Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS INTEGRASI

ACS STEMI

Oleh:

Abd. Rahman 41181396100018


Rafi Nawawi Mubarok 41181396100026
Safira Belarizkia 41181396100018

Pembimbing:

Dr. Achyar, Sp.JP

KEPANITERAAN KLINIK KARDIOLOGI RSUP FATMAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus integrasi megenai penyakit jantung
sistemik dalam Kepaniteraan Klinik jantung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah di RSUP Fatmawati. Sholawat beserta salam semoga tercurah limpahkan
kepada Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya serta kita selaku umatnya.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para
pengajar, fasilitator, serta narasumber SMF Ilmu Kardiovaskular RSUP Fatmawati khususnya dr.
Achyar, Sp.JP selaku pembimbing yang telah memberi bimbingan, arahan, serta saran sehingga
laporan kasus ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari bahwa laporan kasus ini tidak luput dari kekurangan dan jauh dari
sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak.

Demikian yang dapat kami sampaikan, Insha Allah makalah ini dapat memberikan
manfaat khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, 18 April 2019

Penyusun
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SINDROM KORONER AKUT


2.1.1 DEFINISI
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kondisi yang mengancam kehidupan
pasien yang memiliki penyakit arteri koroner kapan saja. Sindrom koroner akut
merupakan suatu masalah kardiovaskuler yang utama karena menyebabkan angka
perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi. SKA sering menimbulkan
perubahan secara tiba-tiba secara progresif terkait dengan perjalanan penyakitnya. Bentuk
sindrom tersebut merupakan suatu rangkaian kejadian mulai dari angina pektoris tidak
stabil sampai berkembang menjadi infark miokardium akut yang merupakan kondisi di
mana sudah terjadi kerusakan/nekrosis otot jantung secara ireversibel. Keadaan yang
terjadi pada SKA dapat melipiuti angina pektoris tak stabil/APTS (unstable angina/UA).
Infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST
elevation nmyocardial infractional NSTEMI), dan infark miokard gelombang Q atau
infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardiac infarc) atau STEMI.

2.1.2 EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 1,4 juta orang di USA mengidap SKA. Sekitar 38% dari pasien SKA
berujung kematian. Seiring dengan berkembangnya penelitian mengenai SKA, mortalitas
pasien SKA semakin menurun dari tahun ke tahun dengan pengobatan yang lebih maju
serta pencegahannya.
WHO memperkirakan 17,5 juta populasi meninggal akibat penyakit kardiovaskular
pada tahun 2005, dimana angka tersebut mewakili 30 % dari seluruh kematian. Dari
jumlah kematian tersebut, 7,6 juta kematian disebabkan penyakit jantung koroner dan 5,7
juta kematian disebabkan kanker. sekitar 80 % dari kematian tersebut terjadi pada negara –
negara berpendapatan rendah dan menengah. Jika hal tersebut berlanjut, maka di tahun
2015 diperkirakan sekitar 20 juta orang akan meninggal akibat penyakit kardiovaskular
(khususnya Penyakit Jantung Koroner dan stroke). Di Indonesia, hasil survei kesehatan
rumah tangga menunjukkan hal senada. Salah satu tipe penyakit kardiovaskuler yang
paling sering terjadi masyarakat adalah penyakit jantung iskemik.
2.1.3 FAKTOR RISIKO

Faktor risiko yang tidak dapat dirubah :


1. Umur
Risiko terjadinya kejadian SKA meningkat dengan bertambahnya usia. Lebih dari
separuh individu yang terkena serangan jantung berumur 65 tahun atau lebih, dan 4 dari 5
kematian akibat serangan jantung berumur lebih dari 65 tahun. Pada beberapa populasi,
total serum kolesterol, tekanan darah, dan penigkatan berat badan meningkat bersamaan
dengan bertambahnya umur.

2. Jenis Kelamin
Manifestasi SKA cenderung lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan. Hal
tersebut diduga karena adanya teori efek proteksi estrogen, di mana risiko terjadinya
penyakit jantung pada wanita meningkat secara dramatis setelah menopause, saat tubuh
mereka berhenti menghasilkan estrogen

3. Faktor Keturunan
Kecenderungan untuk terjadinya serangan jantung pada seseorang, juga ditentukan
oleh faktor hereditas, sebagai contoh pada familial hiperkolesterolemia.

Faktor risiko yang dapat dirubah :


1. Hipertensi
Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa dengan meningkatnya baik tekanan darah
sistolik maupun diastolik, kemungkinan untuk terjadinya SKA, stroke, gagal jantung, juga
akan bertambah.
Hipertensi sangat sering timbul bersamaan dengan faktor risiko kardiovaskular
lainnya, terutama obesitas, hiperkolesterolemia, serta diabetes melitus. Penanganan
hipertensi secara baik dapat secara bermakna menurunkan risiko yang berkaitan dengan hal
ini.

2. Dislipidemia
Kadar kolesterol serum yang lebih tinggi dari 265 mg/dL (6,85 mmol/L) pada orang
yang berusia 35-40 tahun meningkatkan risiko penyakit jantung koroner hingga lima kali
lipat bila dibandingkan dengan nilai < 220 mg/dL (5,7 mmol/L). Sekitar 70% dari kolesterol
ini akan ditranspor dalam bentuk lipoprotein densitas rendah (LDL) dan pembentukan
aterosklerosis berhubungan erat dengan peningkatan kadar LDL. Kelainan pada reseptor
LDL akan menyebabkan aterosklerosis yang sangat dini. Faktor risiko khusus tampaknya
adalah lipoprotein (a) (=LDL yang mengandung apolipoprotein Apo(a). Apo(a) serupa
dengan plasminogen dan berikatan dengan fibrin sehingga Apo(a) dapat memiliki efek
antifibrinolitik dan trombogenik. (Perannya terhadap trigliserida dan lipoprotein
berdensitas tinggi (HDL).

3. Merokok
Merokok merupakan kontributor terbesar SKA, stroke, dan penyakit pembuluh darah
perifer, meskipun pada umunya perokok memiliki berat badan yang lebih rendah dan tekanan
darah yang relatif normal. Diperkirakan dari 500.000 angka kematian akibat SKA/tahun, 30-
40% adalah perokok. Studi Framingham menunjukkan bahwa pada pria yang merokok angka
kejadian kematian mendadak meningkat 10 kali lipat dan 5 kali lipat pada wanita perokok.

4. Obesitas
Semakin tinggi tingkat obesitas seseorang, semakin besar kemungkinan terjadinya
faktor risiko terjadinya faktor risiko lain seperti hipertensi dan diabetes. Dari suatu studi
terkini yang memeriksa 100.000 perempuan dengan rentang usia 30-55 tahun menunjukkan
bahwa risiko untuk penyakit jantung lebih tinggi 3x lipat pada perempuan yang obesitas.
5. Diabetes Melitus
Individu-individu dengan diabetes, terutama diabetes yang timbul saat usia dewasa,
mengalami kenaikan angka kejadian SKA dan stroke. Pasien dengan DM tipe II memiliki
kadar insulin dalam darah yang lebih tinggi dari normal akan tetapi sel-sel tidak respon lagi
terhadap insulin. Peningkatan insulin ini mengakibatkan terjadinya kenaikan tekanan darah
dan menumpuknya deposit lemak pada pembuluh darah, sehingga terjadi proses
aterosklerosis dan komplikasinya.

6. Kurangnya Aktifitas Fisik


Berolahraga rutin dan teratur memiliki efek kardioprotektif berupa berkurangnya sel
lemak yang dapat menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah, dan proses
peradangan pada pembuluh darah. Selain itu, juga akan mengurangi kebutuhan oksigen dan
meningkatkan kemampuan beraktifitas yang akan menurunkan risiko SKA.

2.1.4 PATOFISIOLOGI
Lapisan endotel pembuluh darah yang normal akan mengalami kerusakan karena
adanya faktor resiko antara lain, faktor hemodinamik seperti hipertensi, zat – zat
vasokontriktor, mediator (sitokin) dari sel darah, asap rokok, peningkatan gula darah dan
oksidasi oleh LDL-C. Kerusakan ini akan menyebabkan sel endotel menghasilkan cell
molecule adhesion seperti sitokin (IL-1), TNF alfa, kemokin (monocyte chemoattractant
factor-1), dan PDGF. Sel inflamasi seperti monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan
endotel dan bermigrasi dari endotelium ke sub endotel. Monosit kemudian berproliferasi
menjadi makrofag dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat aterogenik. Makrofag ini
terus membentuk sel busa. LDL yang teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan
menghasilkan respon inflamasi. Sebagai tambahan terjadi respon dari angiotensin II yang
menyebabkan gangguan vasodilatasi dan mengaktifkan efek protrombin dengan melibatkan
platet dan faktor koagulasi. Akibat kerusakan endotel terjadi respon protektif yang dipicu
oleh inflamasi dan terbentuk lesi fibrofatty dan fibrous. Plak yang stabil bisa menjadi tidak
stabil dan mengalami ruptur.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis seperti kolagen, ADP, epinefrin
dan serotonin memicu aktivitas trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain itu, aktivitas
trombosit memicu reseptor glikoprotein IIb/IIIa yang mempunyai afinitas tinggi terhadap
sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fibrinogen. Dimana keduanya adalah molekul multivalen yang mengikat platelet
yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian
akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombus dan fibrin.

Patogenesis pembentukan aterom


Sumber: Lilly, 2011

Pada infark miokard akut dengan ST elevasi umumnya terjadi penurunan aliran
darah koroner secara mendadak setelah oklusi trombus pada palk aterosklerosis yang telah
ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya
tidak memicu IMA STE karena tumbulnya banyak kolateral sepanjang waktu. Pada
sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau
ulserasi dan jika kondisi ruptur lokal akan menyebabkan oklusi arteri koroner. Penelitian
histologi menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous
cap yang tipis dan inti kaya lipid. Pada IMA STE gambaran klasik terdiri dari fibrin rich
red thrombus yang dipercaya menjadi dasar sehingga IMA STE memberikan respon
terhadap terapi trombolitik.
Fase Aterosklerosis
Sumber: Robbins, 2007

Gangguan plak aterom


Sumber: Lilly, 2011
2.1.5 KLASIFIKASI SINDROM KORONER AKUT
1. Angina Pektoris Tidak Stabil/Unstable Angina Pectoris (UAP)
Yang dimasukkan ke dalam UAP yaitu:
a. Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, di mana angina cukup berat
dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3x/hari.
b. Pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu
serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor
presipitasi makin ringan.
c. Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.
Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik:
Beratnya angina
• Kelas I: Angina yang berat untuk pertama kali atau makin bertambah beratnya nyeri
dada.
• Kelas II: Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi tak
ada serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.
• Kelas III: Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik sekali
atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.
Keadaan klinis
• Kelas A: angina tidak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau febris.
• Kelas B: angina tidak stabil primer, tak ada faktor extra cardiac.
• Kelas C: angina yang timbul setelah serangan infark jantung.
Intensitas pengobatan
• Tidak ada pengobatan atau hanya mendapat pengobatan minimal.
• Timbul keluhan, walaupun telah mendapat terapi yang standar.
• Masih timbul serangan angina, walaupun telah diberikan pengobatan yang maksimum,
dengan beta-bloker, nitrat, dan antagonis kalsium.

Diagnosis angina tidak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemia sedangkan
tidak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG
untuk iskemia, seperti adanya depresi segmen ST atau elevasi yang sebentar atau adanya
gelombang T inversi. Karena kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam, maka pada
tahap awal serangan, angina tidak stabil sering kali tida bisa dibedakan dengan NSTEMI.
Patofisiologi UAP/NSTEMI:
Lima proses patofisiologi yang berkontribusi dalam terjadinya UAP/NSTEMI:
1. Nonoklusif trombus pada plak yang sudah ada
Akibat dari agregasi platelet pada plak yang robek.
2. Obstruksi dinamik yang disebabkan oleh spasme koroner atau vasokonstriksi) pada tempat
plak aterosklerosis. Terjadi spasme lokal akibat hiperkontraksi otot polos vaskuler pada
disfungsi endotel.
3. Obstruksi mekanik yang progresif
Penyempitan berat tanpa spasme atau trombus. Terjadi aterosklerosis yang progresif,
restenosis setelah PCI.
4. Inflamasi atau infeksi
Terjadi suatu infeksi yang menyebabkan penyempitan destabilisasi plak, rupturnya plak,
dan terjadi trombogenesis.
5. UAP sekunder. Dapat
terjadi karena :
- Kondisi yang meningkatkan kebutuhan O2 seperti demam, takikardia, tirotoksikosis.
- Hipotensi sehingga menurunkan aliran arteri koronaria
- Berkurangnya suplai O2.

Pemeriksaan Fisik:
Sering normal pada pemeriksaan fisik pada kebanyakan pasien. Pemeriksaan fisik
yang dilakukan saat nyeri dada dapat ditemukan aritmia, gallop bahkan murmur, split S2
paradoksal, ronkhi basah di bagian basal paru, yang menghilang lagi pada waktu nyeri
sudah berhenti. Tanda-tanda aterosklerosis seperti sklerosis a. Carotis, aneurisma
abdominal, nadi dorsum pedis/tibialis posterior tidak teraba, penyakit valvular karena
sklerosis, adanya hipertensi, LVH, xatoma, kelainan fundus mata dan lain-lain.
Pemeriksaan Biomarker Jantung:
Tidak ada peningkatan CKMB maupun Troponin.

2. ACS NSTEMI (Acute Coronary Syndrome Non-ST Elevation)


Keluhan yang terjadi sama dengan UAP, yang membedakan hanyalah tidak terjadi
peningkatan enzim jantung pada UAP dan tidak ada gambaran spesifik ST depresi pada
UAP.
Pemeriksaan EKG:
• Gambaran ST depresi, horizontal maupun down sloping, yang lebih dari sama dengan
0,05mV pada dua atau lebih sadapan sesuai regio dinding ventrikelnya, dan/atau inversi
gelombang T lebih dari sama dengan 0,1 mV dengan gelombang R prominen atau rasio
R/S <1.
• Pada keadaan teretntu EKG 12 sadapan dapat normal, terutama pada iskemia posterior
(V7-V9) atau ventrikel kanan (sadapan V3R-V4R) yang terisolasi
• Dianjurkan pemeriksaan EKG serial setiap 6 jam untuk mendeteksi kondisi iskemia
yang dinamis

Gambaran khas EKG UAP/NSTEMI


Sumber: Lilly, 2011
Pemeriksaan Biomarker Jantung:
Peningkatan troponin T dan /atau CKMB (4-6 jam setelah onset)
3. ACS STEMI (Acute Coronary Syndrome ST-Elevation)
Presentasi klinis menyerupai SKA pada umumnya. Namun kadang pasien datang
dengan gejala atipikal: nyeri dada pada lengan atau bahu, sesak nafas akut, sinkop atau
aritmia. Pasien dengan STEMI biasanya telah memiliki riwayat angina atau PJK, usia
lanjut, dan kebanyakan laki – laki.
Pemeriksaan Fisik:
• Sebagian besar pasien gelisah dan cemas, ekstremitas pucat disertai keringat dingin,
kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya
STEMI
• Sekitar ¼ pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis
(takikardidan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark inferior menunjkkan
parasimpatis (bradikardi dan/atau hipotensi)
• S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas S1 dan split paradoksikal S2, murmur
midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi katup
mitral dan pericardial friction rub.
• Klasifikasi Killip dapat digunakan untuk mengevaluasi hemodinamik dan prognosis
pasien SKA

Pemeriksaan EKG:
• Elevasi segmen ST lebih dari sama dengan 0,1mV yang dihitung mulai dari titik J,
pada dua atau lebih sdapan sesuai regio dinding ventrikelnya. Namun khusus pada
sadpan V2-V3, batasan elevasi menjadi lebih dari sama dnegan 0,2 mV pada laki –
laki usia lebih dari sama dengan 40 tahun, lebih dari sama dengan 0,25 mV pada laki
– laki berusia < 40 tahun, atau lebih dari sama dengan 0,15 mV pada perempuan
• EKG pada STEMI merupakan EKG yang berevolusi. Sebagian besar pasien dnegan
presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada
EKG.
Perubahan Gambaran EKG pada ACS STEMI
Sumber: Lilly, 2011

Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG

Pemeriksaan Biomarker Jantung:


Peningkatan troponin T (untuk diagnosis akut) dan/atau CKMB (untuk diagnosis
dan melihat luas infark).

Sumber: Lilly, 2011


2.1.6 TATALAKSANA
- Tatalaksana Prehospital
1. Monitoring, dan amankan ABC, persiapkan RJP dan defibrilasi
2. Berikan aspirin, dan pertimbangkan okisgen, nitrogliserin, dan morfin jika
diperlukan
3. Pemasangan EKG 12 sadapan dan interpretasi
4. Lakukan pemberitahuan ke RS untuk melakukan persiapan penerimaan pasien
dengan STEMI
5. Bila akan diberikan fibrinolitik prehospital, lakukan check-list terapi fibrinolitik.

- Tatalaksana Hospital
Ruang Gawat Darurat (Penilaian awal di IGD < 10 menit)
1. Cek tanda vital, evaluasi saturasi oksigen
2. Pasang intravena
3. Lakukan anamnesis singkat, terarah, dan pemeriksaan fisik
4. Lengkapi check list fibrinolitik, cek kontraindikasi
5. Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit, dan pembekuan darah
6. Pemeriksaan sinar X (<30 menit setelah pasien sampai di IGD)
Terapi Awal di IGD
1. Segera berikan oksigen 4 liter/menit nasal kanul, pertahankan saturasi oksigen
> 90%
2. Berikan aspirin 160-325 mg
3. Nitrogliserin sublingual
4. Morfin IV jika nyeri dada tidak berkurang dengan nitrogliserin
Langkah-langkah reperfusi
BAB II

ILUSTRASI KASUS

I. Identitas Pasien
No. RM : 00025188
Nama : Ny. WH

Tempat, Tanggal Lahir : Blora, 05 Februari 1954

Jenis Kelamin : Perempuan


Agama : Islam
Alamat : Jl. Karang Pola I Dalam Pasar Minggu
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : IRT
Status : Sudah Menikah
Masuk Ruangan : 7 April 2019

II. Anamnesis Pasien


a. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada kiri sejak 7 jam SMRS.

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati dengan keluhan nyeri dada kiri
dirasakan sejak 7 jam SMRS. Nyeri dada dirasakan dibagian tengah dada seperti
ditonjok, nyeri menjalar ke daerah bahu kiri. Nyeri terasa hilang timbul dan dirasakan
± 20 menit. Pasien mengaku sebelum merasakan nyeri, pasien mengangkat benda
berat. Nyeri tidak berkurang apabila pasien istirahat. Selain nyeri pasien juga
mengeluhkan keringat dingin, mual, muntah dan batuk.
Saat di IGD RSUP Fatmawati pasien diberikan obat dibawah lidah dan nyeri
membaik. Keluhan kaki bengkak, nyeri ulu hati, demam tidak ada. Pasien dapat tidur
dengan 1 bantal, tidak ada riwayat terbangun malam hari saat tidur karena sesak.
Pasien memiliki riwayat Hipertensi tapi jarang minum obat.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami keluhan nyeri dada kiri sebelumnya. Pasien juga
memiliki riwayat hipertensi. Riwayat sakit paru-paru lama, hati, ginjal disangkal,
riwayat alergi dan asma disangkal.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu dan ayah pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi. Riwayat sakit
jantung, hati, ginjal, alergi dan asma disangkal dalam keluarga.
e. Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien merupakan seorang Ibu Rumah Tangga. Pola makan teratur 2 kali sehari.
Pasien suka minum kopi dan makan gorengan. Pasien tidak pernah merokok,
konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang. Pasien jarang berolahraga.
III. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum :Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital : TD: 147/80 mmHg, HR 98x /menit, RR 20x/menit T
36,5’C
Antropometri : BB 65 Kg TB 153 cm, IMT 28
Kepala Normochepali
Mata Kelopak matacekung (-/-),konjungtivaanemis (-/-),
skleraikterik (-/-)
Hidung cavumnasilapang +/+, choncaedem -/-, hiperemis -/-,
sekret-/-, deviasi -/-
Mulut Mukosalembab, Lidahkotor (-), sianosis (-),
gigiberlubang (-), karies (-)
Leher Trakea di tengah, pemebesaran KGB (-), tiroid (-), JVP
5+2 mmH20, penggunaan otot bantu napas (-)
Thorax Tidak terdapat retraksi sela iga
Paru I :Pergerakan dada simetrisstatisdandinamis
P: nyeritekan (-/-), ekspansi dada simetris saat statis
dan dinamis
P: sonor diseluruh lapang paru
A: vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki-/-
Jantung I: ictus kordis tidak terlihat
P: Ictus kordis teraba pada ICS V midklavikula sinistra,
thrill (-), heaving (-), lifting (-)
P: Batas kanan jantung ICS V linea parasternalis dextra,
batas kiri jantung ICS V linea midclavicular sinistra 1
jari medial
A: BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen I: Datar
A: Bisingusus (+) normal
P: Supel, nyeritekan (-),tidakterabamassa,, hepar tidak
teraba,spleen tidakteraba
P: timpanidiseluruhlapang abdomen
Ekstremitas Akral hangat, CRT <2 detik, edema -/-

IV. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium (07/04/2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan NilaiRujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13.4 g/dL 13,2-17,3
Hematokrit 41 % 33-45
Leukosit 11.5 ribu/uL 5,0-10,0
Trombosit 375 ribu/uL 150-440
Eritrosit 4.70 juta/Ul 4.40-5.50
VER 86.6 Fl 80-100
HER 28.5 pg 26-34
KHER 32.8 g/dL 32-36
RDW 14.1 % 11.5 – 14.5
Ureumdarah 36 Mg/dl 20-40
Kreatinindarah 0.8 Mg/dl 0,6-1,5
CK 126 U/l <= 175
CK-MB 35 U/l 7-25
Troponin-I 0.01 ng/ml <0,02
Natrium 137 Mmol/l 135-147
Kalium 3,87 Mmol/l 3,10-5,10
Klorida 109 Mmol/l 95-108
Pemeriksaan EKG (07/04/19)

Kalibrasi : 25 mm/s, 10 mm/mV

Irama : Sinus rhytm


Regularitas : Regular
Laju QRS : 65x/menit
Axis : Normoaksis
Gel. P : Normal (0,08 s)
Interval PR : Normal (0,2 s)
Kompleks QRS : Normal (0,08 s)
Segmen ST : ST elevasi di Lead II, III, AVF, V1
ST depresi di V3, V4, V5
Gel. T : T inverted di V1 -V5
Kesan : Infark Miokard Inferior
Pemeriksaan Foto Thorax

(12/4/2019)

Interpretasi
1. Posisi : Posterior-Anterior
2. Kualitas foto :
Simetris dilihat dari kedua clavicula tampak
sejajar
Inspirasi maksimal : tampak costae VII
(anterior) dan costae 10 (posterior)
intensitas cukup : terlihat processus spinosus
thorakal 3
3. Jaringan lunak : tidak tampak adanya emfisema
subkutis
4. Tulang: tidak tampak adanya fraktur
5. Trakea tampak di tengah
6. Paru :
- Hilus kedua paru tidak menebal
- Corakan bronkovaskular normal
- Tidak tampak adanya infiltrate/nodul di kedua lapang paru
7. Jantung :
CTR : 52% ( > 50%) = Kardiomegali
Aorta elongasi dan kalsifikasi
Mediastinum superior tidak melebar
8. Sudut costofrenikus kanan dan kiri normal, sudut kardiofrenikus lancip.
9. Diafragma : berbentuk kubah
10. Gambaran double contour (-), gambaran boot shape appearance (-)
Kesan : Kardiomegali dengan elongasi dan kalsifikasi aorta
Tidak tampak kelainan radiologis paru
V. Resume
Pasien perempuan berusia 65 tahun datang ke IGD RSUP Fatmawati dengan
keluhan nyeri dada kiri sejak 1 hari SMRS. Nyeri dada dirasakan dibagian tengah dada
seperti ditonjok, nyeri menjalar ke daerah bahu kiri dan lengan kiri. Nyeri terasa hilang
timbul dan dirasakan > 20 menit. Pasien mengaku sebelum merasakan nyeri, pasien
mengangkan benda berat. Keluhan nyeri tidak berkurang apabila pasien istirahat. Selain
nyeri pasien juga mengeluhkan keringat dingin, mual, muntah dan batuk.
Saat di IGD RSUP Fatmawati pasien diberikan obat dibawah lidah dan nyeri dada
dirasa berkurang. Keluhan kaki bengkak, nyeri ulu hati, demam tidak ada. Pasien dapat
tidur dengan 1 bantal, tidak ada riwayat terbangun di malam hari saat tidur karena sesak.
Pasien memiliki riwayat Hipertensi sejak -+ 10 tahun dan Penyakit Jantung.

Riwayat keluhan serupa belum pernah dialami oleh pasien. Ibu dan ayah pasien
memiliki riwayat penyakit hipertensi. Pola makan teratur 2 kali sehari. Pasien suka
minum kopi dan jarang berolahraga.

Pada pemeriksaan fisik di Ruang bangsal teratai selatan lt. 6 tanggal 15 April 2019
ditemukan tampak sakit sedang, tekanan darah 147/80 mmHg, pemeriksaan lain dalam
batas normal.

Pada pemeriksaan penunjang di dapatkan peningkatan biomarker jantung CK-MB :


35 U/I. Pada foto rontgen thoraks didapatkan kesan kardiomegali, dan pada EKG
didapatkan kesan infark miokardium inferior .
VI. Diagnosis
a. ACS STEMI Inferior

VII. Pemeriksaan Anjuran

 Laboratorium – Darah lengkap, enzim


 Foto Thorax
 EKG
 Echocardiogram

VIII. Manajemen tatalaksana


a. Tirah baring
b. Observasi tanda vital
c. Optimalisasi terapi anti Iskemik

d. EKG/24 jam

e. BC/24 jam

Terapi Suportif
Infus Nacl 0,9% 500 cc/24 jam

Medikamentosa
a. Aspilet 1x 80 mg PO
b. Clopidogrel 1x 75 mg PO
c. ISDN 3 x 5 mg PO
d. Amlodipin 1 x 10 mg PO
e. Atorvastatin 1 x 20 mg PO
f. Lovenox 2 x 0,6 cc S
IX. Edukasi

a. Menjelaskan penyakit yang diderita oleh pasien

b. Menjelaskan pengobatan yang akan dilakukan oleh pasien mengenai waktu pengobatan
dan efek samping obat.

c. Edukasi teratur minum obat


d. Edukasi perilaku hidup sehat meliputi, pola makan sehat, meningkatkan kegiatan jasmani
dan latihan jasmani teratur

e. Pemantauan Tanda Vital Mandiri untuk menilai keberhasilan pengobatan.

X. Prognosis

a. Ad Vitam : dubia ad bonam

b. Ad functionam : dubia ad malam


c. Ad sanationam : dubia ad malam
BAB III
ANALISA KASUS

ACS STEMI
3.1. Penegakkan Diagnosis
a. Anamnesis
- Usia: 65 tahun
- Jenis kelamin: Perempuan
- KU: Pasien mengeluh nyeri dada kiri sejak 7 jam SMRS. Nyeri dada dirasakan seperti
ditonjok, tidak berkurang dengan istirahat. Durasi nyeri dada >20 menit. Nyeri
menjalar hingga daerah bahu kiri dan lengan kiri. Pasien mengaku sebelum merasakan
nyeri, pasien mengangkat benda berat. Keluhan juga disertai dengan keringat dingin
hingga membasahi seluruh tubuh, mual hingga muntah dan batuk.

Gejala nyeri dada di atas merupakan gejala khas penyakit jantung koroner, yaitu
angina pektoris yang timbul setelah aktivitas berat dan membaik setelah pemberian obat
sublingual.
Faktor Risiko: Pasien mengatakan bahwa pasien menderita Hipertensi sejak -+ 10
tahun, tapi jarang minum obat hipertensi.
Pada kasus dapat ditemukan faktor risiko PJK yang dapat dimodifikasi yakni
Hipertensi. Ditemukan juga faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yakni faktor usia.

b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik di Ruang bangsal teratai selatan lt. 6 tanggal 15 April 2019
ditemukan tampak sakit sedang, tekanan darah 147/80 mmHg, inspeksi jantung tidak
terlihat ictus cordis, auskultasi jantung BJ I dan II regular, murmur (-), gallop (-).
Pada kasus ditemukan bahwa pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak -+ 10
tahun, tapi jarang minum obat hipertensi. Riwayat hipertensi sejalan dengan teori bahwa
hipertensi adalah salah satu dari faktor yang mencetus terjadinya iskemia miokardium.
Karena peningkatan tekanan darah dapat mengakibatkan disfungsi endotel. Akibat
kerusakan endotel terjadi respon protektif yang dipicu oleh inflamasi dan terbentuk lesi
fibrofatty dan fibrous. Plak yang stabil bisa menjadi tidak stabil dan mengalami ruptur.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis seperti kolagen, ADP, epinefrin dan
serotonin memicu aktivitas trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain itu, aktivitas trombosit memicu
reseptor glikoprotein IIb/IIIa yang mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada
protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen. Dimana
keduanya adalah molekul multivalen yang mengikat platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi. Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan
tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi
protrombin menjadi trombin yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri
koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat
trombus dan fibrin. Oklusi inilah yang menyebabkan penurunan suplai darah arteri coroner ke
miokardium yang akan menyebabkan infark.

c. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan terjadinya peningkatan biomarker jantung, yakni CK-MB

Jantung 07/04/2019
CK 126
CK-MB 35
Trop I 0.01

Peningkatan terjadi dikarenakan CK-MB memiliki level puncak > 24 jam (CK 10
– 36 jam, CK-MB 24 jam, troponin T 12 jam – 2 hari, troponin I 24 jam), dan baru mulai
kembali normal kurang lebih setelah 2 hari. Pada foto thorax ditemukan tanda
kardiomegali dengan CTR 52%. Kardiomegali menandakan sudah adanya pembesaran
dari ventrikel kiri sebagai kompensasi jantung terhadap kejadian hipertensi yang dialami
pasien. Pada EKG ditemukan ST elevasi di Lead II, III, aVF, V1, ST depresi di V2, V3,
V4 dan terdapat T inverted di V1-V5. ST elevasi menandakan suatu jejas miokardium
dan telah mengalami infark sedangkan ST depresi dan T inverted terjadi karena adanya
reaksi perubahan berlawanan yang dicatat oleh sadapan yang jauh. Hal ini disebut
perubahan resiprokal, yang terjadi pada segmen ST dan gelombang T. Dengan demikian,
sadapan yang terletak jauh dari infark dapat merekam depresi segmen ST dan T inversi.
Pada hasil laboratorium juga ditemukan bahwa biomarker jantung sudah meningkat. Hal
ini menunjukkan bahwa pasien telah mengalami infark miokardium. Pada pemeriksaan
EKG, kita dapat menyingkarkan diagnosis banding yaitu ACS NSTEMI, karena terdapat
ST elevasi pada EKG.
d. Tatalaksana

Untuk alur tatalaksana yang dipakai adalah :

Gambar 19. Algoritma penatalaksanaan ACS.


Sumber: Acute coronary syndrome algorithm, AHA 2017.3

Di IGD RSUP Fatmawati penatalaksanaan yang digunakan adalah O2 4 liter/menit,


aspilet 1 x 80 mg, ISDN 5 mg, dan atavarstatin mg. Aspilet digunakan untuk analgesik dalam
mengatasi nyeri pasien sekaligus untuk antiplatelet, menghambat terbentuknya agregasi
trombosit sehingga menghambat pula pembentukan thrombus yang menyempurnakan terjadi
penyumbatan arteri koroner.

Di Bangsal teratai selatan, penatalaksanaan yang diberikan adalah tirah baring, untuk
mencegah aktivitas berlebihan. Kontrol balance cairan perhari untuk mengatur cairan yang
dikonsumsi dan dikeluarkan pasien. NaCl 0,9% atau normosaline diberikan karena dengan
asupan cairan biasa tidak cukup untuk kebutuhan cairan pasien. Serta diberi medikamentosa
Clopidogrel 1x75 mg, aspilet 1 x 80 mg, atorvastatin 1x20 mg, ISDN 3x5 mg, amlodipine 1x10
mg, dan lovenox 2x0.6cc
Lovenox atau enoxaparine diberikan sebagai antikoagulan untuk mencegah terjadinya
thrombosis yang dapat memperparah penyakit jantung pasien, ditambah usia pasien yang tua
meningkatkan faktor risiko terjadinya thrombosis.
Aspilet digunakan untuk antiplatelet, mencegah terjadinya agregasi trombosit sehingga
terbentuknya thrombus. Clopidogrel juga berperan sebagai antiplatelet, mencegah terjadinya
agregasi trombosit. ISDN atau nitrat diberikan untuk merelaksasi pembuluh darah, sehingga
tidak terjadi sumbatan arteri koronaria. Namun karena pasien memiliki riwayat hipertensi, tetap
kontrol tekanan darah dengan pemberian amlodipin. Untuk atorvastatin digunakan untuk
menghambat sintesis kolesterol dalam hati dan meningkatkan reseptor LDL di berbagai sel,
sehingga LDL plasma menurun. Atorvastatin dipakai untuk mencegah terjadinya aterosklerosis
kembali. Semua terapi di atas sudah diberikan sesuai teori di atas.
Untuk prognosis, dengan penatalaksanaan yang baik, pasien masih dapat hidup dan lepas
dari masalah kegawatdaruratan. Oleh karena itu, prognosis ad vitam adalah bonam, ad
fungsionam adalah dubia at malam, ad sanasionam adalah dubia at malam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Acute coronary syndrome algorithm, AHA 2015

2. Braunwald, Eugene. ST-Segmen Myocardial Infarction in Harrison's Principles of


Internal Medicine.16th ed. 2005. pg 1448-59.

3. Patophysiology of Heart Disease, 5th edition, Colaborative project, editor Leonard S.


Lilly.

4. Kumar, Abbas, Fausto. Pathologic Basis Of Disease. Seven edition. Philadelphia.


Elseviers Saunders. 2005.

5. Silbernagl Stefan, Florian Lang. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Alih bahasa : Iwan
Setiawan, Iqbal Mochtar, editor edisi bahasa Indonesia, Titiek Resmisari. Jakarta :
EGC.2006. hal 236-9.
6. ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients
presentingwithout persistent ST-segment elevation. European Heart Journal. 2017
7. Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut, PERKI 2017.

Anda mungkin juga menyukai