PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan suatu keadaan dimana terjadi
penurunan suplai oksigen dan darah pada daerah myocardium akibat obstruksi maupun
spasme dari pembuluh darah koronaria.1
Saat ini, penyakit jantung coroner masih merupakan masalah kesehatan utama dunia
dan menjadi penyebab terbanyak kematian akibat penyakit kardiovaskular di dunia.Jumlah
kematian akibat penyakit kardiovaskular meningkat dari 14,4 juta di tahun 1990 menjadi
17,5 juta di tahun 2005, dimana sekitar 7,6 juta kematian disebabkan oleh penyakit jantung
koroner.2 Lebih dari 80% kematian ini terjadi di negara berpendapatan menengah dan
rendah, disebabkan oleh faktor sosioekonomi yang mempengaruhi gaya hidup.3,4 Pada tahun
2002, negara India memiliki angka kematian akibat PJK tertinggi disusul oleh Rusia dan
Cina. Di Amerika, PJK menyebabkan sekitar 400.000 kematian di tahun 2008, dimana
setiap tahunnya, sekitar 785.000 orang akan mendapatkan serangan jantung dan sekitar
470.000 akan mendapat serangan berulang. Estimasi insiden serangan jantung setiap
tahunnya mencapai 610.000 kasus baru dan 325.000 kasus baru miokard infark berulang. 5,6
Di Indonesia, PJK menjadi penyebab kematian terbanyakpada usia diatas 60 tahun dan
penyebab kematian terbanyak kedua pada rentang usia 15-59 tahun setelah HIV/AIDS. PJK
menyebabkan sekitar 100.000-500.000 kematian di Indonesia pada tahun 2002.7
Langkah pertama dalam pengelolaan penyakit jantung koroner ialah menetapkan
diagnosis pasti, karena bila diagnosis PJK telah dibuat, maka ada kemungkinan menjadi
infark jantung atau kematian mendadak. Maka seorang dokter harus dapat memilih
pemeriksaan secara tepat untuk menunjang diagnosis. Pemeriksaan radiologis merupakan
salah satu alat bantu untuk menunjang diagnosis PJK, baik dengan teknik yang invasive
maupun non invasive. Pemeriksaan secara invasive yang dilakukan adalah kateterisasi
jantung melalui angiografi koronaria. Sementara itu, pemeriksaan noninvasive terbaru dapat
dilakukan dengan modalitas CT angiografi. Dalam karya tulis ini, akan dibahas mengenai
pemilihan modalitas yang tepat sesuai dengan indikasi dalam mendiagnosis PJK, kelebihan,
serta kekurangan dari masing-masing modalitas pencitraan tersebut dalam menunjang
diagnosis PJK.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit jantung koroner
2.1.1 Definisi
Penyakit jantung koroner adalah suatu keadaan dimana terjadinya penurunan suplai
oksigen dan darah pada daerah miokardium akibat obstruksi maupun spasme dari pembuluh
darah koronaria. Keadaan ini menyebabkan tidak tercukupinya kebutuhan jantung untuk
memompa darah ke seluruh tubuh. Obstruksi dari pembuluh darah koronaria ini terbanyak
disebabkan oleh proses aterosklerosis.1
2.1.2 Etiologi
Penyebab utama penyakit jantung koroner ialah aterosklerosis yang membentuk
plak pada tunika intima arteri koronaria. Plak tersebut bersifat tidak stabil sehingga mudah
mengalami ruptur dan akhirnya membentuk trombus. Penyebab lain yang mungkin terjadi
selain plak adalah adanya embolus, spasme pembuluh darah dan sebagai akibat dari
penyakit sistemik lainnya.1
Embolus yang berasal dari pembuluh darah lain dapat terbawa sampai ke arteri
koronaria, sedangkan spasme pembuluh darah koronaria dapat timbul secara mendadak
atau dicetuskan oleh penggunaan kokain dan nikotin. Penyakit lain yang dapat
mengakibatkan terjadinya penyakit jantung koroner antara lain, defek pada waktu
kelahiran, infeksi virus, SLE, arteritis atau trauma mekanis yang secara langsung mengenai
pembuluh darah. Semua penyebab tersebut berakhir pada ketidakseimbangan supply dan
demand dari oksigen ke jantung, sehingga terjadi iskemia miokardium.1
2.1.3
Faktor Risiko
Faktor risiko penyakit jantung koroner dapat dibagi menjadi:
koroner.8
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
Gaya hidup sedentary life (kebiasaan makan makanan berlemak dan
kurangnya aktivitas fisik) meningkatkan terjadinya sindrom metabolik.
Sindrom metabolik merupakan suatu abnormalitas pada sistem metabolisme
tubuh. Gaya hidup seperti demikian berkaitan erat dengan obesitas,
hipertensi, tingginya kadar lemak dan kolesterol dalam darah serta diabetes
mellitus yang merupakan faktor risiko penyakit jantung coroner. Kriteria
dari sindrom metabolik menurut NCEP: ATP III 2001 (National Cholesterol
Education Program and Adult Treatment Panel III) adalah 3 atau lebih dari
hal berikut:
Obesitas sentral : lingkar pinggang > 102 cm untuk laki-laki dan >
88 cm untuk perempuan
Hipertrigliseridemia : kadar trigliserida >150 mg/dl atau dalam
medikasi spesifik
Hipertensi : kadar tekanan darah >130mmHg sistolik atau >85mmHg
diastolik
Kadar glukosa puasa >100 mg/dl atau medikasi spesifik atau telah
didiagnosis diabetes tipe 2 sebelumnya.1
Gam
bar 2.1.1Mekanisme terjadinya sindrom metabolik
Merokok juga merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner. Merokok dapat
menyebabkan kerusakan endotel vaskuler yang akhirnya memicu terjadinya proses
trombosis. Merokok juga meningkatkan kebutuhan oksigen dari miokardium dan
menurunkan supplai oksigen, serta meningkatkan risiko terjadinya hipertensi.1
2.1.4 Patogenesis
Penyakit jantung koroner disebabkan oleh terjadinya proses aterosklerosis. Proses
aterosklerosis ditandai dengan adanya akumulasi lipid ekstra sel, rekruitmen dan migrasi
miosit, pembentukan sel busa dan deposit matriks ekstraseluler, akibat pemicuan
multifaktor berbagai patogenesis yang bersifat kronik progresif, fokal atau difus,
bermanifestasi akut maupun kronis, serta menimbulkan penebalan dan kekakuan arteri.
Pembentukan aterosklerosis terdiri dari beberapa fase yang saling berhubungan.
Fase awal terjadi akumulasi dan modifikasi lipid (oksidasi, agregasi dan proteolisis) dalam
dinding arteri yang selanjutnya mengakibatkan aktivasi inflamasi endotel. Pada fase
selanjutnya terjadi rekrutmen elemen-elemen inflamasi seperti monosit ke dalam tunika
intima. Awalnya monosit menempel pada endotel, penempelan endotel ini diperantarai oleh
4
beberapa molekul adhesi pada permukaan sel endotel, yaitu Inter Cellular Adhesion
Molecule-1 (ICAM-1), Vascular Cell Adhesion Molecule-1 (VCAM-1) dan Selectin.
Molekul adhesi ini diatur oleh sejumlah faktor yaitu produk bakteri lipopolisakarida,
prostaglandin dan sitokin. Setelah berikatan dengan endotel kemudian monosit berpenetrasi
ke lapisan lebih dalam dibawah lapisan intima. Monosit yang telah memasuki dinding arteri
ini akan berubah menjadi makrofag dan "memakan" LDL yang telah dioksidasi melalui
reseptor scavenger. Hasil fagositosis ini akan membentuk sel busa atau foam cell dan
selanjutnya akan menjadi fatty streak. Aktivasi ini menghasilkan sitokin dan faktor-faktor
pertumbuhan yang akan merangsang proliferasi dan migrasi sel-sel otot polos dari tunika
media ke tunika intima dan penumpukan molekul matriks ekstraselular seperti elastin dan
kolagen, yang mengakibatkan pembesaran plak dan terbentuk fibrous cap. Pada tahap ini,
proses aterosklerosis sudah sampai pada tahap lanjut dan disebut sebagai plak
aterosklerotik. Plak ini akan menyebabkan penyempitan lumen arteri yang menyebabkan
terjadinya pengurangan aliran darah, bila plak tersebut ruptur maka akan terjadi pengaktifan
trombosit dan jalur koagulasi dan terjadilah proses trombogenesis (pembentukan trombus).1
akan memiliki afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut
(integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen. Kedua molekul tersebut
merupakan molekul multivalen yang dapat mengikat dua trombosit yang berbeda secara
simultan, menghasilkan ikatan silang trombosit dan agregasi. Pada sisi lain, kaskade
koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan
X
diaktivasi,
mengakibatkan
konversi
protrombin
menjadi
trombin
kemudian
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin yang berikatan dengan faktor XIII yang
meningkatkan kekuatan bekuan. Arteri koronaria yang terlibat kemudian akan mengalami
oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin.4
Angina pektoris stabil merupakan suatu sindroma klinis berupa rasa tidak nyaman
di dada, rahang, bahu, punggung, atau lengan yang timbul saat aktivitas atau stress
emosional yang berkurang dengan istirahat atau nitrogliserin. Umumnya terjadi bila
penyempitan arteri koronaria sekitar 50% diameter lumen, sehingga terjadi iskemia
miokardium terutama pada waktu beraktivitas. Hal tersebut dikarenakan saat beraktivitas
terjadi peningkatan denyut jantung, kontraktilitas, dan stress pada dinding pembuluh darah
untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh yang berakibat peningkatan oksigenasi otot
jantung. Klasifikasi angina didasarkan pada klasifikasi CCS (Canadian Cardiovascular
Society) yakni:
Kelas I : angina tidak timbul pada aktivitas sehari-hari, seperti berjalan, dan
menaiki tangga. Angina timbul pada saat latihan berat, tergesa-gesa, dan
berkepanjangan.
Kelas II : dijumpai pembatasan aktivitas sehari-hari, seperti jalan cepat atau
menaiki tangga, jalan mendaki, aktivitas setelah makan, hawa dingin, dalam
keadaan stress emosional, atau hanya timbul beberapa jam setelah bangun
tidur.
Kelas III : adanya tanda-tanda keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari, angina
timbul jika berjalan sekitar 100-200 meter, menaiki tangga satu tingkat pada
Angina pertama kali merupakan angina yang timbul pada saat aktifitas fisik
dan baru pertama kali dialami oleh penderita dalam periode 1 bulan terakhir
Angina progresifmerupakan angina yang timbul saat aktifitas fisik yang
berubah polanya dalam 1 bulan terakhir, yaitu menjadi lebih sering, lebih
berat, lebih lama, timbul dengan pencetus yang lebih ringan dari biasanya
dan tidak hilang dengan cara yang biasa dilakukan. Penderita sebelumnya
Diagnosis
Nyeri pada dada, substernal atau sedikit kiri dari substernal dengan penjalaran ke
leher, rahang, bahu kiri, sampai ke pundak/ jari-jari bagian ulnar kiri atau punggung
dan epigastrium.
Nyeri sifatnya tumpul seperti tertindih atau rasa berat di dada, seperti diremas-remas
angina pectoris tidak stail, > 30 menit kemungkinan telah terjadi infark.
Nyeri dapat membaik bila diberi nitrogliserin pada angina, namun pada infark
2.1.7
paru.
Echokardiografi : untuk mendeteksi kelainan katup/ kardiomiopati
Imaging10
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada dasarnya bertujuan untuk memperpanjang hidup dan
memperbaiki kualitas hidup dengan mencegah serangan angina baik secara medikal atau
pembedahan.10
2.1.7.1 Pengobatan Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa bertujuan untuk mencegah dan menghilangkan
serangan angina. Ada 3 jenis obat yang digunakan, yaitu :
Golongan nitrat
Nitrogliserin merupakan obat pilihan utama pada serangan angina akut.
Mekanisme kerjanya adalah dengan dilatasi vena perifer dan pembuluh
darah koronaria. Efeknya muncul dalam jangka waktu cukup singkat, yaitu
relaksasi otot polos vaskuler. Nitrogliserin juga dapat meningkatkan
toleransi exercise pada penderita angina sebelum terjadi hipoksia miokard.
Jika nitrogliserin diberikan sebelum exercise, dapat mencegah terjadinya
serangan angina.10
Ca-Antagonis
Ca-antagonis dipakai pada pengobatan jangka panjang untuk mengurangi
frekuensi serangan pada beberapa tipe angina.
Cara kerjanya Ca-antagonis :
Memperbaiki spasme koronaria dengan
menghambat
tonus
Selain obat-obatan di atas, khusus pada IMA dilakukan terapi reperfusi dengan
menggunakan obat-obatan antitrombotik seperti streptokinase atau rTPa. Obat-obatan
tersebut akan menghancurkan trombus sehingga oklusi arteri koronaria akan terbuka. Terapi
juga dapat ditambah dengan obat-obat antiplatelet seperti aspirin yang akan menghambat
enzim siklooksigenase sehingga mencegah terjadinya agregasi trombosit sehingga
mencegah terjadinya trombus, selain itu juga dapat diberikan klopridogrel yang
menginhibisi aktivasi trombosit.
Angiografi
10
Gambar x-ray yang diambil dapat berupa gambar diam, atau gambar bergerak.
Untuk semua struktur kecuali jantung, gambar biasanya diambil menggunakan teknik yang
disebut digital substraction angiography atau DSA. Gambar dalam hal ini biasanya diambil
2-3 frame per detik, yang memungkinkan ahli radiologi intervensional untuk mengevaluasi
aliran yang melalui pembuluh darah. Teknik ini tidak menampilkan tulang dan organ
lainnya sehingga hanya pembuluh darah yang terisi dengan zat kontras yang dapat dilihat.
Gambar jantung diambil 15-30 frame per detik, tidak menggunakan teknik DSA. Karena
DSA membutuhkan pasien untuk tetap diam, teknik ini tidak dapat digunakan pada jantung.
Kedua teknik ini memungkinkan ahli radiologi intervensi atau ahli jantung untuk melihat
stenosis di dalam pembuluh darah yang dapat menghambat aliran darah dan menyebabkan
rasa sakit.12
12
13
14
Idealnya
pemeriksaan dilakukan hanya dengan anestesi lokal seperti lidokain dan anestesi umum
dalam dosis minimal. Prosedur yang dilakukan dalam kondisi pasien terbangun lebih aman,
karena pasien dapat segera melaporkan setiap ketidaknyamanan atau masalah yang
dirasakan selama pemeriksaan, hal ini memungkinkan penanganan yang cepat bila terjadi
hal yang tidak diinginkan. Monitor medis tidak dapat memberikan gambaran yang
komprehensif tentang keadaan pasien; informasi yang diberikan pasien dalam pemeriksaan
seringkali merupakan indikator yang paling dapat diandalkan dalam prosedur keamanan.14
Kematian, infark miokard, stroke, aritmia ventrikel yang serius, dan komplikasi
vaskular, masing-masing terjadi pada kurang dari 1% dari pasien yang menjalani
kateterisasi. Waktu yang disarankan untuk pasien berada di laboratorium berkisar antara 2015
45 menit. Waktu pemeriksaan dapat diperpanjang apabila terdapat kesulitan teknis, dengan
syarat penambahan waktu pemeriksaan tidak membahayakan pasien.14
2.2.1.3 Prosedur diagnostik
Selama kateterisasi koronaria, tekanan darah dicatat dan gerak X-ray gambar
bayangan darah di dalam arteri koronaria juga direkam. Untuk menghasilkan gambar sinarX, dokter memasang perangkat seperti tabung kecil yang disebut kateter, biasanya
berdiameter 2.0 mm (6-French), melalui arteri besar tubuh sampai ujung kateter mencapai
arteri koronaria. Kateter didesain lebih kecil dari lumen arteri; tekanan darah internal yang /
intraarterial dimonitor melalui kateter untuk memastikan bahwa kateter tidak memblokir
aliran darah.14
Kateter sendiri dirancang untuk dapat terlihat dari X-ray dan memungkinkan
pewarna X-ray untuk secara selektif disuntikkan dan dicampur dengan darah yang mengalir
di dalam arteri. Biasanya 3-8 cc zat radiokontras disuntikkan untuk membuat aliran darah
terlihat dalam gambar selama sekitar 3-5 detik, sampai zat radiokontras mengalir ke dalam
kapiler koronaria dan kemudian vena koronaria. Tanpa injeksi pewarna X-ray, pembuluh
darah dan jaringan sekitar jantung hanya terlihat sebagai massa yang bergerak perlahan
pada X-ray, tidak terlihat secara jelas struktur pembuluh darah serta organ dalam. Zat
radiokontras dalam darah memungkinkan visualisasi aliran darah dalam arteri atau bilik
jantung, tergantung di mana zat disuntikkan.14
Ateroma, atau bekuan, yang menonjol ke dalam lumen, menimbulkan penyempitan,
penyempitan terlihat sebagai bagian yang agak kabur bila dibandingkan dengan pembuluh
lain disekitar yang tidak mengalami stenosis.14
16
Gambar 2.2.5
Area yang
mengalami stenosis ditunjukan dengan tanda panah.
CT Scan
Computed Tomography (CT) menggunakan pancaran sinar-x terkolimasi pada
pasien untuk mendapatkan citra potongan melintang yang tipis dari kepala dan tubuh
pasien. Sebagai pengganti pancaran pada film sinar-x digunakan sistem deteksi yang lebih
sensitif dengan tabung foto multiplier. Tabung sinar-x berputar mengelilingi pasien
beberapa kali. Citra didapatkan melalui pembacaan digital dari tabung foto multiplier yang
diproses oleh komputer dan analisis pola penyerapan pada tiap jaringan. Nilai penyerapan
dinyatakan pada skala +1000 unit untuk tulang, yaitu penyerapan maksimum pancaran
sinar-X, hingga -1000 unit untuk udara yang merupakan penyerap terendah.
17
Setiap gambar mewakili suatu potongan tubuh, dengan ketebalan bervariasi dari 1
hingga 10 mm. Jaringan yang berada di atas atau di bawah potongan ini tidak tercakup
sehingga diambil suatu seri potongan untuk mencakup daerah tertentu. Dengan pemindaian
spiral, urutan potongan-potongan tersebut dapat diperoleh dengan cepat, bahkan
pemeriksaan toraks dapat dilakukan hanya dalam sekali menahan napas dan seluruh
abdomen dapat digambarkan hanya dalam beberapa detik.
Citra pada CT mengandung sebuah matriks elemen gambar (pixel), ketebalan
potongan menggambarkan komponen volume (voxel). Setiap voxel menggambarkan nilai
penguatan pancaran sinar-x pada titik tubuh tertentu.
Kontras oral digunakan untuk memperlihatkan saluran pencernaan atau kontras
intravena untuk memperlihatkan sistem vaskular dan untuk mempelajari perbaikan organ
tertentu pada berbagai kondisi patologis.15
2.3.1 CT Kardiak
Seiring dengan meningkatnya insiden Penyakit jantung koroner (PJK), muncul
konsep baru di masyarakat, yaitu screening sebelum ditemukan gejala untuk mengurangi
progresivitas penyakit. Seiring dengan perkembangan teknologi CT scan, jumlah
masyarakat yang memanfaatkannya sebagai sarana diagnostic untuk mendeteksi kalsifikasi
arteri koronaria juga meningkat. CT kardiak menjadi salah satu pilihan karena proses
pemeriksaan yang cepat dan tidak invasif.16 CT kardiak secara umum dapat dikelompokkan
menjadi 3 macam, yaitu calcium score screening heart scan, coronary CT angiography
(CTA), dan total body CT scan.17
18
Gambar 2.3.1CT scan non-kontras thoraks. Terdapat kalsifikasi pada left anterior
descending artery/LAD (tanda panah). Selain itu, terdapat hiatus hernia dan kalsifikasi
pleura yang mengindikasikan paparan terhadap asbes.16
Plak pada koronaria dapat dibagi menjadi 3 tipe berdasarkan temuan yang
didapatkan pada CT, yaitu plak non kalsifikasi (lesi dengan radiodensitas lebih tinggi jika
dibandingkan dengan jaringan lunak di sekitarnya namun memiliki radiodensitas lebih
rendah jika dibandingkan dengan kontras yang melewati lumen koronaria), plak kalsifikasi
(lesi dengan radiodensitas lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontras yang melewati
lumen koronaria), dan campuran keduanya (kadar kalsium berada pada range 20-80%).20
Gambar 2.3.3CT angiografi koronaria pada plak yang tidak mengalami kalsifikasi. Plak
non-kalsifikasi ditemukan pada segmen tengah dari left anterior descending artery.20
20
Gambar 2.3.4 CT angiografi koronaria pada plak yang mengalami kalsifikasi. Proeksi CT
menunjukkan plak kalsifikasi fokal di segmen proksimal arteri koronaria dekstra (a).
Angiografi koronaria menunjukkan stenosis ringan lumen koronaria [tanda panah di (b)].
Plak kalsifikasi yang ekstensif dapat ditemukan pada segmen proksimal dan tengah dari left
anterior descending (LAD) (c) dan (d). Stenosis di LAD pada saat dilakukan angiografi
koronaria [tanda panah di (e)].20
21
Gambar 2.3.5 CT angiografi koronaria menunjukkan plak campuran. Plak campuran dapat
ditemukan di segmen proksimal dari left anterior descending (LAD) dengan stenosis > 50%
(tanda panah di a). Angiografi koronaria mengkonfirmasi stenosis LAD (tanda panah di
b).20
22
menyebabkan miokard infark atau stroke. Punksi arteri dapat menyebabkan kerusakan
pembuluh darah. Perdarahan retroperitoneal adalah komplikasi yang cukup signifikan.22
2.3.5 Kekurangan CT Angiografi
CT angiografi memiliki keterbatasan dan tidak dapat menggantikan fungsi ICA
secara sempurna. Resolusi spasial membatasi kemampuan CT angiografi untuk
memberikan informasi yang tepat mengenai tingkat keparahan stenosis. Pasien dengan
aritmia, atrial fibrilasi, serta pasien yang alergi kontras tidak dapat diperiksa menggunakan
CT angiografi. Kualitas gambar yang kurang baik karena kalsifikasi yang tebal serta artefak
multipel seperti gerakan arteri dan gerakan nafas juga membatasi penggunaan CT
angiografi.22
Tidak seperti s-ECG (stress electrocardiography), MPI (Myocardial Perfusion
Imaging), dan stress echocardiography, CT angiografi hanya merupakan alat diagnostic
untuk kelainan antomis. CT angiografi tidak dapt menilai kelainan fungsional pada jantung
yang disebabkan oleh stenosis arteri koronaria.24
Dosis radiasi yang ditimbulkan umumnya lebih tinggi pada CT angiografi jika
dibandingkan dengan ICA. CT angiografi dan ICA sama-sama memiliki risiko yang terkait
dengan injeksi kontras, yaitu dapat menyebabkan toksisitas renal, reaksi alergi (dapat
sampai menyebabkan reaksi anafilaksis). Pada studi ini, digunakan kontras sebanyak 65-80
ml untuk mengevaluasi CT angiografi dan ICA. 22 Kini telah diperkenalkan dual source CT
scan dengan dosis radiasi < 1 milli Sievert (mSv) untuk mengurangi radiasi yang
ditimbulkan akibat pemberian kontras.24
2.3.6 Sensitivitas dan Spesifisitas CT Angiografi
Pada 18 penelitian mengenai CT angiografi yang menggunakan 1313 sampel,
ditemukan lesi signifikan pada >50% pasien dan prevalensi PJK adalah sebesar 58%.
Penelitian ini juga menyatakan bahwa CT angiografi 64-slice memiliki sensitivitas yang
cukup tinggi, yaitu sebesar 99% (95% CI 97-99%), spesifisitas sebesar 89% (95% CI 8394%), negative predictive value sebesar 100% (86-100%). Sensitivitas untuk arteri
sirkumfleksa sinistra (LCX) adalah sebesar 85% (95% CI 69-94%) dan arteri koronaria
sinistra sebesar 95% (95% CI 84-99%). Spesifisitas untuk left anterior descending (LAD)
dan sirkumfleksa sinistra (LCX) adalah sebesar 96% sedangkan untuk arteri koronaria
24
sinistra adalah sebesar 100%. Pada 5 studi yang membandingkan sensitivitas pada arteri
proksimal, medial, dan distal, sensitivitas paling buruk didapatkan pada arteri bagian distal
karena ukurannya yang kecil dan rentan terhadap artefak.21
Gambar 2.3.6 Penyempitan moderat (50-70%) pada arteri koronaria dekstra dengan plak
non kalsifikasi yang ekstensif pada CT angiografi (a). Rekonstruksi CT angiogram (b).
Invasive Coronary Angiogram (c).21
25
2.4.
Kelemahan CT angiografi
Harus ditekankan bahwa CT angiografi dan angiografi konvensional merupakan
modalitas pencitraan yang berbeda secara fundamental dengan kekuatan dan kelemahan
yang sangat mempengaruhi setiap perbandingan dari penilaian koroner. Dari dua aspek
resolusi, baik spasial (0,2 mm vs 0,35-0,6 mm) dan temporal (5-10 ms vs 80-175 ms),
dalam praktek klinis saat ini angiografi konvensional lebih unggul. 25
Selain itu, Ct angiografi jauh lebih rentan terhadap kondisi pememindaian yang
kurang optimal. Denyut jantung yang lebih tinggi (> 65 kali / menit) dan pasien yang lebih
besar (indeks massa tubuh> 40) sering menyebabkan penurunan kualitas gambar, yang
mengurangi akurasi diagnostik. Meskipun studi terbaru menunjukkan bahwa dalam kondisi
ideal, CT memiliki potensi untuk mengukur stenosis koroner setidaknya seakurat
fluoroskopik angiography, kondisi ini belum tentu akan selalu didapatkan dalam
pelaksanaan pemeriksaan dalam praktek. 25
Selain itu, pengaturan tampilan gambar, seperti penyesuaian tingkat dan kedalaman
window, dapat secara signifikan mempengaruhi interpretasi. Mungkin keterbatasan terbesar
untuk CT angiografi saat ini kesulitan dalam memvisualisasikan lumen arteri dengan
adanya kalsifikasi koroner yang berat. Penelitian analisis CorE-64 menunjukkan bahwa
kalsifikasi segmen arteri koroner dikaitkan dengan berkurangnya akurasi diagnostik.
Untungnya, kalsifikasi koroner berat tidak sering ditemui pada populasi target CT
angiografi. Bahkan pada pasien yang dirujuk untuk angiografi konvensional, misalnya
populasi dengan risiko tinggi, kurang dari 10% dari plak aterosklerotik yang terdapat
kalsifikasi. Terakhir, paparan radiasi juga menjadi faktor pertimbangan utama untuk
penggunaan CT angiografi. Namun, seiring berjalannya waktu, dengan semakin majunya
teknologi, dan banyaknya studi tentang penggunaan CT angiografi, telah menyebabkan
penurunan drastis dalam dosis radiasi, menjadi semakin setara bahkan lebih rendah dari
angiografi konvensional.25
Kelemahan Angiografi Konvensional
Angiografi konvensional hanya terbatas menampilkan gambaran 2-dimensi dari
pembuluh, sehingga proyeksinya sangat terbatas, yang mana penting untuk intepretasi
26
pencitraan. MDCT memungkin gambaran dari berbagai sudut pandang dari segmen arteri,
sedangkan pada angiografi konvensional pembacaan dibatasi berapa arah pandang yang
dapat diperoleh di laboratorium kateterisasi. Meskipun, idealnya, 2 proyeksi ortogonal
dilakukan untuk setiap evaluasi stenosis arteri koroner, tumpang tindih dari arah pandang
sering menyebabkan hanya 1 arah pandang yang memadai untuk pembacaan. Selain itu,
sering terjadi pemendekan pada gambar, menyebabkan kekeliruan dalam pembacaan
anatomi koroner.25
Angiografi konvensional dianggap sebagai gold standard untuk penilaian stenosis
arteri koroner. Keterbatasan dari angiografi konvensional menyebabkan sulitnya studi
validasi MDCT. Misalnya, pada beberapa lesi tertentu, analisis MDCT sebenarnya lebih
akurat daripada angiografi konvensional, yang mana sulit dibuktikan dalam studi analisis
dengan angiografi konvensional sebagai gold standard. Dalam sebuah penelitian
menggunakan IVUS (Intravascular Ultrasonography) sebagai gold standard, MDCT
memang memiliki akurasi yang lebih besar daripada angiografi konvensional untuk
memperkirakan obstruksi lumen.25
27
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Kelebihan utama dari CT angiografi dari angiografi konvensional adalah
kemampuannya untuk menilai seluruh dinding arteri secara non-invasif, termasuk
visualisasi plak aterosklerotik. Pemeriksaan langsung plak memungkinkan mendeteksi
CAD pada tahap awal, penilaian total beban plak aterosklerosis, dan karakter dari plak.
Meskipun kemampuan tersebut lebih baik daripada sekedar menilai stenosis koroner, hal ini
dapat mengurangi akurasi diagnostik CT angiografi bila dibandingkan dengan angiografi
konvensional karena dapat melebih-lebihkan keadaan suatu penyakit, terutama bila
pembaca kurang berpengalaman. Perbedaan hasil antara CT angiografi dan angiografi
konvensional biasanya dipengaruhi oleh variabilitas dari kualitas gambar, pengalaman
pembaca yg terbatas, variabilitas dari lokasi pengambilan potongan, dan resolusi spasial CT
angiografi yang kurang dibanding angiografi konvensional.
3.2 Saran
Penilaian total beban plak aterosklerosis (dengan kalsifikasi dan tanpa kalsifikasi)
pada arteri koroner, jumlah lesi dan lokasi, serta karakter dari plak, dapat memberikan
gambaran prognostik yang lebih baik dari sekadar pengukuran lesi secara kuantitatif, dan
hal selayaknya mendapat perhatian lebih. Pada tahun-tahun mendatang, kita perlu
mengembangkan penilaian yang terfokus pada lumen stenosis ke penilaian yang
komprehensif dari CAD dan dampaknya terhadap pasien.
DAFTAR PUSTAKA
28
1. Kasper DL, et al. Harrisons principles of internal medicine. Volume II. 18th Ed. USA:
McGraw- Hill; 2011. P: 1983-1991, 1992-1997, 1998-2015.
2. Institute of Medicine. Promoting Cardiovascular Health in the Developing World: A
Critical Challenge to Achieve Global Health. 2010. Washington, DC: The National
Academic Press
3. Sidney C, Smith J. Reducing the Global Burden of Ischemic Heart Disease and Stroke:
A Challenge for Cardiovascular Community and the United Nations. American Heart
Association. 2011; 124: 278-79
4. Gaziano T, Bitton A, Anand S, et al. Gworing Epidemic of Coronary of Heart Disease in
low- and Middle-Income Countries. Curr Probl Cardiol. 2010; 35(2): 72-115
5. Tardif J. Coronary Artery Disease in 2010. European Heart Journal Supplements. 2010;
12:C2-C10
6. Roger V, Go A, Jones D, et al. Heart Disease and Stroke-2012 Update: A Report From
the American Heart Association. Circulation. 2012; 125:2-220
7. Harian Analisa. 1999-2020, Penyakit Jantung Meningkat Lebih dari 100
[internet].
2013
[cited
2013
Apr
25].
Persen
Avalaible
from
http://www.analisadaily.com/mobile/pages/news/13429/19902020-penyakitjantungmeningkatlebih-dari-100-persen.
8. Jousilahti P, Vartiainen E, Tuomilehto J, Puska P. Sex, Age, Cardiovascular Risk Factors, and
Coronary Heart Disease. Journal of Circulation 1999; 99: 1165-1172
9. Lakatta EG. Age-associated Cardiovascular Changes in Health: Impact on Cardiovascular
Disease in Older Persons. Health Failure Review 2002; 7: 29-49
10. Staf Pengajar FK UI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Ed ke 5. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2009. hal.1728-37.
11. G.
Timothy
Johnson,
M.D. "Arteriograms,
Venograms
Are
Angiogram
Magnetic
Resonance;
Society
Of
Nuclear,
M.
(2009).
13. Hurst, J. Willis; Fuster, Valentin; O'Rourke, Robert A. (2004). Hurst's The Heart. New
York: McGraw-Hill, Medical Publishing Division. pp. 48990.
14. Hendel, R. C.; Abbott, B. G.; Bateman, T. M.; Blankstein, R.; Calnon, D. A.; Leppo, J.
A.; Maddahi, J.; Schumaecker, M. M.; Shaw, L. J.; Ward, R. P.; Wolinsky, D. G.;
American Society of Nuclear Cardiology (2010). "The role of radionuclide myocardial
perfusion imaging for asymptomatic individuals".Journal of Nuclear Cardiology 18 (1):
315.
15. Patel PR. Lecture Notes Radiology. 3rd edition. Oxford: Wiley-Blackwell; 2010.
16. Sutton D. Textbook of Radiology and Imaging. 7th edition. London: Elsevier Science;
2003.
17. Web MD. Diagnosing Heart Disease with Cardiac Computed Tomography (CT)
[internet]. [cited 2014 Jul 21]. Available from: http://www.webmd.com/heartdisease/guide/ct-heart-scan.
18. Chen MYM, Pope TL, Ott DJ. Basic Radiology. 2nd edition. New York: McGraw Hill;
2011.
19. Herring W. Learning Radiology: Recognizing the Basics. 2 nd edition. Philadelphia:
Mosby Elsevier; 2007.
20. Sun Z, Choo GH, Ng KH. Coronary CT angiography: current status and continuing
challenges.The British Journal of Radiology 2012. 85: 495510.
21. Chow CK, Sheth T. What is the role of invasive versus non-invasive coronary
angiography in the investigation of patients suspected to have coronary heart disease?.
Internal Medicine Journal 2011. 41: 5-13.
22. Lazoura O, Vlychou M, Vassiou K, Rountas C, Ioannis F. 128-Detector-Row Computed
Tomography Coronary Angiography Evaluating Coronary Artery Disease: Who Avoids
Cardiac Catheterization?. Angiology 2010. 2(61): 174-178.
23. Rajani R, Brum RL, Preston R, Carr-White G, Berman DS. Coronary computed
tomography angiography for the evaluation of patients with acute chest pain. The Int J
Clin Pract 2011. 65(12): 1267-1273.
24. Yerramasu A, Venuraju S, Lahiri A. Evolving role of cardiac CT in the diagnosis of
coronary artery disease. Postgrad Med J 2011. 87:180-188.
25. Arbab-Zadeh A, Hoe J. Quantification of Coronary Arterial Stenoses by Multidetector
CT Angiographhy in Comparison With Conventional Angiography. Journal of
American College Cardiovascular Imaging. 2011;4(2):191-202
30