PEMBIMBING:
dr. ZULFAHMI, M.Ked (Kard), Sp.JP, FIHA
dr. MASTA NOVA GINTING, M.Ked (Kard), Sp.JP
Faktor Risiko
Secara global faktor risiko dibagi menjadi faktor risiko yang tidak bisa
dirubah (unmodified risk faktor) seperti : usia lanjut, laki-laki dan riwyat keluarga.
Dan faktor risiko yang bisa diubah (modified risk factors) seperti : dyslipidemia,
merokok, hipertensi, DM/sindrom metabolic, dan akifitas fisik yang kurang. Selain
itu dikenal pula faktor risiko yang baru (noval risk faktor), seperti high sensitive C-
Reactive Protein (hsCRP), Lipoprotein-a (LP-a), fibrinogen, honositein,
apolipoprotein-B (apo-B), dll.6
Faktor risiko kardiovaskular6
Dapat diubah Tidak dapat diubah
Dilipidemia (LDL meningkat, HDL Usia lanjut (pria>45tahun;
menurun) wanita>55 tahun)
Merokok Jeniskelamin laki-laki
Hipertensi (TD>140/90 mmHg atau Riwayat penyakit jantung coroner
dalam pengobatan anti hipertensi) dini dalam keluarga (penyakit
jantung coroner pada laki-laki
keturunan keluarga pertama yang
berusia <55 tahun; penyakit jantung
coroner pada perempuan kerutunan
keluarga pertema yang berusia
<65tahun)
Diabetes melitus, sindrom
metabolic
Kurang aktivitas fisik
Patofisiologi
Proses ateroskelrosis sebenarnya sudah simulai sejak masa anak-anak.
Guratan lemak (fatty streak) sudah muncul di tunika intima aorta pada anak usia 3
tahun. Guratan lemak ini bisa berkembang lebih lanjut atau tetap atau mengkin bisa
regresi. Pada pembuluh darah anak baru lahir ditemukan guratan lemak dan lesi
aterosklerosis awal dengan predileksi tempat yang sama dengan dewasa, dan ini
berhubungan dengan kadar kolesterol ibu.1,2,6
Proses aterosklerosis diawali dari berubahnya bentuk koleterol LDL (k-
LDL) menjadi aterogenik mungkin setelah proses oksidasi dan berubah menjadi
LDL yang teroksidasi (Ox LDL). Di sisi lain pada daerah-daerah rawan/predileksi
aterosklerosis (misalnya: aorta dan arteri coroner) endotel bisa mengalami
gangguan (intak tetapi bocor) sehingga menjadi aktif dan terjadi gangguan fungsi,
lama kelamaan bisa terjadi deendotelisasi dengan atau tanpa disertai proses adesi
trombosit. Berdasarkan ukuran dan konsentrasinya, molekul plasma dan partikel
lipoprotein lain bisa melakukan ektravasasi melalui endotel yang rusak/bocor dan
masuk ke ruang subendotelial. LDL yang aterogenik (Ox LDL) akan tertahan dan
berubah menjadi bersifat sitotiksik, proinflamasi, khemotaktik dan proaterogenik.
Karena pengaruh aterogenesis dan stimuli inflamasi tersebut endotel menjadi aktif.
Endotel akan mengeluarkan sitokin. Nitrogen monoksida (NO) yang dihasilkan
endotel menjadi berkurang sehingga fungsi dilatasi endotelpun akan berkurang,
selain itu juga akan mengeluarkan sel-sel adesi (Vasvular Cell Adhesion Molecule-
1, InterCellular Adhesion Molecule-1, E selectin, Pselectin) dan menangkap
monosit dan sel T. monosit akan berubah menjadi makrofag yang akan menangkap
Ox-LDL dan berubah menjadi sel busa (foam cell) yang kemudian akan
berkembang menjadi inti lemak (lipid core) dan mempunyai pelindung fibrosa
(Fibrouse cap). Pelingung fibrousa (PF) ini bisa rapuh sehingga memicu proses
trombogenesus yang berakibat terjadinya sindrom coroner akut (ACS) gangguan
fungsi dilatasi endotel inilah yang diaggap sebagai disfungsi endotel. Dan sel
apototik yang dihasilkan oleh Ox-LDL akan menyebabkan instabilitas/plak dan
memicu terbentuknya thrombus.6
Sebagian besar ACS adalah manifestasi akut dari plak aterosklerosis yang
koyak atau pecah akibat perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrosa
yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oelh proses agregasi
trombosit dan aktivasi jalur koagulasi sehingga terbentuk thrombus yang kaya
trombosit (white thrombus). Thrombus ini akan menyumbat lubang pembuluh
darah coroner, baik secara total maupun parsial atau menjadi miroemboli yang
menyumbat pembuluh coroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelebasan zat
vasoaktif yang menyebabkan vasokotriksi sehingga memperberat gangguan aliran
darah coroner. Berkurangnya aliran darah coroner menyebabkan iskemia
miokardium. Suplai oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit
menyebabkan miokardium mangalami nekrosis (infark miokard/IM).5,6
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
coroner. Sumbatan subtotal yang disertai vasokotriksi yang dinamis juga dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Selain nekrosis, iskemia juga menyebabkan gangguan kontrktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stuning (setelah iskemia hilang), serta disaritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). 5,6
2.2. STEMI
STEMI merupakan sindroma klinis yang dididefinisikan dengan tanda
gejala dan karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten ST
elevasi dan pengeluaran biomarker dari nekrosis miokard. Cardiac troponin
merupakan biomarker yang digunakan untuk diagnosis infark miokard. STEMI
merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih
luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi
segmen ST pada EKG.
Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin dilakukan pada semua
pasien yang memiliki keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada
iskemia. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada
iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada
semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan
yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk
pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pasien SKA
dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet)
baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi.
Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera
mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
Gambar 2.1 Evolusi Gelombang EKG pada STEMI
b. Marka jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis
miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T
sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi
dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis
miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit
tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh
sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal
jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak
yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas,
penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan
insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi
yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi
ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari
troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan
hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat
ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada
seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah)
dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat,
CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun
infark periprosedural.
Pemeriksaan troponin I/T adalah biomarker paling sensitif dan spesifik
sehingga menjadi standar baku emas dalam diagnosis NSTEMI/STEMI, di mana
peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam
setelah onset. Peningkatan kadar troponin biasanya menetap dalam 2 hingga 3 hari,
namun bisa tetap meningkat hingga 2 minggu bila terjadi nekrosis luas. Kadar
troponin bisa saja belum meningkat dalam 6 jam setelah onset gejala, sehingga jika
didapatkan hasil negatif pada pemeriksaan pertama, perlu dilakukan pemeriksaan
ulang dalam 8 hingga 12 jam setelah onset gejala.18
Jika pemeriksaan troponin tidak dapat dilakukan, maka dapat digunakan
penilaian Musscle and Brain fraction of Creatinin Kinase (CK-MB) yang akan
meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan
menetap hingga 2 hari.
c. Cardiac Imaging
a) Echocardiography
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography
hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak
dapat dibedakan dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat
akut dengan echocardiography, prosedur ini masih digunakan karena
keamanannya. Ketika tidak terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI,
deteksi awal akanada atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding
dengan echocardiography dapat digunakan untuk mengambil keputusan,
seperti apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi. Estimasi
echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam segi
prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi
terapi dengan inhibitor RAAS. Echocardiography juga dapat
mengidentifikasi infark pada ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler, efusi
pericardial, dan thrombus pada ventrikel kiri. Selain itu, Doppler
echocardiography juga dapat mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan
regurgitasi mitral, dua komplikasi STEMI.
Tatalaksana STEMI
Tujuan utama tatalaksana STEMI adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
penunjang. Terdapat beberapa pedoman dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST
yaitu dari ACC/AHA tahun 2013 dan ESC tahun 2012, tetapi perlu disesuaikan
dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang
ada.
Gambar. 2.3 Alur Diagnosis dan Tatalaksana STEMI
Pasien dengan STEMI harus segera dibawa ke pelayanan kesehatan dalam
1,5 – 2 jam setelah terjadinya gejala untuk mendapatkan medikamentosa sedini
mungkin. Pasien dengan STEMI harus dilakukan terapi reperfusi dalam 12 jam
awal. Terapi fibrinolitik diindikasikan sebagai terapi reperfusi awal yang dilakukan
pada 30 menit awal dari kedatangan di rumah sakit
Berdasarkan ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients with
ST-Elevation Myocardial Infarction (2013), tatalaksana pasien STEMI dijabarkan
sebagai berikut :
1. Pemberian Oksigen
Suplementasi oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <
94%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama
6 jam pertama.
2. Nitrogliserin
Pasien dengan nyeri iskemik di dada harus diberikan nitrogliserin sublingual 0,4
mg setiap 5 menit dengan dosis maksimal 3 dosis. Setelah melakukan penialaian
seharusnya dievaluasi akan kebutuhan nitrogliserin intravena.
3. Analgesik
Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan dosis 2 – 8 mg
IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit) merupakan pilihan utama untuk
manajemen nyeri yang disebabkan STEMI.
4. Aspirin
Aspirin kunyah harus diberikan pada pasien yang belum pernah mendapatkan
aspirin pada kasus STEMI. Dosis awal yang diberikan 162 mg sampai 325 mg.
Selanjutnya aspirin diberikan secara oral dengan dosis 75-162 mg.
5. Beta Bloker
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV,
selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa digunakan adalah metoprolol 5
mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis.
6. Klopidogrel
Pemberian Klopidogrel 600 mg sedini mungkin dan dilanjutkan dengan dosis
rumatan sebesar 75 mg per hari. Obat-obat seperti penghambat reseptor beta dan
ACE inhibitor harus segera diberikan kecuali terdapat kontraindikasi dan pasien
harus dalam keadaan hemodinamik stabil. Statin dilaporkan memberikan hasil yang
baik. Suatu registri di Israel melaporkan pasien yang menjalani IKP dan telah
mendapat statin sebelumnya, mortalitas jangka pendeknya akan berkurang.
Terapi Reperfusi
Semua pasien STEMI seharusnya menjalani evaluasi untuk terapi reperfusi.
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle atau
medical contact to balloon time untuk IKP dapat dicapai dalam 90 menit7.
Reperfusi, dengan fibrinolisis atau IKP primer, diindikasikan dalam waktu kurang
dari 12 jam sejak onset nyeri dada untuk semua pasien infark miokard yang juga
memenuhi salah satu kriteria berikut :
ST elevasi > 0,1mV pada >2 ujung sensor EKG di dada yang berturutan,
ST elevasi >0,2mV pada >2 ujung sensor di tungkai berurutan,
Left bundle branch block baru.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada
tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung
pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik
rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari 2
jam. Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik.
Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke
pusat dengan fasilitas IKP
Terapi Fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada
tempat-tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu
yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam
sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer
tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak
medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala)
dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih
dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.
Jenis obat fibrinolotik sebagai terapi reperfusi adalah:
Streptokinase
◦ Dosis awal 1,5 juta U/100ml Dextrose 5% atau larutan saline 0,9%
dalam waktu 30-60 menit.
◦ Koterapi Heparin i.v selama 24-48 jam
Alteptase
◦ Dosis awal bolus 15 mg intravena 0,75 mg/kg selama 30 menit,
kemudian 0,5mg / kg selama 60 menit, dosis total tidak lebih dari
100mg
◦ Koterapi Heparin i.v selama 24-48 jam
Pemberian Antikoagulan
Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan
terapi antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat inap,
hingga maksimum 8 hari. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi,
dapat diberikan terapi antikoagulan selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari
pemberian. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi Low Molecular Weight
Heparin (LMWH) atau fondaparinuks dengan regimen dosis sama dengan pasien
yang mendapat terapi fibrinolisis.
Jenis-jenis obat antikoagulan antara lain:
Warfarin
o Dosis awal yang dapat diberikan yaitu 10 mg dan 5 mg pada hari
kedua dengan pengaturan dosis pada hari ketiga sekitar 3-7,5 mg.
o Pemberian obat ini secara oral.
o Kontraindikasi pemberian pada penyakit-penyakit dengan
kecenderungan perdarahan, tukak saluran cernaa, defisisensi
vitamin K, serta penyakit hati dan ginjal yang berat.
Heparin
o Dosis awal yang diberikan yaitu 60 U/kgBB (maksimal 4000 U)
secara bolus. Kemudian pemberian lanjutan melalui infuse dengan
dosis 12 U/kgBB.
o Pemberian heparin dikontraindikasikan pada pasien yang sedang
mengalami perdarahan misalnya pasien hemophilia, endokarditis
bacterial subakut, perdarahan intracranial, hipertensi berat, dan
syok.
Enoxaparin (Lovenox)
o Dosis yang diberikan 1 mg/kg setiap 12 jam subkutan, ditambah
dengan pemberian aspirin 100-325 setiap harinya selama minimal
2 hari.
o Kontraindikasi pemberian obat ini adalah kecenderungan
hemoragia dan pernah menderita trombositopenia selama
pengobatan.
2.3. Komplikasi
Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90 mmHg.
Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga disebabkan oleh
hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi
dapat menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular necrosis dan berkurangnya urine
output.
Kongesti paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal,
berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada Roentgen dada dan
perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator.
Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan penyebab
kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati 50%. Meskipun
syok seringkali terjadi di fase awal setelah awitan infark miokard akut, ia biasanya
tidak didiagnosis saat pasien pertama tiba di rumah sakit. Penelitian registry
SHOCK (SHould we emergently revascularize Occluded coronaries for
Cardiogenic shoCK) menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik terjadi dalam 6
jam dan 75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda dan gejala klinis syok kardiogenik
yang dapat ditemukan beragam dan menentukan berat tidaknya syok serta berkaitan
dengan luaran jangka pendek. Pasien biasanya datang dengan hipotensi, bukti
output kardiak yang rendah (takikardia saat istirahat, perubahan status mental,
oliguria, ekstremitas dingin) dan kongesti paru. Kriteria hemodinamik syok
kardiogenik adalah indeks jantung 18 mmHg. Selain itu, diuresis biasanya 90
mmHg. Syok kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas,
namun juga dapat terjadi pada infark ventrikel kanan. Baik mortalitas jangka
pendek maupun jangka panjang tampaknya berkaitan dengan disfungsi sistolik
ventrikel kiri awal dan beratnya regurgitasi mitral. Adanya disfungsi ventrikel
kanan pada ekokardiografi awal juga merupakan prediktor penting prognosis yang
buruk, terutama dalam kasus disfungsi gabungan ventrikel kiri dan kanan. Indeks
volume sekuncup awal dan followup serta follow-up stroke work index merupakan
prediktor hemodinamik paling kuat untuk mortalitas 30 hari pada pasien dengan
syok kardiogenik dan lebih berguna daripada variabel hemodinamik lainnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penilaian dan tatalaksana syok
kardiogenik tidak mementingkan pengukuran invasif tekanan pengisian ventrikel
kiri dan curah jantung melalui kateter pulmonar namun fraksi ejeksi ventrikel kiri
dan komplikasi mekanis yang terkait perlu dinilai segera dengan ekokardiografi
Doppler 2 dimensi.
Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam pertama
setelah infark miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam 11 ±5 hari sejak
infark miokard akut melaporkan insidensi fibrilasi atrium awitan baru sebesar 28%,
VT yang tidak berlanjut sebesar 13%, blok AV derajat tinggi sebesar 10% (≤30
detak per menit selama ≥8 detik), sinus bradikardi sebesar 7% (≤30 detak per menit
selama ≥8 detik), henti sinus sebesar 5% (≥5 detik), VT berkelanjutan sebesar 3%
dan VF sebesar 3%.
Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa manifestasi dari kondisi
berat yang mendasarinya, seperti iskemia miokard, kegagalan pompa, perubahan
tonus otonom, hipoksia, dan gangguan elektrolit (seperti hipokalemia) dan
gangguan asam-basa. Keadaan-keadaan tersebut memerlukan perhatian dan
penanganan segera. Blok AV derajat tinggi dulunya merupakan prediktor yang
lebih kuat untuk kematian akibat jantung dibandingkan dengan takiaritmia pada
pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Aritmia supraventikuler
Fibrilasi atrium merupakan komplikasi dari 6-28% infark miokard dan sering
dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat dan gagal jantung. Fibrilasi
atrium dapat terjadi selama beberapa menit hingga jam dan seringkali berulang.
Seringkali aritmia dapat ditoleransi dengan baik dan tidak memerlukan pengobatan
selain antikoagulasi. Dalam beberapa kasus laju ventrikel menjadi cepat dan dapat
menyebabkan gagal jantung sehingga perlu ditangani dengan segera. Kendali laju
yang cukup diperlukan untuk mengurangi kebutuhan oksigen miokardium, dan
dapat dicapai dengan pemberian penyekat beta atau mungkin antagonis kalsium,
baik secara oral maupun intravena. Beberapa (namun tidak semua) penelitian
menyatakan bahwa terjadinya fibrilasi atrium dalam keadaan infark miokard akut
merupakan prediktor independen untuk all-cause mortality, dan tidak tergantung
dari pengobatan yang diberikan. Fibrilasi atrium tidak hanya meningkatkan risiko
stroke iskemik selama perawatan namun juga selama follow-up, bahkan pada AF
paroksismal yang telah kembali menjadi irama sinus saat pasien dipulangkan.
Pasien dengan AF dan faktor risiko untuk tromboembolisme perlu menjalani terapi
antikoagulasi oral secara benar. Karena AF biasanya memerlukan antikoagulasi,
pemilihan stent DES saat re-stenosis perlu dipertimbangkan secara hati-hati
terhadap risiko perdarahan serius yang dikaitkan dengan kombinasi tiga terapi
antitrombotik yang berkepanjangan. Takikardia supraventrikular jenis lain amat
jarang terjadi, self-limited dan biasanya membaik dengan manuver vagal. Adenosin
intravena dapat dipertimbangkan untuk keadaan ini bila kemungkinan atrial flutter
telah disingkirkan dan status hemodinamik stabil. Selama pemberian, EKG pasien
perlu terus diawasi. Bila tidak diindikasikontrakan, penyekat beta juga dapat
berguna. Bila aritmia tidak dapat ditolerir dengan baik, kardioversi elektrik dapat
diberikan.
Aritmia ventrikuler
Ventricular premature beats hampir selalu terjadi dalam hari pertama fase akut dan
aritmia kompleks seperti kompleks multiform, short runs atau fenomena R-on-T
umum ditemukan. Mereka dianggap tidak dapat dijadikan prediktor untuk
terjadinya VF dan tidak memerlukan terapi spesifik. Takikardi ventrikel perlu
dibedakan dengan irama idioventrikular yang terakselerasi. Irama tersebut terjadi
akibat reperfusi, di mana laju ventrikel
2.3.2. Jantung
Usia lanjut, gejala Killip II-IV, penyakit 3 pembuluh, infark dinding anterior,
iskemia berkepanjangan atau berkurangnya aliran TIMI merupakan faktor risiko
terjadi komplikasi kardiak. Beberapa komplikasi mekanis dapat terjadi secara akut
dalam beberapa hari setelah STEMI, meskipun insidensinya belakangan berkurang
dengan meningkatnya pemberian terapi reperfusi yang segera dan efektif. Semua
komplikasi ini mengancam nyawa dan memerlukan deteksi dan penanganan secepat
mungkin. Pemeriksaan klinis berulang (minimal dua kali sehari) dapat menangkap
murmur jantung baru, yang menunjukkan regurgitasi mitral atau defek septum
ventrikel, yang kemudian perlu dikonfirmasi dengan ekokardiografi segera. CABG
secara umum perlu dilakukan apabila pantas saat operasi pada pasien yang
memerlukan operasi darurat untuk komplikasi mekanis yang berat.
Ruptur Jantung
Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase subakut setelah infark
transmural, dan muncul sebagai nyeri tiba-tiba dan kolaps kardiovaskular dengan
disosiasi elektromekanis. Hemoperikardium dan tamponade jantung kemudian
akan terjadi secara cepat dan bersifat fatal. Diagnosis dikonfirmasi dengan
ekokardiografi. Apabila tersumbat oleh formasi trombus, ruptur dinding subakut
yang terdeteksi dengan cepat dapat dilakukan perikardiosentesis dan operasi segera.
Perikarditis
Insidensi perikarditis setelah STEMI semakin berkurang dengan semakin majunya
terapi reperfusi yang modern dan efektif. Gejala perikarditis antara lain nyeri dada
berulang, biasanya khas yaitu tajam dan, bertentangan dengan iskemia rekuren,
terkait dengan postur dan pernapasan. Perikarditis dapat muncul sebagai re-elevasi
segmen ST dan biasanya ringan dan progresif, yang membedakannya dengan re-
elevasi segmen ST yang tiba-tiba seperti pada re-oklusi koroner akibat trombosis
stent, misalnya. Pericardial rub yang terusmenerus dapat mengkonfirmasi
diagnosis, namun sering tidak ditemukan, terutama apabila terjadi efusi perikardial
berat. Ekokardiografi dapat mendeteksi dan menentukan besarnya efusi, bila ada,
dan menyingkirkan kecurigaan efusi hemoragik dengan tamponade. Nyeri biasanya
menghilang dengan pemberian aspirin dosis tinggi, paracetamol atau kolkisin.
Pemberian steroid dan NSAID jangka panjang perlu dihindari karena dapat
menyebabkan penipisan jaringan parut dan pembentukan aneurisma atau ruptur.
Perikardiosentesis jarang diperlukan, namun perlu dilakukan apabila terdapat
perburukan hemodinamik dengan tanda-tanda tamponade. Bila terjadi efusi
perikardial, terapi antikoagulan yang sudah diberikan (misalnya sebagai profilaksis
tromboemboli vena) perlu dihentikan kecuali apabila benar-benar diindikasikan
pemberiannya.
2.4. Prognosis
TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan
anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI
yang mendapat terapi fibrinolitik.2
Faktor Risiko (Bobot) Skor Risiko / Mortalitas 30 hari
(%)
Usia 65-74 tahun (2 poin) 0 (0,8)
*klasifikasi Killip
Kelas Definisi Proporsi pasien Mortalitas (%)
1 Tidak ada tanda 40-50% 6
gagal jantung
kongestif
2 + s3 dan/atau 30-40% 17
ronki basah di
basal paru
3 Edema paru akut 10-15% 30-40
4 Syok kardiogenik 5-10% 60-80
BAB III
STATUS PASIEN
ANAMNESIS
Autoanamnesis Heteroanamnesis
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Keluhan Utama : Nyeri dada sebelah kiri
Deskripsi : Seorang pasien, laki-laki, berusia 44 tahun dibawa oleh
keluarga ke IGD RSUD Deli Serdang dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri yang
dirasakan mulai dari pagi hari dan memberat pada malam hari sekitar jam 8 malam.
Nyeri dirasakan tiba-tiba dan dirasakan hilang timbul. Nyeri dirasakan seperti
tertekan benda berat selama 30 menit dan menjalar ke punggung, leher xdan lengan
sebelah kiri. Keluarga pasien juga mengeluhkan sesak napas dan keringat dingin
yang timbul bersamaan dengan nyeri dada. Sesak berkurang bila pasien dalam
posisi duduk. Sebelumnya pasien sudah berobat ke 2 klinik, namun keluhan tidak
berkurang Pasien mengatakan beberapa tahun belakangan sering mengalami nyeri
dada saat beraktivitas namun biasanya nyeri dada sembuh sendiri setelah istirahat
beberapa saat.
Demam (-), batuk (-), mudah lelah (+). Riwayat merokok (+). Riwayat hipertensi
dan DM pasien tidak mengetahui dikarenakan pasien tidak pernah memeriksa
tekanan darah dan kadar gula darahnya.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Tanggal Penyakit Tempat Pengobatan dan
Perawatan Operasi
Tidak diketahui -
RIWAYAT KELUARGA
-
RIWAYAT PRIBADI
Riwayat Alergi
Tahun Bahan/Obat Gejala
- - -
Kepala dan leher : Tidak ada keluhan Alat kelamin : Tidak ada keluhan
Mata : Tidak ada keluhan tidak ada Ginjal dan Saluran Kencing : Tidak
keluhan ada keluhan
DESKRIPSI UMUM
Kesan Sakit Ringan Sedang Berat
Gizi :
Berat Badan: 93 kg Tinggi Badan: 168 cm RBW: kg/m2
IMT : kg/m2, kesan : Obesitas
TANDA VITAL
Kesadaran Komposmentis Deskripsi: Tampak Lemas
Nadi Frekuensi 98 x/i t/v cukup
Tekanan Berbaring : Duduk :
Lengan kanan : 160/70 mmHg Lengan kanan :
Lengan kiri : mmHg mmHg
Lengan kiri :
mmHg
Temperatur Aksila : 36,8 °C
Pernafasan Frekuensi: 28 x/i Deskripsi: reguler
KULIT : dbn
KEPALA DAN LEHER :
TVJ -2 cmH2O, trakea medial, pembesaran KGB (-), struma (-)
TELINGA : dbn
HIDUNG : dbn
RONGGA MULUT DAN TENGGOROKAN : dbn
MATA :
Conjunctiva palp inf : pucat (-) ,sclera ikterik (-) , refleks cornea +/+ ,pupil:
Isokor, ki=ka, ø 2 mm
THORAKS :
Depan Belakang
Inspeksi Simetris Fusiformis Simetris Fusiformis
Palpasi SF : Normal SF : Normal
Perkusi Sonor sonor
Auskultasi SP : Vesikuler SP : Vesikuler
ST : - ST : -
JANTUNG
Inspeksi : tidak terlihat pulsasi pada ictus kordis
Perkusi :
Batas Jantung Relatif : Atas : ICS II linea parasternal sinistra
Kanan : ICS II linea parasternal dextra
Kiri : ICS V linea midclavikularis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I/II (+)
Jantung : HR : 98 x/i,reguler desah (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel , H/L/R: Normal, nyeri tekan (-) , undulasi (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik normal, double sound (-)
PUNGGUNG
Normal , tapping pain (-)
EKSTREMITAS
Superior : oedem (-) / (-)
Inferior : oedem (-) / (-)
ALAT KELAMIN
Tidak dilakukan pemeriksaan
REKTUM
Tidak dilakukan pemeriksaan
NEUROLOGI
Tidak dilakukan pemeriksaan
BICARA : Normal
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
(02-11-2019)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hb 14,15 g/dl 13-5-18,0
Leukosit * 16,05 .103/uL 4-10,5
Eritrosit 5,45 juta/uL 4,7-6
Trombosit 320,7 .103/uL 150-450
Hematokrit 42,2 % 42-52
MPV 9,5 fL 6-9,5
RDW * 16,4 % 11,5-14
MCV * 77,4 fl 78-100
MCH * 26,0 pg 27-31
MCHC 33,5 g/dl 30-35
HITUNG JENIS
Eosinofil * 0,34 % 1-4
Basofil 0,36 % 0,0-1
Neutrofil * 81,788 % 50-70
Limfosit * 14 % 20-40
Monosit 3,54 % 2-8
LED 17 % 0 - 20
RENAL
FUNCTION
Urea 23 mg/dL 20 - 40
Creatinine 1 mg/dL 0,70 – 1,1
KIMIA KLINIK
Glukosa Sewaktu * 221 mg/dL 100 - 140
Asam Urat * 8,4 mg/dL 3,5 -7,2
ELECTROLYTE
Natrium 143 mEq/L 135-147
Kalium 4,2 mEq/L 3,50-5,50
Chloride 99 mEq/L 94-111
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
(02-11-2019)
Hasil Pemeriksaan :
Foto Thoraks
Cor membesar
Sinus dan diafragma normal
Trachea di tengah
Corakan bronkovaskuler dalam batas normal
Tampak infiltat paracardial
Tulang-tulang intact
KESAN :
Kardiomegali + Bronchopneumonia
PEMERIKSAAN EKG
PBJ
Terapi pulang :
Furosemide 1 x 40 mg
Ksr 1 x 600 mg
Clopidogrel 1 x 75 mg
Aptor 1 x 100 mg
Atorvastatin 1 x 4 mg
ISDN 3 X 5mg
Candesartan 1 x 8 mg
Concor 1 x 2,5 mg
Laxadine syrup 1 x 1 ct
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki usia 44 tahun datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri yang
terasa tertekan yang dialami selama lebih kurang 30 menit disertai dengan sesak
dan keringat dingin didiagnosa mengalami STEMI Inferior onset < 12 jam.
Diagnosa ini ditegakkan setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang berupa ekg, foto thoraks, laboratorium darah rutin, RFT
dan tes elektrolit. Untuk penanganan pasien diberikan obat-obatan untuk
meringankan rasa sakit, mengurangi tingkat kekambuhan penyakit dan mencegah
komplikasi. Pada STEMI dengan onset < 12 jam dianjurkan untuk dilakukan
tindakan chateterisasi, namun pasien menolak untuk dilakukan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA