Anda di halaman 1dari 20

Laporan Kasus

SMF Pediatri

SINDROM NEFROTIK RELAPS PADA ANAK LAKI-LAKI USIA 1


TAHUN 6 BULAN

Penyaji: Lucky Pesta Uli Damanik

Andrea Hasudungan Marpaung

Tanggal:

Pembimbing: dr. Rita Evalina Rusli, Sp.A(K)

Pendahuluan

Sindrom nefrotik (SN) merupakan suatu penyakit ginjal yang kejadiannya


banyak terjadi pada anak-anak. Penyakit ini ditandai dengan sindrom klinik yang
terdiri dari beberapa tanda seperti proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio
protein/kreatin pada urin dipstick > 2+), hipoalbuminemia <2,5 g/dl, edema dan
hiperkolesterolemia.

Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua
gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi
pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah, ekskresi protein
dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai
kompli-kasi yang terjadi pada SN. Hipoalbumine-mia, hiperlipidemia, lipiduria,
gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme
kalsium, tulang, dan hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN
fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit
ginjal tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode, SN dapat sembuh sendiri dan
menunjukkan respons yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lain dapat
berkembang menjadi kronik

Berdasarkan pemikiran bahwa penyebab SN sangat luas maka anamnesis,


pemeriksaan fisik, serta pemeriksaaan urin termasuk pemeriksaan sedimen perlu
dilakukan dengan cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum, kolesterol, dan
trigliserida juga membantu penilaian terhadap SN. Anamnesis penggunaan obat,
kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat penyakit sistemik lain perlu
diperhatikan.
Oleh karena itu dibutuhkan penegakan diagnosis SN dan terapi yang tepat
untuk mencegah komplikasi fatal potensial. Pada laporan ini akan dibahas
mengenai kasus SN yang datang ke RS Murni Teguh Memorial Hosptial medan.

Tujuan dari laporan kasus ini adalah melaporkan suatu kasus relaps pada anak
laki-laki penderita sindrom nefrotik usia 1 tahun 6 bulan

Kasus

Pasien, U.S, laki-laki usia 1 tahun 6 bulan, dibawa oleh ibu pasien ke IGD Rumah
Sakit Murni Teguh Memorial Hospital pada hari Senin, 21 Mei 2019 dengan
keluhan bengkak di seluruh tubuh. Bengkak dialami secara perlahan paling terlihat
mulai dari bawah mata ke seluruh tubuh sejak 2 minggu lalu. Mata pasien selain
bengkak juga sulit dibuka dan banyak kotoran mata yang lengket dan kental.. Pola
makan pasien ±3 minggu sebelum masuk rumah sakit tidak teratur dan bebas
minum susu sebanyak yang diinginkan pasien. Pasien mengalami batuk, flu dan
pilek 2 minggu sebelum mulai bengkak. Tidak ada riwayat demam, mual dan
muntah. Buang air besar normal namun Ibu pasien mengatakan dua minggu terakhir
air kencing sedikit dan berwarna pekat seperti warna teh.

Riwayat kelahiran: Lahir secara SC, cukup bulan, dengan BB 3200 gram, PB: tidak
ingat, LK: tidak ingat.

Riwayat imunisasi: Imunisasi tidak lengkap, hanya saat baru lahir.

Riwayat penyakit terdahulu: Sebelumnya pasien sudah pernah dirawat dengan


keluhan yang sama pada 21 November 2018

Riwayat pemakaian obat: Obat dari dokter, ibu pasien tidak mengingat nama-nama
obat pasien.
Pemeriksaan Fisik
Sensorium : CM
Temperatur : 37,1°C
BB : 12,30 kg
PB : 80 cm
BB/U :
PB/U :
BB/PB :
Pucat (‒) Ikterik (‒) Sianosis (‒) Dispnoe (‒) Edema (‒)
Kepala : Normocephali, Simetris, Deformitas tulang (‒)
Rambut hitam tidak mudah dicabut
Tampak edema pada seluruh wajah
Mata : Refleks cahaya (+/+), Pupil bulat isokor Ø 3mm/3mm,
Edema palpebra (+/+), Conjungtiva anemis (‒/‒),
Sklera ikterik (‒/‒)
Telinga : Bentuk normal, Liang telinga bersih kiri = kanan
Hidung : Nafas cuping hidung (‒), Mukosa merah muda, sekret (‒),
Edema konka (‒/‒), Septum deviasi(‒)
Mulut : Mukosa bibir kering (‒), Sianosis (‒)
Stomatitis (‒), Gingivitis(‒), Bercak lidah (‒), Tremor (‒)
Tonsil T1/T1 tenang, Faring hiperemis (+)
Leher : Trakea terletak ditengah, Pembesaran KGB (‒),
Kaku kuduk (‒)
Thoraks : Simetris fusiformis, ketinggalan pernafasan (‒)
Retraksi sela iga (‒), Suara pernafasan vesikuler,
Suara tambahan (‒) Bunyi jantung S1/S2 reguler
Frekuensi jantung: 142x/menit, reguler, tidak ada murmur
Frekuensi napas: 28x/menit, reguler, tidak ada ronki
Abdomen : Abdomen terlihat cembung kesan asites,
Peristaltik (+) normal, Redup diseluruh regio,
Soepel, H/L/R tidak teraba
Genitalia : Skrotum dan penis tampak membengkak
Extremitas : Nadi 142x/menit, reguler, tegangan/volume cukup
Capillary refill time <2 detik, tidak sianosis.
Superior : Akral hangat, palmar eritema (‒)
Inferior : Akral hangat, pitting edema (+/+)

Hasil Laboratorium darah 21/05/2019

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN

HEMATOLOGI
Haemoglobin * 9.0 10.6 - 16.0 g/dl
Leukosit 13.64 6.00 - 18.00 10^3/µL
Eritrosit * 3.14 3.40 - 5.00 10^6/µL
Thrombosit * 627 150 - 450 10^3/µL
Hematokrit * 25.3 32.0 - 50.0 %
MPV 6.9 6.0 - 9.5 fL
RDW * 16.2 11.5 - 14.0 %
HDW 2.91 2.38 - 3.15 g/dL
PDW 44.1 25.0 - 65.0 %
Nilai Nilai MC
MCV 80.7 72.0 - 88.0 fL
MCH 28.5 24.0 - 30.0 pg
MCHC * 35.4 30.0 - 35.0 g/dL
Hitung Jenis
Eosinofil 1.5 1.0 - 3.0 %
Basofil 0.7 0.0 - 1.0 %
Neutrofil 51.2 50.0 - 70.0 %
Limfosit 34.6 20.0 - 40.0 %
Monosit * 12.0 2.0 - 8.0 %
KIMIA
LIVER FUNCTION
Albumin * 0.2 3.4 - 5.0 g/dl
RENAL FUNCTION
Urea * 65 13 - 43 mg/dl
Creatinine * 0.41 0.90 - 1.30 mg/dl
ELECTROLYT TES
Natrium 136 135 - 147 mmol/l
Kalium 4.90 3.50 - 5.50 mmol/l
Chloride * 112 94 – 111 mmol/l
Calcium * 6.0 9.0 - 11.0 mg/dl

Hasil Laboratorium Urin Rutin 21/05/2019


Differential Diagnosis:

- Sindrom Nefrotik Relaps


-

FOLLOWUP PASIEN
21/5/2019
S :  Bengkak terdapat di daerah kelopak mata pasien, di daerah
perut dan kaki, dan kemaluan.
 Batuk juga dikeluhkan dan disertai dahak.
 BAB (‒) tidak ada sejak masuk
 BAK bewarna kuning keruh

O : Status Present: Sensorium CM, TD: - mmHg, Nadi: 126


x/menit, RR: 26x/menit, suhu tubuh: 36,8 0C.

Pemeriksaan fisik
Kepala : Edema pada seluruh wajah
Mata : Palpebra edema (+)
Telinga : dbn
Hidung : dbn
Mulut : Faring hiperemis (+)
Leher : Kaku kuduk (‒)
Thoraks : Suara vesikuler
Abdomen : Acites (+).
Genitalia : Edema skrotum (+), edema penis (+)
Ektremitas: Pitting edema (+) pada kedua tungkai.
Berat badan : 12.48 kg
A : Sindrom Nefrotik Relaps + Faringitis
P : - Inj. Ceftriakson 500mg/12 jam
- Inj. Furosemide 40mg/8 jam
- Spironolakton 2x35mg
- Diet rendah garam 1100 kkal + 15 gr protein

Rencana : Pantau urine output, Timbang berat badan, USG


kidney and blader, Infus albumin 20gr dalam 100cc.

22/5/2019
S :  Bengkak masih terdapat di daerah kelopak mata pasien, di
daerah perut dan kaki, dan kemaluan.
 Ibu anak mengeluhkan demam naik turun
 Batuk juga masih dikeluhkan dan disertai dahak.
 BAB (‒) tidak ada sejak masuk
 BAK bewarna kuning keruh

O : Status Present: Sensorium CM, TD: - mmHg, Nadi:


120x/menit, RR: 24x/menit, suhu tubuh: 38 0C.

Pemeriksaan fisik
Kepala : Edema pada seluruh wajah
Mata : Palpebra edema (+)
Telinga : dbn
Hidung : dbn
Mulut : Faring hiperemis (+)
Leher : Kaku kuduk (‒)
Thoraks : Suara vesikuler
Abdomen : Acites (+).
Genitalia : Edema skrotum (+), edema penis (+)
Ektremitas: Pitting edema (+) pada kedua tungkai.

Berat badan : 12.48 kg, UOP 12 Jam 450 CC


A : Sindrom Nefrotik Relaps + Faringitis
P : - IVFD D5 NaCL 0,45% 15 gtt/menit mikro
- Infus allbumin 20gr dalam 100cc dalam 6 jam
- Paracetamol drip 120 mg
- Inj. Ceftriakson 500mg/12 jam
- Inj. Furosemide 40mg/8 jam
- Bikarbonat natricus 3x1 tablet gerus
- Spironolakton 2x35mg
- Diet rendah garam 1100 kkal + 15 gr protein

Rencana : Timbang berat badan, Ukur lingkar perut

23/5/2019
S :  Bengkak mulai berkurang di daerah kelopak mata pasien,
didaerah perut dan kaki, dan kemaluan.
 Demam naik turun
 Batuk juga masih dikeluhkan dan disertai dahak.
 BAB (+)
 BAK bewarna kuning keruh

O : Status Present: Sensorium CM, TD: - mmHg, Nadi:


113x/menit, RR: 28x/menit, suhu tubuh: 39,1 0C.

Pemeriksaan fisik
Kepala : Edema pada seluruh wajah
Mata : Palpebra edema (+)
Telinga : dbn
Hidung : dbn
Mulut : Faring hiperemis (+)
Leher : Kaku kuduk (‒)
Thoraks : Suara vesikuler
Abdomen : Acites (+).
Genitalia : Edema skrotum (+), edema penis (+)
Ektremitas: Pitting edema (+) pada kedua tungkai.

Berat badan : 12.8 kg, Lingkar perut 58 cm

Gambaran USG (22/05/2019)


- Ginjal bilateral dan vesica urinaria saat tak tampak
kelainan
- Acites minimal
- Efusi pleura kanan minimal

A : Sindrom Nefrotik Relaps + Faringitis


P : - IVFD RL 75 CC selama 2 jam, lalu diturunkan menjadi 25
CC/jam
- Inj. Ceftriakson 500mg/12 jam
- Inj. Furosemide 40mg/8 jam
- Bikarbonat natricus 3x1 tablet gerus
- Paracetamol Sirup 3x160 mg
- Spironolakton 2x35mg
- Diet rendah garam 1100 kkal + 15 gr protein

Rencana : Cek elektrolit, Albumin.


24/5/2019
S :  Bengkak mulai berkurang pada kelopak mata pasien,
didaerah perut dan kaki, dan kemaluan.
 Demam naik turun
 Batuk juga masih dikeluhkan dan disertai dahak.
 BAB (+)
 BAK bewarna kuning keruh

O : Status Present: Sensorium CM, TD: - mmHg, Nadi:


130x/menit, RR: 26x/menit, suhu tubuh: 37.2 0C, Berat badan :
15 kg.

Pemeriksaan fisik
Kepala : Edema pada seluruh wajah, berkurang
Mata : Palpebra edema (+), berkurang
Telinga : dbn
Hidung : dbn
Mulut : Faring hiperemis (+)
Leher : Kaku kuduk (‒)
Thoraks : Suara vesikuler
Abdomen : Acites (+).
Genitalia : Edema skrotum (+), edema penis (+), berkurang
Ektremitas: Pitting edema (+) pada kedua tungkai.

Elektrolit (24/05/2019)
Natrium 141 135 - 147
Kalium 4.40 3.50 - 5.50
Chloride 108 94 - 111
Calcium* 6.4 9.0 - 11.0
Albumin (24/05/2019)
Albumin* 0.3 3.4 -5
A : Sindrom Nefrotik Relaps + Faringitis
P : - IVFD RL 10 CC/jam
- Inj. Ceftriakson 500mg/12 jam
- Inj. Furosemide 40mg/8 jam
- Infus allbumin 20gr dalam 100cc dalam 6 jam
- Paracetamol Sirup 3x160 mg
- Aldactone 3x25 mg
- HTC 2x10 mg
- Diet rendah garam 1100 kkal + 15 gr protein

Rencana : Aff infus, Ukur lingkar perut, Timbang berat badan

25/5/2019
S :  Bengkak berkurang pada kelopak mata pasien, didaerah
perut dan kaki, dan kemaluan.
 Batuk juga masih dikeluhkan dan disertai dahak.
 BAB (+)
 BAK bewarna kuning keruh

O : Status Present: Sensorium CM, TD: - mmHg, Nadi:


115x/menit, RR: 26x/menit, suhu tubuh: 37 0C, Berat badan :
12.3 kg.
Pemeriksaan fisik
Kepala : Edema pada seluruh wajah, berkurang
Mata : Palpebra edema (+), berkurang
Telinga : dbn
Hidung : dbn
Mulut : Faring hiperemis (+)
Leher : Kaku kuduk (‒)
Thoraks : Suara vesikuler
Abdomen : Acites (+).
Genitalia : Edema skrotum (+), edema penis (+), berkurang
Ektremitas: Pitting edema (+) pada kedua tungkai.

Lingkar Perut : 54 cm, Berat badan 12.8 kg


A : Sindrom Nefrotik Relaps + Faringitis
P : - Inj. Ceftriakson 500mg/12 jam
- Inj. Furosemide 30mg/8 jam
- Spironolakton 3x35mg
- Paracetamol Sirup 3x160 mg K/P
- Metilprednisolon 2-2-1
- Diovan 1x10 mg pulvis
- Diet rendah garam 1100 kkal + 15 gr protein

Rencana : Cek ulang albumin

26/5/2019
S :  Bengkak jauh berkurang pada kelopak mata pasien,
didaerah perut dan kaki, dan kemaluan.
 Demam naik turun
 Batuk disertai dahak makin memberat
 BAB (+)
 BAK bewarna kuning keruh

O : Status Present: Sensorium CM, TD: - mmHg, Nadi:


102x/menit, RR: 24x/menit, suhu tubuh: 38.3 0C.

Pemeriksaan fisik
Kepala : Edema pada seluruh wajah, berkurang
Mata : Palpebra edema (+), berkurang
Telinga : dbn
Hidung : dbn
Mulut : Faring hiperemis (+)
Leher : Kaku kuduk (‒)
Thoraks : Suara vesikuler
Abdomen : Acites (+).
Genitalia : Edema skrotum (+), edema penis (+), berkurang
Ektremitas: Pitting edema (+) pada kedua tungkai.

A : Sindrom Nefrotik Relaps + Faringitis


P : - Inj. Ceftriakson 500mg/12 jam
- Inj. Furosemide 30mg/8 jam
- Nebul Venolin 2x2.5mg
- Spironolakton 3x35mg
- Paracetamol Sirup 3x160 mg K/P
- Metilprednisolon 2-2-1
- Diovan 1x10 mg pulvis
- Diet rendah garam 1100 kkal + 15 gr protein.

Rencana : Cek kultur urine

Diskusi
Sindrom Nefrotik (SN) adalah kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari
proteinuria masif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine
sewaktu > 2 mg/mg atau dipstick ≥2+), hipoalbuminemia (≤ 2,5 gr/dL), edema, dan
dapat disertai hiperkolesterolemia (250 mg/uL). Prevalensi SN idiopatik pada
anak-anak berkisar 16 kasus per 100.000 anak dengan rata-rata 2-7 kasus baru per
100.000 anak. Insidensi SN di negara berkembang masih sangat tinggi. Di
Indonesia dilaporkan 6 kasus per 100.000 per tahunnya dengan perbandingan anak
laki-laki dengan anak perempuan 2:1. Berdasarkan etiologi, SN dibagi menjadi SN
kongenital, SN primer, dan SN sekunder. SN kongenital terjadi pada tiga bulan
pertama kehidupan dengan penyebab yang tidak diketahui/idiopatik. Kondisi yang
menyebabkan SN kongenital antara lain Finnish-type congenital nephrotic
syndrome (NPHS1, nephrin), Denys-Drash syndrome (WT1), Frasier syndrome
(WT1), Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1). SN primer adalah penyakit
dengan kelainan terbatas hanya di dalam ginjal dan etiologinya tidak diketahui.
Etiologi SN primer mungkin berhubungan dengan genetik, imunologi, dan alergi.
Berdasarkan patologi anatomi, SN primer terbagi menjadi Sindrom Nefrotik
Kelainan Minimal (SNKM), Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS),
Mesangial Proliferative Difuse (MPD), Glomerulonefritis Membranoproliferatif
(GNMP), Nefropati Membranosa (GNM). Kelainan patologi anatomi yang paling
sering ditemukan pada anak adalah sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM).
Sindrom nefrotik sekunder adalah sindrom nefrotik yang timbul sebagai
akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang
nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai antara
lain penyakit metabolik atau kongenital (diabetes melitus, amyloidosis, sindrom
Alport), infeksi (hepatitis B, AIDS), toksin dan alergen (logam berat, penicillin,
probenecid, racun serangga), serta penyakit sistemik bermediasi imunologik
misalnya Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Henoch-Schonlein Purpura
(HSP).

Batasan definisi pada sindrom nefrotik


Sindrom nefrotik Edema dengan proteinuria >40 mg/m2 per
jam atau rasio protein urin:kreatinin ≥2000
mg/g (≥200 mg/mmol) atau proteinuria ≥2+
pada dipstick dengan serum albumin <2,5
g/dL (25 g/L)
Remisi Proteinuria negatif atau trace (proteinuria <
4 mg/m2LPB/jam), rasio kreatinin <200
mg/g (20 mg.mmol) selama 3 hari berturut-
turut dalam 1 minggu.
Relaps Proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2
LPB/jam) selama 3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu.
SN relaps sering Relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan
pertama atau ≥ 4 kali dalam periode satu
tahun.
SSNS (Steroid-sensitive Remisi yang terjadi pada pemberian
nephrotic syndrome) prednison dosis penuh selama 4 minggu.

SDNS (Steroid-dependent Terjadi 2 relaps berurutan saat dosis steroid


nephrotic syndrome) diturunkan atau dalam 14 hari setelah
steroid dihentikan
SRNS (Steroid-resistant Persisten proteinuria meskipun telah
nephrotic syndrome) mendapat pengobatan prednison dosis
penuh (full dose) 60 mg/m2 atau 2
mg/kgBB/hari selama 8 minggu.

Patogenesis dan Patofisiologi


Patogenesis SN dicurigai melibatkan disfungsi atau disregulasi limfosit T dimana
SN adalah penyakit yang timbul tidak hanya karena adanya infeksi maupun
kelainan anatomi tetapi juga dimediasi oleh sistem imun. Penyebab proteinuria
pada SN adalah kerusakan fungsi atau struktur membran filtrasi glomerulus.
Membran filtrasi glomerulus terdiri dari endotel fenestra sebelah dalam, membran
basalis dan sel epitel khusus di bagian luar yang dikenal dengan podosit. Podosit
memiliki tonjolan-tonjolan meyerupai kaki (foot processes), di antara tonjolan-
tonjolan tersebut terdapat celah diafragma (slit diaphragm) yang berperan penting
dalam pemeliharaan fungsi glomerulus. Terdapat dua mekanisme yang berperan
pada patogenesis SN, yaitu pertama secara imunologis sel T memproduksi
circulating factor, berupa vascular permeability factor (VPF) yang merupakan
asam amino identik dengan vascular endhotelial growth factor (VEGF). Hal ini
menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus sehingga terjadi
kebocoran protein. Mekanisme kedua adalah terdapatnya defek primer pada barier
filtrasi glomerullus yang mengakibatkan celah diafragma melebar.
Zat-zat terlarut yang dapat melewati sawar glomerulus ditentukan oleh besarnya
molekul, molekul >10 kDa akan ditahan sehingga tidak dapat melewati sawar
tersebut (size-selectivity barrier). Bila ada gangguan pada mekanisme ini maka
akan menyebabkan proteinuria baik protein dengan berat molekul kecil maupun
protein dengan berat molekul besar (proteinuria nonselektif). Faktor lain yang dapat
mempengaruhi adalah adanya daya elektrostatik dari muatan negatif permukaan
molekul pada epitel foot processes yang dibentuk oleh sialoprotein kapiler, heparan
sulfat membran basalis glomerulus, dan podokaliksim (charge-selectivity barrier).
Gangguan pada daya elektrostatik tersebut menyebabkan proteinuria selektif
(protein dengan berat molekul ≤berat molekul albumin dapat melewati membran
filtrasi glomerulus). kerusakan struktur dan sawar elektrostatik ini menyebabkan
banyaknya protein plasma yang melewati filtrasi glomerulus. Hilangnya atau
pendataran foot processes podosit memperlihatkan peran kunci podosit dalam
patogenesis sindrom nefrotik idiopatik. Perubahan pada foot processes ini sebagai
target circulating factor atau bagian dari perubahan struktur akibat adanya mutasi
gen.
Gambar 1. Membran Filtrasi Glomerulus

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya


sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif
tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan
akibat utama dari proteinuria yang hebat. Edema muncul akibat rendahnya kadar
albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan
konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial. Proteinuria
dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekulprotein
yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiridari
molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang
keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria
ditentukan oleh keutuhan struktur membran basalis glomerulus.
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun. Keadaan ini menyebabkan terjadi
ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang
interstitial yang menyebabkan edema.
Keadaan tersebut juga merangsang hepar untuk memobilisir lemak dengan
cadangan tubuh ke dalam sirkulasi sehingga terjadi hiperlipidemia. Hiperlipidemia
semakin hebat karena terbuangnya melalui urine asam glikoprotein sebagai
perangsang lipase
Edema pada SN dijelaskan dengan dua teori yaitu underfilled theory dan
overfilled theory. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan
edema. Teori ini menyatakan bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya
tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke ruang
interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan
albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana
diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan
onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid
plasma intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati
dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul
edema. Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak
bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal
primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan
cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang interstisial menyebabkan
terbentuknya edema.

Penegakan Diagnosa
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang
menyeluruh dan terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering
ditemukan dimulai dari daerah wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang
kemudian menghilang, digantikan oleh edema di daerah pretibial pada sore hari.
Anak biasanya datang dengan keluhan edema ringan, dimana awalnya
terjadi disekitar mata dan ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik pada mulanya
diduga sebagai gangguan alergi karena pembengkakan periorbital yang menurun
dari hari ke hari. Seiring waktu, edema semakin meluas, dengan pembentukan
asites, efusi pleura, dan edema genital. Anorexia, iritabilitas, nyeri perut, dan diare
sering terjadi. Hipertensi dan hematuria jarang ditemukan. Differensial diagnosis
untuk anak dengan edema adalah penyakit hati, penyakit jantung kongenital,
glomerulonefritis akut atau kronis, dan malnutrisi protein. Empat gejala klinis yang
paling utama dari pasien SN adalah proteinuria, hipoalbuminemia, edema anasarca,
dan hiperlipidemi.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi
badan, lingkar perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umumnya normal atau
rendah, namun 21% pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya
sementara, terutama pada pasien yang pernah mengalami deplesi volume
intravaskuler berat. Keadaan ini disebabkan oleh sekresi renin berlebihan, sekresi
aldosteron, dan vasokonstriktor lainnya, sebagai respon tubuh terhadap
hipovolemia. Dalam laporan ISKDC (International Study of Kidney Diseases in
Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai hematuria mikroskopik, 15-20%
disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah
yang bersifat sementara. Pasien sindrom nefrotik perlu diwaspadai sebagai gejala
syok dikarenakan kekurangan perfusi ke daerah splanchnik atau akibat peritonitis.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin.
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein /kreatinin
pada urin pertama pagi hari.
3. Pemeriksaan darah antara lain:
a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
b. Kadar albumin dan kolesterol plasma
c. Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwartz
d. Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus sistemik,
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (Anti
nuclearantibody) dan anti ds-DNA
Indikasi biopsi ginjal:
a. Sindrom nefrotik dengan hematuria nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan
ureum plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun.
b. SDNS
c. SRNS

Diagnosis sindrom nefrotik dibuat berdasarkan gambaran klinis yaitu edema


anasarka dan pemeriksaan laboratorium berupa proteinuria masif (≥ 40 mg/m2
LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu > 2mg/mg atau dipstick ≥
2+), hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL), hiperkolesterolemia, lipiduria, dan
hiperkoagulabilitas. Untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal, respon
terhadap terapi dan prognosis dapat dilakukan biopsi ginjal sesuai indikasi.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan SN dimulai dengan pemberian steroid, karena lebih dari


80% anak berusia di bawah 13 tahun termasuk SN yang sensitif terhadap steroid
terutama SNKM. Maka pemberian steroid dapat segera dilakukan tanpa harus
melakukan biopsi ginjal terlebih dahulu. Terapi inisial meliputi prednisone 2
mg/kgbb/hari dibagi dalam 2-4 dosis per hari. Lebih dari 90% memperlihatkan
respon yng baik dalam 4 minggu.1,2,6 Pada pasien yang berespon baik terhadap
steroid, terapi dilanjutkan sampai 12 minggu. Pada pasien ini diberikan steroid
yakni metylprednisolon 4 mg yang diberi selama 3 minggu.

Terapi untuk edema yang timbul pada SN adalah melakukan diet rendah
garam. Edema yag berat mungkin memerlukan loop diuretic. Bila terapi tersebut
tidak memperbaiki edema secara bermakna, pemberian albumin 25% (0,5-1,0
g/kgbb IV selama 1-2 jam) dapat dilakukan secara hati-hati disertai dengan obat
dieresis seperti furosemid dan spironolakton. Terapi albumin yang diberikan dapat
diekskresi kembali, oleh sebab itu diet rendah garam dan pemberian obat dieresis
tetap dilakukan. Efusi pleura yang bermakna mungkin memerlukan drainase cairan
pleura. Hipertensi akut diterapi dengan β-blokers atau calcium channel blockers.6,7
Pada kasus ini terapi albumin dengan pemberian plasbumin 25% selama tiga hari
untuk sebagai tindakan kegawatdaruratan dan pemberian dieresis seperti
furosemide dan aldactone (spironolactone). Pengobatan SN relaps yaitu prednison
dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian
dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating dose (AD) 40 mg/m2
LPB/hari selama 4 minggu. Untuk pengobatan SN relaps sering terdapat 4 opsi
pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:

1. Pemberian steroid jangka panjang


2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang
telinga tengah, atau kecacingan.

Anda mungkin juga menyukai