

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 87


LAPORAN KASUS

mengatasi untuk mengeluarkan darah melalui katup aorta), mengakibatkan


penurunan curah jantung.
Etiologi
Ada dua penyebab utama syok obstruktif: penyumbatan sistem
pembuluh darah paru, sehingga mempengaruhi aliran darah dari bilik
jantung sisi kanan ke bilik jantung sisi kiri, seperti yang terlihat pada emboli
paru yang signifikan dan hipertensi pulmonal yang parah; atau kompresi
mekanis ekstrinsik dari pembuluh darah besar jantung yang mengubah curah
jantung jantung. Contoh kompresi mekanik ekstrinsik termasuk tension
pneumotoraks, tamponade perikardial, kardiomiopati restriktif, dan
perikarditis konstriktif.
Patofisiologi
Gangguan yang melibatkan gangguan pengisian diastolik dan
penurunan preload jantung termasuk sindrom kompresi vena cava, tension
pneumotoraks, tamponade perikardial, dan ventilasi PEEP tinggi. Emboli
arteri pulmonalis atau massa yang menempati ruang mediastinum
meningkatkan afterload ventrikel kanan, sementara pada saat yang sama
preload ventrikel kiri berkurang oleh obstruksi aliran pulmonal. Mekanisme
yang sama terjadi dengan massa intrakardial. Obstruksi aliran aorta dapat
dibedakan dari ini, karena menyebabkan peningkatan afterload ventrikel kiri
(misalnya, sindrom Leriche [penyakit oklusi aortoiliaka], diseksi aorta, dan
stenosis katup aorta derajat tinggi). Setelah trauma, terutama, bentuk syok
gabungan terlihat, misalnya dengan tension pneumotoraks dan perdarahan.
Tidak ada angka untuk kejadian syok obstruktif, tetapi kemungkinan ini
merupakan bentuk syok yang paling langka.
Patofisiologi syok obstruktif dapat diklasifikasikan menurut lokasi
obstruksi pada sistem vaskular dalam kaitannya dengan jantung. Faktor
mekanis intra atau ekstravaskular atau luminal mengurangi aliran darah di
pembuluh darah besar atau aliran keluar jantung dengan penurunan kritis
pada curah jantung dan suplai oksigen global. Hasilnya adalah keadaan syok
dengan hipoksia jaringan di semua sistem organ. Umum untuk semua

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 88


LAPORAN KASUS

keadaan obstruktif ini adalah penurunan curah jantung dan tekanan darah
yang sering cepat dan masif.

Gambar 15. Patogenesis Syok Obstruktif


Diaganosis
Gejala syok obstruktif tidak spesifik dan kondisi ini ditandai
dengan respon otonom kompensasi berupa takikardia, takipnea, oliguria,
dan kesadaran yang berubah. Hipotensi mungkin cukup sederhana pada
awalnya dan ini dapat menyebabkan meremehkan situasi klinis. Untuk
diagnosis banding, pemeriksaan klinis yang cermat sangat penting
(auskultasi, perkusi, ultrasonografi termasuk ekokardiografi), tetapi harus
akurat dan cepat, karena kecepatan perkembangan keadaan syok.
Obstruksi aliran darah intratoraks dapat menyebabkan kongesti vena
servikal atau denyut perifer atipikal. Tension pneumothorax dapat
berhubungan dengan emfisema subkutan dan deviasi trakea yang terlihat
di leher, sedangkan diseksi aorta atau sindrom Leriche dapat
menyebabkan nyeri di dada atau perut. Aturan "4 H dan 4 T" penyebab
reversibel dari henti peredaran darah melibatkan tiga penyebab

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 89


LAPORAN KASUS

obstruktif: tamponade perikardial, tension pneumotoraks, dan


tromboemboli.
Tatalaksana
Syok obstruktif membutuhkan pengobatan kausal segera.
Tindakan sederhana mungkin cukup, seperti mengubah posisi pasien
dengan sindrom kompresi kaval atau menyesuaikan ventilasi pasien di
mana tingkat PEEP terlalu tinggi. Menurut penyebab obstruksi, emboli
paru diobati dengan trombolisis; tension pneumothorax atau tamponade
perikardial segera dihilangkan dengan drainase toraks atau perikardial
(tingkat rekomendasi: A); dan sindrom Leriche diobati dengan
embolektomi bedah.
8. Syok Neurogenik
Definisi
Syok neurogenik adalah keadaan ketidakseimbangan antara
regulasi simpatis dan parasimpatis dari kerja jantung dan otot polos
vaskular. Tanda-tanda dominan adalah vasodilatasi mendalam dengan
hipovolemia relatif sementara volume darah tetap tidak berubah,
setidaknya pada awalnya.
Patogenesis
Syok neurogenik adalah keadaan klinis yang dimanifestasikan
dari cedera medula spinalis primer dan sekunder. Perubahan
hemodinamik terlihat dengan cedera pada sumsum tulang belakang di
atas tingkat T6. Traktus simpatis desendens paling sering terganggu
akibat fraktur terkait atau dislokasi vertebra di tulang belakang servikal
atau toraks atas. Cedera sumsum tulang belakang primer terjadi dalam
beberapa menit setelah serangan awal.
Cedera primer adalah kerusakan langsung pada akson dan
membran saraf di nukleus intermediolateral, materi abu-abu lateral, dan
akar anterior yang menyebabkan gangguan tonus simpatis. Cedera
medula spinalis sekunder terjadi beberapa jam hingga beberapa hari
setelah cedera awal. Cedera sekunder hasil dari gangguan vaskular,
pergeseran elektrolit, dan edema yang menyebabkan nekrosis hemoragik

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 90


LAPORAN KASUS

sentral progresif materi abu-abu di lokasi cedera. Ada eksitotoksisitas


dari akumulasi N-methyl-D-aspartate (NMDA) pada tingkat sel,
homeostasis elektrolit yang tidak tepat, cedera mitokondria, dan cedera
reperfusi, yang semuanya mengarah pada apoptosis yang terkontrol dan
tidak terkontrol. Syok neurogenik adalah kombinasi dari cedera primer
dan sekunder yang menyebabkan hilangnya tonus simpatis dan dengan
demikian respon parasimpatis yang tidak berlawanan didorong oleh saraf
vagus. Akibatnya, pasien menderita ketidakstabilan dalam tekanan darah,
detak jantung, dan pengaturan suhu. Cedera langsung ke pusat regulasi
sirkulasi karena kompresi (trauma batang otak), iskemia (misalnya,
trombosis arteri basilar), atau pengaruh obat-obatan. Perubahan aferen ke
pusat peredaran darah di medula oblongata karena ketakutan, stres, atau
nyeri atau refleks vagal yang tidak teratur Gangguan koneksi desendens
dari pusat regulasi bulbar ke sumsum tulang belakang, terutama pada
pasien yang mengalami trauma di atas bagian tengah tulang belakang
toraks (paraplegia).

Gambar 16. Patogenesis Syok Neurogenik

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 91


LAPORAN KASUS

Gambar 17. Patofisiologi Spinal Cord Injury

Gambar 18. Syok Neurogenik akibat Spinal Cord Injury


Diagnosis
Syok neurogenik dapat menjadi diagnosis yang sulit untuk dibuat
dan memerlukan penyelidikan yang cermat. Syok neurogenik paling
sering dikaitkan dengan cedera tulang belakang leher tumpul. Identifikasi
cedera tali pusat sangat penting untuk penyelidikan syok neurogenik.
Penyedia harus memastikan mekanisme cedera, adanya nyeri tekan
tulang belakang garis tengah, cedera yang mengalihkan perhatian dari
daerah tulang belakang, kehilangan kesadaran, defisit neurologis, atau
keracunan yang mungkin salah mengartikan pemeriksaan, karena ini
terkait dengan cedera tulang belakang..
Meskipun syok neurogenik harus dipertimbangkan hanya setelah
syok hemoragik telah disingkirkan pada pasien traumatis, adanya fraktur

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 92


LAPORAN KASUS

atau dislokasi vertebra meningkatkan kekhawatiran akan syok


neurogenik. Bradyaritmia, hipotensi, kulit hangat memerah adalah tanda
klasik yang berhubungan dengan syok neurogenik. Komite bersama
American Spinal Injury Association (ASIA) dan International Spinal
Cord Society (ISCoS) mengusulkan definisi syok neurogenik sebagai
disfungsi sistem saraf otonom umum yang juga mencakup gejala seperti
hipotensi ortostatik, disrefleksia otonom, disregulasi suhu. Defisit
neurologis fokal tidak diperlukan untuk diagnosis syok neurogenik.
Sebelum pencitraan lanjutan, syok neurogenik dianggap terkait
dengan cedera tulang belakang tanpa kelainan radiologis (SCIWORA).
Dengan munculnya pencitraan canggih seperti pemindaian computed
tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI), cedera tulang
belakang dapat diidentifikasi dengan lebih akurat. Diagnosis syok
neurogenik tetap merupakan kombinasi dari pencitraan radiografi,
pemantauan hemodinamik, dan pemeriksaan klinis.
Tatalaksana
Elemen penting dalam mengobati syok neurogenik adalah
pengobatan penyebabnya. Selain penggantian cairan yang cepat,
norepinefrin diberikan dengan dosis yang meningkat sampai resistensi
pembuluh darah perifer meningkat. Untuk mengembalikan tonus
vaskular, simpatomimetik kerja langsung atau tidak langsung juga dapat
diberikan. Mineralokortikoid untuk meningkatkan volume plasma juga
merupakan pilihan terapi.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 93


LAPORAN KASUS

9. Bagan Syok Septik

Gambar 19. Kriteria pasien syok septik

Gambar 20. Algoritma tatalaksana syok septik

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 94


LAPORAN KASUS

10.Stadium Terminal
Stadium terminal adalah stadium lanjut yang tidak berespon dan
mengalami progesifitas terhadap pengobatan kanker yang diberikan. Stadium
terminal pada kanker secara umum terjadi pada tahap lanjutan, telah
menyebar jauh dan merusak berbagai macam organ dari fungsinya,
bermetastase, menyebabkan kondisi lemah secara umum.
Perawatan pada pasien kanker stadium terminal meliputi radiasi atau
kemoterapi yang membantu memperpanjang hidup. Perawatan tambahan
dengan perawatan paliatif yang dapat meredakan gejala rasa sakit dan
meningkatkan kualitas hidup.
Sesuai prinsip perawatan paliatif, tujuan terapi pada pasien stadium
terminal adalah untuk mencapai kondisi nyaman dan meninggal secara
bermartabat. Dalam memberikan terapi paliatif pada pasien kanker stadium
terminal, kondisi pasien dinilai berdasarkan:
 Kondisi fisiologi sistem organ
 Terapi
 Derajat kesadaran
Prinsip tersebut di bawah ini merupakan acuan dalam melaksanakan
program paliatif pasien kanker (Adaptasi WHO, 2007):
1. Menghilangkan nyeri dan gejala fisik lain.
2. Menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses
normal.
3. Tidak bertujuan mempercepat atau menghambat kematian.
4. Mengintegrasikan aspek fisik, psikologis, sosial, dan spiritual.
5. Memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif mungkin.
6. Memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita.
7. Menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan
keluarganya.
8. Menghindari tindakan yang sia sia.
9. Bersifat individual tergantung kebutuhan pasien.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI – RSUD AA April 2022 Page 95

Anda mungkin juga menyukai