DOSEN PENGAMPU :
Istianah, Ners., M.Kep
Disusun Oleh:
1. Dina Ayu Septiani ( 011 STYC20 )
2. Dandi Irwansyah ( 008 STYC20 )
3. Ria Salfiani ( 041 STYC20 )
4. Nursasih Hikmayati ( 038 STYC20 )
5. Khairil Anwar ( 023 STYC20 )
6. Vivi Sulastri ( 050 STYC20 )
i
KATA PENGANTAR
Puja dan puji kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II berjudul “Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan Pada Kasus BPH” ini
dengan tepat waktu.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah
ini.oleh karna itu, kami meminta Ibu/Bapak Dosen untuk memberikan saran serta kritik
yang dapat membangun kami. Kritik dan saran dari Ibu/Bapak dosen sangat kami
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar dan
jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin
berkenaan dengan proses penuaan (Suharyanto,Toto, 2009).Pembesaran prostat
disebabkan oleh dua faktor penting yaitu ketidakseimbangan hormon estrogen
dan androgen, serta faktor umur atau proses penuaan sehingga obstruksi saluran
kemih dapat terjadi(Andredkk, 2011).
Adanya obstruksi ini akan menyebabkan, respon nyeri pada saat buang
air kecil dan dapat menyebabkan komplikasi yang lebih parah seperti gagal ginjal
akibat terjadi aliran balik ke ginjal selain itu dapat juga menyebabkan peritonitis
atau radang perut akibat terjadinya infeksi pada kandung kemih (Andredkk,
2011).
Menurut data WHO (2013), diperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus
degeneratif, salah satunya ialah BPH, dengan insidensi di negara maju sebanyak
19%, sedangkan di negara berkembang sebanyak 5.35% kasus. (Amadea et al.,
2019). Di Indonesia, BPH menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran
kemih, dan jika dilihat secara umum diperkirakan hampir 50% pria Indonesia
yang berusia diatas 50 tahun, dengan usia harapan hidup mencapai 65 tahun
ditemukan menderita BPH. Suatu penelitian menyebutkan bahwa prevalensi BPH
yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun mencapai 15%. Angka ini
meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50-59 tahun
prevalensinya mencapai hampir 25% pada usia 60 tahun ke atas sebanyak 50%.
(Haryanto dan Tori, 2016).
Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) dapat menyebabkan obstruksi
sehingga dapat dilakukan penanganan dengan cara melakukan tindakan yang
paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling
berat yaitu operasi. Terdapat macam-macam tindakan bedah yang dapat
dilakukan pada klien BPH antara lain, Prostatektomi Suprapubis, Prostatektomi
1
Parineal, Prostatektomi Retropubik, Insisi Prostat Transuretral (TUIP),
Transuretral Reseksi Prostat (TURP) (Purnomo,2011).
Penyebab terbentuknya Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) hingga
sekarang belum diketahui penyebab pastinya seperti apa.tetapi beberapa
hipotesis menyebut kan bahwa Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotesteron (DHT) dan proses aging
(penuaan) (Purnomo,2011). Pembesaran prostate mengakibatkan perangsangan
pada kandungan kemih atau vesika, sehingga vesika sering berkontraksi
meskipun belum penuh. Adanya pengangkatan jaringan prostate lewat uretra
menggunakan resektroskop Transurethral Resection Of Prostate (TUR-P) akan
menimbulkan respon nyeri saat buang air kecil dan dapat mengakibatkan
komplikasi yang lebih parah seperti gagal ginjal akibat terjadinya aliran balik ke
ginjal. Selain itu juga bisa menimbulkan peradangan perut akibat terjadinya
infeksi pada kandung kemih (Andre et al., 2011).
1.1 Rumusan Masalah
Bagaimanakah Asuhan Keperawatan klien dengan gangguan system perkemihan
BPH
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu melakukan Asuhan Keperawatan Pada Klien Yang Mengalami
gangguan system perkemihan Benigna Prostate Hyperplasia (BPH).
2. Tujuan Khusus
1. Mampu melaksanakan pengkajian dengan klien yang mengalami Benigna
Prostate Hyperplasia (BPH)
2. Mampu menegakkan diagnosa keperawatan degan klien yang mengalami
Benigna Prostate Hyperplasia (BPH)
3. Mampu membuat perencanaan dengan klien yang mengalami Benigna
Prostate Hyperplasia (BPH)
4. Mampu membuat tindakan asuhan keperawatan pada klien yang
mengalami Benigna Prostate Hyperplasia (BPH)
2
5. Mampu melakukan evaluasi asuhan keperawatan pada klien yang
mengalami Benigna Prostate Hyperplasia (BPH)
1.4 Manfaat
Mampu meningkatkan wawasan teori dalam pemecahan masalah yang
berhubungan dengan Benigna Prostate Hyperplasia (BPH).
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian BPH
Benigna Prostatitis Hyperplasia (BPH) merupakan salah satu
keadaan yang sampai saat ini sering dijumpai disebabkan dari
pertumbuhan dan pengendalian yaitu hormon prostate (Elin,
2011)..Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) adalah membesarnya
kelenjar prostate non kanker (Corwin, 2009). Penyakit Benigna Prostate
Hyperplasia (BPH) diakibatkan karena proses lanjut usia. (Wilson, 2005).
BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia ) adalah suatu keadaan dimana
kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutup orifisium
uretra (Smeltzer dan Bare, 2013). Hyperplasia merupakan pembesaran
ukuran sel dan diikuti oleh penambahan jumlah sel. BPH merupakan
suatu kondisi patologis yang paling umum di derita oleh laki-laki dengan
usia rata-rata 50 tahun ( Prabowo dkk, 2014 ).
4
1. Peningkatan DKT (Dehidrotestosteron)
Meningkat hingga 5 alfa reduktase dan resopte androgen nanti bisa
mengakibatkan epitel dan stroma dari kelenjar prostate menjadi
hyperplasia.
Ketidakseimbangan estrogen dan testosteron Ketidakseimbangan
tersebut terjadi dikarenakan proses degeneratif. Pada proses
penuaan, pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan hormon testosteron. Hal tersebut yang memicu
terjadinya hyperplasia stroma pada prostae.
2. Interaksi antar sel struma dan sel epitel prostate
Meningkatnya kadar epidermal growth faktor atau fibroblast
growth faktor dan menurunnyatransforming growh faktor beta
menimbulkan hyperplasia stroma dan epitel, nantinya akan terjadi
penyebab Benigna Prostate Hyperplasia (BPH).
3. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Peningkatan estrogen akan mengakibatkan lama hidup stroma
meningkat dan epitel dari kelenjar prostate.
4. Teori sistem sel
Peningkatan dari sel sistem akan menyebabkan proliferasi sel
transit dan mengacu terjadinya Benigna Prostate Hyperplasia
(BPH).
2.3 Klasifikasi
Menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim De Jong ( 2010 ), klasifikasi BPH
meliputi :
a. Derajat 1 : Biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberi
pengobatan konservatif. 8
b. Derajat 2 : Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra ( trans
urethral resection / TUR ).
5
c. Derajat 3 : Reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan
prostate sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya
dengan pembedahan terbuka, melalui trans retropublik / perianal.
d. Derajat 4 : Tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari
retensi urine total dengan pemasangan kateter.
2.4 Manifestasi klinis
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Manifestasi klinis timbul akibat peningkatan intrauretra yang
pada akhirnya dapat menyebabkan sumbatan aliran urine secara
bertahap. Meskipun manifestasi dan beratnya penyakit bervariasi,
tetapi ada beberapa hal yang menyebabkan penderita datang berobat,
yakni adanya LUTS.
Untuk menilai tingkat keparahan dari LUTS, bebeapa
ahli/organisasi urologi membuat skoring yang secara subjektif dapat
diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem skoring yang dianjurkan
oleh WHO adalah International Prostatic Symptom Score (IPSS). Sistem
skoring IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan
keluhan LUTS dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas
hidup pasien. Dari skor tersebut dapat dikelompokkan gejala LUTS
dalam 3 derajat, yaitu:
a. Ringan : skor 0-7
b. Sedang : skor 8-19
c. Berat : skor 20-35
6
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan dapat berupa gejala obstruksi antara lain, nyeri
pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis) dan demam (infeksi,
urosepsis)
3. Gejala diluar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya
hernia inguinalis atau hemoroid, yang timbul karena sering mengejan
pada saat berkemih sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan
intraabdominal.
2.5 Patofisiologi
Pertama kali BPH terjadi salah satunya karena faktor bertambahnya
usia, dimana terjadi perubahan keseimbangan testosterone, esterogen,
7
karena produksi testosterone menurun, produksi esterogen meningkat dan
terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di
perifer. Keadaan ini tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam
sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam
sel-sel kelenjar prostat untuk mensistesis protein sehingga mengakibatkan
kelenjar prostat mengalami hyperplasia yang akan meluas menuju kandung
kemih sehingga mempersempit saluran uretra prostatika dan
penyumbatan aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi
lebih kuat guna melawan tahanan itu (Presti et al, 2013). Kontraksi yang
terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase
kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien
sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary
tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala
prostatismus. Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot
detrusor masuk ke dalam fase 13 dekompensasi dan akhirnya tidak mampu
lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Retensi urine ini
diberikan obat-obatan non invasif tetapi obat-obatan ini membutuhkan
waktu yang lama, maka penanganan yang paling tepat adalah tindakan
pembedahan, salah satunya adalah TURP (Joyce, 2014) .
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat
uretra menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan
endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi
dengan alat pemotongan dan counter yang disambungkan dengan arus
listrik. Trauma bekas resectocopy menstimulasi pada lokasi pembedahan
sehingga mengaktifkan suatu rangsangan saraf ke otak sebagai
konsekuensi munculnya sensasi nyeri (Haryono, 2012).
8
2.6 Pathway
9
2.7 Pemeriksaan penunjang
Menurut Haryono (2012) pemeriksaan penunjang BPH meliputi :
1. Pemeriksaan Colok Dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus
sfingter anus mukosa rectum kelainan lain seperti benjolan dalam
rectum dan prostat.
2. Ultrasonografi (USG)
Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar prostat
juga keadaan buli-buli termasuk residual urine.
3. Urinalisis Dan Kultur Urine
Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC
(Red Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya
pendarahan atau hematuria (prabowo dkk, 2014).
4. DPL (Deep Peritoneal Lavage)
Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan
internal dalam abdomen. Sampel yang di ambil adalah cairan
abdomen dan diperiksa jumlah sel darah merahnya.
5. Ureum, Elektrolit, Dan Serum Kreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini
sebagai data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari
BPH.
6. PA (Patologi Anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi.
Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk 12
mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau maligna sehingga
akan menjadi landasan untuk treatment selanjutnya.
10
2.8 Penatalaksanaan
Menurut Haryono (2012) penatalaksaan BPH meliputi :
1. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergik, misalnya prazosin, doxazosin,
afluzosin.
b. Penghambat enzim, misalnya finasteride
c. Fitoterapi, misalnya eviprostat
2. Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung
beratnya gejala dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan
bedah meliputi:
a. Prostatektomi
1) Prostatektomi suprapubis, adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar melalui insisi abdomen yaitu suatu insisi yang di buat
kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
2) Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat kelenjar melalui
suatu insisi dalam perineum.
3) Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik yang lebih umum di
banding [endekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih
rendah mendekati kelenjar prostat yaitu antara arkuspubis dan
kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
b. Insisi prostat transurethral (TUIP)
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
instrumen melalui uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar
prostat berukuran kecil (30 gr / kurang) dan efektif dalam
mengobati banyak kasus dalam BPH.
11
endoskopi dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang
di lengkapi dengan alat pemotong dan counter yang di
sambungkan dengan arus listrik.
12
BAB II
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Pasien
Nama Pasien :
Agama :
Status Perkawinan :
Pendidikan :
Alamat :
Pekerjaan :
Jenis Kelamin :
Suku :
Masuk RS :
Tanggal Pengkajian :
Penanggung Jawab
Nama :
Agama :
Alamat :
Pekerjaan :
Hubungan dgn Pasien :
3.1.2 Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Keluhan yang dirasakan paling dominan pada saat penyakit
tersebut apakah gejala yang timbul paling dominan yang
dirasakan pasien. Keluhan utama ini sangat bervarisi, terlebih jika
terdapat penyakit sekunder yang meyertainya. Keluhan bisa
berupa urin sulit keluar, terlalu sering buang air kecil, urin sukar
keluar, nyeri saat buang air, buang air serasa tidak tuntas.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
13
Pada Pengkajian ini perawat mengkaji keadaan kesehatan pasien
sekarang yang meliputi keluhan/gangguan yang berhubungan
dengan gangguan/penyakit yang dirasakan saat ini :
a. Bagaimana pola/frekuensi berkemih : poliuri, oliguri, BAK
keluar sedikit-sedikit tetapi sering, nokturia, urine keluar
secara menetes, incontinentia urin.
b. Adakah kelainan waktu bak seperti : disuria, ada rasa panas,
hematuria, dan lithuri.
c. Apakah ada rasa sakit yang terdapat pada daerah tempat
keluarnya urine
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Pada pengkajian ini perawat menayakan penyakit yang pernah
dialami sebelumnya, terutama yang mendukung atau
memperberat kondisi gangguan sistem perkemihan pada pasien
saat ini seperti menderita penyakit DM, kaki odem, darah tinggi,
penyakit kencing batu, kencing darah, dan lainnya. Perlu
ditanyakan: apakah klien pernah dirawat sebelumnya, dengan
penyakit apa, apakah pernah mengalami sakit yang berat, dan
sebagainya.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Pada pasien dengan gangguan system perkemihan biasanya
bukan penyakit menurun dari keluarga pasien tetapi tentang pola
hidup pasien yang menyebabkan gangguan pada system
perkemihannya. Jadi pada tahap ini tidak perlu dikaji lebih dalam
tetapi ada beberapa penyakit yang dapat memperburuk gangguan
system perkemihan seperti penyakit DM, kaki odem, darah tinggi,
penyakit kencing batu, kencing darah dan lainnya.
14
1) Pola persepsi dan Penanganan kesehatan
Menggambarkan persepsi klien tentang gangguan sistem
perkemihan yang dialami, serta pemeliharaan kesehatan klien
sehingga terjadi suatu gangguan pada sistem perkemihanya.
2) Pola Nutrisi
Pasien dengan gangguan sistem perkemihan akan terjadi
penurunan nafsu makan yang disebabkan karena suatu infeksi
yang terjadi pada alat-alat dalam sitem perkemihan yang lama
kelamaan akan mempengaruhi ginjal dan menyebabkan konflikasi.
3) Pola eliminasi
Pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan pola fungsi
ekskresi pada kandung kemih, ureter, ginjal, uretra akan terjadi
masalah yang disebabkan karena terjadinya gangguan yang
disebabkan oleh suatu infeksi atau penyakit yang menyebabkan
fungsi tersebut terganggu.
4) Pola tidur dan istirahat
Pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan yang mengalami
nyeri yang tidak tertahan mempengaruhi pola tidur karena akan
selalu merasa kesakitan sehingga menyebabkan ketidak nyaman.
Sehingga menyebabakan pola istirahat menjadi minim.
5) Pola aktifitas dan istirahat
Pada pasien yang mengalami gangguan pada sistem perkemihan
pola latihan dan aktifitas menjadi terganggu karena disebabkan
oleh nyeri yang dimana mengganggu aktifitas sehari -hari pasien.
6) Pola Hubungan Dan Peran
Jika pasien mengalami keterbatasan gerak kemungkinan penderita
tidak bisa melakukan peran baik dalam keseharianya disini
keluarganya dan ornag terdekat sangat berperan penting.
7) Pola sensori dan kognitif
Pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan pada Pola
persepsi sensori meliputi pengkajian panca indra. Dapat terjadi
15
gangguan yang disebabkan oleh mal fungsi dari ginjal yang di
akibatkan oleh terjadinya ganggaun pada system perkemihan
sehingga membuat ginjal rusak dan menyebabkan penumpukan
cairan limbah di tubuh.
8) Pola persepsi diri-konsep diri
Pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan sikap tentang
diri sendiri dan persepsi terhadap kemampuan konsep diri tentang
pemahan penyakit yang dialami harus di tingkatkan secara
mandiri.
9) Pola seksual dan reproduksi
Pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan jika mengalami
gangguan genetilia hygine yang menyebabkan infeksi pada
kemaluan akan menyebabkan masalah terhadap seksualitas.
10) Koping-toleransi strees
Pada pasien dengan gangguan system perkemihan jika terjadi
Pengeluaran urin yang menyebabkan nyeri setiap saat akan
menyebakan pasien tidak nyaman dan merasa stress dengan
kondisinya.
11) Nilai-kepercayaan
Menggambarkan spiritualitas, nilai, sistem kepercayaan dan tujuan
dalam hidup
3.1.4 Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum: lemah, gelisah, lesu, kesadaran menurun
2) Integumen: pucat, turgor menurun, suhu meningkat, akral
hangat/dingin, CRT >2 dt,
3) Mata : lihat kelopak mata, konjungtiva (pucat atau tidak)
4) Mulut dan gigi : kaji bagaimana kebersihan rongga mulut dan bau
mulut, warna bibir (pucat atau kering), lidah (bersih atau kotor).
Lihat jumlah gigi, adanya karies gigi atau tidak
16
5) Leher : Palpasi daerah leher untuk merasakan adanya massa pada
kalenjar tiroid, kalenjar limfe, dan trakea, kaji juga kemampuan
menelan klien, adanya peningkatan vena jugularis
6) Dada : lihat bentuk dada, pergerakan dinding dada saat bernafas,
apakah ada suara nafas tambahan
7) Abdomen :
3.1 Perkusi : pada regio abdomen untuk mengetahui ada tidaknya
residual urine yang bermasalah
3.3 Palpasi : Teraba kistus di daerah suprasimfisis akibat retensi
urin dan sering dilakukan teknik bimanual untuk mengetahui
adanya hidronefrosis dan pyelonefrosis.
8) Ginjal :
a) Auskultasi : Mendengarkan apakah ada bunyi desiran pada
aorta dan arteri renalis
b) Perkusi : Apakah terdapat nyeri tekan
c) Palpasi : untuk menegtahui kemungkinan adanya polikistik
maupaun hidroneposis.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen injuri
2. Resiko infeksi b.d trauma jaringan
3. Gangguan Eliminasi Urin b.d penurunan kapasitas kadung kemih
4. Retensi Urin b.d disfungsi neurologis
3.3 Intervensi Keperawatan
Hr/Tg DIAGNOSA TUJUAN/KRITERIA HASIL INTERVENSI (SIKI)
l KEPERAWATA (SLKI)
N
Nyeri akut b.d Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan selama 1x24 1. Identifikasi lokasi,
agen injuri
jam maka diharapkan karakteristik, durasi,
tingkat nyeri mneurun frekuensi, kualitas,
dengan kriteria hasil sbb : intensitas nyeri.
1. Kemampuan 2. Identifikasi skala nyeri.
menuntaskan aktivitas 3. Identifikasi respons
meningkat nyeri non verbal.
17
2. Keluhan nyeri menurun. 4. Identifikasi faktor yang
3. Meringis menurun. memperberat dan
4. Sikap protektif memperingan nyeri.
menurun. 5. Identifikasi
5. Gelisah menurun. pengetahuan dan
6. Kesulitan tidur keyakinan tentang nyeri.
menurun. 6. Identifikasi pengaruh
7. Fekuensi nadi membaik. budaya terhadap respon
8. Fungsi berkemih nyeri.
membaik. 7. Identifikasi pengaruh
9. Pola tidur membaik. nyeri pada kualitas
hidup.
8. Monitor keberhasilan
terapi komplementer
yang sudah diberikan.
9. Monitor efek samping
analgetik.
Terapeutik
1. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
2. Control lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri.
3. Fasilitasi istirahat dan
tidur.
4. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri.
Edukasi
1. Jelaskan periode,
penyebab dan pemicu
nyeri.
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri.
3. Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri.
4. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat.
5. Anjarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
18
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
19
2. Desakan berkemih 1. Buka pakaian yang
(urgensi) menurun. diperlukan untuk
3. Distensi kandung kemih memudahkan eliminasi.
menurun. 2. Dukungan penggunakan
4. Berkemih tidak tuntas tilet/commode/pispot/
menurun. urinal secara konsisten.
5. Volume residu urin
3. Jaga privasi selama
menurun.
eliminasi.
6. Urin menetes
4. Ganti pakaian pasien
(dribbling) menurun.
setelah eliminasi, jika
7. Nokturia menurun.
perlu.
8. Mengompol menurun.
5. Bersihkan alat bantu
9. Enuresis menuun.
BAK/BAB setelah
10. Dysuria menurun.
digunakan.
11. Anuria menurun.
6. Latih BAB/BAK sesuai
12. Frekuensi BAK
jadwal, jika perlu.
membaik.
7. Sediakan alat bantu
13. Karakteristik urin
(mis. Kateter eksternal,
membaik.
urinal) jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan BAK secara
rutin
2. Anjurkan ke kamar
mandi/toilet, jika perlu
Retensi Urin b.d Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan selama 1x24 1. Periksa kondisi pasien
disfungsi
Jam maka diharapkan (mis. Kesadaran, ttv,
neurologis retensi urin membaik daerah perineal,
Kriteria hasil sbb : distensi kandung
1. Sensasi berkemih kemih, inkontinensia
meningkat urine, refleks berkemih)
2. Desakan berkemih Trapeutik
(urgensi) menurun 1. Siapkan peralatan,
3. Distensi kandung kemih bahan bahan dan
menurun ruangan Tindakan
4. Frekuensi BAK 2. Siapkan pasien
membaik 3. Pasang sarung tangan
4. Bersihkan daerah
perineal atau
preposium dengan
cairan NaCl atau
aquades
5. Lakukan insersi kateter
urine dengan
20
menerapkan perinsip
aseptic
6. Sambungkan kateter
urin dengan urine bag
7. Isi balon dengan NaCl
0,9% sesuai anjuran
pabrik
8. Fiksasi selang kateter
diatas simpisis atau di
paha
9. Pastikan kantung urine
ditempatkan lebih
rendah dari kandung
kemih
10. Berikan label waktu
pemasangan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemasangan
kateter urine
2. Anjurkan menarik
napas saat insersi
selang kateter
21
perawat dan pasien. Frekuensi evaluasi tergantung pada frekuensi kontak
perawat dengan keadaan yang dialami pasien atau kondisi yang dieveluasi.
Evaluasi keperawatan dilakukan untuk menilai masalah keperawatan telah
teratasi, atau tidak teratasi atau dengan mengacu pada kriteria evaluasi.
22
BAB II
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia ) adalah suatu keadaan dimana
kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutup orifisium
uretra (Smeltzer dan Bare, 2013). Hyperplasia merupakan pembesaran
ukuran sel dan diikuti oleh penambahan jumlah sel. BPH merupakan suatu
kondisi patologis yang paling umum di derita oleh laki-laki dengan usia rata-
rata 50 tahun ( Prabowo dkk, 2014 ).
Askep BPH ini dimulai dari tahap awal yaitu pengkajian atau anamneses,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan
dan evaluasi keperawatan. Semua tahapan ini harus dilakukan secara
berurutan guna mengetahui tindakan apa yang seharusnya diberikan kepada
pasien.
4.2 Saran
Saran kami setelah makalah ini jadi bisa dijadikan sebagai materi dasar
terkait Askep BPH Pada Gangguan Saluran Perkemihan. Dan juga untuk para
pembaca makalah ini untuk lebih menelaah kekurangan materi dalam
makalah kami ini. Dan bagi klien mampu menstimulasi pengetahuan
penderita Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) tentang bagaimana tindakan
yang harus dilakukan ketika menderita Benigna Prostate Hyperplasia (BPH).
23
DAFTAR PUSTAKA
Lase, Jems Setiaman. "Asuhan Keperawatan Pada Klien Yang Mengalami Benigna
Prostate Hiperplasia Dengan Gangguan Nyeri Dengan Penerapan
Teknik Relaksasi Benson di Rumah Sakit Umum Daerah Pandan
Tahun 2020." (2020).
Lailatul Azizah, Lailatul Azizah. ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN POST OPERASI
BPH (BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA) DENGAN MASALAH NYERI AKUT
DI RUMAH SAKIT PANTI WALUYA MALANG. Diss. Akademi Keperawatan
Panti Waluya Malang, 2018.
Rusliyawati, Rusliyawati, et al. "Implementasi Metode International Prostate
Symptom Score (IPSS) Untuk E-Screening Penentuan Gejala Benign
Prostate Hyperplasia (BPH)." Jurnal Sains Dan Informatika 7.1 (2021):
28-37.
Amadea, Riselena Alyssa, Alfreth Langitan, and Rosa Dwi Wahyuni. "Benign
prostatic hyperplasia (BPH)." Jurnal Medical Profession (Medpro) 1.2
(2019): 172-176.
Saputra, Riski Novian Indra, Dimas Sindhu Wibisono, and Firdaus Wahyudi.
"Kejadian Batu Saluran Kemih Pada Pasien Benign Prostate Hyperplasia
(Bph) Periode Januari 2013–Desember 2015 Di Rsup Dr. Kariadi
Semarang." Diponegoro Medical Journal (Jurnal Kedokteran
Diponegoro) 5.4 (2016): 1650-1661.
24
LAMPIRAN
JURNAL
25
Jurnal Sains dan Informatika p-ISSN: 2460-173X
Volume 7, Nomor 1, Juni 2021 e-ISSN: 2598-5841
Abstrak
Benign Prostat Hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran kelenjar prostat jinak yang umum dialami pria
lanjut usia dengan populasi sekitar 8% pada dekade ke 4 dan mengalami peningkatan hingga 90% dalam dekade
ke 9. Pasien yang mengalami gangguan kesehatan perlu dilakukan pemeriksaan dini untuk segera mendapatkan
kepastian penyakit dan mendapatkan pengobatan. Proses pemeriksaan untuk menentukan sejauh mana gejala yang
dialami penderita menggunakan metode International Prostate Symptom Score (IPSS). Proses pemeriksaan tahap
awal pasien masih dilakukan secara manual dengan melakukan tanya jawab antara dokter dengan pasien atau
disebut dengan anamnesis. Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan data tentang riwayat penyakit penderita yang
pada umumnya dilakukan di rumah sakit atau puskesmas. Hal tersebut berdampak kepada penderita yang merasa
sensitif jika pertanyaan yang ditanyakan bersifat pribadi dan keterbatasan waktu berfikir untuk menjawab
pertanyaan. Berdasarkan permasalahan tersebut perlu dibangun Sistem Informasi E-Screening untuk menentukan
Gejala BPH berbasis mobile yang dapat digunakan masyarakat dalam melakukan pemeriksaan untuk mengetahui
informasi penyakit yang diderita dan tingkat keparahan. Sistem yang dikembangkan telah dievaluasi menggunakan
tabel confusion matrix. Hasil perhitungan diperoleh nilai accuracy 100%, precision 100% dan recall 100%.
Kata kunci: IPSS, E-Screening, Benign prostate hyperplasia, Mobile
Abstract
Benign prostate gland commonly experienced by elderly men who have a population about 8% in the 4th
decade and have increased up to 90% in 9th decade. Patients who experience health problems need early
examination to immediately get confirmation of the disease and get immediate treatment. The examination process
to determine the extent of symptoms experienced by patients using the International Prostate Symptom Score (IPSS)
method. Currently, the process is still done manually by conducting questions and answers between the doctor and
the patient or what is called. Anamnesis is carried out to obtain data about the patient's disease history which is
generally carried out in a hospital or health center, this has an impact on sufferers who feel sensitive when asked
about personal questions and limited time in thinking to answer questions, therefore it needs to be built. System to
provide solutions to these problems in the form of an E-Screening Information System to determine mobile-based
BPH Symptoms as a medium that can be used for the public to carry out examinations to find information on the
disease and its severity. The system developed has been evaluated using a confusion matrix table. The calculation
results obtained 100% accuracy value, 100% precision value and 100% recall value.
Keywords: IPSS, E-Screening, Benign prostate hyperplasia, Mobile
1. PENDAHULUAN
Pembesaran prostat jinak atau Benign Prostat Hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran jinak kelenjar prostat
yang paling umum pada pria lanjut usia dan terdapat sekitar 8% pada pria dalam dekade keempat hingga 90%
dalam dekade kesembilan [1]. Kelenjar prostat adalah organ pria yang berbentuk seperti kenari yang terletak di
bawah kandung kemih dan mengelilingi bagian belakang uretra [2]. Apabila seseorang mengalami pembesaran,
organ ini dapat menghambat aliran urine yang keluar dari buli-buli sehingga mengganggu kenyamanan penderita.
Berdasarkan data dari UPT Puskemas Bandar Agung tahun 2019-2020 terdapat 26 pasien yang menjalani
pemeriksaan karena menderita BPH. Keluhan yang banyak ditemui adalah tidak bisa buang air kecil. Keluhan
tersebut tentunya sangat merugikan bagi penderita karena membuat penderita merasa tidak nyaman dan
mengganggu aktivitas sehari-hari. Ada cara untuk mengidentifikasi gejala lebih dini pada penderita BPH, yaitu
dengan menggunakan International Prostate Symptom Score (IPSS). IPSS merupakan sebuah panduan berupa
kuisoner yang dikembangkan oleh American Urological Association (AUA) dan telah disahkan oleh WHO [3]
untuk dipergunakan secara luas. IPSS berisi 7 pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan LUTS dan 1
pertanyaan yang berkaitan dengan kualitas hidup penderita. Pemeriksaan menggunakan IPSS masih dilakukan
secara manual, dengan pertanyaan lisan oleh dokter saat anamnesis. Anamnesis merupakan wawancara untuk
mendapatkan data riwayat penyakit penderita yang pada umumnya dilakukan di puskesmas. Hal ini berdampak
pada penderita merasa sensitif jika pertanyaan bersifat pribadi dan keterbatasan waktu dalam berfikir untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan [4]. Hasil wawancara didapatkan informasi bahwa penderita merasa takut akan
tindakan dokter untuk dilakukan operasi, sehingga menyebabkan banyak penderita yang telah memiliki keluhan
tidak bisa buang air kecil, hal tersebut menunjukan kondisi penyakit penderita sudah masuk dalam kategori berat.
Pemeriksaan BPH dapat dilakukan menggunakan IPSS [5]. Penelitian [1] menerapkan IPSS untuk menghitung
korelasi dengan HRQOL di China. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa IPSS adalah instrumen yang valid dan
dapat diandalkan. Penelitian [2] dilakukan untuk mencari hubungan andropause dengan skor IPSS. Hasil penelitian
hubungan yang signifikan antara responden yang mengalami andropause dan kecenderungan mengeluhkan gejala
obstruksi akibat pembesaran prostat. Penelitian [3] dilakukan untuk mengetahui hubungan antara Intravesical
Prostatic Protrution (IPP), IPSS, dan uroflowmetry pada kasus BPH. Penelitian ini mengungkapkan tidak terdapat
hubungan bermakna antara hasil evaluasi IPP secara transabdominal ultrasonografi, IPSS, dan uroflowmetry.
Meskipun penelitian tentang IPSS telah banyak dilakukan, namun penerapan IPSS yang ditemukan digunakan
untuk melihat korelasi antara hasil perhitungan IPSS dengan penyakit lain, dan tidak untuk penentuan gejala BPH,
oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah membangun sistem informasi E-Screening untuk menentukan gejala
BPH menggunakan IPSS berbasis Mobile untuk menentukan tingkat keparahan penderita.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 E-screening
E-screening (electronic screening) merupakan upaya yang digunakan untuk mengidentifikasi penyakit yang
belum diketahui secara klinis dengan metode pemeriksaan tertentu guna menentukan target benar-benar sakit atau
tidak. Hasil screening dapat digunakan untuk pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan selanjutnya [6].
2.2 Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak dari kelenjar prostat [9]. Penyebab dari BPH
tidak diketahui secara jelas, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar Dihydrotestoteron (DHT) dan proses aging (penuaan) [7], [8].
2.3 International Prostate Symptoms Score (IPSS)
IPSS merupakan kuisoner yang dikembangkan oleh American Urological Association (AUA) dan disahkan
WHO untuk dipergunakan secara luas [8], [9]. IPSS terdiri dari sekumpulan pertanyaan sederhana dan mudah diisi,
berisikan 7 indek gejala traktus uranius bagian bawah yang terdiri dari 4 gejala obstruksi dan 3 gejala iritasi [3]. 4
gejala obstruksi yaitu: kencing tidak puas, kencing terputus-putus, pancaran kencing lemah, dan kencing mengejan.
Sedangkan 3 gejala iritasi meliputi: sering kencing, tidak dapat menunda kencing, dan kencing malam hari.
2.4 Metode Pengembangan Extreme Programming
Extreme programming merupakan suatu pendekatan berorientasi objek dan sebagai pengembangan
perangkat lunak cepat sedikit lebih rinci dengan tujuan memberikan ulasan secara ringkas. Paradigma
yang diinginkan mencakup di dalam seperangkat aturan dan praktik-praktik dalam empat konteks
kegiatan kerangka kerja yaitu perencanaan, perancangan, pengkodean dan pengujian [4]. Tahapan
pada metode extreme programming ditampilkan pada Gambar 1.
29
Jurnal Sains dan Informatika p-ISSN: 2460-173X
Volume 7, Nomor 1, Juni 2021 e-ISSN: 2598-5841
a. Tahap perencanaan (planning), peneliti atau pengembang memutuskan bagaimana story pengguna dibangun
dengan komitmen telah disepakati, adapun story-story dilakukan dengan: (1) pengguna menceritakan
permasalahan sistem yang digunakan dan sistem seperti apa yang akan dibangun. (2) Berdasarkan cerita
pengguna, peneliti menentukan poin pada bagian value untuk memutuskan apa saja yang akan dibangun. (3)
Dari hasil kesepakatan tersebut, peneliti menentukan acceptence criteria test yaitu menentukan kriteria-kriteria
sebagai acuan terhadap sistem yang akan diuji. (4) Sehingga peneliti menyimpulkan berapa kali akan dilakukan
realies dan perbaikan pada tahap interation plan merencanakan berapa kali akan dilakukan uji terhadap sistem.
b. Tahap perancangan (design), extreme programming pada pembuatan desain dilakukan untuk
memberikan informasi gambaran sistem yang akan dibangun. Berikut desain yang dilakukan peneliti: (1) CRC
card untuk mengenali dan mengatur object oriented class yang sesuai pengembangan. Jika pada saat
perancangan terdapat ketidaksesuaian maka perbaikan akan dilakukan. (2) Spike solution untuk mendapatkan
kesesuaian antara keinginan pengguna dengan pengembangan. (3) Prototype adalah bagian perancangan
berupa user interface dalam bentuk wireframing untuk mempermudah pengguna melihat desain sistem.
c. Tahap pengkodean (coding), Pada pengkodean peneliti menyesuaikan terhadap story pengguna sehingga
sistem yang dibangun sesuai. Proses yang dilakukan yaitu: (1) Pair Programming merupakan tahap sistem
dibangun dengan bahasa pemprograman dan media penyimpanan yang telah disepakati. (2) Refactory
merupakan tahapan yang dilakukan ketika terjadi ketidak sesuaian kode program sehingga dilakukan perbaikan.
d. Tahap pengujian (test), Tahap pengujian dilakukan pengguna sebagai user dengan melakukan uji sesuai
dengan acceptance test yang telah ditentukan dan disetujui. Unit test fokus pada keseluruhan fitur dan fungsional
sistem. Sehingga sistem dapat disimpulkan telah sesuai dan dapat di-realies. Metode yang digunakan yaitu ISO
25010 sebagai pengujian terhadap kelayakan software.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Perencanaan (Planning)
Perencanaan merupakan permulaan teknik untuk mendapatkan spesifikasi kebutuhan pengguna, mengkaji
litelatur dan menemukan masalah hingga melakukan analisis serta dokumentasi user strory.
3.1.1 User Story
1. User story admin atau dokter: Admin sebagai sumber yang menggunakan sistem dengan tujuan melakukan
pengolahan data, berikut story jawaban admin: (a) “Saya sebagai admin menyadari permasalahan terkait
pemeriksaan penyakit pembesaran prostat jinak atau Benign Prostat Hyperplasia (BPH) yang dilakukan
melalui media Anamnesis mengakibatkan pasien enggan terbuka sehingga berdampak pada minat untuk
melakukan pemeriksaan”. (b) “Dampak lain seperti takutnya proses tindakan dikarenakan ketidakpamahan
gejala dan terkait biaya yang dikeluarkan untuk pemeriksaan”. “Berdasarkan hal tersebut salah satu cara dengan
menyediakan media teknologi untuk mempermudah proses diagnosa secara elektronik”.
2. User story pasien: Pasien sebagai user yang melihat informasi penyakit dan gejala serta diagnosa, berikut user
story pasien: “Saat ini dengan proses pemeriksaan yang dilakukan melalui anamnesis membuat saya enggan
terbuka terlebih jika hasil tindakan harus dilakukan operasi, belum lagi mengenai besarnya biaya pemeriksaan
maupun tindakan”. “Sehingga penting melakukan inovasi terkait penerapan informasi penyakit, gejala dan
pemeriksaan/diagnosa dengan mengacu pada referensi yang baik dan benar”.
3.1.2 Value
Value adalah nilai (poin) yang dapat diambil dalam story pengguna yaitu perlunya inovasi terkait penerapan
teknologi informasi dalam mobile untuk mempermudah proses pemeriksaan dan menyampikan informasi terkait
penyakit tersebut, sehingga menumbuhkan rasa kesadaraan diri untuk menjaga kesehatan.
3.1.3 Acceptance Test Criteria
Acceptence Test Criteria merupakan perencanan untuk menguji apakah sistem sudah sesuai dengan apa yang
ada di dalam spesifikasi fungsional sistem. Test dilakukan pengembang dalam hal ini sebagai peneliti dan hasil
dinilai oleh pengguna. Terdiri dari 2 tahapan: tahap setelah perancangan dan setelah implementasi coding. Kriteria-
kriteria yang digunakan sebagai pilihan test yaitu: kelayakan penggunaan, kelayakan fungsi, dan performa sistem.
3.1.4 Iteration Plan
Iteration Planning merupakan perencanaan dimulai dari komunikasi yang menghasilkan user story hingga
value yang diperoleh telah disepakati pihak perusahaan maka diperolah rencana untuk tujuan sistem yang sesuai
dengan keinginan pengguna. Iteration plan yang dilakukan melalui 3 bagian yaitu pengumpulan data, analisis
kebutuhan sistem dan analisis desain. Secara keseluruhan iteration plan memerlukan waktu untuk penyelesaian
pengerjaan. Waktu pengerjaan dari proses pengumpulan data, analisis hingga perancangan dilakukan pada bulan
Agustus sampai dengan September, proses penerapan coding dan pengujian dilakukan pada bulan November.
30
Jurnal Sains dan Informatika p-ISSN: 2460-173X
Volume 7, Nomor 1, Juni 2021 e-ISSN: 2598-5841
31
Jurnal Sains dan Informatika p-ISSN: 2460-173X
Volume 7, Nomor 1, Juni 2021 e-ISSN: 2598-5841
4. PEMBAHASAN
4.1 Data Pasien
Data didapat dari wawancara menggunakan 7 pertanyaan sebanyak 20 data pasien terbaru dengan gejala prostat.
Data diperoleh dari UPTD Puskesmas Bandar Agung Kabupaten Lampung Tengah.
Tabel 4. Data pasien
Pasien V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
1 3 3 4 3 4 4 4
2 3 3 2 2 3 4 2
3 4 3 3 2 3 4 3
4 4 2 3 2 4 4 3
5 4 3 4 2 3 5 4
6 3 4 4 3 3 4 4
7 4 3 4 3 4 4 4
8 3 3 4 2 3 4 3
9 3 4 2 2 3 3 3
10 3 4 3 4 4 5 4
11 3 3 4 2 2 3 3
12 3 3 3 1 3 3 3
13 4 3 2 1 3 4 3
14 3 3 4 1 3 4 3
15 3 3 3 2 4 3 3
16 5 4 5 5 5 5 4
17 3 3 4 2 3 3 3
18 5 4 4 4 4 4 4
19 4 3 3 2 3 4 3
20 4 3 4 3 4 4 4
Keterangan: v1-v7 merupakan pertanyaan berdasarkan standar metode IPSS
32
Jurnal Sains dan Informatika p-ISSN: 2460-173X
Volume 7, Nomor 1, Juni 2021 e-ISSN: 2598-5841
Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa pasien yang memiliki gejala dengan tingkat keparahan cukup tinggi yaitu
pada pertanyaan 5, 6 dan 7. Pertanyaan 5 disimbolkan garis biru, pertanyaan 6 disimbolkan garis hijau dan
pertanyaan 7 disimbolkan garis biru tua. Hasil perbandingan skor disajikan dengan grafik pada Gambar 5.
33
Jurnal Sains dan Informatika p-ISSN: 2460-173X
Volume 7, Nomor 1, Juni 2021 e-ISSN: 2598-5841
19 4 3 3 2 3 4 3 22 22
20 4 3 4 3 4 4 4 26 26
Berikut hasil pengujian usability kepada 1 orang responden dari pihak puskesmas (dokter) dan 4 orang pasien.
Tabel 8. Hasil pengujian usability
No Instrumen SS ST R TS STS Skor
Appropriateness recognizability
1 Aplikasi ini membantu saya menjadi lebih efektif 5 25
2 Aplikasi ini membantu saya menjadi lebih produktif 5 25
3 Aplikasi ini bermanfaat 5 25
4 Aplikasi ini memberi saya dampak yang besar terhadap tugas yang 5 25
saya lakukan dalam hidup saya
5 Aplikasi ini memudahkan saya mencapai hal-hal yang saya inginkan 5 25
6 Aplikasi ini menghemat waktu ketika saya menggunakannya 1 4 21
7 Aplikasi ini sesuai dengan kebutuhan saya 4 1 24
8 Aplikasi ini bekerja sesuai apa yang saya harapkan 4 1 24
Operability
9 Aplikasi ini mudah digunakan 5 25
10 Aplikasi ini praktis digunakan 5 25
11 Aplikasi ini mudah dipahami 5 25
12 Aplikasi ini memerlukan langkah-langkah yang praktis untuk 5 25
mencapai apa yang ingin saya kerjakan
13 Aplikasi ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan 5 25
14 Tidak kesulitan menggunakan aplikasi ini 5 25
15 Saya dapat menggunakan tanpa instruksi tertulis 5 25
16 Saya tidak melihat adanya ketidak konsistenan selama saya menggunakannya 5 25
17 Pengguna yang jarang maupun rutin menggunakan akan menyukai sistem ini 5 25
18 Saya dapat kembali dari kesalahan dengan cepat dan mudah 5 25
19 Saya dapat menggunakan sistem ini dengan berhasil setiap kali saya 5 25
menggunakannya
Learnability
20 Saya belajar menggunakan aplikasi ini dengan cepat 5 25
21 Saya mudah mengingat bagaimana cara menggunakan aplikasi ini 5 25
22 Sistem ini mudah untuk dipelajari cara menggunakannya 5 20
23 Saya cepat menjadi terampil dengan aplikasi ini 5 25
User interface aesthetics
24 Saya puas dengan aplikasi ini 5 25
25 Saya merekomendasikan aplikasi ini kepada teman 3 1 1 22
26 Aplikasi ini menyenangkan untuk digunakan 5 25
27 Aplikasi ini bekerja seperti yang saya inginkan 5 25
28 Aplikasi ini sangat bagus 4 1 24
29 Saya merasa harus memiliki aplikasi ini 5 25
30 Aplikasi ini nyaman digunakan 5 25
User error protection
31 Sistem ini memberikan informasi ketika terdapat kesalahan 5 25
32 Jika proses login gagal sistem memberikan informasi kesalahan 5 25
33 Jika ada gambar yang diunggah tidak sesuai format muncul informasi kesalahan 5 25
Accessibility
34 Sistem ini dapat digunakan mulai dari kalangan dewasa hingga orang tua 5 25
35 Sistem ini dapat digunakan dalam jangka waktu panjang 5 25
36 Kemudahannya membuat semua kalangan baik yang baru 5 25
menggunakan dan yang sudah mudah memahami
Skor 885
34
Jurnal Sains dan Informatika p-ISSN: 2460-173X
Volume 7, Nomor 1, Juni 2021 e-ISSN: 2598-5841
Berdasarkan hasil kuisioner pengujian usability yang dilakukan dapat dihitung menggunakan skala likert.
Diketahui pada kuisioner tersebut memiliki 5 pembobotan nilai yaitu Sangat Setuju (SS) bernilai 5, Setuju (ST)
bernilai 4, Ragu-ragu (RG) bernilai 3, Tidak Setuju (TS) bernilai 2, Sangat Tidak Setuju (STS) bernilai 1. Maka
skor yang diperoleh akan dibagi nilai tertinggi. Untuk menghitung keseluruhan skor sebagai berikut:
Skor Diperoleh 885
Hasil = × 100% = × 100% = 98,33%
Skor Maksimal 900
Dari skor persentase selanjutnya dikategorikan menggunakan hasil uji sistem dalam aspek usability berikut.
Tabel 9. Hasil pengukuran presentase
No Nilai Hasil
1 80% - 100% Sangat setuju
2 60% - 79% Setuju
3 40% - 59% Ragu-ragu
4 20% - 39% Tidak setuju
5 0% - 19% Sangat tidak setuju
Dari jumlah persentase skor yang diperoleh sebesar 98,33% dapat disimpulkan menggunakan tabel hasil
tersebut berada pada urutan nomor 1 sehingga dapat disimpulkan hasil pengujian usability diperoleh
kesimpulan menurut responden yaitu “Sangat Setuju” bahwa pengembangan tersebut telah sesuai.
4.4.2 Hasil Pengujian Functional Suitability
Sejauh mana perangkat lunak mampu menyediakan fungsi yang memenuhi kebutuhan yang dapat
digunakan dalam kondisi tertentu, berikut adalah pengujian Functional Suitability.
Tabel 10. Bobot jawaban functionality
Jawaban Terima Tolak
Bobot 1 0
Berikut adalah kriteria penilaian kualifikasi skor, kualifikasi pesentase = (bobot jawaban / bobot
jawaban maksimal) x 100%;
1. Persentase nilai Ya = (1 / 1) x 100% = 100%
2. Persentase nilai Tidak = (0 / 1) x 100% = 0%
Berdasarkan bobot nilai tersebut, selanjutnya dapat digambarkan dengan menggunakan gambar
skala untuk mengetahui letak hasil kesimpulan berada pada bagian tidak atau ya, maka hasil
penggambaran persentase hasil uji dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Kualifikasi skala pengukuran functionality
Tidak Ya
0% 50% 100%
Hasil pengujian Functionality pada bagian admin disajikan pada Tabel 12:
Tabel 12. Hasil pengujian functionality
No Pertanyaan Ya Tidak Skor
Functional completeness
1 Apakah sistem dapat menampilkan informasi data penyakit dan gejala? 5 5
2 Apakah sistem dapat mengelola data pasien? 5 5
3 Apakah sistem dapat mengelola data gejala? 5 5
4 Apakah sistem dapat mengelola data penyakit? 5 5
5 Apakah sistem dapat dengan mudah melihat hasil pemeriksaan? 5 5
6 Apakah sistem dapat melihat informasi pemeriksaan? 5 5
Functional corectness
7 Apakah sistem menampilkan data informasi dokter spesialis? 5 5
8 Apakah sistem menampilkan informasi diagnosa secara detail? 5 5
9 Apakah informasi gejala dan penyakit dapat diakses secara mudah? 5 5
10 Apakah laporan sesuai dengan format yang diinginkan? 5 5
Functional appropriateness
11 Apakah dengan sistem yang dibangun dapat mempermudah proses diagnosa sementara pasien? 4 1 4
12 Apakah sistem yang dibangun sesuai kebutuhan? 4 1 4
13 Apakah sistem menampilkan data sesuai dengan fungsinya? 5 5
Skor 63
Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan oleh bagian admin dan 4 orang pasien dapat dilihat
skor yang diperoleh terangkum pada Tabel 13.
Bobot jawaban 63
kualifikasi persentase = × 100% = × 100% = 96,92%
Bobot jawaban maksimal 65
Berdasarkan hasil pengujian fungsional suitability menghasilkan persentase sebesar 96,92%
dengan hasil tersebut maka dapat disimpulkan berdasarkan kriteria persentase hasil uji berikut:
Tabel 13. Kriteria persentase hasil uji
Jumlah Skor (%) Kriteria
0 – 49 Gagal
50 – 100 Sukses
35
Jurnal Sains dan Informatika p-ISSN: 2460-173X
Volume 7, Nomor 1, Juni 2021 e-ISSN: 2598-5841
Setelah melihat berdasarkan kriteria presentasi hasil uji secara keseluruhan pengujian terhadap aspek
fungsional suitability dapat disimpulkan bahwa responden menilai sistem yang dibangun telah “Sukses”.
4.5 Evaluasi
Confusion matrix merupakan suatu alat yang memiliki fungsi untuk melakukan analisi apakah classifier
tersebut baik dalam mengenali tuple dari kelas yang berbeda [11], [12]. Berikut merupakan tabel hasil
perhitungan confusion matrix dengan menggunakan 20 data pasien dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Confusion matrix
Predicted Class
Yes No Total
Yes TP = 20 FN = 0 P = 20
Actual
No FP = 0 TN = 0 N=0
Class
Total P = 20 N=0 P + N = 20
Keterangan:
1. True Positive (TP) adalah jika data yang diprediksi bernilai positif dan sesuai dengan nilai aktual (positif).
2. False Positive (FP) adalah jika yang diprediksi tidak sesuai dengan nilai aktual.
3. False Negative (FN) adalah jika yang diprediksi dan aktualnya negatif.
4. True Negative (TN) adalah jika benar antara prediksi negatif dan kenyataannya negatif.
Hasil pengukuran performance matrix:
𝑇𝑃 + 𝑇𝑁 20 + 0
𝐴𝑘𝑢𝑟𝑎𝑠𝑖 = × 100% = × 100% = 100%
𝑃+𝑁 0
𝑇𝑃 20
𝑃𝑟𝑒𝑠𝑖𝑠𝑖 = × 100% = × 100% = 100%
𝑇𝑃 + 𝐹𝑃 20 + 0
𝑇𝑃 20
𝑅𝑒𝑐𝑎𝑙𝑙 = × 100% = × 100% = 100%
𝑇𝑃 + 𝐹𝑁 20 + 0
Evaluasi dilakukan dengan membandingkan hasil rekomendasi perhitungan IPSS dari dokter pakar
dan system. Hasil perhitungan dihitung menggunakan table confusion matrix untuk mendapat nilai
akurasi, presisi dan recall. Hasil perbandingan ditampilkan pada Gambar 7.
5. KESIMPULAN
Penelitian ini menghasilkan sistem berbasis mobile yang dapat digunakan para penderita BPH sehingga
masyarakat dapat melakuan pemeriksaan sendiri tanpa harus ke klinik kesehatan. Proses pemeriksaan gejala
BPH menggunakan perhitungan dari IPSS yang dilakukan dengan memberikan 7 pertanyaan untuk mengetahui
tingkat keparahan atau gejala yang dialami oleh pasien. Berdasarkan hasil pengujian functional suitability
menghasilkan persentase sebesar 96,92%, dengan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa responden
menilai sistem yang dibangun telah “Sukses”. Hasil evaluasi menggunakan tabel confusion matrix dengan
membandingkan rekomendasi dokter dan sistem diperoleh nilai accuracy 100%, nilai precision 100% dan nilai
recall 100%. Penelitian masih perlu dilakukan pengembangan untuk melengkapi fungsi berupa rekomendasi
obat berdasarkan tingkat keparahan kondisi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
[1] C. K. Wong, E. P.-H. Choi, S. W.-H. Chan, J. H. Tsu, C. Fan, and P. S. Chu, “Use of the International Prostate
Symptom Score (IPSS) in Chinese male patients with benign prostatic hyperplasia,” Aging Male, vol. 20, no.
4, pp. 241–249, 2017, doi: 10.1080/13685538.2017.1362380.
[2] A. C. D. S. Pinto, Y. Kurniawan, and I. G. N. Pramesemara, “Hubungan andropause dengan skor
36
Jurnal Sains dan Informatika p-ISSN: 2460-173X
Volume 7, Nomor 1, Juni 2021 e-ISSN: 2598-5841
IPSS pada pegawai di institusi pusat pemerintahan,” Intisari Sains Medis, vol. 12, no. 1, pp. 234–
239, 2021, doi: 10.15562/ism.v12i1.920.
[3] J. Jefri, A. Monoarfa, A. Aschorijanto, R. Monoarfa, and V. Tubagus, “Hubungan antara intravesical
prostatic protrution, International prostatic symptom score, dan uroflowmetry pada kasus benign
prostatic hyperplasia di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado,” J. BIOMEDIK JBM, vol. 9, no. 2,
pp. 121–126, 2017, doi: 10.35790/jbm.9.2.2017.16361.
[4] R. Juric, “Extreme programming and its development practices,” in ITI 2000. Proceedings of the 22nd
International Conference on Information Technology Interfaces (Cat. No. 00EX411), 2000, pp. 97–104.
[5] S. P. Roger and R. M. Bruce, Software Engineering: A Practitioner’s Approach, Eighth Edition.
New York: McGraw-Hill Education, 2015.
[6] E. R. T. Putri and A. D. Setyarini, “Pencegahan Kanker Leher Rahim dengan Edukasi Screening
IVA Test,” 2018.
[7] M. A. Bimandama and E. Kurniawaty, “Benign Prostatic Hyperplasia dengan Retensi Urin dan
Vesicolithiasis,” J. Agromedicine, vol. 5, no. 02, pp. 655–661, 2018.
[8] C. Vuichoud and K. R. Loughlin, “Benign prostatic hyperplasia: Epidemiology, economics and
evaluation,” Can J Urol, vol. 22, no. Suppl 1, pp. 1–6, 2015.
[9] C. A. Tam et al., “The International Prostate Symptom Score (IPSS) Is an Inadequate Tool to Screen
for Urethral Stricture Recurrence After Anterior Urethroplasty,” Urology, vol. 95, pp. 197–201,
2016, doi: 10.1016/j.urology.2016.04.006.
[10] A. Roy, A. Singh, D. S. Sidhu, R. Jindal, M. Malhotra, and H. Kaur, “New visual prostate symptom
score versus international prostate symptom score in men with lower urinary tract symptoms: A
prospective comparision in Indian rural population,” Niger. J. Surg., vol. 22, no. 2, pp. 111–117,
2016, doi: 10.4103/1117-6806.189002.
[11] S. Agarwal, “Data Mining: Data Mining Concepts and Techniques,” 2013, doi:
10.1109/ICMIRA.2013.45.
[12] D. C. K. Soh, E. Y. K. Ng, V. Jahmunah, S. L. Oh, R. S. Tan, and U. R. Acharya, “Automated
diagnostic tool for hypertension using convolutional neural network,” Comput. Biol. Med., vol. 126,
2020, doi: 10.1016/j.compbiomed.2020.103999.
Biodata Penulis
Rusliyawati, S.Kom., MTI., merupakan lulusan Universitas Indonesia yang saat ini
sedang menyelesaikan studi doctor di Univesitas Lampung. Beliau menjadi kepala
program studi di Universitas Teknokrat Indonesia, Lampung.
Agus Wantoro, M.Kom., mahasiswa program doctor di Universitas Lampung yang baru
saja mempublikasikan artikel ilmiah terindex scopus. Beberapa buku referensi seperti
Algoritm dan Pemrograman telah diterbitkan. Saat ini aktif menjadi pengajar di
Universitas Teknokrat Indonesia.
Dr. Ir. Kurnia Muludi, MS. Sc., merupakan alumni Institute Teknologi Bandung dan
saat ini menjadi dosen di Universitas Lampung. Beberapa penelitian telah
dipublikasikan di Scopus dan WOS.
37
BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)
ABSTRACT
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) is a disease that often causes problems in men. BPH has the
characteristics of hyperplasia of the prostate stroma and epithelium. Histological prevalence of
BPH increased from 20% of men aged 41-50 years, 50% in men aged 51-60 years, to more than
90% in men aged> 80 years. BPH causes clinical manifestations such as LUTS, hypertrophy, and
distention of the bladder due to urinary retention, nocturia and dysuria. In this case, a 67-year-old
man admitted to hospital with complaints of stifling micturition for 7 months, not satisfied when
BAK, takes a long time to start micturition, urine seeps, nocturia> 3 times, bloody bowel is de-
nied, lump in thigh fold is denied . The results of the ultrasound and Rectal Toucher examination
of the patient are diagnosed with BPH Grade 3. Management of this case is carried out by pros-
tatectomy.
ABSTRAK
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah penyakit yang sangat sering mengakibatkan masalah
pada pria. BPH mempunyai karakteristik berupa hiperplasia pada stroma dan epitel prostat.
Prevalensi histologi BPH meningkat dari 20% laki-laki berusia 41-50 tahun, 50% pada laki-laki
berusia 51-60 tahun, hingga lebih dari 90% pada laki-laki berusia >80 tahun. BPH menimbulkan
manifestasi klinis seperti LUTS, hipertrofi, serta distensi kantung kemih dengan akibat retensi
urine, nokturia dan disuria. Pada kasus ini, pria berumur 67 tahun masuk rumah sakit dengan
keluhan miksi tersendat – sendat sejak 7 bulan, tidak puas saat BAK (Buang Air Kecil), butuh
waktu lama untuk memulai miksi, urin merembes, nokturia >3 kali, BAB berdarah disangkal,
benjolan pada lipatan paha disangkal. Hasil pemeriksaan USG dan Rectal Toucher pasien di
diagnosis BPH Grade 3. Penatalaksanaan kasus ini dilakukan prostatectomy.
PENDAHULUAN
ABSTRAK
Latar Belakang : Batu saluran kemih merupakan masalah kesehatan yang cukup besar,
menempati urutan ketiga setelah Benign Prostate Hyperplasia (BPH) dan Infeksi Saluran Kemih.
Insidensi batu saluran kemih dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti konsumsi tinggi
kalsium dan oksalat, intake cairan yang kurang, infeksi saluran kemih atau oleh karena drainase
urine yang tidak adekuat seperti pada BPH.
Tujuan : Mengetahui kejadian batu saluran kemih pada pasien Benign Prostate Hyperplasia
(BPH) periode Januari 2013 – Desember 2015 di RSUP Dr. KARIADI Semarang.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan data sekunder.
Cara pengambilan sample dilakukan dengan metode total sampling dengan menggunakan kriteria
waktu penelitian periode Januari 2013 – Desember 2015.
Hasil : Dari hasil penelitian didapatkan dari 255 sampel pasien Benign Prostate Hyperplasia
(BPH) terdapat 25 sampel yang mengalami kejadian batu saluran kemih. Frekuensi terbanyak
kejadian batu saluran kemih pada pasien Benign Prostate Hyperplasia (BPH) pada usia 65-69
tahun 15 sampel (60%), dengan keluhan terbanyak sulit buang air kecil (BAK) sebesar 18 sampel
(72%) dan frekuensi kejadian terbanyak pada kelompok pekerjaan terjadi pada pekerja
wiraswasta sebesar 22 sampel (88%).
Kesimpulan : Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kejadian batu saluran kemih masih
dapat ditemukan pada sebagian kecil pasien Benign Prostate Hyperplasia (BPH).
Kata Kunci : Laki-laki, Benign Prostate Hyperplasia (BPH), Usia, Batu Saluran Kemih.
ABSTRACT
URINARY TRACT STONE EVENTS IN PATIENTS BENIGN PROSTATE
HYPERPLASIA (BPH) PERIOD JANUARY 2013 -DECEMBER 2015 IN HOSPITAL Dr.
KARIADI SEMARANG
Background : Urinary tract stones are quite big health problems, was third after the Benign
Prostate Hyperplasia (BPH) and Urinary Tract Infections.The incidence of urinary tract stones
can be caused by various factors such as high consumption of calcium and oxalate, lack of fluid
intake, urinary tract infection or due to inadequate drainage of urine as BPH.
Aim : To identify the incidence of urinary tract stones in patients with Benign Prostate Hyperplasia
(BPH) in the period of January 2013 - December 2015 at the Hospital of Dr. Kariadi Semarang.
1650
JKD, Vol. 5, No. 4, Oktober 2016 : 1650-1661
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 5, Nomor 4, Oktober 2016
Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Riski Novian Indra Saputra, Dimas Sindhu Wibisono, Firdaus Wahyudi
Methodes : This research is a descriptive study using secondary data. Sampling is done by total
sampling method, using criteria of the study time period January 2013 - December 2015.
Results : From the results of the 255 patient samples Benign Prostate Hyperplasia (BPH) there
are 25 samples, who experienced urinary tract stones. The most frequent incidence of urinary
tract stones in patients with Benign Prostate Hyperplasia (BPH) at the age of 65-69 years of 15
samples (60%), with complaints most difficult urination of 18 samples (72%), and the highest
frequency of occurrence in group work occurs in self-employed workers by 22 samples (88%).
Conclusion : From the results, it can be concluded that the incidence of urinary tract stones can
still be found in a minority of patients with Benign Prostate Hyperplasia (BPH).
Keywords : Male, Benign Prostate Hyperplasia (BPH), Age, Stone Tract
PENDAHULUAN
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua di Indonesia
setelah infeksi saluran kemih1. Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin
meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di Indonesia berusia 60 tahun atau
lebih dan 2,5 juta pria diantaranya menderita gejala saluran kemih bagian bawah Lower Urinary
Tract Symptoms (LUTS) akibat BPH2.
BPH didefinisikan sebagai proliferasi dari sel stroma pada prostat, yang menyebabkan
perbesaran pada kelenjar prostat. Insiden BPH hanya terjadi pada laki-laki (menurut struktur
anatomi), dan gejala pertama kali akan muncul pada usia berkisar 40 tahun3.
BPH adalah suatu kondisi yang mempunyai kaitan dengan penuaan. Meskipun BPH
bukan suatu kelainan yang mengancam jiwa, BPH merupakan manifestasi klinis dari LUTS yang
dapat mengurangi kualitas hidup penderita4.
Pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga kandung kemih sering
berkontraksi meski belum penuh. Apabila kandung kemih menjadi dekompensasi, akan terjadi
residual urine, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir berkemih5.
Batu saluran kemih merupakan masalah kesehatan yang cukup besar, menempati urutan
ketiga setelah Benign Prostate Hyperplasia (BPH) dan Infeksi Saluran Kemih. Insidensi batu
saluran kemih dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti konsumsi tinggi kalsium dan oksalat,
intake cairan yang kurang, infeksi saluran kemih atau oleh karena drainase urine yang tidak
adekuat seperti pada BPH6
1651
JKD, Vol. 5, No. 4, Oktober 2016 : 1650-1661
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 5, Nomor 4, Oktober 2016
Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Riski Novian Indra Saputra, Dimas Sindhu Wibisono, Firdaus Wahyudi
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan data sekunder yaitu
rekam medis sebagai subjek penelitian. Penelitian ini telah dilaksanakan di instalasi rekam medis
RSUP Dr. Kariadi Semarang pada bulan Maret-Mei 2016.
Subjek penelitian adalah data rekam medis yang memenuhi kriteria yaitu, terdapat
kejadian batu saluran kemih pada pasien Benign Prostate Hyperplasia (BPH) periode Januari
2013 – Desember 2015. Subjek penelitian yang tidak terdapat kejadian batu saluran kemih pada
pasien Bening Prostate Hyperplasia (BPH) periode Januari 2013 – Desember 2015 tidak
diikutsertakan dalam penelitian.
Sampel diambil dengan metode total sampling dengan menggunakan kriteria waktu
penelitian yaitu periode Januari 2013 – Desember 2015. Variabel bebas penelitian adalah Benign
Prostate Hyperplasia (BPH). Variabel terikat penelitian adalah batu saluran kemih.
HASIL
Sampel penelitian diambil dari data sekunder yaitu rekam medis pasien Benign Prostate
Hyperplasia (BPH) yang mengalami batu saluran kemih di RSUP dr. Kariadi Semarang periode
Januari 2013 - Desember 2015 pada bulan Mei 2016. Selama periode tersebut terdapat 255
sampel data pasein Benign Prostate Hyperplasia (BPH), dari data tersebut didapatkan jumlah
sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 25 sampel kejadian batu saluran kemih pada
pasien Benign Prostate Hyperplasia (BPH).
Karakteristik subyek penelitian
Distribusi dan persentase sampel berdasarkan periode tahun kejadian dapat dilihat pada
Tabel 1 dan Gambar 1
1652
JKD, Vol. 5, No. 4, Oktober 2016 : 1650-1661
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 5, Nomor 4, Oktober 2016
Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Riski Novian Indra Saputra, Dimas Sindhu Wibisono, Firdaus Wahyudi
1653
1654
JKD, Vol. 5, No. 4, Oktober 2016 : 1650-1661
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 5, Nomor 4, Oktober 2016
Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Riski Novian Indra Saputra, Dimas Sindhu Wibisono, Firdaus Wahyudi
1655
1656
JKD, Vol. 5, No. 4, Oktober 2016 : 1650-1661
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 5, Nomor 4, Oktober 2016
Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Riski Novian Indra Saputra, Dimas Sindhu Wibisono, Firdaus Wahyudi
Pekerjaan
Distribusi dan persentase sampel berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 6 dan
Gambar 6
Tabel 6. Distribusi sampel berdasarkan pekerjaan
Kejadian batu saluran kemih pada pasien
Pekerjaan Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
Frekuensi Persentase (%)
Buruh 1 4%
Swasta 1 4%
Wiraswasta 22 88%
Pensiunan 1 4%
Total 25 100%
1657
JKD, Vol. 5, No. 4, Oktober 2016 : 1650-1661
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 5, Nomor 4, Oktober 2016
Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Riski Novian Indra Saputra, Dimas Sindhu Wibisono, Firdaus Wahyudi
25
20
15
10 Frekuensi
5 Persentase (%)
0
PEMBAHASAN
Frekuensi kasus batu saluran kemih mengalami peningkatan setelah usia >50 tahun7.
Obstruksi saluran kemih menjadi etiologi utama batu saluran kemih karena menyebabkan stasis
urine, infeksi, perubahan pH urine dan supersaturasi urine. Penyebabnya adalah obstruksi saluran
kemih yang sangat berpengaruh dalam pembentukan batu saluran kemih pada orang usia >50
tahun dengan Benign Prostate Hyperplasia (BPH) sebagai penyebab tersering terjadinya
obstruksi tersebut diikuti oleh striktur uretra dan adenokarsinoma prostat8. Penuaan merupakan
proses dimana banyak fungsi tubuh yang berkurang dan menurun. Perubahan yang terjadi pada
saluran kemih adalah berkurangnya kontrol berkemih diakibatkan atrofi yang progresif pada
korteks serebri dan neuron. Berkurangnya sel-sel otot berkemih yang digantikan dengan sel
lemak dan jaringan ikat juga menjadi faktor melemahnya kontrol berkemih. Hal ini sering
dikaitkan dengan gangguan urologi pada lansia terutama obstruksi saluran kemih yang akan
beresiko menyebabkan batu saluran kemih. Seiring dengan penigkatan usia, volume prostat akan
membesar diakibatkan terjadinya penurunan hormon pada laki-laki terutama hormon
testosterone. Hormon testosterone diubah menjadi dihydrotestosterone (DHT) yang secara kronis
akan merangsang pembesaran kelenjar prostat9. Peningkatan usia dapat meningkatan resiko
terjadinya batu saluran kemih. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukan jumlah
terbanyak pada usia 65-69 tahun 15 orang (60%).
1658
JKD, Vol. 5, No. 4, Oktober 2016 : 1650-1661
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 5, Nomor 4, Oktober 2016
Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Riski Novian Indra Saputra, Dimas Sindhu Wibisono, Firdaus Wahyudi
Batu saluran kemih dapat menimbulkan gejala asimtomatik. Gejala yang ditimbulkan
umumnya seperti hematuria, infeksi berulang dan iritasi10. Ada beberapa keluhan utama pada
kejadian batu saluran kemih pada pasien Benign Prostate Hyperplasia (BPH) yaitu sulit buang
air kecil (BAK), nyeri saat buang air kecil (BAK), buang air kecil (BAK) menetes, sering buang
air kecil (BAK) malam hari, buang air kecil (BAK) keluar batu, nyeri pinggang. Dari hasil
penelitian didapatkan frekuensi terbanyak untuk keluhan utama pada pasien berada pada sulit
buang air kecil (BAK) sebanyak 18 orang (72%).
Atan dkk (2005) menemukan 181 dari 10,326 karyawan pekerja industri baja memiliki
penyakit batu saluran kemih. Dari 181 orang tersebut 103 orang bekerja di lingkungan bersuhu
>450C dan 78 orang di lingkungan dengan suhu kamar. Hal ini menunjukkan suhu udara yang
tinggi meningkatkkan pembentukan batu saluran kemih. Didapatkan hasil hipositraturia dan
volume urine rendah diantara keduanya. Paparan panas dan status dehidrasi dalam pekerjaan
menjadi faktor resiko untuk terjadinya pembentukan batu. Pada penelitian tersebut juga
menemukan pekerja pabrik kaca yang terkena paparan suhu tinggi atau yang tidak terkena
paparan suhu tinggi yang lama sehingga dapat menyebabkan pengeluaran keringat cukup banyak.
Semakin tinggi suhu yang terpapar ke tubuh sejalan dengan penurunan volume dan pH urine
yang lebih rendah, meningkatnya kadar asam urat, dan peningkatan berat jenis urine
menyebabkan kejenuhan urine yang tinggi dari asam urat. Didapatkan jenis batu dengan insidensi
tinggi yang terbentuk pada pekerja adalah batu asam urat.
Kemudian, pekerjaan menetap seperti manajer atau pekerja kantoran didapatkan
peningkatan resiko terbentuknya batu saluran kemih tanpa diketahui alasan pastinya11. Keith
(2008) mendapatkan hasil survei kuosioner dari 406 pekerja laki-laki di beberapa pekerjaan di
Asia bahwa pekarja lapangan tampak berhubungan dengan peningkatan kasus batu saluran kemih
lima kali lipat dibanding dengan pekerja di dalam ruangan. Dalam aktivitas yang sedang, pekerja
dengan paparan suhu yang lebih tinggi, beresiko 3,5 kali lipat terjadinya batu dari pada pekerja
yang sama dengan paparan suhu yang normal12. Pada penelitian ini di dapatkan distribusi
pekerjaan yang paling tinggi pada pekerja wiraswasta 22 orang (88%). Dapat disimpulkan bahwa
peningkatan resiko terbentuknya batu pada pekerja wiraswasta dan tergantung pada jenis spesifik
1659
JKD, Vol. 5, No. 4, Oktober 2016 : 1650-1661
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 5, Nomor 4, Oktober 2016
Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Riski Novian Indra Saputra, Dimas Sindhu Wibisono, Firdaus Wahyudi
pekerjaan tersebut dan didukung adanya faktor suhu lingkungan kerja serta status dehidrasi
pekerja.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kejadian batu saluran kemih pada pasien Benign
Prostate Hyperplasia (BPH) periode Januari 2013 – Desember 2015 di RSUP Dr. Kariadi
Semarang pada bulan Mei 2016. Selama periode tersebut terdapat 255 sampel data pasein Benign
Prostate Hyperplasia (BPH), dari data tersebut didapatkan jumlah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebanyak 25 sampel kejadian batu saluran kemih pada pasien Benign Prostate
Hyperplasia (BPH). Dari data tersebut didapatkan peningkatan jumlah kejadian pada tahun 2014
sebesar 15 kejadian batu saluran kemih pada pasien Benign Prostate Hyperplasia (BPH). Dari 25
sampel tersebut didapatkan frekuensi usia terbanyak pada usia 65-69 tahun sebanyak 15 orang
(60%), dengan frekuensi keluhan terbanyak pada sulit buang air kecil (BAK) sebanyak 18 orang
(72%),dan jenis pekerjaan yang memiliki frekuensi terbanyak yaitu pekerjaan wiraswasta
sebanyak 22 orang (88%).
DAFTAR PUSTAKA
1. Fadlol, Mochtar. Prediksi Volume Prostat pada Penderita Pembesaran Prostat Jinak. Indones
J Surg. 2005;XXXIII-4:139-145.
2. Suryawisesa, Malawat, Bustan. Hubungan Faktor Geografis Terhadap Skor Gejala Prostat
Internasional (IPSS) Pada Komunitas Suku Makassar Usia Lanjut Tahun 1998. Ropanasuri.
1998;XXVI – 4:1-10.
3. Kapoor, Anil. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Management In The Primary Care
Setting. Can J Urol. 2012;(October):10-15.
4. Rosette, J.De.La, Et.al. Guidelines on Benign Prostatic Hyperplasia. Europe. Eur Assoc Urol. 2006.
5. Sjamsuhidajad R, Wim de Jong, eds. Buku Ajar Ilmu Bedah. Revisi. Jakarta; 1997.
6. Vijaya T, Kumar M, Ramarao N V, Babu A. Urolitiasis and Its Causes-Short Review. J
Phytopharm. 2013;2(3):1-6.
1660
JKD, Vol. 5, No. 4, Oktober 2016 : 1650-1661
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 5, Nomor 4, Oktober 2016
Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Riski Novian Indra Saputra, Dimas Sindhu Wibisono, Firdaus Wahyudi
1661