Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

Benign Prostatic Hyperplasia


Dosen Pengampu : Ns. Agus Purnama, M.Kes

Disusun oleh :

1. Novita Walilo 09160000017 17. Sabila Aina Sulistia 09190000090


2. Ervina Fitriani 09190000020 18. Markus Muda Kondo 09190000092
3. Dea Amanda Putri 09190000028 19. Ditha Dewi Fitria 09190000094
4. Ayunita Pratiwi 09190000038 20. Alfiah Herudin 09190000096
5. Annisya Al Syiffani 09190000051 21. Findiyani Fania Putri 09190000099
6. Wili Suciani Wahono 09190000062 22. Rafika Zahra 09190000104
7. Aulia Hikmah 09190000064 23. Sahrul Ramadan 09190000106
8. Dhea Ardinda Permata 09190000065 24. Lutfia Karimah 09190000109
9. Melfira Silvany Carolin 09190000068 25. Syahrani Wijayanti 09190000114
10. Ahmad Wahid 09190000070 26. Ryo Tanta Saputra 09190000115
11. Vivian Engy Apriliza 09190000072 27. Nova Tri Widianto 09190000117
12. Fitria Nur Aini 09190000078 28. Galih Pangestu 09190000180
13. Denisa Dravioni 09190000084 29. M. Okeu Kurniawan 09190000185
14. Anggy Fidel 09190000083 30. Irene Sinaga 09190000188
15. Fitria Dwi Ambarsari 09190000087 31. N. Adisyahban Azhari 09200000165
16. Lu`lu Nur Rahmayani 09190000089

PROGAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan hidayah
dan inayah Nya kepada kami, sehingga kami dapat kan menyelesaikan makalah yang
berjudul “Benign Prostatic Hyperplasia” Makalah ini disusun sebagai pemenuhan tugas
kelompok pada Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan khususnya sebagai bahan
inspirasi bagi mahasiswa dan atau mahasiswi dengan harapan dapat mempelajari tentang
Benign Prostatic Hyperplasia. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnanan dan banyak kekurangannya, untuk itu kami mengharapkan kritik serta
saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 07 Juli 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

Contents
A. Latar Belakang....................................................................................................1
C. Tujuan..................................................................................................................4
1. Tujuan Umum.....................................................................................................4
D. Manfaat Penelitian..............................................................................................5
1. Manfaat Teoretis.................................................................................................5
2 Manfaat Praktis.....................................................................................................5
PEMBAHASAN..................................................................................................................6
A. Benign Prostatic Hyperplasia.............................................................................6
B. Etiologi..................................................................................................................6
C. Manifestasi Klinis................................................................................................7
D. Derajat Benigna Prostat Hyperplasia...............................................................8
E. Patofisiologi..........................................................................................................8
F. Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................8
G. Penatalaksanaan..................................................................................................9
H. Komplikasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)..........................................12
I. Faktor Resiko........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hiperplasia prostatis benigna (BPH) adalah pembesaran prostat yang mengenai

uretra, menyebabkan gejala urinaria (Nursalam, M & Batticaca, 2011).

Seiring dengan bertambahnya umur, maka akan terjadi perubahan keseimbangan

testosteron dan estrogen karena produksi testoteron menurun dan akan terjadi konversi

testosteron menjadi esterogen pada jaringan adiposa di perifer. Berdasarkan angka

autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat dittemukan pada umur 30-40

tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang, akan terjadi perubahan

patologik anatomik. Pada laki-laki umur 50 tahun, angka kejadiannya sekitar 50% dan

pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut di atas akan

menyebabkan gejala dan tanda klinis. Karena proses pembesaran prostat terjadi secara

perlahan-lahandan efek dari perubahannya juga terjadi perlahan-lahan (Sjamsuhidajat, R

& Jong, 2004).

Di wilayah Amerika Serikat, terdapat lebih dari setengah (50%) pada jenis

kelamin laki-laki berusia 60-70 tahun yang mengalami gejala-gejala Benigna Prostat

Hiperplasi (BPH) dan antara usia 70-90 tahun sebanyak 90% mengalami gejala-gejala

Benigna Prostat Hiperplasi (BPH). Hasil riset mengatakan bahwa laki-laki yang hidup di

daerah pedesaan sangat rendah terkenan Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) dibandingkan

dengan laki-laki yang hidup di daerah perkotaan. Ini terkait dengan gaya hidup seseorang.

Laki-laki yang bergaya hidup modern cenderung lebih besar terkena Benigna Prostat

Hiperplasi (BPH) dibandingkan dengan laki-laki di daerah pedesaan (Suharyanto, 2009).

1
2

Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) terjadi pada usia yang semakin tua (>45 tahun) dimana saat
keadaan fungsi testis menurun. Penurunan yang diakibatkan oleh fungsi testis ini menyebabkan
ketidakseimbangan hormon testosteron dan dehidrotesteosteron sehingga memicu pertumbuhan
atau pembesaran prostat. (Rendi, M. Clevo, 2012).
Penyebab terjadinya kasus BPH sampai saat ini belum diketahui pasti, namun

beberapa hipotesis mengatakan bahwa BPH erat berkaitan dengan peningkatan kadar

dihidrotesteron (DHT) dan proses aging (penuaan) (Purnomo, 2003).


3

Pembesaran prostat mengakibatkan rangsangan pada kandung kemih atau vesika,

maka dari itu vesika sering berkontraksi walaupun belum penuh. Meskipun vesika

menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir dari miksi akan

dietmukan sisa urin di dalam kandung kemih. Karena sering terdapat sisa urin, akibatnya

terbentuk bantu endapan di dalam kandung kemih atau Vesicolithhiasis (Sjamsuhidajat, R

& Jong, 2004). Jika sumbatan urin parah, maka akan dilakukan pembedahan

Transurethral Reseksi Prostatectomy (TURP) (Corwin, 2009). Transurethral Reseksi

Prostatectomy (TURP) merupakan prosedur yang paling umum dan dapat dilakukan

melalui endoskopi (Price, A. Syilvia, 2005). Transurethral Reseksi Prostatectomy

(TURP) merupakan suatu pembedahan yang dilakukan pada BPH dan mempunyai tingkat

keberhasilan 80- 90%. (Suharyanto, 2009).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Peters, dkk (2010) Angka kejadian nyeri

setelah operasi dalam sampel 1490 klien rawat inap bedah, didapatkan hasil nyeri sedang

atau berat, dilaporkan 41% klien pada hari 0, 30% pada hari 1 dan 19%, 16% dan 14%

pada hari 2,3 dan 4. Nyeri adalah salah satu keluhan yang terjadi pada pasien setelah

mengalami tindakan pembedahan. Pembedahan adalah peristiwa yang bersifat bifasik

terhadap tubuh manusia yang berimplikasi pada pengelolaan nyeri (Potter & Perry, 2006).

Nyeri adalah kondisi tidak menyenangkan yang bersifat sangat subjektif karena

perasaaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya

orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang

dialaminya.(Hidayat, A. A, A, 2014).

Nyeri akut biasanya mempunyai penyebab yang jelas, misalkan trauma operasi,

intensitas nyeri dapat diukur melalui skala numerik dari angka 0-10, dengan kriteria 0
4

tidak nyeri, kriteria 1-3 nyeri ringan, kriteria 4-6 nyeri sedang, kriteria 7-9 nyeri berat dan

kriteria 10 nyeri sudah tidak dapat ditoleransi. Nyeri akut biasanya berkurang

berhubungan dengan terjadinya penyembuhan. (Smeltzer & Bare, 2002).

Dampak dan nyeri terhadap hal-hal yang lebih spesifik seperti pola tidur

terganggu, selera makan berkurang ,aktivitas keseharian terganggu, hubungan dengan

sesame manusia lebih mudah tersinggung, atau bahkan terhadap mood (sering menangis

dan marah), kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaan atau pembicaraan dan sebagainya

(Setiyohadi, dkk, 2006).

B. Rumusan Masalah

Masalah keperawatan yang muncul sekaligus yang difokuskan pada penelitian

ini pada pasien post operasi benigna prostat hiperplasia yaitu nyeri akut. Nyeri Akut

merupakan pengalaman sensoria atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan

jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintesitas

ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan (PPNI, 2017).

C. Tujuan

1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan ini adalah mahasiswa dapat memahami asuhan

keperawatan pada pasien post BPH

2. Tujuan Khusus

a. Melakukan pengkajian pada pasien BPH.


b. Menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien post op BPH.
c. Merumuskan intervensi perawatan pada pasien post op BPH.
d. Melaksanakan implementasi pada pasien post op BPH.
e. Melakukan evaluasi pada pasien post op BPH
5

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Manfaat yang ingin dicapai peneliti ialah agar karya tulis ilmiah ini dapat

berkontribusi di dalam dunia keperawatan dan berguna sebagai salah satu sumber data

bagi mahasiswa di dalam melakukan penelitian khususnya di dalam bidang Keperawatan

Medikal Bedah.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Perkembangan Ilmu Teknologi Keperawatan

Manfaat yang ingin dicapai dalam perkembangan iptek Keperawatan adalah untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada pasien post

Transurethral Resection of The Prostate (TURP) Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

dengan nyeri akut.

b. Bagi Peneliti

Manfaat yang ingin dicapai oleh peneliti adalah untuk menmbah pengetahuan dan

informasi bagi peneliti tentang penerapan asuhan keperawatan pada pasien post

Transurethral Resection of The Prostate (TURP) Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

dengan nyeri akut. Selain daripada itu penelitian diharapkan dapat menjadi salah satu

cara bagi peneliti dalam mengaplikasikn ilmu keperawatan khususnya keperawatan

medikal bedah yang diperoleh di Institusi Pendidikan.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Benign Prostatic Hyperplasia


Hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi berupa
hiperplasia kelenjar atau hiperolasia fibromuskuler, Namun orang sering menyebutnya
dengan hiperteofi prostat namun secara histoligi yang dominan adalah hyoerplasia
(Long,2006)
BPH adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra dan menyebabkan gejala
urtikaria (Nursalam, 2006)
BPH merupakan kondisi yang belum di ketahui penyebabnya, di tandai dengan
meningkatnya ukuran zona dalam (kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat (Grace,
Pierce A, dkk, 2007)
Hipeplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
(secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dari pembatasan aliran urinarius (Doenges, E. Marlynn, 2002)
Definisi BPH secara Histopatologis, di karakteristikan dengan peningkatan
jumlah sel stroma dan epitel prostat di area prurethra yang merupakan suatu hiperplasia
dan bukan hipertroofi, secara etiologi pada BPH terjadi peningkatan jumlah sel akibat
dari poliferasi sel sel prostat yang terprogram (Roegrborn CG, 2012)

B. Etiologi
Penyebab yang pasti dari benigne prostat hyperplasia sampai sekarang belum
diketahui secara pasti, namun ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya benigne prostat
hyperplasia yaitu usia dan hormonal menjadi prediposisi terjadinya BPH. usia lanjut.
beberapa hipotesis menyebutkan bahwa benigna prostat hiperplasia sangat erat
kaitannya dengan:
1. Peningkatan Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasia.
2. Ketidakseimbangan estroge–testoteron

6
7

Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses penuaan,
pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan hormon testosteron.
Hal ini memicu terjadinya hiperplasia stroma pada prostat.
3. Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal gorwth factor atau fibroblas gorwth factor dan
penurunan transforming gorwth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan
epitel, sehingga akan terjadi BPH.
4. Berkurangnya kematian sel
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan memicu
terjadinya BPH . (Prabowo dan Andi, 2014)

C. Manifestasi Klinis
Tingkat keparahan gejala pembesaran prostat jinak bisa berbeda pada tiap
penderita, tetapi umumnya akan memburuk seiring waktu. Gejala utama penderita benign
prostatic hyperplasia (BPH) adalah gangguan saat buang air kecil, yang bisa berupa:
 Urine sulit keluar di awal buang air kecil.
 Perlu mengejan saat buang air kecil.
 Aliran urine lemah atau tersendat-sendat.
 Urine menetes di akhir buang air kecil.
 Buang air kecil terasa tidak tuntas.
 Buang air kecil di malam hari menjadi lebih sering.
 Beser atau inkontinensia urine.

Gejala BPH terbagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif. Gejala obstruksi berupa
hesistansi, penurunan pancaran urin, rasa tidak tuntas saat berkemih, double voiding,
mengejan saat berkemih dan urin menetes setelah berkemih. Gejala iritatif berupa
urgensi, frekuensi dan nokturia. Gejala-gejala tersebut disebut sebagai gejala saluran
kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symtomps (LUTS). (Cooperberg, 2013)
8

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih bagian bawah,
beberapa ahli dan organisasi urologi membuat sistem penilaian yang secara subjektif
dapat diisi dan dihitung sendiri. Sistem penilaian yang dianjurkan oleh organisasi
kesehatan dunia (WHO) adalah International Prostatic Symptoms Score
(IPSS) (Purnomo, 2012).

D. Derajat Benigna Prostat Hyperplasia


Menurut Jitowiyono & Weni (2010) Benigna prostat hyperplasia terbagi dalam 4
derajat sesuai dengan gangguan klinisnya :
1) Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1-2 cm, sisa urine
kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat ± 20 gram.
2) Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat,
panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol,
batas atas masih teraba, sisa urine 50-100 cc dan beratnya ± 20–40 gram.
3) Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa
urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3–4 cm, dan beratnya 40 gram.
4) Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyakit
keginjalan seperti gagal ginjal, hydroneprosis.

E. Patofisiologi
Keluhan dari BPH diakibatkan oleh adanya obstruksi dan sekunder akibat dari
respon kandung kemih. Komponen obstruksi dapat dibagi menjadi obstruksi mekanik dan
dinamik. Pada hiperplasi prostat, obstruksi mekanik terjadi akibat penekanan terhadap
lumen uretra atau leher buli, yang mengakibatkan resistensi bladder outlet. Komponen
obstruksi dinamik menjelaskan berbagai jenis keluhan penderita. Stroma prostat terdiri
dari otot polos dan kolagen, yang dipersyarafi oleh saraf adrenergik. Tonus uretra pars
prostatika diatur secara autonom, sehingga penggunaan α-blocker menurunkan tonus ini
dan menimbulkan disobstruksi (Purnomo,)

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
9

a) Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula
digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
b) Pemeriksaan urine lengkap.
c) PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan
adanya keganasan (Padila, 2012 dalam Annisa, 2017).
2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urine. Secara obyektif
pancaran urine dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :
a) Flow rate maksimal >15 ml/detik : non obstruktif
b) Flow rate maksimal 10-15 ml/detik : border line
c) Flow rate maksimal <10 ml/detik : obstruksi (Padila, 2012 dalam Annisa,
2017).
3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
a) BOF (Buik Overzich) : untuk menilai adanya batu dan metastase pada
tulang.
b) USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi volume
dan besar prostate juga keadaan buli-buli termasuk residual urine.
Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transurethral, dan supra
pubik.
c) IVP (Pyelografi Inravena), digunakan untuk melihat exkresi ginjal dan
adanya hidronefrosis.
d) Pemeriksaan panendoskop : untuk mengetahui keadaan uretra dan buli-
buli

G. Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien.
Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien,
maupun kondisi objektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya
(Cooperberg, 2013).
Terapi spesifik berupa observasi pada penderita gejala ringan hingga tindakan
operasi pada penderita dengan gejala berat. Indikasi absolut untuk pembedahan berupa
10

retensi urine yang berkelanjutan, infeksi saluran kemih yang rekuren, gross hematuria
rekuren, batu buli akibat BPH, insufisiensi renal dan divertikel buli (Cooperberg, 2013).
1. Watchful Waiting
Penderita dengan BPH yang simptomatis tidak selalu mengalami progresi
keluhan, beberapa mengalami perbaikan spontan. Watchful waiting merupakan
penatalaksanaan terbaik untuk penderita BPH dengan nilai IPSS 0-7. Penderita
dengan gejala LUTS sedang juga dapat dilakukan observasi atas kehendak pasien.
2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi resistensi otot
polos prostat sebagai komponen dinamik atau mengurangi volume prostat sebagai
komponen statik. Jenis obat yang digunakan adalah (Lepor dan Lowe , 2002) :
1. Antagonis adrenergik reseptor α yang dapat berupa:
a) preparat non selektif: fenoksibenzamin,
b) preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan
indoramin,
c) preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin, terazosin, dan
tamsulosin
2. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride,
3. Fitofarmaka
4. Operatif

Tindakan operatif dilakukan apabila pasien BPH mengalami retensi urin yang
menetap atau berulang, inkontinensia overflow, ISK berulang, adanya batu buli atau
divertikel, hematuria yang menetap setelah medikamentosa, atau dilatasi saluran
kemih bagian atas akibat obstruksi dengan atau tanpa insufisiensi ginjal (indikasi
operasi absolut). Selain itu adanya gejala saluran kemih bagian bawah yang menetap
setelah terapi konservatif atau medikamentosa merupakan indikasi operasi relative
(Oelke , et al, 2013).

a) Transurethral Resection of the Prostate (TURP)


Prosedur TURP merupakan 90% dari semua tindakan pembedahan prostat
pada pasien BPH. Menurut Wasson , et al (1995) pada pasien dengan keluhan
11

derajat sedang, TURP lebih bermanfaat daripada watchful waiting. TURP


lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan
memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat
memperbaiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine
hingga 100% (Tubaro , et al , 2000).
Komplikasi dini yang terjadi pada saat operasi sebanyak 18-23%, dan
yang paling sering adalah perdarahan sehingga membutuhkan transfusi.
Timbulnya penyulit biasanya pada reseksi prostat yang beratnya lebih dari 45
gram, usia lebih dari 80 tahun, ASA II-IV, dan lama reseksi lebih dari 90
menit. Sindroma TUR terjadi kurang dari 1% (Uchida , et al, 1999).
Penyulit yang timbul di kemudian hari adalah: inkontinensia stress <1%
maupun inkontinensia 1,5%, striktura uretra 0,5- 6,3%, kontraktur leher buli-
buli yang lebih sering terjadi pada prostat yang berukuran kecil 0,9-3,2%, dan
disfungsi ereksi. Angka kematian akibat TURP pada 30 hari pertama adalah
0,4% pada pasien kelompok usia 65-69 tahun dan 1,9% pada kelompok usia
80-84 tahun. Dengan teknik operasi yang baik dan manajemen perioperatif
(termasuk anestesi) yang lebih baik pada dekade terakhir, angka morbiditas,
mortalitas, dan jumlah pemberian transfusi berangsur-angsur menurun
(Uchida , et al, 1999).
Resiko atau komplikasi dari TURP antara lain ejakulasi retrograde sekitar
75%, impotensi 5-10%, inkontinensia 1%, dan komplikasi lain berupa
perdarahan, striktur uretra, kontraktur leher buli, perforasi dari kapsul prostat,
dan sindrom TURP (Cooperberg, 2013).
b) Transurethral Incicion of the Prostat (TUIP)
TUIP atau insisi leher buli-buli (bladder neck insicion) direkomendasikan
pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 cm3), tidak dijumpai
pembesaran lobus medius, dan tidak diketemukan adanya kecurigaan
karsinoma prostat. Teknik ini dipopulerkan oleh Orandi pada tahun 1973,
dengan melakukan mono insisi atau bilateral insisi mempergunakan pisau
Colling mulai dari muara ureter, leher buli- buli-sampai ke verumontanum.
Insisi diperdalam hingga kapsula prostat. Waktu yang dibutuhkan lebih cepat,
12

dan lebih sedikit menimbulkan komplikasi dibandingkan dengan TURP. TUIP


mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax meskipun
tidak sebaik TURP (Roehrborn , et al, 2001; Yang , et al , 2001).
c) Prostatektomi terbuka
Diindikasikan pada prostat yang terlalu besar untuk dilakukan tindakan
endoskopik, juga dapat dilakukan pada penderita dengan divertikulum buli
atau didapatkannya batu buli. Prostatektomi terbuka dibagi menjadi 2 cara
pendekatan yaitu suprapubik (Millin procedure) dan retropubik (Freyer
procedure) (Purnomo, 2012).
d) Terapi Invasif Minimal
Terapi invasif minimal untuk BPH yakni terapi laser
Transurethral Electrovaporization of the Prostat Microwave Hypertermia,
Transurethral Needle Ablation of the Prostat High Intencity Focused
Ultrasound dan Stent Intraurethral (Purnomo, 2012).

H. Komplikasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)


Pembesaran prostat jinak yang tidak ditangani dapat menyebabkan sejumlah
komplikasi serius, yaitu :
 Infeksi saluran kemih
 Penyakit batu kandung kemih
 Tidak bisa buang air kecil
 Kerusakan kandung kemih dan ginjal

I. Faktor Resiko
1. Laki-laki yang memiliki umur lebih dari 50 tahun memiliki risiko lebih besar
dibanding dengan laki-laki berumur kurang dari 50 tahun
2. Laki-laki dengan riwayat keluarga yang pernah menderita BPH
3. Laki-laki dengan frekuensi yang rendah dalam mengonsumsi makanan tinggi
serat
4. Kebiasaan merokok
5. Laki-laki yang jarang olahraga memiliki risiko tinggi mengalami gangguan ini,
karena kurang olahraga dapat menyebabkan obesitas yang secara tidak langsung
akan mempengaruhi kesehatan reproduksi.
13

6. Riwayat penyakit. Orang dengan riwayat penyakit tertentu disebut lebih berisiko
mengalamiBPH
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi berupa
hiperplasia kelenjar atau hiperolasia fibromuskuler, Namun orang sering menyebutnya
dengan hiperteofi prostat namun secara histoligi yang dominan adalah hyoerplasia
(Long,2006). Definisi BPH secara Histopatologis, di karakteristikan dengan
peningkatan jumlah sel stroma dan epitel prostat di area prurethra yang merupakan
suatu hiperplasia dan bukan hipertroofi, secara etiologi pada BPH terjadi peningkatan
jumlah sel akibat dari poliferasi sel sel prostat yang terprogram (Roegrborn CG, 2012).
Kondisi ini biasanya terjadi pada pria berumur 50 tahun keatas. Penyabab BPH
ini masih belum diketahui pasti tetapi pembesaran kelenjar prostat ini diduga karena
perubahan keseimbangan hormone seks pria seiring bertambahnya usia. Beberapa
factor resiko terkait dengan BPH diantaranya proses penuaan, riwayat keluarga,
penyakit jantung, diabetes dan obesitas. Adapun gejala yang muncul ketika terjadi
pembesaran kelenjar prostat jinak biasanya terjadi gangguan perkemihan dan jika tidak
segera ditangani dapat terjadi kerusakan pada kandung kemih dan ginjal.

B. Saran
1. Agar mahasiswa dapat lebih baik lagi dalam memahami penyakit benigna prostat
hyperplasia (BPH)
2. Agar mahasiswa dpat menggali kemampuanya dalam penatalaksanaan keperawatan
yang lebih baik
3. Agar mahasiswa lebih banyak timbul rasa penasaran mengenai penyakit benigna
prostat hyperplasia (BPH)
4. Setelah mempelajari kasus pemicu mengenai BPH, diharapkan mahasiswa dapat
memahaminya dengan baik , dan dapat mengimplementasikan ilmunya pada
kehidupan yang sebenarnya

14
15

5. sebagai seoarang calon perawat seoarang mahasiswa harus menjadi pribadi yang
kritis atas hal hal yang terjadi di sekitarnya . tidak terkecuali dengan kasus kasus
yang akan diberikan pada mahasiswa diskusi .
16

DAFTAR PUSTAKA

Sumber : Budaya , T.H., Besut Daryanto. 2019. A TO Z BPH. Universitar Brawijaya Press
Sumber : http://eprints.umpo.ac.id/6154/3/BAB%202.pdf
Sumber : https://www.alodokter.com/bph-benign-prostatic-hyperplasia
https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/7718df053f858d1807dc1fa2b63446a8.pdf
Sumber : http://eprints.umpo.ac.id/6154/3/BAB%202.pdf
Sumber : http://eprints.umpo.ac.id/6154/3/BAB%202.pdf
Sumber : https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/b6eadef5e1abf48c34fb5ea6b9b78cec.pdf
Sumber :
Azia Putri Al Jamil, Dian Pertiwi, Dwitya Elvira. "Gambaran Hasil Pemeriksaan Urine pada
Pasien dengan Pembesaran Prostat Jinak di RSUP DR. M. Djamil Padang." Jurnal Kesehatan
Andalas. 2018; 7(1)
Rizki Amalia, Suharyo Hadisaputro, Rifki Muslim. "Faktor-Faktor Risiko terjadinya Pembesaran
Prostat Jinak (Studi Kasus di RS Dr. Kariadi, RSI Sultan Agung, RS Roemani Semarang)". 2008

Anda mungkin juga menyukai