Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

PARKINSON

Disusun oleh:

Louis Hendri – 11201945

Pembimbing :
dr. Runi Asmarani, Sp.N

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA dr. ESNAWAN ANTARIKSA
PERIODE 19 April – 22 Mei 2020
BAB I

PENDAHULUAN

Parkinson merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari tremor, rigiditas, bradikinesia,
dan instabilitas postural. Fahn dkk (2011) mengusulkan klasifikasi terbaru parkinson yang
digunakan hingga saat ini, yakni:1

1. Parkinson primer (ekuivalen dengan penyakit Parkinson [PP] atau Parkinson idiopatik
atau paralisis agitans)

2. Parkinonisme sekunder (parkinsonisme akibat infeksi, toksin, obat-obatan, tumor,


trauma, vaskular, dan metabolik)

3. Sindrom Parkinsonism-Plus (seperti progressive supranuclear palsy, multiple system


atrophy, corticobasal degeneration)

4. Gangguan heredodegeneratif (seperti benign parkinsonism).

Gejala nonmotorik seperti seperti hyposmia, gangguan tidur, gangguan perilaku,


gangguan kognitif, dan gangguan otonom termuat pada kriteria diagnosis penyakit Parkinson
menurut United Kingdom Parkinson’s Disease Brain Bank Criteria (UKPDBBC), namun
dahulu belum menjadi perhatian. Seiring dengan perubahan fenotip dari penyakit parkinson,
mulai terdapat peningkatan kewaspadaan terhadap gejala nonmotorik ini.1

Prevalensi Parkinson Disease (PD) semakin meningkat seiring dengan bertambahnya


usia, berkembang cepat dan progresif, menyebabkan kematian dan kecacatan. Prevalensi
Parkinson secara keseluruhan di dunia berkisar 300 kasus per 100.000 penduduk/tahun dan
meningkat lebih dari 3% pada usia diatas 80 tahun. Di Indonesia sebagian besar penyakit ini
ditemukan pada umur 40-70 tahun, dengan rata-rata pada umur 58-62 tahun dan hanya sekitar
5% yang terjadi pada umur dibawah 40 tahun. Di Sumatera Barat belum ada data pasti pasien
PD. Berdasarkan data penelitian sebelumnya pada tahun 2014 jumlah pasien Parkinson di
kota Padang berkisar 49 orang dengan rata-rata usia 60-70 tahun.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit Parkinson adalah penyakit degenerasi otak terbanyak kedua setelah penyakit
Alzheimer. Pada Penyakit Parkinson terjadi penurunan jumlah dopamin di otak yang
berperan dalam mengontrol gerakan sebagai akibat kerusakan sel saraf di substansia nigra
pars kompakta di batang otak. Penyakit ini berlangsung kronik dan progresif.
Progresifitas penyakit bervariasi dari satu orang ke orang yang lain.3

2.2 Epidemiologi
Penyakit Parkinson merupakan salah satu gangguan neurologis yang paling umum,
mempengaruhi sekitar 1% individu lansia. Insiden penyakit Parkinson diperkirakan 4,5-
21 kasus per 100.000 populasi per tahun, dan perkiraan prevalensi berkisar antara 18
hingga 328 kasus per 100.000 populasi, pada sebagian besar penelitian menghasilkan
prevalensi sekitar 120 kasus per 100.000 populasi. Variasi yang luas dalam perkiraan
insiden dan prevalensi global yang dilaporkan mungkin merupakan hasil dari sejumlah
faktor, termasuk cara data dikumpulkan, perbedaan struktur populasi dan kelangsungan
hidup pasien, memastikan kasus, dan metodologi yang digunakan untuk mendefinisikan
kasus. Insiden dan prevalensi penyakit Parkinson meningkat seiring bertambahnya usia,
dan usia rata-rata onset adalah sekitar 60 tahun. Onset pada orang yang lebih muda dari
40 tahun relatif jarang. Penyakit Parkinson sekitar 1,5 kali lebih umum pada pria daripada
pada wanita.4
Prevalensi parkinson semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia,
berkembang cepat dan progresif, menyebabkan kematian dan kecacatan. Prevalensinya
secara keseluruhan di dunia berkisar 300 kasus per 100.000 penduduk/tahun dan
meningkat lebih dari 3% pada usia diatas 80 tahun. Di Indonesia sebagian besar penyakit
ini ditemukan pada umur 40-70 tahun, dengan rata-rata pada umur 58-62 tahun dan hanya
sekitar 5% yang terjadi pada umur dibawah 40 tahun.2

2.3 Etiologi
Etiologi penyakit Parkinson belum diketahui secara pasti (idiopatik), akan tetapi ada
beberapa faktor risiko (multifaktorial) yang telah diidentifikasikan, yaitu:3,5
1. Usia : Meningkat pada usia lanjut dan jarang timbul pada usia di bawah 40 tahun.
2. Rasial : Orang kulit putih lebih sering dibandingkan dengan ras Asia dan Afrika.
3. Genetik
4. Lingkungan : Toksin eksogen yang tidak umum dapat menyebabkan kerusakan SSP
tertentu dan Parkinsonisme, menunjukkan bahwa penyakit Parkinson idiopatik
mungkin disebabkan oleh pajanan faktor lingkungan yang lebih sering, namun belum
teridentifikasi.
5. Infeksi : Beberapa penelitan menyatakan adanya disfungsi mitokondria dan kerusakan
metabolism oksidatif dalam pathogenesis penyakit Parkinson.
6. Cedera kranio serebral
7. Stress emosional.

2.4 Patofisiologi
Penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamin yang masif akibat
kematian neuron di substansia nigra pars kompakta dan respon motorik yang abnormal,
disebabkan oleh karena penurunan yang bersifat progesif dari neurotransmiter dopamin.6

Kerusakan progresif lebih dari 60% pada neuron dopaminergik substansia nigra
merupakan faktor dasar munculnya penyakit Parkinson. Kerusakan neuron dopaminergik
substansia nigra menyebabkan kadar dopamin menjadi berkurang hingga di bawah batas
fisiologis. Jika jumlah neuron dopaminergik hilang lebih dari 70 % maka gejala penyakit
parkinson akan mulai muncul.6

Untuk mengkompensasi berkurangnya kadar dopamin maka nukleus subtalamikus


akan menhasilkan respon stimulasi yang berlebihan terhadap globus palidus internus
(GPi). Kemudian GPi akan menyebabkan inhibisi yang berlebihan terhadap thalamus.
Kedua hal tersebut menyebabkan penurunan stimulasi korteks motorik.6

Substantia nigra mengandung sel yang berpigmen (neuromelamin) yang memberikan


gambaran “black appearance” (makroskopis). Sel ini hilang pada penyakit parkinson dan
substantia nigra menjadi berwarna pucat. Sel yang tersisa mengandung inklusi atipikal
eosinofilik pada sitoplasma “Lewy bodies”. Berkurangnya neuron dopaminergik terutama
di substansia nigra menjadi penyebab dari penyakit Parkinson.6

Dopamin merupakan salah satu neurotransmitter utama diotak yang memainkan


banyak fungsi berbeda di susunan saraf. Terdapat 3 kelompok neuron utama yang
mensintesis dopamin yaitu substansia nigra (SN), area tegmentum ventral (VTA) dan
nukleus hipotalamus, sedangkan kelompok neuron yang lebih kecil lagi adalah bulbus
olfaktorius dan retina.6
Neuron dari SN berproyeksi ke sriatum dan merupakan jalur paling masif meliputi
80% dari seluruh sistem dopaminergik otak. Proyeksi dari VTA memiliki 2 jalur yaitu:
1. Jalur mesolimbik yang menuju sistem limbik yang berperan pada regulasi emosi,
motivasi
2. Jalur mesokortikal yang menuju korteks prefrontal.

Neuron dopaminergik hipotalamus membentuk jalur tuberin fundibular yang memiki


fungsi mensupresi ekspresI prolaktin. Terdapat 2 kelompok reseptor dopamin yaitu D1
dan D2. Kelompok reseptor dopamin D2 adalah D2, D3, D4. Ikatan dopamin ke reseptor
D2 akan menekan kaskade biokemikal post sinaptik dengan cara menginhibisi
adenilsiklase. Kelompok reseptor dopamine D1 adalah D1 dan D5. D1 akan
mengaktifkan adenilsiklase sehingga efeknya akan memperkuat signal transmisi post
sinaptik. Reseptor dopamin D1 lebih dominan dibanding D2, sedang D2 lebih memainkan
peranan di striatum. Densitas reseptor D2 akan menurunkan rata- rata 6 – 10% per
dekade dan berhubungan dengan gangguan kognitif sesuai umur. Neuron di stiatum yang
mengandung reseptor D1 berperan pada jalur langsung dan berproyeksi ke GPe. Dopamin
mengaktifkan jalur langsung dan menginhibisi jalur tak langsung.6
secara umum, 2 temuan neuropatologis mayor pada penyakit parkinson adalah:6
1. Hilangnya pigmentasi neuron dopamin pada substantia nigra.
Dopamin berfungsi sebagai pengantar antara 2 wilayah otak, yakni antara substantia
nigra dan korpus striatum dan berfungsi untuk menghasikan gerakan halus dan
motorik. Sebagian besar penyakit Parkinson disebabkan hilangnya sel yang
memproduksi dopamine di substantia nigra. Ketika kadar dopamine terlalu rendah,
komunikasi antar 2 wilayah tadi menjadi tidak efektif, terjadi gangguan pada
gerakan. Semakin banyak dopamin yang hilang, maka akan semakin buruk gejala
gangguan gerakan.
2. Lewy bodies
Ditemukannya Lewy bodies dalam substantia nigra adalah karakteristik penyakit
parkinson. Alpha-synuclein adalah komponen struktural utama dari Lewy bodies.

2.5 Manifestasi Klinis


A. Gejala Klinis
1. Gejala motorik
Gejala penyakit Parkinson dapat bervariasi, yaitu adanya tremor merupakan
manifestasi klinis yang paling umum. Kemudian disertai dengan gangguan cara
berjalan. Pada Parkinson juga menunjukkan rigiditas yang merupakan manifestasi
paling jelas.7
Berikut penjelasan beberapa manifestasi klinis dari penyakit Parkinson:1,7
1) Bradikinesia / Akinesia
Bradikinesia merupakan lambatnya inisiasi dan melakukan gerakan, seperti
menggerakan anggota badan, mengespresikan wajah atau gangguan cara
berjalan. Ciri bradikinesia berupa diadokokinesis (kemampuan untuk
melakukan gerakan-gerakan berbalik secara cepat). Kemudian ditemukan
Mikrografia (tulisan tangan yang kecil, merapat yang diakibatkan dari
kombinasi kelambatan gerakan, gerakan yang tidak lengkap, dan kekakuan).
Pada pasien penyakit Parkinson juga ditemukan mengalami depresi sampai
20% kasus.
Hal ini merupakan salah satu gejala yang sangat mempengaruhi kualitas hidup
pasien, karena gerakan volunter pasien menjadi lambat. Pasien mengalami
kesulitan dalam melakukan inisiasi gerakan, mempertahankan gerakan, dan
mengubah berbagai pola gerakan motorik. Pada awal perjalanan penyakit.
Bradykinesia terjadi unilateral dan sering kali bersifat ringan. Pada tahap lanjut
terjadi pada kedua ekstremitas dan bertambah berat. Derajat keparahan ini
tidak berhubungan dengan derajat keparahan tremor dan rigiditas. Bradikinesia
dapat ditemukan pada inspeksi secara umum. Pasien duduk diam dengan
ekspresi wajah minimal seperti topeng (facial amimia atau “masked face”).
Gestur, komunikasi, dan gerakan pasien juga berkurang, sehingga
menyebabkan adanya halangan antara pasien, keluarga, dan teman-temannya.1
Bradikinesia dapat dinilai dengan manual agility test yang seringkali
abnormal, yaitu tangan pasien yang terkena cenderung melambat dan
mengalami penurunan amplitudo gerakan secara progresif. (early fatiguing)
atau terhentinya gerakan atau terputus-putus (freezing). Pemeriksaan ini
berupa gerakan seperti bermain piano dengan cepat. Pemeriksaan lain yang
dapat dilakukan adalah repetitive tapping antara ibu jari dan jari telunjuk, atau
hand movement dengan membuka dan menutup tangan.1
2) Tremor
Tremor salah satu gambaran khas penyakit ini. Derajat keparahan tremor tidak
dikaitkan dengan progresivitas penyakit dan tidak berhubungan dengan derajat
keparahan defisit dopaminergik di striatum. Tremor Sebagian besar terjadi
pada bagian distal dan lebih jelas pada jari tangan atau kaki. Gerakan berupa
fleksi ekstensi yang melibatkan jari-jari atau pronasi-supinasi pergelangan
tangan yang disebut “pill-rolling tremor” meskipun tanpa komponen gerakan
rotator seperti saat melakukan pill-rolling. Tremor mencapai amplitude
maksimal pada saat istirahat, sehingga dikenal sebagai tremor istirahat atau
resting tremor. Pada
saat otot proksimal, tremor lebih jelas pada mempertahankan postur, seperti
pada saat sedang duduk.1
Tremor dikarakteristikan dengan frekuensi 4-6 Hz saat resting tremor, berifat
intermiten. Tremor yang paling penting adalah tremor esensial (ET). Pada
banyak penderita, pada mulanya Parkinson muncul sebagai tremor (gemetar)
tangan ketika sedang beristirahat, tremor akan berkurang jika tangan
digerakkan secara sengaja dan menghilang selama tidur. Stress emosional atau
kelelahan bisa memperberat tremor. Pada awalnya tremor terjadi pada satu
tangan, akhirnya akan mengenai tangan lainnya, lengan dan tungkai. Tremor
juga akan mengenai rahang, lidah, kening dan kelopak mata.7
3) Rigiditas (kekakuan)
Merupakan peningkatan tonus otot di seluruh lingkup gerak sendi (range of
movement) dan tidak tergantung dari kecepatan otot saat digerakkan. Rigiditas
dapat ditemukan pada leher, badan, dan ekstremitas dalam keadaan relaksasi.
Pemeriksaan pergelangan tangan dengan gerakan fleksi-ekstensi merupakan
salah satu cara deteksi adanya rigiditas roda gigi (cogwheel) dan dapat
dilakukan juga pada sendi siku. Rigiditas dapat mempengaruhi postur pasien,
fleksi pada Sebagian besar sendi, termasuk tulang belakang, dan membentuk
postur simian (simian posture), suatu postur yang khas pada Parkinson.
Mengangkat salah satu lengan atau menggenggam salah satu tangan dapat
menyebabkan rigiditas semakin jelas pada ekstremitas kontralateral.1
Kekakuan menjadi jelas pada pemeriksaan klinis, ketika gerakan pasif anggota
tubuh terganggu. Dalam kombinasi dengan frekuensi tremor menghasilkan
fenomena cogwheel pada gerakan pasif dalam sendi. Banyak pasien mengeluh
dengan unilateral dan / nyeri bahu akibat kekuatan otot asimetris.7
Tremor yang terus menerus dapat menyulitkan pasien untuk mengalami
relaksasi dan menyulitkan pemeriksa untuk menemukan rigiditas.1
4) Ketidak stabilan postural ( Postural Instability)
Pasien dapat kesulitan pada saat bangkit dari kursi. Posisinya cenderung
membungkuk ke depan untuk meletakkan pusat gravitasi di atas kaki dan
seringkali harus dibantu menggunakan lengan. Hal ini dicoba dilakuakan
beberapa kali hingga berhasil berdiri dan seringkali terjatuh.
Pada tahap awal penyakit, postur bisa normal. Seiring perjalanan penyakit,
postur akan mengalami perubahan, sehingga leher cenderung mengalami fleksi
dan kifosis di daerah torakal. Bahu akan mengalami aduksi. Siku, pergelangan
tangan, dan jari akan semifleksi. Sendi panggul dan lutut akan tertekuk secara
parsial. Berjalan dan khususnya berjalan memutar menjadi semakin sulit,
dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap jatuh. Insidens jatuh pada PP
meningkat seiring dengan durasi penyakit. Dalam jangka waktu 5 tahun,
individu dengan parkinson mengalami cedera karena jatuh 1,3 kali lipat
dibandingkan dengan tanpa parkinson.1
Instabilitas postural secara teratur muncul dalam perjalanan penyakit, paling
sering pada tahap yang lebih maju. Biasanya gejala motorik asimetris.7
2. Gejala non motorik
Gejala non motorik jarang dikenali dalam praktik klinis. Baik klinisi maupun
pasien seringkali menyampingkan gejala ini dan lebih fokus pada gejala motorik
yang membawa pasien ke dokter. Shulmann dkk mendapatkan bahwa lebih dari
50% gejala depresi, ansietas, dan fatig, tidak dikenali oleh neurolog. Padahal
Sebagian besar pasien penyakit Parkinson memiliki gejala nonmotrik, termasuk
lebih dari 40% gangguan tidur.1
Gejala nonmotorik memiliki spektrum yang luas dan mencakup 4 ranah (domain),
yakni: gangguan otonom, gangguan tidur, neuropsikiatri, dan gangguan sensoris
(Tabel 1).

Tabel 1. Empat Ranah Gejala Nonmotorik pada Penyakit Parkinson8


Gejala nonmotorik dapat terjadi pada setiap tahap dari perjalanan klinis penyakit
Parkinson yang masing-masing memiliki pola onset dan progresifitas tertentu. Oleh
karena itu dapat ditemukan kecenderungan gejala nonmotorik lebih sering
dijumpai pada:

1. Fase premotor, sebelum munculnya gejala motorik

2. Stadium awal penyakit

3. Stadium lanjut penyakit

Gejala non motorik yang sering dijumpai pada fase premotor adalah rapid eye
movement (REM), sleep behaviour disorder, konstipasi, dan hyposmia.

Pada studi multisenter di Spanyol dan Austria, The Onset of Nonmotor


Symptoms in Parkinson’s Disease (The ONSET PD Study) diperoleh interval
waktu yang berbeda dari munculnya gejala nonmotorik hingga terjadi gejala
motorik penyakit Parkinson, yaitu dapat mencapai lebih dari 10 tahun. Gejala
nonmotorik yang sering dijumpai pada stadium awal adalah disautonomia,
gangguan tidur, dan gangguan sensoris, sedangkan psikosi dan demensia
umumnya pada stadium lanjut. Depresi memiliki kurva bimodal, yakni terdapat
dua onset tersering pada stadium awal dan stadium lanjut, dengan periode normal
diantaranya.1
1) Disfungsi penciuman
Disfungsi penciuman telah diakui menjadi tanda klinis awal pada pasien dengan
Parkinson. Sekitar 70-90% dari semua pasien Parkinson hadir dengan
kurangnya signifikan diskriminasi bau dan sepertinya hadir sebelum adanya
gejala motorik. Hilangnya bau kerap diikuti dengan hilangnya rasa. Dopamin
adalah pengantar kimia yang membawa sinyal antara otak dan otot dan saraf di
seluruh tubuh. Seperti yang memproduksi dopamine sel mati, indera penciuman
menjadi terganggu, dan pesan seperti isyarat bau tidak sampai.9
2) Dysautonomia
Dysautonomia merupakan malfungsi pada ANS (Autonomic Nervus System)
seperti seborrhea, hipotensi ortostatik, gastrointestinal atau disfungsi kemih
dapat terjadi sebelum atau setelah timbulnya gejala motorik. Pada pasien
Parkinson juga disertai dengan disfungsi kemih menandakan keparahan dari
penyakit. Gejala gastrointestinal dapat berupa sembelit, disfagia, mual, muntah,
buang air besar tidak lengkap dalam pengosongan atau inkontinensia. 20% dari
pasien menunjukkan penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 20 mmHg
terkait dengan ketidak stabilan postural. Pasien mungkin tidak menyadari
bahwa terjadi disfungsi ereksi dan hilangnya libido. 9
3) Depresi dan cemas
Gangguan neuropsikiatri, seperti depresi dan kecemasan sering ditemukan
bersama dengan gelaja motorik – sekitar 40% dari semua pasien Parkinson
menunjukkan kecemasan terkait depresi atau gabungan psikopatologi
keparahan penyakit juga tevah terbukti berkorelasi positif dengan kecemasan
dengan pasien muda. 9
4) Penurunan kognitif dan demensia
Sekitar 40% dari semua pasien awalnya didiagnosis dengan IPD akan
mengalami penurunan kognitif dengan demensia dalam perjalanan penyakitnya.
Menurut criteria diagnostik saat ini, terjadinya disfungsi kognitif pada pasien
dengan gejala parkinson paling lambat 12 bulan setelah presentasi pertama
gejala motorik dianggap sebagai penyakit Parkinson demensia. Pemeriksaan
neuropsikologi untuk penyakit Parkinson demensia harus mencakup skala
tertentu yang harus didukung untuk mendeteksi disfungsi kortikal. Sebagai
contoh, timbangan untuk hasil dari penyakit Parkinson-Kognisi (Scoa-COG),
Parkinson penyakit-kognitif Rating Scale (PD-CRS), dan Parkinson
Neuropsychometric Demensia Assessment (PANDA) cenderung menghasilkan
penilaian yang lebih tepat dari kognitif. 9
5) Gangguan perilaku tidur REM (RBD)
RBD dapat muncul bertahun-tahun sebelum terdiagnosis penyakit Parkinson
berdasarkan gejala motorik klasik. RBD ditandai dengan peningkatan aktivitas
motorik selama tidur REM, yang dapat mengakibatkan vokalisasi dan gerakan
anggota badan yang kuat. Pasien biasanya juga dapat menggambarkan
pengalaman mimpi. Gangguan adalah daftar gejala yang paling mengganggu
untuk pasien pada tahap awal dan bahkan pada tahap akhir. Selain itu, 50% dari
pasien mengeluh kantuk di siang hari yang berlebihan, yang juga dapat
mendahului manifestasi gejala motor yang bertahun-tahun.9

2.6 Kriteria Diagnosis6


1. Hughes
A. Possible. Terdapat salah satu dari gejala utama sebagai berikut:
 Tremor istirahat
 Rigiditas
 Bradikinesia / Akinesia
 Hilangnya refleks postural
B. Probable
 Bila terdapat kombinasi dua dari empat gejala utama atau
 Bila terdapat salah satu dari tremor saat istirahat, rigiditas, atau bradikinesia
yang asimetris atau unilateral.
C. Definite
 Bila terdapat kombinasi tiga dari empat gejala utama atau
 Bila ada dua dari tremor saat istirahat, rigiditas, atau bradikinesia dengan 1
gejala tersebut yang asimetris atau unilateral
2. Hoehn dan Yahr
 Stadium 1: gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala ringan, terdapat gejala
yang mengganggu tetapi tidak menimbulkan kecacatan, biasanya terdapat
tremor pada satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat dikenali orang
terdekat.
 Stadium 2: terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, sikap/cara
berjalan terganggu.
 Stadium 3: gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat
berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang.
 Stadium 4: terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan hanya untuk jarak
tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri, tremor dapat
berkurang dibandingkan stadium sebelumnya.
 Stadium 5: stadium kakhetik, kecacatan total, tidak mampu berdiri/berjalan,
memerlukan perawatan intensif.

Penyakit Parkinson adalah diagnosis klinis. Tidak terdapat biomarker laboratorium


dan temuan rutin pada Magnetic Resonance Imaging (MRI) ataupun computed
tomography scan (CT scan).

2.7 Diagnosis Banding dan pemeriksaan penunjang.1


Terdapat beberapa kriteria diagnosis yang dapat digunakan, seperti yang telah
dicantumkan sebelumnya. Penyakit ini didiagnosis berdasarkan kriteria klinis. Tidak
didapatkan pemeriksaan yang bersifar definitive untuk menegakkan diagnosis, kecuali
konfirmasi histopatologis adanya badan Lewy pada autopsi. Pemeriksaan penunjang
dilakukan untuk membedakan dengan kelainan degeneratif lain, terutama Parkinson
sekunder atau tipikal.
1. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Untuk menyingkirkan diagnosis banding lain, seperti parkinson vaskular, Penyakit
Wilson, dan sindrom parkinson atipikal.
2. Positron Emission Tomography (PET) dan Single-Photon Emission Computed
Tomography (SPECT)
PET dan SPECT dapat membantu proses visualisasi bagian pre dan pascasinaps dari
proyeksi nigrostriatal serta mendapatkan gambaran semi kuantitatif jaras-jaras
tersebut. Hal ini digunakan untuk membedakan Parkinson dengan Parkinson atipikal
lain.
3. Ultrasonografi Transkranial
Untuk mengkonfirmasi gambaran hiperekoik di substantia nigra pada hampir dua
pertiga pasien Parkinson dan dapat terdeteksi pada tahap awal penyakit. Namun hasil
tersebut juga dapat ditemukan pada 10% dari orang normal, sehingga pemeriksaan ini
hanya bersifat suportif dalam penegakan diagnosis.

2.8 Tatalaksana10
 TERAPI FARMAKOLOGIK
A. Antikolinergik
Antikolinergik merupakan salah satu obat yang pertama kali digunakan untuk
terapi Parkinson, tetapi dengan ditemukannya levodopa, maka penggunaannya
makin berkurang. Hal ini disebabkan karena antikolinergik cenderung memicu
atau memperburuk gangguan kognitif pada pasien lanjut usia. Antikolinergik yang
digunakan sebagai monoterapi atau terapi tambahan dapat memperbaiki fungsi
motorik (jangka pendek), terutama mengurangi tremor (75% kasus Parkinson
mempunyai gejala tremor) daripada rigiditas atau bradikinesia. Tidak jarang terapi
tremor dengan menggunakan antikolinergik pada pasien dengan Parkinson dini
atau Parkinson dengan dominansi tremor, dapat berhasil. Mekanisme kerjanya
dianggap akibat modulasi sistem asetikolinergik yang bekerja di sentral. Beberapa
obat antikolinergik yang tersedia (misalnya triheksifenidil, benstropin, dan
etopropasin) biasa dimulai dengan dosis rendah kemudian dinaikkan perlahan-
lahan (2 – 3 x 1 mg/hari kemudian dosis dinaikkan 2 – 5 kali, dosis maksimal 15 –
20 mg/hari) untuk menghindari efek samping. Efek samping sentral dari
antikolinergik misalnya confusion, halusinasi, sedasi, dan gangguan memori
sedang efek samping perifernya adalah mulut kering, retensi urin dan penglihatan
kabur. Kontra indikasi pemberian antikolinergik adalah glaukoma dan hipertrofi
prostat. Difenhidramin sampai 4 x 12.5 – 50 mg/hari pada beberapa pasien juga
bermanfaat. Mekanisme kerja antikolinergik belum diketahui dengan pasti, dan
karena efek sampingnya yang lebih merugikan, maka pemakaiannya tidak
dianjurkan.
B. Amantadin
Amantadine hydrochloride tersedia dalam bentuk kapsul dan likuid. Mekanisme
kerjanya yaitu menambah pelepasan dopamin meningkatkan sintesis dopamin dan
memblok ambilan kembali dopamin pada sinaps. Obat ini juga berfungsi sebagai
antagonis reseptor glutamat (antiglutamat) karena itu pada Parkinson stadium
lanjut dapat mengurangi diskinesia. Beberapa ahli juga menganjurkan pemakaian
amantadin pada terapi awal Parkinson (monoterapi) atau terapi tambahan pada
levodopa. Menurut Schwab dkk, 60% pasien Parkinson yang menggunakan
amantadin sebagai monoterapi mengalami perbaikan dari rigiditas, akinesia dan
tremor. Dosis amantadin dimulai 100 mg sekali atau dua kali perhari kemudian
perlahan-lahan dinaikkan sampai dosis yang memberikan hasil maksimum tetapi
efek sampingnya minimum (dosis maksimum 400 mg/hari). Amantadin diekskresi
melalui ginjal oleh karena itu dosisnya perlu dikurangi pada pasien gagal ginjal
untuk menghindari toksisitas. Pasien usia lanjut yang mengalami gejala gangguan
kognitif dan neuropsikiatrik lebih mudah mengalami efek samping yang berupa
konfusio dan halusinasi. Efek samping yang paling sering adalah kepala terasa
ringan, gelisah, sulit konsentrasi, mulut kering, hipotensi ortostatik, dan retensi
urin. Efek samping lain adalah livedo retikularis. Bila dianggap perlu untuk
menghentikan obat ini dikarenakan efek sampingnya, maka dianjurkan
menguranginya secara bertahap untuk menghindari kemungkinan efek
withdrawal.
C. Penghambat Monoamine Oxydase Type B
Penghambat MAO-B dapat digunakan sebagai terapi lini pertama atau tambahan
pada terapi levodopa. Hambatan pada MAO-B akan memperlambat metabolisme
dopamin dengan demikian meningkatkan neurotransmiter di striatum. Penghambat
yang selektif memblok MAO-B akan lebih aman dari peningkatan tekanan darah
dari pada jika MAO-A juga dihambat. Karena enzim MAO-A terlibat dalam
metabolisme tiramin yang terdapat dalam keju maka peningkatan tiramin akan
menyebabkan tekanan darah meningkat. Walaupun demikian, penggunaan
rasagilin dalam dosis berapapun dapat menimbulkan krisis hipertensi (reaksi keju)
bila dikonsumsi bersama makanan dan minuman yang banyak mengandung
tiramin seperti keju, sosis, bir, anggur. Rasagilin juga kontraindikasi bila diberikan
bersama meperidin, tramadol, metadon, propoksifen, dekstrometorfan, mirtasapin,
siprofloksasin, antidepresan trisiklik, selective serotonin reuptake inhibitors
(SSRI), dan serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (SNRI).
1. Rasagilin
Rasagilin diakui oleh FDA pada 2006 sebagai awal monoterapi dan tambahan
pada terapi levodopa. Rasagiline diduga dapat memperlambat progresi
Parkinson. Efek samping yang sering dilaporkan adalah sakit kepala, pusing,
dan mual. Rasagilin tidak boleh diberikan bersama dengan selegilin karena
menimbulkan efek samping kardiovaskular.
2. Selegilin
Selegilin juga telah diakui sebagai monoterapi atau terapi tambahan pada
pasien dengan Parkinson. Pada penelitian DATATOP (Deprenyl and
Tocopherol Antioxidative Therapy of Parkinsonism) yang melibatkan 800
pasien Parkinson stadium dini yang secara acak diberi selegilin 10 mg/hari,
tokoferol 2000 IU/hari, kedua obat tersebut atau plasebo, kemudian diamati
apakah obat-obat tersebut dapat menunda penggunaan levodopa. Lalu
dilanjutkan dengan pemberian selegilin 10 mg/hari selama 5 tahun. Setelah itu,
satu kelompok yang terdiri dari 368 pasien yang mengalami kemunduran
diberi levodopa dan secara acak dibagi lagi atas kelompok yang pemberian
selegilin diteruskan dan kelompok yang diberi plasebo selama 2 tahun. Pasien
yang tetap mendapat selegilin dilaporkan lebih banyak mengalami diskinesia
tetapi lebih sedikit mengalami fluktuasi motorik on-off atau freezing gait
dibandingkan plasebo. Kelompok selegilin hanya menunjukkan sedikit
kemunduran nilai UPDRS dan jumlah off period sedang jumlah on period
meningkat, juga dosis levodopa berkurang.
Pada tahun 2006 FDA menyetujui penggunaan selegilin berbentuk orally
disintegrating tablets (ODT) sebagai terapi tambahan pada pasien PP yang
mendapat levodopa. ODT (Zydis Selegiline®) adalah obat per oral yang cepat
larut dan diserap pada mukosa mulut. ODT bermanfaat untuk pasien yang
mengalami disfagia karena ia larut di lidah tanpa perlu air minum. Penggunaan
selegilin tak perlu diet bebas tiramin (tetapi pada dosis di atas 10 mg/hari
berisiko menimbulkan krisis hipertensi yang dipicu oleh tiramin2 ), dosis yang
dianjurkan sampai maksimal 1.25 – 2.5 mg/hari atau selegilin (bukan ODT)
dosis 2 x 5 mg/hari. Efek samping yang sering dilaporkan adalah pusing,
diskinesia, halusinasi, sakit kepala, dan dispepsia. Perlu diwaspadai pemberian
selegilin dengan antidepresan SSRI karena dapat menimbulkan sindrom
serotonin yang bercirikan agitasi, gelisah, rigiditas, hiperrefleksia, menggigil,
instabilitas otonom, flushing, demam, mual, diare, berkeringat, miklonus,
koma, dan akhirnya meninggal. Oleh karena hasil metabolisme selegilin
mengandung amfetamin dan metamfetamin, maka dapat menimbulkan
gangguan tidur dan/atau psikosis, sehingga tidak dianjurkan diberikan pada
pasien usia lanjut yang mengalami gangguan kognitif.

D. Penghambat Catechol- O-Methyl Transferase (COMT)


COMT adalah enzim yang berperan dalam katabolisme levodopa di perifer,
menjadi levodopa yang tidak aktif yaitu 3-O-methyldopa. Hambatan terhadap
COMT akan meningkatkan kadar levodopa dalam plasma dan otak sekitar 26%.
Oleh karena mekanisme kerjanya tersebut, maka penghambat COMT harus
diberikan bersama dengan levodopa. Saat ini tersedia 2 macam penghambat
COMT: tolcapone dan entacapone.
1. Tolcapone
Tolcapone adalah obat yang kuat dan secara klinis efektif, namun
penggunaannya terbatas karena berpotensi menimbulkan kerusakan hati.
Tolcapone dapat melewati sawar darah otak, diberikan sebagai terapi
tambahan levodopa. Awitannya cepat, dalam 2 minggu telah memperlihatkan
hasil. Manfaat tolcapone adalah mengurangi efek wearing off, yaitu
menurunkan waktu off dan meningkatkan waktu on, serta mengurangi
kebutuhan dosis levodopa hingga 30%. Dilaporkan setelah pemakaian
tolcapone selama 6 minggu, terlihat peningkatan waktu on lebih dari 2 jam.
Efek sampingnya adalah diare, diskinesia, dan hepatotoksik. Oleh karena itu,
penggunaannya perlu pemantauan fungsi hati sebelum diberikan, lalu tiap 2-4
minggu (selama 6 bulan pertama), dilanjutkan secara periodik sesuai keadaan
klinis. Tolcapone pertama kali diakui FDA pada 1998, dengan dosis anjuran
100-200 mg TID. Oleh karena efek samping hepatotoksik tersebut, maka
tolcapone hanya dianjurkan digunakan bila obat-obat lain gagal.
2. Entacapone
Entacapone tidak hepatotoksik dan tidak dapat menembus sawar darah otak.
Entacapone mempunyai paruh waktu yang lebih pendek daripada tolcapone.
Pemberian entacapone 200 mg bersama dengan levodopa akan mengurangi
waktu off 2.1 jam/hari. Entacapone pertama kali diakui FDA pada 1999, di
Indonesia tersedia kombinasi antara levodopa (100mg), carbidopa (25mg) dan
entacapone (200mg) dalam satu tablet. Dosis maksimal yang dianjurkan
1600mg/hari. Efek samping entacapone hampir sama dengan tolcapone yaitu
urin, saliva, dan keringat berwarna oranye atau coklat, selain itu timbul diare
(4
- 10%), diskinesia. Tetapi penelitian yang membandingkan entacapone dan
tolcapone masih kurang. Entacapone telah diakui sebagai tambahan pada
terapi levodopa pada pasien yang mengalami end-of-dose wearing off.

E. Levodopa
Timbulnya gejala Parkinson disebabkan oleh hilangnya neuron dopaminergik di
substansia nigra. Neuron ini mensintesis dopamin dari asam amino esensial yang
disebut tirosin. Konversi tirosin menjadi levodopa difasilitasi oleh enzim tirosin
hidroksilase. Baik levodopa yang berasal dari metabolisme tirosin maupun
levodopa tablet diubah menjadi dopamin oleh enzim dopa dekarboksilase.
Levodopa diabsorbsi di usus halus. Keterlambatan pengosongan lambung akan
menyebabkan dosis levodopa menurun atau awitannya menjadi lambat. Demikian
pula absorbsi levodopa di usus halus berlangsung secara kompetitif dengan
protein (asam amino) maka bila levodopa diminum setelah makan banyak protein
akan mengurangi transfer levodopa ke aliran darah maupun ke otak. Hanya 1%
kadar levodopa oral yang dikonversi menjadi dopamin di otak dan akan
mengaktivasi area postrema, serta menyebabkan mual, muntah dan aritmia jantung
(jarang). Dengan menambahkan penghambat dopa decarboxylase yang tidak
melewati sawar darah otak seperti carbidopa atau benserazide sebesar 75-100
mg/hari, maka konsentrasi kadar levodopa akan cukup mencapai sistem saraf
pusat, serta mengurangi rasa mual. Levodopa telah digunakan selama hampir
sejak 40 tahun, sempat diperdebatkan pada awal 1990 karena dianggap dapat
memperburuk perjalanan penyakit, namun hal ini tidak terbukti pada penelitian
ELLDOPA. Oleh karena itu, perlu usaha untuk menjelaskan pada pasien bahwa
komplikasi motorik yang menyertai pemberian levodopa bukan berarti
penyakitnya bertambah berat. Walaupun demikian, semakin tinggi dosis levodopa
semakin mudah menimbulkan efek samping seperti diskinesia, hipertonia, infeksi,
sakit kepala, atau mual dibandingkan plasebo. Kemasan obat kombinasi levodopa
dengan dopa decarboxylase tersedia dalam bentuk tablet standar seperti Sinemet®
(carbidopa/levodopa) dan Madopar® (benserazide/levodopa) sediaan 10/100,
25/100, dan 25/250 mg atau tablet lepas lambat (Sinemet CR, Madopar HBS)
sediaan 25/100, dan 50/200 mg. Dosis awal 25/100 mg 3 – 4 kali/hari. Ada satu
bentuk tablet kombinasi carbidopa/levodopa yang mudah larut di lidah
(Parcopa®)
sediaan 10/100, 25/100, dan 25/250 mg yang dapat digunakan pada pasien
dengan kesulitan menelan.

 GEJALA NON-MOTORIK DAN TERAPINYA


Seiring dengan keberhasilan terapi dopaminergik dan bedah saraf fungsional untuk
mengatasi gejala motorik, gejala non-motorik saat ini makin sering dijumpai pada
PP stadium lanjut dan menjadi penyebab bermakna dari morbiditas dan disabilitas,
serta sering terlewatkan. Gejala non-motorik juga muncul pada stadium dini atau
bahkan sebelum timbul gejala motorik khas Parkinson. Patofisiologi gejala non-
motorik tidak diketahui. Bukti patologik saat ini menimbulkan dugaan bahwa
Parkinson menyerang otak dalam 6 tahap. Stadium preklinik 1 dan 2 ditandai
dengan kelainan pada bulbus olfaktorius dan batang otak, stadium 3 dan 4
mengenai pars kompakta substansia nigra sedangkan stadium 5 dan 6 mengenai
neokorteks dan sistem limbik sehingga dapat menimbulkan demensia dan
halusinasi.

A. Gangguan Kognitif
Sekitar 20 – 40% pasien mengalami demensia, biasanya muncul pada stadium
lanjut. Gejala demensia dapat dibagi atas subkortikal dan kortikal. Gejala
demensia subkortikal meliputi gangguan proses informasi (visuospatial, atensi
dan eksekusi). Sedang gejala demensia kortikal, seperti pada penyakit
Alzheimer dan diffuse Lewy body adalah terganggunya proses penyimpanan
(memori dan bahasa). Pada umumnya kemampuan intelek pasien Parkinson
tetap baik. Pemberian penghambat asetilkolinesterase dapat memperbaiki fungsi
kognitif, tetapi mungkin memunculkan gejala parkinson. Penelitian dengan
memakai donepezil dan rivastigmine selama 12 minggu meningkatkan fungsi
kognitif, tetapi donepezil lebih baik toleransinya. Pada tahun 2006 rivastigmine
merupakan penghambat asetilkolinesterase pertama yang disetujui oleh FDA
untuk digunakan pada demensia yang terkait pada Parkinson. Dosis anjuran
adalah 3 – 12 mg/hari selama 24 minggu, dengan efek samping mual, muntah,
dan tremor. Penghambat asetilkolinesterase lain seperti donepezil, galantamine,
dan memantine oleh FDA hanya disetujui untuk digunakan pada penyakit
Alzheimer. Memantine (antagonis reseptor n-methyl-d-aspartate) dilaporkan
memperbaiki gangguan kognitif pada Parkinson dan penyakit Alzheimer
stadium moderat, tapi juga dapat memicu psikosis pada beberapa pasien
Parkinson.
B. Gangguan Psikiatrik
Psikosis pada Parkinson berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif dan
mortalitas. Psikosis pada Parkinson dimulai setelah 10 tahun diagnosis
Parkinson ditegakkan. Jika psikosis dimulai pada awal Parkinson, maka
mungkin adalah penyakit diffuse lewy body, penyakit Alzheimer. Psikosis pada
Parkinson dapat bermanifestasi sebagai halusinasi visual, taktil, auditorik atau
delusi. Sebanyak 30% pasien Parkinson dapat mengalami psikosis, tersering
berupa halusinasi visual, biasanya berbentuk orang atau binatang. Selain itu
juga didapati delusi berupa paranoid, yaitu curiga pada suami/istri. Sayang
sekali bahwa obat-obat yang digunakan untuk disfungsi motorik pada Parkinson
(seperti amantadin, agonis dopamin, antikolinergik, levodopa, dan penghambat
COMT atau MAO) dapat mengeksaserbasi psikosis. Delirium sering pula
dijumpai akibat banyaknya macam obat. Clozapine (12.5 – 25 mg 2 kali/hari)
lebih menguntungkan daripada quetiapine (25 – 75 mg satu atau dua kali/hari)
untuk terapi halusinasi pada Parkinson dengan psikosis. Secara umum, semua
obat yang antagonis terhadap reseptor dopamin akan menghambat obat
antiparkinson sehingga memperburuk gejala parkinson, jadi sebaiknya dihindari
penggunaannya.

C. Depresi, Ansietas dan Serangan Panik


Depresi adalah salah satu gejala non-motorik yang paling sering dijumpai (30 –
90%), berupa depresi minor (22%), depresi mayor (17%) dan dysthym (13%).
Depresi dapat dialami sebelum gejala motorik muncul, sehingga dapat dianggap
sebagai petanda preklinik dari Parkinson. Penyebab pastinya tidak diketahui,
diduga degenerasi parsial neuron serotonergik (nukleus rafe) dan noradrenergik
(lokus seruleus) berperanan menimbulkan depresi pada Parkinson, ditambah
adanya disfungsi dopaminergik pada Parkinson. Gejala depresi Parkinson
sebagai berikut, hilangnya mood, motivasi, dan inisiatif. Gejala lain seperti
anhedonia, ansietas, serangan panik, nafsu makan hilang, dan menarik diri dari
lingkungan sosialnya. Namun gejala depresi seperti ingin bunuh diri atau rasa
bersalah, jarang dikemukakan, sebagian besar tergolong dalam diagnosis
depresi minor atau dysthym. Amitriptilin atau nortriptilin bermanfaat untuk
terapi depresi tapi mungkin akan menambah sialorhoea karena efek samping
antikolinergik. SSRI juga bermanfaat untuk terapi depresi pada Parkinson,
terutama sertraline karena dibandingkan dengan trisiklik, dapat meningkatkan
aktivitas sehari-hari, mobilitas, dan mungkin memperbaiki simtom motorik.
Depresi juga dapat muncul pada pasien yang mendapat terapi dopaminergik
tapi dosis suboptimal, sehingga mengalami periode off yang lama disertai
ansietas dan nyeri karena distonia. Oleh karena dopaminergik mempunyai efek
yang jelas pada mood dan ansietas, maka pemberian dopaminergik (levodopa
atau agonis dopamin) merupakan terapi pertama pada depresi pada Parkinson.
Sekitar 40% pasien Parkinson dapat mengalami ansietas, serangan panik, dan
gangguan fobia, yang bisa diterapi dengan ansiolitik atau antidepresan.

D. Gangguan Kontrol Impulsif


Gangguan perilaku yang timbul karena terapi dopaminergik telah dikenal sejak
lebih dari 30 tahun lalu. Perilaku hiperlibido, judi patologik, compulsive
shopping, makan, dan minum minuman keras merupakan gangguan kontrol
impulsif. Sindrom gangguan kontrol impulsif muncul seiring bertambah
beratnya Parkinson dan bertambahnya obat antiparkinson. Biasanya simtom
gangguan kontrol impulsif ini membaik bila obat dopaminergik dikurangi atau
dihentikan terutama agonis dopamin. Selain itu dapat diberikan SSRI,
quetiapine, asam valproat, topiramate, naltrexone, donepezil, dan clozapine.

E. Gangguan Tidur
Diperkirakan sekitar 60 – 98% pasien Parkinson mengalami gangguan tidur,
seperti terbangun tidur malam (2 – 3 kali lebih sering daripada orang sehat
seusianya), excessive daytime sleepiness (EDS), REM sleep behavior disorder
(RBD), insomnia, atau mimpi buruk. 1-2 Pada umumnya pasien Parkinson
menderita insomnia, penyebabnya multifaktorial. Yang terbanyak karena
nokturnal akinesia disertai nyeri karena distonia. Gangguan tidur ini
berhubungan dengan bertambah lanjutnya Parkinson, meningkatnya terapi
dopaminergik, lamanya menderita Parkinson, dan jenis kelamin pria. Penyebab
gangguan tidur ini masih diperdebatkan, diperkirakan akibat degenerasi pada
pusat regulasi tidur di batang otak (nukleus pedunkulopontin, nukleus seruleus)
dan disfungsi jaras talamokortikal. Hilangnya neuron yang mengandung
hipokretin (di hipotalamus) juga berpengaruh seperti narkolepsi. Serangan tidur
(EDS) merupakan suatu fenomena klinis, dimana pasien bisa tiba- tiba tertidur
tanpa bisa dielakkan. Obat yang dapat menimbulkan EDS adalah apomorfin,
bromokriptin, cabergoline, pergolide, lisuride, pramipexole, atau ropinirole.
Pemberian modafinil (200 – 400 mg/hari) bermanfaat juga untuk terapi EDS.
Insomnia dapat diterapi dengan zolpidem atau agonis reseptor melatonin,
ramelteon. Sedangkan REM sleep Behavior Disorder (RBD) yaitu suatu
keadaan dimana pada fase tidur REM, timbul gerakan-gerakan yang seolah-olah
bertujuan seperti misalnya, berbicara, berteriak, menendang, atau memukul,
yang dapat melukai pasangan tidur atau pasien sendiri. Obat pilihan untuk
RBD adalah clonazepam (0.25 – 1 mg pada malam hari).

F. Disfungsi Gastrointerstinal
 Konstipasi
Pada 80% pasien Parkinson, waktu transit gastrointestinal memanjang
(motilitas menurun) dan 60% pasien mengalami konstipasi. Disamping itu
juga terdapat hiperkontraksi dari sfingter ani eksternus. Perjalanan penyakit
tersebut juga dapat mengenai sistem saraf enterik, dimana pada pleksus
mesenterikus kolon dan nukleus intermediolateralis segmen sakral ketiga
medula spinalis ditemukan adanya Lewy body, yang merupakan petanda
degenerasi neuron dopaminergik yang menyebabkan denervasi simpatetik.
Tetapi pemberian dopamin tidak memperbaiki konstipasi, karena itu
mekanisme non-dopaminergik diduga juga berperanan. Terapi yang efektif
untuk konstipasi adalah meningkatkan asupan cairan, psyllium, polyethylene
glycol, bisacodyl, dan magnesium sulfat. Terapi lain seperti neostigmin,
yogurt, injeksi toksin botulinum pada sfingter ani eksternus, dan stimulasi
nervus sakralis.
 Disfagia
Waktu transit orofaringeal juga memanjang dan Lewy body juga ditemukan
di pleksus mesenterikus pada pasien Parkinson yang mengalami disfagia.
Kesulitan menelan lebih sering dialami ketika pasien minum cairan daripada
makanan lunak atau padat. Pemberian dopamin yang optimal dapat
memperbaiki disfagia.

G. Disfungsi Urologik
Gejala traktus urinarius bawah seperti overaktivitas (hiper-refleksia) detrusor
akan menimbulkan urgency, meningkatnya frekuensi miksi, dan inkontinesia
urin pada 38 – 71% pasien Parkinson. Hal ini disebabkan karena hilangnya efek
inhibisi dari dopamin pada proses miksi. Jadi berkurangnya dopamin juga
menjadi penyebab inkontinensia urin. Kontraksi vesika urinaria dimediasi oleh
kolinergik (saraf parasimpatik pelvis), sedang relaksasi merupakan hasil dari
simpatetik noradrenergik yang reseptornya terdapat pada nervus hipogastrikus.
Pemberian levodopa dapat membantu inkontinensia urin. Disamping itu,
antimuskarinik (antikolinergik) seperti oxybutinin (5 mg, 3 – 4x/hari),
oxybutinin transdermal patch, tolterodine (2 mg 3x/hari), solifenacin (5 – 10
mg/hari), atau darifenacin (11.5 – 15 mg/hari). Tetapi obat-obat ini dapat
memperburuk fungsi kognitif. Injeksi toksin botulinum pada dinding vesika
urinaria dilaporkan bermanfaat.

H. Disfungsi Seksual
Disfungsi seksual dijumpai pada 12 – 60% pasien Parkinson dipengaruhi oleh
adanya penyakit ikutan, penggunaan obat, gangguan motorik, depresi, ansietas,
dan Parkinson stadium lanjut. Hasil suatu survei pada 32 wanita pasien
Parkinson ditemukan 87.5% mengalami sulit terangsang, 75% kesulitan
orgasme, dan 37.5% kesulitan dalam mendapat kepuasan seksual. Pada survei
yang sama pada 43 pria dengan Parkinson didapati disfungsi ereksi (68.4%),
ketidakpuasan seksual (65.1%), ejakulasi prematur (40.6%), dan kesulitan
mencapai orgasme (39.5%). Sildenafil citrate dan agonis dopamin dapat
digunakan untuk terapi disfungsi ereksi.

I. Hipotensi Ortostatik
Dilaporkan 10 – 20% pasien mengalami hipotensi ortostatik yang bertambah
dengan makin lanjutnya usia dan makin beratnya Parkinson. Gejalanya meliputi
rasa ringan di kepala, awal berdiri dari posisi duduk terasa pusing, dan lelah.
Hipotensi ortostatik dapat diterapi dengan penambahan garam, fludrokortison
(0.1 – 0.3 mg/hari), midodrine (2.5 – 5 mg 1 – 3 kali/hari), meningkatkan
asupan air, dan penggunaan compression stocking. 1,5 Sejak tahun 2007, FDA
mengijinkan pemakaian L-threo-3,4-dihydroxyphenylserine atau L-DOPS
(Droxidopa®), suatu asam amino sintetik prekursor dari norepinefrin untuk
pengobatan hipotensi ortostatik.

J. Gangguan Saliva
Dilaporkan sekitar 78% pasien Parkinson mengalami sialorhoea atau
meneteskan air liur, akibat produksi saliva yang berlebihan atau kesulitan
membersihkan saliva dari mulut akibat gangguan menelan. Hal ini membuat
malu pasien Parkinson. Sialorhoea dapat diatasi dengan injeksi botulinum toksin
(intraparotis) dan pemberian obat antikolinergik, seperti oxybutinin 5 – 10 mg
tiap 6 – 8 jam atau prophantilen 15 – 30 mg tiap 4 – 6 jam. Pada beberapa
pasien, pemberian dopaminergik dapat mengurangi sialorhoea oleh karena
fungsi menelannya menjadi lebih baik.
K. Nyeri
Nyeri dan pegal pada anggota gerak yang mulai terkena Parkinson merupakan
keluhan pertama. Nyeri pada bahu dan lengan sering merupakan bursitis atau
frozen shoulder, sedang nyeri pada pinggul atau tungkai mungkin merupakan
artritis. Bukti bahwa nyeri tersebut disebabkan oleh Parkinson adalah nyeri
akan hilang dengan pemberian antiparkinson, disertai pemulihan mobilitas.
Nyeri pada pasien Parkinson yang muda sering timbul ketika terjadi dystonic
foot cramp, terutama ketika sedang berjalan. Di samping itu, pada pasien yang
mengalami fluktuasi dan diskinesia, nyeri merupakan hal penting. Nyeri pada
saat periode off, biasanya timbul kram pada pagi hari terutama mengenai jari-
jari kaki. Nyeri tersebut akan hilang sendiri saat periode on. Jadi nyeri pada
periode off merupakan indikasi pemakaian levodopa yang cepat larut dalam air
atau injeksi apomorfin. Nyeri akibat distonia pada Parkinson dapat diterapi
dengan pemberian baclofen 5 – 20 mg 3 kali/hari atau clonazepam 0.5 – 2 mg 3
kali/hari.

2.9 Prognosis

Penyakit parkinson tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal dengan sendirinya,
tapi berkembang dengan waktu. Harapan hidup rata-rata pasien penyakit parkinson pada
umumnya lebih rendah daripada orang yang tidak memiliki penyakit. Pada tahap akhir,
penyakit parkinson dapat menyebabkan komplikasi seperti tersedak, pneumonia, dan jatuh
yang dapat menyebabkan kematian.11

Perkembangan gejala pada penyakit parkinson dapat berlangsung 20 tahun atau


lebih. Pada beberapa orang, penyakit berlangsung lebih cepat. Dengan perawatan yang
tepat, kebanyakan orang dengan penyakit parkinson dapat hidup produktif selama bertahun-
tahun setelah didiagnosis.11
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis progresif,


merupakan suatu penyakit/sindrom karena gangguan pada ganglia basalis akibat
penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamine dari substansia nigra ke globus
palidus/ neostriatum (striatal dopamine deficiency). Penyakit Parkinson merupakan
penyakit kronis yang membutuhkan penanganan secara holistik meliputi berbagai
bidang. Pada saat ini tidak ada terapi untuk menyembuhkan penyakit ini, tetapi
pengobatan dan operasi dapat mengatasi gejala yang timbul. Obat-obatan yang ada
sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson, sedangkan perjalanan penyakit itu
belum bias dihentikan sampai saat ini. Sekali terkena parkinson, maka penyakit ini akan
menemani sepanjang hidupnya. Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami
progress hingga terjadi total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi
otak general, dan dapat menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada
setiap pasien berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi.
Perluasan gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dewati E, Tunjungsari D, Ariari NNR. 2017. Buku Ajar Neurologi. Jakarta:


Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia.
2. Istarini A, Syafrita Y, Susanti R. 2020. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Subtipe
Gejala. Human Care. Volume 5; No.1(February, 2020): 343-347.
file:///C:/Users/achil/Downloads/649-2584-4-PB.pdf. Diakses pada 12 Desember 2020
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2016. Panduan Praktik
Klinis Neurologi. Penyakit Parkinson. Jakarta: PERDOSSI
4. Hauser RA. 2020. Parkinson Disease.
https://emedicine.medscape.com/article/1831191-overview#a6. Diakses pada 12
Desember 2020
5. Ginsberg L. Lecture Notes Neurologi. Edisi ke-8. Jakarta. Penerbit Erlangga. 2007 : h.
100-11.
6. Gunawan G, Dalhar M, Kurniawan SN. Parkinson dan Terapi Stem Sel. MNJ, Vol.03,
No.01, Januari 2017.

7. Reicmann H. Clinical Criteria for the Diagnosis of Parkinson’s Disease.2010. Klinik


und Poliklinik fot Neurologie, Universitas klinikum Carl Gustav Carus, Dresden,
Germany h.1-6
8. Erro R, dkk. Journal of Parkinsonism and Restless Legs Syndrome.2015. h 1-10.
9. Scuepbach WMM, et al. Neurostimulation for Parkinson’s Disease with Early Motor
Complications. New England Journal of Medicine. 2015.
10. Dewanto G. Manajemen Gejala Motorik Dan Non-Motorik Pada Penyakit
Parkinson.2015. Neurona Vol. 29 No. 3 April 2015
11. Sunaryati, Titiek. Penyakit parkinson. Jurnal Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
2011; 1: 1-10.

Anda mungkin juga menyukai