Sistem
respirasi
Kulit
SUPLAI DARAH dari darah vena yang berasal dari saluran cerna.
HATI
Darah yang memasuki hati dari arteriol hepatika dan
venula porta bercampur ketika memasuki sinusoid
Apoptosis (anak panah) dan nekrosis (kepala Daerah nekrosis luas mengelilingi vena sentralis
panah) terjadi bersamaan di hati. hati mencit yang mendapat dosis toksik
asetaminofen. Hepatosit di luar daerah
sentrilobuler tampak normal.
MEKANISME KEMATIAN SEL
GAMBARAN MORFOLOGI, BIOKIMIA, DAN
MOLEKULER MEKANISME KEMATIAN SEL
PENENTUAN JENIS KEMATIAN
SEL
Bentuk kematian sel yang baru diketahui adalah nekrosis terprogram yang disebut
“necroptosis”. Nekroptosis umumnya diawali oleh reseptor kematian, seperti
reseptor 1 TNF, dan pembentukan kompleks 1 dengan berbagai molekul adapter
seperti receptor-interacting protein kinases 1 and 3 (RIP1 and -3).
Karakterisasi jenis kematian sel setelah paparan zat kimia didasarkan pada morfologi
dan aktivasi faktor molekuler. Jenis kematian sel yang berbeda dapat menggunakan
jalur pensinyalan yang sama. Misalnya, perubahan molekuler yang sama pada
mitokondria terjadi pada jalur apoptosis dan nekrosis. Oleh karena itu, pemeriksaan
histologi jaringan merupakan “gold standard” untuk karakterisasi jenis kematian sel.
PERLEMAKAN HATI (FATTY
LIVER/STEATOSIS)
Fatty liver (steatosis) didefinisikan
sebagai peningkatan kandungan lipid
(utamanya trigliserida) sel parenkim hati.
Secara histologi, sel parenkim hati tampak
mengandung banyak lemak berupa
vakuola bulat.
Akumulasi vakuola ini dapat menggeser
nucleus ke perifer sel.
Berdasarkan ukuran droplet lemak, dapat
Steatosis makrovesikuler. Droplet lemak
dibedakan antara steatosis makrovesikuler merah dan nukleus biru.
dan mikrovesikuler.
STEATOSIS
Dalam keadaan normal tingkat pembentukan, konsumsi dan penyimpanan asam
lemak bebas dalam keadaan seimabng dan hanya sedikit akumulasi trigliserida di
hati. Jika terjadi kondisi ambilan berlebihan asam lemak bebas dari jaringan lemak
atau makanan ke dalam sel parenkim hati, maka asam lemak bebas menumpuk dan
diubah menjadi trigliserida yang muncul sebagai steatosis.
Steatosis terjadi umumnya akibat konsumsi alkohol sedang dan faktor lain, bersifat
reversible dan tidak berbahaya jika stimulus sementara. Hati dengan steatosis lebih
rentan terhadap cedera tambahan, seperti iskemia atau hepatotoksikan.
Steatosis persisten merupakan precursor pennyakit hati serius. Jika disertai inflamasi
(steatohepatitis), steatosis dapat berlanjut menjadi kerusakan hati kronis, fibrosis
(sirosis), dan karsinoma hepatoseluler.
PENYEBAB STEATOSIS
Penyebab tersering steatosis hati adalah resistensi insulin terkait obesitas dan gaya
hidup tidak aktif.
Paparan terhadap berbagai hepatotoksikan juga menginduksi steatosis.
Senyawa kimia yang menimbulkan steatosis yang bersifat letal meliputi obat
antiepilepsi asam valproat, obat antivirus fialuridin, pelarut karbon tetraklorida, dan
inhibitor sintesis protein seperti etionin, puromisin, dan sikloheksimid.
Sejumlah obat yang menumpuk di mitokondria dan menghambat respirasi
mitokondria juga berhubungan dengan steatosis. Obat ini meliputi 4,4′-
diethylaminoethoxyhexestrol, amiodaron, tamoksifen, doksisiklin, tetrasiklin,
tianeptin.
Etanol merupakan agen penyebab steatosis yang menjadi masalah kesehatan
masyarakat utama.
KOLESTASIS KANALIKULER
Kolestasis ditandai secara biokimia oleh meningkatnya kadar serum senyawa yang
normalnya terdapat dalam empedu, khususnya garam empedu dan bilirubin.
Gangguan fungsi hati ini didefinisikan sebagai penurunan kecepatan pembentukan
empedu atau terganggunya sekresi zat terlarut tertentu ke dalam empedu. Jika eksresi
pigmen bilirubin terganggu, terjadi akumulasi pada kulit dan mata, menimbulkan
warna kuning. Kelebihan eksresi bilirubin pada urin menyebabkan urin kuning tua
atau coklat.
Kolestasis menimbulkan pembengkakak sel, kematian sel, dan inflamasi. Cedera sel
parenkim hati disebabkan akumulasi zat kimia intrasel yang seharusnya disekresi ke
empedu. Contoh, obat-obatan dan metabolitnya, agen xenobiotik lain, bilirubin atau
zat pembentuk empedu lainnya. Berbagai jenis zat kimia seperti logam. Hormon, dan
obat-obatan dapat menimbulkan kolestasis.
REGENERASI DAN
PERBAIKAN
Hati memiliki kemampuan besar untuk memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi
melalui regenerasi.
Hilangnya sel parenkim hati akibat hepatektomi, memicu proliferasi semua sel hati
yang matur.
Proses ini bertujuan mengembalikan massa hati. Sel parenkim hati normalnya berada
dalam keadaan tidak aktif membelah (fase G0).
Untuk bisa berproliferasi maka sel harus memasuki siklus sel.
Proses ini diawali oleh sitokin (TNF-α, IL-6), yang menyiapkan sel parenkim hati
berespon terhadap faktor pertumbuhan seperti HPC growth factor (HGF) dan
transforming growth factor-α (TGF-α).
FIBROSIS
Fibrosis hati (pembentukan jaringan parut) terjadi sebagai
respon terhadap cedera hati kronis yang melampaui kemampuan
perbaikan organ.
Pada dosis terapi, sekitar 90% asetaminofen berkonyugasi dengan sulfat atau
glukuronida dan diekskresi.
Proses konyugasi ini membatasi pembentukan metabolit reaktif toksik (N-acetyl-p-
benzoquinone imine (NAPQI) oleh enzim CYP.
Sebagian besar NAPQI didetoksifi melalui konyugasi dengan glutathione (GSH)
membatasi ikatan dengan protein seluler awal kerusakan sel parenkim hati.
Selain itu, ikatan protein yang terbentuk setelah dosis terapi dihilangkan melalui
autofagi, sehingga dosis terapi asetaminofen berisiko minimal menimbulkan cedera hati.
ETANOL
Penyalahgunaan alkohol merupakan penyebab utama penyakit hati di negara Barat.
Fase awal penyalahgunaan etanol menimbulkan akumulasi lipid di hati (steatosis).
Seiring berlanjutnya penyakit hati, terjadi kematian sel dan meningkatnya inflamasi
hati (steatohepatitis).
Jika tidak proses ini berlanjut, massa hati akan digantikan jaringan parut (fibrosis,
sirosis) yang mengganggu berbagai fungsi hati, termasuk kemampuan metabolism
obat.
ETANOL
Orang dengan sirosis hati akibat penyalahgunaan alkohol kronis mengalami
penurunan kemampuan detoksifikasi ammonia hasil pemecahan asam amino dan
bilirubin hasil pemecahan hemoglobin.
Disfungsi hati ini serta defek sintesis protein, seperti albumin dan faktor pembekuan,
dapat berujung pada gangguan multi organ dan kematian.
Morbiditas dan mortalitas akibat konsumsi alkohol utamanya disebabkan efek toksik
etanol dan metabolitnya pada hati, meskipun alcohol juga berefek terhadap jaringan
lain.
Toksisitas tertarget ini karena >90% dosis etanol dimetabolisme di hati.
AFLATOKSIN
Jamur Aspergillus yang kehijauan menjadi
kontaminan jagung, kacang, dan biji-bijian.
Aflatoksin B1 merupakan zat paling toksik
yang dihasilkan oleh jamur ini.
Aflatoksin B1 diaktivasi oleh sitokrom menjadi
senyawa epoksida yang menghasilkan spesies
reaktif yang mengikat DNA untuk
menimbulkan kanker atau berikatan dengan
protein untuk menimbulkan cedera hati akut.
AFLATOKSIN
Berbagai spesies jamur mensintesis metabolit yang disebut mikotoksin yang dapat
menimbulkan cedera berbagai organ.
Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan Aspergillus yang tumbuh pada
kacang dan tanaman seperti jagung, gandum dan beras.
Konsumsi makanan ini menimbulkan paparan pada manusia dan hewan.
Aflatoksin juga dideteksi pada susu hewan yang mengonsumsi tanaman terkontaminasi,
dan ini menimbulkan paparan pada anak.
Paparan aflatoksin tidak daapt dihindari, dan US FDA menetapkan batas toleransi
aflatoksin dalam makanan untuk konsumsi manusia.
Regulasi tersebut meminimalkanpaparan aflatoksin dari makanan terkontaminasi di
negara barat, namun paparan masih terjadi di negara berkembang khususnya Asia
Tenggara dan Afrika.
AFLATOKSIN
Tanda akut toksisitas aflatoksin pada manusia meliputi nyeri abdomen, muntah,
steatosis, dan nekrosis.
Perubahan biokimia hati akibat nekrosis sel epitel saluran empedu dan sel parenkim.
Paparan kronis aflatoksin dalam panak menimublkan karsinoma hepatoseluler pada
hewan.
Sejumlah penelitian epidemiologi mendukung hubungan antara aflatoksin dan
kanker pada manusia.
DETERMINAN KERENTANAN INDIVIDU
TERHADAP HEPATOTOKSIKAN
Metabolisme xenobiotic
Cadangan dan regenerasi
Transporter hepatobilier jaringan
Enzim protektif Stres inflamasi
Status gizi
Usia
Interaksi antar zat kimia
Jenis kelamin Aktivasi sistem imun adaptif
REFERENSI:
Klaassen, Curtis D.; Klaassen, Curtis D.. Casarett &
Doull's Toxicology: The Basic Science Of Poisons,
9th Edition (P. 548). McGraw-Hill Education.