Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN KASUS

ST-ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION (STEMI)

FREDERICH BUTARBUTAR 18010017


LUCKY PESTA ULI DAMANIK 18010045
DEVI INDO THENRI 18010046

PEMBIMBING:
dr. ZULFAHMI, M.Ked (Kard), Sp.JP, FIHA
dr. MASTA NOVA GINTING, M.Ked (Kard), Sp.JP

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DELI SERDANG LUBUK PAKAM


DEPARTEMEN KARDIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan gabungan dari gejala yang
ditunjukkan dengan kelompok mulai dari ST-segment Elevation Myocardial
Infarction (STEMI) hingga nonST-segment Elevation Myocardial Infarction
(NSTEMI) atau pada Unstable Angina Pectoris (UAP).1
Tanda dan gejala pada ACS dapat terjadi karena “jeritan” otot jantung yang
merupakan sakit dada. Ini adalah akibat dari tidak adanya keseimbangan antara
kebutuhan oksigen miokard dan kemampuan pembuluh darah menyediakan
oksigen secukupnya untuk kontraksi miokard.2
Meskipun angka kematian penyakit jantung coroner telah menurun selama
empat decade terakhir dinegara-negara barat, kondisi ini tetap bertanggung jawab
untuk sepertiga dari semua kematian pada individu diatas usia 35 tahun. Statistik
penyakit jantung coroner AHA 2016 melaporkan bahwa 15,5 juta orang di Amerika
Serikat mempunyakit penyakit jantung koroner. Prevalensi yang dilaporkan
meningkat dengan bertambahnya usia wanita dan pria. Kematian akibat penyakit
kardiovaskular telah menurun di Amerika Serikat dan di Kawasan dimana ekonomi
dan sistem kesehatan relatif maju.3
Lebih dari 9 juta kematian yang disebabakan oleh penyakti tidak menular
terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% kematian “dini” tersebut terjadi dinegara
berpenghasilan rendah dan menengah. Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi
penyakit jantung coroner di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,5% atau diperkirakan
sekitar 883.447 orang, sedangkan berdasarkan diagnosis/gejala sebesar 1,5% atau
diperkirakan sekitar 2.650.340 orang.4
Karateristik utama sindrom coroner akut segmen ST elevasi adalah angina
tipikal dan perubahan EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostic untuk infark
miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI). Sebagian besar pasien STEMI
akan mengalami peningkatan biomarka jantung, sehingga berlanjut menjadi infark
miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI). Oleh karena itu pasien dengan EKG
yang diagnositk untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil
pemeriksaan biomarka jantung tersedia.5
Sindrom coroner akut merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama
karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi.
Banyak kemajuan yang telah dicapai melalui penelitian dan oleh karenanya
diperlukan referat sebagai pengulangan kembali.

1.2. Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada laporan kasus ini adalah bagaimana perjalanan
klinis, penegakan diagnosa dan penatalaksanaan pada pasien dengan penyakit
jantung coroner terkhusus STEMI?

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Memahami teori ilmu kedokteran mengenai penyakit jantung koroner
terkhusus STEMI.
2. Menerapkan teori kedokteran dengan kasus penyakit jantung koroner
terkhusus STEMI.
3. Mengintegrasikan teori kedokteran dengan penerapannya pada kasus
penyakit jantung koroner terkhusus STEMI.

1.4. Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Sebagai referensi untuk menambah pengetahuan di bidang kedokteran
terutama tentang penyakit jantung koroner.
2. Sebagai media integrasi teori kedokteran dengan aplikasinya pada kasus
penyakit jantung koroner.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Acute Coronary Syndrome


Definisi
Acute Cornary Syndrome (ACS) telah berkembang sebagai istilah
operasional yang mengacu pada spektrum kondisi yang kompatibel dengan iskemia
mikard akut dan atau infark yang biasanya disebabkan oleh penuruanan otiba-tiba
dalam aliran darah coroner.1

Faktor Risiko
Secara global faktor risiko dibagi menjadi faktor risiko yang tidak bisa
dirubah (unmodified risk faktor) seperti : usia lanjut, laki-laki dan riwyat keluarga.
Dan faktor risiko yang bisa diubah (modified risk factors) seperti : dyslipidemia,
merokok, hipertensi, DM/sindrom metabolic, dan akifitas fisik yang kurang. Selain
itu dikenal pula faktor risiko yang baru (noval risk faktor), seperti high sensitive C-
Reactive Protein (hsCRP), Lipoprotein-a (LP-a), fibrinogen, honositein,
apolipoprotein-B (apo-B), dll.6
Faktor risiko kardiovaskular6
Dapat diubah Tidak dapat diubah
Dilipidemia (LDL meningkat, HDL Usia lanjut (pria>45tahun;
menurun) wanita>55 tahun)
Merokok Jeniskelamin laki-laki
Hipertensi (TD>140/90 mmHg atau Riwayat penyakit jantung coroner
dalam pengobatan anti hipertensi) dini dalam keluarga (penyakit
jantung coroner pada laki-laki
keturunan keluarga pertama yang
berusia <55 tahun; penyakit jantung
coroner pada perempuan kerutunan
keluarga pertema yang berusia
<65tahun)
Diabetes melitus, sindrom
metabolic
Kurang aktivitas fisik

Patofisiologi
Proses ateroskelrosis sebenarnya sudah simulai sejak masa anak-anak.
Guratan lemak (fatty streak) sudah muncul di tunika intima aorta pada anak usia 3
tahun. Guratan lemak ini bisa berkembang lebih lanjut atau tetap atau mengkin bisa
regresi. Pada pembuluh darah anak baru lahir ditemukan guratan lemak dan lesi
aterosklerosis awal dengan predileksi tempat yang sama dengan dewasa, dan ini
berhubungan dengan kadar kolesterol ibu.1,2,6
Proses aterosklerosis diawali dari berubahnya bentuk koleterol LDL (k-
LDL) menjadi aterogenik mungkin setelah proses oksidasi dan berubah menjadi
LDL yang teroksidasi (Ox LDL). Di sisi lain pada daerah-daerah rawan/predileksi
aterosklerosis (misalnya: aorta dan arteri coroner) endotel bisa mengalami
gangguan (intak tetapi bocor) sehingga menjadi aktif dan terjadi gangguan fungsi,
lama kelamaan bisa terjadi deendotelisasi dengan atau tanpa disertai proses adesi
trombosit. Berdasarkan ukuran dan konsentrasinya, molekul plasma dan partikel
lipoprotein lain bisa melakukan ektravasasi melalui endotel yang rusak/bocor dan
masuk ke ruang subendotelial. LDL yang aterogenik (Ox LDL) akan tertahan dan
berubah menjadi bersifat sitotiksik, proinflamasi, khemotaktik dan proaterogenik.
Karena pengaruh aterogenesis dan stimuli inflamasi tersebut endotel menjadi aktif.
Endotel akan mengeluarkan sitokin. Nitrogen monoksida (NO) yang dihasilkan
endotel menjadi berkurang sehingga fungsi dilatasi endotelpun akan berkurang,
selain itu juga akan mengeluarkan sel-sel adesi (Vasvular Cell Adhesion Molecule-
1, InterCellular Adhesion Molecule-1, E selectin, Pselectin) dan menangkap
monosit dan sel T. monosit akan berubah menjadi makrofag yang akan menangkap
Ox-LDL dan berubah menjadi sel busa (foam cell) yang kemudian akan
berkembang menjadi inti lemak (lipid core) dan mempunyai pelindung fibrosa
(Fibrouse cap). Pelingung fibrousa (PF) ini bisa rapuh sehingga memicu proses
trombogenesus yang berakibat terjadinya sindrom coroner akut (ACS) gangguan
fungsi dilatasi endotel inilah yang diaggap sebagai disfungsi endotel. Dan sel
apototik yang dihasilkan oleh Ox-LDL akan menyebabkan instabilitas/plak dan
memicu terbentuknya thrombus.6
Sebagian besar ACS adalah manifestasi akut dari plak aterosklerosis yang
koyak atau pecah akibat perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrosa
yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oelh proses agregasi
trombosit dan aktivasi jalur koagulasi sehingga terbentuk thrombus yang kaya
trombosit (white thrombus). Thrombus ini akan menyumbat lubang pembuluh
darah coroner, baik secara total maupun parsial atau menjadi miroemboli yang
menyumbat pembuluh coroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelebasan zat
vasoaktif yang menyebabkan vasokotriksi sehingga memperberat gangguan aliran
darah coroner. Berkurangnya aliran darah coroner menyebabkan iskemia
miokardium. Suplai oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit
menyebabkan miokardium mangalami nekrosis (infark miokard/IM).5,6
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
coroner. Sumbatan subtotal yang disertai vasokotriksi yang dinamis juga dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Selain nekrosis, iskemia juga menyebabkan gangguan kontrktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stuning (setelah iskemia hilang), serta disaritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). 5,6

Klasifikasi Acute Coronary Syndrome


Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG), dan pemeriksaan biomarka jantung, Acute Coronary Sydrome dibagi
menjadi5,6 :
1. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI)
2. Infark miokard akut non-elevasi segmen ST (NSTEMI)
3. Angina pektoris tidak stabil (UAP)
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) merupakan indicator
kejadian oklusi total pembuluh darah arteri coroner. Keadaan ini memerlukan
tindakan revaskularisasi untuk mengembalikkan aliran darah dan reperfusi miokard
secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara
mekanis melalui intervesi coroner perkutan primer. Diagnose STEMI ditegakkan
jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten
di 2 sadapat yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak perlu
menunggu hasil peningkatan biomarka jantung. 5,6
Diagnosa NSTEMI dan UAP ditegakkan jika terdapat keluahan angina
pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang menetap di 2 sadapan yang bersebelah.
Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang
T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalisasi atau bahkan tanpa
perubahan. UAP dan NSTEMI dibedakan berdasarkan haisl pemeriksaan biomarka
jantung. Biomarka jantung yang lazim digunakan adalah high sensitivity troponin,
troponin, atau CKMB. Bila hasil pemeriksaan biomarka jantung terjadi peningkatan
yang bermakna, maka diagnosanya infark morkard akut tanpa elevasi segmen ST,
jika biomarka jantung tidak meningkat secara bermakna maka diagnosanya UAP.
Pada sindrom kornoner akut, nilai ambang untuk peningkatan biomarka jantung
yang abnormal adalah beberapa unit melibih nilai normal atas (upper limit of
normal/ULN). 5,6
Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau
menunjukkan kelainan non-diagnostik sementara angina masih berlangusng, makan
pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Juka EKG tetap menunjukkan
gambaran non-diagnosteik sementara keluahan angina sangat sugestif ACS, maka
pasein dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang setiap terjadi angina berulang atau
setidaknya 1 kali dalam 24 jam. 5,6

Perbedaan UAP, NSTEMI, dan STEMI1,2,5,6


UAP NSTEMI STEMI
Gejala Gejala Angina pada Gejala Angina Gejala Angina
saat istirahat pada saat istirahat pada saat istirahat
EKG Depresi segmen ST, Depresi segmen Elevasi segmen
inversi gelombang ST, inversi ST yang persisten
T, gelombang T gelombang T,
yang datar, gelombang T yang di 2 sadapat yang
gelombang T datar, gelombang bersebelahan
pseudo-normalisasi T pseudo-
atau bahkan tanpa normalisasi atau
perubahan bahkan tanpa
perubahan
Biomarka Tidak meningkat Peningkatan yang Ada atau
Jantung secara bermakna bermakna tidaknya
peningkatan yang
bermakna segera
revaskularisasi

2.2. STEMI
STEMI merupakan sindroma klinis yang dididefinisikan dengan tanda
gejala dan karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten ST
elevasi dan pengeluaran biomarker dari nekrosis miokard. Cardiac troponin
merupakan biomarker yang digunakan untuk diagnosis infark miokard. STEMI
merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih
luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi
segmen ST pada EKG.

Manifestasi Klinis STEMI


Keluhan pasien dengan iskemi miokard berupa nyeri dada typical (angina
typical) atau atypical (angina equivalen). Keluhan angina typical berupa rasa
tertekan atau berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
intraskapular, bahu atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermitten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina typical
sering disertai keluhan penyerta seperti mual,muntah,nyeri abdominal, dan sinkop.
Keluhan angina atipikal yang sering dijumpai
Gejala-gejala umum iskemia dan infark miokard adalah nyeri retrosternal.
Yang perlu diperhatikan dalam evaluasi keluhan nyeri dada iskemik SKA adalah :
1. Lokasi nyeri; di daerah retrosternal dan pasien sulit melokalisasi rasa
nyeri.
2. Onset nyeri : sejak kapan nyeri dada sudah dirasakan.
3. Karakteristik nyeri; pasien mengeluh rasa berat seperti dihimpit,
ditekan, diremas, panas atau dada terasa penuh. Keluhan tersebut lebih
dominan dibandingkan rasa nyeri yang sifatnya tajam. Perlu diwaspadai
juga bila pasien mengeluh nyeri epigastrik, sinkope atau sesak napas
(equivalent angina)
4. Penjalaran nyeri; penjalaran ke lengan kiri, bahu punggung,
epigastrium, leher rasa tercekik atau rasa ngilu pada rahang bawah dan
penjalaran ke lengan kanan atau kedua lengan
5. Lama nyeri; nyeri pada SKA berlangsung lama lebih dari 20 menit.
6. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan.
7. Gejala sistemik; disertai keluhan seperti mual, muntah atau keringat
dingin.
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum
yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke
leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di
dada. IMA sering didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien.
Namun, nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang
ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang
dengan pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah, pasien juga sering
mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%) IMA tidak
menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama terjadi pada pasien dengan
diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut.
Namun harus dibedakan dengan nyeri dengan gambaran di bawah ini yang
bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada nonkardiak) :
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau
batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah
apeks ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah

Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin dilakukan pada semua
pasien yang memiliki keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada
iskemia. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada
iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada
semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan
yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk
pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pasien SKA
dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet)
baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi.
Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera
mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
Gambar 2.1 Evolusi Gelombang EKG pada STEMI

Tabel 2. Lokasi Miokard Infark Berdasarkan Gambar EKG


No Lokasi Gambaran EKG
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-
1 Anterior
V4/V5
2 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6
3 Anterolateral
dan I dan aVL
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6
4 Lateral dan inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I
dan aVL
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
5 Inferolateral
aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, dan
6 Inferior
aVF
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
7 Inferoseptal
aVF, V1-V3
Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST
8 True posterior
depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2
Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R).
9 RV Infraction
Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam pertama
infark.

b. Marka jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis
miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T
sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi
dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis
miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit
tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh
sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal
jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak
yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas,
penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan
insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi
yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi
ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari
troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan
hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat
ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada
seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah)
dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat,
CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun
infark periprosedural.
Pemeriksaan troponin I/T adalah biomarker paling sensitif dan spesifik
sehingga menjadi standar baku emas dalam diagnosis NSTEMI/STEMI, di mana
peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam
setelah onset. Peningkatan kadar troponin biasanya menetap dalam 2 hingga 3 hari,
namun bisa tetap meningkat hingga 2 minggu bila terjadi nekrosis luas. Kadar
troponin bisa saja belum meningkat dalam 6 jam setelah onset gejala, sehingga jika
didapatkan hasil negatif pada pemeriksaan pertama, perlu dilakukan pemeriksaan
ulang dalam 8 hingga 12 jam setelah onset gejala.18
Jika pemeriksaan troponin tidak dapat dilakukan, maka dapat digunakan
penilaian Musscle and Brain fraction of Creatinin Kinase (CK-MB) yang akan
meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan
menetap hingga 2 hari.

Gambar 2.2 Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung

c. Cardiac Imaging
a) Echocardiography
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography
hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak
dapat dibedakan dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat
akut dengan echocardiography, prosedur ini masih digunakan karena
keamanannya. Ketika tidak terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI,
deteksi awal akanada atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding
dengan echocardiography dapat digunakan untuk mengambil keputusan,
seperti apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi. Estimasi
echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam segi
prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi
terapi dengan inhibitor RAAS. Echocardiography juga dapat
mengidentifikasi infark pada ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler, efusi
pericardial, dan thrombus pada ventrikel kiri. Selain itu, Doppler
echocardiography juga dapat mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan
regurgitasi mitral, dua komplikasi STEMI.

b) High resolution MRI


Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high resolution cardiac MRI.

d. Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner)


Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan
tingkat keparahan penyakit jantung koroner, sehingga sebaiknya segera dilakukan
untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding
yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri
sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang sedang mengalami gejala atau
peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG diagnostik.
Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka dengan
stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular
yang serius, angiografi koroner disertai perekaman EKG dengan abnormalitas
gerakan dinding regional seringkali memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi
penyebab. Penemuan angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang
ireguler, ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect yang mengesankan
adanya trombus intrakoroner.
e. Pemeriksaan Laboratorium
Selain pemeriksaan marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat
darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah,
tes fungsi ginjal, dan panel lipid.
f. Pemeriksaan Foto Polos Dada
Tujuan dilakukan pemeriksaan ini adalah untuk membuat diagnosa banding,
identifikasi komplikasi, dan penyakit penyerta.
Diagnosis STEMI
Diagnosis infark miokard akut dengan elevasi segmen ST menurut
European Society Of Cardiology/ACCF/AHA/World Heart Federation Task Force
for The Universal Definition Of Myocardial Infarction ditegakkan berdasarkan
anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST baru pada
titik J ≥ 2 mm[ pada pria atau ≥ 1.5 mm pada wanita, minimal pada dua sadapan
V2-V3 dan atau ≥ 1 mm pada sandapan dada yang lain atau sadapan ekstremitas.
Jejas pada miokard dapat dideteksi dari biomarker spesifik jantung
berupapeningkatan kadar Cardiac Specific Troponin (cTn) dan Creatine Kinase MB
(CKMB) dalam darah. cTn memiliki sensitifitas yang tinggi serta cukup spesifik.
Terdapat dua jenis troponin, yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah
dua jam bila terjadi infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam. cTn T
masih dapat dideteksi dalam kurun waktu 5-14 hari pasca infark, sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari. Apabila pemeriksaan cTn tidak tersedia, alternatif terbaik lainnya
adalah pemeriksaan CKMB. CKMB meningkat setelah tiga jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam waktu 10-24 jam dan kembali normal dalam
2-4 hari.

Tatalaksana STEMI
Tujuan utama tatalaksana STEMI adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
penunjang. Terdapat beberapa pedoman dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST
yaitu dari ACC/AHA tahun 2013 dan ESC tahun 2012, tetapi perlu disesuaikan
dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang
ada.
Gambar. 2.3 Alur Diagnosis dan Tatalaksana STEMI
Pasien dengan STEMI harus segera dibawa ke pelayanan kesehatan dalam
1,5 – 2 jam setelah terjadinya gejala untuk mendapatkan medikamentosa sedini
mungkin. Pasien dengan STEMI harus dilakukan terapi reperfusi dalam 12 jam
awal. Terapi fibrinolitik diindikasikan sebagai terapi reperfusi awal yang dilakukan
pada 30 menit awal dari kedatangan di rumah sakit
Berdasarkan ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients with
ST-Elevation Myocardial Infarction (2013), tatalaksana pasien STEMI dijabarkan
sebagai berikut :
1. Pemberian Oksigen
Suplementasi oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <
94%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama
6 jam pertama.
2. Nitrogliserin
Pasien dengan nyeri iskemik di dada harus diberikan nitrogliserin sublingual 0,4
mg setiap 5 menit dengan dosis maksimal 3 dosis. Setelah melakukan penialaian
seharusnya dievaluasi akan kebutuhan nitrogliserin intravena.
3. Analgesik
Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan dosis 2 – 8 mg
IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit) merupakan pilihan utama untuk
manajemen nyeri yang disebabkan STEMI.
4. Aspirin
Aspirin kunyah harus diberikan pada pasien yang belum pernah mendapatkan
aspirin pada kasus STEMI. Dosis awal yang diberikan 162 mg sampai 325 mg.
Selanjutnya aspirin diberikan secara oral dengan dosis 75-162 mg.
5. Beta Bloker
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV,
selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa digunakan adalah metoprolol 5
mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis.
6. Klopidogrel
Pemberian Klopidogrel 600 mg sedini mungkin dan dilanjutkan dengan dosis
rumatan sebesar 75 mg per hari. Obat-obat seperti penghambat reseptor beta dan
ACE inhibitor harus segera diberikan kecuali terdapat kontraindikasi dan pasien
harus dalam keadaan hemodinamik stabil. Statin dilaporkan memberikan hasil yang
baik. Suatu registri di Israel melaporkan pasien yang menjalani IKP dan telah
mendapat statin sebelumnya, mortalitas jangka pendeknya akan berkurang.
Terapi Reperfusi
Semua pasien STEMI seharusnya menjalani evaluasi untuk terapi reperfusi.
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle atau
medical contact to balloon time untuk IKP dapat dicapai dalam 90 menit7.
Reperfusi, dengan fibrinolisis atau IKP primer, diindikasikan dalam waktu kurang
dari 12 jam sejak onset nyeri dada untuk semua pasien infark miokard yang juga
memenuhi salah satu kriteria berikut :
 ST elevasi > 0,1mV pada >2 ujung sensor EKG di dada yang berturutan,
 ST elevasi >0,2mV pada >2 ujung sensor di tungkai berurutan,
 Left bundle branch block baru.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada
tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung
pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik
rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari 2
jam. Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik.
Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke
pusat dengan fasilitas IKP

Terapi Fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada
tempat-tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu
yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam
sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer
tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak
medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala)
dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih
dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.
Jenis obat fibrinolotik sebagai terapi reperfusi adalah:
 Streptokinase
◦ Dosis awal 1,5 juta U/100ml Dextrose 5% atau larutan saline 0,9%
dalam waktu 30-60 menit.
◦ Koterapi Heparin i.v selama 24-48 jam
 Alteptase
◦ Dosis awal bolus 15 mg intravena 0,75 mg/kg selama 30 menit,
kemudian 0,5mg / kg selama 60 menit, dosis total tidak lebih dari
100mg
◦ Koterapi Heparin i.v selama 24-48 jam

Pemberian Antikoagulan
Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan
terapi antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat inap,
hingga maksimum 8 hari. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi,
dapat diberikan terapi antikoagulan selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari
pemberian. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi Low Molecular Weight
Heparin (LMWH) atau fondaparinuks dengan regimen dosis sama dengan pasien
yang mendapat terapi fibrinolisis.
Jenis-jenis obat antikoagulan antara lain:
 Warfarin
o Dosis awal yang dapat diberikan yaitu 10 mg dan 5 mg pada hari
kedua dengan pengaturan dosis pada hari ketiga sekitar 3-7,5 mg.
o Pemberian obat ini secara oral.
o Kontraindikasi pemberian pada penyakit-penyakit dengan
kecenderungan perdarahan, tukak saluran cernaa, defisisensi
vitamin K, serta penyakit hati dan ginjal yang berat.
 Heparin
o Dosis awal yang diberikan yaitu 60 U/kgBB (maksimal 4000 U)
secara bolus. Kemudian pemberian lanjutan melalui infuse dengan
dosis 12 U/kgBB.
o Pemberian heparin dikontraindikasikan pada pasien yang sedang
mengalami perdarahan misalnya pasien hemophilia, endokarditis
bacterial subakut, perdarahan intracranial, hipertensi berat, dan
syok.
 Enoxaparin (Lovenox)
o Dosis yang diberikan 1 mg/kg setiap 12 jam subkutan, ditambah
dengan pemberian aspirin 100-325 setiap harinya selama minimal
2 hari.
o Kontraindikasi pemberian obat ini adalah kecenderungan
hemoragia dan pernah menderita trombositopenia selama
pengobatan.

2.3. Komplikasi

2.3.1. Gangguan Hemodinamik


Gagal jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi
miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP atau trombolisis,
perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun apabila terjadi jejas
transmural dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada dinding anterior, dapat
terjadi komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling patologis
disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir dengan gagal
jantung kronik. Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai konsekuensi dari aritmia
yang berkelanjutan atau sebagai komplikasi mekanis. Diagnosis gagal jantung
secara klinis pada fase akut dan subakut STEMI didasari oleh gejala-gejala khas
seperti dispnea, tanda seperti sinus takikardi, suara jantung ketiga atau ronkhi
pulmonal, dan bukti-bukti objektif disfungsi kardiak seperti dilatasi ventrikel kiri
dan berkurangnya fraksi ejeksi. Disfungsi ventrikel kiri merupakan satu-satunya
prediktor terkuat untuk mortalitas setelah terjadinya STEMI. Mekanisme terjadinya
disfungsi ventrikel kiri dalam fase akut mencakup hilangnya dan remodeling
miokardium akibat infark, disfungsi iskemik (stunning), aritmia atrial dan
ventrikular serta disfungsi katup (baik yang sudah ada atau baru). Derajat kegagalan
jantung setelah infark dapat dibagi menurut klasifikasi Killip. Pasien yang dicurigai
menderita gagal jantung perlu dievaluasi segera menggunakan ekokardiografi
transtorakal atau Doppler. Ekokardiografi merupakan alat diagnosis utama dan
perlu dilakukan untuk menilai fungsi dan volume ventrikel kiri, fungsi katup,
derajat kerusakan miokardium, dan untuk mendeteksi adanya komplikasi mekanis.
Evaluasi Doppler dapat memberikan gambaran aliran, gradien, fungsi diastolik dan
tekanan pengisian. Pemeriksaan Roentgen dada dapat menilai derajat kongesti paru
dan mendeteksi keadaan penting lain seperti infeksi paru, penyakit paru kronis dan
efusi pleura. Pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dengan cara-cara
konvensional yang terdeteksi sedang mengalami iskemia, elevasi segmen ST atau
LBBB baru, perlu dipertimbangkan revaskularisasi lanjut. Pasien dengan jejas
miokardium luas dalam fase akut dapat menunjukkan tanda dan gejala gagal
jantung kronik.

Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90 mmHg.
Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga disebabkan oleh
hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi
dapat menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular necrosis dan berkurangnya urine
output.

Kongesti paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal,
berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada Roentgen dada dan
perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator.

Keadaan curah jantung rendah


Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang buruk dengan
hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi urin. Ekokardiografi dapat
menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang buruk, komplikasi mekanis atau infark
ventrikel kanan.

Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan penyebab
kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati 50%. Meskipun
syok seringkali terjadi di fase awal setelah awitan infark miokard akut, ia biasanya
tidak didiagnosis saat pasien pertama tiba di rumah sakit. Penelitian registry
SHOCK (SHould we emergently revascularize Occluded coronaries for
Cardiogenic shoCK) menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik terjadi dalam 6
jam dan 75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda dan gejala klinis syok kardiogenik
yang dapat ditemukan beragam dan menentukan berat tidaknya syok serta berkaitan
dengan luaran jangka pendek. Pasien biasanya datang dengan hipotensi, bukti
output kardiak yang rendah (takikardia saat istirahat, perubahan status mental,
oliguria, ekstremitas dingin) dan kongesti paru. Kriteria hemodinamik syok
kardiogenik adalah indeks jantung 18 mmHg. Selain itu, diuresis biasanya 90
mmHg. Syok kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas,
namun juga dapat terjadi pada infark ventrikel kanan. Baik mortalitas jangka
pendek maupun jangka panjang tampaknya berkaitan dengan disfungsi sistolik
ventrikel kiri awal dan beratnya regurgitasi mitral. Adanya disfungsi ventrikel
kanan pada ekokardiografi awal juga merupakan prediktor penting prognosis yang
buruk, terutama dalam kasus disfungsi gabungan ventrikel kiri dan kanan. Indeks
volume sekuncup awal dan followup serta follow-up stroke work index merupakan
prediktor hemodinamik paling kuat untuk mortalitas 30 hari pada pasien dengan
syok kardiogenik dan lebih berguna daripada variabel hemodinamik lainnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penilaian dan tatalaksana syok
kardiogenik tidak mementingkan pengukuran invasif tekanan pengisian ventrikel
kiri dan curah jantung melalui kateter pulmonar namun fraksi ejeksi ventrikel kiri
dan komplikasi mekanis yang terkait perlu dinilai segera dengan ekokardiografi
Doppler 2 dimensi.
Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam pertama
setelah infark miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam 11 ±5 hari sejak
infark miokard akut melaporkan insidensi fibrilasi atrium awitan baru sebesar 28%,
VT yang tidak berlanjut sebesar 13%, blok AV derajat tinggi sebesar 10% (≤30
detak per menit selama ≥8 detik), sinus bradikardi sebesar 7% (≤30 detak per menit
selama ≥8 detik), henti sinus sebesar 5% (≥5 detik), VT berkelanjutan sebesar 3%
dan VF sebesar 3%.
Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa manifestasi dari kondisi
berat yang mendasarinya, seperti iskemia miokard, kegagalan pompa, perubahan
tonus otonom, hipoksia, dan gangguan elektrolit (seperti hipokalemia) dan
gangguan asam-basa. Keadaan-keadaan tersebut memerlukan perhatian dan
penanganan segera. Blok AV derajat tinggi dulunya merupakan prediktor yang
lebih kuat untuk kematian akibat jantung dibandingkan dengan takiaritmia pada
pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri.

Aritmia supraventikuler
Fibrilasi atrium merupakan komplikasi dari 6-28% infark miokard dan sering
dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat dan gagal jantung. Fibrilasi
atrium dapat terjadi selama beberapa menit hingga jam dan seringkali berulang.
Seringkali aritmia dapat ditoleransi dengan baik dan tidak memerlukan pengobatan
selain antikoagulasi. Dalam beberapa kasus laju ventrikel menjadi cepat dan dapat
menyebabkan gagal jantung sehingga perlu ditangani dengan segera. Kendali laju
yang cukup diperlukan untuk mengurangi kebutuhan oksigen miokardium, dan
dapat dicapai dengan pemberian penyekat beta atau mungkin antagonis kalsium,
baik secara oral maupun intravena. Beberapa (namun tidak semua) penelitian
menyatakan bahwa terjadinya fibrilasi atrium dalam keadaan infark miokard akut
merupakan prediktor independen untuk all-cause mortality, dan tidak tergantung
dari pengobatan yang diberikan. Fibrilasi atrium tidak hanya meningkatkan risiko
stroke iskemik selama perawatan namun juga selama follow-up, bahkan pada AF
paroksismal yang telah kembali menjadi irama sinus saat pasien dipulangkan.
Pasien dengan AF dan faktor risiko untuk tromboembolisme perlu menjalani terapi
antikoagulasi oral secara benar. Karena AF biasanya memerlukan antikoagulasi,
pemilihan stent DES saat re-stenosis perlu dipertimbangkan secara hati-hati
terhadap risiko perdarahan serius yang dikaitkan dengan kombinasi tiga terapi
antitrombotik yang berkepanjangan. Takikardia supraventrikular jenis lain amat
jarang terjadi, self-limited dan biasanya membaik dengan manuver vagal. Adenosin
intravena dapat dipertimbangkan untuk keadaan ini bila kemungkinan atrial flutter
telah disingkirkan dan status hemodinamik stabil. Selama pemberian, EKG pasien
perlu terus diawasi. Bila tidak diindikasikontrakan, penyekat beta juga dapat
berguna. Bila aritmia tidak dapat ditolerir dengan baik, kardioversi elektrik dapat
diberikan.

Aritmia ventrikuler
Ventricular premature beats hampir selalu terjadi dalam hari pertama fase akut dan
aritmia kompleks seperti kompleks multiform, short runs atau fenomena R-on-T
umum ditemukan. Mereka dianggap tidak dapat dijadikan prediktor untuk
terjadinya VF dan tidak memerlukan terapi spesifik. Takikardi ventrikel perlu
dibedakan dengan irama idioventrikular yang terakselerasi. Irama tersebut terjadi
akibat reperfusi, di mana laju ventrikel

Sinus bradikardi dan blok jantung


Sinus bradikardi sering terjadi dalam beberapa jam awal STEMI, terutama pada
infark inferior. Dalam beberapa kasus, hal ini disebabkan oleh karena opioid. Sinus
bradikardi seringkali tidak memerlukan pengobatan. Bila disertai dengan hipotensi
berat, sinus bradikardi perlu diterapi dengan atropin. Bila gagal dengan atropin,
dapat dipertimbangkan penggunaan pacing sementara. Blok jantung derajat satu
tidak memerlukan pengobatan. Untuk derajat dua tipe I (Mobitz I atau
Wenckebach), blokade yang terjadi biasanya dikaitkan dengan infark inferior dan
jarang menyebabkan efek hemodinamik yang buruk. Apabila terjadi perubahan
hemodinamik, berikan atropin dahulu, baru pertimbangkan pacing. Hindari
penggunaan agen-agen yang memperlambat konduksi AV seperti penyekat beta,
digitalis, verapamil atau amiodaron. Blok AV derajat dua tipe II (Mobitz II) dan
blok total dapat merupakan indikasi pemasangan elektroda pacing, apalagi bila
bradikardi disertai hipotensi atau gagal jantung. Bila gangguan hemodinamik yang
terjadi berat, hati-hati dalam pemberian pacing AV sekuensial. Pada pasien yang
belum mendapatkan terapi reperfusi, revaskularisasi segera perlu dipertimbangkan.
Blok AV terkait infark dinding inferior biasanya terjadi di atas bundle of HIS, dan
menghasilkan bradikardia transien dengan escape rhythm QRS sempit dengan laju
lebih dari 40 detak per menit, dan memiliki mortalitas yang rendah. Blok ini
biasanya berhenti sendiri tanpa pengobatan. Blok AV terkait infark dinding anterior
biasanya terletak di bawah HIS (di bawah nodus AV) dan menghasilkan QRS lebar
dengan low escape rhythm, serta laju mortalitas yang tinggi (hingga 80%) akibat
nekrosis miokardial luas. Terjadinya bundle branch block baru atau blok sebagian
biasanya menunjukkan infark anterior luas, dan kemudian dapat terjadi blok AV
komplit atau kegagalan pompa. Asistol dapat terjadi setelah blok AV, blok bifasik
atau trifasik atau countershock elektrik. Bila elektroda pacing terpasang, perlu
dicoba dilakukan pacing. Apabila tidak, lakukan kompresi dada dan napas buatan,
serta lakukan pacing transtorakal. Elektroda pacing transvena perlu dimasukkan
bila terdapat blok AV lanjut dengan low escape rhythm seperti yang telah dijelaskan
di atas, dan dipertimbangkan apabila terjadi blok bifasik atau trifasik. Rute
subklavia sebaiknya dihindari setelah fibrinolisis atau bila terdapat antikoagulasi,
dan dipilih rute alternatif. Pacing permanen diindikasikan pada pasien dengan blok
AV derajat tiga persisten, atau derajat dua persisten terkait bundle branch block,
dan pada Mobitz II transien atau blok jantung total terkait bundle branch block
awitan baru.

2.3.2. Jantung
Usia lanjut, gejala Killip II-IV, penyakit 3 pembuluh, infark dinding anterior,
iskemia berkepanjangan atau berkurangnya aliran TIMI merupakan faktor risiko
terjadi komplikasi kardiak. Beberapa komplikasi mekanis dapat terjadi secara akut
dalam beberapa hari setelah STEMI, meskipun insidensinya belakangan berkurang
dengan meningkatnya pemberian terapi reperfusi yang segera dan efektif. Semua
komplikasi ini mengancam nyawa dan memerlukan deteksi dan penanganan secepat
mungkin. Pemeriksaan klinis berulang (minimal dua kali sehari) dapat menangkap
murmur jantung baru, yang menunjukkan regurgitasi mitral atau defek septum
ventrikel, yang kemudian perlu dikonfirmasi dengan ekokardiografi segera. CABG
secara umum perlu dilakukan apabila pantas saat operasi pada pasien yang
memerlukan operasi darurat untuk komplikasi mekanis yang berat.

Regurgitasi Katup Mitral


Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat dilatasi ventrikel
kiri, gangguan m. Papilaris, atau pecahnya ujung m. Papilaris atau chordae
tendinae. Keadaan ini biasanya ditandai dengan perburukan hemodinamis dengan
dispnea akut, kongesti paru dan murmur sistolik baru, yang biasanya tidak terlalu
diperhatikan dalam konteks ini. Diagnosis ini dicurigai dengan pemeriksaan klinis
dan perlu segera dikonfirmasi dengan ekokardiografi darurat. Edema paru dan syok
kardiogenik dapat terjadi dengan cepat.

Ruptur Jantung
Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase subakut setelah infark
transmural, dan muncul sebagai nyeri tiba-tiba dan kolaps kardiovaskular dengan
disosiasi elektromekanis. Hemoperikardium dan tamponade jantung kemudian
akan terjadi secara cepat dan bersifat fatal. Diagnosis dikonfirmasi dengan
ekokardiografi. Apabila tersumbat oleh formasi trombus, ruptur dinding subakut
yang terdeteksi dengan cepat dapat dilakukan perikardiosentesis dan operasi segera.

Ruptur Septum Ventrikel


Ruptur septum ventrikel biasanya ditandai perburukan klinis yang terjadi dengan
cepat dengan gagal jantung akut dan mumur sistolik yang kencang yang terjadi pada
fase subakut. Diagnosis ini dikonfirmasi dengan ekokardiografi, yang dapat
membedakan keadaan ini dengan regurgitasi mitral akut dan dapat menentukan
lokasi dan besarnya ruptur. Left-to-right shunt yang terjadi sebagai akibat dari
ruptur ini dapat menghasilkan tanda dan gejala gagal jantung kanan akut awitan
baru. Operasi segera dikaitkan dengan laju mortalitas yang tinggi dan risiko ruptur
ventrikel berulang, sementara operasi yang ditunda memungkinkan perbaikan
septum yang lebih baik namun mengandung risiko terjadinya pelebaran ruptur,
tamponade dan kematian saat menunggu operasi. Mortalitas keadaan ini tinggi
untuk semua pasien dan lebih tinggi lagi pada pasien dengan kelainan di inferobasal
dibandingkan dengan di anteroapikal.

Infark Ventrikel Kanan


Infark ventrikel kanan dapat terjadi sendiri atau, lebih jarang lagi, terkait dengan
STEMI dinding inferior. Biasanya gejalanya muncul sebagai triad
hipotensi,lapangan paru yang bersih serta peningkatan tekanan vena jugularis.
Elevasi segmen ST ≥1 mV di V1 dan V4R merupakan ciri infark ventrikel kanan
dan perlu secara rutin dicari pada pasien dengan STEMI inferior yang disertai
dengan hipotensi. Ekokardiografi Doppler biasanya menunjukkan dilatasi ventrikel
kanan, tekanan arteri pulmonal yang rendah, dilatasi vena hepatika dan jejas
dinding inferior dalam berbagai derajat. Meskipun terjadi distensi vena jugularis,
terapi tetap diberikan dengan tujuan mempertahankan tekanan pengisian ventrikel
kanan dan mencegah atau mengobati hipotensi. Pemberian diuretik dan vasodilator
perlu dihindari karena dapat memperburuk hipotensi. Irama sinus dan sinkronisitas
atrioventrikular perlu dipertahankan dan AF atau blok AV yang terjadi perlu segera
ditangani.

Perikarditis
Insidensi perikarditis setelah STEMI semakin berkurang dengan semakin majunya
terapi reperfusi yang modern dan efektif. Gejala perikarditis antara lain nyeri dada
berulang, biasanya khas yaitu tajam dan, bertentangan dengan iskemia rekuren,
terkait dengan postur dan pernapasan. Perikarditis dapat muncul sebagai re-elevasi
segmen ST dan biasanya ringan dan progresif, yang membedakannya dengan re-
elevasi segmen ST yang tiba-tiba seperti pada re-oklusi koroner akibat trombosis
stent, misalnya. Pericardial rub yang terusmenerus dapat mengkonfirmasi
diagnosis, namun sering tidak ditemukan, terutama apabila terjadi efusi perikardial
berat. Ekokardiografi dapat mendeteksi dan menentukan besarnya efusi, bila ada,
dan menyingkirkan kecurigaan efusi hemoragik dengan tamponade. Nyeri biasanya
menghilang dengan pemberian aspirin dosis tinggi, paracetamol atau kolkisin.
Pemberian steroid dan NSAID jangka panjang perlu dihindari karena dapat
menyebabkan penipisan jaringan parut dan pembentukan aneurisma atau ruptur.
Perikardiosentesis jarang diperlukan, namun perlu dilakukan apabila terdapat
perburukan hemodinamik dengan tanda-tanda tamponade. Bila terjadi efusi
perikardial, terapi antikoagulan yang sudah diberikan (misalnya sebagai profilaksis
tromboemboli vena) perlu dihentikan kecuali apabila benar-benar diindikasikan
pemberiannya.

Aneurisma Ventrikel Kiri


Pasien dengan infark transmural besar, terutama di dinding anterolateral, dapat
mengalami perluasan infark yang diikuti dengan pembentukan aneurisma ventrikel
kiri. Proses remodeling ini terjadi akibat kombinasi gangguan sistolik dan diastolik
dan, seringkali, regurgitasi mitral. Ekokardiografi Doppler dapat menilai volume
ventrikel kiri, fraksi ejeksi, derajat dan luasnya abnormalitas gerakan dinding, dan
mendeteksi trombus yang memerlukan antikoagulasi. ACE-I/ARB dan antagonis
aldosteron telah terbukti memperlambat proses remodeling dalam infark transmural
dan meningkatkan kemungkinan hidup, dan perlu diberikan segera sejak keadaan
hemodinamik stabil. Pasien seringkali akan menunjukkan tanda dan gejala gagal
jantung kronik dan perlu ditangani dengan sesuai.

Trombus Ventrikel Kiri


Frekuensi terjadinya trombus ventrikel kiri telah berkurang terutama karena
kemajuan dari terapi reperfusi, penggunaan obat-obatan antitrombotik dalam
STEMI, dan berkurangnya ukuran infark miokardium akibat reperfusi miokardium
yang segera dan efektif. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa hampir
seperempat infark miokard anterior memiliki trombus ventrikel kiri yang dapat
terdeteksi, keadaan ini dikaitkan dengan prognosis yang buruk karena berhubungan
dengan infark yang luas, terutama bagian anterior dengan keterlibatan apikal, dan
risiko embolisme sistemik. Penelitian-penelitian yang relatif tua menunjukkan
bahwa pemberian antikoagulasi pada pasien-pasien dengan abnormalitas gerakan
dinding anterior besar mengurangi terjadinya trombus mural.

2.4. Prognosis
TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan
anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI
yang mendapat terapi fibrinolitik.2
Faktor Risiko (Bobot) Skor Risiko / Mortalitas 30 hari
(%)
Usia 65-74 tahun (2 poin) 0 (0,8)

Usia >75 tahun (3 poin) 1 (1,6)


Diabetes mellitus/hipertensi atau 2 (2,2)
angina (1 poin)
Tekanan darah sistolik <100mmHg 3 (4,4)
(2 poin)
Frekuensi jantung >100 (2 poin) 4 (7,3)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin) 5 (12,4)
Berat < 67 kg (1 poin) 6 (16,1)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 7 (23,4)
poin
Waktu ke reperfusi >4 jam (1 poin) 8 ( 26,8)
Skor risiko = total poin (0-14) >8 (35,9)

*klasifikasi Killip
Kelas Definisi Proporsi pasien Mortalitas (%)
1 Tidak ada tanda 40-50% 6
gagal jantung
kongestif
2 + s3 dan/atau 30-40% 17
ronki basah di
basal paru
3 Edema paru akut 10-15% 30-40
4 Syok kardiogenik 5-10% 60-80
BAB III
STATUS PASIEN

No. Reg. RS : 296654


Nama Lengkap : AR
Tanggal Lahir : 16-04-1975 Umur : 74 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Tj. Morawa No. Telepon : -
Pekerjaan : Wiraswasta Status : Menikah
Pendidikan : SMU/SMK Jenis Suku : Batak Agama : Islam

Dokter : dr. Masta Nova


Ginting, Sp.JP
Tanggal Masuk : 02 November
2019

ANAMNESIS
Autoanamnesis Heteroanamnesis
 
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Keluhan Utama : Nyeri dada sebelah kiri
Deskripsi : Seorang pasien, laki-laki, berusia 44 tahun dibawa oleh
keluarga ke IGD RSUD Deli Serdang dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri yang
dirasakan mulai dari pagi hari dan memberat pada malam hari sekitar jam 8 malam.
Nyeri dirasakan tiba-tiba dan dirasakan hilang timbul. Nyeri dirasakan seperti
tertekan benda berat selama 30 menit dan menjalar ke punggung, leher xdan lengan
sebelah kiri. Keluarga pasien juga mengeluhkan sesak napas dan keringat dingin
yang timbul bersamaan dengan nyeri dada. Sesak berkurang bila pasien dalam
posisi duduk. Sebelumnya pasien sudah berobat ke 2 klinik, namun keluhan tidak
berkurang Pasien mengatakan beberapa tahun belakangan sering mengalami nyeri
dada saat beraktivitas namun biasanya nyeri dada sembuh sendiri setelah istirahat
beberapa saat.
Demam (-), batuk (-), mudah lelah (+). Riwayat merokok (+). Riwayat hipertensi
dan DM pasien tidak mengetahui dikarenakan pasien tidak pernah memeriksa
tekanan darah dan kadar gula darahnya.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Tanggal Penyakit Tempat Pengobatan dan
Perawatan Operasi
Tidak diketahui -

RIWAYAT KELUARGA
-
RIWAYAT PRIBADI
Riwayat Alergi
Tahun Bahan/Obat Gejala
- - -

ANAMNESIS UMUM (Review of System)


Berilah tanda bila abnormal dan berikan deskripsi.
Umum : Tampak lemas Abdomen : Tidak ada keluhan

Kulit : Tidak ada keluhan Ginekologi : Tidak ada keluhan

Kepala dan leher : Tidak ada keluhan Alat kelamin : Tidak ada keluhan
Mata : Tidak ada keluhan tidak ada Ginjal dan Saluran Kencing : Tidak
keluhan ada keluhan

Telinga : Tidak ada keluhan Hematologi : Tidak ada keluhan


Hidung : Tidak ada keluhan Endokrin / Metabolik : Tidak ada
keluhan
Mulut dan Tenggorokan : Tidak ada Muskuloskeletal : Tidak ada keluhan
keluhan
Pernafasan : Keluhan sesak napas Sistem saraf : Tidak ada keluhan
dirasakan bersamaan dengan nyeri
dada. Sesak sedikit berkurang saat
pasien duduk tegak.
Payudara : Tidak ada keluhan Emosi : Tidak ada keluhan

Jantung : nyeri dada sebelah kiri Vaskuler : Tidak ada keluhan

DESKRIPSI UMUM
Kesan Sakit Ringan Sedang Berat

Gizi :
Berat Badan: 93 kg Tinggi Badan: 168 cm RBW: kg/m2
IMT : kg/m2, kesan : Obesitas

TANDA VITAL
Kesadaran Komposmentis Deskripsi: Tampak Lemas
Nadi Frekuensi 98 x/i t/v cukup
Tekanan Berbaring : Duduk :
Lengan kanan : 160/70 mmHg Lengan kanan :
Lengan kiri : mmHg mmHg
Lengan kiri :
mmHg
Temperatur Aksila : 36,8 °C
Pernafasan Frekuensi: 28 x/i Deskripsi: reguler

KULIT : dbn
KEPALA DAN LEHER :
TVJ -2 cmH2O, trakea medial, pembesaran KGB (-), struma (-)
TELINGA : dbn
HIDUNG : dbn
RONGGA MULUT DAN TENGGOROKAN : dbn
MATA :
Conjunctiva palp inf : pucat (-) ,sclera ikterik (-) , refleks cornea +/+ ,pupil:
Isokor, ki=ka, ø 2 mm
THORAKS :
Depan Belakang
Inspeksi Simetris Fusiformis Simetris Fusiformis
Palpasi SF : Normal SF : Normal
Perkusi Sonor sonor
Auskultasi SP : Vesikuler SP : Vesikuler
ST : - ST : -

JANTUNG
Inspeksi : tidak terlihat pulsasi pada ictus kordis
Perkusi :
Batas Jantung Relatif : Atas : ICS II linea parasternal sinistra
Kanan : ICS II linea parasternal dextra
Kiri : ICS V linea midclavikularis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I/II (+)
Jantung : HR : 98 x/i,reguler desah (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel , H/L/R: Normal, nyeri tekan (-) , undulasi (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik normal, double sound (-)

PUNGGUNG
Normal , tapping pain (-)
EKSTREMITAS
Superior : oedem (-) / (-)
Inferior : oedem (-) / (-)

ALAT KELAMIN
Tidak dilakukan pemeriksaan
REKTUM
Tidak dilakukan pemeriksaan
NEUROLOGI
Tidak dilakukan pemeriksaan
BICARA : Normal

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
(02-11-2019)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hb 14,15 g/dl 13-5-18,0
Leukosit * 16,05 .103/uL 4-10,5
Eritrosit 5,45 juta/uL 4,7-6
Trombosit 320,7 .103/uL 150-450
Hematokrit 42,2 % 42-52
MPV 9,5 fL 6-9,5
RDW * 16,4 % 11,5-14
MCV * 77,4 fl 78-100
MCH * 26,0 pg 27-31
MCHC 33,5 g/dl 30-35
HITUNG JENIS
Eosinofil * 0,34 % 1-4
Basofil 0,36 % 0,0-1
Neutrofil * 81,788 % 50-70
Limfosit * 14 % 20-40
Monosit 3,54 % 2-8
LED 17 % 0 - 20
RENAL
FUNCTION
Urea 23 mg/dL 20 - 40
Creatinine 1 mg/dL 0,70 – 1,1
KIMIA KLINIK
Glukosa Sewaktu * 221 mg/dL 100 - 140
Asam Urat * 8,4 mg/dL 3,5 -7,2
ELECTROLYTE
Natrium 143 mEq/L 135-147
Kalium 4,2 mEq/L 3,50-5,50
Chloride 99 mEq/L 94-111

PEMERIKSAAN RADIOLOGI
(02-11-2019)
Hasil Pemeriksaan :
Foto Thoraks
Cor membesar
Sinus dan diafragma normal
Trachea di tengah
Corakan bronkovaskuler dalam batas normal
Tampak infiltat paracardial
Tulang-tulang intact
KESAN :
Kardiomegali + Bronchopneumonia
PEMERIKSAAN EKG

RESUME DATA DASAR


(Diisi dengan temuan positif)
Nama Pasien : AR
KELUHAN UTAMA :
Nyeri dada
ANAMNESIS :
Seorang pasien, laki-laki, berusia 44 tahun datang ke IGD RSUD Deli
Serdang dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri yang dialami sejak tadi pagi dan
memberat sejak pukul 8 malam. Sesak napas dan keringat dingin juga dikeluhkan
bersamaan dengan timbulnya nyeri dada. Pasien mengatakan tadi pagi saat nyeri
dada timbul, pasien telah berobat ke 2 klinik dan diberikan obat, namun keluhan
yang dirasakan pasien tidak kunjung membaik.
Demam dan batuk tidak dikeluhkan, mudah lelah dikeluhkan. Riwayat penyakit
terdahulu dan riwayat penyakit keluarga tidak diketahui oleh pasien.
Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan foto thorax, darah rutin, glukosa
add random, renal function, electrolit dan EKG. Pasien didiagnosis STEMI dan
telah diberikAN Loading theraphy berupa pemasangan oksigen nasal kanul 2-4
L, ISDN 5mg SL, Aspilet 2x80mg dan Clopidogrel 4 x 75mg. Untuk terapi
tambahan memperbaiki keadaan klinis pasien berupa injeksi furosemid 20 mg/12
jam, KSR 1x600mg, Candesartan 1 x 8mg. Terapi lanjutan berupa oksigen 2-4
L, infus nacl 0,9% 10 tetes micro, injeksi diviti 2,5mg/hari, injeksi furosemide
20mg/12 jam, KSR 1X600mg, Clopidogrel 1x75mg, ISDN 3x5mg, Aptor
1x100mg, Atorvastatin 1x4mg, Candesartan 1X8mg, Alprazolam 1x0,5mg,
Concor 1x2,5mg, Injeksi Ceftriaxon 1gr/12jam dan laxadine syrup 1x1. Pasien
disarankan untuk dilakukan tindakan chateterisasi.
RENCANA AWAL (IGD)
Nama Penderita : AR No. RM : 296654
Rencana yang akan dilakukan masing-masing masalah (meliputi rencana untuk diagnosa, penatalaksanaan dan
edukasi)
No Masalah Rencana Diagnosa Rencana Terapi Rencana Monitoring Rencana Edukasi
1. Nyeri dada Stemi Inferior 02 4-5L Foto thorax Istirahat
Sesak napas Loading : Darah rutin chateterisasi
ISDN 5 mg SL KGD
Aspilet 2 x 80 mg RFT
Clopigogrel 4 x 75 mg Elektrolit
Kateter Urin
ISDN 3 X 5 mg SL
Inj. Furosemid 1 amp/12 jam
Ksr 1 x 600 mg
Candesartan 1 x 8 mg
Tanggal S O A P
Terapi Monitoring
2 Nyeri dada seperti TD : - Stemi 02 2-4 L Konsultasi ke interna
November tertimpa benda berat 140/100 Inferior < IVFD NaCL 0,9% 10gtt/i Cek KGD
2019 Sesak napas (+) mmHg 12 jam Inj. Diviti 2,5 mg/24 jam ekg
HR : 84X/i - HHD + Inj. Furosemide 20mg/12 jam
RR : 28X/i Hipertensi Ksr 1 x 600 mg
T : 36,30C stage 1 Clopidogrel 1 x 75 mg
Sp : - DM type Aptor 1 x 100 mg
vesikuler 2 Atorvastatin 1 x 4 mg
ST : - ISDN 3 X 5mg dan ekstra 5 mg SL bila
nyeri dada memberat
KGD Candesartan 1 x 8 mg
(03.00) : Concor 1 x 2,5 mg
221 mg/dL Alprazolam 1x0,5mg
KGD Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
(10.30 ) : Laxadine syrup 1 x 1 ct
180 mg/Dl
3 Nyeri dada berkurang TD : - Stemi 02 2-4 L
November Sesak napas berkurang 110/80 Inferior < IVFD NaCL 0,9% 10gtt/i
2019 mmHg 12 jam Inj. Diviti 2,5 mg/24 jam
HR : 80/i - HHD + Inj. Furosemide 20mg/12 jam
RR : 22X/i Hipertensi Ksr 1 x 600 mg
T : 36,30C stage 1 Clopidogrel 1 x 75 mg
Sp : - DM type Aptor 1 x 100 mg
vesikuler 2 Atorvastatin 1 x 4 mg
ST : - ISDN 3 X 5mg dan ekstra 5 mg SL bila
nyeri dada memberat
Candesartan 1 x 8 mg
Concor 1 x 2,5 mg
Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
Laxadine syrup 1 x 1 ct

4 Nyeri dada (-) TD : TB paru + Inj. Diviti 2,5 mg/24 jam


november Sesak napas (-) 100/70 hiponatrium + Inj. Furosemide 20mg/12 jam
2019 mmHg hipokalium + Ksr 1 x 600 mg
HR : 60/i hipokalsium + Clopidogrel 1 x 75 mg
RR : 20X/i anemia + DM Aptor 1 x 100 mg
T : 36,20C Atorvastatin 1 x 4 mg
Sp : ISDN 3 X 5mg dan ekstra 5 mg SL bila
vesikuler nyeri dada memberat
ST : - Candesartan 1 x 8 mg
Concor 1 x 2,5 mg
Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
Laxadine syrup 1 x 1 ct

PBJ
Terapi pulang :
Furosemide 1 x 40 mg
Ksr 1 x 600 mg
Clopidogrel 1 x 75 mg
Aptor 1 x 100 mg
Atorvastatin 1 x 4 mg
ISDN 3 X 5mg
Candesartan 1 x 8 mg
Concor 1 x 2,5 mg
Laxadine syrup 1 x 1 ct
BAB IV
PEMBAHASAN

No. Permasalahan yang didapat Teori


1 Berdasarkan hasil anamnesis yang Hal ini sesuai dengan teori bahwa,
dilakukan seorang pasien, laki- pasien dengan STEMI akan
laki, berusia 44 tahun datang mengalami gejala berupa nyeri dada
dengan keluhan nyeri dada sebelah seperti tertimpa benda berat yang
kiri yang dirasakan mulai dari pagi dirasakan lebih dari 20menit disertai
hari dan memberat pada malam keringat dingin dan penjalaran nyeri.
hari sekitar jam 8 malam. Nyeri
dirasakan tiba-tiba dan dirasakan
hilang timbul. Nyeri dirasakan
seperti tertekan benda berat selama
30 menit dan menjalar ke
punggung, leher xdan lengan
sebelah kiri. Keluarga pasien juga
mengeluhkan sesak napas dan
keringat dingin yang timbul
bersamaan dengan nyeri dada.
Sesak berkurang bila pasien dalam
posisi duduk. Sebelumnya pasien
sudah berobat ke 2 klinik, namun
keluhan tidak berkurang Pasien
mengatakan beberapa tahun
belakangan sering mengalami
nyeri dada saat beraktivitas namun
biasanya nyeri dada sembuh
sendiri setelah istirahat beberapa
saat.
Demam (-), batuk (-), mudah lelah
(+). Riwayat merokok (+).
Riwayat hipertensi dan DM pasien
tidak mengetahui dikarenakan
pasien tidak pernah memeriksa
tekanan darah dan kadar gula
darahnya.

2 Pada hasil ekg dijumpai ST Pada teori jika ditemukan st elevasi


elevasi pada lead II, III, AVF pada lead II, III, AVF menandakan
Tidak dilakukan pemeriksaan adanya stemi pada daerah inferior.
enzim jantung Untuk membantu diagnosis
STEMI/NSTEMI perlu dilakukannya
pemeriksaan enzim jantung
3 Penatalaksanaan : Hal ini sesuai dengan teori bahwa
02 2-4 L pada pasien STEMI yang
IVFD NaCL 0,9% 10gtt/i serangannya kurang dari 12 jam
Inj. Diviti 2,5 mg/24 jam dilakukan fibrinolitik dan kateterisasi
Inj. Furosemide 20mg/12 jam jantung.
Ksr 1 x 600 mg Untuk STEMI lebih 12 jam dilakukan
Clopidogrel 1 x 75 mg pemberian terapi seperti :
Aptor 1 x 100 mg a. Oksigen
Atorvastatin 1 x 4 mg b. Obat pengencer darah :
ISDN 3 X 5mg dan ekstra 5 mg aspirin, aspilet, aptor
SL bila nyeri dada memberat c. ISDN
Candesartan 1 x 8 mg d. Bisoprolol atau concor
Concor 1 x 2,5 mg e. Obat anti hipertensi
Alprazolam 1x0,5mg f. Simvastatin
Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam g. Antikoagulan
Laxadine syrup 1 x 1 ct h. Rencana kateterisasi
Anjuran dilakukan cateterisasi
jantung.
BAB V
KESIMPULAN

Pasien laki-laki usia 44 tahun datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri yang
terasa tertekan yang dialami selama lebih kurang 30 menit disertai dengan sesak
dan keringat dingin didiagnosa mengalami STEMI Inferior onset < 12 jam.
Diagnosa ini ditegakkan setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang berupa ekg, foto thoraks, laboratorium darah rutin, RFT
dan tes elektrolit. Untuk penanganan pasien diberikan obat-obatan untuk
meringankan rasa sakit, mengurangi tingkat kekambuhan penyakit dan mencegah
komplikasi. Pada STEMI dengan onset < 12 jam dianjurkan untuk dilakukan
tindakan chateterisasi, namun pasien menolak untuk dilakukan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai