Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Neurodegenerasi didefinisikan sebagai hilangnya struktur dan fungsi neuron,

termasuk kematian neuron. Banyak penyakit neurodegeneratif yang diketahui termasuk


Parkinsons disease (PD), Alzheimers disease (AD), dan Huntingtons disease (HD).
Penyakit-penyakit tersebut utama disebabkan oleh proses degeneratif, dan penyakitpenyakit ini tidak dapat disembuhkan. Fungsi dan struktur dari neuron akan terus
menurun secara progresif, hingga terjadi kematian dari sel neuron1.
Faktor risiko yang paling konsisten menjadi penyebab dari penyakit
neurodegeneratif terutama AD atau PD, adalah bertambahnya usia. Selama beberapa
abad terakhir, pertumbuhan populasi usia 65 tahun keatas terus meningkat secara
proporsional bila di bandingkan jumlah penduduk keseluruhan. Dapat diperkirakan
untuk beberapa waktu kedepan, jumlah penduduk usia tua akan semakin bertambah, dan
mungkin saja jumlah penderita penyakit neurodegeneratif ini akan ikut bertambah.
Dengan bertambahnya jumlah penderita penyakit neurodegeneratif mudah untuk
membayangkan meningkatnya beban emosi, fisik, dan finansial, baik pada pasien,
caregiver, dan kelompok sosial yang berkaitan dengan penyakit-penyakit tersebut2.
Seiring dengan berjalannya penelitian, banyak kemiripan yang ditemukan pada
penyakit-penyakit tersebut pada tingkat sub-seluler. Dengan ditemukannya kemiripankemiripan ini diharapkan akan ditemukannya moda terapi yang dapat digunakan pada
banyak penyakit secara bersamaan. Banyak hal yang saling berkaitan antara penyakit
neurodegeneratif yang berbeda termasuk dalam proses pembentukan protein, ataupun
proses kematian sel3.
Dalam referat ini akan dibahas mengenai bagaimana proses terjadinya
neurodegenerasi, penyakit-penyakit apa saja yang secara spesifik disebabkan oleh
proses degenerasi, serta terapi-terapi yang sedang dikembangkan guna meningkatkan
kualitas hidup pada pasien dengan penyakit-penyakit degeneratif tersebut.

1.2.
Tujuan Penulisan
1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui proses-proses yang terjadi pada degenerasi sistem saraf.
1.2.2. Tujuan Khusus
Mengetahui sistem yang terlibat dalam proses neurodegenerasi.
Mengetahui penyakit-penyakit yang disebabkan oleh proses

neurodegenerasi.
Mengetahui terapi-terapi yang dikembangkan sebagai tatalaksana

pada penyakit neurodegeneratif.


1.3.
Manfaat Penulisan
1.3.1. Bagi bidang akademik
Mengetahui proses terjadinya neurodegenerasi, sehingga dapat membantu
pemilihan terapi pada pasien dengan penyakit neurodegeneratif.
1.3.2. Bagi pelayanan masyarakat
Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat
mengenai penyakit yang disebabkan oleh proses neurodegenerasi dan
penanganan apa saja yang dapat dilakukan.
1.3.3. Bagi perkembangan penelitian
Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan pemicu bagi
para peneliti untuk melakukan penelitian dan pembahasan lebih lanjut
yang berguna untuk mengembangkan pengetahuan mengenai proses
terjadinya degenerasi sistem saraf, dan tatalaksana yang dapat dilakukan
untuk mengatasi permasalahan yang timbul akibat penyakit-penyakit
tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Neurodegenerasi
Neurodegenerasi merupakan satu kata yang cukup sering digunakan,
dan maknanya dianggap dipahami secara universal. Namun menemukan definisi
yang tepat untuk neurodegenerasi tidak semudah yang dibayangkan. Seringkali
neurodegenerasi hanya disebutkan secara umum, hanya sedikit buku yang
membahas mengenai definisinya, bahkan dalam kamus komperhensif tidak
didefinisikan secara jelas2.
Secara etimologi, kata ini tersusun dari dua kata, pertama neuro yang
mengarah pada sel saraf (neuron), dan degenerasi, yang dapat diartikan
sebagai proses hilangnya struktur atau fungsi pada suatu jaringan atau organ.
Sehingga dala satu kesatuan neurodegenerasi dapat dimaknai sebagai proses
hilangnya struktur atau fungsi pada susunan sel saraf2.

2.2.

Penyakit Neurodegeneratif
Penyakit neurodegeneratif merepresentasikan kelompok besar gangguan
neurologis dengan gambaran klinis dan patologis yang berbeda-beda yang
mempengaruhi kelompok neuron pada sistem anatomi fungsional; dimana
gangguan ini muncul tanpa penyebab yang jelas dan berkembang dalam pola
yang bervariasi. Di lain pihak, neoplasma, edema, perdarahan, dan trauma
sistem saraf, yang bukan merupakan penyakit saraf primer tidak dianggap
sebagai penyakit neurodegeneratif. Penyakit sistem saraf yang tidak berdampak
pada neuron secara langsung, melainkan hanya atribut dari neuron seperti
selaput myelin, pada penyakit multipel sclerosis bukan merapukan penyakit
neurodegeneratif, begitu juga dengan penyakit neuron lain dimana terjadi
kematian dari neuron akibat dari penyebab yang diketahui seperti hipoksia,
keracunan, defek metabolik, atau infeksi4.
Diantara ratusan penyakit neurodegeneratif yang berbeda, sejauh ini
perhatian ditujukan pada beberapa penyakit, termasuk Alzheimers disease
(AD), Parkinsons disease (PD), Huntingtons disease (HD), dan amyotrophic
lateral sclerosis (ALS). Banyak dari penyakit neurodegeneratif lain yang jarang
terjadi, atau jarang dipublikasikan, dianggap tidak banyak mengganggu,
sehingga seringkali diabaikan5.
3

2.2.1. Klasifikasi Penyakit Neurodegeneratif


Jumlah dari penyakit neurodegeneratif saat ini diperkiakan sekiar
beberapa ratus, dan banyak diantaranya yang saling bertumpukan baik secara
klinis maupun patologis, karena itu sulit untuk mengklasifikasikan secara baik.
Hal ini semakin dipersulit dengan fakta bahwa, pada penyakit seperti atrofi
multisistem dimana beberapa area otak dipengaruhi, memiliki kombinasi lesi
yang berbeda, sehingga menimbulkan gejala klini yang berbeda juga. Lebih jauh
lagi proses degeneratif yang serupa, dapat mempengaruhi area yang berbeda di
otak, sehingga membuat tampilan masing-masing penyakit berbeda satu sama
lain bila dilihat dari segi gejala yang timbul. Terlepas dari kesulitan ini,
pembagian kategori penyakit neurodegeneratif yang paling populer adalah
pembagian berdasarkan gejala klinis predominan, atau topografi dari lesi
predominan, atau seringkali merupakan gabungan keduanya. Sebagai contoh,
penyakit neurodegeneratif di sistem saraf pusat dapat dikelompokan menjadi,
penyakit korteks serebri, basal ganglia, batang otak, cerebellum, atau medula
spinalis, dan pada masing masing kelompok penyakit diklasifikasikan lebih
lanjut berdasarkan gejala klinis utama4.
2.3.

Penyebab neurodegenerasi
Penyebab dari penyakit neurogeneratif pada dasarnya masih belum
diketahui, dan walaupun sudah teridentifikasi, mekanisme jelas bagaimana
terjadinya gangguan ini masih spekulatif. Contohnya etiologi HD sudah
teridentifikasi lebih dari 20 tahun lalu, namun kita masih belum memahami
secara jelas bagaimana mutasi dari gen huntingtin dapat menyebabkan penyakit2.

2.3.1. Genetik
Salah satu perdebatan mengenai etiologi dari penyakit neurodegeneratif
adalah mengenai peran relatif dari faktor genetik dan lingkungan terhadap
inisiasi penyakit-penyakit ini. Beberapa penyakit neurodegeneratif memiliki
kejadian yang jelas secara turun-temurun, dan hal ini menunjukan bahwa hal ini
dipengaruhi oleh faktor genetik. Diantara penyakit keturunan ini, beberapa
diturunkan melalui jalur autosomal dominan, misalnya pada HD dan atrofi
dentatorubral pallidoluysian2. Yang lebih jarang ditemukan , penyakit yang
diturunkan melalui jalur autosomal resesif (mis. Paraparesis spastik familial),
terkait kromosom X (mis. Atrofi otot spinal dan bulbar), atau yang diturunkan
4

melalui jalur maternal (mis. Mitochondrial Leber optic neuropathy). Sebagai


tambahan, selain dari penyakit neurodegeneratif genetik murni ini, beberapa
penyakit lainnya terjadi secara sporadis, namun terjadi secara turun-temurun
pada sebagian penderita. Hal tersebut ditemukan pada PD, AD, dan bahkan ALS,
dimana sekitar 10% kasus ditemukan secara turun-temurun. Walaupun jarang
ditemukan, kasus familial ini merupakan sumber daya yang cukup kuat untuk
mengungkap

basis

molekuler,

dan

lebih

penting

lagi

mekanisme

neurodegeneratif pada masing-masing penyakit2.


Poliglutamin
Banyak dari penyakit neurodegeneratif disebabkan oleh mutasi genetik,
sebagian besar penyakit memiliki lokasi mutasi gen yang berbeda. Namun
demikian pada banyak penyakit yang berbeda, gen yang bermutasi memiliki
fitur yang serupa, yaitu pengulangan sekuens CAG nucleotide triplet. CAG
mengkode asam amino glutamin. Pengulangan dari sekuens CAG ini
menghasilkan polyglutamine (polyQ) tract. Penyakit neurodegeneratif dengan
polyglutamine tract disebut juga penyakit polyglutamine. Residu glutamin yang
berlebihan dapat menjadi toksik melalui berbagai cara, termasuk jalur degenerasi
dan pelipatan protein yang ireguler, perubahan lokalisasi subseluler, dan reaksi
abnormal dengan protein seluler lain6. Penelitian-penelitian mengenai PolyQ
sering dilakukan pada berbagai hewan berbeda. Penelitian terbanyak diteliti pada
nematoda (C. Elegans), lalat buah (Drosophila), mencit dan primata lain selain
manusia. Data dari mamalia seringkali membutuhkan obat yang sudah di setujui
oleh FDA, sehingga lebih banyak data dilakukan menggunakan mencit. Data
dari hewan lain (C. Elegans dan Drosophila) sering digunakan sebagai prekursor
untuk menemukan gen mamalia yang equivalen7.
Sembilan penyakit neurodegeneratif sudah diketahui disebabkan oleh
ekspansi CAG trinucleotide dan polyQ tract. Dua diantaranya adalah
Huntingtons disease dan spinocerebellar ataxias, untuk penyakit lain dapat
dilihat pada (Tabel 1.). Pengulangan sekuens poliglutamin ini banyak ditemukan
pada penyakit neurodegeneratif yang berbeda, namun masih banyak penyakit
neurodegeneratid lain yang tidak disebabkan oleh hal ini. Faktor genetik dibalik
masing-masing penyakit ini berbeda-beda, dan seringkali masih belum
diketahui7.

Normal
Type

Gene

PolyQ
repeats

DRPLA (Dentatorubropallidoluysian

ATN1 or

atrophy)

DRPLA

Pathogenic
PolyQ repeats

6 - 35

49 - 88

6 - 35

36 - 250

AR

9 - 36

38 - 62

SCA1 (Spinocerebellar ataxiaType 1)

ATXN1

6 - 35

49 - 88

SCA2 (Spinocerebellar ataxiaType 2)

ATXN2

14 - 32

33 - 77

ATXN3

12 - 40

55 - 86

SCA6 (Spinocerebellar ataxiaType 6)

CACNA1A

4 - 18

21 - 30

SCA7 (Spinocerebellar ataxiaType 7)

ATXN7

7 - 17

38 - 120

SCA17 (Spinocerebellar ataxiaType 17)

TBP

25 - 42

47 - 63

HD (Huntington's disease)

SBMA (Spinal and bulbar muscular


atrophy)

SCA3 (Spinocerebellar ataxiaType 3


or Machado-Joseph disease)

HTT
(Huntingtin)

Tabel 1. Polyglutamine (PolyQ) Disease7

Trinucleotide repeat disorders secara umum menunjukan


antisipasi genetik, dimana tingkat keparahan dari penyakit akan
meningkat setiap kali kelainan ini diturunkan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Sebagai contoh, Huntingtons disease
akan terjadi ketika lebih dari 35 repetisi CAG pada gen yang
mengkode protein HTT (Huntingtin). Orang tua dengan 35
repetisi CAG akan dianggap normal dan tidak akan mengalami
gejala dari penyakit tersebut, namun keturunannya akan
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami Huntingtons
disease, bila dibandingkan dengan populasi normal, karena
keturunannya hanya membutuhkan penambahan dari satu lagi
kodon CAG untuk terjadi mutasi HTT, protein yang bertanggung
jawab terhadap munculnya Huntingtons disease8. Penyakit ini
jarang sekali muncul secara spontan, dan individu dengan
orang tua yang sudah memiliki jumlah repetisi CAG yang
signifikan pada gen HTT, terutama bila sudah mencapai jumlah
repetisi yang dibutuhkan untuk terjadinya manifestasi penyakit,
individu ini memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami
Huntingtons disease walaupun tidak memiliki riwayat keluarga
sebelumnya

yang

menderita

Huntingtons

disease.

Selain

daripada fakta diatas, semakin banyak repetisi, semakin parah


penyakit akan diderita, dan semakin awal onset akan muncul.
Hal ini menjelaskan mengapa individu-individu dengan garis
keturunan Huntingtons lebih panjang, akan menunjukan usia
onset yang lebih dini, dan semkin cepat progresi dari penyakit
tersebut, seiring dengan mutasi yang terus menambahkan
kodon CAG setiap kali gen ini diturunkan dari tiap generasi
(Tabel 2.)8.

2.3.2. Kesalahan Pelipatan Protein (Proteopati/Proteinopati)


Beberapa

penyakit

neurodegeneratif

diklasifikasikan

sebagai proteopati, karena penyakit-penyakit ini berkaitan


7

dengan agregasi dari protein yang mengalami kesalahan


pelipatan9.

Alpha- synuclein
Protein alpha-synuclein dapat teragregasi membentuk
fibril-fibril tidak terlarut pada kondisi patologis yang terjadi
dengan karakteristik ditemukannya badan Lewy, misalnya pada
Parkinsons disease, demensia dengan badan Lewy, dan atrofi
multisistem. Alpha-synuclein merupakan komponen struktural
primer dari fibril badan Lewy. Sebagai tambahan, sebuah
fragmen alpha-synuclein, yang dikenal sebagai non-Abeta
component

(NAC),

juga

ditemukan

pada

plak

amiloid

Alzheimers disease9 (Gambar 1.).

Repeat count

Classification

Disease status

<28

Normal

Unaffected

2835

Intermediate

Unaffected

3640

Reduced Penetrance

+/- Affected

>40

Full Penetrance

Affected

Tabel 2. Klasifikasi repetisi trinukleotida, dan dampak terhadap status


penyakit, bergantung dari jumlah repetisi CAG pada Huntingtons
disease8.

Gambar 1. Perbedaan gambaran otak normal vs otak penderita


Alzheimers disease10.

Tau protein
hyperphosporilated tau protein merupakan komponen
utama

terjadinya

neurofibrillary tangles

pada Alzheimers

disease. Pada neurofibrillary tangles terjadi agregasi dari


hyperphosporilated tau protein dalam bentuk tidak terlarut.
Mekanisme pasti dari neurofibrillary tangles masih belum
dipahami sepenuhnya, dan masih kontroversial apakah hal ini
merupakan faktor penyebab utama pada penyakit, atau hanya
berperan dalam sebagian mekanisme terjadinya Alzheimers
disease9 (Gambar 2.).

Gambar 2. Disintegrasi mikrotubuli akibat neurofibrillary


tangles11.

Beta amyloid Protein


Protein beta amiloid merupakan komponen utama plak
senilis pada Alzheimers diease. Plak senilis, atau yang dikenal
juga dengan plak neuritik, adalah deposie ekstraseluler dari
beta amiloid pada substansia nigra12. Struktur saraf degeneratif
dan menumpuknya sel mikroglia dan artrosit dikaitkan dengan
deposit plak senilis. Deposit ini juga biasa terjadi akibat dari
penuaan, serupa dengan neurofibrillary tangles, meningkatnya
jumlah plak senilis juga merupakan salah satu karakteristik dari
Alzheimers disease. Plak-plak ini terdapat dalam berbagai
bentuk dan ukuran, namun rata-rata berukuran 50 m. Pada
Alzheimers disease plak ini terutama tersusun dari peptida
beta amiloid. Polipeptida ini memiliki kecendrungan untuk
beragregasi,

dan

di

percaya

memiliki

efek

neurotoksik 13

(Gambar 1.).

10

2.3.3. Mekanisme Intraseluler


Jalur degradasi protein
Parkinsons disease dan Huntingtons disease, keduanya
merupakan

penyakit

neurodegeneratif

onset

lambat,

dan

berkaitan dengan protein toksik intraseluler. Seperti yang telah


dibahas sebelumnya penyakit-penyakit yang disebabkan oleh
agregasi protein dikenal juga sebagai proteinopati, dan peyakitpenyakit ini utama terjadi karena agregasi dari struktur-struktur
dibawah ini:3

Sitosol Parkinsons & Huntingtons

Nukleus

Retikulum endoplasma (RE) ensefalopati familial dengan

Spinocerebellar ataxia tipe 1 (SCA1)

badan inklusi neuroserpin.

Ekskresi

protein

ekstraseluler

beta

amiloid

pada

Alzheimers disease.

Terdapat dua jalur utama bagi sel eukariosit untuk


menghilangkan protein atau organel yang bermasalah:

Ubiquitin-proteasome
Protein

ubiquitin

bersama

dengan

enzim-enzim

merupakan kunci utama untuk degradasi dari banyak protein


yang menyebabkan proteinopati termasuk ekspansi polyQ dan
alpha-synucleins. Penelitian menunjukan bahwa kadang kala
enzim proteasom tidak mampu mengancurkan protein-protein
ireguler ini, sehingga dapat menjadi spesies lain yang lebih
toksik.

Jalur

ini

adalah

jalur

utama

degradasi

protein 3.
11

Penurunan aktivitas proteasom secara konsisten ditemukan


pada jaringan dengan peningkatan agregasi protein intrasel.
Namun masih belum diketahui pasti apakah agregat-agregat
protein ini merupakan dampak dari neurodegenerasi3.

Autophagy-lysosome pathways
Jalur autofagi lisosom merupakan salah satu bentuk dari
programmed cell death (PCD), jalur ini menjadi jalur yang
menguntungkan bila agregat protein merupakan hasil dari
kegagalan kerja proteasom. Jalur ini dapat dibagi menjadi dua
bentuk

autofagi:

makroautofagi

dan

chaperone-mediated

autophagy3.
Makroautofagi

melibatkan

pengolahan

nutrien

dari

molekul-molekul makro dibawah kondisi kelaparan, melalui


suatu jalur apoptosi yang pasti, dan bila mekanisme ini tidak
terjadi, akan mengarah kepada pembentukan badan inklusi
dengan ubuquitin. Percobaan pada mencit dimana dilakukan
pembatasan pada gen makroautofagi, terjadi degenerasi pada
sistem saraf mencit3.
Defek
mengarah

pada

Chaperone-mediated

terhadap

terjadinya

autophagy

neurodegenerasi.

juga

Penelitian

menunjukan bahwa protein mutan yang terikat pada reseptor


jalur

CMA

pada

membran

lisosom

akan

menyebabkan

kegagalan degradasi pada protein mutan tersebut, dan juga


kegagalan degradasi dari substrat-substrat lainnya3.

12

Kerusakan Membran
Kerusakan pada membran organel-organel oleh proteinprotein monomer dan oligomer juga berperan serta terhadap
munculnya penyakit-penyakit neurodegeneratif. Protein alphasynuclein dapat merusak membran dengan cara memicu
terjadinya pembengkokan membran, tubulasi, dan vesikulasi
yang luas. Hal ini diamati pada sebuah penelitian dimana
protein alpha-synuclein diinkubasi dengan fosfolipid artifisial14.

Disfungsi Mitokondria
Bentuk kematian sel paling umum pada neurodegenerasi
adalah melalui jalur apoptosis intrinsik mitokondria. Jalur ini
mengontrol

aktivasi

dari

caspase-9

dengan

meregulasi

pengeluaran sitokrom c dari mitichondrial intermembrane


space (IMS). Spesies oksigen reaktif merupakan produk normal
dari hasil aktivitas respirasi mitokondria. Konsentrasi dari
spesies

oksigen

reaktif

dikendalikan

oleh

antioksidan

mitokondria seperti manganese superoxide dismutase (SOD2)


dan glutathione peroxidase. Produksi berlebih dari spesies
oksigen reaktif (stress oksidatif) merupakan penyebab utama
dari semua penyakit neurodegeneratif. Selain dari produksi
spesies

oksigen

reaktif,

mitokondria

juga

terlibat

dalam

menjaga kelangsungan hidup termasuk hemostasis kalsium,


PCD, fusi dan fisi mitokondria, pengaturan konsentrasi lipid di
membran mitokondria, dan transisi permeabilitas mitokondria.
Kerusakan fungsi dan struktur dari mitokondria menyebabkan
terjadinya neurodegenerasi, setidaknya pada tingkat tertentu,
neurodegenerasi dipengaruhi oleh fungsi-fungsi mitokondria
yang telah dijabarkan sebelumnya15.
Terdapat bukti kuat bahwa disfungsi mitokondria dan
stress oksidatif memainkan peran penting dalam patogenesis
13

terjadinya penyakit neurodegeneratif, termasuk empat dari


penyakit

neurodegeneratif

yang

paling

dikenal,

yaitu

Alzheimers, Parkinsons, Huntingtons, dan Amyotropic lateral


sclerosis16.

Gangguan Transport Akson


Pembengkakan akson sering ditemukan pada banyak
penyakit neurodegeneratif. Hal ini menunjukan bahwa defek
akson tidak hanya terjadi bila ada kerusakan neuron, namun
juga

akan

terjadi

pada

keadaan

patologis

lain

sebagai

akumulasi dari kerusakan organel-organel. Transport akson


dapat terganggu oleh berbagai jenis mekanisme, termasuk bila
terjadi kerusakan pada motor protein seperti, kinesin dan
dynein sitoplasma, atau kerusakan pada microtubules, dan
mitokondria. Ketika transport aksonal terganggu, maka jalur
degenerasi yang dikenal dengan Wallerian-like degeneration
seringkali akan terpicu. Wallerian-like degeneration adalah
suatu proses dimana akson yang terpisah dari neuron akan
terdegenerasi, proses ini juga dikenal sebagai degenerasi
anterogard17.

2.3.4. Programmed cell death


Programmed cell death (PCD) adalah kematian cell dalam
segala bentuk, yang dimediasi oleh program intrasel. Proses ini
dapat teraktivasi pada penyakit neurodegeneratif termasuk
Parkinsons disease, amyotropic lateral sclerosis, Alzheimers
disease dan Huntingtons disease. Namun ada beberapa situasi
dimana proses ini akan terjadi akibat stimulasi dari kerusakan
jaringan, atau karena suatu penyakit5.
Apoptosis (Tipe I)
14

Apoptosis adalah salah satu bentuk dari programmed cell


death

pada organisme multiseluler. Apoptosis merupakan

bentuk programmed cell death yang utama dan melibatkan


serangkaian proses biokimia yang nantinya akan berujung pada
perubahan morfologi dan kematian sel.

Jalur apoptosis ekstrinsik: Terjadi ketika faktor dari luar sel


mengaktivasi

reseptor

kematian

sel

di

permukaan,

sehingga terjadi aktivasi dari caspase-8 atau -105.

Jalur apoptosis intrinsik: hasil dari pelepasan sitokrom c


oleh mitokondria atau kegagalan fungsi dari retikulum
endoplasma, kedua proses ini akan memicu aktivasi dari
caspase-9. Nukleus dan aparatus golgi ada organel lain
yang memiliki sensor terhadap kerusakan sel, dimana bila
sensor ini menangkap kerusakan sel akan menginduksi
terjadinya apoptosis5.

Caspase (cysteine-aspartic acid protease) membelah pada


residu asam amino yang sangat spesifik. Terdapat dua macam
caspase:

Inisiator

dan

efektor.

Caspase

inisator

akan

membentuk caspase efektor dalam bentuk tidak akif. Ketika


terjadi aktivasi dari efektor makan akan terjadi pembelahan dari
protein-peotein lain yang akan menginisiasi apoptosis5.

Autofagi (Tipe II)


Pada dasarnya autofagi merupakan bentuk fagositosis
intrasel dimana sebuah sel secara aktif memakan organel yang
rusak,

atau

pelipatan,

protein-protein

dengan

yang

memasukannya

mengalami
kedalam

kesalahan

autofagosom.

Banyak penyakit neurodegeneratif menunjukan agregat protein


abnormal. Hal ini yang mungkin mendasari dari proses autofagi
yang

sering

terjadi

pada

berbagai

jenis

penyakit
15

neurodegeneratif. Namun hal ini masih merupakan hipotesis


saja, dan masih membutuhkan panelitian untuk membuktikan
kebenarannya5.

Sitoplasmik (Tipe III)


Mekanisme programmed cell death yang terakhir dan
belum

terlalu

dipahami

adalah

mekanisme

kematian

sel

sitoplasmik atau programmed cell death tipe III. Mekanisme ini


melalu proses non-apoptosis. Banyak bentuk lain dari PCD yang
diamati namun belum sepenuhnya dipahami atau disetujui oleh
komunitas sains. Contohnya, PCD dapat pula disebabkan oleh
trofotoksisitas, atau hiperaktivasi dari reseptor faktor trofik.
Penyebab lainnya adalah dimana sitotoksin yang dapat memicu
PCD pada konsentrasi rendah akan menyebabkan terjadinya
nekrosis, namun pada konsentrasi yanng lebih tinggi sitotoksin
ini akan memicu aponekrosis (kombinasi dari apoptosis dan
nekrosis)5.

PCD dan neurodegenerasi


Dari

beberapa

pemaparan

diatas,

pada

penyakit

neurodegeneratif, PCD merupakan suatu proses patologis.


Untuk mengidentifikasi target neuroprotektif yang potensial dari
proses PCD, sudah dilakukan penelitian eksperimental pada
penyakit

neurodegeneratif

ini.

Penelitian

ini

menunjukan

ekspresi dari beberapa komponen PCD dapat dipengaruhi


16

dengan modifikasi gen dan penggunaan obat-obatan. Ekspresi


molekuler PCD dikatakan dapat dikontrol dengan terapi gen dan
antisense, namun hal ini masih butuh penelitian lebih lanjut.
Pendekatan farmakologis melibatkan inhibisi dari aktivitas
caspase, dan hal ini dapat menunda kematian sel pada model
eksperimental18.

2.4.

Penyakit Spesifik
Alzheimers disease
Alzheimers disease dikarakteristikan dengan kehilangan
neuron dan sinaps pada korteks cerebri dan beberapa regio
subkortikal. Kehilangan dari neuron dan sinaps ini menyebabkan
atrofi nyata pada regio yang terkena, termasuk degenerasi
lobus temporal dan lobus parietal, dan sebagian dari korteks
frontalis dan gyrus cinguli9.
Alzheimers disease berdasarkan hipotesa merupakan
penyakit yang disebabkan oleh kesalahan pelipatan protein
(proteopati), hal ini disebabkan oleh akumulasi pelipatan
abnormal protein alfa, beta, dan tau di otak. Plak-plak terbentuk
dari banyak peptida-peptida kecil, yang tersusun dari asam
amino dengan panjang 39-43 rantai, yang disebut plak betaamyloid (A-beta/ A). Beta-amyloid merupakan fragmen dari
protein yang lebih besar yang disebut amyloid precursor
protein

(APP),

protein

transmembran

yang

mempenetrasi

membran sel saraf. APP berfungsi penting dalam pertumbuhan


sel saraf, serta untuk perbaikan sel setelah terjadi kerusakan.
Pada Alzheimers disease, terjadi pemecahan dari APP menjadi
fragmen-fragmen yang lebih kecil oleh enzim dengan cara
proteolisis. Salah satu dari fragmen-fragmen ini akan menjadi
serat beta-amyloid, yang akan menggumpal dan terkumpul

17

diluar neuron dalam pentuk padat yang dikenal sebagai plak


senilis9.

Parkinsons disease
Parkinsons disease adalah penyakit neurodegeneratif
nomor

dua

tersering,

dengan

manifestasi

bradykinesia,

rigiditas, resting tremor, dan instabilitas postural. Secara kasar


prevalensi terjadinya PD dilaporkan dalam rentang mulai dari
15/100.000 hingga 12.500/100.000, dan insidensi dari PD mulai
dari 15/100.000 hingga 328/100.000, dan diketahui pula bahwa
penyakit

ini

lebih

jarang

terjadi

di

negara-negara

Asia.

Parkinsons disease merupakan penyakit degeneratif pada


sistem saraf pusat. Penyakit ini terjadi sebagai akibat dari
kematian sel yang memproduksi dopamin pada substansia
nigra, sebuah regio di otak tengah, namun penyebab kematian
dari sel masih belum dipahami sepenuhnya17.
Mekanisme dimana

terjadi

kematian sel otak

pada

Parkinsons disease diduga salah satunya disebabkan oleh


akumulasi abnormal dari protein alpha-synuclein yang terikat
pada ubiquitin pada sel yang rusak. Kompleks alpha-synucleinubiquitin tidak dapat dihancurkan oleh proteosome, sehingga
akan terjadi akumulasi dari kompleks tersebut, dan terbentuk
badan inklusi sitoplasma yang disebut badan Lewy. Penelitian
terakhir mengenai patogengesis penyakit ini, menunjukan
kematian dari neuron dopaminergik disebabkan karena terjadi
gangguan transport protein diantara dua organel seluler utama
yaitu retikulum endoplasma dan aparatus golgi disebabkan oleh
protein alpha-synuclein. Beberapa protein seperti Rab1 dapat
memperbaiki defek yang disebabkan oleh alpha-synuclein pada
hewan model17.

18

Penelitian lain menunjukan bahwa kegagalan transport


aksonal dari alpha-synuclein menyebabkan akumulasi pada
badan Lewy. Berdasarkan eksperimen didapatkan penurunan
laju transport alpha-synuclein pada neuron dengan Parkinsons
disease baik pada wild-type, maupun tipe familial. Selain itu
kerusakan membran akibat alpha-synuclein juga mungkin
merupakan mekanisme dari Parkinsons disease. Faktor risiko
utama yang diketahui adalah usia. Gen yang dicurigai memiliki
peran termasuk alpha-synuclein, leucine-rich repeat kinase 2
(LRRK-2),

dan

predisposisi

glucocerebrosidase

genetik,

dan

gen-gen

(GBA)
ini

menunjukan

merupakan

faktor

penyebab lain yang penting14.

Huntingtons disease
Huntingtons disease menyebabkan suatu kondisi dimana
terjadi

peningkatan

jumlah

astrosit

sebagai

akibat

dari

kerusakan neuron disekitarnya, kondisi ini dikenal juga sebagai


astrogliosis. Pada jaringan saraf sehat astrosit memegang
peranan penting dalam penyaluran energi, regulasi tekanan
darah, homeostasis cairan ekstraseluler, homeostasis ion dan
transmiter, regulasi fungsi sinaps, dan remodeling sinaps.
Astrogliosis mengubah ekspresi molekuler dan morfologi dari
astrosit, menyebabkan terbentuknya jaringan parut, dan dalam
kasus yang lebih parah akan menghambat regenerasi akson 12.
Area otak yang terpengaruh bergantung dari struktur dan jenis
neuron yang dimiliki, penurunan ukuran akarn terjadi seiring
dengan

menurunnya

jumlah

sel.

Area

yang

terpengaruh

terutama striatum, namun juga korteks frontal dan temporal.


Nukleus subtalamikus dari striatum mengirim sinyal kontrol ke
globus pallidus, yang menginisiasi dan memodulasi gerakan.
Sinyal

yang

lemah

dari

nukleus

subtalamikus

akan

menyebabkan menurunnya inisiasi dan modulasi gerak, akan


19

menyebabkan gangguan gerak, dimana gerakan menjadi tidak


terkordinasi12.
Mutant Huntingtin adalah agregat protein yang menjadi
penyebab. Dalam proses pembersihan protein secara alami,
protein-protein

ini

dikirim

kembali

ke

badan

sel

untuk

dihancurkan oleh lisosom. Masih sebuh kemungkinan bahwa


agregat protein mutant ini merusak proses pengiriman balik
dengan merusak molekul penggerak dan mikrotubuli17.

Amyotrophic lateral sclerosis (ALS)


Amyotropic lateral sclerosis (ALS/Lou Gehrigs Disease)
adalah suatu penyakit dimana terjadi degenerasi selektif pada
motor neuron. Karakteristik klinis dari ALS diantaranya adalah
kekakuan otot, kedutan pada otot, dan kelemahan otot yang
memburuk secara bertahap sebagai akibat dari muscle wasting,
akibatnya akan terjadi kesulitan berbicara, menelan, bahkan
kesulitan bernafas. Fungsi kognitif secara umum bertahan pada
sebagian besar penderita, namun beberapa (sekitar 5%)
mengalami demensia frontotemporal. Secara umum saraf
sensorik dan otonom tidak terpengaruh, sehingga sebagaian
besar orang dengan ALS masih dapat mendengan, melihat,
meraba, menghidu, dan mengecap19.
Pada tahun 1993 ditemukan adanya mutasi dari gen yang
mengkode enzim antioksidan Cu/Zn superoxide dismutase 1
(SOD1) pada pasien ALS yang diturunkan secara familial.
Penemuan

ini

memacu

peneliti

untuk

fokus

memahami

mekanisme dari penyakit yang disebabkan oleh SOD1. Namun


demikian patogenesis dari toksisitas SOD1 mutant masih belum
20

dapat dipecahkan. Pada penelitian yang lebih baru, TDP-43 dan


agregat protein FUS ditemukan berimplikasi pada bebeapa
kasus ALS, dan mutasi kromosom 9 saat ini merupakan
penyebab tersering yang diketahui menyebabkan ALS yang
sporadik19.
Penelitian oleh Nagai et al. 20 dan Di Giorgio et al. 21
Menyediakan bukti in vitro bahwa lokasi seluler primer dimana
SOD1 mutant bekerja terletak pada astrosit. Lalu astrosit
menyebabkan

efek

toksit

pada

motor

neuron,

namun

penemuan ini menjadi penting karena menunjukan bahwa


terdapat sel selain dari sel neuron itu sendiri yang berperan
dalam neurodegenerasi19.

2.5.

Neurodegenerasi dan penuaan


Faktor risiko terbesar untuk penyakit neurodegeneratif
adalah penuaan. Mutasi DNA mitokondria dan stress oksidatif
keduanya berkontribusi untuk terjadinya penuaan. Banyak dari
penyakit ini memiliki onset lambat, berarti terdapat faktor yang
berubah dan berkontribusi untuk setiap penyakit seiring dengan
bertambahnya usia. Satu faktor yang konstan pada setiap
penyakit adalah, setiap neuron perlahan kehilangan fungsi
seiring berjalannya penyakit dan bartambahnya usia3.

21

Anda mungkin juga menyukai