LAMPIRAN
1. Triase IGD
Triase berasal dari bahasa Prancis trier bahasa Inggris triage dan
diturunkan dalam bahasa Indonesia triase yang berarti sortir yaitu proses
khusus memilah pasien berdasarkan beratnya cedera atau penyakit untuk
menentukan jenis perawatan gawat darurat.
2. Indikasi ICU
Pasien yang dirawat di ICU adalah pasien dengan gangguan akut
yang masih diharapkan reversible (pulih kembali seperti semula)
mengingat ICU adalah tempat perawatan yang memerlukan biaya tinggi
dilihat dari segi peralatan dan tenaga (yang khusus). Indikasi pasien yang
layak dirawat di ICU adalah:
Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh Tim intensive
care
Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh
secara terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan
pengawasan yang konstan terus menerus dan metode terapi titrasi
Sistem Kardiovaskuler
Kondisi atau penyakit spesifik dari sistem kardiovaskuler yang
mengindikasikan pasien untuk masuk ICU adalah sebagai berikut:
a. Infark miokard akut dengan komplikasi
b. Syok kardiogenik
c. Aritmia kompleks yang membutuhkan monitoring ketat dan
intervensi
d. Gagal jantung kongestif dengan gagal napas dan/atau
membutuhkan support hemodinamik
e. Hipertensi emergensi
f. Angina tidak stabil, terutama dengan disritmia, hemodinamik
tidak stabil, atau nyeri dada menetap
g. S/P cardiac arrest
h. Tamponade jantung atau konstriksi dengan hemodinamik tidak
stabil
i. Diseksi aneurisma aorta
j. Blokade jantung komplit
Sistem Pernafasan
Kondisi atau penyakit spesifik dari sistem kardiovaskuler yang
mengindikasikan pasien untuk masuk ICU adalah sebagai berikut:
a. Gagal napas akut yang membutuhkan bantuan ventilator
b. Emboli paru dengan hemodinamik tidak stabil
Penyakit Neurologis
Kondisi atau penyakit spesifik dari sistem kardiovaskuler yang
mengindikasikan pasien untuk masuk ICU adalah sebagai berikut:
a. Stroke akut dengan penurunan kesadaran
b. Koma: metabolik, toksis, atau anoksia
c. Perdarahan intracranial dengan potensi herniasi
d. Perdarahan subarachnoid akut
e. Meningitis dengan penurunan kesadaran atau gangguan
pernapasan
f. Penyakit sistem saraf pusat atau neuromuskuler dengan penurunan
fungsi neurologis atau pernapasan (misalnya: Myastenia Gravis,
Syndroma Guillaine-Barre)
g. Status epileptikus
h. Mati batang otak atau berpotensi mati batang otak yang
direncanakan untuk dirawat secara agresif untuk keperluan donor
organ
i. Vasospasme
j. Cedera kepala berat
Overdosis obat atau keracunan obat
Kondisi atau penyakit spesifik akibat overdosis obat atau
keracunan obat yang mengindikasikan pasien untuk masuk ICU
adalah sebagai berikut:
a. racunan obat dengan hemodinamik tidak stabil
Tanda vital
Dilihat dari parameter objektif, pasien yang layak untuk masuk
ICU adalah pasien dengan tanda vital sebagai berikut:
a. Nadi 140 kali/menit
b. Tekanan darah sistolik arteri <80 mmHg atau 20 mmHg
dibawah tekanan darah pasien sehari-hari
c. MAP <60 mmHg
d. Tekanan darah diatolik >120 mmhg
e. Frekuensi napas >35 kali/menit
Nilai laboratorium
Dilihat dari parameter objektif, pasien yang layak untuk masuk
ICU adalah pasien dengan nilai laboratorium sebagai berikut:
a. Natrium serum >110 mEq/L atau >170 mEq/L
b. Kalium serum <2,0 mEq/L atau >7,0 mEq/L
c. PaO2 <7,1 atau >7,7
d. Glukosa serum >800 mg/dl
e. Kalsium serum >15 mg/dl
f. Kadar toksik obat atau bahan kimia lain dengan gangguan
hemodinamik dan neurologi
Radiografi/Ultrasonografi/Tomografi
Dilihat dari parameter objektif, pasien yang layak untuk masuk
ICU adalah pasien dengan gambaran radiografi / tomografi sebagai
berikut:
a. Perdarahan vascular otak, kontusio atau perdarahan subarachnoid
dengan penurunan kesadaran atau tanda deficit neurologis fokal
b. Ruptur organ dalam, kandung kemih, hepar, varises esophagus
atau uterus dengan hemodinamik tidak stabil
c. Diseksi aneurisma aorta
Elektrokardiogram
Dilihat dari parameter objektif, pasien yang layak untuk masuk
ICU adalah pasien dengan gambaran elektrokardiogram sebagai
berikut:
a. Infark miokard dengan aritmia kompleks, hemodinamik tidak
stabil atau gagal jantung kongestif
b. Ventrikel takikardi menetap atau fibrilasi
c. Blokade jantung komplit dengan hemodinamik tidak stabil
Pemeriksaan fisik (onset akut)
Dilihat dari parameter objektif, pasien yang layak untuk masuk
ICU adalah pasien dengan hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut:
a. Pupil anisokor pada pasien tidak sadar
b. Luka bakar >10% BSA
c. Anuria
d. Obstruksi jalan napas
e. Koma
f. Kejang berlanjut
g. Sianosis
h. Tamponade jantung
Priotitas 1
Pasien yang termasuk dalam prioritas ini adalah pasien sakit
kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan tertitrasi,
seperti: dukungan / bantuan ventilasi, alat penunjang fungsi organ /
sistem yang lain, infus obat - obat vasoaktif / inotropik, obat anti
aritmia, serta pengobatan lain – lainnya secara kontinyu dan
tertitrasi. Pasien yang termasuk prioritas 1 adalah pasien pasca bedah
kardiotorasik, sepsis berat, gangguan keseimbangan asam basa dan
elektrolit yang mengancam jiwa.
Prioritas 2
Kriteria pasien ini memerlukan pelayanan canggih di ICU, sebab
sangat beresiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera,
misalnya pemantauan intensif menggunakan pulmonary arterial
catheter. Pasien yang tergolong dalam prioritas 2 adalah pasien yang
menderita penyakit dasar jantung – paru, gagal ginjal akut dan berat,
dan pasien yang telah mengalami pembedahan mayor.
Prioritas 3
Pasien yang termasuk kriteria ini adalah pasien sakit kritis, yang
tidak stabil status kesehatan sebelumnya, yang disebabkan oleh
penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, secara sendirian
atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan atau manfaat terapi di
ICU pada kriteria ini sangat kecil, sebagai contoh adalah pasien
dengan keganasan metastatic disertai penyulit infeksi, pericardial
tamponade, sumbatan jalan napas, dan pasien penyakit jantung dan
penyakit paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat.
Talidomid
Bortezomib
Hidroksiurea
paclitaxel
fludarabin
Etoposida
Asam zoledronat
Karena pergantian sel tumor yang cepat, ada produksi asam urat
yang berlebihan, yang kemudian mengkristal di tubulus ginjal
menyebabkan uropati obstruktif dari dan penurunan laju filtrasi
glomerulus. Pada model tikus, nefropati urat menyebabkan peningkatan
tekanan tubulus proksimal dan distal. Tekanan kapiler peritubulus dan
resistensi vaskular juga meningkat. Asam urat mengais oksida nitrat,
yang merupakan vasodilator kuat. Pemulungan oksida nitrat
menghasilkan vasokonstriksi dan iskemia ginjal. Asam urat juga
merupakan agen pro-inflamasi potensial dan dapat menyebabkan
pelepasan sitokin lain seperti tumor necrosis faktor-alpha, protein I.
Sitokin ini menarik leukosit dan memfasilitasi cedera lebih lanjut pada
ginjal.
Konsentrasi kalium di dalam sel adalah sekitar 120 sampai 130
meq/L. Lisis sel tumor menyebabkan pelepasan besar kalium
intraseluler. Kelebihan kalium biasanya diambil oleh hati dan otot
rangka. Sisanya diekskresikan melalui sistem gastrointestinal atau
ginjal. Uropati obstruktif dari garam asam urat dapat membatasi ekskresi
kalium. Terkadang hiperkalemia dari tumor padat dapat mencapai tingkat
yang berpotensi mengancam jiwa. Risiko hiperkalemia adalah henti
jantung akibat aritmia.
Hiperfosfatemia adalah ketidakseimbangan elektrolit lain yang
terkait dengan tumor lisis sindrom. Asam nukleat memiliki gugus fosfat,
dan pemecahan sel tumor akan menyebabkan pelepasan sejumlah besar
fosfor ke dalam aliran darah. Sebagian besar fosfor diekskresikan melalui
Diagnosis
Anamnesis
Waktu timbulnya keganasan harus dimunculkan dengan
memperhatikan adanya gejala konstitusional seperti penurunan berat
badan atau anoreksia. Adanya gejala pernapasan dispnea, ortopnea, dan
takipnea dapat menjadi tanda kompresi jalan napas dari tumor primer.
Gejala saluran kemih seperti disuria, nyeri pinggang, dan hematuria.
Tanda dan gejala yang dapat dikaitkan dengan hipokalsemia termasuk
mual, muntah, kejang, kejang tetanik, dan perubahan status mental.
Manifestasi klinis lain dari tumor lisis sindrom termasuk, tetapi
tidak terbatas pada, serangan sinkop, lesu palpitasi, pitting edema, edema
wajah, distensi abdomen, dan tanda kelebihan cairan lainnya.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus fokus pada kelainan elektrolit yang
berhubungan dengan tumor lisis sindrom. Temuan fisik yang terkait
dengan kelainan ini tercantum di bawah ini.
Hipokalsemia
1. Spasme karpal
2. Kejang pedal
3. tetani
4. Tanda Chvostek
5. Tanda Trousseau
6. Mengi terkait dengan bronkospasme
7. Kejang
Uremia untuk hiperurisemia dan uropati obstruktif
1. Kelemahan
2. Kelesuan
3. Rasa tidak enak
4. Mual
5. muntah
6. Rasa logam di mulut
7. Sifat lekas marah
8. pruritus umum
9. Rales dan Ronchi dari kelebihan volume
10. Suara jantung teredam akibat perikarditis sekunder akibat uremia
11. Nyeri sendi
12. Sakit kolik ginjal
13. Deposit kristal kalsium fosfat di kulit
14. pruritus
15. Ganggren
Asam urat meningkat 25% dari baseline atau lebih besar atau sama
dengan 8,0 mg/dL
Kalium 25% meningkat dari baseline atau lebih besar dari atau sama
dengan 6,0 mEq/L
Fosfor 25% meningkat dari awal atau lebih besar dari atau sama
dengan 0,5 mg/dL (lebih besar dari atau sama dengan 6,5 mg/dL
pada anak-anak)
Kalsium 25% menurun dari baseline atau kurang dari atau sama
dengan 7,0 mg/dL
Diagnosis Klinis Tumor lisis sindrom
Tumor lisis sindrom laboratorium ditambah 1 atau lebih dari berikut ini:
Kreatinin lebih besar dari 1,5 kali batas atas normal dari rentang
referensi yang disesuaikan dengan usia
Kejang
Aritmia jantung atau kematian mendadak
Asal-usul AKI lainnya harus disingkirkan.
Tatalaksana
Ekspansi Cepat Volume Intravaskular
Pengobatan tumor lisis sindrom dimulai dengan ekspansi volume
yang cepat. Disarankan untuk menggunakan kristaloid dalam ekspansi
volume karena ini akan membantu meningkatkan laju filtrasi glomerulus
(GFR) dengan cepat. Peningkatan GFR membantu ekskresi zat terlarut
yang terkait dengan tumor lisis sindrom. Kekurangannya adalah fungsi
ginjal harus tetap utuh. Cairan intravena harus dimulai 48 jam sebelum
dimulainya kemoterapi dan harus dilanjutkan selama 48 jam setelah
kemoterapi. Hidrasi dengan sekitar 3 hingga 3,5 liter/m2 per hari atau 4
hingga 5 liter per hari mungkin diperlukan untuk memberikan hidrasi
yang memadai. Ini akan memberikan output urin sekitar 3 liter per hari.
Allopurinol
Allopurinol merupakan isomer struktural hipoksantin. Xanthine
oxidase mengubah allopurinol menjadi oxypurinol. Ini adalah metabolit
aktif, dan diekskresikan terutama oleh ginjal. CKD atau AKI
mengganggu eliminasi oxypurinol. Tingkat xantin dalam urin dan serum
dapat meningkat setelah pemberian allopurinol karena penghambatan
konversi xantin menjadi asam urat. Xanthine dengan sendirinya memiliki
kelarutan yang terbatas dan dapat mengkristal di tubulus ginjal membuat
uropati obstruktif yang terkait dengan tumor lisis sindrom menjadi lebih
buruk.
Allopurinol dapat menurunkan produksi asam urat pada tumor
lisis sindrom tetapi tidak efektif dalam pengobatan hiperurisemia yang
berhubungan dengan tumor lisis sindrom. Allopurinol adalah agen yang
sangat berguna untuk mencegah perkembangan tumor lisis sindrom.
Penggunaan allopurinol dikaitkan dengan perkembangan ruam
kulit, eosinofilia, dan hepatitis akut. Kombinasi gejala ini disebut
sindrom hipersensitivitas allopurinol.
Dalam pengobatan tumor lisis sindrom, dokter harus menyadari
potensi interaksi obat-ke-obat dengan azathioprine, penggunaan obat
4. Syok hipovolemik
Definisi
Syok hipovolemik terjadi karena volume intravaskuler berkurang
akibat perdarahan, kehilangan cairan akibat diare, luka bakar, dan
muntah, sehingga menyebabkan pengiriman oksigen dan nutrisi ke sel
tidak adekuat. Beberapa perubahan hemodinamik yang terjadi pada
kondisi syok hipovolemik adalah penurunan CO (cardiac output),
penurunan BP (blood pressure), peningkatan SVR (sistemic vascular
resistance), dan penurunan CVP (central venous pressure).
Etiologi
Syok hipovolemik terjadi akibat terganggunya sistem sirkulasi
akibat dari volume darah dalam pembuluh darah berkurang. Syok
hipovolemik dapat disebabkan oleh perdarahan yang masif atau
kehilangan plasma darah.
Syok hipovolemik akibat perdarahan seperti :
Hematom supkapsular hepar
Aneurisma aorta pecah
Perdarahan gastroimtestinal
Perlukaan berganda
Syok hipovolemik akibat kehilangan plasma diantaranya:
Luka bakar yang luas
Pankreatitis
Deskuamasi kulit
Sindrom dumping
Syok hipovolemik akibat kehilangan cairan ekstraselular seperti:
Muntah
Diare
Terapi diuretik yang sangat agresif
Diabetes insipidus
Insufisiensi adrenal
Patofisiologi
Patofisiologi pada syok hipovolemik sangat tergantung dari
penyakit primer yangmenyebabkannya. Namun secara umum, prinsipnya
sama. Jika terjadi penurunan tekanandarah yang cepat akibat kehilangan
cairan, kebocoran atau sebab lain, maka tubuh akanmengadakan respon
fisiologis untuk mempertahankan sirkulasi dan perfusi yang adekuatke
seluruh tubuh. Secara umum, tubuh melakukan kontrol terhadap tekanan
darah melaluisuatu sistem respon neurohumoral yang melibatkan
beberapa reseptor di tubuh. Reseptor tersebut diantaranya adalah:
Baroreseptor
Reseptor ini peka terhadap rangsang yaitu perubahan tekanan di
dalam pembuluh darah. Reseptor ini masih peka terhadap penurunan hin
gga 60 mmHg. Reseptor ini terletak di sinus karotikus, arkus aorta,
atrium kiri dan kanan, ventrikel kiri dan kanan serta arteri dan vena
pulmonalis. Jika terjadi penurunan tekanan darah maka terjadi 2
mekanisme oleh baroreseptor yaitu :
1) Perangsangan terhadap fungsi jantung untuk meningkatkan
kemampuan sirkulasi, heart rate dan kekuatan pompa dinaikkan
2) Perangsangan fungsi pembuluh darah untuk meningkatkanresistensi
perifer (vasokonstriksi) untuk meningkatkan tekanan darah
Kemoreseptor
Reseptor ini bekerjasama dengan baroreseptor untuk mengatur
sirkulasi. Kemoreseptor dirangsang oleh perubahan pH darah. Jika
mencapai kondisiasidosis, kemoreseptor memberikan rangsangan untuk
mempercepat sirkulasi dan laju pernafasan. Dan sebaliknya apabila
terjadi alkalosis, responnya adalah memperlambat sirkulasi dan
pernafasan
Serebral ischemic reseptor
Reseptor di otak ini mulai bekerja ketika aliran darah di otak turun
<40mmHg. Akan terjadi respon massive sympathetic discharge untuk
merangsangsistem sirkulasi jauh lebih kuat
Humoral respons
Saat kondisi hipovolemik, sistem hormonal tubuh mengeluarkan
hormon stress untuk membantu memacu sirkulasi. Hormon tersebut
diantaranya adrenalin,glukagon dan kortisol. Hormon-hormon tersebut
juga membantu terjadinya respon kardiologis yaitu takikardi,
vasokonstriksi namun terdapat efek hiperglikemia. Pada kondisi tubuh
yang stress, hormon ADH juga dikeluarkan sehingga restriksi cairan
makin kuat. Produksi urin turun.
Sistem kompensasi ginjal
RAA Sistem ini sangat membantu dalam kondisi syok. Jika terjadi
hipoperfusi ke ginjal maka akan terjadi pengeluaran hormon renin oleh
aparatus juxtaglomerolus untuk mengubah angiotensinogen menjadi angi
otensin I. Angiotensin I kemudian diubah menjadi Angiotensin II oleh
ACE (angiotensin converting enzyme). Angiotensin II memiliki fungsi
yaitu vasokonstriktor kuat, kemudian juga merangsang aldosteron untuk
meningkatkan absorpsi Natrium di Tubulus Ginjal.
Autoperfusi
Saat terjadi syok, dapat terjadi mekanisme autoperfusi untuk
memindahkancairan intraselular ke dalam vaskular. Pada keadaan
hipovolemik, maka tekanan hidrostatik intravaskular menurun sehingga
memungkinkan untuk terjadi perpindahan dari intrasel ke vaskular
Vena kolaps
Cemas
Hipovolemia sedang (20-40% volume darah) akan menunjukan gejala
sama dengan hipovolemia ringan ditambah dengan:
Takikardi
Takipnea
Oligouria
Hipotensi ortostatik
Hipovolemia berat (>40% volume darah) memiliki gejala sama dengan
hipovolemia sedang ditambah dengan:
Hemodinamik tidak stabil
Takikardi bergejala
Hipotensi
Perubahan kesadaran
Tatalaksana
Resusitasi/optimalisasi sirkulasi
1) Pasang 2 line dengan kateter IV yang besar
2) Jumlah cairan dan kecepatan pemberian disesuaikan dengan
derajat syok dan etiologi
3) Khusus untuk syok hemoragik jumlah cairan kristaloid:darah
yang hilang adalah 3-4:1, sedangkan dengan pemberian koloid
1:1
4) Koloid sintetik (HES, dextran) hanya diindikasikan pada syok
hemoragik dan DSS
Small volume resuscitation
Resusitasi dengan hypertonic saline dextran / saline 7,5% dalam
6% dextran 70 telah digunakan untuk resusitasi volume kecil pada syok
hemoragik dengan dosis 4 ml/kgbb.
Transfusi darah
Transfusi darah diberikan pada pasien jika tidak mengalami
perbaikan hemodinamik minimal atau sedang setelah infus cepat 2-3 liter
kristaloid. American society of anesthesiologists mendapatkan bahwak
kadar haemoglobin (Hb) >10 mg/dl dan hematokrit >30% jarang
memerlukan transfusi darah. Kadar Hb <6mg/dl dan hemtokrit <18%
selalu memerlukan transfuse, sedangan kan kadar Hb diantara 6-10 mg/dl
kebutuhan transfusi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penyakit
dasar yang berpengaruh terhadap penurunan hantaran oksigen dan laju
kehilangan darah terus berlanjut.
Keberhasilan terapi syok hipovolemik bias dinilai dari parameter-
parameter berikut :
CRT <2 detik
MAP 65-70 mmHg
Saturasi O2 >95%
Urin output >0.5 ml/kgbb/jam
Shock index (pada syok hemoragik) :HR/SBP (normal 0,5-0,7)
CVP 8-12 mmHg
Diagnosis
Manifestasi Klinis
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi terjadinya syok
kardiogenik. Pasien umumnya datang dengan keluhan nyeri dada tipikal
yang akut dan kemungkinan sudah mempunyai riwayat penyakit jantung
koroner sebelumnya.
Pada keadaan syok akibat komplikasi mekanik infark miokard
akut, biasanya terjadi dalam beberapa hari sampai seminggu setelah onset
infark tersebut. Umumnya pasien mengeluhkan nyeri dada dan biasanya
disertai gejala tibatiba yang menunjukkan adanya edema paru akut
bahkan henti jantung.
Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya palpitasi,
presinkop, sinkop, atau merasakan irama jantung yang berhenti sejenak.
Kemudian pasien akan merasakan letargi akibat berkurangnya perfusi ke
sistem saraf pusat.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal hemodinamik akan ditemukan tekanan
darah sistolik yang menurun hingga < 90 mmHg. Denyut jantung
biasanya cenderung meningkat akibat dari stimulasi simpatis, demikian
pula dengan frekuensi pernapasan yang biasanya meningkat.
Pada pemeriksaan vena-vena di leher sering kali terjadi
peningkatan distensinya. Pada pemeriksaan dada dapat menunjukkan
adanya ronki. Irama gallop dapat terdengar, yang menunjukkan adanya
disfungsi ventrikel kiri yang bermakna. Sedangkan pada regurgitasi
mitral atau defek septal ventrikel, bunyi murmur dapat muncul.
Pada pasien dengan gagal jantung kanan akan menunjukkan
beberapa tandatanda antara lain: perbesaran hati, pulsasi di hati akibat
regurgitasi tricuspid atau terjadinya asites akibat gagal jantung kanan.
Pulsasi arteri di ekstremitas perifer akan menurun intensitasnya dan
edema perifer dapat timbul pada gagal jantung kanan. Sianosis dan
ekstremitas yang teraba dingin, menunjukkan terjadinya penurunan
perfusi ke jaringan.
Pasien dengan syok kardiogenik paling sering datang dengan
gejala ekstremitas dingin dan tanda-tanda kongesti paru. Kondisi ini ini
disebut “cold and wet” atau "dingin dan basah" dan mencerminkan
penurunan indeks curah jantung, peningkatan resistensi pembuluh darah
sistemik, dan peningkatan PCWP.
Pasien juga dapat menunjukkan tampilan euvolemik atau “dry and
cold” atau "kering dan dingin", yang menunjukkan penurunan indeks
curah jantung, peningkatan resistensi vaskular sistemik dan PCWP
normal. Tampilan euvolemik lebih sering pada pasien yang pernah
mengalami infark miokard sebelumnya atau memiliki penyakit ginjal
kronis. Tampilan lain dari syok kardiogenik yang jarang ditemui adalah
“wet and warm” atau “basah dan hangat”. Tampilan ini merupakan
respon inflamasi yang berhubungan dengan infar miokard dan dikaitkan
dengan insidensi sepsis dan kematian yang lebih tinggi.
Pemeriksaan Penunjang
Gambaran ekokardiografi (EKG) dapat membantu menentukan
etiologi syok kardiogenik. Misalnya pada infark miokard akut akan
terlihat dari gambaran EKG tersebut. Begitu pula gangguan irama atau
aritmia sebagai etiologi terjadinya syok kardiogenik dapat terlihat dari
EKG. EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak munculnya keluhan.
Pada Sindrom Korener Akut (SKA) penemuan dalam EKG dibagi
menjadi tiga yakni ST-Elevasi, ST-Depresi, dan Non-ST Deviasi.
Perubahan awal EKG pada oklusi koroner termasuk gelobang T yang
hiperakut yang akan secara secpat berubah menjadi elevasi segmen ST.
Jika terdapat ST Elevasi di lebih dari 2 lead merupakan indikasi reperfusi
uregnsi. Adanya ST-elevasi, ST depresi, dan atau inversi gelombag T
harus dipertimbangkan kecurigaan SKA.
Pasien-pasien ini harus diberikan terapi dan evaluasi segera untuk
dilakukan early coronary angiography. Penemuan lain pada EKG yang
dapat mengarah ke SKA termasuk ventricular tachycardia, ventricular
fibrillation, atrial fibrillation, new bunle branch block, dan
atrioventricular block.
Foto Rontgen Dada Pada foto polos dada akan terlihat
kardiomegali dan tanda-tanda kongesti paru atau edema paru pada gagal
ventrikel kiri yang berat. Bila terjadi komplikasi defek septal ventrikel
atau regurgitasi mitral akibat infark miokard akut, akan tampak gambaran
kongesti paru yang tidak disertai kardiomegali, terutama pada onset
infark yang pertama kali. Gambaran kongesti paru menunjukkan kecil
kemungkinan terdapat gagal ventrikel kanan yang dominan atau keadaan
hipovolemia.
Pemeriksaan darah rutin dan penanda metabolik harus dilakukan
setiap 12-24 jam dikarenakan dapat memberikan informasi mengenai
oksigenasi, status elektrolit dan endorgan damage. Infark miokard
disebabkan oleh atherothrombosis akut sebagai hasil dari rupture plak.
Monitoring terhadap kadar troponin dapat menentukan keparahan dari
injuri yang bergantung dengan waktu atau time-dependent.
Tatalaksana
Tatalaksana anafilaksis akut ditujukan untuk mengatasi keadaan
gawat darurat (mengancam jiwa) yang terjadi akibat lepasnya mediator
dari sel mast atau basophil dalam rangkaian reaksi anafilaksis.
Tatalaksana awal yang harus dilakukan adalah memutus hubungan
dengan allergen pencetus.
Epenefrin (adrenalin) merupakan terapi utama dalam
penatalaksanaan anafilaksis yang diberikan segera setelah anafilaksis
diperkirakan terjadi. Epinefrin digunakan dalam konsentrasi 1:1000
dengan dosis dewasa 0,3-0,5 ml/kali pemberian dan dosis anak 0,3
ml/kali pemberian secara intramuskuler pada otot vastus lateralis (mid
anterolateral thigh). Dapat dilakukan pemberian ulang dengan interval 5-
10 menit. Jika pemberian ulang epinefrin tidak efektif maka dapat
diberikan adrenalin 1-10 µg/menit dengan infus pump.
Posisi trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai
ditinggikan untuk menaikan venous return sehingga tekanan darah ikut
meningkat.
Pemberian oksigen dengan aliran tinggi sesuai keadaan, biasanya
6-8 lpm dengan sungkup. Jika terdapat edema saluran nafas dapat
dilakukan intubasi atau trakeostomi.
Resusitasi cairan kristaloid ataupun koloid dapat diberikan untuk
memperbaiki volume intravascular.
Antihistamin dan kortikosteroid merupakan lini kedua setelah
adrenalin, diberikan setelah kondisi kliniis yang mmengancam nyawa
teratasi.
Jika terjadi henti jantung makan resusitasi kardipulmoner harus
segera dilakukan. Dianjurkan dengan memulai kompresi dinding dada
sebelum memberikan bantuan napas.
Hal penting yang harus dilakukan adalah mencari penyebab
anafilaksis dan memberitahu pasien untuk menghindari faktor penyebab
tersebut.
keadaan obstruktif ini adalah penurunan curah jantung dan tekanan darah
yang sering cepat dan masif.
10.Stadium Terminal
Stadium terminal adalah stadium lanjut yang tidak berespon dan
mengalami progesifitas terhadap pengobatan kanker yang diberikan. Stadium
terminal pada kanker secara umum terjadi pada tahap lanjutan, telah
menyebar jauh dan merusak berbagai macam organ dari fungsinya,
bermetastase, menyebabkan kondisi lemah secara umum.
Perawatan pada pasien kanker stadium terminal meliputi radiasi atau
kemoterapi yang membantu memperpanjang hidup. Perawatan tambahan
dengan perawatan paliatif yang dapat meredakan gejala rasa sakit dan
meningkatkan kualitas hidup.
Sesuai prinsip perawatan paliatif, tujuan terapi pada pasien stadium
terminal adalah untuk mencapai kondisi nyaman dan meninggal secara
bermartabat. Dalam memberikan terapi paliatif pada pasien kanker stadium
terminal, kondisi pasien dinilai berdasarkan:
Kondisi fisiologi sistem organ
Terapi
Derajat kesadaran
Prinsip tersebut di bawah ini merupakan acuan dalam melaksanakan
program paliatif pasien kanker (Adaptasi WHO, 2007):
1. Menghilangkan nyeri dan gejala fisik lain.
2. Menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses
normal.
3. Tidak bertujuan mempercepat atau menghambat kematian.
4. Mengintegrasikan aspek fisik, psikologis, sosial, dan spiritual.
5. Memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif mungkin.
6. Memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita.
7. Menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan
keluarganya.
8. Menghindari tindakan yang sia sia.
9. Bersifat individual tergantung kebutuhan pasien.