Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN CASE BASED DISCUSSION

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

Disusun Oleh :
Dinda Amalia Shaleha (019.06.0022)

Dosen Pembimbing :

dr. I Nyoman Palgunadi, Sp. U

KEPANITERAAN KLINIK MADYA

SMF BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


BANGLI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan laporan Case Based Discussion. Laporan ini membahas mengenai
kasus yang berjudul “Benign Prostatic Hyperlasia (BPH)”. Penyusunan laporan ini
tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. I Nyoman Palgunadi, Sp. U sebagai dosen pembimbing yang
senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan
laporan kasus.
2. Keluarga dan temen-teman tercinta yang senantiasa memberikan doa,
motivasi, dan dorongan.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman saya yang terbatas untuk
menyusun laporan ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaan tugas ini. Saya berharap semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bangli, 10 Maret 2024

Dinda Amalia Shaleha

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 2
2.1 Definisi......................................................................................... 2
2.2 Etiologi......................................................................................... 2
2.3 Epidemiologi ................................................................................ 3
2.4 Faktor Risiko ................................................................................ 4
2.5 Manifestasi Klinis ......................................................................... 5
2.6 Patofisiologi.................................................................................. 6
2.7 Diagnosis ...................................................................................... 8
2.8 Tatalaksana ................................................................................. 11
2.9 Komplikasi dan Prognosis........................................................... 17
BAB III LAPORAN KASUS .................................................................. 19
3.1 Identitas Pasien........................................................................... 19
3.2 Anamnesis .................................................................................. 19
3.3. Pemeriksaan Fisik ...................................................................... 19
3.4 Diagnosis Banding ..................................................................... 20
3.5 Pemeriksaan Penunjang .............................................................. 20
3.6 Diagnosis Kerja .......................................................................... 20
3.7 Tatalaksana ................................................................................ 20
3.8 Prognosis .................................................................................... 27
BAB IV PEMBAHASAN ....................................................................... 28
BAB V KESIMPULAN .......................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 31

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan neoplasma yang paling


umum dan penyebab yang signifikan dari gejala pada pria dewasa. Pembesaran
prostat terjadi dengan usia yang mengarah ke obstruksi kandung kemih, yang
bermanifestasi dengan gejala lower urinary tractsymptom (LUTS). BPH sering
ditemukan pada pria usia lanjut. Banyak faktor yang berperan dalam BPH. Pada
dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan memiliki testis yang
masih menghasilkan testosteron. Selain itu, pengaruh hormon lain (estrogen,
prolaktin), pola diet, mikrotrauma, inflamasi, obesitas, dan aktivitas fisik
berhubungan dengan pertumbuhan sel kelenjar prostat secara tidak langsung.
Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel prostat untuk mensintesis
growth factor, yang selanjutnya berperan dalam terjadinya pertumbuhan sel
kelenjar prostat (Roeheboen, 2012).

Pada penderita BPH, terjadi penyumbatan pada aliran urin, sehingga akan
menimbulkan gejala paling sering, yaitu gejala LUTS seperti gejala obstruktif dan
gejala iritatif. Penanganan BPH dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain
medikamentosa dan tindakan pembedahan. Transurethral resection prostate
(TURP) menjadi salah satu tindakan pembedahan yang paling umum dilakukan
untuk mengatasi pembesaran prostat. Jika tidak dilakukan pembedahan TURP
maka komplikasi yang akan terjadi adalah gagal ginjal, hernia, hemoroid,
hematuria, pyelonephritis. TURP merupakan prosedur baku untuk terapi bedah
BPH, TURP memiliki kelebihan kejadian trauma yang lebih sedikit dan masa
pemulihan yang lebih cepat. TURP dilakukan dengan menggunakan cairan irigasi
agar daerah reseksi tetap terlihat dan tidak tertutup darah. Cairan yang digunakan
bersifat non-ionik, cairan yang tidak menghantarkan listrik, bertujuan agar tidak
terjadi hantaran listrik selama operasi. Contohnya: air steril, glisin,
sorbitol/manitol (Dito dkk, 2021).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Benign Prostatic Hyperlasia (BPH)

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran atau


hyperplasia kelenjar prostat yang bersifat jinak. BPH ditandai dengan hiperplasia
sel-sel stroma dan sel-sel epitelial prostat, sehingga terjadi pembesaran volume
prostat regio periuretral (Biddulth, 2019). Prostat tersebut mengelilingi uretra dan
pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan
uretra parsprostatika yang menyebabkan gangguan aliran kemih (Yulida, 2022).
2.2 Etiologi Benign Prostatic Hyperlasia (BPH)

Beberapa kemungkinan penyebab terjadinya BPH (Azzaky dan Evi, 2021) :

1. Teori Dihidrotestosteron

Dihidrotestosteron (DHT) adalah metabolit androgen yang sangat


penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron
di dalam sel prostat oleh enzim 5α reduktase dengan bantuan koenzim
NADPH. DHT berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk
kompleks DHT-RA pada inti sel dan terjadi sintesis protein growth factor
yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Aktivitas enzim 5α-reduktase
dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan
sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel
lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

2. Keseimbangan Antara Estrogen-Testosteron

Kadar testosteron menurun seiring penuaan, sedangkan kadar estrogen


relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen dan testosteron relatif
meningkat. Estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi
sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat
terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor
androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis).

2
3. Interaksi Stroma-Epitel

Pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh


sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-
sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT, sel-sel stroma mensintesis
suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu
sendiri. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel
maupun sel stroma.

4. Berkurangnya Kematian Sel Prostat

Kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologi


untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi
kondensasi dan fragmentasi sel, sel yang apoptosis akan difagositosis oleh sel-
sel disekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan
normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian
sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai prostat dewasa,
penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan
seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat
sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat.

5. Teori Sel Stem

Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini
sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika hormon
ini kadarnya menurun, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya
proliferasi sel-sel pada BPH karena kurang tepatnya aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi yang beerlebihan sel stroma maupun sel epitel.
2.3 Epidemiologi

Menurut data WHO (2018), diperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus


degeneratif, salah satunya BPH, dengan insidensi di negara maju sebanyak 19%,
sedangkan di negara berkembang sebanyak 5.35% kasus. Lima puluh persen pria

3
berusia lebih dari 50 tahun mengalami BPH, dan hubungan dengan perkembangan
LUTS terbukti meningkat secara linear seiring bertambahnya usia. Hal ini
didukung oleh penelitian yang menunjukkan peningkatan volume prostat seiring
bertambahnya usia (2%-2,5% peningkatan ukuran per tahun) (Bagus, dkk, 2019).

Penelitian menunjukkan prevalensi BPH di Amerika Serikat (AS) mencapai


70% pada usia antara 60 dan 69 tahun dan lebih dari 80% pada mereka yang
berusia di atas 70 tahun. Dalam survei kesehatan masyarakat wilayah Boston,
prevalensi LUTS pada pria saja meningkat secara signifikan seiring bertambahnya
usia dari 8% (30-39 tahun) menjadi 35% (60-69 tahun). Penelitian lain berbasis
populasi di AS menunjukkan 56% pria berusia antara 50 dan 79 tahun melaporkan
gejala BPH (Bagus, dkk, 2019).

Tahun 2018 di Indonesia terdapat 9,2 juta kasus BPH, di antaranya diderita
oleh laki-laki berusia di atas 60 tahun. Insidensi BPH akan semakin meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, yaitu sekitar 20% pada pria usia 40 tahun,
kemudian menjadi 70% pada pria usia 60 tahun dan akan mencapai 90% pada pria
usia 80 tahun (Bagus, dkk, 2019).
2.4 Faktor Risiko

1. Usia

Pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada buli
(otot detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena pengaruh
usia menurunkan kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran urin
pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi karena pembesaran prostat,
sehingga menimbulkan gejala (Dhani, 2021).

2. Kebiasaan Merokok

Rokok sendiri menurunkan konsentrasi testosteron. Testosteron


berhubungan denga konsentrasi dehidrotestosteron yang berperan penting
dalam perkembangan BPH dan LUTS. Nikotin dan pada rokok
meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan
penurunan kadar testosterone (Bagus dkk, 2019).

4
3. Aktifitas Seksual

Kalenjar prostat berperan pada pembentukan hormon laki-laki. Saat


kegiatan seksual, kelenjar prostat mengalami peningkatan tekanan darah
sebelum terjadi ejakulasi. Jika suplai darah ke prostat selalu tinggi, akan
terjadi hambatan prostat yang mengakibatkan kalenjar tersebut bengkak
permanen. Seks yang berlebihan dan tidak bersih akan mengakibatkan infeksi
prostat yang mengakibatkan hipertropi prostat (Bagus dkk, 2019).

4. Kebiasaan Minum Alkohol

Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan vitamin


B6 yang penting untuk prostat. Prostat menggunakan zink 10 kali lipat
dibandingkan dengan organ yang lain. Zink membantu mengurangi
kandungan prolaktin di dalam darah yang meningkatkan penukaran hormon
testosteron kepada DHT (Dhani, 2021).

5. Diabetes Melitus

Peningkatan kadar HbA1c jangka panjang dapat menyebabkan


komplikasi vaskuler. Peningkatan kadar HbA1c menyebabkan volume
prostat yang lebih besar. Hiperinsulinemia memiliki efek stimulan pada
aktivitas mitogenik sel endotel vaskuler, yang dianggap sebagai salah satu
mekanisme aterosklerosis. Aterosklerosis dapat memperburuk iskemia
jaringan prostat melalui menginduksi pembentukan lesi vaskuler di jaringan
prostat, yang berkontribusi terhadap perkembangan BPH (Dhani, 2021).
2.5 Manifestasi Klinis

Gejala yang umumnya terjadi pada pasien BPH adalah gejala pada saluran
kemih bagian bawah atau lower urinary track symptoms (LUTS). Gejala pada
saluran kemih bagian bawah terdiri atas gejala iritatif (storage symptoms) dan
gejala obstruksi (voiding symptoms). Gejala Obstruktif ditimbulkan karena adanya
penyempitan uretra karena didesak oleh prostat yang membesar. Gejalanya seperti
harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy), pancaran miksi yang lemah
(weak streagm), miksi terputus (Intermittency), harus mengejan (straining). Gejala

5
Iritatif disebabkan oleh pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna pada
saat miksi atau berkemih, sehingga kandung kemih sering berkontraksi meskipun
belum penuh. Gejalanya adalah frekuensi miksi meningkat (Frequency), nookturia,
dan miksi sulit ditahan (Urgency). Gejala-gejala yang biasanya dirasakan oleh
penderita BPH, yaitu nokturia, inkontinensia urin, aliran urin tersendat-sendat,
hematuria, dan merasa tidak tuntas setelah berkemih (Yulida, 2022).

Pola keluhan penderita hiperplasia prostat berbeda-beda. Belum


diketahui, tetapi mungkin berdasarkan atas peningkatan atau penyusustan ringan
dalam volume prostat. Keluhan lain yang berkaitan akibat hiperplasia prostat jika
ada infeksi saluran kemih, maka urin menjadi keruh dan berbau busuk. Hiperplasia
prostat bisa mengakibatkan pembentukan batu dalam kandung kemih. Bila terjadi
gangguan faal ginjal, bisa timbul poliuria yang kadang-kadang mirip dengan
diabetes insipidus, mual, rasa tak enak di lidah, lesu, haus dan anoreksia (Yulida,
2022).
2.6 Patofisiologi

Patofisiologi BPH berhubungan dengan faktor statis dan dinamik. Faktor


statis BPH disebabkan hiperplasia sel-sel epitelial dan stroma periuretra kelenjar
prostat yang menyebabkan penyempitan uretra pars prostatika dan bladder outlet.
Sedangkan faktor dinamik disebabkan oleh ketegangan otot-otot polos prostat.
Kedua faktor tersebut akan meningkatkan resistensi uretra, selanjutnya
menyebabkan perubahan komponen buli-buli. Obstruksi bladder outlet
menurunkan fungsi otot-otot detrusor buli. Faktor usia tua juga memperberat,
sehingga muncul berbagai keluhan (Nadilla et al., 2023).

Keluhan-keluhan yang timbul sering dikenal dengan istilah lower urinary


tract symptoms atau LUTS (Biddulth, 2019). Adapun patofisiologi dari masing-
masing gejala yaitu :

1. Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah


gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh edema
yang terjadi pada prostat yang membesar.

6
2. Hesitancy (saat ingin miksi harus menunggu lama), terjadi karena detrusor
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.

3. Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat


mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa
belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak
dalam buli-buli.

4. Nocturia (miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena pengosongan
yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih
pendek.

Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan lahan dapat


mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin
yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi
maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi).
Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinaria mengalami
iritasi dari urin yang tertahan sehingga pasien merasa vesika urinari tidak
menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap
berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi
pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan
nyeri saat berkemih /disuria (Bimandama & Kurniawaty, 2018).

Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat


mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan
tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan
anatomi buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli
tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah
bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS).

Tekanan pada kedua muara uretra ini dapat menimbulkan aliran balik urine
dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesikoureter. Obstruksi yang
diakibatkan oleh BPH tidak hanya disebabkan oleh adanya massa prostat

7
yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot
polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher
buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari
nervus pudendus (Yulida, 2022).
2.7 Diagnosis

Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan


awal dan pemeriksaan tambahan. Pada 5th International Consultation on BPH (IC-
BPH) membagi kategori pemeriksaan untuk mendiagnosis BPH menjadi:
pemeriksaan awal (recommended) dan pemeriksaan spesialistik urologi (optional)
(IAUI, 2015).

1. Anamnesis

Anamnesis meliputi gambaran klinis pada saluran kemih maupun di


luar saluran kemih (IAUI, 2015):

a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdiri atas gejala
obstruksi dan gejala iritatif. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan
pada saluran kemih bagian bawah, beberapa ahli/organisasi urologi
membuat sistem skoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung
sendiri oleh pasien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO dan
Asosiasi Ahli Urologi Amerika (AUA) adalah Skor Internasional Gejala
Prostat atau IPSS (International Prostatic Symptom Score) yang telah
distandarisasi. Skor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan
pasien BPH.

b. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian


atas berupa gejala obstruksi seperti nyeri pinggang, benjolan di pinggang
(yang merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan
tanda dari infeksi atau urosepsis.

8
c. Gejala di luar saluran kemih

Tidak jarang pasien mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid.


Timbulnya penyakit tersebut karena sering mengejan pada saat miksi
sehingga meningkatkan tekanan intraabdominal. Pada pemeriksaan fisik
mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus
di daerah supra simfisis akibat retensi urin. Kadang-kadang didapati urin
yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien (inkontinensia paradoksa).

2. Pemeriksaan Fisik

Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan


pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, di samping pemeriksaan fisik
pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-
buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya
pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul. Colok dubur pada
BPH menunjukkan konsistensi kenyal, lobus kanan dan kiri simetris dan
tidak didapatkan nodul, sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi
prostat keras/teraba nodul dan di antara lobus prostat tidak simetris.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Urinalisis/ Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada
saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk dalam mencari
jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan dan
dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria. Untuk itu pada
kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan
kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan adanya karsinoma buli-buli
perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine.
b. Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi intravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus
urinarius bawah ataupun bagian atas. Gagal ginjal menyebabkan resiko

9
terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan
dengan tanpa gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih
banyak. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai
petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran
kemih bagian atas.
c. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi
bukan cancer specific. Jika kadar PSA tinggi berarti:
• Pertumbuhan volume prostat lebih cepat
• Keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan
• Lebih mudah terjadinya retensi urine akut. Kadar PSA di dalam serum
dapat mengalami peningkatan pada peradangan, setelah manipulasi
pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut,
kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Rentang kadar
PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah: 40-49 tahun (0-
2,5 ng/ml), 50-59 tahun (0-3,5 ng/ml), 60-69 tahun (0-4,5 ng/ml), dan
70-79 tahun (0-6,5 ng/ml). Pemeriksaan PSA menjadi sangat
penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat.
Sebagian besar guidelines yang disusun di berbagai negara
merekomendasikan pemeriksaan PSA sebagai salah satu pemeriksaan
BPH (IAUI, 2015).
d. Pencitraan
Foto Polos Abdomen untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih,
adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan
bayangan buli-buli yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari
suatu retensi urin. Pemeriksaan PIV (Pielografi Intravena) dapat
menerangkan kemungkinan adanya: 1) Kelainan pada ginjal maupun
ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, 2) memperkirakan besarnya
kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya indentasi prostat
(pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureterdi sebelah distal,

10
dan 3) penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi,
divertikel, atau sakulasi buli-buli. Pemeriksaan pencitraan terhadap
pasien BPH dengan memakai PIV atau USG, ternyata 70-75% tidak
menunjukkan adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas;
sedangkan yang menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil saja (10%).
Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian atas tidak
direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada
pemeriksaan awal ditemukan adanya: (a) hematuria, (b) infeksi saluran
kemih, (c) insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan USG), (d)
riwayat urolitiasis, dan (e) riwayat pernah menjalani pembedahan pada
saluran urogenitalia (IAUI, 2015).
e. Pemeriksaan Ultrasonografi Transrektal (TRUS)
Untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya
kemungkinan pembesaran prostat maligna, sebagai guideline
(petunjuk) untuk melakukan biopsi aspirasi prostat, menetukan jumlah
residual urine, dan mencari kelainan lain yang mungkin ada di dalam
buli-buli. Disamping itu ultrasonografi transrectal mampu untuk
mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat
obstruksi BPH yang lama.
2.8 Tatalaksana

Ada beberapa pilihan terapi yang dapat di lakukan tergantung dari derajat
keluhan, keadaan pasien, serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihannya adalah
konservatif (watchful waiting), medikamentosa, pembedahan, dan kondisi khusus
lainnya (Yulida, 2022).

1. Konservatif

Pengawasan ini biasanya dilaksanakan dalam bentuk kontrol berkala


setiap 3-6 bulan sekali untuk melihat perubahan pada keluhan, skor IPSS,
uroflowmetry, dan volume residu urin. Manajemen konservatif hanya
direkomendasikan bagi pasien dengan keluhan ringan yang tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari atau memiliki skor IPSS <7. Jika keluhan

11
BPH telah berkembang menjadi lebih parah, terapi lain yang lebih
intervensional dan aktif perlu dilakukan untuk mengganti manajemen
konservatif ini.

Selain melakukan pengawasan berkala, pasien juga diberikan edukasi


mengenai faktor risiko dan Tindakan perkembangan penyakit BPH pasien.
Edukasi ini meliputi anjuran untuk mengurangi asupan minum, kopi, atau
alkohol setelah makan malam, konsumsi cokelat serta bahan makanan yang
menyebabkan iritasi vesica urinaria, penggunaan obat-obatan golongan
fenilpropanolamin pada influenza, serta kebiasaan menahan urinasi dalam
waktu lama. Selain itu, bila pasien memiliki riwayat konstipasi, dokter juga
perlu menatalaksana keluhan tersebut.

2. Medikamentosa

Mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik


penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan dengan penghambat
adrenergik alfa dan mengurangi volume prostat sebagai komponen statik
dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron/dihidrotestosteron
(DHT) melalui penghambat 5α-reduktase.

Terapi medikamentosa atau farmakologis digunakan pada pasien BPH


yang memiliki gejala mengganggu atau skor IPSS > 7. Algoritma pemilihan
tipe obat menurut gejala yang ditemukan dapat dilihat pada bagan berikut.
Adapun beberapa golongan obat yang kerap digunakan sebagai terapi
medikamentosa BPH meliputi : (Yulida, 2022).

a. 𝛼1-Blocker

Obat golongan α1-blocker bekerja dengan cara menghambat kontraksi


lapisan otot polos dinding prostat. Hal ini dapat mengurangi tahanan
leher vesica urinaria dan uretra sehingga mampu mengurangi keluhan
iritatif (storage), ditandai dengan peningkatan frekuensi urinasi, dan
obstruktif (voiding), ditandai dengan kencing mengejan.

Beberapa obat meliputi terazosin, doksazosin, alfazosin, dan tamsulosin

12
yang dinimum sekali sehari dengan dosis yang perlu dititrasi. Sekitar 30-
45% pasien yang diberikan obat ini memiliki penurunan skor IPSS.
Setiap α1-blocker memiliki efek samping yang berbeda-beda. Meskipun
demikian, obat golongan ini sangat direkomendasikan pada kasus BPH
dengan gejala sedang menuju berat.

b. Penghambat 5𝛼-Reduktase

Bekerja dengan cara menginduksi apoptosis pada sel-sel penyusun


jaringan epitel prostat melalui inhibisi isoenzim 5α-reduktase, enzim
yang dapat mengkonversi testosterone menjadi dihidrotestosteron (DHT).
Oleh sebab itu, obat-obat golongan ini mampu mengecilkan volume
prostat. Ada dua jenis obat golongan penghambat 5α- reduktase, yaitu
finasteride dan dutasteride. Indikasi penggunaan dutasteride adalah jika
volume prostat >30 cc, dengan dosis 0,5 mg, sementara indikasi
finasteride bila volume >40 cc dengan dosis 5 mg (sangat
direkomendasikan oleh AUA dan IAUI untuk BPH yang lebih berat).

c. Antagonis reseptor muskarinik

Bekerja dengan menginhibisi stimulasi reseptor muskarinik. Hal ini


menyebabkan berkurangnya kontraksi jaringan otot polos pada vesica
urinaria. Oleh sebab itu, antagonis reseptor muskarinik, seperti
fesoterodine fumarate, propiverine HCl, tolterodine l-tartrate, dan
solifenacin succinate, kerap digunakan jika α1-blocker tidak berhasil
mengurangi gejala iritatif BPH. Antagonis reseptor muskarinik diduga
sangat bermanfaat dalam penurunan gejala iritatif BPH yang belum
begitu besar. Minimnya literatur efektivitas antagonis reseptor
muskarinik, membuat IAUI tidak begitu merekomendasikannya kecuali
pada gejala iritatif yang tidak dapat disembuhkan α1-blocker.

d. Antagonis reseptor muskarinik

Penghambat fosfodiesterase-5, atau penghambat PDE-5, merupakan


golongan obat dengan kemampuan meningkatkan konsentrasi dan

13
aktivitas cyclic guanosine monophosphate (cGMP) intraselular. Oleh
sebab itu, obat ini mampu mengurangi tonus otot polos pada dinding m.
detrusor, prostat, dan uretra. Meski tersedia dalam bentuk sildenafil,
vardenafil, dan tadalafil, IAUI hanya merekomendasikan penggunaan
tadalafil dengan dosis 5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menurunkan
skor IPSS hingga sebesar 37% dari nilai semula. Sebuah studi Cochrane
menyebutkan bahwa penggunaan penghambat PDE-5 sama efektifnya
dengan penggunaan α1-blocker pada BPH sedang hingga berat.
Konsensus IAUI juga merekomendasikan penggunaan penghambat PDE-
5sebagai alternatif α1-blocker yang sederajat.

e. Terapi kombinasi

Kombinasi α1-blocker dan penghambat 5α-reduktase dapat menghasilkan


efek sinergis. Salah satu keuntungannya adalah dengan mempercepat
efek klinis obat karena obat golongan penghambat 5α- reduktase
membutuhkan waktu berbulan-bulan sebelum perubahan klinis terlihat.
Selain itu, efektif dalam mengurangi kemungkinan retensi urin dan
progresi ke arah kanker. Pengobatan ini hanya dikhususkan bagi pasien
dengan keluhan sedang-berat dan risiko progresi tinggi. Selain itu, obat
ini hanya digunakan pada rencana jangka panjang atau >1 tahun.
Kombinasi ini mampu memblok baik reseptor α1 maupun reseptor
muskarinik M2 dan M3 sehingga pasien yang memiliki keluhan iritatif
dan overaktivitas detrusor mampu mengalami penurunan keluhan secara
signifikan. Pengobatan dengan kombinasi obat ini dapat mengurangi
frekuensi urinasi, gejala nokturia, urgensi, inkontinensia, dan skor IPSS.

3. Pembedahan

Pembedahan merupakan suatu tindakan tatalaksana BPH yang bersifat


invasif. Oleh sebab itu, indikasi yang jelas diperlukan untuk melakukan
pembedahan meliputi retensi urin akut, infeksi saluran kemih berulang,
hematuria makroskopik, sistolitiasis, penurunan fungsi ginjal, gagal
berkemih setelah melepaskan kateter, perubahan patologis pada vesica

14
urinaria, keluhan telah memberat, tidak adanya perbaikan setelah terapi
konservatif dan medikamentosa, serta pasien menolak terapi selain bedah.
Adapun berikut merupakan beberapa pilihan terapi pembedahan yang dapat
dilakukan : (Yulida, 2022)

a. Transurethral Resection of the Prostate (TURP)

Merupakan suatu pembedahan invasif minimal pada pasien BPH dengan


volume prostat 30-80 cc. Meskipun demikian, TURP dapat digunakan
pada kondisi prostat apapun tergantung pada pengalaman dan
ketersediaan peralatan ahli bedah urologi. Pada umumnya, TURP
memiliki efektivitas dalam perbaikan gejala BPH yang mencapai 90%
sehingga menjadi salah satu gold standard tatalaksana invasive BPH.
Prosedur TURP merupakan prosedur yang sangat direkomendasikan oleh
IAUI. Akan tetapi, tingkat keberhasilan TURP dapat menurun bila terjadi
retensi bekuan darah, retensi urin akut, maupun infeksi saluran kemih.
Selain itu, terdapat pula angka mortalitas 30 hari pertama pascaoperasi
sebesar 0,1% serta kemungkinan terjadinya komplikasi yang meliputi
ejakulasi retrograd, disfungsi ereksi, dan stenosis leher vesica urinaria.

b. Laser Prostatektomi

Merupakan penembakan sinar untuk menghancurkan jaringan


hiperplastik prostat. Jenis-jenis laser yang kerap digunakan meliputi
laser Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser,

15
Thulium:YAG, dan Diode. Tindakan ini direkomendasikan bila pasien
sedang dalam terapi antikoagulan yang tidak dapat dihentikan karena
risiko mengidap emboli yang tinggi. Pada prosedur ini, prostat akan
mengalami koagulasi ketika temperatur telah mencapai 600℃-650℃.
Pada temperatur 1000℃, prostat akan mengalami vaporisasi dan
ukurannya mengecil.

c. Transurethral Insicion of the Prostate (TUIP)

Merupakan tindakan memanaskan jaringan prostat menggunakan


transurethral microwave, transurethral needle ablation, atau high
intensity focused ultrasound hingga suhu 450℃ untuk menimbulkan
nekrosis dan koagulasi jaringan tersebut. Dampak dari termoterapi adalah
penggunaan kateter yang berkepanjangan meski tanpa perlu melakukan
rawat inap di rumah sakit. Dari ketiga metode pemberian panas, metode
transurethral needle ablation memiliki angka rekurensi BPH terendah
dengan kisaran 20-50% pada 20 bulan pertama pasca tindakan.

d. Operasi Terbuka

Terdapat dua jenis, yaitu metode Freyer melalui transvesikal dan metode
Millin secara retropubik. Pembedahan dengan operasi terbuka dianjurkan
ketika volume prostat telah mencapai angka >80 cc. Operasi terbuka
merupakan cara operasi yang sangat invasif dengan angka morbiditas
tinggi. Perdarahan dapat menjadi penyulit dini di tengah operasi dan
meningkatkan risiko mortalitas atau komplikasi pascatindakan. Beberapa
komplikasi yang kerap terjadi meliputi striktur uretra pada 6% kasus dan
inkontinensia urin pada 10%.

16
e. Kateterisasi

Bertujuan memudahkan keluarnya urin. Kateterasi untuk menangani


retensi urin kronik pada pasien yang tidak dapat menerima operasi.
Kateterisasi dapat bersifat intermiten, atau clean intermittent
catheterization (CIC), maupun menetap. CIC biasanya dikerjakan
sebelum pemasangan kateter menetap dan dilakukan dalam lingkungan
steril secara periodik. Bila kateterisasi ingin dihentikan, perlu dilakukan
evaluasi selama 3-7 hari bersamaan dengan pemberian obat-obatan α1-
blocker. Evaluasi ini bertujuan untuk melihat pancaran dan sisa urin
ketika pasien berkemih tanpa pemberian kateter. Di sisi lain, bila
kateterisasi melalui uretra tidak dapat dilakukan, prosedur alternatif yang
dapat dipilih adalah sistostomi. Sistosomi merupakan prosedur
pemasangan kateter khusus secara supravesika melalui dinding abdomen.
2.9 Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi yang paling umum dari BPH yang memerlukan rawat inap
adalah retensi urin akut, yang sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan
merupakan masalah kesehatan yang penting. Banyak komplikasi lain dari BPH,
sebagian disebabkan oleh komplikasi retensi urin kronis; ini termasuk
infeksi saluran kemih (ISK) berulang, pembentukan batu kandung kemih,
hematuria, dan kerusakan pada dinding kandung kemih dan ginjal (Dito,
dkk, 2021).

17
Prognosis pada benign prostatic hyperplasia umumnya baik. Pasien- pasien
dengan lower urinary tract symptoms (LUTS) berkepanjangan dapat berisiko
mengalami glaukoma (10%) serta disfungsi ereksi dan ejakulasi. Pilihan terapi
yang tepat sesuai kondisi klinis pasien sangat penting dalam menentukan
progresifitas benign prostatic hyperplasia. Sebanyak 10% pasien dengan benign
prostatic hyperplasia juga dapat mengalami kekambuhan meskipun telah
dilakukan reseksi prostat (Dito, dkk, 2021).

18
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. IKK

Tempat, Tanggal Lahir : Bangli, 1 Juli 1972

Usia : 51 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Buruh Bangunan

Agama : Hindu

Alamat : Bd. Peseletan, Suter

No RM : 33.85.18

Ruangan : Nusa Indah

MRS : 06 Maret 2024

Tanggal Pemeriksaan : 06 Maret 2024


3.2 Anamnesis

3.2.1 Keluhan Utama : Nyeri saat buang air kecil (BAK)

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien laki-laki datang datang ke Poli Urologi Rumah Sakit Umum
Daerah Bangli diantar oleh keluarganya dalam keadaan sadar dengan
keluhan nyeri saat kencing. Pasien mengeluh nyeri setelah dipasangkan
Dower Cathether (DC) dari IGD RSU Bangli selama 12 hari. Sebelum
dipasang DC pasien mengeluhkan kencing tersendat-sendat, pada saat ingin
berkemih pasien selalu mengejan untuk mengeluarkan kencing dan pada
saat buang air kecil urin yang keluar pancarannya lemah sehingga urin
yang keluar sedikit. Pasien BAK >10x sehari tetapi sedikit-sedikit, dan

19
pada malam hari selalu terbangun karena merasa ingin BAK, BAK pada
malam hari >3x, BAK kadang disertai nyeri perut bagian bawah. BAK
jernih, darah (-), demam (-), mual (-), muntah (-), dan BAB (+) normal.
Pasien menyangkal adanya benjolan yang keluar masuk pada anus dan
selangkangan.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat keluhan serupa : Disangkal


Riwayat hipertensi : Hipertensi (+)
Riwayat kencing manis : Disangkal
Penyakit jantung : Aortosklerosis
Asma : Disangkal
Alergi : Disangkal

3.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat keluhan serupa : Disangkal


Riwayat hipertensi : Disangkal
Riwayat kencing manis : Disangkal
Penyakit jantung : Disangkal
Asma : Disangkal
Alergi : Disangkal

3.2.5 Riwayat Alergi dan Pengobatan

Pasien tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan untuk memperingan


keluhan. Alergi obat atau pun makanan disangkal.

3.2.6 Riwayat Aktivitas dan Sosial

1. Pasien bekerja sebagai seorang buruh bangunan

2. Riwayat merokok (+)

3. Mengkonsumsi alkohol (-)

20
3.3 Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

2. Kesadaran (GCS) : Compos Mentis (E4V5M6)

3. Tanda-tanda Vital

• Tekanan darah : 130/85 mmHg

• Pernafasan : 18 x/menit

• Nadi : 80 x/menit

• Suhu : 36,7oC

• SpO2 : 98 %

• VAS :3

4. Status Generalis

• Kepala : Normocephali, warna rambut hitam keputihan


Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
• Mata :
pupil bulat isokor (3mm x 3mm), refleks
pupil (+/+).
Telinga: Hiperemis (-/-), masa (-/-), sekret (-)
• THT :
Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-/-),
sekret (-/-)
Tenggorok : Hiperemis (-), tonsil (T1T1)

• Tenggorok : Hiperemis (-), tonsil (T1/T1)


Bibir pucat (-), sianosis (-), lidah kotor (-),
• Mulut :
mukosa hiperemis (-)
Nyeri tekan (-), pembesaran KGB (-),
• Leher :
pembesaran kelenjar tiroid (-)
Cor: S1S2 tungga reguler, murmur (-), gallop
• Thorax :
(-)
Pulmo : dinding dada simetris, vesikuler

21
(+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Inspeksi: Distensi (-), massa (-), hiperemis (-)
• Abdomen :
Auskultasi: Bising usus (+) 5-10 x/menit
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi: Timpani seluruh lapang abdomen

• Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)

5. Status Lokalis

Penis

• Inspeksi : Tidak tampak pembesaran KGB, edema (-)

• Palpasi : Nyeri tekan (-)

Rectal Toucher

• Inspeksi Anus : Benjolan (-), tampak dalam batas normal

• Palpasi : Sfingter ani dapat menjepit, tidak teraba nodul, saat


memeriksa prostat, teraba massa diarah jam 11-1 dengan konsistensi
kenyal padat, permukaan sedikit tidak rata, batas tegas, pool atas tidak
teraba. Tidak ditemukan nodul maupun nyeri tekan. Tidak ditemukan
darah, lendir, dan feses pada handschoen pemeriksa.
3.4 Diagnosis Banding
1. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
2. Karsinoma Prostat
3. Prostatitis
3.5 Pemeriksaan Penunjang
Elektrolit (26 Februari 2024)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan
Kalium (K) 3.9 mmol/L 3.5 - 5.5
Natrium (Na) 137.6 mmol/L 136 - 145
Chlorida (Cl) 101.7 mmol/L 96 – 108

22
Hematologi (26 Februari 2024)
Parameter Hasil Satuam Nilai Rujukan
WBC 7.6 10^9/l 3.5-9.5
LYM 1.9 10^9/l 20 - 50
LYM% 25.5 % 1.1 - 3.2
MID 0.5 10^9/l 3 - 10
MID% 5.4 % 0.1 - 0.6
GRA 5.2 10^9/l 0.4 - 8
GRA% 69.1 % 0.02 – 0.52
RBC 5.17 10^12/l 4.3 – 5.8
HGB 16 g/dL 13 – 17.5
HCT 49.1 % 40 - 50
RDW 63.4 fl 36 – 56
MCV 95 f1 82 – 100
RDW% 13.1 % 11 – 16
MCH 31 pg 27 – 34
MCHC 32.6 g/dL 31.6 – 35.4
PLT 224 10^9/l 150 – 350
MPV 8.5 f1 6.5 - 12
PDW 10.3 fl 9 - 17
LPC% 18 % 11 - 45
PCT 0.19 % 0.1 – 0.28
Waktu Pendarahan (BT) 2’00” 1-4
Waktu Pembekuan (CT) 8’00” 3 - 15

23
Kimia Darah (26 Februari 2024)

Creatinnine 0.91 mg/dL 0.5 – 0.9


Glukosa Sewaktu 110 mg/dL 70 – 100
Urea UV 27 mg/dL 15 – 40

Foto Thorax AP (2 Maret 2024)

24
Hasil pemeriksaan foto thorax AP :

• Corakan bronchovascular kesan kasar

• Tidak tampak bercak, cavitas, klasifikasi, fribrosis

• Cor ratio kesan normal

• Aorta tidak dilatasi, klasifikasi aortic knob

• Kedua sinus lancip dan diafragma kesan baik

• Tulang kesan intak


Kesan :

• Aortosclerosis

• Saat ini cor dan pulmo tidak tampak kelainan

Hasil Pemeriksaan USG Urologi (26 Februari 2024)

Hasil Pemeriksaan :

• Ginjal kanan : ukuran, letak, bentuk, echo parenkim kesan normal. PCS tidak
dilatasi. Tidak tampak echo batu/massa

• Ginjal kiri : ukuran, letak, bentuk, echo parenkim kesan normal. PCS tidak
dilatasi. Tidak tampak echo batu/massa

• VU : dinding posterior tampak menebal, tidak tampak echo batu/massa

• Prostat : ukuran membesar (volume +/- 37 cc), echo parenkim kesan homogen

• Tidak tampak dilatasi colon/ usus halus saat ini

• Tidak tampak cairan bebas di rongga peritoneum

Kesan :

• Hipertrofi prostat

• Gambaran Cystitis

• Ginjal kanan dan kiri tidak tampak kelainan

25
Hasil Pemeriksaan EKG (02 Maret 2024)

3.6 Diagnosis Kerja


Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
3.7 Tatalaksana
Medikamentosa :

1. IVFD NS 20 tpm

2. Ceftriaxone 1x2gr IV

3. Omeprazole 2x1gr IV

4. Ketorolac 3x1gr IV

5. Asam tranexamat 3x1gr IV

6. Monuril 1x1

7. Gabaxa 1x1 fls

8. Urief 2x4mg

9. Meloxicam 3x7,5 mg

26
10. Levofloxacin 1x1

11. Lactulose 3x cth 1

12. Paracetamol 3x1gr fls IV

13. Ibuprofen 3x400mg

14. Petidine 4x2,5cc


Non-Medikamentosa : Dower Cathether (DC)
Operatif : TURP
3.8 Prognosis

Ad vitam : Ad bonam

Ad sanationam : Ad bonam

Ad fungsionam : Ad bonam

27
BAB IV
PEMBAHASAN

Benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran kelenjar prostat


karena adanya hiperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat. BPH ditandai
dengan hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitelial prostat, sehingga terjadi
pembesaran volume prostat regio periuretral, sering pada zona transisional prostat
sedangkan pada zona perifer lebih sering ditemukan keganasan. Factor resiko
BPH sering terjadi pada laki-laki umur 50 tahun atau lebih yang ditandai dengan
terjadinya perubahan pada prostat, yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi
nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan
obstruksi urine. Benign prostatic hyperplasia (BPH) ditegakkan diagnosisnya
berdasarkan hasil pemeriksaan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (Bimandama & Kurniawaty, 2018).

Gejala yang ummnya dikeluhkan oleh pasien BPH meliputi nokturia,


inkontinensia urin, aliran urin tersendat-sendat, hematuria, merasa tidak tuntas
setelah berkemih dan nyeri saat BAK. Namun, manifestasi klinis pada kasus BPH
yang biasanya digunakan adalah istilah lower urinary track symptoms (LUTS).
Gejala pada saluran kemih bagian bawah terdiri atas gejala iritatif (storage
symptoms) dan gejala obstruksi (voiding symptoms). Gejala Obstruktif seperti
harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy), pancaran miksi yang lemah
(weak streagm), miksi terputus (Intermittency), harus mengejan (straining). Gejala
Iritatif meliputi frekuensi miksi meningkat (Frequency), nookturia, dan miksi sulit
ditahan (Urgency) (Yulida, 2022).

Pemeriksaan fisik yang paling penting untuk dilakukan pada kasus BPH
adalah rectal toucher (RT) atau digital rectal examination (DRE). Pemeriksaan ini
memungkinkan estimasi volume prostat, serta deteksi nodul. asimetri,
ketidakteraturan permukaan, atau perubahan lain, yang dapat membantu
menentukan keberadaan atau koeksistensi kanker prostat (PCa) (IAUI, 2015).

28
Tatalaksana yang dilakukan pada pasien berupa medikamentosa, non
medikamentosa, dan operatif. Tatalaksana medikamentosa meliputi IVFD NS 20
tpm, Ceftriaxone 1x2gr IV, Omeprazole 2x1gr IV, Ketorolac 3x1gr IV, Asam
tranexamat 3x1gr IV, Monuril 1x1, Gabaxa 1x1 fls, Urief 2x4mg, Meloxicam 3x7,5
mg, Levofloxacin 1x1, Lactulose 3x cth 1, Paracetamol 3x1gr fls IV, Ibuprofen
3x400mg, Petidine 4x2,5cc. Terapi medikamentosa ini untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa dan
mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan
kadar hormon testosteron/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-
reduktase, dan golongan lainnya. Terapi medikamentosa atau farmakologis
digunakan pada pasien BPH yang memiliki keluhan gejala yang mengganggu.
Tatalaksana non-medikamentosa dengan memasang dower chatether (DC).
Tatalaksana operatif, yaitu dilakukan TURP untuk menurunkan tekanan pada
kandung kemih dengan cara menghilangkan kelebihan jaringan prostat (Yulida,
2022).

29
BAB V
KESIMPULAN

Pada kasus diatas, didapatkan kemungkinan diagnosis Benign Prostatic


Hyperplasia (BPH) yang di dapat dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah pembesaran
kelenjar prostat karena adanya hiperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
(tanpa keganasan). BPH dapat menyebabkan gangguan kencing, bila tidak diobati
akan menyebabkan gangguan aliran urin (air seni) dari kandung kemih sehingga
menimbulkan masalah pada kandung kemih, saluran urin, dan ginjal. Terdapat
berbagai factor resiko pencetus BPH, salah satunya adalah penuaan dan hormone
DHT. Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah untuk memperbaiki
keluhan miksi, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi intravesika,
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu
urin setelah miksi, dan mencegah progesifitas penyakit. Hal ini dapat dicapai
dengan cara konservatif, atau medikamentosa, dan pembedahan sesuai dengan
indikasi .

30
DAFTAR PUSTAKA

Azzaky Bimandama dan Evi Kurniawaty. 2021. Benign Prostatic Hyperplasia


dengan Retensi Urin dan Vesicolithiasis. Jurnal Agromedicine Unila.
Volume 5. Nomor 2.

Bagus Setyawan., Ismael Saleh., Iskandar Arfan. 2019. Hubungan Gaya Hidup
Dengan Kejadian Benign Prostate Hyperplasia. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Muhamadiyah. Pontianak.

Biddulth. (2019). Pemilihan Modalitas Pemeriksaan Radiologi Diagnosis Benign


Prostatic Hyperplasia. Media Neliti, 43(6), 469–472.

Bimandama, M. A., & Kurniawaty, E. (2018). Benign Prostatic Hyperplasia dengan


Retensi Urin dan Vesicolithiasis Benign Prostatic Hyperplasia with Urine
Retention and Vesicolithiasis. Jurnal Agromedicine Unila, 5(2), 655–
661.

Dhani, Achmad Maulana. 2021. Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Benign


Prostatic Hyperplasia. Jurnal Penelitian Perawat Profesional. Volume 3.
Nomor 3.

Dito Dewantoro Satriawan, Meta Maulida Damayanti, Diana Wijayanti. 2021.


Pengaruh Terapi TURP Terhadap Benign Prostatic Hyperplasia pada
Lansia. Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains. Volume 3. Nomor 1. Hal
59-64

Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2015. Panduan Penatalaksanaan Klinis


Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic Hyperplasia/BPH). IAUI.

31
Nadilla, S., Sangadji, A., & Ariwicaksono, S. C. (2023). Karakteristik Pasien
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Berdasarkan Transabdominal
Ultrasonography (TAUS). Jurnal Kesehatan Tambusai, 4(4), 4648–
4657.

Yulida, N. (2022). Studi Kasus Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Unram


Medical Journal, 11(2), 875–882. https://doi.org/10.29303/jku.v11i2.705

32

Anda mungkin juga menyukai