Disusun Oleh :
Dinda Amalia Shaleha (019.06.0022)
Dosen Pembimbing :
2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan laporan Case Based Discussion. Laporan ini membahas mengenai
kasus yang berjudul “Benign Prostatic Hyperlasia (BPH)”. Penyusunan laporan ini
tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. I Nyoman Palgunadi, Sp. U sebagai dosen pembimbing yang
senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan
laporan kasus.
2. Keluarga dan temen-teman tercinta yang senantiasa memberikan doa,
motivasi, dan dorongan.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman saya yang terbatas untuk
menyusun laporan ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaan tugas ini. Saya berharap semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 2
2.1 Definisi......................................................................................... 2
2.2 Etiologi......................................................................................... 2
2.3 Epidemiologi ................................................................................ 3
2.4 Faktor Risiko ................................................................................ 4
2.5 Manifestasi Klinis ......................................................................... 5
2.6 Patofisiologi.................................................................................. 6
2.7 Diagnosis ...................................................................................... 8
2.8 Tatalaksana ................................................................................. 11
2.9 Komplikasi dan Prognosis........................................................... 17
BAB III LAPORAN KASUS .................................................................. 19
3.1 Identitas Pasien........................................................................... 19
3.2 Anamnesis .................................................................................. 19
3.3. Pemeriksaan Fisik ...................................................................... 19
3.4 Diagnosis Banding ..................................................................... 20
3.5 Pemeriksaan Penunjang .............................................................. 20
3.6 Diagnosis Kerja .......................................................................... 20
3.7 Tatalaksana ................................................................................ 20
3.8 Prognosis .................................................................................... 27
BAB IV PEMBAHASAN ....................................................................... 28
BAB V KESIMPULAN .......................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 31
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Pada penderita BPH, terjadi penyumbatan pada aliran urin, sehingga akan
menimbulkan gejala paling sering, yaitu gejala LUTS seperti gejala obstruktif dan
gejala iritatif. Penanganan BPH dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain
medikamentosa dan tindakan pembedahan. Transurethral resection prostate
(TURP) menjadi salah satu tindakan pembedahan yang paling umum dilakukan
untuk mengatasi pembesaran prostat. Jika tidak dilakukan pembedahan TURP
maka komplikasi yang akan terjadi adalah gagal ginjal, hernia, hemoroid,
hematuria, pyelonephritis. TURP merupakan prosedur baku untuk terapi bedah
BPH, TURP memiliki kelebihan kejadian trauma yang lebih sedikit dan masa
pemulihan yang lebih cepat. TURP dilakukan dengan menggunakan cairan irigasi
agar daerah reseksi tetap terlihat dan tidak tertutup darah. Cairan yang digunakan
bersifat non-ionik, cairan yang tidak menghantarkan listrik, bertujuan agar tidak
terjadi hantaran listrik selama operasi. Contohnya: air steril, glisin,
sorbitol/manitol (Dito dkk, 2021).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Teori Dihidrotestosteron
2
3. Interaksi Stroma-Epitel
Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini
sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika hormon
ini kadarnya menurun, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya
proliferasi sel-sel pada BPH karena kurang tepatnya aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi yang beerlebihan sel stroma maupun sel epitel.
2.3 Epidemiologi
3
berusia lebih dari 50 tahun mengalami BPH, dan hubungan dengan perkembangan
LUTS terbukti meningkat secara linear seiring bertambahnya usia. Hal ini
didukung oleh penelitian yang menunjukkan peningkatan volume prostat seiring
bertambahnya usia (2%-2,5% peningkatan ukuran per tahun) (Bagus, dkk, 2019).
Tahun 2018 di Indonesia terdapat 9,2 juta kasus BPH, di antaranya diderita
oleh laki-laki berusia di atas 60 tahun. Insidensi BPH akan semakin meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, yaitu sekitar 20% pada pria usia 40 tahun,
kemudian menjadi 70% pada pria usia 60 tahun dan akan mencapai 90% pada pria
usia 80 tahun (Bagus, dkk, 2019).
2.4 Faktor Risiko
1. Usia
Pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada buli
(otot detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena pengaruh
usia menurunkan kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran urin
pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi karena pembesaran prostat,
sehingga menimbulkan gejala (Dhani, 2021).
2. Kebiasaan Merokok
4
3. Aktifitas Seksual
5. Diabetes Melitus
Gejala yang umumnya terjadi pada pasien BPH adalah gejala pada saluran
kemih bagian bawah atau lower urinary track symptoms (LUTS). Gejala pada
saluran kemih bagian bawah terdiri atas gejala iritatif (storage symptoms) dan
gejala obstruksi (voiding symptoms). Gejala Obstruktif ditimbulkan karena adanya
penyempitan uretra karena didesak oleh prostat yang membesar. Gejalanya seperti
harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy), pancaran miksi yang lemah
(weak streagm), miksi terputus (Intermittency), harus mengejan (straining). Gejala
5
Iritatif disebabkan oleh pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna pada
saat miksi atau berkemih, sehingga kandung kemih sering berkontraksi meskipun
belum penuh. Gejalanya adalah frekuensi miksi meningkat (Frequency), nookturia,
dan miksi sulit ditahan (Urgency). Gejala-gejala yang biasanya dirasakan oleh
penderita BPH, yaitu nokturia, inkontinensia urin, aliran urin tersendat-sendat,
hematuria, dan merasa tidak tuntas setelah berkemih (Yulida, 2022).
6
2. Hesitancy (saat ingin miksi harus menunggu lama), terjadi karena detrusor
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
4. Nocturia (miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena pengosongan
yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih
pendek.
Tekanan pada kedua muara uretra ini dapat menimbulkan aliran balik urine
dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesikoureter. Obstruksi yang
diakibatkan oleh BPH tidak hanya disebabkan oleh adanya massa prostat
7
yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot
polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher
buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari
nervus pudendus (Yulida, 2022).
2.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdiri atas gejala
obstruksi dan gejala iritatif. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan
pada saluran kemih bagian bawah, beberapa ahli/organisasi urologi
membuat sistem skoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung
sendiri oleh pasien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO dan
Asosiasi Ahli Urologi Amerika (AUA) adalah Skor Internasional Gejala
Prostat atau IPSS (International Prostatic Symptom Score) yang telah
distandarisasi. Skor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan
pasien BPH.
8
c. Gejala di luar saluran kemih
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Urinalisis/ Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada
saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk dalam mencari
jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan dan
dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria. Untuk itu pada
kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan
kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan adanya karsinoma buli-buli
perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine.
b. Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi intravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus
urinarius bawah ataupun bagian atas. Gagal ginjal menyebabkan resiko
9
terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan
dengan tanpa gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih
banyak. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai
petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran
kemih bagian atas.
c. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi
bukan cancer specific. Jika kadar PSA tinggi berarti:
• Pertumbuhan volume prostat lebih cepat
• Keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan
• Lebih mudah terjadinya retensi urine akut. Kadar PSA di dalam serum
dapat mengalami peningkatan pada peradangan, setelah manipulasi
pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut,
kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Rentang kadar
PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah: 40-49 tahun (0-
2,5 ng/ml), 50-59 tahun (0-3,5 ng/ml), 60-69 tahun (0-4,5 ng/ml), dan
70-79 tahun (0-6,5 ng/ml). Pemeriksaan PSA menjadi sangat
penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat.
Sebagian besar guidelines yang disusun di berbagai negara
merekomendasikan pemeriksaan PSA sebagai salah satu pemeriksaan
BPH (IAUI, 2015).
d. Pencitraan
Foto Polos Abdomen untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih,
adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan
bayangan buli-buli yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari
suatu retensi urin. Pemeriksaan PIV (Pielografi Intravena) dapat
menerangkan kemungkinan adanya: 1) Kelainan pada ginjal maupun
ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, 2) memperkirakan besarnya
kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya indentasi prostat
(pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureterdi sebelah distal,
10
dan 3) penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi,
divertikel, atau sakulasi buli-buli. Pemeriksaan pencitraan terhadap
pasien BPH dengan memakai PIV atau USG, ternyata 70-75% tidak
menunjukkan adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas;
sedangkan yang menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil saja (10%).
Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian atas tidak
direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada
pemeriksaan awal ditemukan adanya: (a) hematuria, (b) infeksi saluran
kemih, (c) insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan USG), (d)
riwayat urolitiasis, dan (e) riwayat pernah menjalani pembedahan pada
saluran urogenitalia (IAUI, 2015).
e. Pemeriksaan Ultrasonografi Transrektal (TRUS)
Untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya
kemungkinan pembesaran prostat maligna, sebagai guideline
(petunjuk) untuk melakukan biopsi aspirasi prostat, menetukan jumlah
residual urine, dan mencari kelainan lain yang mungkin ada di dalam
buli-buli. Disamping itu ultrasonografi transrectal mampu untuk
mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat
obstruksi BPH yang lama.
2.8 Tatalaksana
Ada beberapa pilihan terapi yang dapat di lakukan tergantung dari derajat
keluhan, keadaan pasien, serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihannya adalah
konservatif (watchful waiting), medikamentosa, pembedahan, dan kondisi khusus
lainnya (Yulida, 2022).
1. Konservatif
11
BPH telah berkembang menjadi lebih parah, terapi lain yang lebih
intervensional dan aktif perlu dilakukan untuk mengganti manajemen
konservatif ini.
2. Medikamentosa
a. 𝛼1-Blocker
12
yang dinimum sekali sehari dengan dosis yang perlu dititrasi. Sekitar 30-
45% pasien yang diberikan obat ini memiliki penurunan skor IPSS.
Setiap α1-blocker memiliki efek samping yang berbeda-beda. Meskipun
demikian, obat golongan ini sangat direkomendasikan pada kasus BPH
dengan gejala sedang menuju berat.
b. Penghambat 5𝛼-Reduktase
13
aktivitas cyclic guanosine monophosphate (cGMP) intraselular. Oleh
sebab itu, obat ini mampu mengurangi tonus otot polos pada dinding m.
detrusor, prostat, dan uretra. Meski tersedia dalam bentuk sildenafil,
vardenafil, dan tadalafil, IAUI hanya merekomendasikan penggunaan
tadalafil dengan dosis 5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menurunkan
skor IPSS hingga sebesar 37% dari nilai semula. Sebuah studi Cochrane
menyebutkan bahwa penggunaan penghambat PDE-5 sama efektifnya
dengan penggunaan α1-blocker pada BPH sedang hingga berat.
Konsensus IAUI juga merekomendasikan penggunaan penghambat PDE-
5sebagai alternatif α1-blocker yang sederajat.
e. Terapi kombinasi
3. Pembedahan
14
urinaria, keluhan telah memberat, tidak adanya perbaikan setelah terapi
konservatif dan medikamentosa, serta pasien menolak terapi selain bedah.
Adapun berikut merupakan beberapa pilihan terapi pembedahan yang dapat
dilakukan : (Yulida, 2022)
b. Laser Prostatektomi
15
Thulium:YAG, dan Diode. Tindakan ini direkomendasikan bila pasien
sedang dalam terapi antikoagulan yang tidak dapat dihentikan karena
risiko mengidap emboli yang tinggi. Pada prosedur ini, prostat akan
mengalami koagulasi ketika temperatur telah mencapai 600℃-650℃.
Pada temperatur 1000℃, prostat akan mengalami vaporisasi dan
ukurannya mengecil.
d. Operasi Terbuka
Terdapat dua jenis, yaitu metode Freyer melalui transvesikal dan metode
Millin secara retropubik. Pembedahan dengan operasi terbuka dianjurkan
ketika volume prostat telah mencapai angka >80 cc. Operasi terbuka
merupakan cara operasi yang sangat invasif dengan angka morbiditas
tinggi. Perdarahan dapat menjadi penyulit dini di tengah operasi dan
meningkatkan risiko mortalitas atau komplikasi pascatindakan. Beberapa
komplikasi yang kerap terjadi meliputi striktur uretra pada 6% kasus dan
inkontinensia urin pada 10%.
16
e. Kateterisasi
Komplikasi yang paling umum dari BPH yang memerlukan rawat inap
adalah retensi urin akut, yang sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan
merupakan masalah kesehatan yang penting. Banyak komplikasi lain dari BPH,
sebagian disebabkan oleh komplikasi retensi urin kronis; ini termasuk
infeksi saluran kemih (ISK) berulang, pembentukan batu kandung kemih,
hematuria, dan kerusakan pada dinding kandung kemih dan ginjal (Dito,
dkk, 2021).
17
Prognosis pada benign prostatic hyperplasia umumnya baik. Pasien- pasien
dengan lower urinary tract symptoms (LUTS) berkepanjangan dapat berisiko
mengalami glaukoma (10%) serta disfungsi ereksi dan ejakulasi. Pilihan terapi
yang tepat sesuai kondisi klinis pasien sangat penting dalam menentukan
progresifitas benign prostatic hyperplasia. Sebanyak 10% pasien dengan benign
prostatic hyperplasia juga dapat mengalami kekambuhan meskipun telah
dilakukan reseksi prostat (Dito, dkk, 2021).
18
BAB III
LAPORAN KASUS
Usia : 51 tahun
Agama : Hindu
No RM : 33.85.18
19
pada malam hari selalu terbangun karena merasa ingin BAK, BAK pada
malam hari >3x, BAK kadang disertai nyeri perut bagian bawah. BAK
jernih, darah (-), demam (-), mual (-), muntah (-), dan BAB (+) normal.
Pasien menyangkal adanya benjolan yang keluar masuk pada anus dan
selangkangan.
20
3.3 Pemeriksaan Fisik
3. Tanda-tanda Vital
• Pernafasan : 18 x/menit
• Nadi : 80 x/menit
• Suhu : 36,7oC
• SpO2 : 98 %
• VAS :3
4. Status Generalis
21
(+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Inspeksi: Distensi (-), massa (-), hiperemis (-)
• Abdomen :
Auskultasi: Bising usus (+) 5-10 x/menit
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi: Timpani seluruh lapang abdomen
5. Status Lokalis
Penis
Rectal Toucher
22
Hematologi (26 Februari 2024)
Parameter Hasil Satuam Nilai Rujukan
WBC 7.6 10^9/l 3.5-9.5
LYM 1.9 10^9/l 20 - 50
LYM% 25.5 % 1.1 - 3.2
MID 0.5 10^9/l 3 - 10
MID% 5.4 % 0.1 - 0.6
GRA 5.2 10^9/l 0.4 - 8
GRA% 69.1 % 0.02 – 0.52
RBC 5.17 10^12/l 4.3 – 5.8
HGB 16 g/dL 13 – 17.5
HCT 49.1 % 40 - 50
RDW 63.4 fl 36 – 56
MCV 95 f1 82 – 100
RDW% 13.1 % 11 – 16
MCH 31 pg 27 – 34
MCHC 32.6 g/dL 31.6 – 35.4
PLT 224 10^9/l 150 – 350
MPV 8.5 f1 6.5 - 12
PDW 10.3 fl 9 - 17
LPC% 18 % 11 - 45
PCT 0.19 % 0.1 – 0.28
Waktu Pendarahan (BT) 2’00” 1-4
Waktu Pembekuan (CT) 8’00” 3 - 15
23
Kimia Darah (26 Februari 2024)
24
Hasil pemeriksaan foto thorax AP :
• Aortosclerosis
Hasil Pemeriksaan :
• Ginjal kanan : ukuran, letak, bentuk, echo parenkim kesan normal. PCS tidak
dilatasi. Tidak tampak echo batu/massa
• Ginjal kiri : ukuran, letak, bentuk, echo parenkim kesan normal. PCS tidak
dilatasi. Tidak tampak echo batu/massa
• Prostat : ukuran membesar (volume +/- 37 cc), echo parenkim kesan homogen
Kesan :
• Hipertrofi prostat
• Gambaran Cystitis
25
Hasil Pemeriksaan EKG (02 Maret 2024)
1. IVFD NS 20 tpm
2. Ceftriaxone 1x2gr IV
3. Omeprazole 2x1gr IV
4. Ketorolac 3x1gr IV
6. Monuril 1x1
8. Urief 2x4mg
9. Meloxicam 3x7,5 mg
26
10. Levofloxacin 1x1
Ad vitam : Ad bonam
Ad sanationam : Ad bonam
Ad fungsionam : Ad bonam
27
BAB IV
PEMBAHASAN
Pemeriksaan fisik yang paling penting untuk dilakukan pada kasus BPH
adalah rectal toucher (RT) atau digital rectal examination (DRE). Pemeriksaan ini
memungkinkan estimasi volume prostat, serta deteksi nodul. asimetri,
ketidakteraturan permukaan, atau perubahan lain, yang dapat membantu
menentukan keberadaan atau koeksistensi kanker prostat (PCa) (IAUI, 2015).
28
Tatalaksana yang dilakukan pada pasien berupa medikamentosa, non
medikamentosa, dan operatif. Tatalaksana medikamentosa meliputi IVFD NS 20
tpm, Ceftriaxone 1x2gr IV, Omeprazole 2x1gr IV, Ketorolac 3x1gr IV, Asam
tranexamat 3x1gr IV, Monuril 1x1, Gabaxa 1x1 fls, Urief 2x4mg, Meloxicam 3x7,5
mg, Levofloxacin 1x1, Lactulose 3x cth 1, Paracetamol 3x1gr fls IV, Ibuprofen
3x400mg, Petidine 4x2,5cc. Terapi medikamentosa ini untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa dan
mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan
kadar hormon testosteron/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-
reduktase, dan golongan lainnya. Terapi medikamentosa atau farmakologis
digunakan pada pasien BPH yang memiliki keluhan gejala yang mengganggu.
Tatalaksana non-medikamentosa dengan memasang dower chatether (DC).
Tatalaksana operatif, yaitu dilakukan TURP untuk menurunkan tekanan pada
kandung kemih dengan cara menghilangkan kelebihan jaringan prostat (Yulida,
2022).
29
BAB V
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
Bagus Setyawan., Ismael Saleh., Iskandar Arfan. 2019. Hubungan Gaya Hidup
Dengan Kejadian Benign Prostate Hyperplasia. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Muhamadiyah. Pontianak.
31
Nadilla, S., Sangadji, A., & Ariwicaksono, S. C. (2023). Karakteristik Pasien
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Berdasarkan Transabdominal
Ultrasonography (TAUS). Jurnal Kesehatan Tambusai, 4(4), 4648–
4657.
32